Ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel entrok karya okky madasari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

(S.Pd)

Oleh:

Rizka Amalia Sapitri

1110013000108

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

RIZKA AMALIA SAPITRI, 1110013000108, “Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari dan Impilkasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum.

Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Entrok karya Okky Madasari, 2) untuk mengetahui ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari, dan 3) implikasi novel Entrok karya Okky Madasari terhadap pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kulitatif untuk mendeskripsikan data berupa ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Teknik analisis data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk-bentuk ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari yaitu: 1) kekerasan terhadap perempuan dalam betuk pemerkosaan, pelacuran (prostitution), dan pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga berencana, 2) subordinasi terhadap perempuan dalam bentuk perempuan tidak dapat menyuarakan hak, pendapat dan keputusannya, 3) stereotip terhadap perempuan dalam bentuk anggapan perempuan yang bersolek untuk mencari perhatian lawan jenis dianggap sebagai penggoda, dan anggapan bahwa istri yang tidak becus melayani suaminya, dan tidak dapat memuaskan suaminya, suami berhak mencari istri baru atau perempuan lain, 4) marginalisasi terhadap perempuan dalam bentuk pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki, dan 5) beban kerja terhadap perempuan dalam bentuk beban kerja yang menumpuk dan membebani dalam pekerjaan domestik.


(6)

ii

ABSTRACT

RIZKA AMALIA SAPITRI, 1110013000108, “Gender Inequalities toward Women in Entrok novel by Okky Madasari and its Implication for Literature

Learning in Senior High School”, Department of Indonesian and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum.

The aims of this research were: 1) to find out intrinsic values in the novel entitled

Entok written by Okky Madasari, 2) to find out gender injustice against women in

the novel entitled Entok written by Okky Madasari, 3) to find out the implication of the novel towards the teaching and learning of literature in Senior High Level. The method used in this research was qualitative descriptive method which was used to describe the data related to gender injustice against women in the novel entitled Entok written by Okky Madasari. Data were analysed by heuristic and hermeneutic reading method.

The result of this research showed that there were numerous gender injustice against women in the novel entitled Entok written by Okky Madasari, such as: 1) violence such as, rape, prostitution, and coercive sterilization in Keluarga

Berencana program, 2) subordination such as, prohibition for women to express

their rights, opinions, and decisions, 3) stereotype towards women such as, the woman beautifying her face to attract men was assumed as a teaser; a husband might have rights to have other wives or women if his wife could not serve or satisfy him well, 4) marginalisation such as inequality of remuneration between male and female workers, 5) force load toward women such as numerous burdening domestic work.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji hanya bagi Allah, yang tiada henti memberikan

rahmat dan karunia Nya karena atas izin dan kasih Nya penulis mendapatkan

kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketidakadilan Gender

Pada Perempuan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari serta Implikasinya

terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Sholawat dan salam penghormatan

semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjauhkan kita dari jalan kebodohan. Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifai, M.A., P.h.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, kasih sayang yang Ibu berikan selama ini;

4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan;

5. Ayah Sayutih dan mama Aslamiyah kedua orang tua penulis, yang telah merawat, mendidik, dan mendukung penulis dengan kasih sayang tulus sepanjang masa;


(8)

iv

6. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010, terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini;

7. Teman-teman penulis, Deby Rachma Rizka, Mia Nurdaniah, Nisa Kurniasih, dan Widya C Pratami. Terima kasih telah mendukung, mengingatkan, membantu, dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi;

8. Teman-teman PPKT SMK Grafika Lebak Bulus angkatan Februari— Juni 2014;

9. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Jakarta, November 2014


(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Masalah ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

G. Metode Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORITIS ... 12

A. Pengertian Novel ... 12

B. Unsur-unsur Intrinsik ... 13

1. Tema ... 14

2. Tokoh dan Penokohan ... 14

3. Latar ... 15

4. Alur ... 16

5. Sudut Pandang ... 17

6. Gaya Bahasa ... 19

7. Amanat ... 19

C. Gender ... 20

D. Pembelajaran Sastra ... 27

E. Penelitian yang Relevan ... 30

BAB III OKKY MADASARI ... 32

A. Biografi ... 32

B. Pemikiran-pemikiran Okky Madasari ... 33

C. Sinopsis Novel Entrok .... 37

BAB IV PEMBAHASAN ... 40


(10)

vi

1. Tema ... 40

2. Tokoh dan Penokohan ... 41

3. Alur ... 53

4. Latar ... 59

5. Sudut Pandang ... 69

6. Gaya Bahasa ... 69

7. Amanat ... 71

B. Analisis Ketidakadilan Gender ... 72

1. Kekerasan ... 73

2. Subordinasi ... 79

3. Stereotip ... 83

4. Marginalisasi ... 86

5. Beban Kerja ... 89

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra ... .... 94

BAB V PENUTUP ... 99

A. Simpulan ... 99

B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA


(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Karya sastra merupakan cerminan dari realitas yang terjadi di masyarakat. Setiap kejadian atau peristiwa akan tertuang dalam karya sastra melalui ide dan gagasan dari pengarang. Seorang pengarang pasti akan menyampaikan ide atau gagasan inti melalui bahasa yang digunakannya. Setelah itu pembaca yang akan menafsirkan secara individual melalui pemahaman yang telah diperoleh dari kegiatan membaca karya tersebut.

Karya sastra merupakan gambaran dari kehidupan lingkungan, keadaan sosial masyarakat, kebudayaannya, dan sejarah oleh karena itu untuk melihat keadaan sebuah negara dapat lihat dari karya-karya sastranya yang terdapat di negara tersebut. Karya sastra menjadi refleksi sosial sehingga menjadikannya realitas sosial tetapi karya sastra tetap bersifat fiksi oleh karena itu karya sastra memiliki keterikatan yang erat dengan keadaan dan kondisi masyarakat.

Menurut Wellek dan Warren, sastra sebagai karya imajinatif.1 Pengarang membuat karya sastra merupakan hasil perenungan dan imajinasinya. Kemudian, menghasilkan karya mengenai permasalahan manusia dan kehidupan sehari-hari seperti adat istiadat, sejarah, politik, situasi sosial, budaya, ekonomi dan kondisi alam. Karya sastra diciptakannya tidak hanya mengandung hiburan tetapi juga mengandung nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dan bermanfaat bagi kehidupan.

Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Horatius bahwa karya sastra memiliki fungsi dulce et utile yang memiliki arti yang indah dan berguna. Seorang yang melakukan kegiatan membaca karya sastra akan merasakan dan

1

Wellek dan Warren, Teori Kesustraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h.14


(12)

mendapatkan kesenangan dan hiburan. Sebuah karya sastra selain dapat memberikan keindahan karena nilai estetis dapat juga memberikan manfaat yang dapat berguna bagi kehidupan.

Pada masa sekarang banyak pengarang-pengarang baru dengan karya-karyanya yang semakin berani mengungkapkan fenomena dan realitas sosial secara gamblang. Para perempuan pengarang juga tidak mau ketinggalan membuktikan bahwa perempuan tidak dapat dianggap remeh. Sekarang sudah banyak perempuan pengarang yang eksis dengan karya-karya yang berkualitas seperti Helvy Tinana Rosa, Djenar Maesa Ayu, NH. Dini, Ayu Utami, Leila S Chudori, dan Okky Madasari. Kehadiran banyak pengarang perempuan dengan mudah dapat menyuarakan pemikiran-pemikiran pada karyanya mengenai realitas yang terjadi akibat perbedaan gender yang menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu tema-tema sering yang diangkat pengarang perempuan dalam karyanya seperti kekerasan, inferioritas, diskriminasi dan lain-lain.

Tema ketidakadilan dan kekuasaan yang dibahas oleh pengarang perempuan merupakan gambaran realitas sosial yang sudah lama terjadi di masyarakat. Ketidakadilan yang disebabkan oleh kekuasaan terlihat seperti kebenaran, bahwa seseorang yang berkuasa berhak atas hak orang lain untuk menentukan nasib, dan peran, serta melakukan tindakan kekerasan, dan diskriminasi atas orang yang dikuasainya.

Pengarang perempuan melalui karyanya dapat menggugat ketidakadilan dengan sangat tegas melalui jalan cerita dan tokoh-tokoh yang diciptakannya untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai ketidakadilan yang sudah lama terjadi di masyarakat yang disebabkan oleh kekuasaan, sistem sosial, agam dan budaya patriarki. Ketidakadilan gender pada perempuan yang disampaikan pengarang mengenai peran perempuan atas diskriminasi dibidang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan rumah tangga mulai menyadarkan perempuan akan berharganya perempuan.


(13)

Gender merupakan konstruksi dan tatanan sosial mengenai perbedaan antara jenis kelamin yang disebabkan oleh relasi-relasi sosial antara laki-laki dan perempuan atau berdasarkan sifat yang telah ditetapkan oleh sosial, budaya dan politik di suatu negara. Sedangkan perspektif gender yaitu pandangan tentang peran perempuan yang dibedakan berdasarkan kodrat dan peran gender yang sudah ditetapkan secara sosial, budaya dan politik. Kodrat perempuan yaitu menstruasi, hamil, melahirkan. Sedangkan peran perempuan ditetapkan oleh sistem sosial dan budaya berbeda-beda sesuai dengan waktu, dan tempat.

Perbedaan gender menjadi masalah jika persoalan perbedaan tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan penghargaan dalam masyarakat serta ketidakadilan dalam hak dan kesempatan bagi laki-laki atau perempuan. Perempuan khususnya di Indonesia masih mengalami subordinasi, perendahan, pengabaian, eksploitasi, dan pelecehan seksual bahkan tindakan kekerasan. Ketidakadilan gender yang biasanya menimpa pada perempuan bermula dari adanya kesenjangan gender dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan dan sumber ekonomi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya pelabelan negatif bahwa perempuan adalah lemah, yang juga bermula dari adanya mitos-mitos yang terbangun dalam suatu masyarakat. Misalnya mitos tentang sperma sebagai inti kehidupan. Perempuan tidak mempunyai inti kehidupan, mampu hanya menerima, maka perempuan adalah manusia nomor dua dan lemah.2 Anggapan tersebut telah menjadikan perempuan menjadi korban dari perbedaan gender yang menimbulkan ketidakadilan.

Ketidakadilan gender termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk yakni, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, sterotipe dan beban kerja. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut telah banyak terjadi di masyarakat dan

2

Susilaningsih, dkk, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan McGiLL IISEP, 2004), h.13


(14)

merupakan bagian dari sistem sosial dan budaya yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama sehingga seakan-akan dianggap sebagai kodrat dari Tuhan.

Akibat dari diskriminasi, kekerasan, inferioritas dan kekuasaan yang sewenang-wenang sudah menyulut hadirnya gerakan-gerakan perempuan memperjuangkan ketidakadilan gender atau disebut dengan feminisme. Tujuan dari gerakan feminisme mencoba mengangkat status perempuan dari ketidakberdayaan dan bukan lagi sebagai second sex. Pengecilan peran perempuan karena berkuasanya laki-laki mengakibatkan perempuan menjadi makhluk tidak berdaya dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri dan selalu diatur oleh kekuasaan laki-laki.

Ada yang mengatakan di masyarakat walaupun bersekolah hingga ke jenjang tertinggi pada akhirnya perempuan hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Anggapan tersebut membuat peran perempuan semakin mengecil. Padahal antara perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menentukan nasibnya. Kemudian, menjadikan perempuan sebagai kaum yang terpinggirkan dan kaum nomer dua yang tidak memiliki hak atas hidupnya. Pada bidang perkerjaan perempuan dibatasi hanya untuk mengerjakan pekerjaan domestik saja seperti bersih-bersih rumah, mencuci, dan masak.

Pada bidang pendidikan, laki-laki lebih diutamakan bersekolah dibandingkan perempuan, perempuan dianggap tidak perlu bersekolah karena setelah menikah tugasnya melayani suami. Perempuan yang bekerja tetap mengalami ketidakadilan karena pembagian gaji yang tidak merata antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki dianggap kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah utama akan diberi gaji yang lebih tinggi, sedangkan perempuan yang bekerja hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan sehingga gaji yang diperolehnya tidak sama dengan laki-laki.

Salah satu pengarang perempuan yang menghasilkan karya-karya dengan tema ketidakadilan dan kemanusiaan yaitu Okky Puspa Madasari memiliki


(15)

nama pena Okky Madasari. Lahir di Magetan, 30 Oktober 1984. Mendapatkan gelar sarjana Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Selesai tamat kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan mencoba mendalami dunia penulisan. Karya-karyanya yaitu novel Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012) dan Pasung Jiwa (2013). Okky Madasari berpendapat bahwa dengan menulis novel, suara-suara orang yang tertindas lebih efektif didengar dan dibaca dibandingkan di dalam sebuah tulisan berita, berita sering kali didengar dan dibaca lalu sekenanya saja.

Karya pertamanya novel Entrok merupakan langkah awal Okky Madasari terjun menjadi seorang penulis. Entrok lahir dari kegelisahan-kegelisahan Okky atas menipisnya toleransi dan kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidakadilan banyak terjadi di masyarakat. Terdapat tema-tema besar di dalam novel Entrok yang dibahas sangat beragam mengenai ketidakadilan, perempuan, kepercayaan, politik, ideologi, dan profesi. Tema yang kental dalam novel tersebut mengenai ketidakadilan atas kekuasaan pemerintah, dan gender.

Pada novel Entrok terdapat tokoh utama perempuan bernama Sumarni atau Marni perempuan Jawa yang miskin dan buta huruf tetapi ia berkeinginan besar untuk memiliki entrok yang mahal. Marni berusaha mencari uang dengan membantu simbok mengupas singkong di pasar. Pekerjaan mengupas singkong hanya diupahi dengan singkong, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi kuli yang mengangkat barang-barang di pasar. Sedangkan, pekerjaan kuli yang menjual jasa tenaga dan otot mengangkat barang-barang berat hanya dilakukan para laki-laki. Agar mencapai keinginannya Marni melawan batasan yang ditetapkan sosial dan budaya.

Marni merasa sebenarnya kekuatan perempuan tidak lemah seperti anggapan laki-laki dan perempuan juga mampu mengangkat beban berat contohnya tugas perempuan mengambil air dari sungai ke dapur dengan beban yang berat dan jarak yang jauh. Sedangkan, laki-laki bila di rumah


(16)

hanya tiduran, minta makan dan dilayani. Pada masa itu pembagian upah untuk perempuan masih dibedakan, laki-laki dianggap berhak mendapatkan upah uang dan perempuan hanya diberi upah singkong. Sistem sosial dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat sering kali memiskinkan perempuan.

Okky Madasari ingin menyampaikan pemikirannya untuk menghadapi ketidakadilan dan diskriminasi pada perempuan. Ia mencoba berinteraksi melalui karyanya agar pembaca dapat memahami dan berpikir secara kritis mengenai ketidakadilan dan kesewenangan yang berkuasa. Melalui tokoh perempuan dan setiap peristiwa dalam novel Entrok, peneliti mencoba menganalisis mengenai ketidakadilan pada perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kajian dalam hal ini menggunakan perspektif gender karena ketidakadilan yang disebabkan gender dan melibatkan tokoh perempuan.

Novel adalah fiksi yang dibukukan. Pada pembelajaran sastra di SMA terdapat materi mengenai pemahaman dan analisis terhadap novel. Pada pembelajaran sastra setiap anak diminta membaca karya sastra dan menganalisis sehingga dapat memperoleh pembelajaran positif dalam segala hal pada kehidupan termasuk pembahasan mengenai gender. Pada pembelajaran sastra di SMA masih kurang sekali pembahasan mengenai gender dan perempuan dalam karya-karya sastra yang dikaji. Dengan pernyataan ini, penulis ingin memaparkan tentang ketidakadilan gender pada perempuan yang disisipkan Okky Madasari melalui tokoh-tokoh perempuan dalam novel Entrok dengan menggunakan pendekatan objektif dan analisis perspektif gender. Maka penulis mengambil judul penelitian Ketidakadilan Gender pada Perempuan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA.


(17)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka timbul beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Banyaknya masyarakat yang masih menganggap kaum perempuan sebagai kaum nomer dua

2. Perbedaan gender menimbulkan ketidakadilan gender dalam banyak bidang.

3. Kurangnya pemahaman penulis tentang ketidakadilan gender

4. Kurangnya pembahasan mengenai gender pada pembelajaran sastra di SMA

5. Ingin mengetahui kelayakan novel Entrok dan impilikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

C. Batasan Masalah

Pembatasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting agar per masalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada ketidakadilan gender pada perem puan dalam novel Entrok karya Okky Madasari yang diimplikasikan terhadap p embelajaran Sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari?

2. Bagaimana implikasi ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel

Entrok karya Okky Madasari terhadap pembelajaran sastra di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:


(18)

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok Karya Okky Madasari.

2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

F. Manfaat Penelitian

Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu sastra, khususnya pada karya sastra berbentuk novel dan dalam teori sastra. Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entok karya Okky Madasari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan.

b. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi novel Entrok dan mengambil manfaat darinya. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan (khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung pesan yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi.

c. Bagi Peneliti yang Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun bahan pijakan penelitian untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.


(19)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam mengumpulkan data).3 Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode deskriptif kualitatif. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi ketidakadilan gender pada perempuan, unsur-unsur intrisik dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA yang terdapat dalam novel yang diteliti. Metode deskriptif disebut juga sebagai metode yang bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.4 Pada penelitian ini mendeskripsikan implikasi pembahasan novel Entrok terhadap pembelajaran sastra di SMA

1. Sumber Data

Menurut Ratna, dalam ilmu sastra sumberdatanya adalah karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.5 Terdapat dua sumber data pada penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data-data yang didapatkan dari sumber data yang utama. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah:

Judul Buku : Entrok

Penulis : Okky Madasari

Jumlah Halaman : 282 Halaman

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Tahun 2010.

Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian. Sumber data

3

Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.4

4

Ibid, h.9

5

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.47


(20)

sekunder adalah sumber data yang digunakan peneliti untuk menganalisis sumber data primer. Semua jenis bahan bacaan kepustakaan (buku, artikel atau esai) dikelompokkan sebagai data sekunder.6

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dengan teknik simak dan catat. Teknik studi pustaka menggunakan sumber-sumber tertulis mengenai teori yang berkaitan dengan masalah penelitian guna untuk memperoleh data penelitian. Selanjutnya dengan teknik simak dan catat digunakan sebagai alat utama dalam melakukan kegiatan menyimak secara cermat dan terfokus pada sumber data. Peneliti melalui kegiatan menyimak dan mencatat secara cermat terhadap sumber primer agar dapat mendeskripsikan dan memaparkan masalah dalam penelitian.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pembacaan heuristik dan hermeneutik yang tergolong dalam model pembacaan semiotik. Kegiatan pembacaan ini diawali dengan pembacaan heuristik lalu dilanjutkan dengan tahapan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan pembacaan karya sastra dalam semiotik tingkat pertama, yaitu berupa pemahaman makna sebagaimana dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan). Pembacaan heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning.7

Hermeneutik adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dengan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut

6

Mestka Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h.31

7

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h.33


(21)

maksudnya. Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra, dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya.8 Model pembacaan heuristik berdasarkan teksnya sedangkan hermeneutik dilihat dari konteksnya di masyarakat atau dikehidupan nyata.

Langkah-langkah untuk menganalisis novel Entrok dalam penelitian iniadalah melalui pembacaan secara heuristik untuk mengetahui secara keseluruhan dan makna yang tersurat di dalam novel Entrok. Selanjutnya, melalui pembacaan hermeneutik untuk mengetahui unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel dan mengetahui ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok. Kemudian, pembahasan mengenai analisis unsur intrinsik novel dan diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA. Langkah terakhir, menarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.

8


(22)

12 BAB II

KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula

dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena jika

dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain maka jenis novel ini muncul kemudian.1

Sebelum novel telah muncul roman yang keberadaannya sudah sejak lama. Novel bersifat realistis dan roman bersifat puitik dan epik. Novel lebih banyak mengacu dengan realitas yang sangat tinggi dan psikologi yang mendalam.

Novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang cukup panjang. Panjangnya tidak kurang dari 50.000 kata. Mengenai jumlah kata dalam novel adalah relatif.2

Dewasa ini novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris:

novelette, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup,

tidak terlalu panjang namun tidak juga terlalu pendek.3

Halaman novel yang terkadang agak tebal maka saat membacanya tidak bisa sekali duduk seperti cerpen.

Novel adalah Karangan prosa yang panjang mengandung rangkain cerita kehidupan seseorang dengan orang yang disekelilingnya dengan menonjolkan sikap dan watak setiap pelaku.4

Cerita novel beragam dari segi tempat, alur dan tokoh-tokoh. Terkadang novel banyak menceritakan tentang permasalahan manusia yang lebih mendalam. Biasanya permasalahan dalam roman dan novel mempersoalkan manusia dengan

1

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), h. 164.

2

Endah Tri Priyatni, Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis, (Jakarta: Bumi Aksara 2010), h. 125

3

Nurgiyantoro, op. cit., h. 9-10.

4

Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 788.


(23)

berbagai aspek kehidupannya. Di dalamnya tercermin masalah-masalah kehidupan yang dihadapi manusia pada suatu waktu, dan usaha pemecahannya sesuai dengan pandangan dan cita-cita pengarangnya.5

H. B. Jassin berpengertian bahwa novel adalah cerita mengenai salah satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib manusia.6

R.J. Rees pada tahun 1973 berpendapat bahwa novel, “A fictious prose narrative of considerable length in whith characters and actions representative of real life are portrayed in a plot

of more or less complexity.” Dapat diartikan, menurut R.J. Rees novel

merupakan sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.7

Dari beberapa pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah prosa yang mencerminkan permasalahan hidup manusia dari berbagai aspek melalui watak pelaku cerita dengan tahapan alur cerita yang kompleks. Alur cerita yang kompleks membuat novel memiliki cerita yang cukup panjang sehingga berpengaruh pada ketebalan halaman, hal tersebut yang dapat membedakan cerpen dengan novel. Dalam novel cerita yang ditulis pengarang merupakan keinginannya untuk menyampaikan pesan yang terkandung bagi pembaca agar dapat bermanfaat untuk kehidupan yang membaca.

B. Unsur-unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur yang melekat pada prosa fiksi itu atau yang dapat diamati atau dianalisis dari karya fiksi itu sendiri. Jakob

5

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori Sejarah dan Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 41.

6

Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 63

7

Furqonul Aziez & Abdul Hasim Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 1


(24)

Sumardjo dan Saini K.M mengungkapkan bahwa unsur intrinsik prosa fiksi meliputi: alur, tema, tokoh dan penokohan, suaana, latar, sudut pandang, dan gaya. 8

1. Tema

Brooks, Puser, dan Warren mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.9

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.10

Tema adalah gagasan sentra dalam suatu karya sastra. Dalam novel, tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot.11

Dari pengertian di atas mengenai tema dapat disimpulkan, bahwa tema merupakan gagasan atau ide utama yang terdapat didalam karya sastra kemudian dikembangkan melalui alur/plot cerita. Tema biasanya diambil dari gagasan utama dalam aspek kehidupan seperti kesetiaan, ambisi, tradisi, frustasi, ketakutan, penyesalan, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.

2. Tokoh dan penokohan

Menurut definisinya, tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.12

Aminuddin mengatakan bahwa pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang

8

Tri Priyatni, op. cit., h. 109

9

Tarigan, op. cit., h. 125

10

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: C.V Sinar Baru, 1987), h.91

11

Aziez dan Hasim, op. cit., h. 71

12

Melani budianta. dkk, MembacaSastra Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (malang: Indonesia Tera, 2002), h. 86


(25)

menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.13

Di dalam novel, tokoh dan penokohan merupakan kesatuan yang saling berkaitan. Kedua hal ini tidak dapat dihilangkan dan dipisahkan dalam pembahasan.

Nurgiyantoro berpendapat dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita tersebut, ada tokoh utama cerita (central character) yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh tambahan (peripheral character) yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

3. Latar

Abrams berpendapat latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.14

Leo Hamalian dan Frederick R. Karell menjelaskan bahwa latar cerita dalam karta fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema.15

Farqunol Aziz dan Abdul Hasyim berpendapat bahwa istilah latar berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, dimana para tokoh menjalankan perannya.16

Latar yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.17

Jacob

13

Aminuddin, loc. cit., h. 79

14

Nurgyiantoro, op.cit., h.216

15

WahyudiSiswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 149

16

Aziez dan Hasyim, op. cit., h. 74

17


(26)

Sumardjo menyatakan bahwa setting tidak hanya berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup suatu daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Stephen Minot yang menyatakanbahwa latar memuat: 1) latar waktu, 2) latar alam/geografi, 3) latar sosial18

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa latar dalam novel terdiri dari tiga yaitu latar waktu, tempat, dan suasana. Latar tempat menunjukkan tempat peristiwa para tokoh menjalankan perannya seperti Yogyakarta dan kamar tidur atau dapur. Latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya sebuah peristiwa. Latar sosial berhubungan dengan keadaan masyarakat, gaya hidup, adat istiadat dan sikapnya.

4. Alur

Alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama.19

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur merupakan pondasi dari sebuah cerita.20

Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.21

Sebuah cerita tidak akan utuh apabila tidak ada pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa dalam alur, hubungan kausalitas dan keberpengaruhan. Pengarang dengan sangat terampil menggarap peristiwa-peristiwa untuk dijadikan jalan cerita hal tersebut juga menjadi penentu kualitas dari seorang pengarang. Setiap peristiwa tersusun menjadi tahapan-tahapan alur dalam cerita. Pada dasarnya

18

Endah Tri Priyatni, op. cit., h.112

19

Tarigan, op. cit., h. 126.

20

Robert Stanton, Teori Pengkajian Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.26

21


(27)

alur bergerak dari permulaan, pertengahan, dan akhir. Ada berbagai pendapat mengenai tahapan-tahapan peristiwa dalam cerita.

Aminuddin membedakan tahapan-tahapan peristiwa sebagai berikut:22

1) Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita.

2) Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama.

3) Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian.

4) Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca.

5) Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. 6) Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapainya

klimaks.

7) Selesaian adalah tahapan akhir suatu cerita rekaan atau drama.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang atau titik

22


(28)

pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.23

Ada banyak jenis sudut pandang dalam karya sastra salah satunya berdasarkan pemaparan dari Albertine Minderop sebagai berikut:24

1) Sudut pandang persona ketiga “Diaan”

Sudut pandang persona ketiga “Dia” digunakan dalam

pengisahan cerita dengan gaya “Dia”. Narator atau pencerita

adalah seorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya. Pada sudut pandang persona ketiga

“Diaan” terbagi menjadi dua macam, pertama sudut pandang

orang ketiga “Dia” mahatahu yaitu pencerita berada diluar diluar cerita dan melaporkan peristiwa-peristiwa menyangkut

para semua tokoh. Kedua “Dia” terbatas sebagai pengamat yait

pencerita yang berada diluar cerita yang mengetahui segala sesuatu tentang diri seorang tokoh saja baik tindakan maupun batin tokoh tersebut.

2) Sudut pandang pesona pertama “Akuan”

Sudut pandang “aku” hanya menceritakan pengalamannya sendiri. Sudut pandang persona pertama “Aku” terbagi menjadi dua, pertama “Aku” tokoh utama yaitu pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh utama melaporkan cerita dari sudut

pandang “Aku” atau “I” dan menjadi foks atau pusat cerita. Kedua, “Aku” tokoh tambahan yaitu pencerita yang tidak ikut

serta berperan dalam cerita, hadir sebagai tokoh tambahan yang aktif sebagai pendengar atau penonton dan hanya utnuk

melaporkan cerita kepada pembaca dari sudut pandang “Aku” atau “I”.

3) Sudut pandang campuran

23

Aminuddin, op. cit., h. 90

24

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), h. 96-113


(29)

Sudut pandang ini menggunakan lebih dari satu teknik pencerita. Pengarang berganti-ganti dari satu teknik ke teknik yang lainnya.

6. Gaya Bahasa

Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.25

Gaya merupakan pemilihan serta penyusunan bahasa. Aminuddin menyatakan bahwa dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.26

Dari pengertian di atas, gaya bahasa merupakan sarana pengarang untuk mengekspresikan gagasannya sehinggga dapat menyentuh daya intelektual, dan emosi pembaca. Gaya bahasa juga bisa menjadi ciri khas dari seorang pengarang.

7. Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.27

Melaui amanat pengarang mencoba menyampaikan pesan yang ingin disampaikannya. Amanat bersifat tersirat dan tersurat dalam karya sastra. Pesan yang disampaikan oleh pengarang dalam karya diharapkan pembaca bisa diaplikasikan di kehidupan

25

Stanton, op. cit., h. 61

26

Aminuddin, op. cit., h. 72

27


(30)

C. Gender

Perspektif merupakan gambaran pandangan dapat dianggap juga bahwa perspektif sudut pandang terhadap fenomena. Perspektif gender adalah sudut pandang yang dipakai ketika melakukan penelitian yang berfungsi untuk memahami gejala sosial budaya, dengan asumsi bahwa dalam masyarakat ada pembedaan menurut jenis kelamin.28

Umumnya gender diartikan sebagai hal-hal yang bersifat kultural dan sosial. Gender tidak merujuk pada hal-hal yang bersifat biologis dan alamiah, hal-hal yang belakangan ini kerap dikaitkan dengan istilah “seks”.29

Gender

sendiri didefinisikan sebagai “pemisahan jenis kelamin yang dipaksakan secara sosial” dan sebagai “suatu hasil relasi seksualitas yang bersifat

sosial”.30

Banyak yang menggap bahwa sex memiliki makna yang sama dengan gender, pada dasarnya sex adalah jenis kelamin yang merujuk pada sifat biologis mengenai reproduksi, anatomi fisik dan karakteristik biologis. Sedangkan gender bersifat sosial dan kultural. Gender terjadi karena adanya sistem sosial dan kultur yang berlaku di sebuah tempat berdasarkan jenis kelaminnya.

Sadli berpendapat bahwa pengertian seks atau jenis kelamin dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam biologi adalah suatu kategori biologis, perempuan atau lelaki. Ini menyangkut hitungan kromosom, pola genetik, dan struktur genital. Gender sebaliknya merupakan konsep sosial.31 Seks atau jenis kelamin berbeda dengan gender. Seks atau jenis kelamin ditentukan berdasarkan katergori biologis seperti penghitungan kromosom, pola genetik dan struktural genetik. Gender berkaitan dengan prilaku yang didasarkan oleh pengalaman

28

Umi sumbulah, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi,(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 11

29

Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), h.257

30

Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009), h. 229

31

Saparinah Sadli, Berbebeda tetapi Setara Pemikiran tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), h. 22-23


(31)

sosialnya seperti perempuan memiliki sifat positif yakni sifat lembut, sabar, berpenampilan rapi dan senang melayani kebutuhan orang lain.

Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita feminim atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam atau di luar rumah, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya - secara bersama-sama memoles

“peran gender” kita.32

Gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, ataupun keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa.33

Sifat dan ciri tersebut dapat dipertukarkan. Konsep gender yaitu perubahan terhadap ciri dan sifat perempuan dan laki-laki dari tempat ke tempat, waktu ke waktu dan kelas ke kelas masyarakat lainnya.

Gender adalah suatu kontruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara ideologi, politik, hukum dan ekonomi. Oleh karenanya gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif.34

Menurut Laurel Richardson, dkk Gender is so pervasive that in our society we assume it is bred into our genes. Most people find it hard to believe that gender is constantly created and recreated out of human interaction, out

of social life, and is the texture and order of that social life.35Artinya gender

sangat meluas dalam masyarakat, kita menganggap itu sebagai asal dari gen

32

Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan. (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s

Centre dengan Pustaka Pelajar, 2007), h. 3

33

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013), h.8

34

Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 8

35

Laurel Richardson, Feminist Frontiers, (Americas, New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2004), h. 33


(32)

kita. Kebanyakan orang merasa sulit untuk percaya bahwa gender terus-menerus dibuat dan diciptakan dari interaksi manusia, kehidupan sosial, dan tekstur tatanan kehidupansosial.

The pervasiveness of gender as a way of structuring social life demands that gender statuses be clearly differentiated. Varied talents, sexual preferences, identities, personalities, interests, and ways of interacting

fragment the individuals bodily and social experiences.36 Artinya gender

sangat mudah menyebar sebagai cara penataan kehidupan sosial meminta bahwa status gender dibedakan dengan jelas. Bakat-bakat yang bervariasi, pilihan jenis kelamin, identitas, kepribadian, minat, dan interaksi individu dan interaksi sosial.

Pengertian gender menurut Hilary M. Lips Gender is the term used to encompass the social expectations associated with femininity and masculinity (Unger, 1979b). finding that cultures also differ from one another in their rules and expectations for femininity (and for masculinity) is a good clue that gender is "socially constructed. The rules for femininity and masculinity are grounded in the biological/anatomical distinctions between women and men (what we call sex differences), but go well beyond such distinctions. For example, one important sex difference is that women can become pregnant and men cannot. this biological distinction has been used in many cultures to create a set of "femininity" expectations for women that include being

maternally inclined, nurturing, and close to the earth.37Artinya gender adalah

sistem/konsep yang digunakan untuk menjelaskan sistem hubungan social antara pria dan wanita (Unger, 1919b). Mengungkap bahwa adat/tradisi berbeda satu dengan yang lain di dalam aturan dan perbedaan sikap untuk wanita (dan pria) adalah ciri penting bahwa gender terbentuk dalam masyarakat. Menentukan wanita dan pria didasari oleh perbedaan biologi/fisik antara wanita dan pria (perbedaan sex), terbentuk dengan baik. Sebagai

36

Ibid., h. 42 37

Hilary M. Lips, A New Psychology of Women: Gender, Culture, and Ethnicity,


(33)

contoh, salah satu perbedaan penting dalam perbedaan sex/ jenis kelamin adalah bahwa wanita bisa mengandung/hamil sedangkanpria tidak. Perbedaan biologi ini telah digunakan dibanyak suku budaya untuk menentukan ciri dari

―kewanitaan perbedaan wanita juga termasuk memiliki sifat keibuan, merawat, dan dekat dengan anak.

Berbeda dengan sex atau jenis kelamin yang sudah ditetapkan dan diatur oleh Tuhan, manusia tidak dapat merubah kodrat tersebut. Kodrat perempuan yang telah ditetapkan Tuhan misalnya perempuan hamil, melahirkan, menyusui dan menstruasi. Gender membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku, mental, ideologi dan emosional yang berkembang di masyarakat. Akibat dari perbedaan gender menimbulkan anggapan di masyarakat mengenai pekerjaan yang pantas untuk laki-laki seperti profesi dokter, direktur, presiden, dan pekerjaan yang memimpin tidak pantas untuk perempuan. Sedangkan pekerjaan yang pantas untuk perempuan seperti sekertaris, perawat, dan ibu rumah tangga.

Gender tidak akan menjadi masalah jika tidak menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi, tetapi karena terjadi pembedaan terhadap gender telah melahirkan peran gender. Selanjutnya, peran gender menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi gender. Fakih berpendapat bahwa perbedaan gender ternyata telah mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotipe yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotipe yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial terkukuhkan menjadi kodrat cultural, dalam proses yang panjang telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan, antara lain:

a) Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan,

termanifestasi dalam, posisi subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki;

b) Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan;


(34)

c) Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotipe terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terbadap mereka;

d) Perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekarja lebih keras dan memeras keringat lebih panjang;

e) Perbedaan gender juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara fisik maupun secara mental; f) Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya di

atas mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat, dan penerimaan nasib perempuan yang ada.

Dari penjelasan di atas bahwa perbedaan menimbulkan ketidakadilan gender yang menjadikan perempuan sebagai korbannya. Mansour Fakih menjelaskan ketidakadilan yang akibatkan oleh gender sebagai berikut: 38

a) Marginalisasi

Gender telah menimbulkan marginalisasi kemiskinan ekonomi yang dialami perempuan. Marginalisasi terkait dengan pemiskinan perempuan akibat penggusuran, tafsir agama, kebijakan pemerintah. Misalnya program pertanian atau revolusi hijau (green

revolution) secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan

dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Program revolusi hijau memperkenalkan jenis padi biasa menjadi padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak lagi melakukan panen dengan ani-ani. Padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan.

b) Subordinasi

Subordinasi pada perempuan menimbulkan anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang

38


(35)

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Misalnya di Jawa dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi , toh akhirnya akan di dapur juga.

c) Stereotip

Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotip bersumber dari pandangan gender. Misalnya masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami. Stereotip ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomerduakan.

d) Beban kerja

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.

e) Kekerasan

Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya:

1) Pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan.

2) Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak.

3) Penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin

(genital mutilation).

4) Kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasa terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan.


(36)

5) Kekerasan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini masuk kekerasan nonfisik yakni pelecehan yang menjadikan kaum perempuan sebagai objek demi keuntungan seseorang. 6) Pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana. Pemaksaan

sterilisasi dapat membahayakan kaum perempuan baik fisik maupun jiwa mereka.

7) Kekerasan terselubung yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.

8) Pelecehan seksual (sexual harassment).

Analisis gender sering kali berkaitan dengan kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Sesuai dengan pendapat Mansour Fakih sebelumnya bahwa kekerasan dikasifikasikan menjadi 8. Selain ketidakadilan ternyata gender telah menciptakan kekerasan-kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan. Perempuan sering sekali menjadi korban dari kesombongan dan keangkuhan laki-laki yang dibuat oleh budaya patriarki.

Dampak yang ditimbulkan dari perbedaan gender menjadikan perempuan dalam masyarakat kelas dua yang tidak dapat menentukan dan memperrjuangkan kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sugihastuti bahwa berkuasanya laki-laki sebagai pihak dominan telah mengecilkan peranan perempuan dalam keluarga yang berimbas pada citra diri perempuan sebagai pihak yang tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan nasib sendiri.39

Dalam ruang lingkup rumah tangga, perempuan hanya diperbolehkan berada di rumah, dan hanya melakukan pekerjaan yang bersifat domestik. Kondisi perempuan dengan perekonomian yang rendah akan memiliki beban ganda selain melakukan pekerjaan domestik yakni harus membantu keuangan keluarga. Selain itu, di bidang pekerjaan terkadang pemberian upah bagi

39

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Genderdan Inferioritas Perempuan Praktik Kritik Sastra Feminis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.92


(37)

kaum perempuan tidak sebanding dengan yang didapatkan oleh kaum laki-laki. Ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat menimbulkan pengecilan dan beban peran perempuan, ketidakadilan, diskriminasi, kesewenangan, dan kekerasan.

Dari pemaparan mengenai gender, dapat disimpulkan bahwa gender dan sex tidak memiliki kesamaan arti atau makna, tetapi banyak yang menganggap bahwa gender istilah lain untuk sex. Sebenarnya, sex berarti pembagian jenis kelamin dan bersifat biologis. Sedangkan gender merupakan pembagian terhadap perbedaan prilaku laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Gender dapat berbeda-beda berdasarkan tempat, waktu, dan kelas. Perbedaan gender yang menimbulkan ketidakadilan gender seperti marginalisasi, subdornisasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja.

D. Pembelajaran Sastra

Pendapat Wallek dan Warren bahwa sastra berarti segala sesuatu yang tertulis dan bersifat rekaan dan memiliki nilai estetik. Sesuai dengan pendapat tersebut bahwa pengajaran sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat memberikan manfaat karena sastra sebagai karya seni yang memiliki nilai estetis banyak memberikan pengetahuan baru. Pengajaran sastra juga dapat mengakrabkan antara hubungan guru dan siswa.

Pengajaran bahasa dan sastra tidak dapat disamakan tetapi kedua pengajaran tersebut tidak bisa dipisahkan. Pengajaran sastra bersifat afektif yaitu menambah pengalaman siswa untuk lebih cepat tanggap terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitarnya. Tujuan akhir dari pengajaran sastra agar siswa mampu menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap permasalahan hidup, serta dapat mengenal dan menghormati nilai-nilai kehidupan. Sedangkan, pengajaran bahasa pembelajarannya mengenai aspek keterampilan berbahasa yaitu menyimak,


(38)

membaca, menulis, dan berbicara yang terintegrasi dengan pengajaran sastra, oleh karena itu pengajaran sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan.

Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dibidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (2) peserta didik menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya intelektual manusia Indonesia40

. Tujuan itu dijabarkan kedalam kompetensi mendengarkan, berbicara, dan menulis sastra.

Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.41

a. Membantu dalam Keterampilan Berbahasa

Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti membantu siswa terlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterempilan menyimak, berbicara, dan menulis.

b. Meningkatkan Pengetahuan Budaya

Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam secara keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu’ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.

c. Mengembangkan Cipta dan Rasa

Dalam pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat

40

Siswanto., op.cit, h.171

41


(39)

religius. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa pembelajaran sastra yang dilakukan dengan benar, akan menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecapakan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pembelajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pembelajaran dalam arti yang sesungguhnya.

d. Menunjang Pembentukan Watak

Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak ini. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantarkan siswa mengenal rangkaian kemungkinan kehidupan manusia, seperti kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggan diri, sampai pada kelemahan, keputusasaan, kekalahan, kebencian, perceraian, dan kematian. Tuntutan kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa, meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

Di dalam interaksi sering terjadi proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan terhadap karya sastra, sehingga dapat mengaplikasikan secara langsung temuannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada pengajaran sastra disekolah tingkatan SMA, SMK, dan MA sudah pada tahapan yang tinggi siswa sudah mampumengkaji unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik suatu karya.

Pada proses ini guru harus mampu memotivasi siswa agar mampu mencapai standar dari pembelajaran sastra yang telah dicatumkan di RPP. Dari pembelajaran sastra pada novel Entrok karya Okky Madasari siswa diharapkan mampu mengapresiasikan karya sastra dengan baik serta mampu memahami


(40)

dan mengaplikasikan segi nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra, sehingga dapat membantu dalam pembentukan karakter siswa.

Pada penelitian ini memfokuskan pada ketidakadilan gender yang dialami tokoh peremepuan dalam novel Entrok kaya Okky Madasari. Penelitian ini juga diharapkan agar memahami dan mengapresiasikan hal-hal positif baik dalam karya sasstra maupun di luar karya sastra dan dapat membantu pembenukan karakter siswa yang berpendidikan.

E. Penelitian yang Relevan

Skripsi yang berjudul Uang dan Kekuasaan Pada Masa Orde Baru dalam

Novel Entrok Karya Okky Madasari: Kajian Hegemoni Gramsci milik Defi

Prihatiningsih, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang penelitian ini mendeskripsikan mengenai praktik hegemoni yang dilakukan oleh penguasa orde baru kepada masyarakat berkaitan dengan masalah pensuksesan progam pemerintah serta diskriminasi rasial yang diterima warga Tionghoa. Penelitian ini juga membahas mengenai peran uang dan kekuasaan pada masa orde baru yang mempunyai timbal balik diantara keduanya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra dengan menekankan pada teori hegemoni Antonio Gramsci.

Skripsi berjudul Kritik Politik dalam novel Entrok karya Okky Madasari

dan Alternatif Pembelajaran Sastra di SMA miliki Tsalasaniarsa Riefky

Septiyanto, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Semarang penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi dan metode analisisnya menggunakan metode deskriptif analitik. Hasil dari penelitian ini mampu mendeskripsikan mengenai kritik politik yang menggambarkan potret penguasa di negara ini dengan politik praktisnya serta menghalalkan segala cara agar dapat menguasai wilayah yang dikehendaki. Penelitian ini juga menganalisis sumber utama untuk mencapai kekuasaan yang dilakukan pada masa orde baru berdasarkan legimative power (pengangkatan), coersive power (kekuasaan), expert power (keahlian), reward power (pemberian),


(41)

reverent power (daya tarik), information power (informasi), dan connection power (hubungan).

Skripsi yang berjudul Konflik Sosial dalam Novel Maryam Karya Okky

Madasari milik Susi Lailatul Musarrofah, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori teritorialisme sebagai pemertahanan wilayah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sebuah perbedaan keyakinan beragama dalam masyarakat dapat menyebabkan pemicu terjadinya sebuah konflik. Penyebab konflik, perbedaan pemeluknya dalam memahami ajaran agama yang memicu perselisihan pada novel Maryam karya Okky Madasari terjadi.

Dari penelitian yang telah dipaparkan, terdapat persamaan dari ketiga skripsi tersebut yakni menggunakan novel Entrok karya Okky Madasari. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ialah, peneliti memfokuskan untuk mencari bentuk-bentuk ketidakadilan gender pada perempuan di dalam novel Entrok Karya Okky Madasari seperti marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja. Penelitian terhadap ketidakadilan gender ini menggunakan pespektif gender dan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Peneliti juga menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel tersebut.


(42)

32

BAB III

OKKY MADASARI

A. Biografi

Okky Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 30 Oktober 1984. Mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Setamat kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan mendalami dunia penulisan. Entrok adalah novel pertamanya yang lahir sebagai kegelisahan atas menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan. Tinggal di Jakarta dan dapat dihubungi di okky_madasari@yahoo.com dan www.madasari.blogspot.com.1

Okky Madasari juga telah menamatkan kuliah pascasarjana di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia. Ia mendirikan Yayasan Muara Bangsa (YMB) yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya. Sebelum memutuskan menjadi penulis, ia bekerja menjadi wartawan di Harian Jurnal Nasional. Selain meluncurkan novel, ia juga meluncurkan mini album yang liriknya diciptakannya berjudul “Terbangkan Mimpi”

yang berisikan tiga lagu yakni “Terbangkan Mimpi”, Sesaat Bersama”,

dan “ Hiasan Waktu”.

Okky Madasari, merupakan novelis yang dikenal dengan karya-karya yang menyuarakan kritik sosial. Okky meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk novelnyaMaryam (2012) yang bercerita tentang orang-orang yang terusir karena keyakinannya. Maryam telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judulThe Outcast. Novel pertama Okky,

Entrok(2010), berkisah tentang dominasi militer dan ketidakadilan pada masa Orde Baru. Entrok telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judulThe Years of The Voiceless. Novel ketiganya,86 (2011), bercerita tentang korupsi di Indonesia pada masa sekarang ini. Dan novel

1


(43)

terbarunya,Pasung Jiwa(2013), bercerita tentang perjuangan manusia mendapatkan kebebasan dalam periode sebelum dan sesudah reformasi. Edisi Inggrisnya baru terbit dengan judulBound.2

B. Pemikiran-Pemikiran Okky Madasari

Karya-karya Okky Madasari banyak mengangkat permasalahan-permasalahan sosial mengenai ketidakadilan dan ketertindasan yang terjadi di masyarakat. Okky merasa melalui menulis novel ia memperjuangkan suara-suara yang tertindas bisa lebih efektif didengar dan dibaca dibandingkan hanya menyuarakannya di dalam sebuah tulisan berita. Berita sering kali didengar dan baca sambil lalu, seenaknya saja. Ia merasa lebih mau mendengar dan dituntut lebih untuk memperjuangkan keadilan lewat tulisan dan melakukan kebaikan kemanusiaan. Okky sudah meneguhkan hatinya untuk menulis sebuah cerita tentang perlawanan atas ketidakadilan. Karya-karyanya terhubung dalam memperjuangkan kebebasan dan kemanusiaan. Ia membela apa yang ia yakini benar, dan buatnya harusnya setiap orang punya hak untuk meyakini apa saja tanpa gangguan. Dua sastrawan yang menurutnya setipe denganya, tak lain dan tak bukan adalah Pramodeya Ananta Toer dan Umar Khayam bagi Okky mereka berdua mengusung aliran realisme sosialis. “Mereka menulis sebuah cerita realita sekitar dan itu yang saya lakukan sekarang.” Menurutnya permasalahan-permasalahan yang ia munculkan dalam cerita justru menggambarkan Indonesia masih punya harapan untuk bangkit, seburuk apapun kondisinya. Ia ingin pembaca menilai sendiri akhir cerita itu seperrti apa dengan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, membuka berbagai kemungkinan yang akan terjadi dan bukan tidak mungkin itu justru akan menumbuhkan sikap kritis dan skeptis terhadap permasalahan dalam novel yang dibuatnya.3

2

Okky Madasari, http://okkymadasari.net/about/ diakses pada tanggal 21 Oktober 2014

3Wawancara dengan Okky Madasari “Memperjuangkan Kebebasan dan Keadilan”,


(44)

Untuk menghasilkan sebuah karya ia selalu melakukan riset. Menurut Okky, riset lapangan ataupun kepustakaan akan memberikannya ide-ide menulis. Perempuan asal Magetan, Jawa Timur ini mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa mencari ide cerita hanya dengan melamun atau berimajinasi. Menurutnya ide itu didapat setelah melakukan riset dari lapangan, atau bacaan, atau wawancara, melihat, atau mendengar. Ia tak menampik, pengalamannya menjadi wartawan di sebuah media nasional selama tiga tahun sangat membantunya. Ia jadi merasa ringan ketika harus ke lapangan dan mewawancarai narasumber, jadi layaklah kalau kisah novel-novelnya cukup hidup. Menjadi seorang penulis novel sebenarnya bukan cita-citanya, ia ingin sekali menjadi wartawan, sehingga ia mengaku cukup berat saat harus mengambil keputusan meninggalkan profesi yang ia cita-citakan sejak kecil ini pada tahun 2009. Piano kini tidak hanya menjadi pelariannya kala bosan. Ia bahkan telah mengeluarkan karya dengan pianonya. Album yang liriknya masih berkaitan dengan kisah dalam novel Maryam dirilis bersamaan dengan rilis novelnya pada awal 2012.4

Okky percaya, sastra merupakan salah satu medium yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Apalagi ditengah bombardir berita yang sifatnya hanya jangka pendek. Baginya menjadi jurnalis terlalu banyak batasan. Okky merasakan kreativitasnya seperti terbelenggu oleh kode etik jurnalistik. Dia tidak bisa memasukkan opini dalam hasil liputannya. Selain itu penyampaian informasi dibatasi hanya di kertas koran. Padahal dia ingin tulisan-tulisan yang dibuatnya berisi banyak kritik sosial. Akhirnya ia membulatkan tekad untuk mundur dari wartawan dan fokus menjadi penulis. Menurut lulusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) angkatan 2002 itu, menjadi penulis novel lebih bebas. Dia bisa memasukan opini bahkan

4“Piano di Jeda Novel”

, Koran.Tempo.co,

http://koran.tempo.co/konten/2012/12/16/295032/OKKY-PUSPA-MADASARI-Piano-di-Jeda-Novel diakses pada tanggal 6 Februari 2014.


(45)

keberpihakannya pada tokoh atau kelempok tertentu dalam setiap tulisannya. Dia juga bisa mengekspresikan kreativitasnya dengan leluasa. Namun Okky sadar bahwa daya dorong sebuah novel tidak bisa sekuat berita di koran atau media elektronik. Meskipun begitu, novel dan cerita fiksi memiliki potensi sendiri. Tulisan fiksi bisa memengaruhi perasaan masyarakat.5

Okky mendirikan lembaga yang bernama Yayasan Muara Bangsa (YMB). Yayasan tersebut bergerak di bidang pendidikan usia dini, anak-anak pinggiran, kurang mampu, dan korban bencana. Pada awalnya ia menemukan fakta bahwa beberapa tetangganya kesulitan menyekolahkan anaknya. Selanjutnya ia meminta izin kepada suaminya untuk memanfaatkan sebidang lahan untuk dijadikan tempat pendidikan awal bagi para tetangganya yang ekonominya sulit.

Penulis novel “Maryam” Pemenang Khatulistiwa Literary Award

2012, Okky Madasari merespon rasa kagumnya kepada Kartini dalam pemikiran-pemikirannya sebagai inspirasi dan karya-karya. Namun Okky tetap ingin jadi dirinya sendiri. Setiap April, banyak acara yang digelar dimana-mana dari anak-anak sekolah hingga masyarakat luas dengan menghadirkan kebaya sebagai simbolnya. Menurut Okky peringatan kelahiran Kartini akhirnya identik dengan peragaan busana dan rangkaian seremonial tanpa makna. Bahkan, sejak di bangku sekolah, kita diajari bahwa Kartini adalah perempuan Indonesia yang menyuarakan emansipasi. Tapi tak pernah ada penjelasan lebih jauh apa yang dipikirkan Kartini soal emansipasi. “Habis Gelap Terbitlah Terang„ senantiasa disebut sebagai buah pikir Kartini. Tapi hanya segelintir orang yang tahu apa sebenarnya yang ditulis Kartini. Oleh sebab itu, melalui Yayasan Muara yang diasuhnya dan bekerjasama dengan Institut Ungu, diselenggarakan gelaran pembacaan surat-surat Kartini bertajuk

5

Agung Putu Iskandar, Okky Madasari Meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 berkat Maryam,


(46)

“Membaca Suratnya, Terbitlah Terang,” di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 18 April 2013.

Melalui sastra, novelis Okky Madasari memilih caranya untuk memperingati momentum 15 tahun reformasi yang sarat sejarah. Novelis yang lebih dulu dikenal melalui novel Entrok (2010), 86 (2011), dan

Maryam (2012) itu menjadikan momentum 15 tahun reformasi untuk

merefleksikan kondisi terkini bangsa Indonesia melalui peluncuran sebuah buku terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa. Bertempat di teater kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, peluncuran novel Pasung Jiwa juga menghadirkan teater yang mengangkat cerita dalam novel Pasung Jiwa yang juga melibatkan Yayasan Muara yang didirikannya.

Pada tahun 2010 pertama kalinya Okky berhasil menghasilkan novel yang berjudul Entrok. Novel tersebut terlahir karena kedekatan dengan neneknya yang banyak mengisahkan pengalaman hidupnya. Novel Entrok memiliki latar belakang cerita pada masa rezim orde baru dan mengisahkan tekanan kesewenang-wenangan kekuasan pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai korban. Selanjutnya pada tahun 2011, Okky merilis novel yang berjudul 86, novel tersebut merupakan pengalamannya selama menjadi wartawan yang sering kali meliput berita mengenai hukum. Novel ini terlahir dari keprihatinannya atas praktik-praktik korupsi di negeri ini. Pada pembuatan novel ini sebelumnya ia melakukan riset dan mengumpulkan bahan selama dua tahun pada saat ia meliput berita di bidang hukum. Novel ini juga masuk dalam nominasi Khatulistiwa Award 2011.

Pada tahun 2012, Okky meliris novelnya yang berjudul Maryam. Novel ini terlahir dari diskriminasi yang dialami oleh warga Ahmadiyah di tanah airnya sendiri, sehingga Okky menjadikan kasus tersebut sebagai tema novelnya. Tapi, ia tidak membahasnya hingga hal-hal yang berkaitan dengan keyakinannya, ia hanya berfokus pada kondisi sosial dan penderitaan warga Ahmadiyah setelah terusir dari rumah dan tanahnya. Sebelum menulis novel ia melakukan riset selama 6 bulan terhadap


(47)

komunitas Ahmadiyah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada novel ini Okky tetap memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan serta kemanusiaan.

Novel Maryam memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk kategori prosa. Pada saat rilis novel Maryam, Okky juga meliris karya lainnya yaitu mini album Terbangkan Mimpi yang berisi tiga lagu yakni Terbangkan Mimpi, Sesaat Bersama, dan Hiasan Waktu. Lirik dari lagu-lagu yang diciptakannya masih berkaitan dengan novel Maryam. Namun, di album tersebut Okky tidak menyanyi, hanya menciptakan lahu. Ia menggandeng Sei Latifah sebagai vokalis.

Tahun 2013, Okky meluncurkan novel terbarunya yang berjudul

Pasung Jiwa. Novel tersebut masih tetap mengusung isu kemanusiaan dan

ketidakadilan dalam masyarakat. Novel ini mengangkat tema mengenai kebebasan individu, menyinggung soal Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) pada masa sebelum dan sesudah reformasi. Pada pembuatan novel Pasung Jiwa, Okky juga melakukan riset dengan teman-teman LGBT. Dalam novel tersebut Okky mengkritik agar kita mestinya berani menguak rasa takut dan mengingatkan bahwa sekarang manusia banyak yang sudah kehilangan kebebasannya karena pandangan agama, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena mereka berbeda maka mereka layak untuk di pinggirkan.

C. Sinopsis Novel Entrok

Marni digambarkan perempuan yang ulet mengejar impiannya. Impian pertamanya memiliki entrok (kutang atau BH) agar ia nyaman saat berlari tanpa buah dada yang terguncang ke sana kemari. Marni yang cuma buruh pengupas singkong di pasar Ngranget, sebuah dusun di Magetan, Jawa Timur. Dia bekerja bersama simboknya di pasar, lantas menjadi kuli angkut perempuan pertama di pasar itu agar mendapat uang.


(48)

Di sana, uang hanya diupahkan kepada lelaki pengangkut barang. Pengupas kulit singkong seperti simbok Marni hanya diupahi satu singkong per 1 kilogram yang dikupasnya. Upah dari menjadi kuli, Marni berhasil memiliki entrok. Setelah itu, sisa dari uang upah menjadi kuli Mami menjadi bakulan penjajah sayuran keliling kampung. Marni makin ulet bakulan (berdagang) dan lama-lama menyediakan juga pinjaman uang dengan bunga 10%.

Kemudian dia menikah dengan Teja, lelaki yang digambarkan nyaris tidak bisa apa-apa. Teja cuma bisa mengantar Mami ke sana kemari untuk menjual barang sampai menarik cicilan. Teja tidak bisa membela istrinya ketika aparat pemerintah mulai dari tentara, polisi, sampai lurah memoroti harta mereka.

Setelah kehidupan ekonomi Marni dan Teja meningkat, Teja kerjanya hanya meniduri perempuan-perempuan yang bukan istrinya. Tapi Marni memilih tutup mata. Baginya itu lebih baik daripada bercerai. Jika bercerrai denga Teja, harta yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit menjadi gono gini yang harus dibagi. Marni tak rela membagi hasil kerja kerasnya dengan gendakan (selingkuhan) Teja.

Rahayu adalah anak Marni dan Teja. Rahayu merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Rahayu seorang anak terpelajar yang rasional dan menolak berbagai takhayul dan kepercayaan terhadap leluhur. Bagi dia, itu semua adalah perbuatan syirik dan harus dihilangkan. Dia akan terus melawan walaupun pelakunya adalah ibunya sendiri.

Mami benar-benar sendirian menghadapi dunia. Dia yang masih menyembah Mbah Ibu Bumi harus menghadapi mereka yang berpeci karena dianggap kafir dan layak diintimidasi. Marni yang memberi utang dengan laba 10% juga dibenci orang-orang yang berutang kepadanya. Termasuk guru agama Rahayu yang menghujat Marni di sekolah namun juga meminjam dana paling banyak. Lantaran itu hubungan Marni dan anaknya, Rahayu, memburuk.


(49)

Hubungan Marni dan Rahayu semakin memburuk saat Rahayu memutuskan melanjutkan sekolah di Jogja. Rahayu tidak pulang ke kampung halamannya dan tidak memberi kabar. Rahayu anak kebanggaan Marni yang berpendidikan ternyata menjadi mau istri kedua dari Amri Hasan, seorang dosen di Universitas tempat Rahayu kuliah. Beberapa hari setelah pernikahan berlangsung mereka pun berangkat ke Yogyakarta. Setibanya di sana Rahayu pun bergabung ke dalam kelompok jamaah sang suami. Mereka tinggal di pesantren milik Kyai Hasbi, guru spiritual Amri. Rahayu dan Amri sangat mengagumi ajaran-ajaran Kyai Hasbi. Suatu ketika Rahayu, Amri, Kyai Hasbi, dan beberapa anggota pesantren pergi ke sebuah kampung yang hendak digusur oleh pemerintah untuk dijadikan waduk. Mereka akan memperjuangkan nasib para warga yang tinggal di kampung tersebut.

Akan tetapi perjuangan mereka berakhir tragis, yang menyebabkan Rahayu masuk penjara dan Amri meninggal dunia. Marni menerima

dengan legowo keadaan putrinya sebagai mantan napi. Akan tetapi, Rahayu tetap saja cacat KTP. Setiap penduduk yang pernah menjadi narapidana, akan mendapat perlakuan berbeda di lingkungan sosial dan mendapat tanda di KTP sehingga akan sulit diterima dalam masyarakat. Dampak dari peristiwa di atas menjadi suatu beban moral bagi Marni. Kondisi fisiknya pun semakin lemah sejalan dengan pertambahan usianya. Baginya tiada berarti lagi harta yang banyak bila dibandingkan dengan keberadaan putri semata wayangnya yang meresahkan masyarakat Singget.


(50)

40

BAB IV PEMBAHASAN A. Unsur-unsur Intrinsik

1. Tema

Tema merupakan gagasan utama atau pokok pikiran pengarang dalam karyanya. Novel Entrok memiliki tema yakni ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat pemerintah.

Aku tak bicara tentang entrok kepada Simbok. Aku hanya berkata ingin membantunya mengupas singkong, siapa tahu bisa dapat uang. Simbok berkata, aku tak akan mendapat uang. Kebiasaan di pasar, buruh-buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Beda dengan kuli laki-laki yang diupahi dengan uang.1

Kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam novel ini terjadi pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki, sehingga menjadikan perempuan kaum yang termiskinkan. Kaum perempuan hanya akan diupahi dengan singkong sedangkan laki-laki diupahi dengan uang. Marni dengan berani melawan sistem sosial yang berlaku sehingga ia dapat mendapatkan uang dari hasil menjadi kuli di pasar.

Orang-orang bersepatu tinggi itu datang lagi. Memakai seragam loreng dengan pistol di pinggang. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima orang. Aku menghitung dalam hati. Ibu menyambut di depan pintu, memasang senyum yang... ah, aku tahu itu palsu. Ibu tidak tersenyum, dia ketakutan.2

Kutipan di atas menceritakan bahwa Marni setiap empat belas hari harus membayar uang keamanan kepada tentara agar usahanya dilancarkan oleh mereka. Apabila keinginan tentara tersebut tidak dipenuhi akan terjadi banyak kejadian yang mengancam usaha Marni

1 Madasari, Entrok, h. 50

2


(51)

sebagai lintah darat. Marni berusaha menuruti segala permintaan Komandan Sumadi agar hidupnya bisa tenang dan tidak disebut PKI, walau harus membagi hartanya untuk Komandan.

Aku akan tetap di desa ini. Demi nyawa Amri dan kehormatan Ndari. Biarlah aku menjadi bagian dari mereka. Menantang kematian yang dalam satu putaran matahari akan datang. Besok aku akan berdiri bersama mereka memegang kata-kata yang ingin kami sampaikan.

Aku melihat matamu melotot saat aku menyebut penjara. Lalu kau menutup muka saat aku bercerita tentang tentara. kau menjerit waktu aku bilang aku diperkosa dan disiksa.3

Kutipan tersebut menceritakan pengalaman Rahayu yang melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan untuk memperjuangkan tanah warga desa. Rahayu akhirnya dipenjara oleh tentara karena mengganggu saat proses pengerukan tanah di desa itu, saat di dalam penjara ia disiksa dan diperkosa. Setelah keluar dari penjara, ia juga harus menerima tanda di KTPnya dari negara karena melawan aparat negara.

Dari kedua tokoh utama perempuan tersebut dan peristiwa yang terjadi di dalam novel dapat disimpulkan tema kehidupan yakni, perjuangan hidup perempuan terhadap ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang digambarkan melalui tokoh Marni dan Rahayu yang selalu berjuang untuk mendapatkan keadilan dan kebebasan dari ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat pemerintah dan laki-laki dengan caranya masing-masing.

2. Tokoh dan Penokohan a. Tokoh utama

Dalam novel Entrok, Marni dan Rahayu merupakan tokoh utama dalam sebuah cerita.

3


(52)

1) Sumarni

Sumarni atau Marni digambarkan sebagai seorang perempuan yang mau bekerja keras untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Ia rela menjadi menjadi kuli di pasar untuk mendapatkan uang. Marni rela melanggar kebiasaan sosial yang terjadi, ia menjadi kuli perempuan pertama di pasar. Ia melawan sistem sosial yang menimbulkan ketidakadilan gender karena perempuan saat itu hanya diupahi dengan singkong seddangkan laki-laki diupahi dengan uang. Selain itu, ia juga rela menjadi bakul duwit atau rentenir agar dapat memberikan hidup yang enak dan kecukupan untuk keluarganya, serta dapat menyekolahkan anaknya yakni Rahayu hingga menjadi sarjana.

Nyai Wedana menjadi pelanggan tetapku. Setiap butuh kuli, dia akan memanggilku. mungkin karena kasihan melihat ada perempuan nguli. Rasa kasihan juga sering ku terima dari pengunjung pasar lainnya. Ada pak guru Dikun yang selalu bersama istrinya, juga Lurah Singget. Tidak terlalu berat mengangkat belanjaan mereka kebanyakan hanya sayur dan singkong.4

Ibu selalu mengulangi cerita itu disertai keinginan agar anaknya sekolah biar jadi pegawai. Dia akan mengeluarkan uang berapa saja agar aku sekolah. Tak peduli dia mencarinya dengan susah payah.5

Dari kutipan di atas dapat tergambar bahwa sosok Marni adalah seorang pekerja keras yang ingin mengubah nasib ekonomi keluarganya menjadi meningkat. Marni juga rela menjadi rentenir untuk mencukupi kehidupannya bersama keluarganya. Selain itu, Marni berharap dengan menyekolahkan Rahayu menjadi sarjana lalu dapat berkeja

4

Ibid., h.39

5


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

PROFIL PENULIS

Rizka Amalia Sapitri, lahir di Jakarta, 17 November 1992. Anak pertama dari empat bersaudara dari Bapak Sayutih dan Ibu Aslamiyah.

Ia menuntaskan pendidikan dasarnya di SDN Percontohan Kebon Jeruk 11 Pagi lulus pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Islam As-syafiiyah, Pulo Air, Sukabumi. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya masih pada almamater yang sama yaitu di SMA Islam As-syafiiyah. Setelah lulus SMA pada tahun 2010, ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai dengan tahun 2014.