KETUA PP MUHAMMADIYAH DI MASA ORDE

KETUA PP MUHAMMADIYAH DI MASA ORDE LAMA
Era kepemimpinan Orde Lama (1959-1966) dibawah genggaman Bung Karno ternyata juga mempengaruhi
perkembangan dan kondisi Muhammadiyah. Saat itu Muhammadiyah di bawah pimpinan dua Ketua. Awal orde
lama Muhammadiyah dibawah pimpinan HM Yunus Anis (1959-1962), sedangkan pada akhir orde lama dibawah
pimpinan KHA Badawi (1962-1966). KHA Badawi sendiri masih memimpin Muhammadiyah pada periode
berikutnya (1966-1968).
Di masa periode kepemimpinan HM Yunus Anis, Muhammadiyah dihebohkan dengan pengangkatan HM Yunus Anis
sebagai anggota DPRGR. Sedangkan di masa kepemimpinan KHA Badawi, Muhammadiyah dirasaukan dengan
kedekatan KHA Badawi dengan Bung Karno.
Dalam soal DPRGR, AH Nasution memperoleh cukup banyak kursi tambahan; terutama untuk pembawa aspirasi
umat Islam yang telah banyak tergusur dalam DPR. Mengingat waktu itu sangat terbatas, maka AH Nasution
sebagai KSAD terpaksa mengambil porsi yang cukup berarti dari Korp Imam Tentara, sehingga Letkol HM Yunus Anis
diperintahkan menjadi anggota DPRGR bersama tokoh-tokoh lain yang dapat diperoleh dengan bantuan Menteri
Sosial Muljadi Djojomartono. Namun kemudian Letkol HM Yunus Anis terjepit, karena ada tokoh-tokoh umat yang
berpendirian bahwa tindakan Presiden tentang DPR membawakan kerugian bagi perjuangan umat. Apalagi bagi
Muhammadiyah yang selama itu anggota-anggotanya masuk fraksi Masyumi yang dibuburkan.
Dengan duduknya Letkol HM Yunus Anis menjadi anggota DPRGR juga menjadi persoalan bagi tokoh-tokoh
Muhammadiyah. Pada tanggal 28 Dzulhijjah 1379 (23 Juni 1960) tokoh-tokoh Muhammadiyah mengirim surat
kepada Letkol HM Yunus Anis, Marzuki Jatim, M Saleh Ibrahim dan Idham di Jakarta. Surat dari tokoh-tokoh
Muhammadiyah tersebut ditandatangai 10 orang: AR Fachruddin, M Daris Tamimy, Djarnawi Hadikusuma, H Zaini
Dahlan, Wasthon Sudja’, Moch Djaldan Badawi, M Fachrurrazi, Azan Sjarbini, Moch Isa Jr dan Hanan Munctarom.

Surat tersebut dikirim tanggal 28 Dzulhijjah 1379 H/23 Juni 1960 M ditujukan kepada empat orang yang duduk
dalam DPRGR ialah HM Yunus Anis, Marzuki Yatim, M Saleh Ibrahim dan Idham.
Dalam suratnya itu diharapkan agar Letkol HM Yunus Anis merenungkan dan mempertimbangkan terlebih dahulu
untung ruginya pengangkatan dirinya di DPRGR untuk keutuhan Muhammadiyah. Menurut tokoh-tokoh
Muhammadiyah terbentuknya DPRGR dan adanya beberapa tokoh Islam yang diangkat menjadi anggota di
dalamnya, waktu itu dikatakan belum menampakkan akan adanya jaminan bahwa DPRGR memberi kemanfaatan
bagi perjuangan umat Islam. Pengangkatan itu antara lain menimbulkan saran dan pendapat dari tokoh-tokoh
Muhammadiyah itu. Hal ini diminta benar-benar dipertimbangkan supaya tidak menimbulkan keretakan dalam
kalangan Muhammadiyah, baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Sedangkan kedekatan KHA Badawi yang menimbulkan fitnah sebetulnya dalam rangka penyelamatan Persyarikatan
Muhammadiyah yang waktu itu ditentang oleh PKI dan ansirnya untuk dibubarkan. Dengan berkuasanya Bung
Karno secara kuat, maka Muhammadiyah perlu ada pendekatan padanya. Dan itu merupakan tugas khusus Ketua
yang dijabat KHA Badawi. Oleh karena KHA Badawi itu dekat dengan Bung Karno diwaktu jaya-jayanya, maka sudah
tentu menimbulkan iri hati atau dipergunakan fitnah untuk menjauhkannya. Padahal beliau mendekati untuk
mencari lampu hijau bagi Muhammadiyah supaya tidak dububarkan. Selain itu juga dipergunakan untuk bertabligh
atau dakwah kepada Kepala Negara. Ini merupakan tugas agama sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nabi:
“Sebesar-besar jihad itu menyampaikan kalimat yang hak kepada Sultan yang dhalim”.

Salah satu fitnah tersebut adalah, tersiarnya berita di Jawa Barat yang mendesasdesuskan bahwa sewaktu Bung
Karno kawin (entah yang keberapa) di Surabaya, calon isterinya sumbangan dari Pak Badawi yang dipilih dari murid

Madrasah Mualimat. Sehingga beritanya yang dimuat di dalam sebuah media di Bandung sangat menggemparkan
dan ini amat mencemarkan nama baik KHA Badawi.
Padahal sesungguhnya KHA Badawi tidak tahu menahu dan tidak mencampuri urusan perkawinan Bung Karno
dengan yang di Surabaya ataupun yang di lain-lainnya. Bahkan menghadiri atau menjadi saksi perkawinannya pun
tidak. Fitnahan ini kelihatan bohongnya, KHA Badawi bersih dan selamat dari celaan dan cacian yang dilemparkan
kepadanya.
Sebagaimana diketahui, Masyumi telah dibubarkan tetapi pendukungnya masih utuh. Diantaranya Muhammadiyah
yang merupakan anggota istimewanya. Karenanya, Muhammadiyah dianggap membahayakan bagi Pemerintahan
Bung Karno dan Nasakomnya. Karenanyan, tidak mengherankan jika lawan politik Muhammadiyah berusaha
menghasut Presiden agar Muhammadiyah dibubarkan. Di samping pembubaran bagi HMI dan PII.
Hasutan kepada Muhammadiyah ini gampang saja dilakukan dengan mengatakan “bekas partai terlarang” dan
sebaginya. Di daerah-daerah tekanan kepada Muhammadiyah ini sangat menghambat, sehingga menurut registrasi,
Cabang yang semula berjumlah 600 sewaktu Masyumi hidup tetapi pada tahun 1962 yang mampu bergerak hidup
tinggal 450 Cabang. Hal ini kalau dibiarkan terus menrus Muhammadiyah akan mati/rontok.
Maka untuk mempertahankan hidupnya Muhammadiyah yang menjadi pelopor Gerakan Islam perlu “lampu hijau”
dari Pemerintah. Maka dalam menjalankan tugas pendekatan kepada Bung Karno, KHA Badawi sangat sukses.
Karena sebetulnya Soekarno sendiri tidak menghendaki Muhammadiyah dibubarkan, melainkan cukup dipersempit
agar menjadi imbangan kekuatan yang tidak membahayakan. Tetapi karena bijaknya KHA Badawi, maka
Muhammadiyah tidak sekedar menjadi imbangan yang kecil melainkan bertambah meluas dan semakin
kuat.Muhammadiyah pun tidak jadi dibubarkan demikian pula dengan HMI. (eff).


Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 20 2004