IMPLEMENTASI KAIDAH AL ‘ADAH MUHAKKAMAH DALAM PERUBAHAN SIKLUS HAID PERSPEKTIF FIKIH SHAFI’I.

IMPLEMENTASI KAIDAH AL ‘A>DAH MUH}AKKAMAH DALAM
PERUBAHAN SIKLUS HAID PERSPEKTIF FIKIH SH>>AFI’I>

TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Keislaman
Konsentrasi Shari’ah

Oleh:
Abdur Rohman Falahi
(F02212001)

KONSENTRASI SHARI’AH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017

Judul Tesis
Penulis


ABSTRAK
:Implementasi Kaidah Al-‘A>dah Muh}akkamah Dalam Perubahan
Siklus Haid Perspektif Fikih Syafi’i
:Abdur Rohman Falahi

Banyak hal yang membuka peluang terhadap berbagai penafsiran shari’ah
yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Segala hal yang berkenaan dengan
haid pun tidak lepas dari berbagai penafsiran ulama fiqh. Tesis ini menganalisis
tentang urgensi kaidah fikih al-‘A>dah Muh}akkamah dalam penetuan hukum haid,
juga mengenai pandangan dan pemikiran fikih Sh>afi’i permasalahan haid
khususnya pada masalah wanita yang haidnya mengalami perubahan siklus serta
akibat hukum yang ditimbulkannya.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menempatkan
riset pustaka (library reseach) sebagai eksplorasi sumber datanya, yakni peneliti
mengacu dan menelaah pada data-data karya ilmiah berupa kitab-kitab kuning
klasik dan modern serta buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan haid.
Penelitian ini menggunakan metode analisis interaktif. Artinya analisis dilakukan
secara simultan dan terus menerus sejak pengumpulan data dilakukan hingga
selesainya pengumpulan data dalam waktu tertentu melalui proses data reduction,
data display dan conclution

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kaidah Al-‘A>dah Muhakkamah
berperan penting dalam kaitannya menetapkan hukum haid pada wanita yang
mengalami perubahan siklus darah haidnya. Oleh karena itu jika haid wanita
mengalami perubahan setiap bulannya maka darah yang dihukumi haid adalah
darah yang keluar sesuai kebiasaanya pada bulan-bulan sebelumnya. Sehingga
akibat hukum yang ditimbulkan adalah ketidak bolehan melaksanakan hal-hal
yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid, seperti shalat, puasa, bersetubuh,
t}awa>f, t}alaq, dan berdiam diri di masjid>.
Mengingat akan pentingnya mengetahui dan mempelajari dinamika haid
yang terjadi pada seorang wanita, maka disarankan untuk sering mengikuti
diskursus tentang haid. Karena bagi wanita yang sedang keluar darah haid
mempunyai implikasi hukum yang berlaku kepadanya, yaitu wajib dan tidaknya
dalam melaksanakan shalat serta puasa.

vi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
Halaman

SAMPUL DALAM ..........................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN .........................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................

iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI .....................................................................

iv

MOTTO ...........................................................................................................

v


ABSTRAK .......................................................................................................

vi

KATA PENGANTAR .....................................................................................

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................

ix

DAFTAR ISI ....................................................................................................

x

BABI PENDAHULUAN .................................................................................

1


A. Latar Belakang Masalah ................................................................

1

B. Identifikasi Masalah ......................................................................

5

C. Rumusan Masalah ..........................................................................

6

D. Tujuan Penelitian ..........................................................................

6

E. Kegunaan Penelitian ......................................................................

6


F. Kerangka Teoritik ..........................................................................

7

G. Penelitian Terdahulu ......................................................................

11

H. Metode Penelitian ..........................................................................

13

I. Sistematika Pembahasan ...............................................................

16

BAB II TINJAUAN UMUM KAIDAH AL-‘A>DAH MUHAKKAMAH ....

18


A. Dasar Hukum Kaidah al-‘A>dah Muhakkamah ...............................

18

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

B. Sejarah Munculnya al-‘A>dah ........................................................

22

C. Pengertian al-‘A>dah .......................................................................

26

D. Kaidah Cabang al-‘A>dah Muhakkamah .........................................

31


E. Kriteria al-‘A>dah dalam Penetapan Dasar Hukum ........................

38

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAID...........................................

45

A. Pengertian Haid ..............................................................................

45

B. Proses Terjadinya Haid ..................................................................

53

C. Implementasi Kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam Perubahan
Siklus Haid .....................................................................................

63


D. Gangguan Haid dan Hal-hal Yang Mempengaruhi Perubahan
Siklus Haid .....................................................................................

BAB

IV

ANALISIS

IMPLEMENTASI

KAIDAH

67

AL-‘A>DAH

MUHAKKAMAH PADA PERUBAHAN SIKLUS HAID ...............


73

A. Implementasi Kaidah al-‘A>dah Muh}akkamah Dalam Perubahan
Siklus Haid ....................................................................................

73

B. Urgensi Kaidah al-‘A>dah Muh}akkamah Dalam Penetapan Haid
Pada Wanita ..................................................................................

80

C. Ketentuan Hukum Pasca Perubahan Siklus Haid .........................

83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................

89


DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

93

xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Haid secara
etimologi berarti sesuatu yang mengalir1. Sedangkan secara terminologi
haid merupakan darah yang mengalir dari pangkal rahim wanita setelah
umur baligh dalam keadaan sehat2. Rahim merupakan salah satu organ
yang hanya dimiliki oleh perempuan. Berbagai persoalan muncul
dikarenakan perempuan memiliki rahim. Persoalan yang dihadapi
perempuan memiliki implikasi yang luas dalam penataan sosial. Karena
memiliki rahim, perempuan harus hamil, melahirkan, menstruasi dan
menopause. Fakta biologis ini secara langsung membedakan perempuan
dengan laki-laki secara kodrati.
Masalah haid, termasuk materi yang kedudukannya sangat penting
dalam Islam, permasalahan haid masih dikategorikan sebagai materi yang
sangat rumit. Karena untuk mengetahui keterangan seputar materi yang
tercakup di dalamnya, diperlukan ketekunan dalam menghafal hadithhadith Nabi dan athar-athar sahabat yang berbicara tentangnya. Di
samping itu, diperlukan juga pemahaman yang mendalam dengan

1

Ah}mad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progresif,1997), 314.
2
Shams al-Di>n Ibn ‘Ali> al-‘Abba>s al-Ramli>, Niha>yah al-Muhta>j, Juz I (Kairo: Mustafa al-Bab alHalabi, 1938), 323.

1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

menelaah penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh para pakar yang
secara khusus mendalami masalah tersebut3.
Masalah haid dijelaskan dalam QS Al-Baqa>rah ayat 222:

‫فاعت ل ا ال ساء في ال حيض ا‬

ً‫يسأل ك ع ال حيض قل ه أذ‬

ّ‫تقرب ه حت يط ر فإذا تط ر فأت ه م حيث أمركم اّ إ ا‬
‫يحب ال تط ري‬

‫يحب الت ابي‬

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah
kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri4.

Pengetahuan tentang haid beserta permasalahan-permasalahan
yang terdapat di dalamnya sangatlah penting diketahuai dan dipelajari
oleh semua orang khususnya bagi seorang wanita, sehingga kaum wanita
wajib belajar tentang hukum-hukum haid. Jika tidak, maka suami atau
wali wanita tersebut yang mengerti tentang hukum haid wajib
mengajarkan. Adapun jika suami tidak mengerti, maka suami tersebut
harus mengizinkan isterinya untuk belajar kepada orang yang mengerti.

3

Abdu al-Rahman Muhammad Abdulla>h al-Rifa>’i, Masa>’il al-Haid Wa al-Nifa>s Wa al-Istiha>d}hah
Fi al-Sunnati al-Nabawiy>. Terj. Mahfud Hidayat Lukman dan Ahmad Muzayyin Safwan,
Tuntunan Haidh, Nifas & Darah Penyakit Tinjauan Fiqih dan Medis, (Jakarta: Mustaqiim, 2003),
20-21.
4
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya,
(Departemen Agama: 1971), 54.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Haram hukumnya bagi suami melarang isteri yang tengah belajar ilmu
haid, kecuali jika suami tersebut belajar kemudian mengajarkan kepada
isteri5. Bahkan menurut al-Dimya>ti6, mengetahui hukum-hukum haid
sama halnya mempelajari setengah ilmu agama.
Terdapat beberapa permasalahan dalam haid diantaranya adalah
mengenai masa sedikitnya haid (aqal al-h}ayd}), umumnya masa haid

(gha>lib al-h}ayd}), dan sebanyak-banyaknya masa haid (akthar al-h}ayd}).
Permasalahan-permasalahan tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam

al-Qur’>an dan al-Hadi>th, permasalahan tersebut ditetapkan melalui
metode istinba>t} yang berdasarkan istiqra>’ (kesimpulan dari khusus ke
umum) yang dilakukan Imam al-Sha>fi’i> melalui research yang dilakukan
terhadap beberapa wanita di daerah dan pada zamannya7.
Begitu juga mengenai permasalahan tentang kebiaasaan haid yang
terjadi pada wanita dalam setiap bulannya yang disebut ‘>adat al-h}ayd}.
Kebiasaan haid (‘>adat al-h}ayd)}, tidak dijelaskan secara rinci dalam al-

Qur’>an dan al-Hadi>th. ‘A>dat al-h}ayd} disinggung dalam beberapa kaidah
fikih (al-Qawa>id al-Fiqhiyyah)8 yaitu masuk dalam kaidah lima dasar

5

Abu> Muh}ammad >A{hmad Ramli> ‘Abd al-Maji>d, Dali>l al-Mah}i>d} (Gresik: ar-Rau>d}ah, 1425 H/ 2004
M), 9.
6
Abu> Bakr Ibn Uthma>n bin Muhammad al-Dimya>t}i> , I’a>nah at-T{a>libi>n, Juz 3 (Beirut: Da>r al-Fikr,
t.t), 214.
7
Ibra>him al Ba>ju>ri>, Ha>syiyah al-Ba>ju>ri> ‘ala ibn Qa>sim al-Gha>zy> (Surabaya: al-Hida>yah,tt), 111
8
Qawa>id secara bahasa adalah prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu. Sedangkan
Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah Qawa>id al-Fiqhiyyah
merupakan prinsip-prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat melalui pemikiran yang
mendalam dari dalil-dalil yang terperinci yang mencakup keseluruhan. (Lihat Al-Mawa>hib AlSaniyyah, Abdullah bin Sulaima>n al-Jarhazy>), 28.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

(Qawa>id al-K}hamsah al-Us}uliyah). Salah satu kaidah tersebut adalah al
‘a>dah muh}akkamah.
Kaidah ini merupakan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh
yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat, dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu
hukum dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa
mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat.
Kebiasaan lama keluarnya darah haid pada seoang wanita dalam
setiap bulannya dapat dijadikan sandaran penentuan masa haid. Misalnya
kalau setiap bulan darah haidnya keluar selama 5 hari, maka berarti adat
haidnya 5 hari demikian seterusnya9. Pada contoh tersebut bisa ditentukan
dengan mudah manakala kebiasaan keluar darah haidnya teratur dalam
setiap bulannya.
Penentuan masa haid akan mengalami kesulitan ketika dalam
setiap bulan mengalami perubahan masa keluarnya darah haid, hal ini
dikarenakan banyak faktor, menurut artikel kesehatan menyebutkan
pengaruh obat-obatan adalah faktor dominan yang mempengaruhi
perubahan siklus haid dalam setiap bulannya10. Permasalan seperti tersebut
di atas memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu sejauh mana kaidah al-

‘A>dah Muh}akkamah menyikapi permasalahan ini kaitannya dengan
perubahan siklus haid yang dialami oleh seorang wanita.
Ibra>him al Ba>ju>ri>, Ha>syiyah al-Ba>ju>ri> ‘ala ibn Qa>sim al-Gha>zy,> (Surabaya: al-Hida>yah,tt), 111.
http://wolipop.detik.com/read/penyebab-utama-haid-tidak-teratur

9

10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

B. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas dapat penulis jelaskan
ruang lingkup dan identifikasi masalah penelitian ini. Masalah-masalah
dalam penelitian ini meliputi keberadaan kaidah fikih Al-‘>adah

Muh}akkamah dalam menentukan haidnya seorang wanita yang mengalami
perubahan siklus haid, masalah lainnya yaitu meliputi kajian kaidah fikih

al-‘>Adah Muh}akkamah dalam menyikapi perubahan siklus haid pada
wanita menurut pemikiran fikih haid mad}zhab Syafi’i. Hal inilah yang
menggugah penelitian ini untuk kemudian dipaparkan secara jelas
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perubahan kebiasaan
haid (‘a>dat al-h}ayd}) seorang wanita sekaligus akibat hukum yang
ditimbulkannya dengan mengacu pendapat-pendapat para pakar dan ulama
mazhab Syafi’i.
C. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang telah dilakukan, maka dapat
dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah

urgensi

kaidah

al-‘>Adah

Muh}akkamah

kaidah

al-‘>Adah

Muh}akkamah dalam

dalam

penentuan hukum haid?
2. Bagaimanakah

peranan

perubahan siklus haid menurut pemikiran fikih Syafi’i?
3. Bagaimanakah implementasi kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam
perubahan siklus haid?

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis urgensi kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam
penentuan hukum haid.
2. Untuk menganalisis pemikiran fikih Syafi’i tentang kaidah al-‘>Adah

Muh}akkamah terhadap perubahan siklus haid.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, di
antaranya sebagai berikut:
1. Penelitian ini menambah khazanah keilmuan yang luas tentang
persoalan haid dan implikasinya terhadap kaidah fikih al-‘>Adah

Muh}akkamah.
2. Penelitian ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas
khususnya wanita yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini, yaitu tentang perubahan siklus haid pada
wanita.
F. Kerangka Teoritik
1. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti, sesuatu yang dipandang
baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘Urf dalam pengertian
terminologi sama dengan istilah al-‘A>dah (kebiasaan), yaitu:

‫م حجة العق ل تلقته الطباع السلي ة بالقب ل‬

‫ما استقر في ال ف‬

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

‚sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya
diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar‛11

‘Urf berarti sesuatu yang telah dikenali masyarakat dan
merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perbuatanperbuatan atau pantangan-pantangan, ‘urf bisa disebut juga dengan
adat. Menurut Syara’, tidak ada perbedaan antara ‘Urf dan al-‘>adat
(adat kebiasaan). Namun dalam pemahamannya biasa diartikan bahwa
pengertian ‘Urf lebih umum dibandingkan dengan pengertian al-‘>adat
karena al-‘>adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah
biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan merupakan hokum
tertulis,

sehingga

ada

sanksi-sanksi

terhadap

orang

yang

melanggarnya12.
Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia
berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk
ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al-

walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan dan
kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan
kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia
menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda
dengan ijma’, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja,
tidak termasuk manusia secara umum13.

11

Abdulla>h ibn Sulai>ma>n al-Jarhazy>, al-Mawa>hib al-Saniyyah, (Surabaya, al-Hida>yah), 122.
Muin Umar dkk, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:Depag RI,tt), 150.
13
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (kaidah hukum Islam), (Jakarta Pustaka Amani), 117.

12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

2. Macam-macam ‘Urf

‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan
adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan
manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan
yang haram dan tidak mengharamkan kewajiban. Sedangkan adat
yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi
bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram atau
membatalkan kewajiban14.
Penggolongan macam-macam adat atau ‘Urf itu juga dapat
dilihat dari beberapa segi:
a. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘Urf
ada dua macam:
1) ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan
kata-kata atau ucapan. Contohnya, kata Waladun secara
etimologi artinya ‚anak‛ yang digunakan untuk anak laki-laki
atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan
karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan
dengan tanda perempuan (Mu’annath). Penggunaan kata

Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi
waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’>an, seperti
dalam surat al-Nisa>’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam

14

Jalal al-Di>n Abdu Al-Rahma>n Abi> Bakr al-Suyu>t}i, al-As}yba>h wa al-Nad}ha>ir, (Surabaya,alHida>yah tt), 130.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali,
berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.
2) ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan.
Umpamanya; (1) jual beli barang-barang yang enteng, murah
dan tidak begitu bernilai (ba>y’mu’athah) transaksi jual beli
dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas
barang yang telah diambilnya, tanpa mengucapkan ijab qabul,
karena harga tersebut sudah dimaklumi bersama15.
b. Ditinjau dari segi ruang lingkup penggunaannya.

1) Al-‘>adat atau ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum
berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa
memandang

negara,

bangsa

dan

agama.

Contohnya:

menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan
kepala tanda menolak atau meniadakan, atau misalnya
kebiasaan orang mengembala hewan ternak itu di siang hari
maka kalau ada yang menggembalakan hewan ternaknya di
malam hari, maka dianggap aneh atau ganjil dan tidak seperti
kebiasaan umumnya16.
2) Al-‘>adat atau ‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan
oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu tertentu;
tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu.
15

Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (PT. al-Ma’arif,
tt), 110.
16
Jalal al-Di>n Abdu Al-Rahma>n Abi> Bakr al-Suyu>t}i, al-As}yba>h wa al-Nad}ha>ir, (Surabaya,alHida>yah tt), 131.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

c. Dari segi penilaian baik dan buruk:
1) Adat yang shahi>h, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan,
diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama,
sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya, memberi
hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktuwaktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi)
saat hari raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas
suatu prestasi.
2) Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat
meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan
agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contohnya,
berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan
menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan
yang baru lahir, kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah)17.
G. Penelitian Terdahulu
Sejauh penelusuran peneliti, upaya mengkaji ulang (rethinking)
terhadap permasalahan haid secara lebih mendalam dalam tinjauan
Hukum Islam di era modern sudah banyak dilakukan. Dari sepanjang
pengamatan peneliti terhadap telaah buku, kitab, ataupun karya tulis
(tesis), peneliti sudah banyak menemukan yang secara khusus membahas
tentang haid, seperti:

17

Amin Syarifuddin, Ushul Fikih 2, (Jakarta:Prenada Media Grup, 2000)., 389-392.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

1. Larangan Hubungan Intim dengan Isteri yang Sedang Haid (Suatu
Tinjauan Filsafat Hukum Islam)18. Tesis ini meneliti tentang ‘illat dan
hikmah dari larangan melakukan hubungan seks pada saat isteri
sedang haid.
2. Perempuan Menstruasi Dalam Hukum Islam19. Tesis ini membahas
tentang larangan-larangan bagi perempuan ketika sedang menstruasi
ditinjau dari pendapat ulama-ulama yang tertuang dalam kitab fiqh.
Ada larangan yang berupa kesepakatan ulama, dan ada larangan yang
menjadi ikhtila>f al-‘ulama>.
3. Problematika

Haid

dan

Permasalahan

Wanita20.

Buku

ini

membicarakan tentang pengertian haid, warna darah haid, masa haid,
cara mengetahui suci dari haid atau nifas, serta hukum-hukum yang
berhubungan dengan wanita, seperti hukum iddah, rad}a’, dan lain-lain.
4. Tinjauan Madhhab Shafi’i> dan
mad}hhab H{anbali>.

18

Muhammad Suheli, Larangan Hubungan Seks Ketika Isteri Sedang Haid, (Tesis, IAIN Sunan
Ampel, Surabaya, 2000).
19
Rejal Miftahul Fajar, ‚Perempuan Menstruasi dalam Hukum Islam‛, (Tesis, IAIN Sunan
Ampel,Surabaya, 2009).
20
Segaf Hasan Baharun, Problematika Haid dan Permasalahan Wanita (Pasuruan: Yayasan
Pondok Pesantren Da>r al-Lug}ah Wa Da’wah, 1999),
21
Farida Ulvi Na’imah, Tinjauan Madhhab Shadat al-h}aid}) seorang wanita yang
mengalami perubahan terhadap siklus haidnya, dalam pandangan kaidah
fikih al ‘>adah Muh}akkamah prespektif fikih h}aid mad}hab Sha>fi’i>.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam sebuah penelitian, ada tiga hal yang fundamental yang
harus dipertimbangkan, yaitu permasalahan yang dihadapi, bentuk dan
sumber informasi yang digunakan serta cara memahami serta
menganalisis informasi dan merangkainya menjadi penjelasan yang
bulat guna menjawab persoalan yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang
menempatkan riset pustaka (library reseach)22sebagai eksplorasi
sumber datanya, yakni peneliti mengacu dan menelaah bahan-bahan
karya ilmiah berupa kitab-kitab klasik dan modern serta buku-buku
yang berhubungan dengan permasalahan haid.
Penelitian ini memerlukan beberapa bahan hukum yang
dijadikan pedoman untuk menganalisa penelitian yang akan diteliti.
Beberapa bahan hukum tersebut adalah pertama: bahan hukum primer
yaitu merupakan bahan hukum pokok atau merupakan bahan-bahan
yang mengikat dalam pembahasan ini yang terdiri atas kitab-kitab
22

Abudin Nata membedakan kualifikasi suatu penelitian itu bersifat literer atau lapangan dengan
berpedoman pada bagaimana data, bahan atau objek yang diteliti. Suatu penelitian dapat
digolongkan sebagai library research bila data yang dikumpulkan berupa bahan-bahan tertulis
seperti : manuskrip, buku, majalah, surat kabar, dan lain lain. Lihat Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 1999), 125.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

yang mengulas tentang pendapat madhhab Sha>fi’i> : al-Ra>fi’i> (w.
623H) dalam kitabnya Fath al-‘Azi>z bi Sharh} al-Waji>z , al-Nawawi>
(w. 676 H) dalam kitabnya al-Majmu>’ ‘ala Sharh} al-Muhadhdhab, Ibn
Hajar al-Hai>tami> dalam Minha>j al-Qawi>m, Ibra>him al-Ba>juri dalam
kitabnya H}a>syiyah al-Ba>ju>ri, Zakariya> al-Ans}ha>ri dalam kitabnya

Fathi al-Wahha>b, dan lain-lain.
Bahan hukum kedua yaitu bahan hukum sekunder merupakan
bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, yaitu seperti
hasil penelitian, pendapat para pakar yang mendukung tema
pembahasan atau tidak secara langsung berhubungan namun ada
kesamaan tema yang dikembangkan, dalam hal ini seperti halnya
jurnal-jurnal, artikel-artikel tentang penelitian yang dikaji, internet
dan lain-lain. Bahan ketiga adalah bahan hukum tersier yaitu yang
menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus,
ensiklopedia, bibliografi dan indeks, dan dalam hal ini adalah kamuskamus Arab, seperti al-Munawwir, dll.
2. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis interaktif. Artinya
analisis dilakukan secara simultan dan terus menerus sejak
pengumpulan data dilakukan hingga selesainya pengumpulan data
dalam waktu tertentu melalui proses data reduction, data display dan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

conclution: drawing/verifying23 dengan langkah operasional sebagai
berikut:
1. Reduksi data (data reduction). Dalam proses ini peneliti akan
merangkum, memilih hal-hal yang pokok dari data yang sementara
diperoleh untuk kemudian dicari tema atau kategorisasi. Dengan
proses ini, didapatkan gambaran yang lebih jelas untuk menentukan
langkah pengumpulan data selanjutnya bahkan sampai menentukan
cara mengumpulkannya.24
2. Penyajian Data (data display). Data penelitian yang sudah
direduksi, maka dilakukan proses penarasian data dalam bentuk
teks.25 Pada saat display data ini pun peneliti melakukan analisis
data dan dibangun teori-teori yang telah siap untuk diuji
kebenarannya dengan tetap mengacu pada kerangka teori yang
telah disusun.26
3. Penarikan Kesimpulan (conclution: drawing/verifying). Setelah
data dinarasikan dalam bentuk teks, maka langkah berikutnya
ditempuh langkah “penyimpulan” yang bersifat sementara. Sebab
dari kesimpulan sementara ini akan ditindak lanjuti dengan proses
verifikasi dengan mengumpulkan data yang kurang, reduksi,

23

Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi
Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992),20. Lihat juga: Sugiyono, Memahami Metode Penelitian
Kualitatif (Bandung: Alphabeta, 2005), 91-93.
24
Sugiyono, Memahami Metode Penelitian Kualitatif, 92.
25
Ibid. 92
26
Ahmad Syafi’i Mufid, “Penelitian Kualitatif Untuk Penelitian Agama,” dalam Menuju Peneltian
Keagamaan: Dalam Perspektif Penelitian Sosial, ed. Affandi Muhtar (Cirebon: Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Gunung Jati, 1996), 107.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

display dan penarikan kesimpulan lagi. Proses ini berlangsung
secara berurutan, berulang-ulang, terus menerus sampai penelitian
ini

sampai

mendekati

tingkat

validitas

yang

dapat

dipertanggungjawabkan.
4. Setelah dirasa hasil penelitian telah akurat, barulah disusun sebuah
teks naratif dari keseluruhan hasil penelitian.
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan dari hasil penelitian ini dibuka dengan bab pertama
berupa pendahuluan untuk mengantarkan menuju argumentasi, cakupan
dan perihal mekanisme penelitian. Penjelasan mengenai latar belakang
penelitian, fokus penelitian beserta metode dalam penelitian akan diulas di
bab ini sebagai langkah awal dan ringkas dalam melihat langkah yang
akan ditempuh dan dibahas dalam penelitian.
Pada bab kedua dijelaskan tentang landasan teori dan dasar hukum
tentang kajian kaidah fikih al-‘>Adah Muh}akkamah, pengertian serta
kriteria penggunaan sebuah kaidah fikih dalam penetapan suatu hukum,
selain itu akan dipaparkan secara singakat sejarah atau histori munculnya

al-‘>dah, dijelaskan pula kaidah-kaidah cabang dari kaidah Al-‘>adah
Muh}akkamah.
Pada bab ketiga akan dipaparkan mengenai tinjauan umum tentang
haid wanita. Bahasan pada bab ini terdapat beberapa sub bab meliputi
pengertian dan proses terjadinya haid, hal-hal yang mempengaruhi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

perubahan siklus haid pada wanita serta urgensi al-‘>adah dalam penentuan
hukum haid.
Pada bab keempat dijelaskan tentang penerapan kaidah al-‘a>dah

Muh}akkamah pada wanita yang mengalami perubahan siklus pada
haidnya. Dalam bab ini juga dipaparkan tentang penetapan hukum pasca
perubahan yang terjadi pada siklus haidnya.
Bab kelima penutup yang meliputi kesimpulan dari hasil
penelitian, berupa sintesa dari data dan analisisnya tentang penetapan masa
haid dari wanaita yang mengalami perubahan siklus dalam haidnya.
Kemudian diakhiri dengan saran-saran untuk pengembangan studi lebih
lanjut.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TINJAUAN UMUM KAIDAH AL-‘ADAH MUH}AKKAMAH
A. Dasar Hukum Kaidah al-‘A>dah Muh}akkamah
Kaidah ini mempunyai beberapa dalil yang telah disepakati para
ulama’,diantaranya adalah:
1. QS. Al-Nisa>’` ayat 19 :

ِ ‫و َع‬
َ ‫وف‬
َِ ‫اش ُرو ُ نََِل َْم ْع ُر‬
َ
Artinya : dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut
Imam Nawawi dalam tafsirnya menyatakan bahwa agar selalu
memberikan hal-hal yang patut pada istrinya, meliputi: tempat
tinggal, nafkah dan meperhalus perkataan1.
2. QS. Al-Baqarah ayat 228 :

َ ‫وف‬
َِ ‫َوَُنََ ِمثْ َُلَال ِذيَ َعلَْي ِهنَ ِِل َْم ْع ُر‬
Artinya: dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf2.
Sebagian ahli tafsir menafsirkan kalimat "bi al-ma'ru>f" dalam
dua ayat di atas dengan kalimat "sesuai adat yang berlaku di tempat
dan masa suami dan isteri berada. Suami memperlakukan isteri

1

Muhammad Ibn Umar Nawawi al-Ja>wy>, Mara>h Labi>d Likasyfi Ma’na Al-Qur’a>n Al-Maji>d (DKI,
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt), 189
2
Mujamma’ al-Malik Fahd Li T}hiba>’at al-Mus}haf, Al-Qur’>an dan Terjemahnya (Kerajaan Saudi
Arabia: Al-Syari>f medinah Munawwarah; 6 :

َ ‫ومنَكانَفقراَفليأكلَِمعروف‬
Artinya: dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu

menurut yang patut4

Yang dimaksud dengan Al-Ma’ru>f pada ayat di atas adalah
sesuatu yang di anggap baik menurut kebanyakan manusia5.
4. QS. Al-‘A`ra>f 199 :

ِ ‫ُخ َِذَالْع ْفوَواْم َرَ ِ لْعر‬
َ‫ف‬
ُْ ْ ُ َ َ
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan

yang ma'ruf6.

Kata al-‘urfi pada ayat di atas menurut Ibn Kat}hir dalam
tafsirnya berarti al-ma’ru>f yang bisa dipahamisebagai sesuatu yang
baik dan telah menjadi kebisaaan suatu masyarakat. Berdasarkan
pemahaman tersebut, maka ayat itu dipahami sebagai perintah untuk

Muhammad ibn Abdullah al-Sya>uka>ni, Fathu al-Qa>di>r, juz 1 (Beirut: Dar al-Hadits, tt), 351
Mujamma’ al-Malik Fahd Li T}hiba>’at al-Mus}haf, Al-Qur’>an dan Terjemahnya (Kerajaan Saudi
Arabia: Al-Syari>f medinah Munawwarahuka>ni, Fathu Al-Qadi>r, (Baerut, Da>r Al-Kalim,tt), 491
6
Mujamma’ al-Malik Fahd Li T}hiba>’at al-Mus}haf, Al-Qur’>an dan Terjemahnya (Kerajaan Saudi
Arabia: Al-Syari>f medinah Munawwaraht}hi menyatakan dalam kitab al-Ikli>l bahwa ayat ini
merupakan Qa>idah Syar’iyyah, yang menunjukkan penggunaanal-‘Urf
dalam menetapkan hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan

Shara’8.
5. Hadith riwayat al-Buk}ha>ri (no. 5364) :

َِ َ ََ‫ َ َيَ َ َر ُسول‬: َ‫ت‬
ََ ِْ‫َن َ ِ ْ َد َب‬
َ ‫ش َة َأ‬
َ‫اّ َإِنَ َأ ََِ ُس ْفيَا َن َ َر ُج ٌَل‬
ْ َ‫ت َعُ ْت بََة َقَال‬
َ ِ‫َع َْن َ َعائ‬
َ‫ت َ ِم ْ َُ َ َو ُ ََو َاَيَ ْعلَ َُم‬
َُ ‫ين َ َوَولَ ِدي َإِا َما َأَ َخ ْذ‬
َ ِ ‫ين َ َما َيَ ْك ِف‬
َ ِ ‫س َيُ ْع ِط‬
ََ ‫ولَْي‬،
ٌَ ‫َش ِح‬
َ َ ‫يح‬
ِ ‫يكَوولَ َد َِكَ ِ لْمعر‬
ِ
ِ ِ
َ‫وف‬
َ َ َ ‫ ُخذيَ َماَيَ ْكف‬: َََ‫فَ َقال‬
ُْ َ
Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Hindun binti Utbah berkata,
"Wahai Rasûlullâh, sungguh Abu Sufyân orang yang pelit dan tidak
memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali yang
aku ambil tanpa sepengetahuannya." Maka Rasu>lullâh S}hallalla>hu
‘alaihi wa sallam bersabda, "Ambillah secukupnya untuk dirimu dan
anakmu dengan ma'ruf."
Dalam hadith ini Nabi S}hallalla>hu ‘alaihi wa Sallam
menjadikan adat dan kebisaaan yang berlaku sebatas standar batasan
nafkah yang berhak diperoleh isteri. Beliau S}hallalla>hu ‘alaihi wa

Sallam tidak menentukan nominalnya. Ini menunjukkan bahwa 'urf
7

Isma>’il ibn Ka>thi>r al-Qura>sy, Tafsi>r al-Qur’>an al-‘ad}hi>m, juz 3 (Kaero: Maktabah al-S}hofa>, tt),
313. Lihat juga Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari>, Majmu>’ah AlFawa>’id al-Bahiyyah ‘ala Mand}zumah al-Qawa>id al-Fiqhiyyah (al-‘Arabiyah al-Sa’udiyah: da>r alS}hamay>’i, 2000), 94
8
Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari>, Majmu>’ah Al-Fawa>’id alBahiyyah ‘ala Mand}zumah al-Qawa>id al-Fiqhiyyah, (al-‘Arabiyah al-Sa’udiyah: da>r al-S}hamay>’i,
2000), 94

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

dapat diperhitungkan dalam hal-hal yang batasannya tidak ditentukan
oleh Shara’9.
6. Pendapat Abdullah Ibn Mas’ud :

ِ
ِ ِ
ِ
َ‫َس ْي ئًافَ ُه َو‬
َ ‫اَرَءا َُامُ ْسل ُم ْو َن‬
َ ‫سًاَفَ ُه َوَع ْ َدَه‬
َ ‫اَرَءا َُاْمُ ْسل ُم ْو َن‬
َ ‫َوَم‬
ََ ‫َم‬
َ ‫س ٌن‬
َ ‫َح‬
َ ‫َح‬
ِ ِ
َ ‫ع ْ َداه‬
ٌ‫َس ْي َء‬

Apa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin baik pula dalam
pandangan Allah dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam
maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi

maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik
yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan
tuntutan syari’at Islam, adalah juga merupakan sesuatu yamg baik di
sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang dianggap buruk dan bertentangan
dengan syari’at maka buruk pula dihadapan Allah.
Pendapat tersebut menurut al-Qara>fy dalam kitabSharh Al-

Tanqi>h menunjukkan kehujjahan al-‘urf dan dapat dijadikan sebuah
pedoman untuk segala sesuatu yang baik10.
Sedangkan

dalil

kaidah

Al-‘a>dah

Muh}akkamah

dari

kesepakatan (ijma>’) dari para ulama ushuliyyin diantaranya adalah AlJala>l al- Mahally dalam kitab Sharh Jam’i al-Jawa>mi’, dan juga yang

9

Ibnu Hajar al-'Asqala>ni>, Fathu Al-Ba>ri,juz 9( Baerut: Dar al-Salamah. Tt), 630
Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari>, Majmu>’ah Al-Fawa>’id alBahiyyah ‘ala Mand}zumah al-Qawa>id al-Fiqhiyyah, (al-‘Arabiyah al-Sa’udiyah: da>r al-S}hamay>’i,
2000), 95
10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

sudah dinyatakan oleh al-Bana>ni dalam kitab Sharh al-mahalli li jam’i

al-Jawa>mi’11.
B. Sejarah munculnya Al-‘a>dah
Secara historis, selama Rasulullah hadir, sebagai legislator Islam
di wilayah Makkah maupun Madinah, beliau banyak mengadopsi al-’Urf
setempat. Sebagian al-’Urf tersebut ditetapkan oleh wahyu al-Qur’an
danH}adith12. Meskipun demikian, tidak semua al-’Urf tradisi masyarakat
arab pra Islam dijadikan sebagai bagian dari ajaran Islam.Tradisi Arab
lain dan tradisi lain dari luar Arab yang ditetapkan dalam al-Qur’an
adalah ibadah haji, puasa, kewarisan, bentuk-bentuk perdagangan (jual
beli), khitanan dan kurban13.
Namun demikian tidak semua tradisi arab-non arab itu diadopsi
menjadi bagian dari shari'ah Islam, beberapa di antaranya direvisi,
dimodifikasi14. Sebagian yang lainnya dibatalkan berdasarkan wahyu dari
Allah seperti persoalan riba dan cara memperlakukan kaum perempuan15.

11

Ibid, Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari, 95
Muhammad el-Awa, the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory , 177-178. Lebih lanjut
menurut el-Awa bahwa argumentasi Rasulullah dalam menyetujui al-'urf sebagai sumber hukum
Islamkarena al-'urf mampu menyediakan pemecahan (solutions) yang diperkirakan bisa memberi
kepuasan kebutuhan masyarakat tertentu.
13
Dalam pembahasan historis-antropologis, Nizar Abazhah membahasnya dalam Fi Madinah alRasul, yang diterjemahkan secara bagus oleh Asy’ari Khatib, dan diterbitkan dengan judul Ketika
Nabi di Kota: Kisah Sehari-hari Nabi di Kota, (Jakarta: Zaman, 2010)
14
Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter; the Experience of Indonesia, (Jakarta; Logos
Wacana Ilmu, 2001), 7
15
Pada kasus ini bisa dilihat pada penetapan hukum yang berkaaitan dengan hukum pernikahan,
kewarisan, persaksian di kalangan masyarakat Arab. Pada mulanya perempuan Arab diperlakukan
seperti barang yang bisa diperjual belikan dan diwariskan. Mereka tidak mempunyai hak apa pun
untuk menetukan diri mereka sendiri.
12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Fakta ini semakin menegaskan bahwa Hukum Islam (shari'ah
maupun fiqh) dalam perkembangannya senantiasa berbasis pada al-'urf.
Proses perkembangan Hukum Islam tersebut senantiasa melibatkan
dialektika budaya yang terus menerus, sehingga menghasilkan fiqh.
Berpijak pada praktek Rasulullah dalam melakukan tashri' al-Islam
menunjukkan bahwa Hukum Islam yang hadir di muka bumi ini tidak
melompat dari ruang hampa muncul dalam waktu tiba-tiba. Sebaliknya
kehadiran Hukum Islam bahkan isi al-Qur’an pada mulanya terikat oleh
ruang, rentetan waktu dan peristiwa. Semua itu terjadi sebagai upaya
responsif pasa persoalan-persoalan yang berkembang pasa masa itu.
Meskipun sudah ada al-Qur’an dan Sunnah, mengingat begitu
pentingya kehadiran al-’Urf sehingga para sahabat sepeninggal rasulullah
tidak menutup diri untuk mengambil tradisi dan sistem masyarakat
lainselama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah16. Fungsi alQur’an dan al-Sunnah, dalam hal ini, selain sebagai sumber inspirasi
penggalian hukum juga menjadi petunjuk pelaksanaan pembentukan
Hukum Islam.
Bahkan bisa ditegaskan keabadian al-Qur’an sebagai wahyu
Tuhan, fungsi dan peranannya terus berkelanjutan jika ulama bersikap
akomodatif terhadap al-’Urf di seluruh penjuru dunia dan segala zaman.
Upaya transformasi kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah pada suatu
16

Muhamed el-awa, The Place Of Custum (Urf) In Islamic Legal Theory , 179. Banyak ayat-ayat
al-Qur'an yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat, seperti
konsep jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Lihat, selanjutnya pada Nasrun Hoeron, Usul
Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 142

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

masyarakat hanya akan membatasi keabadian wahyu Tuhan17. Karena alQur’an sebagai petunjuk melihat persoalan kemanusiaan18.
Para sahabat yang mengikuti langkah Rasulullah, terlihat pada
masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Tampaknya, baik pada lapis
pertama (masa Rasulullah) maupun pada lapis kedua (masa sahabat)
keberadaan al-’Urf dianggap sebagai salah satu sumber dan landasan
pembangunan Hukum Islam. Artinya pada periode awal Islam al-’Urf
menjadi landasan signifikan dalam pembangunan hukum.
Sayangnya, pada periode berikutnya al-’Urf justru menjadi
perdebatan dalam Islam. Pasca zaman sahabat, keterlibatan umat Islam
maupun ulama begitu intensif dan sangat bervariasi. Mereka harus
berhadapan dengan persoalan-persoalan baru yang belum pernah
ditetapkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, terutama pada persoalan
politik dan hukum. Selain itu sistem pemerintahan teokratis--yang
dikembangkan oleh Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah telah
mempunyai andil yang cukup besar terhadap lahirnya perbedaan paham
baik dari segi materi hukum (al-fiqh), metodologi hukum (usul al-fiqh)
maupun proses pengambilan hukum (istinbat al-Hukm).
Perbedaan ini pula mempengaruhi para ulama fiqh maupun ulama

usul al-fiqh dalam memperlakukan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam.
Padahal, secara umum madhhab-madhhab besar seperti Hanafiyah,
17

Tentang persoalan sebagai agama yang akomodatif daripada transformatif, lihat dalam Bryan s.
Turner, Weber And Islam: A Critical Study (London: Routledge and Kegan Paul, 1974), cet, ke1, 171
18
Mahmoud M. Ayoub, Islam Faith And Practive, 65-67

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Malikiyah, Hanbaliyah dan Shafi'iyah menggunakan al-’Urf sebagai
landasan Hukum Islam, hanya saja dalam jumlah dan perinciannya,
mereka berbeda pendapat19.
Penerimaan al-’Urf sebagai dalil shara' ini di kalangan para ulama
fiqh diperkuat oleh Imam al-Shat}ibi (w.790 H/ ahli usul fiqh Maliki) dan
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691 – 751 H / 1292 – 1350 M/ ahli usul

fiqh Hanbali)20. Imam Malik misalnya dalam memutuskan persoalan
fiqhiyah senantiasa menyandarkan pada al-’Urf yang dilakukan oleh
masyarakat Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Shafi'i
ketika berada di Mesir dan di Baghdad. Karena al-’Urf di Mesir dan di
Baghdad berlainan, maka Imam Shafi'i pun mengubah qawl al-qadim
menjadi qawl al-jadid21. Hal ini semakin menegaskan bahwa al-’Urf
kapan pun dan di mana pun, dalam konteks pembangunan hukum,
merupakan sesuatu yang mutlak ada.
C. Pengertian Al-‘A>dah

‘Urf dan al-‘>Adah sendiri, dalam ilmu ushul al-fiqh, dibahas
tersendiri sebagai sebuah metode yang mempertimbangkan faktor empiris
suatu masyarakat. Meskipun terkesan diperdebatkan posisinya sebagai
sebuah metode istinbath hukum, para ulama kiranya tidak pernah bisa
19

Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqh, 273
Nasrun haroen, Ushul Fiqh, 142. Lebih jauh para ulama membagi al-‘urf tiga macam yaitu: dari
segi obyeknya, terdiri dari al-urf al-lafzi dan al-urf al-amali. Dari segi cakupannya terdiri dari alurf al-aam dan al urf al-khas}. Dan dari segi keabsahannya al-urf terdiri dari al-urf al-s}ahih}
(kebiasaan suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas}) dan al-urf al-fasid (kebiasaan
suatu masyarakat yang bertentangan dengan nas} dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang
dalam shara’.)
21
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqhwa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr: al-Mu’assah alSa’u>diyah, tt), 135
20

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

melepaskan diri dari pertimbangan ‘urf di suatu tempat di mana mereka
berhadapan dengan persoalan hukum. Imam Malik mempertimbangkan
‘Amal Ahl al-Madinah dengan mengedepankan aspek maslahah dalam
proses berijtihad. Imam Hanafi menggunakan istihsan al-‘urf dalam
pertimbangan hukumnya. Imam Shafi’i memiliki hasil ijtihad yang
berbeda, qaul qadim dan qaul jadid, atas dasar perbedaan tempat dan
kondisi sosial masyarakat. Serta ulama-ulama lain, juga melakukan hal
yang sama.
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu (mengetahui, mengenal
sesuatu). Abdul Wahab Khallaf mengartikan ‘urf dengan sesuatu yang
dikenal oleh manusia dan berlaku kepadanya, baik berupa perkataan,
perbuatan atau meninggalkan sesuatu22. Bila dikatakan si Fulan lebih dari

yang lain dari segi ‘urfnya, ini maksudnya adalah bahwa si Fulan lebih
dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian (dikenal) ini lebih
dekat kepada pengertian (diakui oleh orang lain).
Term ‘urf dalam ilmu ush>ul al-fiqh secara istilahi (definitif),
disamakan dengan Al-‘>adat yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi, adat. Ini dapat dilihat dari penjelasan Abdul Wahab Khallaf,
yang menegaskan secara syari’at, tidaklah ada perbedaan antara ‘urf dan
‘adat23.

22

‘Abdul Wahab Khala>f, ‘Ilm al-Ushul al-Fiqh wa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr: alMu’assah al-Sa’u>diyah, tt), 89
23
Ibid ‘Abdul Wahab Khala>f, ‘Ilm al-Ushul al-Fiqhwa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ , 89

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

Bila diperhatikan dari segi penggunaan dan akar katanya, terlihat
perbedaan antara keduanya. Akar kata ‘>adat, yaitu ‘>ada, ya’>udu, yang
berarti pengulangan. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali,
belumlah dinamakan ‘>adat. Adapun kata ‘urf, pengertiannya tidaklah
melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, melainkan
apakah suatu perkataan atau perbuatan itu dikenal atau tidak oleh banyak
orang. Tegasnya, ‘adat sesuatu yang berulangkali, dan ‘urf sesuatu yang
dikenal.
Terhadap bentuk perbedaan itu, Amir Syarifuddin menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan yang prinsip di antara keduanya karena kedua
kata itu pengertiannya sama, yaitu suatu perbuatan yang telah berulangulang dan dikenal sehingga diakui oleh banyak orang, atau perbuatan itu
sudah dikenal dan diakui, sehingga dilakukan orang secara berulang kali.
Dengan demikian, meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi
perbedaannya tidak berarti24, sehingga tidak menimbulkan konsekwensi
hukum yang berbeda.

Al-’Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli
yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan

sighat. Untuk al-’Urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya
saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang secara mutlak
berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita. Karena itu, menurut

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, (Jakarta: Logos, 2001), Cet.Ke-2, 364

24

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

sebagian besar ulama, adat dan al-’Urf secara terminologis tidak memiliki
perbedaan prinsipil25.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan

al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan
pekerjaan, sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu.
Adat dapat dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat
aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya.
Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah