IMPLIKASI HIJAB TERHADAP AKHLAQ MUSLIMAH MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI.

(1)

IMPLIKASI HIJAB TERHADAP AKHLAK MUSLIMAH MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan kepada

Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :

MARIYATUL KHIBTIYAH D01212030

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Mariyatul Khibtiyah (D01212030), Implikasi Hijab terhadap Akhlak Muslimah

menurut Murtadha Muthahhari , Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Keyword: Implikasi, Hijab, Akhlak Muslimah, Murtadha Muthahhari.

Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Murtadha Muthahhari tentang hijab, dan bagaimana implikasi hijab menurut Murtadha Muthahhari terhadap akhlak muslimah.

Pelaksanaan penelitian pada skripsi ini dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), sedangkan fokus

penelitiannya adalah implikasi hijab terhadap akhlak muslimah menurut Murtadha

Muthahhari yang membahas tentang pengaruh batasan-batasan prilaku seorang

muslimah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengolahan data, penulis menggunakan metode tematik.

Hasil analisis tentang implikasi hijab terhadap akhlak muslimah menurut

Murtadha Muthahhari setelah diadakan kajian penelitian menunjukkan bahwa hijab

memiliki dampak positif terhadap akhlak seseorang. Hijab dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat diantaranya: menjaga kehormatan diri, kesopanan mengendalikan hawa nafsu, mengajarkan hidup secara sederhana, mendidik rasa malu. Jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan berhijab dengan batas-batas yang telah disebutkan diatas, hal ini menyebabkan penghormatan yang lebih besar, sehingga dapat menghindarkan adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan santun.

Berdasarkan dari hasil analisis kajian skripsi ini, maka dapat penulis simpulkan bahwa jiwa manusia sangat berpengaruh terhadap penampilan raga dalam bentuk perilaku, jiwa yang bagus lebih disukai oleh manusia yang sehat akalnya daripada sekedar bagus fisiknya, akhlak yang bagus bisa menutupi kekurangan atau cacat fisik atau raga manusia, jiwa atau akhlak yang buruk bisa merusak citra fisik atau raga yang bagus, dan sakitnya jiwa lebih berbahaya daripada sakitnya raga, termasuk sulit mengobatinya.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

1.5. Penelitian Terdahulu ... 8

1.6. Definisi Operasional ... 10

1.7. Metodologi Penelitian... 14


(8)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Definisi Hijab ... 23

2.2. Alasan Perkembangan Hijab dalam Islam ... 27

2.3. Batas Hijab Dalam Islam ... 31

2.4. Definisi Akhlak... 35

2.5. Pembagian Akhlak ... 39

2.5.1. Akhlak Terhadap Allah... 40

2.5.2. Akhlak Terhadap Manusia ... 43

2.5.3. Akhlak Terhadap Lingkungan ... 45

2.6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak 55

BAB III BIOGRAFI SOSIAL MURTADHA MUTHAHHARI 3.1. Daftar Riwayat Hidup Murtadha Muthahhari ... 62\

3.2. Daftar riwayat pendidikan ... 64

3.3. Karir Murtadha Muthahhari... 66

3.4. Karya-karya Murtadha Muthahhari ... 71

3.5. Pemikiran-Pemikiran Murtadha Muthahhari ... 75


(9)

MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI

4.1. Definisi hijab menurut Murtadha Muthahhari ... 79

4.2. Implikasi hijab terhadap akhlak muslimah menurut Murtadha

Muthahhari... 86

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 109

5.2. SARAN ... 110

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

PERNYATAAN KEABSAHAN BIOGRAFI PENULIS


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk hamba-Nya dengan

perantaraan Muhammad SAW, yang berisi petunjuk dan pelajaran untuk

pegangan hidup agar berbahagia di dunia-akhirat. Islam datang untuk

mematahkan ikatan dan kendala-kendala yang menjerat masyarakat saat itu di

dalam segala bidang, di antaranya adalah persoalan wanita.

Islam menganjurkan wanita untuk berhijab, sebagaimana difirmankan

dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 59.



















































Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:" Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi maha

penyayang.1

Ayat di atas menuntut kaum wanita untuk mengulurkan jilbabnya ke

tubuh pada waktu keluar rumah supaya mereka berbeda dari wanita budak dan

tidak seorangpun yang mengganggu mereka.


(11)

2

Ayat-ayat yang berhubungan dengan hal ini tidak merujuk kepada kata

hijab. Ayat-ayat yang merujuk kepada masalah ini, yaitu surat An-Nur ayat 32

dan surat Al-Ahzab ayat 33 dan ayat 53. Kedua surat di atas telah menyebutkan

batasan penutup dan kontak-kontak antara laki-laki dan wanita tanpa

menggunakan kata hijab.2 Ayat yang menggunakan kata hijab merujuk istri-istri

Nabi s.a.w. adalah ayat-ayat yang menjadi khalab dari ayat-ayat tersebut.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka menyeru

kebangkitan wanita melalui permissivisme (serba boleh) tanpa memperdulikan

nilai-nilai akhlak. Keadaan semacam ini membuat para wanita merasa berhak dan

bebas melakukan segala aktivitasnya, salah satu contonya ialah dengan

mengumbar auratnya di tempat umum.

Pada dasarnya aurat adalah sesuatu yang malu bila dilihat. Menurut

pandangan Islam aurat adalah sesuatu yang haram di tampakkkan karena aurat

bisa memancing hafsu birahi. Daya tarik aurat tak jarang seseorang

mendewakannya dan tak jarang seseorang hancur kariernya karena aurat. Bila

aurat bebas terbuka dan berjalan kemana-mana, maka tunggulah hancurnya mala

petaka hidup.

Pada saat ini manusia mengalami suatu masalah yang tidak menghiraukan

nilai-nilai moral, sehingga menimbulkan kehidupan yang serba permissiv atau

2 Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah


(12)

3

serba boleh, yang ditandai adanya akibat munculnya aborsi, pornografi, dan

sebagainya.

Selain itu salah satu faktor ialah Budaya barat yang telah merambah di

kalangan generasi Islam, khususnya dalam aspek interaksi pria dan wanita,

namun sayangnya para generasi Islam tidak menyadari bahwa itu bertentangan

dengan nilai-nilai dan kebudayaan Islam dan justru sebaliknya mereka malah

mengikuti dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa mereka

sadari.3

Dunia semakin maju tetapi di sisi lain manusia kian terbelakang.

Ironisnya demikian melanda para generasi Islam yang merupakan tulang

punggung perjuangan Islam di kemudian hari, sebab tidak semua kemajuan

tersebut berdampak positif bagi generasi Islam.

Di Indonesia dikenal dengan pakaian penutup kepala yang lebih umum

disebut kerudung, tetapi tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab pada

masa Nabi Muhammad ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan

dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Sedangkan di beberapa negara Islam

pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti cadar di Iran,

pardeh di India dan Palestina, charshaf di Turki. Pergeseran makna hijab dari

semula tabir berubah menjadi pakaian penutup aurat perempuan.4

3 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) h.

386


(13)

4

Telah banyak budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya timur yang

berusaha merusak moral bangsa dan masyarakat. Sebagaimana yang telah

dipahami bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama

teknologi informasi, ternyata tidak diikuti dalam bidang akhlak.

Maka jelaslah peran hijab zaman dahulu berperan sebagai penentu bagi

maju-mundurnya suatu bangsa karena setidaknya hijab mencerminkan

kepribadian akhlak atau moral penduduk suatu bangsa ketika itu, terutama para

generasi mudanya. Bahkan lebih jauh, pemakaian hijab pada wanita dapat

menanamkan pendidikan akhlak pada pemakaiannya. Salah satu tokoh terkenal

yang menyerukan digalakkan pemakaian hijab adalah Murtadha Muthahhari.

Hijab yang diperintahkan Islam kepada kaum wanita menurut Murtadha

Muthahhari bukanlah tetap tinggal di dalam rumah dan tidak pernah keluar

darinya, karena tidak ada di dalam Islam indikasi yang mengajak untuk

mengurung wanita. Hijab bagi wanita dalam Islam yang dimaksud adalah agar

wanita menutup badannya ketika berbaur dengan laki-laki, tidak

mempertontonkan kecantikan dan tidak pula mengenakan perhiasan.5

Hijab di dalam Islam berakar pada sebuah masalah yang lebih umum dan

mendasar. Yaitu, ajaran Islam bertujuan membatasi seluruh bentuk pemuasan

seksual hanya pada lingkungan keluarga dan perkawinan di dalam ikatan

pernikahan, sehingga masyarakat hanya merupakan sebuah tempat untuk bekerja

dan beraktivitas. Hal ini berlawanan dengan sistem Barat dewasa ini yang


(14)

5

membaurkan pekerjaan dengan kesenangan seksual. Islam memisahkan

sepenuhnya kedua lingkungan ini.6

Hijab mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan

manusia, sebagaimana di ceritakan Al Alamah Larus bahwa dahulu para wanita

Romawi memakai kerudung bila keluar. Mereka menutupi wajah-wajah mereka,

akan tetapi manakala wanita Romawi tidak berhijab lagi dan mulai meninggalkan

rumahnya, Imperium Romawi mengalami kemunduran hebat.7

Semakin maraknya penyimpangan prilaku yang terjadi dan persoalan lain

berkait dengan wanita telah menjadi sarana baik para prilaku kerusakan untuk

menyerang agama Islam yang suci untuk memicu malapetaka dengan segala

macam bentuk propaganda yang licik yang mempengaruhi terhadap generasi

muda yang lemah dalam aspek agamanya disebabkan mereka belum

mendapatkan tuntunan agama sebagaimana lazimnya.8

Mereka mengatakan bahwa semua aturan dan hukum di dunia sebelum

abad ke dua puluh di dasarkan pada pandangan bahwa laki-laki disebabkan oleh

jenis kelaminnya, lebih mulia dari wanita dan bahwa wanita diciptakan

semata-mata untuk kemanfaatan dan kegunaan kaum laki-laki. Bahwa Islam tidak

mengakui wanita sebagai wanita yang sempurna dan bahwa Islam tidak

menetapkan hukum bagi wanita, yang diperlukan seorang manusia. Mereka

6Ibid,. h. 19.

7 Abdul Hasan Al-Ghafar, Wanita dan Gaya Hidup Modern, Terj, Baharuddin Fanani,

(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h, 37

8 Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab.cet 1, terj. Nashib Mustafa (Jakarta: Lentera,


(15)

6

menambahkan sekali pun Islam adalah agama persamaan dan mengajarkan

persamaan dalam hal-hal lain, namun dalam masalah wanita dan laki-laki, Islam

tidak melaksanakannya. Mereka mengatakan bahwa Islam memberikan hak-hak

deskriminatif dan memihak kepada kaum laki-laki.9

Wanita menjadi mitra kaum laki-laki pada setiap aktivitas dalam berbagai

kegiatan kemasyarakatan dan pemikiran. Kemudian wanita dibedakan dari

laki-laki dengan pemberian kefiminiman serta unsur pesona yang dijadikan Allah

sebagai jalan kebahagiaan di antara mereka (wanita dan laki-laki). Sudah menjadi

rahasia umum, bahwa tempat kembali kebahagian dan stimulasi ini adalah naluri

yang ditiupkan pada tabiat mereka, bukan pada bagian kerja sama yang

mengumpulkan mereka dalam pemikiran dan semangat untuk melaksanakan

aktivitas-aktivitas sosial, keilmuan, dan kebudayaan.10

Jadi, laki-laki menerima wanita sebagai mitra tolong menolong pada

bidang pemikiran dan pergerakan untuk membangun masyarakat serta peradaba,

dan secara naluriah laki-laki menemukan hal-hal menarik dari kefiminan dan

kesempurnaan yang dititipkan pada perempuan.

Oleh karena itu, berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka

merupakan suatu alasan yang mendasar mengapa penulis membahas

permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul “Implikasi Hijab Terhadap

Akhlak Muslimah Menurut Murtadha Muthahhari.”

9 Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 71-72 10 Dr.Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Perempuan dalam pandangan hukum barat dan


(16)

7

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi

masalah pokok dalam tulisan ini adalah :

1. Bagaimana pandangan Murtadha Muthahhari tentang hijab?

2. Bagaimana implikasi hijab menurut Murtadha Muthahhari terhadap

akhlak muslimah?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari ke tiga poin yang menjadi rumusan penelitian ini, maka penelitian

ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan Murtadha Muthahhari tentang hijab.

2. Untuk mengetahui implikasi hijab menurut Murtadha Muthahhari terhadap

akhlak muslimah.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari pembahasan skripsi ini diharapkan berguna untuk:

1. Bahan pengalaman bagi penulis dalam penyusunan karya tulis dan

sekaligus sebagai sumbangan pemikiran dalam meningkatkan mutu

akhalak bagi para perempuan.

2. Bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam mengadakan penelitian

yang berkaitan dengan implikasi hijab terhadap akhlak muslimah.

3. Informasi bagi pembaca dalam rangka meningkatkan mutu akhlak untuk


(17)

8

1.5. Penelitian Terdahulu

Sudah banyak kajian dan penelitian yang membahas pemikiran Murtadha

Muthahhari dari berbagai aspeknya. Namun dalam masalah hijab sejauh penulis

mengetahui hanya beberapa dari skripsi terdahulu yang membahas masalah hijab.

Dan tidak banyak dari penulis-penulis sebelumnya yang mengambil dari

pemikiran Murtadha Muthahhari. Adapun pembahasan mengenai masalah hijab

wanita dalam skripsi-skripsi sebelumnya adalah:

1. “Eksistensi Hijab Wanita menurut Murtadha Muthahhari” oleh Naila Rahmatika Alif, jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin 2012.

Dalam skrispsi tersebut penulis menjelaskan tentang batasan-batasan

dalam Islam yang menimbulkan syahwat agar terhindar dari sikap negatif

dan pelecehan seksual, sehingga tetap terjaga kehormatan wanita dan

mengutip beberapa pemikiran Murtadha Muthahhari.

2. “Hijab Dalam Hukum Islam dan Relevansinya Dengan Hak-hak Perempuan” oleh Muhammad Riyadi Nur Husni, jurusan Ahwalus Syakhsiyah fakultas Syariah 2000. Dalam skrispi tersebut penulis

menjelaskan tentang peran wanita dalam masyarakat dan pendidikan bagi

wanita. Seperti masalah penutup muka, dan masalah perkawinan yang

meliputi poligami dan talak.

3. “Hijab Menurut Konsepsi Al-Qur’an” oleh Masruroh, jurusan Tafsir


(18)

9

menjelaskan tentang tinjauan sosiologis pelaksanaan hijab, pandangan Al-Qur’an tentang hijab dan mengutip beberapa pemikiran Murtadha Muthahhari

4. “Hak-hak Wanita dalam Islam (study komparatif Murtadha Muthahhari

dan Fatimah Mernissi) oleh Khairrunnisa’, jurusan Ahwalus Syakhsiyah fakultas Syariah 2000. Dalam skripsi tersebut penulis membahas tentang

persamaan kedudukan wanita dalam Islam yang tertelak pada pengakuan

otoritas suami dalam menjatuhkan talak dan pengakuan eksistensi dalam

khuluk sebagai salah satu alat dalam pelaksanaan pemutusan perkawinan.

5. “Pemikiran Sayyid Amir Ali dan Murtadha Muthahhari tentang kedudukan perempuan dalam Islam” oleh Siti Rofiqoh, jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin 2005. Dalam skripsi tersebut penulis

membahas tentang kedudukan wanita dalam Islam menurut Murtadha

Muthahhari dilihat dari hak-hak wanita yang terletak pada warisan,

lamaran, mahar, nafkah, dan poligami. Sedangkan menurut Sayyid Amir

Ali dilihat dari sejarah pada masa pra Islam selalu direndahkan dan

wanita sebagai objek pelampiasan seksual.

Dari beberapa buku diatas telah banyak menjelaskan tentang pentingnya

keberadaan hijab. Maka dalam penelitian ini penulis lebih mengkhususkan pada

hijab menurut Murtadha Muthahhari dan implikasinya terhadap akhlak


(19)

10

1.6. Definisi Operasional

Demi mempermudah dalam memahami judul skripsi ini dan mengetahui

arah dan tujuan pembahasan skiripsi ini, maka berikut ini akan dipaparkan

definisi operasional sebagai berikut:

1.6.1. Implikasi

Implikasi berarti mengandung dampak atau pengaruh terhadap

sesuatu.11 Sesuatu yang dimaksud adalah konsekuensi langsung temuan yang

dihasilkan dari suatu penelitian, atau bisa dikaitkan dengan kesimpulan

temuan dari suatu penelitian.

1.6.2. Hijab

Hijab dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki tiga makna,

yaitu: (1). Dinding yang membatasi sesuatu yang lain, (2). Dinding yang

membatasi hati manusia dengan Allah, (3). Dinding yang membatasi hati

seorang untuk mendapatkan harta warisan.12

Makna hijab dapat juga diartikan sebagai pembatas antara bidang satu

dengan bidang yang lain. Jika hijab digunakan pada makna wanita maka

difokuskan pada aurat yang seharusnya ditutupi.

11 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departeman

Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h.232


(20)

11

Jadi makna hijab dapat diartikan sebagai penutup aurat. Yang mana

orang lain ketika memandang tidak bisa secara langsung. Oleh karena itu,

wanita harus menutup tubuhnya didalam pergaulannya dengan laki-laki yang

menurut hukum agama bukan muhrimnya.

1.6.3. Akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa arab (akhlaqun), jamak dari kholaqa,

yang secara etimologi berasal dari “budi pekerti, tabiat, perangai, adat

kebiasaan, perilaku, dan sopan santun”.13

Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan

ibadah, karena iman dan ibadah manusia tidak sempurna kecuali dari situ

muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman

dan takwa dan mempunyai tujuan langsung yang dekat, yaitu harga diri, dan

tujuan jauh, yaitu ridha Allah.14

Jadi akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan

macam-macam kebiasaan. Merupakan suatu kehendak yang membawa

kecenderungan kepada pemilihan kebiasaan yang benar (akhlak terpuji) atau

kebiasaan yang jahat (akhlak tercela).

Sebagai makhluk sosial, akhlak dibutuhkan dalam berinteraksi dengan

masyarakat. Akhlak terpuji menjadi tolak ukur manusia dalam bersosial.

13 Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, (Bakarndung: Remaja Rosdakarya, 2013) h.

140


(21)

12

Akhlak terpuji menjadikan keharmonisan dalam berhubungan dengan sesama

manusia yang berbagai macam karakter dan pandangan hidupnya.sedangkan

akhlak tercela juga menjadi penilaian tersendiri dalam pandangan masyarakat.

Sebab manusia yang memiliki akhlak tercela, tentunya akan membawa

dampak yang dapat merugikan orang di sekitarnya.

1.6.4. Muslimah

Secara harfiah “muslim” itu artinya “berserah diri”. Namun secara

istilah “muslim” adalah orang yang beragama Islam. Berarti muslim adalah

orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tidak

ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, serta

berserah diri kepada-Nya.Sedangkan muslimah adalah sebutan untuk wanita

muslim, yaitu wanita yang beragama islam.

Jadi yang dimaksud dengan akhlak muslimah adalah sifat seorang

wanita yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam

perbuatan, baik perbuatan terpuji atau tercela.

1.6.5. Murtadha Muthahhari

Murtadha Muthahahari adalah salah seorang arsitek utama

kesederhanaan baru Islam di Iran, lahir pada tanggal 2 Februari 1919 di

Fariman, sebuah dusun - kota sebuah praja – yang terletak 60 km dari

Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum syiria yang besar di Iran Timur.


(22)

13

terkemuka yang belajar di Najaf dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir

dan Hijaz sebelum kembali ke Fariman.15

Ia dibesarkan dalam asuhan ayahnya yang bijak hingga usia dua belas

tahun. Pada usia itu Murtadha Muthahhari mulai belajar agama secara formal

di lembaga pengajaran di Marsyhad, yang pada waktu itu sedang mengalami

kemunduran, sebagian karena alasan-alasan intern, dan sebagai karena alasan

eksteren, yaitu tekanan-tekanan Rezalkhan, Otokrat pertama Pahlevi, terhadap

semua lembaga ke Islaman. Tetapi di Masrsyhad Muthahhari menemukan

kecintaan besarnya kepada filsafat, teologi, dan tasawuf.16

Jika dikaitkan dari pengertian diatas mengenai hijab dan akhlak

muslimah maka hijab akan membentuk kepribadian muslimah yang ideal. Di

antaranya:

1) Kokoh pada rohaniyahnya: yakni, akan menghasilkan sebuah

akhlak yang terpuji, sebab rohani manusia sebagai tempat dasar

ditanamkannya ajaran agama. Jika rohaniyahnya kokoh dan baik

maka ajaran agama yang ditanamkan menjadi bermanfaat untuk

dirinya dan orang lain..

2) Kokoh ilmu pengetahuannya: yakni, ilmu sebagai petunjuk untuk

menyuburkan rohani dan keimanan.

15 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2015),

h. 389


(23)

14

3) Kokoh fisiknya: yakni, badan atau jasmani yang sehat dapat

memaksimalkan kerja organ tubuh yang akan membawa

pengaruh positif terhadap kerja rohani.

Dengan demikian, hijab mampu mengantarkan potensi rohaniyah yang

ada dalam diri manusia untuk membentuk akhlak terpuji. Oleh karena itu, akhlak

adalah hasil usaha pembinaan dan bukan terjadi dengan sendirinya.

1.7. Metodologi Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Kajian ilmiah skripsi ini termasuk jenis penelitian kualitatif yaitu

dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang

mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi

yang terdapat dalam kepustakaan buku.

Dari segi obyek penelitian, maka penelitian ini termasuk penelitian

historis, yaitu berupa penelaahan dokumen secara sistematis. Penelitian ini

mengambil obyek studi tentang pemikiran seorang tokoh, tentu saja penelitian

ini berdasarkan dokumen-dokumen karya tokoh yang bersangkutan maupun

tulisan-tulisan mengenai tokoh tersebut yang ditulis penulis lain.

1.7.2. Jenis data dan sumber data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah


(24)

15

1.7.2.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya.

Dalam hal ini penelitian memperoleh data dengan cara melalakukan

pengamatan, pembacaan, pengkajian, pencatatan serta penganalisis

terhadap teks-teks, dokumen-dokumen, buku majalah17 yang

membahas tentang implikasi hijab terhadap pendidikan akhlak menurut

Murtadha Muthahhari.

a) Buku Hijab gaya hidup wanita Islam yang dikarang oleh Murtadha

Muthahhari diterbitkan oleh PT Mizan di kota Bandung pada

tahun 1997.

b) Buku Islam dan tantangan zaman yang dikarang oleh Murtadha

Muthahhari diterbitkan oleh Pustaka Hidayah di kota Bandung

pada tahun 1996.

c) Buku hak-hak wanita dalam Islam yang dikarang oleh Murtadha

Muthahhari diterbitkan oleh Lentera di kota Jakarta pada tahun

1995.

d) Buku kritik atas konsep Moralitas Barat Falsafah Akhlak yang

dikarang oleh Murtadha Muthahhari dterbitkan oleh Pustaka

Hidayah di Bandung pada tahun 1995.

17 Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi, (Bandung:


(25)

16

e) Buku Jejak-jejak Ruhani yang dikarang oleh Murtadha

Muthahhari diterbitkan oleh Pustaka Hidayah di Bandung pada

tahun 1996.

f) Buku Wanita dan Hijab yang dikarang oleh Murtadha Muthahhari

diterbitkan oleh Lintera Basri Tama di Jakarta pada tahun 2000.

1.7.2.2. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah informasi yang tidak secara

langsung mempunyai wewenang dan bertanggung jawab terhadap

informasi yang ada padanya. 18Data sekunder adalah data penunjang

dari data primer. Data ini peneliti peroleh dari dokumen-dokumen,

buku-buku, karya ilmiah, jurnal, surat kabar, dan lain sebagainya, yang

ada hubungan dan relevansinya dengan penulisan karya ilmiah

(skripsi) ini.

a) Buku Pemikiran Pendidikan Islam yang dikarang oleh Abu

Muhammad Iqbal diterbitkan oleh Pustaka Pelajar di Yogyakarta

pada tahun 2015.

b) Khazanah Pendidikan Agama Islam dikarang oleh Khozin yang

diterbitkan oleh PT. Remaja Rosdakarya di Bandung pada tahun

2013.

18Ibid, h. 42


(26)

17

c) Buku Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern yang dikarang oleh

Abdul Rasul Abdul Hassan Al-Ghaffary diterbitkan oleh Pustaka

Hidayah di Bandung pada tahun 1995.

d) Buku Ilmu Pendidikan Islam yang dikarang oleh Abuddin Nata

yang diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Grup di Jakarta

pada tahun 2010.

e) Buku Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan

Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier dikarang

oleh Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi diterbitkan oleh Amzah di

kota Jakarta pada tahun 2005.

f) Buku Anggun Berjilbab dikarang oleh Nina Surtiretna diterbitkan

PT Mizan di kota Bandung pada tahun 1997.

1.7.3. Teknik Analisis Data

Analisis Data dalam penelitian ini menggunakan model content

analysis (analisis isi), yakni investigasi teksual melalui analisis ilmiah

terhadap isi pesan suatu komunikasi sebagaimana tertuang dalam

literatur-literatur yang memilki relevansi dengan tema penelitian ini.19 Model

penelitian ini digunakan untuk mengkaji tentang pemikiran seorang tokoh,

yakni pemikiran-pemikiran tentang hijab yang diperoleh dari beberapa karya

Murtadha Muthahhari dengan teknik analisis data yaitu :

19 Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


(27)

18

1.7.3.1. Deduktif

Dari pengertian umum dibuat eksplisitasi dan penerapan lebih

khusus. Dapat dibedakan dua tahap:

a) Dari pemahaman yang telah digeneralisasi (transendental) dapat

dari yang umum tadi; tetapi segi-segi khusus ini masih tetap

merupakan pengertian umum.20

b) Akhirnya yang umum itu semua harus dilihat kembali dalam yang

individual (‘aku’, atau ‘si anu’). Oleh pemahaman universal tadi individu disoroti dan dijelaskan. Dengan demikian generalisasi

yang dikaji kembali apakah memang sesuai dengan kenyataan

real; kemudian direfleksi kembali.

1.7.3.2. Induktif

Induktif pada umumnya disebut generalisasi. Ilmu eksakta

mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar data itu

menyusun suatu ucapan umum. Dalam penelitian ilmu sosial dan

lebih-lebih ilmu humanistik (humaniora) induksi ini semakin menjadi

case-study. Kasus-kasus manusia yang konkret dan individual dalam

jumlah terbatas dianalisis, dan pemahaman yang ditemukan di

dalamnya dirumuskan dalam ucapan umum. Titik pangkal penelitian

filsafat mengenai hakikat manusia juga selalu ditemukan pada


(28)

19

kenyataan sendiri, atau pada pengalaman yang konkret dan individual.

Fakta-fakta yang ditemukan di dalam dan dari yang singular.21

Pengertian ini memiliki beberapa sifat:

a) Bukan subjektivistis, sampai menjadi tergantung dari perasaan dan

keinginan pribadi, melainkan mengenal objek dalam dirinya

sendiri; meskipun demikian, pengertian ini memang tetap

subjektif, sebab berupa pengalaman si peneliti pribadi;

b) Bukan pragmatis, sampai mencari untung atau kegunaan praktis

tetapi melihat objek menurut adanya; meskipun demikian,

pengertian ini mempunyai konsekuensi praktis bagi seluruh hidup;

c) Bukan abstrak, sampai terjadi hal konkret dan individu tidak

digubris lagi, tetapi justru situasi dan lingkungan konkret

dipahami; meskipun demikian kasus individual dilihat dalam

kebersamaannya dengan seluruh kenyataan di sekitarya.

1.7.3.3. Interpretasi

Dalam pelaksanaan segalam macam penelitian seorang peneliti

akan berhadapan dengan kenyataan. Dalam kenyataan itu dapat

dibedakan beberapa aspek. Bisa berbentuk fakta, yaitu suatu perbuatan

atau kejadian (dari kata latin facere, artinya membuat atau berbuat).

Bisa berbentuk data, yaitu pemberian, dalam wujud hal atau peristiwa

yang disajikan; atau pula dalam wujud sesuatu yang tercatat tentang


(29)

20

hal, peristiwa, atau kenyataan lain yang mengandung pengetahuan

untuk dijadikan dasar keterangan selanjutnya (dari kata latin dare,

artinya memberi). Mungkin juga kenyataan berbentuk gejala, yaitu

sesuatu yang nampak sebagai tanda adanya peristiwa atau kejadian.

Ketiga aspek tersebut akan mendapat titik berat yang berbeda menurut

masing-masing disiplin ilmu.22

1.7.3.4. Komparasi

Pemahaman manusia hanya mungkin dengan melihat hubungan,

tidak hanya di antara ide-ide, melainkan juga dengan manusia terutama

bersifat vital dan komunikatif; yang satu mempengaruhi yang lain.

Memahami sesuatu itu terjadi, sebab peneliti mengerti relasi-relasi dan

fungsi-fungsinya terhadap lingkungannya. Namun walaupun tidak ada

hubungan vital dengan banyak hal atau orang disekitarnya, hanya

membuat komparasi sudah cukup membantu untuk lebih memahami

objek penelitian.

Dalam penelitian, komparasi dapat diadakan di antara tokoh, atau

naskah dan dapat diadakan di antara sistem atau konsep. Perbandingan

hanya dilakukan dalam dua hal atau di antara yang lebih banyak.

Mereka dapat sangat serupa atau berbeda sekali. Selain itu masih

banyak lagi kemungkinan-kemungkinan variasi yang dapat diadakan.23

22Ibid, h. 41


(30)

21

Dalam komparasi tersebut ini sifat-sifat hakiki dalam objek

penelitian dapat menjadi lebih jelas dan tajam. Justru perbandingan itu

memaksa untuk dengan tegas menentukan kesamaan dan perbedaan

sehingga objek dipahami dengan semakin murni.

1.8. Sistematika Pembahasan

Suatu sistematika dalam karya ilmiah yang disajikan akan bervariasi

sesuai dengan aspirasi penulis. Penulis mencoba mendeskripsikan sistematika

pembahasan yang terdiri dari lima bab, sebagai berikut :

Bab pertama memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian, kajian

terdahulu, dan sistematika pembahasan.

Bab dua kajian teori tentang hijab dan akhlak dengan sub, a) Definisi

tentang hijab, b) Alasan perkembangan hijab dalam Islam, c) Batas Hijab dalam

Islam, d) Definisi akhlak, e) Pembagian akhlak, dan f) Faktor yang mempengaruhi

pembentukan akhlak.

Bab tiga memuat tentang biografi sosial Murtadha Muthahhari dengan

sub, (a) daftar riwayat hidup,(b) daftar riwayat pendidikan, (c) karir, (d)

karya-karya, dan (e) pemikiran-pemikirannya.

Bab empat memuat tentang definisi hijab menurut Murtadha Muthahhari,


(31)

22

Bab lima memuat tentang pembahasan seluruh skripsi ini ditutup dengan


(32)

23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab II ini akan dikaji secara teoritis tentang hijab dan akhlak dengan

sub, a) Definisi tentang hijab, b) Alasan perkembangan hijab dalam Islam, c)

Batas Hijab dalam Islam, d) Definisi akhlak, e) Pembagian akhlak, dan f) Faktor

yang mempengaruhi pembentukan akhlak. Selanjutnya akan dijelaskan lebih

detail dalam bab ini.

Wanita sebelum masuk Islam tidak memiliki peranan apa pun. Dirampas

haknya, diperjual-belikan seperti budak, dan diwariskan tetapi tidak mewarisi.

Bahkan sebagian bangsa melakukan hal itu terus menerus dan menganggap

wanita tidak punya ruh, hilang dengan kematian dan tidak tunduk pada syariat,

berbeda dengan laki-laki.24

Ketika Islam datang, hijab merupakan tradisi murahan yang diwariskan

secara turun-temurun tanpa diketahui tujuannya secara pasti. Islam kemudian

meredefinisi pengertian hijab dengan pengertian yang baru untuk menghapus

pemahaman sebelumnya yang tidak diketahui tujuannya. Pemberian nama baru

ini tanpa tendensi atas bentuk penguasaan laki-laki terhadap wanita. Hijab

menjadi bentuk pengejewantahan sopan santun yang wajib dikenakan oleh

wanita. Baik laki-laki maupun wanita diharuskan menerimanya sebagai bentuk

24Dr.Muhammad Anis Qasim ja’far, Perempuan dan kekuasaan (Bandung: Zaman Wacana


(33)

24

tata-krama dan budi pekerti.25 Perihal mengenai hijab dan kebebasan,

orang-orang dahulu kerap melakukan kezhaliman terhadap kaum wanita. Jika mereka

mencintai seorang wanita, maka mereka akan mengurungnya seperti burung

dalam sangkar, tetapi apabila mereka akan menghinakannya, mereka akan

melepaskannya dan menjadi bahan olokan seperti binatang.

Pada masa sekarang ini tampaknya ada kecenderungan di kalangan

masyarakat , khususnya para muslimah menyebut pakaian yang sesuai syariat

dengan hijab, dan menyebut penyandangnya dengan kata muhajjabah (

perempuan yang mengenakan hijab). Meskipun tidak ada kesetiaan dalam

menggunakan istilah tersebut, karena kadang-kadang istilah hijab dan jilbab

dipakai secara bergantian. Padahal sebenarnya terdapat perbedaan penggunaan

istilah hijab yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan istilah hijab

dalam pengertian baru, yaitu yang bermakana sebagai pakaian muslimah atau

jilbab.26

Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang definisi hijab

ini akan dijelaskan sebagai berikut.

2.1. Definisi Hijab

Di dalam Lisan al-‘Arab Ibnu Manzhur mengatakan al-hijab

(sekat/penghalang) berarti al-satr (sekat pembatas). Sebuah benda betul-betul

menjadi sekat dan penghalang benda yang lain. Hijab al-jawf misalnya, adalah

25 Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah Antara Syariat Islam dan Budaya Barat,

(Jogjakarta: Darus Salam, 2004), h. 166


(34)

25

sekat antara rongga dada dan perut. al-Azhari mengatakan bahwa hijab al-jawf

adalah kulit ari antara hati dan isi perut. Dan hijab sendiri artinya adalah sesuatu

yang dipakai untuk menyekat. Dan segala sesuatu yang terletak di antara dua

benda adalah hijab. Bentuk jamak al-hijab adalah al-hujub, bukan yang lain.27

Murtadha Muthahhari berpendapat bahwa hijab wanita dalam Islam yang

dimaksud adalah kewajiban seorang wanita agar menutup badannya ketika

berbaur dengan laki-laki yang menurut agama bukan muhrim dan tidak

dipertontonkan kecantikannya, dan tidak pula mengenakan perhiasan.28

Dalam fiqih istilah mahram ini digunakan untuk menyebut wanita yang

haram dinikahi oleh pria.29 Dan selanjutnya sebagai penunjang penjelasan

pengertian mahram lebih banyak lagi maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa

pendapat para mujtahid sebagai berikut:

Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua

orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.” Menurtut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahram wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab

nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”.30

27

Abdul Hasan Al-Ghafar, Wanita dan Gaya Hidup Modern, Terj, Baharuddin Fanani, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h, 35

28 Murtadha Muthahhari, Wanita Dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, tt) h. 60 29Abdurrahman Ghazali. Fiqh Munakahat, (Bogor: Prenada Media,2003).h.124

30


(35)

26

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti

bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan.

Namun hijab juga bisa disebut dengan “ satr ” (penutup) atau bisa diartikan penghalang, yaitu menyembunyikan atau menghalangi dari pandangan

orang lain dimana pada zaman sekarang dikenal dengan jilbab.31

Pengertian hijab identik dengan makna jilbab, jilbab sendiri mempunyai

makna pakaian gamis atau pakaian yang lebar. Maksudnya adalah pakaian

panjang berbentuk baju kurung yang longgar yang dapat menutupi kepala, dada

dan sebagainya (kecuali yang diperbolehkan tampak). Dapat disimpulkan bahwa

hijab yang digunakan sebagai pembatas atau tirai antara laki-laki dan wanita

yang bukan mahramnya, yaitu sejenis baju karung yang lapang yang dapat

menutupi kepala, leher, dan dada wanita.

Namun sebenarnya hijab bagi wanita tidak dipersyaratkan harus seperti ‘aba’ah (yang terbuat dari kain wol) yang berlaku di Irak. Hijab yang dimaksudkan dalam bahasan ini memiliki bentuk yang bermacam-macam, sesuai

adat dan tradisi suatu masyarakat. Yang penting tidak keluar dari apa yang

dimaksudkan, yaitu penutup tubuh wanita dan bagian tubuh yang dapat

membangkitkan syahwat dan menggairahkan nafsu seksual.32

31

Munawwar khalil, Nilai wanita, (Solo, Romadhoni, 1994) h. 256.

32

Abdul Hasan Al-Ghafar, Wanita dan Gaya Hidup Modern, Terj, Baharuddin Fanani, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h, 35-36


(36)

27

Kesimpulan dari keseluruhan definisi hijab yang telah diuraikan adalah

sebagai penutup aurat. Yang mana orang lain ketika memandang tidak bisa

secara langsung. Oleh karena itu, wanita harus menutup tubuhnya didalam

pergaulannya dengan laki-laki yang menurut hukum agama bukan muhrimnya.

2.2. Alasan Perkembangan Hijab dalam Islam

Orang-orang yang tidak setuju dengan hijab tidak mengakui adanya

perbedaan antara hijab dalam Islam dan non-Islam. Mereka mengatakan hijab

dalam Islam seakan muncul dari kondisi yang rusak tersebut, antara lain:

Pertama, Alasan Filosofis. Persoalan hijab berpusat pada kecenderungan

ke arah kerahiban dan perjuangan melawan kesenangan-kesenangan dalam upaya

menaklukan ego.33 Jika seorang laki-laki dan wanita bercampur dan bergaul

bersama-sama maka keduanya pasti akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan

kesenangan dan kenikmatan, secara sadar atau tidak sadar.

Oleh karena itu dengan mengikuti filsafat rahbaniah (yang menganggap

bahwa wanita adalah kenikmatan terbesar manusia) dan untuk menciptakan

lingkungan yang tenang, maka mereka menggunakan hijab. Maka munculnya

hijab berdasarkan teori ini, karena adanya pandangan bahwa perkawinan sebagai

suatu hal yang kotor, sedangkan membujang sebagai hal yang suci.34

33

Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah Abdurrahmab, (Bandung: Mizan, 1990) h. 36

34

Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, 2000) h. 17


(37)

28

Kedua, Alasan Sosial. Penyebab lain bahwa hijab muncul dikarenakan

semakin tidak adanya rasa aman.35 Ketidakadilan dan ketikdak amanan telah

melanda masa-masa zaman dahulu. Hanya orang kuat dan para penguasa yang

mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupan mereka. Sehingga bagi

siapa saja yang memiliki sedikit harta harus menyembunyikannya dari

pandangan orang lain dengan menguburnya ke dalam tanah.36

Hilangnya rasa aman yang dulu menyertai harta kekayaan juga menimpa

para wanita. Jadi, barang siapa yang mempunyai istri cantik juga harus

disembunyikan dari mata-mata yang selalu mengintainya karena apabila

pengintai itu melihatnya, pasti akan merampas dari suaminya.

Ketiga, Alasan Ekonomi. Perlakuan hijab di dalam kehidupan wanita

bertujuan untuk mencari keuntungan dari pihak wanita. Pria menempatkan

wanita di belakang tirai dan menjaganya agar tidak keluar masuk, membuat

wanita dapat melakukan pekerjaan rumah yang telah diberikan kepadanya secara

lebih baik. Hal ini sama dengan ketika memenjarakan budaknya dan tidak

memperbolehkan budak itu keluar agar dapat melakukan pekerjaan majikannya

dengan lebih baik.37 Jadi hijab hanya untuk mengeksploitasi terhadap wanita.

Keempat, Alasan Etis. Alasan ini berasal dari sikap egoistis dan

kecemburuan oleh pihak pria. Munculnya hijab karena adanya kekuasaan

35 Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Ibid, h. 47

36Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, 2000) h.

27

37


(38)

29

laki atas wanita. Kaum laki-laki menetapkan hijab dan memenjarakannya adalah

kerena kecenderungannya untuk memilikinya secara pribadi.Dia tidak suka ada

laki-laki lain bercampur dengan wanita yang menjadi miliknya walau hanya

sebatas berbicara.38

Kelima, Alasan Psikologis. Alasan ini berasal dari adanya perasaan

rendah diri wanita terhadap pria.Dengan keberadaannya wanita dinomor duakan

dalam memperoleh hak-haknya. Perasaan rendah diri ini muncul karena adanya

dua hal,yaitu : (a) Adanya perbedaan dalam fisik dan karakter antara wanita dan

pria. (b) Adanya kebiasaan seorang wanita mengalami pendarahan pada masa

menstruasi dan pada masa melahirkan anak.39 Menstruasi yang dialami

perempuan merupakan proses biologis yang kodrat dan memiliki implikasi

terhadap posisi perempuan dalam struktur sosial budaya, dan notasinya antara

pria laki-laki dan perempuan.

Inilah lima alasan-alasan perkembangan hijab yang tidak sesuai dengan

Islam. Dalam perkembangannya hijab Islam tidak memiliki alasan-alasan diatas.

Jadi, Islam memiliki alasan tersendiri dan tidak dapat membedakan dengan lima

alasan diatas, yaitu: kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat.40

Bahwasanya manusia menginginkan sesuatu yang dilarang dan yang

mengakibatkan gairah, tetapi jika tidak ditonjol-tonjolkan maka tidak begitu

bernafsu. Begitu pula, dalam pergaulan bebas, semakin banyak rangsangan,

38Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, h. 42 39

Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Ibid, h. 65


(39)

30

semakin berkeinginan seseorang untuk memenuhinya, pada akhirnya akan

membuat seorang kecewa atau frustasi.

Dengan demikian, perlu adanya suatu pembatas, dan nafsu seksual hanya

dapat dipenuhi di dalam lingkungan pernikahan. Dalam keluarga, usaha-usaha

harus diciptakan sedemikian sehingga hubungan pernikahan menjadi kian baik.

Dan adapun merusak hubungan harus ditiadakan.

Pembatas pemenuhan kebutuhan seksual hanya pada pernikahan, apapun

bentuk pemenuhannya menyebabkan hubungan istri kian harmonis karena suami

menjadi sumber kesenangan dan kenikmatan.

Kaitannya dalam masyarakat, hijab Islam tidak mengatakan bahwa

manusia tidak boleh meninggalkan rumah, dan juga tidak mengatakan bahwa

wanita tidak berhak melakukan pekerjaan yang sifatnya sosial atau ekonomi.

Akan tetapi, wanita boleh meninggalkan rumah asal tidak merangsang pria lain

atau tidak menarik perhatian pria lain kepda dirinya.

Ini merupakan kewajiban khusus bagi wanita. Dan tidak ada seorang pria

pun yang berhak memandang dengan nafsu wanita yang meninggalkan

rumahnya. Ini kewajiban khusus bagi pria.41 Jadi masyarakat hanya dapat

dijadikan sebagai tempat beraktivitas dan bekerja.


(40)

31

2.3. Batas Hijab Dalam Islam

Batas Hijab dalam Islam meliputi dua hal, antara lain:

Pertama, Permintaan izin ketika akan memasuki rumah

seseorang.Orang-orang Arab pada masa jahiliyah tidak mengenal adanya budaya minta ketika akan

memasuki rumah orang lain, karena pintu-pintu masuk rumah arab selalu dalam

keadaan terbuka, maka budaya minta izin ketika hendak memasuki rumah orang

lain dianggap suatu penghinaan. Kemudian Islam datang dan mencela kebiasaan

tersebut.

Islam memerintahkan agar jangan memasuki rumah-rumah yang

berpenghuni tanpa minta izin, di karenakan ada dua perkara, yaitu: (a).

Menyangkut soal kehormatan dan terhijabnya seorang wanita. (b). Setiap orang

ketika di dalam rumahnya, ada hal-hal yang terkadang tidak suka dilihat orang

lain, meskipun terhadap sahabat-sahabat karib. Karena bisa saja dua orang yang

bertenu sejalan dalam segala hal, akan tetapi barang kali masing-masing mereka

mempunyai rahasia tertentu yang tidak ingin diketahui orang lain.42 Maka

permintaan izin tidak hanya berlaku terhadap rumah-rumah yang terdapat wanita

didalamnya, akan tetapi merupakan hukum umum.


(41)

32

Dalam Surat an-Nur ayat 28 menyebutkan bahwa :













Artinya: jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Apabila dengan permintaan izin, tetapi tidak seorangpun menjawabnya,

dan kita mengetahui rumah tersebut kosong, maka kita tidak diperbolehkan untuk

masuk kedalamnya kecuali telah mendapatkan izin sebelumnya dari

penghuninya. Di sisi lain, jika penghuni enggan memberi izin karena ada suatu

halangan, maka kembali dan jangan tersinggung.43

Agama Islam bukannya agama yang memberatkan dalam surat an-Nur

ayat 29 terdapat adanya pengecualian.













Artinya: tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.

Di sini terdapat pengecualian. Dapat dipahami dari ayat ini bahwa hukum

meminta izin hanya berlaku bagi rumah-rumah yang berpenghuni, yaitu

43


(42)

33

tempat tertentu di mana terdapat kehidupan manusia yang bersifat khusus dan

tempat bersendiri. Sedangkan jika kondisinya tidak seperti demikian dan

merupakan tempat lalu lalang masyarakat umum serta dibolehkan buat semua

orang, maka hukum ini tidak berlaku sekalipun ia dikhususkan untuk

orang-orang lain.44

Misalnya, jika ingin masuk ke sebuah perusahaan atau toko untuk

membeli sesuatu atau memenuhi kebutuhan tertentu maka tidak diharuskan

berdiri di pintu dan meminta izin untuk masuk, demikian pula halnya wc, wc

umum yang pintunya terbuka. Jadi tidak ada salahnya memasuki rumah yang

tidak berpenghuni tanpa izin bila disana terdapat kebutuhan.

Dari keterangan “di dalamnya ada keperluanmu” bahwa masuknya seorang ke dalam tempat-tempat ini dibolehkan selama ada keperluannya di sana.

Jika tidak, dia tidak boleh mengganggu pemilik tempat-tempat itu dengan

kehadirannya yang hanya iseng.

Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan”. Artinya, Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati

kamu dan tujuan kamu, ketika kamu masuk ke rumah-rumah dan tempat-tempat

lain.

Dengan demikian, permintaan izin hanya berlaku bagi rumah-rumah yang

berpenghuni, yaitu tempat-tempat tertentu yang dimana terdapat kehidupan

44


(43)

34

manusia dan jika kondisinya tidak seperti demikian itu merupakan tempat lalu

lalang masyarakat umum misalnya: wc umum.

Kedua, tata cara hubungan antara pria dan wanita, yaitu: Menjaga

pandangan, menjaga kesucian diri dengan menutup aurat di hadapan orang lain,

dan larangan memperlihatkan perhiasan. Pada dasarnya ada dua pandangan,

pandangan yang pertama adalah melihat orang lain dengan perhatian seakan-akan

sedang menilai penampilan dan cara berpakaiannya, yang kedua memandang

orang lain ketika berbicara dengan orang sebab memandang itu diperlukan dalam

bercakap-cakap.45

Bahwa pandangan yang pertama adalah pandangan liar (bebas),

pandangan yang kedua adalah pandangan yang berlangsung antara kedua belak

pihak dinamakan kekeluargaan. Larangan memandang dengan pandangan liar

yang hanya bertujuan untuk mendapatkan kesenangan, tidak hanya berlaku bagi

bukan muhrim tetapi berlaku bagi yang muhrim. Dan memandang yang di

bebaskan hanya kepada istri atau suaminya.

Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah penutup aurat, bukan sekedar

perhiasan. Islam mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutup anggota

tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya. Langkah pertama yang diambil

Islam dalam usaha mengkokohkan bangunan masyarakatnya adalah melarang

bertelanjang, dan menentukan aurat laki-laki dan wanita. Jadi, menghindari

45I


(44)

35

pandangan dan menjaga kesucian dengan menutup aurat merupakan kewajiban

bagi pria dan wanita.

Tata cara hubungan antara pria dan wanita yang lainnya adalah larangan

memperlihatkan perhiasan. Yang dimaksud ialah para wanita tidak boleh “memperlihatkan perhiasan mereka”, yang pertama adalah “kecuali sesuatu yang nampak”, dan yang kedua adalah “kecuali terhadap suami mereka”.46

Pengecualian yang pertama, diperbolehkan wanita untuk membuka

wajahnya dan kedua telapak tangan. Pengecualian itu mengandung makna bahwa

menutupinya cukup memberatkan, karena hal itu sangat sulit bagi wanita dalam

menjalankan aktivitasnya, seperti: dalam kesaksian, pemeriksaan pengadilan dan

dalam perkawinan yang menutup adanya keterbukaan antar kedua anggota badan

tersebut.47

Pengecualian yang kedua “janganlah memperlihatkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka”. Ayat ini menjelaskan bahwa hanya orang-orang tertentu boleh bagi wanita menampakkan perhiasannya di hadapan mereka secara

mutlak.48

46

Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, 2000) h. 125

47Ibid, h. 127 48


(45)

36

2.4. Definisi Akhlak

Uraian di atas telah menggambarkan bahwa Islam menginginkan suatu

masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia ditekankan karena di

samping akan membawa kebahagiaan bagi individu juga membawa kebahagiaan

bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang

ditampilkan seseorang, manfaatnya adalah untuk orang yang berkaitan.

Selanjutnya akan dijelaskan mengenai akhlak berikut ini.

Akhlak baik atau budi pekerti luhur merupakan hal yang sangat penting

dalam ajaran agam Islam. Buktinya, kehadiran al-Qur’an sebagai rujukan utama

manusia baik dalam berinteraksi baik dengan Tuhan, maupun dengan sesama

makhluk-Nya, banyak meberikan pedoman tentang masalah ini. Sebagai seorang

muslim, teladan yang sangat penting untuk dijadikan sebagai panutan dalam

pribadi dan akhlak sehari-hari adalah Nabi Muhammad saw. 49

Akhlak dalam islam jauh lebih sempurna ditimbang akhlak yang lainnya.

Sebab akhlak dalam islam sangat komprehensif, meyeluruh dan mencakup

berbagai makhluk yang diciptakan Allah. Hal yang demikian dilakukan karena

secara fungsional seluruh makhluk satu sama lain saling membutuhkan. Dengan

demikian, masing-masing makhluk akan merasakan fungsi dan eksistensinya di

dunia ini.

49

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012. Cet. Ke-2), h. 13


(46)

37

Secara etimologis, kata Akhlak berasal dari Bahasa Arab yang merupakan bentuk jama’ dari kata (khuluq) yang artinya: (a) tabiat, budi pekerti, (b) Kebiasaan atau adat, (c) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, (d) agama, dan (e)

kemarahan (al-ghadab).50

Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam

jiwa (manusia) yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa

memerlukan pemikiran ataupun timbangan.51 Sedangkan menurut Ibnu

Miskawaih definisi akhlak ialah keadaan jiwa yang mendorong ke arah

melakukan perbuatan-perbuatan dengan tanpa pemikiran dan pertimbangan.52

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam mu’jamu al-wasith, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa,

dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa

membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.53 Selanjutnya di dalam kitab dairotu

al-ma’arif secara singkat, Abdul al-Hamid menjelaskan tentang akhlak adalah

sifat-sifat mannusia yang terdidik.54

Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan

macam-macam kebiasaan. Jadi, merupakan suatu kehendak yang membawa

50 Ensiklopedi Islam, Akhlak (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2015), h. 130 51 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III (Mesir: Isa Bab al-Balaby, tt), h. 53

52Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi al-Tarbiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), h.

25

53 Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), h. 202 54 Abd al-Hamid, Dairah al-Ma’arif, II (Kairo: Asy-sya’b, t.t), h. 436


(47)

38

kecenderungan kepada pemilihan kebiasaan yang benar (akhlak terpuji) atau

kebiasaan yang jahat (akhlak tercela).

Pengertian akhlak lebih tepat difokuskan pada substansinya bahwa akhlak

adalah sifat yang telah terpatri dan melekat dalam jiwa seorang manusia untuk

melakukan perbuatan-perbuatan secara sponstan dan mudah, tanpa dipaksa atau

dibuat-buat. Sejatinya, akhlak manusia mencakup tentang kesadaran diri,

terutama tentang cara merefleksikan nilai-nilai ajaran agama yang diyakini ke

dalam kehidupan kesehariannya.55

Jika dikaitkan pada konteks kehidupan sosial, maka terdapat manusia

yang berakhlak baik dan terdapat pula yang berakhlak buruk, bergantung pada

baik dan buruknya perbuatan yang dilakukan oleh mereka.

Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang

bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Secara

substansial tampak saling melengkapi. Dan dari definsi tersebut dapat dilihat

lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak:56

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.

Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu

perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur

55 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf , ibid, h. 4

56


(48)

39

atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat

akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu, perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek

seperti berkedip, tertawa dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak.

Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan

dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang

melakukan perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan,

tekanan atau ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke

dalam akhlak dari orang yang melakukannya.

Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan sesungguhnya, bukan main-main atau karena sandiwara. Jika kita menyaksikan

orang berbuat kejam, sadis dan jahat, tapi kita lihat perbuatan tersebut kita lihat

dalam film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak.57

Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata

karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau kaena ingin mendapatkan

sesuatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena

Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.

57


(49)

40

2.5. Pembagian Akhlak

Sasaran perbuatan akhlak atau muara akhlak adalah ruang lingkup

pelaksanaan akhlak, yaitu tujuan dimanifestasikannya perbuatan akhlak. Secara

kategoris ruang lingkup atau muara pelaksanaan perbuatan akhlak itu ada 3

(tiga): (1) akhlak terhadap Allah, (2) akhlak terhadap sesama manusia, (3) akhlak

terhadap lingkungan. Adapun ulasan detail muara akhlak tersebut dapat

diperhatikan sebagai berikut:58

2.5.1. Akhlak Terhadap Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan

yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada tuhan

sebagai khalik. Sikap atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan

akhlaki sebagaimana telah disebutkan diatas.Sekurang-kurangnya ada empat

alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah.

Pertama, karena Allah lah yang menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan ke luar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk.

Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat al-Thariq ayat 5-7:











5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan?

6. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,


(50)

41

7. yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.

Dengan demikian sebagai yang diciptakan sudah sepantasnya

berterima kasih kepada yang menciptakanNya.

Kedua, karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, di

samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.

Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Nahl ayat 78:











Artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Ketiga, karena Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan

sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan

makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan

sebagainya. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat

al-Jatsiyah ayat 12-13:




















(1)

108

mulia dan bertujuan demi anaknya bukan untuk dirinya sendiri. Perbuatan

tersebut meskipun mengandung nilai-nilai agung, namun tidak dapat diasumsikan

sebagai perbuatan akhlaki disebabkan aturan penciptaan dan naluri alamiah

seorang ibu yang mendorong melakukan perbuatan tersebut.

Muthahhari menggolongkan perbuatan manusia menjadi dua yaitu

perbuatan alami yang pelakunya tidak pantas dipuji, dan perbuatan akhlaki yang

patut dipuji. Contoh yang pertama seperti berusaha membela diri ketika dihina.

Perbuatan ini lahir secara alami karena adanya kecenderungan mempertahankan

diri pada diri manusia, sehingga tidak layak mendapat pujian. Berbeda dengan

perbuatan akhlaki, yang patut dipuji dan disanjung. Manusia akan kagum

melihatnya. Nilai-nilai akhlaki tidak dapat dibandingkan dengan nilai material.

Contoh sederhana adalah memaafkan kesalahan orang lain.

149

Maka hijab memiliki dampak positif terhadap akhlak seseorang. Hijab

dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat diantaranya: menjaga

kehormatan diri, kesopanan mengendalikan hawa nafsu, mengajarkan hidup

secara sederhana, mendidik rasa malu. Jika seorang wanita meninggalkan

rumahnya dengan berhijab dengan batas-batas yang telah disebutkan diatas, hal

ini menyebabkan penghormatan yang lebih besar, sehingga dapat menghindarkan

adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan

santun.

149


(2)

109

BAB V

PENUTUP

Pada bab V ini akan dikaji tentang evaluasi skripsi ini. Dengan uraian

lebih detail yaitu kesimpulan dan saran tentang implikasi hijab terhadap

akhlak muslimah menurut Murtadha Muthahhari. Selanjutnya akan dibahas

lebih detail sebagai berikut:

A.

Kesimpulan

Jika dikaitkan mengenai hijab dan akhlak muslimah maka hijab

akan membentuk kepribadian muslimah yang ideal. Di antaranya: 1),

Kokoh pada rohaniyahnya: yakni, akan menghasilkan sebuah akhlak yang

terpuji, sebab rohani manusia sebagai tempat dasar ditanamkannya ajaran

agama. Jika rohaniyahnya kokoh dan baik maka ajaran agama yang

ditanamkan menjadi bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, 2), Kokoh

ilmu pengetahuannya: yakni, ilmu sebagai petunjuk untuk menyuburkan

rohani dan keimanan, 3). Kokoh fisiknya: yakni, badan atau jasmani yang

sehat dapat memaksimalkan kerja organ tubuh yang akan membawa

pengaruh positif terhadap kerja rohani.

Dengan demikian, hijab mampu mengantarkan potensi rohaniyah

yang ada dalam diri manusia untuk membentuk akhlak terpuji. Oleh

karena itu, akhlak adalah hasil usaha pembinaan dan bukan terjadi dengan


(3)

110

B.

SARAN

Dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami perkembangan

teknologi yang cukup signifikan, pendidikan moral dan akhlak sangat

diperlukan. Pendidikan sekarang lebih berorientasi bagaimana mencetak

lapangan pekerjaan, tidak memperhatikan aspek afektif dan aspek

psikomotorik anak. Oleh sebab itu antara pendidikan yang berorientasi

kognitif dan afektif serta psikomotorik harus mendapat respons yang sama

dan perlunya pembinaan akhlak sejak dini.

Modernitas yang dikembangkan di Barat mengenai gaya hidup

sangat tidak baik dan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bila

wanita-wanita di Indonesia menerapkan gaya hidup orang Barat, maka

akan terjadi banyak kemaksiatan dan perzinaan dimana-mana.Ini tidak

berarti masyarakat indonesia tidak peduli dengan perubahan, tetapi

bagaimana melakukan penyesuaian yang tidak mengorbankan esensi


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah Abdurrahmab, (Bandung: Mizan, 1990)

2. Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)

3. Abdul Hasan Al-Ghafar, Wanita dan Gaya Hidup Modern, Terj, Baharuddin Fanani, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993)

4. Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, 2000) 5. Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2000)

6. Dr.Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Perempuan dalam pandangan hukum barat dan Islam, (Yogyakarta: Suluh press, 2005)

7. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994)

8. Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, (Bakarndung: Remaja Rosdakarya, 2013)

9. Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi, (Bandung: Angkasa, 1987)

10. Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),

11. Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990),

12. Soenarjo,et.,al, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: PT Kumudasmoro,1994) 13. Dr.Muhammad Anis Qasim ja’far, Perempuan dan kekuasaan (Bandung: Zaman

Wacana Mulia, 1998)

14. Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah Antara Syariat Islam dan Budaya Barat, (Jogjakarta: Darus Salam, 2004),

15. Nina Surtiretna, Anggun Berjilbab, (Bandung: PT Mizan, 1997)

16. Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002)

17. Abdul Halim Abu Syuqqoh,Kebebasan Wanita jilid 4, terj. As’ad Yasin, (jakarta: Gema Insani Press, 1999)


(5)

18. Munawwar Khalil, Nilai wanita, (Solo, Romadhoni, 1994)

19. Ensiklopedi Islam, Akhlak (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2015) 20. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III (Mesir: Isa Bab al-Balaby, tt)

21. Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi al-Tarbiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), 22. Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972)

23. Abd al-Hamid, Dairah al-Ma’arif, II (Kairo: Asy-sya’b, t.t)

24. Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, (1997),

25. M. Shollihin dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika dan Makna Hidup,

(Bandung: Nuansa, 2005),

26. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996, cet. ke 3)

27. M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2007),

28. Kahar Masyhur, Membina moral dan akhlak, (Jakarta: PT. Rineka cipta, 1994) cet 1, 29. HA. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka setia, 1997) cet 1

30. Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet II

31. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), cet IV

32. H.M. Arifin, Ilmu pedidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)

33. Murtadha Muthahhari, Kritik Islam terhadap Materialisme,terj. Ahmad Kamil (Jakarta: Al-Huda,2001)

34. Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah Pengantar Pemikiran Shadra, terj. Hamid Algar (Bandung: Mizan, 2002)

35. Haidar Baqir, Murtadha Muthahhari sang Mujahid, Sang Mujtahid, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1998)

36. Hamid Algar, Hidup dan karya Murtadha Muthahhari, (Bandung: Mizan, 2002)

37. Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama, terj. Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1994)

38. Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak Rohani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) 39. Zakiyah Darajat, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. III

40. Murtadha Mutahhari, Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, terj. M.hashem, (Jakarta:Lentera, 1994),


(6)

41. Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlak Karimah, (Bandung: CV Diponegoro, 1985) , cet ke III

42. Murtadha Muthahhari, Tarbiyah al-Islamiyah, terj: Muhammad Bahruddin (Depok: Iqra’ Kurnia Gemilang, 2005)

43. Khalid Ahmad Asy-Syuntuh, Pendidikan Anak Putri dalam keluarga Muslim, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993)

44. Ibnu Mustafa, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, (Bandung: Al-Bayan, 1987)

45. Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2015),

46. Yusuf Qordhowi, Fatwa-fatwa Kontemporer, terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insan Press, 1999)

47. Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, Dunia Wanita Dalam Islam, terj. Muhammad Abdul Qodir Al-Kaf, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000)

48. Abu Al-Ghifari, Kudung Gaul Berjilbab Tetapi Telanjang, (Bandung: Mujahid, 2003) 49. Murtadha Muthahhari, Etika Seksual dalam Islam, (Jakarta : Lentera Basritama, 1996) 50. Abdul Aziz El-Quussy, Ilmu Jiwa Prinsip-prinsip dan Implementasinya dalam

Pendidikan, terj. Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)

51. Kartini Kartoni, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, (Bandung: Alumni, 1981) 52. Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)

cet III,

53. An-Nadhiroh,Selamatkan Dirimu Dari Tabarruj, (Yogyakarta: Al-Mahalli Press, 1995) 54. Fadwa El Guindi, Jilbab Antara Keselehan, Kesopanan Dan Perlawanan, terj.

Mujiburrohman (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003)

55. Syafi`i, Memahami Teologi Syi`ah Murtadha Muthahhari, (Semarang : Rasail, 2004) 56. Murtadha Muthahhari, Kebebasan Berpikir dan Berpendapat dalam Islam, (Jakarta:

Risalah Masa, 1990)

57. Juneman, Psychology of Fashion Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab, (Yogyakarta: LKiS, 2010)

58. Murtadha Muthahhari, Bedah Tuntas Fitrah, Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Kita, (Jakarta : Citra, 2011)

59. Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, (Mizan, Bandung, 1994)

60. Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1995)