Wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru : sebuah pendekatan sosiologi sastra - USD Repository

WUJUD PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK

  SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU SEBUAH PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA Skripsi

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

  Oleh Sigit Permadi Wibowo

  NIM: 004114054

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  Skripsi ini kupersembahkan untuk: Dia yang menjadi pujaan segala iman

Ayahanda dan I bunda yang selalu mendoakan aku

Dan Saudara yang selalu mendukungku

  

M OTO

Orang kalah

adalah

orang yang berhenti untuk berusaha

  

(Tora Sudiro dalam “Quickie Express”)

  

Pernyataan Keaslian Karya

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 10 Oktober 2008 Penulis

  Sigit Permadi Wibowo

  

ABSTRAK

Wibowo, Sigit Permadi. 2008. Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan

Seribu Impian Perempuan Buru: Sebuah pada Antologi Cerita Pendek Pendekatan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini mengkaji wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Menganalisis kondisi sosiokultural yang tercermin pada antologi cerita pendek yang melatarbelakangi wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan. (2) Mendeskripsikan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan di Pulau Buru yang terdapat dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru.

  Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Penelitian ini memilih tiga cerita pendek sebagai perwakilan dari enam cerita pendek yang terdapat dalam antologi, semua populasi bersifat sama dalam mengungkapkan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan serta budaya yang melatarbelakanginya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode analisis. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yakni teknik simak dan teknik catat.

  Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Penganalisisan kondisi sosiokultural dari tiga judul cerita pendek yang mewakili keseluruhan antologi cerita pendek ini dapat terlihat secara garis besar bahwa sistem- sistem dan pengaruh-pengaruh yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu

  

Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi perjuangan perempuan dalam

  pendidikan, adalah kawin piara, sistem patriarkhi, dan konflik bernuansa agama. (2) Wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan terlihat pada tokoh Maria dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, terhadap Lusi, anak perempuan satu-satunya yang selamat dan harus melalui perjuangan berat untuk dapat menyekolahkannya. Lusia Latun (Lusi) dalam cerita pendek Tragedi Turun-Temurun

  

Anak Perempuan Buru , Lusi tidak ingin anak-anak perempuannya memiliki nasib

  yang sama seperti dirinya walaupun salah satu putrinya tetap harus mengalami nasib yang sama menjadi korban tradisi ”kawin piara”. Lusi menginginkan anak perempuan yang lain tetap bersekolah. Tokoh kedua dalam cerita pendek Tragedi Turun-

  

Temurun Anak Perempuan Buru adalah Yati, dalam cerita ini Yati berjuang agar

  dirinya tetap bisa sekolah walaupun harus bertengkar dengan sang ayah, Yati lebih memilih mati jika dipinangkan dengan orang lain. Yosepha Wael (Yos) dalam cerita pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, ia memutuskan meninggalkan orangtuanya untuk waktu yang sangat lama. Yos berani mengambil keputusan penting demi perkembangan dirinya. Wujud perjuangan dari Tokoh-tokoh yang dipaparkan merupakan gambaran perjuangan perempuan sejati dalam arti sesungguhnya, demi hak dan kebebasan untuk kemajuan, mereka berani

  

ABSTRACT

Wibowo, Sigit Permadi. 2008. The Form of Women’s Struggle in the Education

Seribu Impian Perempuan

  Field as seen in the Short Stories Anthology Buru: A Review on Sociology of Literature. Indonesian Literature Department of Sanata Dharma University: Yogyakarta.

  This research analyzed the form of women’s struggle in the education field as mention in short stories anthology Seribu Impian Perempuan Buru. The aims of this research are (1) To Analyze sosiocultural condition which seen in the short story anthology which background of form woman’s struggle in the education. (2) To describe form of women’s struggle in the education field at Buru Island as mention in the short story anthology Seribu Impian Perempuan Buru,

  The approach which was used is a sociology literature approach which prioritizes the literature text as a basis of the study. To efficiency, this research is chosen three title as delegation from six short story which there are in anthology and population have all the same of character in laying open form of woman’s struggle in the education and culture which it. The methods which were used in this research were an descriptive method and analysis method. The techniques which ware used in this research consist of two things, a monitor technique and a note taking technique.

  From the result of the research, it could be concluded that (1) Analysis of sosiocultural condition from three short story title of deputizing the overall of this short story anthology earn seen marginally that systems and effects which seen in the short story anthology which background of form woman’s struggle in the education is “kawin piara”, patriarchy system, and religion conflict nuance, (2) the form of woman’s struggle in the world of education as seen in the character of Maria in the short story Maria, Keteguhan Hati Perempuan, toward Lusi, the only one daughter who saved and have to struggle to get education. Lusia Latun (Lusi) in the short story

  

Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, Lusi doesn’t want her daughters

  have the same life as her life eventough one of her daughter still have to experienced the same life as her life, become the victim of tradition “kawin piara”. Lusi wants her remain daughters go to school. The second of Figure in The short story Tragedi

  

Turun-Temurun Anak Perempuan Buru is Yati, in this story Yati fight for herself to

  get stay in School eventough she have to quarrel with her father, she chooses to die if she have to be engaged with someone. Yosepha Wael (Yos) in the short story

  

Perempuan Di Musim Angin Timur, she decides to leave her parents for a long time.

  Yos dares to take important decision for her development. The form struggle of each character being told is a view of true women’s struggle in the real life for the rights of freedom of development, they dare to break the tradition.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kelimpahan dan tuntunan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada antologi cerita pendek

  

Seribu Impian Perempuan Buru : Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra, ditulis sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia.

  Skripsi ini dapat terwujud berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

  1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum, dan Dra. F. Tjandrasih Adji M.Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing sampai tersusunnya skripsi ini;

  2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Drs. FX. Santosa, Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Drs. A. Hery Antono, M.Hum, dan Drs. Ari Subagyo, M.Hum, yang telah dengan sabar mendidik penulis;

  3. Para karyawan dan karyawati sekretariat Sastra dan BAAK yang selalu mempermudah pengurusan administrasi;

  4. Para karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu mempermudah peminjaman buku-buku;

  5. Ayahanda Hari Suatmadji, Ibunda Budi Umi Winarti, dan Kakanda Aries Sutanto serta Agung Budiharto yang telah memberi dukungan kepada

  6. Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Sanata Dharma (MAPASADHA) dan saudara-saudaraku di ”pondok” tercinta, yang telah banyak memberikan pengalaman berharga dan rasa persaudaraan yang luar biasa serta membantu penulis mewujudkan skripsi ini;

  7. Keluarga besar paguyuban Waris Mataram Muntilan yang telah memberi dukungan kepada penulis;

  8. Vinawinanti yang selalu mendukung penggarapan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;

  9. Sutikno Sutantyo yang telah banyak memberikan cerita dan pengalamannya selama berkarya di Pulau Buru;

  10. Teman-teman Bengkel Sastra dan teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2000 serta yang telah membantu penulis mewujudkan skripsi ini;

  11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

  Penulis mengerjakan skripsi ini dengan bantuan pihak-pihak di sekitar, panduan dari buku-buku yang terdapat dalam lembar daftar pustaka. Dengan demikian, segala sesuatu yang terdapat dalam hasil penelitian ini akan menjadi tanggung jawab penulis. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, terima kasih.

  Yogyakarta, Oktober 2008 Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… iii HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………………. iv MOTO…………………………………………………………………………........ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………….…………….... vi ABSTRAK…………………………………………………………………………. vii

  

ABSTRACT… ……………………………………………………………………......viii

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.……………………… ix KATA PENGANTAR…………………………………………………………........ x DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. xii

  BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….... 1

  1.1 Latar Belakang………………………………................................... 1

  1.2 Rumusan Masalah…...………........................................................... 4

  1.3 Tujuan Penelitian………..……………………................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian……………...…………......................................

  5 1.5 Landasan Teori……………...………………………………...........

  6 1.5.1 Sosiologi Sastra ……...……………………………................

  6 1.5.1.1 Hubungan Karya Sastra dengan Kenyataan…….........

  7

  1.5.1.2 Sosiokultural dalam Karya Sastra……………………

  8 1.5.2 Pendidikan…………………...…………………………….....

  9

  1.5.3 Kawin Piara……………………………………….................. 10

  1.6 Metode Penelitian…………………………...……………………... 12

  1.6.1 Metode Analisis…………………………...………………......12

  1.6.2 Teknik Pengumpulan Data…………………...…………….... 13

  1.6.3 Populasi dan Sampel………………………...………….......... 14

  1.6.3.1 Populasi………………………………...…………..... 14

  1.6.3.2 Sampel………………………………...…………....... 14

  1.6.4 Sumber Data…………………………………………………. 15

  1.7 Sistematika Penyajian………………………………………............ 16

  BAB II KONDISI SOSIOKULTURAL YANG TERCERMIN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU YANG MELATARBELAKANGI WUJUD PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN……………………………… 17

  2.1 Kawin Piara………………………………………………………... 18

  2.2 Patriarkhi………………………………………………………....... 24

  2.3 Konflik Bernuansa Agama……………………………………….... 29

  BAB III WUJUD PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU ………………………………………………....... 37

  3.1 Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Maria, Keteguhan hati Perempuan, karya Sutikno

  Sutantyo…………………………………………………………...... 38

  3.2 Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, karya Bambang

  A. Sipayung………………………………………………................ 42

  3.3 Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari……………………………………….......46

  BAB IV PENUTUP…………………………………………………………….... 51

  4.1 Kesimpulan……………………………………………………........ 51

  4.2 Saran……………………………………………………………….. 53 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………......... 54

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Karya sastra merupakan hasil cipta pengarang yang dicipta dengan maksud menyampaikan perasaan-perasaannya sebagaimana yang dirasakannya pada waktu ia bersentuhan dengan kehidupan sekitar (Suharianto, 1982: 17). Sistem nilai dalam tradisi lokal dan kapitalisme global memiliki pertautan yang unik dalam memandang perempuan. Keduanya meneriakkan jargon tentang tingginya posisi perempuan, tetapi pada saat yang sama menjadikan perempuan sebagai sandera untuk kepentingannya.

  Dalam banyak tradisi, nilai perempuan ditentukan oleh ”harga” mas kawin para gadis. Sementara kapitalisme global yang mengusung isu demokrasi dalam praktiknya memandang perempuan lebih sebagai pasar, komoditas, sekaligus konsumen. Di dalam kedua sistem nilai itu terjadi hubungan yang rumit di antara perempuan sehingga yang tertindas dan yang menindas menjadi tidak jelas lagi. Namun, yang tidak jelas itu bisa diperjelas dengan melihat pola penindasannya karena ia menukik ke bawah dalam spiral dehumanisasi sistematis. Seperti diingatkan ilmuwan dan pengamat masalah globalisasi, Dr. I. Wibowo, perempuan dunia pertama menikmati hasil dari perjuangan melawan patriarki, tetapi dengan keringat, ratapan, dan darah perempuan dunia ketiga yang miskin dan kurang pendidikan. Istilah ”dunia pertama” dan ”dunia ketiga” harus dibaca sebagai metafor dari kelas sosial yang lebih tinggi di dibandingkan dengan negara-negara pengirim buruh migran, khususnya perempuan, lebih khusus lagi yang tidak punya keterampilan khusus dan bekerja di wilayah domestik. Pola penindasan memperjelas wujud nilai dan sifat patriarki dalam sikap dan tingkah laku. Meskipun sebagian besar yang menginternalisasikannya adalah laki-laki, patriarki tidak terpilah secara ketat atas dasar jenis kelamin biologis. Perempuan dari suku apalagi sebagai ”suku terasing” ras, etnis, kelompok, golongan, dan agama minoritas berada di lapisan paling bawah. Lebih bawah dari yang terbawah kalau dalam kelompoknya mereka berada di lapis sosial terbawah. Penindasnya bisa siapa pun si lapisan sosial di atasnya, entah laki-laki atau perempuan (Hartiningsih, 2006).

  Pendidikan di Indonesia masih membedakan pendidikan untuk laki-laki dan pendidikan untuk anak perempuan. Menurut Muller (1999: 16) perempuan yang miskin, baik anak maupun orang dewasa, paling sering tidak berkesempatan memperoleh pendidikan karena bermacam-macam alasan, terutama yang bersifat sosio-budaya. Kenyataan ini adalah faktor penting sehubungan dengan permasalahan ”feminisme kemiskinan” karena melestarikan diskriminasi struktural kaum perempuan dan ketergantungan mereka dari kaum laki-laki. Kalau anak perempuan sudah dinomorduakan, maka banyak kesempatan dari semula tertutup bagi mereka. Dengan demikian, keleluasaan untuk bertindak dalam usia dewasa sering juga dibatasi untuk selamanya.

  Dalam khasanah sastra Indonesia banyak karya sastra yang mengandung tema karya sastra yang bertemakan perjuangan wanita dalam pendidikan. Antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang diterbitkan oleh Jesuit Refugee Service (JRS), memiliki nilai lebih tentang perjuangan perempuan di Pulau Buru untuk meraih kehidupan yang lebih baik dengan modernitas yang tampil dalam wajah pendidikan. Mereka mencoba menentang adat istiadat dan mentransformasi masyarakat mereka lewat pendidikan. Mereka terpinggirkan oleh tekanan adat istiadat, struktur sosial, dan struktur ekonomis. Antologi cerita pendek ini lahir berdasarkan kisah nyata dari persentuhan dan pengalaman langsung para staf lapangan Jesuit Refugee Service yang sejak tahun 2000 melayani pengungsi korban konflik di Buru dan Maluku pada umumnya.

  Perempuan-perempuan yang dihadirkan sebagai tokoh dalam antologi cerita pendek ini adalah perempuan-perempuan yang memiliki daya tahan untuk berjuang dan sekaligus memberi pengaruh dalam proses perjalanan hidup bersama geba bupolo (kelompok masyarakat Buru pribumi) terutama ketika mereka mulai bersentuhan dengan pendidikan. Ulet dan bersemangat untuk memulai hidup baru dengan kerja keras di kebun, sekolah, pelabuhan, menjelajahi hutan lebat, dan lautan untuk meraih mimpinya melanjutkan sekolah adalah bagian dari keliatan dan daya tahan para perempuan geba bupolo yang bisa dialami dan dirasakan lewat kisah-kisah pergulatan dalam masalah pendidikan yang dihadirkan lewat antologi cerita pendek ini.

  Antologi cerita pendek ini sangat bernilai tinggi jika - nilai-nilai perkembangan dan pertumbuhan pendidikan perempuan di Pulau Buru dipahami dan ceritanya. Namun, dalam penelitian ini unsur tokoh, seting dan alur tidak dibahas secara khusus. Unsur-unsur tersebut disinggung dalam pembahasan mengenai perjuangan perempuan dalam pendidikan.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka masalah- masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1.2.1 Bagaimanakah kondisi sosiokultural perempuan Buru yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi Perjuangan Perempuan dalam pendidikan?

  1.2.2 Bagaimanakah wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan di Pulau Buru yang terdapat dalam antologi cerita pendek Seribu Impian

  Perempuan Buru ?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian yang digunakan untuk penganalisaan adalah sebagai berikut:

  1.3.1 Menganalisis kondisi sosiokultural perempuan Buru yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi Perjuangan Perempuan dalam pendidikan?

  1.3.2 Mendeskripsikan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan di Pulau Buru yang terdapat dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru .

1.4 Manfaat Penelitian

  Penelitian terhadap pendidikan perempuan di Pulau Buru dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru ini memberikan manfaat, sebagai berikut

  1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengajaran sastra pada program studi Satra Indonesia.

  1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memacu meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra khususnya cerita pendek di lingkungan akademis, serta hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan metode maupun objek penelitian ini.

  1.4.3 Hasil penelitian ini dapat menjembatani antara kumpulan cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru dengan masalah pendidikan perempuan dalam masyarakat dewasa ini.

  1.4.4 Hasil penelitian ini dapat diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi perkembangan dalam kaitannya untuk studi sastra tentang kajian sosiologi sastra yang diterapkan dalam kumpulan cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang diterbitkan oleh Jesuit Refugee Service.

1.5 Landasan Teori

  Untuk meneliti perjuangan perempuan dalam pendidikan, penulis akan memanfaatkan 3 landasan teori, yakni sosiologi sastra, pendidikan, dan kawin piara.

1.5.1 Sosiologi Sastra Sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang tidak tercipta begitu saja.

  Kelahiran sebuah karya sastra dilatarbelakangi oleh sosial suatu masyarakat. Pernyataan ini didukung oleh Teeuw (Pradobo, 1995: 57) bahwa tidak ada karya sastra lahir dari kekosongan budaya oleh karena itu sastra tidak bisa dibicarakan secara terpisah dengan masyarakat karena kaitan sastra dengan masyarakat sangat erat.

  Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusianya. Kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya, lingkungannya, serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya bahkan mendasari setiap langkah yang hendak dan harus dilaksanakan, sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya, demikian luasnya cakupan yang terkandung dalam kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1971: 18).

1.5.1.1 Hubungan Karya Sastra dengan Kenyataan

  Sastra dipandang sebagai intuisi sosial yang menggunakan media sarana bahasa, karena sastra sebagai karya seorang seniman yang pada hakikatnya adalah seorang anggota masyarakat dengan aneka permasalahan sosial. Sastra sering dianggap bersifat mimetik. Roman harus mendekati kenyataan. Tempat terjadi peristiwa harus sesuai dengan tempat kediaman manusia yang kita ketahui, jalan waktu yang dialami secara wajar, manusia dan alam yang kita temukan dalam karya sastra harus cocok dengan pengalaman kita (Teeuw, 1984: 230).

  Peralatan yang kuat dalam perwujudan karya sastra adalah bahasa. Dalam bahasa bertumpuklah persediaan pengetahuan sosial yang terus-menerus menentukan, menguasai interaksi dengan orang lain. Bahasa tidak hanya mengintegrasi berbagai bidang pengalaman sehari-hari menjadi keseluruhan yang berarti (Teeuw, 1984: 223).

  Sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Tokoh-tokoh, tema dan gaya dalam sastra bukan lagi bersifat murni khayali pengarang, melainkan menjadi hal-hal yang bersifat realita sosial (Damono, 1979: 14). Gambaran ini tentu saja dititikberatkan dari suatu sudut pandang lingkungan tertentu yang terbatas. Pandangan terhadap dunia pendidikan tak pernah berubah, bahwa pendidikan adalah Generasi muda suatu bangsa akan menjadi generasi yang baik apabila ditanamkan nilai-nilai pendidikan yang tinggi.

1.5.1.2 Sosiokultural dalam Karya Sastra

  Budaya dilihat dari aspek-aspek sebagai cultural universal adalah sebagai sistem peralatan bagi perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa kesenian, dan sistem pengetahuan serta pegangan agama. Jadi ini berarti segala sesuatu yang bersangkutan dengan sosial budaya kelompok masyarakat tertentu terungkap lewat karya sastra yang ditulis pengarang. Karya sastra itu sendiri merupakan produk budaya yang mengungkapkan gambaran kehidupan suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1971: 15).

  Berkaitan dengan sastra sebagai bentuk karya seni dari seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat, maka sastra tersebut dianggap sebagai suatu produk karya sastra yang mencerminkan masyarakat pada saat itu. Dengan kata lain mempelajari sastra dapat sampai mempelajari masyarakat, yaitu mengenai aspirasi, tingkat budaya, seleranya, pandangan hidupnya dan sebagainya (Koentjaraningrat,1971: 15).

  Dalam penelitian ini : antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru diasumsikan sebagai cerminan kenyataan. Karya ini lahir karena pengalaman dan pertemanan secara mendalam antara tim-tim Jesuit Refugee Sevice yang sejak tahun 2000 melayani pengungsi korban konflik di Buru dan Maluku pada umumnya dengan tingkat budaya, selera, dan pandangan hidup, juga hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan perempuan dalam pendidikan.

  Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sosiologi menurut pengertian yang pertama.

1.5.2 Pendidikan

  Pendidikan merupakan bagian dari usaha pembudayaan manusia. Karena itu, pendidikan tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh budaya yang berkembang di masyarakat. Sebagian orang memandang, budaya adalah ciptaan manusia yang dilandasi situasi lingkungan yang tidak dipahami manusia (misteri). Pandangan ini memberikan peluang untuk mengubah citraan tersebut, apabila akibatnya tidak membuat manusia selamat. Tetapi, pandangan lain percaya bahwa budaya adalah kodrat alam yang tidak dapat diubah. Dua pandangan ini dapat mengaburkan kebenaran dan sering kali mendorong ketidaksadaran, lebih-lebih dalam suasana yang stabil atau mapan. Kekaburan pandangan ini juga mempengaruhi pendidikan perempuan (Murniati, 2004:17).

  Dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru dipahami hubungannya dengan budaya masyarakat Pulau Buru setempat, yakni sikap para tokoh perempuan yang diceritakan dalam kesehariannya terhimpit oleh kebudayaan yang telah turun temurun di percayai dan terkadang dianggap sebagai kodrat alam yang tidak dapat dirubah, bahwa perempuan tidak diperbolehkan untuk menempuh dalam antologi ini berjuang menentang budaya demi hak dan kebebasan diri dan keluarganya demi pendidikan serta kehidupan yang lebih baik Sudah berabad-abad masalah perempuan diupayakan untuk diselesaikan. Tetapi tampaknya perjalanan untuk mewujudkan solusi itu masih jauh. Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan khusus perempuan sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, upaya itu belum mencapai hasil dan tahap ideal. Pendidikan merupakan bagian dari usaha pembudayaan manusia. Karena itu, pendidikan tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh budaya yang berkembang di masyarakat. Kebangkitan perempuan yang sudah berabad-abad ditandai dengan perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang tidak adil. Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai manusia diperlakukan tidak adil, maka mereka memberontak. Namun, karena gerakan pembodohan juga sudah berjalan berabad-abad, maka usaha kebangkitan perempuan melalui pendidikan membutuhkan waktu yang lama pula. Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan ini, akan terhambat apabila pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan perempuan tidak memiliki visi yang sama, atau bahkan bertentangan (Murniati, 2004: 17).

1.5.3 Kawin Piara

  “Kawin Piara” terjadi ketika seorang laki-laki membayarkan sejumlah harta

kawin berupa uang dan barang yang telah ditentukan oleh pihak keluarga perempuan

  

balik. Status perkawinan akan disahkan ketika sang istri ini sudah matang secara

fisik. Baru setelah itu, perempuan masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang

begitu berat (Claresta, 2006).

  Anak perempuan Pulau Buru adalah korban. Di hadapan tradisi, mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia, enam tahun atau bahkan saat masih dalam kandungan oleh lelaki dewasa yang sedang mencari istri. Dalam kebiasaan masyarakat Buru, ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang untuk sekolah lagi. Istilah setempat mengatakan ”kawin piara”, Anak yang dipinang dipelihara sampai dirasa siap untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga (Kuswandari, 2005).

  Anak-anak perempuan Pulau Buru, di hadapan tradisi mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia. Ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang bersekolah dan kadang juga dilarang untuk bergumul dengan kawan sebaya, seakan tidak boleh mengenal dunia luar. Mereka menyebutnya sebagai “kawin piara”.

  Mereka dipertukarkan oleh ayahnya karena memang di sana perempuan bisa dipertukarkan sebagaimana barang. Bahkan terkadang mereka juga diteruskan pada laki-laki lain dalam satu keluarga jika suaminya meninggal agar persaudaraan di antara kedua keluarga tidak terputus (Hafidzohalmawaliy, 2008).

1.6 Metode Penelitian

  Untuk meneliti perjuangan perempuan dalam pendidikan, penulis akan memanfaatkan 3 metode penelitian, yakni metode analisis, teknik pengumpulan data dan sampel.

1.6.1 Metode Analisis

  Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono, 1986: 14).

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis dan metode deskriptif. Metode analisis merupakan suatu cara membagi suatu objek yang dapat berupa gagasan-gagasan, organisasi, makna struktur, maupun proses ke dalam komponen-komponennya. Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu pokok permasalahan agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat (Keraf, 1981: 61).

  Langkah-langkah yang ditempuh untuk menganalisanya dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan. Hasil analisis tersebut dideskripsikan sesuai dengan penafsiran dan pemahaman peneliti berdasarkan landasan teori dalam penelitian ini. Berdasar metode ini, maka pertama-tama peneliti mengkaji bentuk- bentuk perjuangan tokoh dalam tiga cerita pendek. Kedua, menganalisis kondisi sosiokultural perempuan Buru yang memperjuangkan pendidikan, melalui peristiwa- tokoh utama terhadap pendidikan, lingkungan tempat tinggal, dan keluarga yang dimilikinya, serta bagaimana sikap tokoh utama menghadapi kondisi sosial masyarakat yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal tokoh utama dan keluarganya.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik pustaka ini merupakan teknik yang dilakukan dengan meneliti teks - baik lama maupun modern- dengan memanfaatkan kartu data. Teknik pustaka dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Dalam studi tersebut dicari sumber-sumber tertulis yang digunakan dan dipilih sesuai dengan masalah dalam tujuan penelitian (Ratna, 2004: 39).

  Selain itu juga digunakan teknik simak dan catat. Teknik simak dan catat merupakan teknik dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyimak secara cermat, terarah dan teliti terhadap data-data yang telah diperoleh. Data-data yang diperoleh dari hasil penyimakkan kemudian dicatat pada kartu data (Sudaryanto,1988:1-5). Hal tersebut dimaksudkan agar peneliti memperoleh data yang konkret. Pelaksanaannya dengan menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian.

1.6.3 Populasi dan Sampel

  1.6.3.1 Populasi

  Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Sudaryanto, 1988: 21). Dalam penelitian ini yang disebut populasi adalah seluruh cerita pendek yang ada di dalam antologi Cerita Pendek Seribu Impian

  

Perempuan Buru . Cerita-cerita pendek itu adalah 1. Maria, Keteguhan Hati

Perempuan, karya Sutikno Sutantyo 2. Tragedi Turun Temurun Anak Perempuan

Buru, karya Melani Wahyu Wulandari 3. Perempuan di Musim Angin Timur, karya

Bambang A. Sipayung 4. Potret Perempuan Pilihan, karya Theopilus Yanuarto 5.

  

Perempuan Asing di Tanah Buru, karya Melani Wahyu Wulandari 6. Guru Rakitan,

karya Vivi Amalia.

  1.6.3.2 Sampel

  Sampel adalah bagian yang lebih kecil dari populasi yang diambil sebagai bahan penelitian. Karena jumlah keseluruhan populasi tersebut begitu banyak, maka demi kerja penelitian, jumlah dari populasi tersebut diambil sebagian yang dipandang cukup mewakili keseluruhannya (Sudaryanto, 1988: 21).

  Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel penelitian adalah cerita pendek 1.

  

Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo 2. Perempuan di Musim

Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung 3. Tragedi Turun-Temurun Anak

Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari.

  Dalam meneliti wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru ini hanya membahas tiga judul cerita pendek, yang merupakan perwakilan dari keenam judul yang ada, selain untuk efisiensi juga karena semua populasi bersikap sama yaitu mengungkapkan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan serta budaya yang melatarbelakanginya.

1.6.4 Sumber Data

  Sumber data adalah tempat data itu diperoleh. Sumber data dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Karena penelitian ini adalah penelitian sastra, maka sumber data primernya pun berupa karya sastra, yaitu kumpulan cerita pendek dengan identitas sebagai berikut:

  Judul : Seribu Impian Perempuan Buru Penerbit : Jesuit Refugee Service (JRS) Tahun Penerbit : Yogyakarta, November 2005 Tebal buku : 103 halaman Cetakan : Cetakan pertama Sumber data sekundernya berupa literature dan artikel yang diperoleh dari majalah atau jurnal-jurnal sastra, atau didapat dengan cara mendownload artikel dari internet.

1.7 Sistematika Penyajian

  Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut : Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan pembahasan analisis kondisi sosiokultural yang tercermin pada antologi cerita pandek Seribu

  

Impian Perempuan Buru yang melatar belakangi perjuangan perempuan dalam

  pendidikan. berjudul Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo dan cerita pendek berjudul Perempuan di Musim Angin Timur, karya Bambang A.

  Sipayung serta cerita pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Bab tiga merupakan pembahasan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan pada cerita pandek berjudul Maria, keteguhan Hati

  

Perempuan, karya Sutikno Sutantyo dan cerita pendek berjudul Perempuan di Musim

Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung serta cerita pendek Tragedi Turun-

Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Bab empat

merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II KONDISI SOSIOKULTURAL YANG TERCERMIN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU YANG MELATARBELAKANGI PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN Kebangkitan perempuan yang sudah berabad-abad ditandai dengan perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang tidak adil. Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai manusia diperlakukan tidak adil, maka

  mereka memberontak. Keterikatan pada kaum perempuan berarti ketidakmerdekaan perempuan sebagai manusia dalam menentukan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya sendiri. Sampai saat ini, masih banyak hak azasi perempuan sebagai manusia pribadi, dirampas tanpa disadari oleh perempuan itu sendiri. Akibatnya, ketidakadilan terhadap perempuan muncul di mana-mana. Hampir seluruh penderitaan di dunia ini, korban mayoritas adalah perempuan (Murniati, 2004: 17- 18).

  Sistem nilai dalam tradisi lokal dan kapitalisme global memiliki pertautan yang unik dalam memandang tentang perempuan. Keduanya meneriakkan jargon tentang tingginya posisi perempuan, tetapi pada saat yang sama menjadikan perempuan sebagai sandera untuk kepentingan. Dalam banyak tradisi, nilai perempuan ditentukan oleh ”harga” mas kawin para gadis. Sementara kapitalisme global yang mengusung isu demokrasi dalam praktiknya memandang perempuan lebih sebagai pasar, komoditas, sekaligus konsumen (Hartiningsih, 2006).

  Anak perempuan Pulau Buru adalah korban. Di hadapan tradisi, mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia, enam tahun atau bahkan saat masih dalam kandungan oleh lelaki dewasa yang sedang mencari istri. Dalam kebiasaan masyarakat Buru, ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang untuk sekolah lagi. Istilah setempat mengatakan ”kawin piara”, Anak yang dipinang dipelihara sampai dirasa siap untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga (Kuswandari, 2005).

  Berikut ini akan dipaparkan kondisi kultur yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi perjuangan perempuan dalam pendidikan, berdasarkan pengalaman nyata yang terjadi oleh para tim JRS yang juga sekaligus sebagai penulis cerita pendek ini. Kondisi kultural tersebut meliputi kawin piara, patriarkhi dan konflik bernuansa agama.

2.1 Kawin Piara

  “Kawin Piara” terjadi ketika seorang laki-laki membayarkan sejumlah harta

kawin berupa uang dan barang yang telah ditentukan oleh pihak keluarga perempuan

sehingga ia berhak membawa pulang sang istri yang masih belum mencapai masa akil

balik. Status perkawinan akan disahkan ketika sang istri ini sudah matang secara

fisik. Baru setelah itu, perempuan masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang

  Maria dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno

  Sutantyo adalah sosok wanita yang hak dan kebebasannya direnggut adat semenjak

  

kecil, sebelum masa akil balig menghampirinya. Maria tidak dapat berbuat apa-apa

kecuali menuruti keinginan orang tuanya untuk “kawin piara”.

  (24) Di kampung itu pula, sebelum masa akil balig menghampirinya dia

  sudah dikawinkan dengan seorang lelaki bermarga Nurlatu pilihan orang tuanya. ”Poly lebih besar dari saya ketika itu,” jawabannya ketika saya bertanya umur berapa dia dikawinkan. Poly adalah seorang anak perempuan berusia sekitar 6 tahun, putri tetangganya di kampung di mana sekarang Maria tinggal. Ia menikah dalam usia yang sangat muda, tanpa kesempatan untuk memilih (hlm.31).

  Setelah menikah dan memiliki anak, salah satu anak perempuannya yang bernama Lusi juga hampir mengalami nasib yang sama seperti ibunya. Jika tidak karena Maria, sang ibu, Lusi yang baru berusia 6 tahun sudah dikawinkan. Maria berjuang untuk menolak pinangan-pinangan itu. Maria mencoba memberontak tradisi ”kawin piara” yang telah turun temurun itu.

  (25) Sementara itu, Lusi, anak perempuannya yang waktu itu baru berumur sekitar 6 tahun sudah menjadi incaran para lelaki di kampung tempat tinggal mereka maupun dari kampung tetangga. Sudah tiga keluarga yang datang meminang Lusi. Meski suami menyetujui, dengan berbagai alasan, Maria selalu menolak pinangan-pinangan itu. (hlm.34).