Sejarah Islam Liberal di Indonesia
GERAKAN ISLAM INDONESIA KONTEMPORER : LIBERALISME
(Sejarah, Karakteristik, Lembaga2, analisis relevansi dan implikasi
Sejarah Islam Liberal di Indonesia
Akar Islam liberal dapat ditelusuri dari masuknya Islam. Salah satunya adalah
Hamzah Fansuri yang hidup di masa masa awal kerajaan Samudra Pasai di Aceh. Hamzah
Fansuri muncul denagn doktrin Wahdatul Wujud (kesatuan wujud).
Namun, sejumlah literatur mencatat bahwa Indonesia baru memiliki tokoh Islam
liberal pada akhir abad ke-19. Kurzman, dalam bukunya, mencatat nama-nama seperti Syah
Muhammad Tahir Djalaluddin, Kiai Ahmad Dahlan, dan Ahmad Surkati sebagai tokoh Islam
reformis atau Islam modernis.1
Muhammad Tahir Djalaluddin (1869-1956) adalah murid Muhammad Abduh yang
paling berjasa menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada
Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke
Indonesia, tapi transit di Singapura mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di
Singapura (1906) ia mendirikan majalah Islam, al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan
akrab Abduh. Murid Abduh loyal dan sangat mencintai gurunya. Di Mesir mereka mendirikan
kelompok diskusi yang disebut madrasat al-imam dan mendirikan partai politik yang disebut
hizb al-imam.
Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam timur tengah
disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan Abduh dalam al-Urwat al-Wutsqa
dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan,
dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam jadi media Islam pertama yang
menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir,
terbit di Sumatera. Pendirinya, Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu
yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, jadi corong kaum muda
menyebarkan gagasan Islam Liberal.
1
Charles Kurzman. Liberal Islam: A Source Book. (Oxford: Oxford University Press.1998).
hlm. 9
Memasuki kemerdekaan Indonesia, gerakan pembaruan Islam menurun. Tokoh Islam
lebih banyak mencurahkan energi mengupayakan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebagian
besar terlibat dalam perdebatan isu keislaman pada tahun 1930-an. Agus Salim dan Muhammad
Natsir sibuk dengan politik, terlibat aktif dalam pemerintahan Soekarno-Hatta. Salim pernah
menjabat sebagai menteri luar negeri dan Natsir menteri penerangan kemudian perdana menteri.
Mungkin karena keterlibatan mereka yang intensif dengan dunia politik, para tokoh Islam tak
sempat merenung dan berefleksi mendalam terhadap persoalan pembaruan Islam.
Luthfi Assyaukanie menyebut pemikiran Islam liberal dalam Islam di Indonesia mulai
muncul pada 1950-an. Tetapi, gerakan Islam liberal menemukan momentumnya kembali di
Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto.
Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan
mempelajari Islam dan melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan.
Seperti berulang dicatat buku sejarah, tokoh paling penting dalam gerakan pembaruan ini adalah
Nurcholish Madjid, sarjana Islam yang memiliki semua syarat menjadi pembaharu. Lahir dan
tumbuh dari keluarga santri taat, Nurcholish adalah penulis dan pembicara yang baik. Ia
menguasai bahasa Arab dan Inggris. Kefasihannya berbicara tentang teori ilmu sosial sama
baiknya dengan uraiannya tentang khazanah Islam. Nurcholish adalah penerus gerakan
pembaruan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-19.
Selama kiprahnya menjadi intelektual liberal, Nurcholish banyak melontarkan
gagasan yang mencerahkan dan membangkitkan keingintahuan orang. Sumbangan yang paling
besar bagi Indonesia adalah gagasannya tentang sekularisasi. Nurcholishlah cendikiawan
pertama yang meyakinkan kaum Muslim Indonesia: menjadi seorang Muslim yang baik tidak
harus berafiliasi kepada partai Islam. Memperjuangkan Islam tidak harus melalui lembaga atau
partai dengan nama Islam. Baginya, Islam dapat diperjuangkan dengan berbagai cara, melalui
berbagai medium. Pandangan ini cukup ampuh. Tiga dekade kemudian, dalam dua Pemilu (1999
dan 2004) tidak banyak kaum Muslim yang tertarik dengan partai Islam dan agenda negara
Islam, yang pada tahun 1960-an dianggap sakral.
Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin
banyaknya intelektual santri yang muncul. Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Munawir
Sjadzali, dan Ahmad Syafii Maarif adalah di antara para eksponen pembaruan yang mewarnai
kancah pemikiran Islam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Semua intelektual ini menganggap diri
sebagai penerus cita-cita kebangkitan (nahdah) dalam semangat Muhammad Abduh, Qassim
Amin, Ali Abd al- Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media
massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di Universitas
Islam Negeri (UIN) maupun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.2
Sejarah Jaringan Islam Liberal (JIL)
Kebebasan berpendapat dan ruang publik yang lebih terbuka di Indonesia sejak
jatuhnya rezim Orde Baru, telah membangkitkan berbagai diskusi publik, penerbitan buku-buku,
artikel dan kebebasan media massa. Salah satu gerakan yang muncul dari keterbukaan politik
tersebut adalah kelahiran Jaringan Islam Liberal sebagai forum pertemuan dari kalangan
intelektual, aktivis, akademisi, dan rohaniawan yang memiliki komitmen terhadap pandangan
Islam yang menghormati pluralisme, toleransi, dan kritis terhadap kecenderungan penyatuan
agama dan politik.
Gerakan
ini
sebelumnya
berawal
dari
diskusi-diskusi
di
mailing
list
[email protected]. Diskusi ini diikuti oleh intelektual-intelektual di seluruh
Indonesia. Pertemuan dan diskusi rutin mengenai tema-tema Islam liberal diawali dengan diskusi
pada bulan Februari 2001 di Teater Utan Kayu yang dihadiri oleh kurang lebih seratus audiens.
Setiap minggu kelompok ini bekerja sama dengan kantor berita radio 68 H untuk mengkaji tematema mengenai Islam liberal. Selain ini tiap minggu kelompok ini juga mengisi beberapa artikel
dalam satu halaman penuh yang membahas mengenai Islam liberal di harian Jawa Pos.3
Pada Maret 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Organisasi,
lebih tepatnya gerakan, ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih
dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan
sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu,
2
Luthfi Assyaukanie. Cerita Panjang Sejarah Islam Liberal. Dalam
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/02/Bentara/3344564.htm
3
Kolom ini dinamakan kolom Jaringan Islam Liberal. Terbit di harian lokal seperti Jawa Pos
(surabaya), Indopos (Jakarta), Riau Pos (Pekanbaru), atau Fajar (Makassar).
gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan,
JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal
berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.
Lewat programnya, seperti diskusi publik, talkshow, sindikasi media, dan workshop,
JIL berusaha konsisten mempromosikan dan menyebarluaskan gagasan pembaruan. Perhatian
utama JIL adalah bagaimana menciptakan dan menjaga ruang kebebasan di Indonesia.
Sebagaimana tokoh Islam Liberal awal, JIL meyakini kebebasan adalah kunci bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan tanpa kesejahteraan dan tidak ada kesejahteraan tanpa
kebebasan.
Setelah satu tahun kemunculan Jaringan Islam Liberal terbitlah buku berjudul Wajah
Liberal Islam di Indonesia hasil kerjasama Teater Utan Kayu dan JIL. Buku ini
mendokumentasikan berbagai diskusi perdebatan dan dialog yang berlangsung di mailing list
[email protected] serta wawancara dan kolom di website Jaringan Islam Liberal,
www.islamlib.com. Kemudian pada tahun 2003, terbit buku kedua berjudul Syari’at Islam:
Pandangan Muslim Liberal. Buku ini berisi dokumentasi hasil diskusi terbatas JIL pada tanggal
10-13 Januari 2003 di Puncak Jawa Barat. Buku ini merupakan hasil kerjasama dengan The Asia
Foundation.
Sejak tahun 2001 hingga 2005, Jaringan Islam Liberal telah melakukan kerjasama
secara langsung dan memiliki jaringan di berbagai universitas seperti Universitas Islam Negeri
(UIN) Jakarta, Universitas Indonesia, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Institut Ilmu AlQuran (IIQ), Universitas Paramadia, IPB, ITB, IAIN Sunan Gunung Jati, Universitas Islam
Bandung (Unisba), Universitas Padjajaran (Unpad), IAIN Walisongo Semarang, Universitas
Wahid Hasyim, Unissula (Universitas Sultan Agung), UNS, STAIN Kudus, Universitas Jendral
Soedirman (Unsoed), UNAIR, UIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Negeri Malang (UNM),
Unibraw, dan IKAHA.4
Institusi yang turut memproduksi diskusi mengenai Islam Liberal di Indonesia adalah
Yayasan Wakaf Paramadina yang didirikan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1993. Yayasna
Wakaf Paramadina secara produktif mengembangkan ruang publik yang liberal dan bebas.
4
Airlangga Pribadi Kusman. Kontestasi Diskursus Islam Indonesia Dalam Konteks Demokrasi
Pasca Orde Baru Studi Kasus Teks Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) – Tesis FISIP UI. Hlm. 82
Lembaga ini juga secara berkala mengumpulkan gagasan Nurcholish Madjid dan
menerbitkannya dalam bentuk buku.
Komunitas Islam liberal lainnya yang juga memproduksi dan menyebarkan gagasan
Islam liberal di Indonesia adalah ICIP (International Center of Islam and Pluralism). Lembaga ini
menerima dana dari The Asia Foundation. Lembaga ini memiliki kepentingan untuk membangun
jaringan di antara kalangan pemikir, aktifis, dan organisai Islam yang berpandangan progresif di
Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Pelacakan terhadap distribusi gagasan Islam liberal di Indonesia tidak terlepas dari
peran Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) tahun 1993 di Yogyakarta. LKiS dikenal
menerbitkan pemikiran kalangan intelektual-intelektual Timur Tengah yang memiliki perspektif
pemikiran Islam Liberal.
Karakteristik
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Ijtihad (penalaran rasional
atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam
segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam,
sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam
semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).
2. Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang
di kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan semata makna
literal teks. Penafsiran literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan
semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian
peradaban kemanusiaan universal.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Berpikiran pada
gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab
penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab setiap
penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran
adalah cermin kebutuhan penafsir pada masa dan ruang yang terus berubah.
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Berpenafsiran Islam yang
memihak kaum minoritas tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang
mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan semangat Islam.
Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya,
politik, dan ekonomi.
5. Meyakini kebebasan beragama. Berpendapat bahwa urusan beragama dan tidak
beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan
penganiayaan (persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Berorientasi bahwa kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara
agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik
adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang
dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan
segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus
diselenggarakan melalui proses konsensus
(Sejarah, Karakteristik, Lembaga2, analisis relevansi dan implikasi
Sejarah Islam Liberal di Indonesia
Akar Islam liberal dapat ditelusuri dari masuknya Islam. Salah satunya adalah
Hamzah Fansuri yang hidup di masa masa awal kerajaan Samudra Pasai di Aceh. Hamzah
Fansuri muncul denagn doktrin Wahdatul Wujud (kesatuan wujud).
Namun, sejumlah literatur mencatat bahwa Indonesia baru memiliki tokoh Islam
liberal pada akhir abad ke-19. Kurzman, dalam bukunya, mencatat nama-nama seperti Syah
Muhammad Tahir Djalaluddin, Kiai Ahmad Dahlan, dan Ahmad Surkati sebagai tokoh Islam
reformis atau Islam modernis.1
Muhammad Tahir Djalaluddin (1869-1956) adalah murid Muhammad Abduh yang
paling berjasa menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada
Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke
Indonesia, tapi transit di Singapura mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di
Singapura (1906) ia mendirikan majalah Islam, al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan
akrab Abduh. Murid Abduh loyal dan sangat mencintai gurunya. Di Mesir mereka mendirikan
kelompok diskusi yang disebut madrasat al-imam dan mendirikan partai politik yang disebut
hizb al-imam.
Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam timur tengah
disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan Abduh dalam al-Urwat al-Wutsqa
dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan,
dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam jadi media Islam pertama yang
menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir,
terbit di Sumatera. Pendirinya, Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu
yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, jadi corong kaum muda
menyebarkan gagasan Islam Liberal.
1
Charles Kurzman. Liberal Islam: A Source Book. (Oxford: Oxford University Press.1998).
hlm. 9
Memasuki kemerdekaan Indonesia, gerakan pembaruan Islam menurun. Tokoh Islam
lebih banyak mencurahkan energi mengupayakan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebagian
besar terlibat dalam perdebatan isu keislaman pada tahun 1930-an. Agus Salim dan Muhammad
Natsir sibuk dengan politik, terlibat aktif dalam pemerintahan Soekarno-Hatta. Salim pernah
menjabat sebagai menteri luar negeri dan Natsir menteri penerangan kemudian perdana menteri.
Mungkin karena keterlibatan mereka yang intensif dengan dunia politik, para tokoh Islam tak
sempat merenung dan berefleksi mendalam terhadap persoalan pembaruan Islam.
Luthfi Assyaukanie menyebut pemikiran Islam liberal dalam Islam di Indonesia mulai
muncul pada 1950-an. Tetapi, gerakan Islam liberal menemukan momentumnya kembali di
Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto.
Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan
mempelajari Islam dan melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan.
Seperti berulang dicatat buku sejarah, tokoh paling penting dalam gerakan pembaruan ini adalah
Nurcholish Madjid, sarjana Islam yang memiliki semua syarat menjadi pembaharu. Lahir dan
tumbuh dari keluarga santri taat, Nurcholish adalah penulis dan pembicara yang baik. Ia
menguasai bahasa Arab dan Inggris. Kefasihannya berbicara tentang teori ilmu sosial sama
baiknya dengan uraiannya tentang khazanah Islam. Nurcholish adalah penerus gerakan
pembaruan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-19.
Selama kiprahnya menjadi intelektual liberal, Nurcholish banyak melontarkan
gagasan yang mencerahkan dan membangkitkan keingintahuan orang. Sumbangan yang paling
besar bagi Indonesia adalah gagasannya tentang sekularisasi. Nurcholishlah cendikiawan
pertama yang meyakinkan kaum Muslim Indonesia: menjadi seorang Muslim yang baik tidak
harus berafiliasi kepada partai Islam. Memperjuangkan Islam tidak harus melalui lembaga atau
partai dengan nama Islam. Baginya, Islam dapat diperjuangkan dengan berbagai cara, melalui
berbagai medium. Pandangan ini cukup ampuh. Tiga dekade kemudian, dalam dua Pemilu (1999
dan 2004) tidak banyak kaum Muslim yang tertarik dengan partai Islam dan agenda negara
Islam, yang pada tahun 1960-an dianggap sakral.
Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin
banyaknya intelektual santri yang muncul. Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Munawir
Sjadzali, dan Ahmad Syafii Maarif adalah di antara para eksponen pembaruan yang mewarnai
kancah pemikiran Islam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Semua intelektual ini menganggap diri
sebagai penerus cita-cita kebangkitan (nahdah) dalam semangat Muhammad Abduh, Qassim
Amin, Ali Abd al- Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media
massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di Universitas
Islam Negeri (UIN) maupun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.2
Sejarah Jaringan Islam Liberal (JIL)
Kebebasan berpendapat dan ruang publik yang lebih terbuka di Indonesia sejak
jatuhnya rezim Orde Baru, telah membangkitkan berbagai diskusi publik, penerbitan buku-buku,
artikel dan kebebasan media massa. Salah satu gerakan yang muncul dari keterbukaan politik
tersebut adalah kelahiran Jaringan Islam Liberal sebagai forum pertemuan dari kalangan
intelektual, aktivis, akademisi, dan rohaniawan yang memiliki komitmen terhadap pandangan
Islam yang menghormati pluralisme, toleransi, dan kritis terhadap kecenderungan penyatuan
agama dan politik.
Gerakan
ini
sebelumnya
berawal
dari
diskusi-diskusi
di
mailing
list
[email protected]. Diskusi ini diikuti oleh intelektual-intelektual di seluruh
Indonesia. Pertemuan dan diskusi rutin mengenai tema-tema Islam liberal diawali dengan diskusi
pada bulan Februari 2001 di Teater Utan Kayu yang dihadiri oleh kurang lebih seratus audiens.
Setiap minggu kelompok ini bekerja sama dengan kantor berita radio 68 H untuk mengkaji tematema mengenai Islam liberal. Selain ini tiap minggu kelompok ini juga mengisi beberapa artikel
dalam satu halaman penuh yang membahas mengenai Islam liberal di harian Jawa Pos.3
Pada Maret 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Organisasi,
lebih tepatnya gerakan, ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih
dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan
sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu,
2
Luthfi Assyaukanie. Cerita Panjang Sejarah Islam Liberal. Dalam
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/02/Bentara/3344564.htm
3
Kolom ini dinamakan kolom Jaringan Islam Liberal. Terbit di harian lokal seperti Jawa Pos
(surabaya), Indopos (Jakarta), Riau Pos (Pekanbaru), atau Fajar (Makassar).
gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan,
JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal
berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.
Lewat programnya, seperti diskusi publik, talkshow, sindikasi media, dan workshop,
JIL berusaha konsisten mempromosikan dan menyebarluaskan gagasan pembaruan. Perhatian
utama JIL adalah bagaimana menciptakan dan menjaga ruang kebebasan di Indonesia.
Sebagaimana tokoh Islam Liberal awal, JIL meyakini kebebasan adalah kunci bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan tanpa kesejahteraan dan tidak ada kesejahteraan tanpa
kebebasan.
Setelah satu tahun kemunculan Jaringan Islam Liberal terbitlah buku berjudul Wajah
Liberal Islam di Indonesia hasil kerjasama Teater Utan Kayu dan JIL. Buku ini
mendokumentasikan berbagai diskusi perdebatan dan dialog yang berlangsung di mailing list
[email protected] serta wawancara dan kolom di website Jaringan Islam Liberal,
www.islamlib.com. Kemudian pada tahun 2003, terbit buku kedua berjudul Syari’at Islam:
Pandangan Muslim Liberal. Buku ini berisi dokumentasi hasil diskusi terbatas JIL pada tanggal
10-13 Januari 2003 di Puncak Jawa Barat. Buku ini merupakan hasil kerjasama dengan The Asia
Foundation.
Sejak tahun 2001 hingga 2005, Jaringan Islam Liberal telah melakukan kerjasama
secara langsung dan memiliki jaringan di berbagai universitas seperti Universitas Islam Negeri
(UIN) Jakarta, Universitas Indonesia, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Institut Ilmu AlQuran (IIQ), Universitas Paramadia, IPB, ITB, IAIN Sunan Gunung Jati, Universitas Islam
Bandung (Unisba), Universitas Padjajaran (Unpad), IAIN Walisongo Semarang, Universitas
Wahid Hasyim, Unissula (Universitas Sultan Agung), UNS, STAIN Kudus, Universitas Jendral
Soedirman (Unsoed), UNAIR, UIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Negeri Malang (UNM),
Unibraw, dan IKAHA.4
Institusi yang turut memproduksi diskusi mengenai Islam Liberal di Indonesia adalah
Yayasan Wakaf Paramadina yang didirikan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1993. Yayasna
Wakaf Paramadina secara produktif mengembangkan ruang publik yang liberal dan bebas.
4
Airlangga Pribadi Kusman. Kontestasi Diskursus Islam Indonesia Dalam Konteks Demokrasi
Pasca Orde Baru Studi Kasus Teks Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) – Tesis FISIP UI. Hlm. 82
Lembaga ini juga secara berkala mengumpulkan gagasan Nurcholish Madjid dan
menerbitkannya dalam bentuk buku.
Komunitas Islam liberal lainnya yang juga memproduksi dan menyebarkan gagasan
Islam liberal di Indonesia adalah ICIP (International Center of Islam and Pluralism). Lembaga ini
menerima dana dari The Asia Foundation. Lembaga ini memiliki kepentingan untuk membangun
jaringan di antara kalangan pemikir, aktifis, dan organisai Islam yang berpandangan progresif di
Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Pelacakan terhadap distribusi gagasan Islam liberal di Indonesia tidak terlepas dari
peran Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) tahun 1993 di Yogyakarta. LKiS dikenal
menerbitkan pemikiran kalangan intelektual-intelektual Timur Tengah yang memiliki perspektif
pemikiran Islam Liberal.
Karakteristik
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Ijtihad (penalaran rasional
atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam
segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam,
sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam
semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).
2. Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang
di kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan semata makna
literal teks. Penafsiran literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan
semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian
peradaban kemanusiaan universal.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Berpikiran pada
gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab
penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab setiap
penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran
adalah cermin kebutuhan penafsir pada masa dan ruang yang terus berubah.
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Berpenafsiran Islam yang
memihak kaum minoritas tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang
mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan semangat Islam.
Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya,
politik, dan ekonomi.
5. Meyakini kebebasan beragama. Berpendapat bahwa urusan beragama dan tidak
beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan
penganiayaan (persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Berorientasi bahwa kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara
agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik
adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang
dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan
segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus
diselenggarakan melalui proses konsensus