Citra perempuan dalam tiga cerpen Martin Aleida dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

(1)

CITRA PEREMPUAN DALAM TIGA CERPEN

MARTIN ALEIDA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh

Nisa Kurniasih

NIM 1110013000105

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

NISA KURNIASIH. NIM: 1110013000105. Skripsi “Citra Perempuan dalam

Tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA,” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum., November 2014.

Cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu menggambarkan perempuan dengan peliknya kehidupan. Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah memperlihatkan citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan

Malam Kelabu karya Martin Aleida yang diharapkan dapat memperkaya khazanah

pengetahuan dalam sastra. Skripsi ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat citra perempuan pada ketiga cerpen Aleida.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tampak citra perempuan dalam cerpen

Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida yang terbagi

menjadi: 1) Citra perempuan dalam aspek fisis, terlihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut diwujudkan ke dalam fisik perempuan dewasa. 2) Citra perempuan dalam aspek psikis, telihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan merupakan makhluk yang mampu beraspirasi dan mempunyai perasaan. Citra psikis yang terlihat dalam cerpen tersudut akibat ideologi gender. 3) Citra perempuan dalam aspek keluarga dan masyarakat, telihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan digambarkan sebagai makhluk sosial yang mempunyai hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan yang kecil, yaitu hubungan antara perempuan dan laki-laki, perempuan masih hidup dalam superioritas laki-laki. Perempuan juga berada dalam budaya patriarki, di mana kekuasaan lebih didominasi oleh laki-laki.

Kata Kunci: Citra perempuan, Gender, Cerpen Suara, Cerpen Aku Sepercik Air,

Cerpen Malam Kelabu, Martin Aleida


(6)

ABSTRACT

NISA KURNIASIH. NIM: 1110013000105. “Women Image in three short story

by Martin Aleida and its implication on Teaching Literature in Senior High School,” Departement of Language and Indonesian Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Sciences Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M.Hum., November 2014

Short story Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu are descriptive women and her complicated live. This study has the purpose to show the women image in short story Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu by Martin Aleida that expectable can extend of knowledge especially in literature area. Thus, this study also expectable become a resourch of teaching learning literature in school. The method used in this study was descriptive qualitative that use to seem the women image in three stories by Aleida.

The result of this study showed that the women image in the short story

Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu by Martin Aleida are: 1) Physical

aspect, capture the women image as a matured woman. 2) Psychological aspect, capture the women image as an aspired and sense women, this reflect due the gender of ideology on the story. 3) Women image in family and community aspects, which can be described as a social human that relates to other. Start from close relation; men and women relation, women who lives beneath men superiority. Women in patriarchy culture where men dominated the women.

Keywords: Women Image, Gender, Short Story Suara, Short Story Aku Sepercik

Air, Short Story Malam Kelabu, Martin Aleida


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifai, M.A., P.h.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, serta kasih sayang yang Ibu berikan selama ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan;

5. Bapak Ayi Fatah dan Ibu Tarwati kedua orang tua penulis, kakak-kakak serta keponakan-keponakan yang senantiasa mendoakan, memberikan dorongan moral dan material, serta memotivasi penulis sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik;

6. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010, terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini;

7. Teman-teman penulis, Deby Rachma Rizka, Mia Nurdaniah, Rizka Amalia Sapitri, dan Widya C Pratami. Serta rekan PPKT penulis, yaitu Anggraini


(8)

Prastikasari. Terima kasih telah mendukung, mengingatkan, membantu, dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi;

8. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin.

Jakarta, November 2014

Penulis


(9)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

ABSTRAK………………. i

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI ………... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Identifikasi Masalah……… 4

C. Pembatasan Masalah………... 5

D. Perumusan Masalah……….... 5

E. Tujuan Penelitian………... 5

F. Manfaat Penelitian………..…. 6

G. Metode Penelitian……… 6

BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Cerpen……….….…. 10

B. Citra Perempuan……….……….… 17

C. Penelitian yang Relevan……….……….…… 26

D. Pembelajaran Sastra……….……….….. 28

BAB III PROFIL MARTIN ALEIDA A. Biografi Martin Aleida……… 31

B. Karya Martin Aleida ……….….….. 35

C. Pemikiran Martin Aleida………..…... 35

D. Sinopsis Tiga Cerpen Martin Aleida……… 36 v


(10)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA

A. Unsur Intrinsik Cerpen……… 38

1. Tokoh dan Penokohan………... 38

2. Tema……….. 43

3. Alur……… 44

4. Latar………... 50

5. Gaya Bahasa……….. 56

6. Sudut Pandang………... 58

7. Amanat………... 59

B. Analisis Citra Perempuan………... 60

1. Citra Wanita dalam Aspek Fisis ……….. 60

2. Citra Wanita dalam Aspek Psikis ………. 66

3. Citra Wanita dalam Aspek Keluarga dan Masyarakat……... 76

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA……… 82

BAB V PENUTUP A. Simpulan……….. 84

B. Saran……… 86

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Cerpen merupakan karya fiksi yang dapat dibaca dengan waktu yang singkat. Walaupun cerpen lebih pendek dari novel, akan tetapi untuk memahami cerpen tidak dapat dianggap mudah. Cerpen tidak dapat ruang lingkup yang besar untuk menggambarkan suatu peristiwa serta aspek di dalamnya. Pengarang harus pandai dalam pemilihan kata-kata yang akan dimasukkan, sehingga gagasan pengarang dapat diterima oleh pembaca.

Sebagai suatu karya sastra, cerpen merupakan bentuk komunikasi dari pengarang yang ingin menyampaikan ide atau gagasan kepada pembacanya. Gejolak yang timbul dari dalam diri pengarang akan dengan bebas dituangkan ke dalam suatu karya. Cerpen dijadikan sebagai sarana fiksi yang digunakan pengarang dalam menghayati permasalahan kehidupan yang telah dialaminya. Seringkali cerpen menawarkan berbagai masalah kehidupan.

Permasalahan kehidupan dalam sebuah karya sangat erat kaitannya dengan kehidupan pengarang, Dalam proses kehidupan, setiap kejadian yang terjadi pada diri pengarang sangat mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra. Tidak akan pernah ada karya yang terlepas dari kehidupan sosial, baik itu kehidupan sosial pengarang ataupun kehidupan sosial masyarakat pada saat karya diciptakan. Karya sastra seringkali menjadi visualisasi atas kritik pengarang terhadap kehidupan pengarang. Maka, pengarang tidak hanya ingin memberikan hiburan dan keindahan semata kepada pembacanya. Pengarang juga ingin mengajak pembacanya ke dalam dunia imajinasinya. Walaupun cerpen merupakan karya fiksi, namun cerita yang dibangun oleh seorang pengarang dianggap suatu pesan tentang kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembacanya.


(12)

Martin Aleida merupakan salah satu pengarang sekaligus jurnalis. Pekerjaannya sebagai seorang jurnalis, serta kedekatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) membuatnya ikut ditahan saat terjadi peristiwa di tahun 1965. Hal ini terjadi karena LEKRA sangat erat kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini pula yang membuat sebagian besar karya Martin adalah kesaksiannya akan peristiwa di tahun 1965 tersebut. Martin Aleida banyak menyampaikan memoarnya ke dalam cerpen.

Peristiwa 1965 ini juga membawa masalah dalam kehidupan sosial, yaitu kehidupan perempuan dalam keluarga PKI. Tidak hanya itu, beberapa tokoh perempuan dalam cerpen Martin Aleida juga menarik perhatian. Perempuan digambarkan menarik dengan berbagai kekuatannya dalam menjalani peliknya masalah yang dihadapi. Sebagai suatu karya fiksi, cerpen juga menggambarkan kehidupan masyarakat. Penggambaran kehidupan dapat berupa struktur masyarakat, fungsi dan peran yang diemban oleh masing- masing, dan interaksi yang terjalin dalam masyarakat. Adapun unsur yang lebih sederhana yaitu kehidupan masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi antara keduanya merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut menarik sebab terkait hubungan antara dua jenis kelamin yang pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan dalam sosial dan budaya.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pengaruh besar dalam setiap aspek dalam kehidupan. Perbedaan biologis atau jenis kelamin berkaitan dengan gender. Gender yang merupakan konstruksi sosial tersebut, menghasikan permasalahan yang cukup luas. Permasalahan timbul karena adanya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Masalah gender dapat memasuki ranah politik, ekonomi, hukum, dan sastra.

Selain itu, banyak sekali karya sastra yang diproduksi oleh laki-laki, salah satunya Martin Aleida. Terkait karya sastra yang sebagian besar diproduksi oleh laki-laki, maka dapat dikatakan bahwa penggambaran tokoh perempuan sepenuhnya ada di tangan laki-laki. Perempuan membuat dirinya sendiri


(13)

membaca seperti laki-laki, serta mengasingkan diri terhadap pikiran dan emosi perempuan mereka. Maka, gambaran tokoh perempuan dalam sastra Indonesia, dapat menciptakan citra umum perempuan dalam masyarakat Indonesia.

Citra perempuan dalam sebuah karya sastra acapkali menciptakan citra perempuan dalam kehidupan nyata, bahkan dapat berlaku sebaliknya. Dalam tiga cerpen karya Martin Aleida, yaitu Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam

Kelabu terdapat banyak gambaran perempuan dengan posisinya dalam

masyarakat serta bagaimana perempuan diperlakukan. Martin Aleida merupakan salah satu pengarang yang menjadi saksi peristiwa 1965, di mana peristiwa tersebut menjadi masalah dalam bidang sosial. Salah satunya adalah kehidupan perempuan yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Selain itu, beberapa cerpen Martin Aleida juga menonjolkan penderitaan yang dialami oleh perempuan dalam menjadi hidupnya. Melalui kata-kata yang apik, Martin Aleida mampu menyampaikan kepedihan yang dialami oleh perempuan.

Cerpen Suara menggambarkan bagaimana kisah seorang perempuan yang mempunyai suara indah dan menjadi keunggulan dalam dirinya, harus berhenti bangga dengan keunggulannya tersebut karena mempunyai seorang suami yang melarangnya menyanyi. Lalu, dalam cerpen Aku Sepercik Air

menggambarkan kisah perempuan yang harus menjalani pedihnya hidup ditinggalkan suami demi perempuan lain, namun pada akhirnya ia mempunyai keberanian melawan luka hatinya. Kemudian dalam novel Malam Kelabu

menggambarkan kisah perempuan yang tidak mengetahui peristiwa yang menimpa desanya, kemudian dibunuh. Maka, tiga cerpen inilah yang menjadi kajian dalam penelitian.

Dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, cerpen merupakan salah satu sumber yang utama. Berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia


(14)

tertera salah satunya bahwa terdapat standar kompetensi yang mencakup mengenai pemahaman mengenai cerpen. Dengan adanya penelitian yang mengkaji citra perempuan dalam cerpen yang terdapat dalam cerpen Suara,

Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, maka diharapkan

peserta didik dapat menjadikannya sebagai pelajaran sastra Indonesia untuk lebih memahami unsur intrinsik suatu cerpen, khususnya mengenai tokoh perempuan. Selain itu, peserta didik dapat menjadikannya sebagai pelajaran agar lebih menghargai perempuan, tidak membeda-bedakan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang gender.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis akan meninjau citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dan implikasinya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dengan menggunakan pendekatan objektif. Maka, penulis akan mengambil judul “Citra Perempuan dalam Tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra

Indonesia di SMA”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka timbul beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Rendahnya minat siswa dalam mengapresiasi karya sastra, khususnya cerpen.

2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik dalam cerpen. 3. Kurangnya pembahasan mengenai citra perempuan dalam cerpen

Suara dalam kumpulan cerpen Dendam Perempuan, cerpen Aku

Sepercik Air pada kumpulan cerpen Leontin Dewangga, dan Malam

Kelabu dalam kumpulan cerpen Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin


(15)

C. Pembatasan Masalah

Dari permasalahan yang ada, maka pembatasan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membatasi minat siswa hanya pada cerpen.

2. Membatasi pemahaman siswa pada unsur intrinsik dalam cerpen.

3. Membatasi pemahaman terhadap citra perempuan dalam cerpen Suara

dalam kumpulan cerpen Dendam Perempuan, cerpen Aku Sepercik Air

pada kumpulan cerpen Leontin Dewangga, dan Malam Kelabu dalam kumpulan cerpen Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah yang telah dipaparkan, maka masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan

Malam Kelabu karya Martin Aleida?

2. Bagaimana implikasi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik

Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dalam pembelajaran sastra di

SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan


(16)

2. Mengetahui implikasi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik

Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dalam pembelajaran sastra di

SMA

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoretis, penelitian yang dilakukan penulis diharapkan dapat mengembangkan ilmu sastra di tanah air, khususnya dalam aspek unsur intrinsik dalam cerpen, serta citra perempuan pada karya sastra dalam bentuk cerpen. penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan pada pembelajaran sastra di sekolah.

Adapun secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk melihat gambaran kehidupan perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam

Kelabu karya Martin Aleida. Selain itu, dapat membantu pembaca untuk lebih

memahami isi cerpen karya Martin Aleida.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Penelitian ini berupaya memaparkan secara rinci, sistematis, cermat, dan faktual mengenai citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.

Metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman. Sesuai dengan namanya metode penelitian kualitatif memperlihatkan hakikat


(17)

nilai-nilai, dan sumber datanya merupakan karya, naskah, dan penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.1

Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dalam cerpen Suara,

Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.

Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

1. Objek Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, yang menjadi objek penelitian ini adalah “Citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku

Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dan Implikasinya

terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”

2. Data dan Sumber Data Penelitian a. Data

Data penelitian ini meliputi semua keterangan yang dicari dan dikumpulkan oleh pengkaji untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang dikaji. Data penelitian ini berupa kutipan-kutipan kata, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam

Kelabu karya Martin Aleida.

b. Sumber Data

Sumber data adalah subjek penelitian tempat data menempel. Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

1

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 47


(18)

1) Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan data yang diambil secara langsung, tanpa adanya perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah cerpen Suara dalam kumpulan cerpen

Dendam Perempuan, Aku Sepercik Air dalam kumpulan cerpen

Leontin Dewangga, dan Malam Kelabu dalam kumpulan cerpen

Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida.

2) Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data yang diambil secara tidak langsung atau melalui perantara. Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu buku maupun artikel yang berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Martin Aleida.

3. Teknik Pengumpulan Data

Langkah-langkah pengumpulan data dalam cerpen Suara, Aku Sepercik

Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, yaitu:

a. Membaca secara cermat cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam

Kelabu karya Martin Aleida untuk mencari kata, kalimat, dan wacana

yang mengandung unsur citra perempuan.

b. Mencatat hal-hal yang berkaitan dengan citra perempuan dalam cerpen

Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida

c. Mengklasifikasikan data citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku

Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.

d. Menganalisis data dan melakukan pembahasan dengan interpretasi data dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.


(19)

e. Hasil dari analisis digunakan untuk mengimplikasi refleksi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu

karya Martin Aleida pada pembelajaran sastra.

4. Teknik Analisis Data

Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data yaitu: a. Menganalisis cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu

karya Martin Aleida dengan menggunakan analisis struktural. Analisis dilakukan dengan membaca serta memahami data kembali.

b. Mengklasifikasikan teks-teks yang berkaitan dengan citra perempuan yang terdapat dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam

Kelabu karya Martin Aleida.

c. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.

d. Mengimplikasi cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu

karya Martin Aleida pada pembelajaran sastra di SMA dilakukan dengan cara menghubungkan materi pelajaran di sekolah.


(20)

BAB II LANDASAN TEORI

Dalam penelitian ini, akan dikemukakan beberapa teori dan pendapat para ahli yang sesuai dengan penelitian. Teori-teori tersebut yaitu mengenai hakikat cerpen, citra perempuan dan pembelajaran sastra.

A. Hakikat Cerpen

Cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yaitu prosa. Sebuah cerpen merupakan media seorang pengarang yang ingin menyampaikan gagasannya. Walaupun cerpen merupakan karya fiksi, akan tetapi tidak jarang pengarang menyampaikan sebuah fakta.

Cerpen ialah cerita pendek.1 Pendapat lain mengatakan bahwa cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antar tokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur.2 Akan tetapi, ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allen Poe (sastrawan kenamaan Amerika) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan dalam sebuah novel.3

Pendapat lain menurut B. Mathews mengatakan: “Bukan cerita pendek jika tidak ada sesuatu yang akan diceritakan…. Suatu cerita pendek yang terjadi adalah suatu ketidakmungkinan sama sekali.” Henry Scidel Camby, antara lain mengatakan bahwa kesan yang satu dan hidup, itulah seharusnya hasil dari cerita

pendek.” Ellery Sedgwick mengatakan bahwa cerita pendek adalah penyajian

1

DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keeempet), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 264

2

Heru Kurniawan, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h 59

3

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), h. 12


(21)

suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal- hal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with

irrelevance.” Nugroho Notosusanto mengatakan bahwa cerita pendek adalah

cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.” L.A.G. Strong, antara lain berkata bahwa singkat dan lengkap” atau brevitywith completeness adalah sifat-sifat pokok cerita pendek. Akhirnya, Ajip Rosidi memberi batasan dan keterangan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide…. Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen adalah lengkap, bulat, dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen harus terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tidak ada bagian-bagian yang boleh dikatakan “lebih dan bisa dibuang.”4

Menurut Satyagraha Hoerip, cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu. Apa yang

terjadi” di dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan

reaksi mental itulah yang pada hakikatnya disebut cerpen.5

Sastra adalah kegiatan kreatif, sebuah karya seni.6 Sebuah cerpen merupakan hasil dari proses kreatif seorang pengarang. Pengarang menuangkan segala imajinasinya ke dalam sebuah cerpen dengan gaya bahasanya tersendiri. Namun, dalam sebuah cerpen pengarang perlu memadatkan semua imajinasinya dalam bentuk yang lebih singkat tanpa mengurangi kualitas karyanya. Cerpen akan membuat pembaca terkesan hanya dalam sekali duduk saja.

Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak—jadi, secara implisit—dari sekedar apa yang diceritakan. Karena bentuknya yang pendek, cerpen memiliki karakteristik pemadatan dan pemusatan terhadap sesuatu yang dikisahkan. Cerita tidak dikisahkan secara panjang lebar

180

4

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 179-

5

Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 34

6


(22)

sampai mendetil, tetapi dipadatkan dan difokuskan pada satu permasalahan saja. Sebagai analog sebuah cerita wayang lazimnya dipentaskan semalam suntuk, namun ia juga dapat dipadatkan dalam 2-3 jam dengan fokus pada cerita inti dan sekaligus mengurangi hal-hal yang “kurang penting.7

Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek, ketimbang menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan pada diri tokoh. Ia lebih tertarik pada penonjolan atau eksploitasi saat-saat kritis revelasi, baik internal maupun eksternal. Cerpen jarang menggunakan plot kompleks karena sekali lagi, ia lebih terfokus pada rangkaian peristiwa.8 Seorang penulis cerpen akan berupaya membuat sebuah peristiwa dalam cerpen lebih meyakinkan. Suasana dan situasi yang ditampilkan pun akan lebih terpusat.

Tidak jarang penulis cerpen menggunakan sesuatu seperti taktik kejutan untuk membuat pembaca berpikir dan merespon, misalnya akhir cerita yang tak terduga, pembukaan tabir secara dramatis, atau jalinan plot yang mengejutkan.9 Hal inilah yang akan memberikat kesan mendalam serta efek kepada pembacanya hanya dengan membaca dengan waktu yang sebentar. Cerita pendek pun mempunyai klasifikasi tersendiri.

Klasifikasi terhadap cerita pendek dapat dilakukan dari berbagai sudut pandangan; yang umum yaitu berdasarkan jumlah kata dan nilai. Diantara berbagai cerita pendek, di antaranya ada yang benar-benar bernilai sastra, yaitu memenuhi norma-norma yang dituntut oleh seni sastra. Disamping itu, ada pula beberapa yang tidak bernilai sastra, tetapi lebih ditujukan untuk menghibur saja. Klasifikasi tersebut masing-masing disebut dengan istilah cerpen sastra dan cerpen hiburan.10

7

Nurgiyantoro, op.cit., h. 13

8

Furqonal Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),h. 33

9

Ibid., h. 34

10


(23)

Panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short

story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500an kata; ada cerpen yang

panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long

short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.

Cerpen yang panjang yang terdiri dari puluhan ribu kata tersebut, barangkali, dapat disebut juga sebagai novelette. Sebagai contoh misalnya, Sri Sumarah dan juga Bawuk, serta Kimono Biru buat Istri karya Umar Kayam, walau untuk yang kedua terakhir itu lebih banyak disebut sebagai cerpen panjang.11

Berdasarkan pengertian cerita pendek, ciri khusus dapat dibedakan sebagai berikut:12

a. Cerita utama cerita pendek adalah singkat, padu, intensif.

b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak. c. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian. d. Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang

konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung.

e. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembacanya bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran.

f. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalampikiran pembaca.

g. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja danyang bisa menimbulkan pertanyaan- pertanyaan dalam pikiran pembaca.

h. Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.

i. Cerita pendek harus mempunyai jalan cerita.

j. Cerita pendek harus mepunyai efek dan kesan yang menarik. k. Cerita pendek bergantung pada situasi.

l. Cerita pendek memberikan impresi tunggal. m. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek. n. Cerita pendek menyajikan satu emosi.

o. Jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap.

11

Ibid., h. 12

12


(24)

Dapat dikatakan cerpen haruslah singkat dan jelas. Cerpen juga harus menyajikan suatu emosi cerita sehingga memberikan efek pada pembacanya. Efek yang ditimbulkan pun berupa efek perasaan serta pikiran.

Cerpen-cerpen karya Martin Aleida merupakan karya fiksi yang mengandung unsur fakta. Pengarang memasukkan pengalaman dirinya dan orang lain ke dalam cerpen. pengalaman inilah yang akhirnya menarik perhatian pembaca untuk membaca karyanya. Dalam waktu singkat saja, pembaca dapat merasakan pengalaman yang ada dalam karya pengarang.

Di dalam sebuah cerpen terdapat unsur-unsur yang menopang sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur pembangun dari dalam sebuah karya sastra. Sedangkan, unsur ekstrinsik ialah unsur pembangun dari luar sebuah karya sastra.

Pendekatan intrinsik membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana peran tokoh, khususnya tokoh perempuan dalam hubungannya dengan situasi sosial dan lingkungannya.

Unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra, termasuk di sini cerpen antara lain: 1. Tokoh atau Penokohan

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama (protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Penokohan dapat berupa karikatur atau idealisasi yang abstrak.13 Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.14 Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah cerita. Dalam sebuah cerpen, ruang untuk tokoh tidak terlalu banyak. Dikarenakan ruang yang sempit dalam cerpen, penokohan tidak akan terlihat terlalu detail.

13

Wellek dan Warren, op.cit., h. 288

14


(25)

2. Tema

Tema dapat didefinisikan sebagai the central thought in literary

work”. Ia adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra. 15 Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantik dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.16

Tema merupakan garis besar permasalahan yang ada dalam suatu karya. Tema yang diangkat dalam suatu cerpen biasanya berhubungan dengan pesan atau amanat yang ingin disampaikan. Tidak jarang tema yang disampaikan sesuai dengan waktu penulisan karya sastra diciptakan. Akan tetapi, adapula karya sastra yang diciptakan sesuai dengan keinginan pengarang dan pengalaman hidupnya.

3. Alur atau Plot

Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam sebuah cerita.17 Alur atau plot merupakan rangkaian perjalanan peristiwa. Rangkaian perjalan peristiwa berkaitan dengan urutan waktu. Urutan waktu yang dibuat oleh pengarang dapat tersirat maupun tersurat.

4. Latar

Latar, yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya.

h. 75

15

Furqonal Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),

16

Nurgiyantoro, op.cit., h. 115

17


(26)

Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu.18

5. Gaya bahasa

Gaya bahasa setiap pengarang mempunyai kekhasan tersendiri. Gaya bahasa merupakan cara pengarang dalam berbahasa untuk menyampaikan gagasan dalam sebuah karya sastra.

Bahasa adalah bahan mentah sastrawan. Dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu, sepert halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit bagian-bagiannya.19

Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair, juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan pembawaan pribadi. Dengan gayanya ia hendak memberi bentuk terhadap apa yang ingin dipaparkannya. Dengan gaya tertentu pula seorang pengarang dapatmenekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya.20

6. Sudut pandang

Sudut pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. 21 Sudut pandang dapat dikatakan dengan “si pencerita. Sudut pandang

18

Wellek dan Warren, op.cit., h. 291

19

Ibid, h. 217

20

Semi, op. cit., h. 49

21


(27)

merupakan tempat yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh dalam karyanya.

7. Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 22 Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan pandangan hidupnya kepada pembaca. Pembaca dapat mendapatkan pesan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

B. Citra Perempuan

Citra perempuan dalam karya sastra acapkali menciptakan citra perempuan di kehidupan nyata. Akan tetapi, dapat terjadi citra perempuan dalam karya sastra merupakan bayangan dari citra perempuan di kehidupan nyata. Dalam cerpen

Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, terdapat

gambaran perempuan yang menarik, karena perempuan digambarkan dengan kehidupan yang begitu pelik sekaligus dianugerahi kekuatan.

Menurut Altenbernd, citraan adalah gambar-gambar angan atau pikiran, sedangkan setiap gambar pikiraan disebut citra atau imaji. Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang menyerupai, atau gambaran yang dihasilkan oleh pengungkapan objek.23

Citraan adalah gambaran-gambaran angan atau pikiran. Setiap gambar pikiran disebut citra. Citra artinya rupa, gambaran; dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Citra wanita ialah diambil dari gambaran- gambaran citraan, yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan, atau pengecapan tentang wanita, karena diantara macam-macam citraan

22

Siswanto, op.cit., h. 162

23

Sugihastuti, Wanita Di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2000), h. 43


(28)

itu citra pemikiran tentang wanita yang dominan, citra wanita dapat disebut juga sebagai pemikiran tentang wanita. Citra wanita ini erat dengan pengertian citra diri; citra diri merupakan pengertian yang dapat dihubungkan dengan dua konsep lain yaitu, self concept dan self image.24

Dapat dikatakan bahwa citra merupakan sebuah gambaran. Citra dapat berupa kesan mental yang timbul mengenai suatu objek. Berkaitan dengan citra perempuan dalam sebuah karya sastra, citra perempuan dalam sebuah karya sepenuhnya menjadi hak pengarang dalam pembentukannya. Citra perempuan merupakan bentuk gambaran tentang pemikiran perempuan. Banyak sekali karya sastra tercipta oleh pengarang laki-laki, jadi dapat dikatakan bahwa citra perempuan juga dibentuk oleh laki-laki dan perempuan menjadikan dirinya hanya sebagai pembaca tanpa menuntut emosi-emosi perempuan itu sendiri. Citra perempuan dalam karya sastra dapat menjadi citra umum perempuan sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.

Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan sebagai makhluk sosial, yang beraspek keluarga dan masyarakat. 25 Citra perempuan dalam sebuah karya sastra dapat terlihat sebagai makhluk individu yang mempunyai gambaran fisis tertentu. Dalam aspek psikis, perempuan juga merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, pemikiran, serta aspirasinya sendiri. Sedangkan sebagai makhluk sosial, perempuan mempunyai citra dalam aspek keluarga dan masyarakat. Dalam keluarga, seorang perempuan menjadi istri dan ibu yang nantinya akan mengemban peran dan pekerjaan tertentu. Citra perempuan yang terbagi ke dalam fisis, psikis, dan sosial akan sangat berkaitan satu dengan yang lainnya. Aspek fisis perempuan akan mempunyai pengaruh terhadap perilaku serta psikologinya. Sedangkan pemikiran perempuan tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, baik dalam aspek keluarga maupun masyarakat.

24

Ibid, h. 45

25


(29)

Citra wanita dalam aspek fisis dan psikis dikonkretkan dalam kerangka sistem komunikasi sastra, yaitu menempatkannya dalam tegangan antara penyair, teks, pembaca, dan semestaan.26 Citra fisis wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari penyair sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Kedua- duanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tanda-tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas. 27 Dapat dikatakan bahwa meskipun citra fisis perempuan dalam suatu karya sastra sepenuhnya adalah hasil kreatif dari pengarang, namun pembaca mempunyai kesamaan interpretasi dalam melihat fisik perempuan.

Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita.28 Di samping citra wanita dalam keluarga yang tercakup pada citra wanita dalam aspek sosial, citra wanita dalam masyarakat juga muncul. Sikap sosial adalah konsistensi individu dalam memberikan respons terhadap objek-objek sosial, termasuk terhadap pria sebagai pasangan jenis kelaminnya.29

Dapat dikatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran, pikiran, dan kesan yang ditampakkan oleh perempuan. Gambaran itu meliputi aspek fisis, psikis, dan sosial. Bagaimana gambaran perempuan dalam suatu masyarakat dan baik tidaknya gambaran perempuan ketika berperilaku dalam masyarakat juga terbentuk dari budaya dan masyarakat. Hal inilah yang nantinya akan menghasilkan stereotip dalam citra perempuan di kehidupan bermasyarakat. Citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dapat terbentuk dari konsep stereotip

26

Ibid, h. 83

27

Ibid, h. 90-91

28

Ibid, 121

29


(30)

yang ada. Konsep yang akhirnya menempatkan perempuan dalam suatu posisi yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan muncul sebagai gambaran dari efek pikiran tentang perempuan.

Konsep stereotip menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Suatu stereotip terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang dilebih-lebihkan, dan biasanya negatif. „Pen-stereotip-an mereduksi, mengesensialkan, mengalamiahkan, dan mematri perbedaan. 30

Stereotip merupakan pelabelan negatif terhdap perempuan, kendati lebih bernuansa mitos daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia. 31 Pada hakikatnya, stereotip yang ada akan menimbulkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pun akan terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan, akan terjadi pemberian posisi yang lebih kuat. Pada akhirnya, perempuan akan menempati posisi yang berbeda dari laki-laki.

Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki (pemerintahan ayah), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial. Dengan demikian, perempuan bukan inferior karena nature, melainkan karena diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturisasi ke dalam inferioritas. Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. 32 Menurut Beauvoir, budaya patriarkat cenderung menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua

dalam tatanan masyarakatnya. Dengan kata lain, perempuan cenderung untuk dinomorduakan dalam masyarakat patriarkat. Dalam masyarakat tersebut tubuh dan identitas perempuan tidak dianggap sebagai suatu yang bebas. Budaya

30

Chris Barker (penerjemah Nurhadi), Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), h. 263

31

Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008), h. 14

32

Adib Sofia, Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009), h.12


(31)

patriarkat telah menjadikan tubuh perempuan sebagai penghalang untuk mengaktualisasi, mencipta, dan mentransedensi diri. Dengan begitu rupa, secara konkret budaya patriarkat membuat perempuan menghidupi tubuhnya bukan sebagai suatu kekuatan persepsi yang integratif, melainkan sebagai kekuatan asing yang melawan dirinya, bertentangan dengan dirinya sendiri.33

Konsepsi mengenai gambaran perempuan dibangun oleh budaya yang lahir sejak dulu. Perempuan cenderung menempati posisi kedua dalam masyarakat. Posisi di mana dianggap bahwa perempuan inferior sedangkan laki-laki superior. Hal tersebut tidak hanya didukung oleh sikap superioritas laki-laki. Akan tetapi, perempuan menjadikan dan menghidupi dirinya sendiri sehingga sesuai dengan konsep stereotip yang dibangun oleh budaya. Perspektif terhadap perempuan tersebut akhirnya mengakar dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi konsep stereotip yang berlebihan, yaitu menganggap perempuan lemah. Citra perempuan dalam kehidupan sosial erat kaitannya dengan gender.

Citra perempuan berkaitan dengan gambaran mengenai perempuan dalam kehidupan. Bagaimana ditampakkan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat berhubungan dengan peran gender yang diemban oleh perempuan. Gender merupakan atribut, sehingga citra perempuan dapat terlihat oleh atribut tersebut.

Gender masih identik dengan perempuan. Oleh karena itu, persoalan gender juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik kehidupan ranah domestik maupun publik.34

Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk menunjukkan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang

33

Arriyanti, Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra Feminis,

(Padang: Balai Bahasa Padang, 2007), h.13

34


(32)

berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin secara biologis. 35 Gender ialah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki- laki atau perempuan.36 Gender mengacu kepada asumsi dan praktik kultural yang mengatur kontruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Gender adalah konstruk kultural, maka ia tidak digambarkan sebagaimana gambaran biologi.37 Menurut Karl Marx, yang juga mendapat dukungan Friedrich Engels, relasi jender yang terjadi di dalam masyarakat sepenuhnya merupakan rekayasa masyarakat (social construction).38

Konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laiki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan cirri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.39

Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali tidak ada alasan biologis yang dapat menjelaskan mengapa para laki-laki harus membusung atau, mengapa perempuan harus memakai kutek di kakinya, sedangkan laki-laki tidak.40

Kate Millet dan Shulamit Firestone menyodorkan pemikiran gender kontemporer yang lebih radikal. Dalam Dialectic of Sex Firestone menyatakan

35

Stevi Jacson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer,

(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.225

36

Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007), h.177

37

Barker (penerjemah Nurhadi), op.cit., h. 249

38

Nasarudin Umar, dkk, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 7-8

39

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 8-9

40

Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 5


(33)

bahwa gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan kita dengan kerangka yang tak terbantah. Pembedaan tersebut adalah bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan. Dia menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi laki-laki.41

Gayle Rubin menyatakan bahwa gender adalah produk relasi sosial berkaitan dengan seksualitas karena sistem hubungan persaudaraan berdasarkan perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu ideologi atau sistem kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan kategori gender sebagai hal yang sudah mapan.42

Dapat dikatakan bahwa gender merupakan hasil dari konstruksi sosial. Gender terbentuk karena adanya pengaruh budaya dan masyarakat dan bukan sesuatu yang kodrati. Gender merupakan atribut yang dibangun oleh masyarakat untuk laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terjadi ketimpangan antara peran laki- laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk kedua. Pada akhirnya gender menghadirkan konsep yang hidup dalam masyarakat. Konsep yang menganggap laki-laki kuat, sedangkan perempuan lemah. Hal yang sudah terbangun sejak dahulu itulah, yang menyebabkan peran wanita lebih lemah dalam masyarakat menjadi hal yang normal. Walaupun pada kenyataannya, sewaktu- waktu konsep tersebut dapat berubah dan dipertukarkan.

Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan, sesuatu yang kita tampilkan. 43 Jadi, dapat dikatakan bahwa gender terbangun karena diajarkan, dilakukan, dan kemudian dihidupkan selalu.

The hormone puzzle (tokoh-tokoh hormonal) adalah salah satu istilah yang

sering disebutkan oleh para pakar jender di dalam menjelaskan hubungan antara anatomi biologi dan perilaku manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa perbedaan laki-laki dengan perempuan masih menyimpan beberapa masalah mendasar, baik

41

Humm, op.cit., h.178

42

Humm, op.cit., h. 179

43


(34)

dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang timbul sebagai akibat dari perbedaan itu memunculkan perdebatan karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.44

Perbedaan biologis yang terjadi antara laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai efek. Efek inilah yang akhirnya menjadi berbagai konsep yang dianggap lazim. Konsep budaya terhadap laki-laki dan perempuan menjadi konsep yang sudah sangat hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang alamiah yang diberikan oleh Tuhan. Gender merupakan sesuatu yang ditampilkan dalam masyarakat. Namun, kemudian gender dianggap menjadi sesuatu yang alamiah.

Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena menjadi bagian dari anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat (genderless). Akan tetapi, secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, pada saat itu juga konstruksi budaya mulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi, peran, dan status dalam masyarakat.45

Walaupun secara biologis alat kelamin menjadi bagian yang alamiah yang dimiliki manusia sejak lahir. Namun, perbedaan jenis kelamin akan memciptakan perbedaan atribut antara laki-aki dan perempuan. Perbedaan tersebut akan menentukan peran, status, dan kewajiban dalam masyarakat. Perempuan yang menyandang peran istri dan ibu secara tidak langsung akan mempunyai kewajiban wilayah domestik, seperti mengurusi anak, membersihkan rumah, serta kewajiban

44

Umar, op. cit.,, h. 3

45


(35)

domestik lainnya. Sebaliknya, laki-laki akan mempunyai kewajiban di luar rumah, sepperti mencari nafkah.

Tentang seberapa besar peranan perbedaan jenis kelamin (seks) menentukan perbedaan jender, tidak cukup lagi diterangkan dalam teori nature dan nurture,

tetapi sudah menuntut adanya teori-teori yang lebih canggih sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, seperti teori psikoanalisi, teori fungsioalis struktural, teori konflik, berbagai teori feminis, dan teori sosiobiologis. Teori

nature merupakan sebuah teori umum yang beranggapan bahwa perbedaan fungsi

dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan alamiah, seperti yang tercermin dalam perbedaan anatomi biologi kedua jenis kelamin tersebut. Menurut teori nurture, perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor budaya dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini banyak digunakan ketika isu jender belum dirasakan sebagai suatu fenomena universal

(cross culture).46

Berbagai macam teori tentang gender pun dikemukakan. Pembagian peran perempuan yang terjadi saat ini bukan dikarenakan faktor biologis semata. pembagian ini terbentuk turun-temurun dari dahulu karena konstruksi budaya. Gender telah melahirkan perbedaan peran, status, dan tanggung jawab antara laki- laki dan perempuan. Hal ini sudah dianggap alamiah dalam masyarakat sebagaimana perbedaan biologis yang tercipta antara laki-laki dan perempuan.

Gender juga jarang dibicarakan sebab merupakan isu yang secara sosial dan politik sensitif. Corak gender yang berlaku sekarang seolah tak mungkin diubah (dianggap merupakan kodrat/alamiah). Menurut Zeindenstein dan Moore, pengaruh nilai kemasyarakatan yang amat mendalam mengenai seksualitas individual berasal dari peran gender. Peran gender ditentukan oleh norma dan

46


(36)

nilai yang mendasari tanggung jawab dan kekuasaan serta perilaku laki-laki dan perempuan.47

Pengaruh mendalam yang ada pada budaya dan masyarakat menjadikan peran laki-laki dan perempuan sudah melekat seakan-akan menjadi suatu yang alamiah. Peran itupun akhirnya terkotak-kotak. Banyak faktor yang menyebabkan peran perempuan terkonsep sampai saat ini. Tidak hanya budaya dan masyarakat, agama pun secara tidak langsung bersinggungan dengan peran gender.

Ketika pemikiran agama terlanjur memberikan legitimasi terhadap sistem kekerabatan patriarki dan pola pembagian kerja secara seksual, dengan sendirinya wacana jender akan bersentuhan dengan masalah keagamaan. Selama ini agama dijadikan sebagai dalil untuk menolak konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahkan, agama dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan langgengnya status quo perempuan sebagai the second sex. 48

Berdasarkan paparan teori tersebut, maka peneliti menggunakan citra perempuan yang diklasifikasikan oleh Sugihastuti. Citra perempuan terbagi menjadi citra fisis, citra psikis, dan citra sosial. Selain itu, peneliti juga menggunakan konsep gender yang terdapat dalam teks.

C. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukakan tidak akan terlepas dari unsur-unsur lainnya. Sebuah penelitian membutuhkan referensi sebagai acuan untuk menopang berjalannya penelitian. Berikut adalah hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian yang akan dilakukan.

Edy Sambodo, Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia, Citra Perempuan dalam Novel Jendela-Jendela Karya Fira Basuki”, tahun 2007. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah

47

Irwan Martua Hidayana, dkk, Seksualitas: Teori dan Realita,. (Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerja sama dengan The Ford Foundation, 2004), h. 55-56

48


(37)

berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah tokoh utama perempuan adalah perempuan yang berani untuk bebas dalam menentukan pilihannya. Tokoh itu berani untuk mencari tujuan hidupnya yang sebenarnya merombak stereotip perempuan yang ada. Tokoh ini tidak menampilkan orientasi untuk menyetarakan gender. namun dari keberaniannya dalam lepas dari stereotip yang dibentuk oleh kekuasaan patriarkis telah menunjukkan ia adalah sosok perempuan yang dapat dijadikan contoh bagi perempuan modern.

Silvia arma Indah, Universitas Negeri Medan, Jurusan Bahasa dan sastra Indonesia dengan judul skripsi Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tanah Tabu Karya Anindita Thayf: Kajian Sastra Feminis, tahun 2013. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah citra perempuan Papuan dalam Novel tanah Tabu diwakili oleh delapan tokoh perempuan Papua. Dari kedelapan tokoh perempuan Papuan inilah analisis citra fisik, citra psikis, dan citra sosial perempuan Papua terpaparkan. Tinjauan dari segi feminism terhadap citra perempuan direpresentasikan dalam novel Tanah Tabu ini jelas bahwa di setiap segi kehidupan, perempuan masih menduduki kelas bawah dan bersifat inferior, serta pencitraan terhadap diri perempuan masih disampaikan secara negatif.

Dewi hermawati, Universitas Gajah Mada, Jurusan Sastra Indonesia dengan judul skripsi Citra Perempuan Suku Dani dalam Novel Etnografi Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani Karya Linggasari, tahun 2014. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah novel etnografi SKSWD mengangkat problematika hidup perempuan di tengah system patriarki. Tokoh perempuan dalam novel telah bergerak melakukan tindakan yang memprotes ketidakadilan gender yang diterimanya, tidak hanya sebatas idea tau wacana feminism. Perempuan Dani memiliki citra di sektor domestik dan di sektor publik.


(38)

Peneliti sendiri melakukan penelitian yang berjudul “Citra Perempuan dalam tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran sastra”. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perempuan dalam karya sastra. Peneliti akan melakukan penelitian terhadap citra perempuan dalam aspek fisik, psikis, dan sosial.

D. Pembelajaran Sastra

Pembelajaran sastra di sekolah sudah diajarkan dari tingkat yang paling dasar, namun masih terdapat kurangnya pemahaman akan pembelajaran sastra. Pengajaran sastra dengan tepat, sangat membantu dalam bidang pendidikan di Negara ini. Dalam pembelajaran sastra di sekolah, cerpen dapat diterapkan pada tingkat SMA kelas XI semester dua pada pertemuan yang akan membahas pemahaman pembacaan cerpen.

Namun, masalah yang dihadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Maka, agar tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai, diharapkan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu:49

1. Membantu Keterampilan Berbahasa

Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berari akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, menyimak, bicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya.

2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya

Sastra, tidak seperti ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.

49


(39)

Pengajaran sastra, jika dilakukan dengan bijaksana, dapat mengantar para siswa berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir- pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman.

3. Mengembangkan Cipta dan Rasa

Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta yang bersifat religius. Karya sastra sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karenanya, dapatlah ditegaskan, pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti sesungguhnya. 4. Menunjang Pembentukan Watak

Dalam pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Disbanding pelajaran- pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

Dalam penelitian ini, pembelajaran sastra berfokus pada analisis unsur intrinsik sastra. dalam menganalisis dan mengapresiasi suatu karya sastra, diperlukan aspek-aspek dalam keterampilan berbahasa. Adapun empat aspek keterampilan berbahasa ialah membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Siswa


(40)

dapat menafsirkan suatu teks sastra dengan membaca, agar mendapat pemahaman yang utuh akan suatu karya. Setelah itu siswa dapat mengungkapkan pemahaman yang didapatkannya lalu menganalisis dengan menulis.

Pengajaran sastra di sekolah sangat bermanfaat. Adapun tujuan pengajaran sastra adalah agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan mereka mempunyai pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai, dan mendapatkan ide-ide baru.50

Dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah, siswa dapat mempunyai kepekaan serta mendapakan pengalaman baru. Pengalaman batin saat membaca dapat membuat siswa mengerti pada nilai-nilai yang tertanam dilingkungaannya. Selain itu, siswa juga mendapatkan ide-ide baru dan memperbanyak kosa kata untuk dirinya.

50


(41)

BAB III

PROFIL MARTIN ALEIDA

Dalam pengajaran sastra di Indonesia, nama sastrawan Martin Aleida jarang sekali ditemukan. Oleh karena itu, penulis hanya menemukan profil Martin Aleida dalam profil penulis di tiap karyanya dan beberapa artikel dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

A. Biografi Martin Aleida

Martin Aleida lahir pada 31 Desember 1943 di Tanjung Balai, kota kecil di pantai timur Sumatera. Ia sudah gelisah dengan politik dan keyakinan sejak masih kecil. Kesenjangan sosial yang ia lihat, para buruh dan nelayan di kotanya yang berjuang setiap hari, membentuk ide dan tema untuk setiap cerita pendek yang ia tulis. Martin berasal dari keluarga Muslim yang kolot, dengan ayah yang merupakan pemimpin Masyumi (partai politik Muslim), tapi dikembangkan oleh golongan kiri. Sejak muda, Martin sudah menulis cerita pendek.1

Martin Aleida merupakan satu dari banyak korban tragedi 1965. Para korban biasanyan akan mengganti nama untuk mempertahankan hidupnya. Nama Martin Aleida merupakan pemberian nama oleh dirinya sendiri pada saat ia menjadi penulis di Horisan tahun 1968. Ayah Martin merupakan pengagum Martin Luther. Aleida adalah semacam kata seru sebagai tanda kagum, yang hidup di kalangan penduduk Melayu di pesisir Sumatera Timur yang sudah berasimilasi dengan para pendatang yang berbahasa Mandailing. Lalu, kedua kata tersebut dirangkai sendiri olehnya.2

Ia mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Cerita-ceritanya antara lain diterbitkan di dua harian yang

1

Bodrek Arsana, Writin As A Testimony , Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

2

Ibid


(42)

setiap hari memuat cerita pendek: Indonesia Baru yang terbit di Medan dan

Harian Rakyat di Jakarta.3

Martin Aleida menjadi jurnalis di Harian Rakyat, salah satu surat kabar paling berpengaruh pada saat itu. Harian Rakyat mengangkat berita yang mencakup “Istana Presiden”. Saat itu, dikenal sebagai “Masa Afiliasi”: surat kabar, kelompok pemuda, dan lembaga sosial lainnya, masing-masing memihak dengan salah satu partai politik. Harian Rakyat dengan PKI, Bintang Timur dengan Partindo, Kompas dengan Partai Katolik, Duta Masyarakat dengan NU, Suluh Indonesia dengan PNI, dst. Alasan inilah yang membuat konflik di antara kelompok besar politik saat itu terjepit, tidak hanya oleh media, tapi juga oleh banyak perkumpulan di Indonesia. Contohnya, setelah peristiwa 1965, anggota, orang yang dicurigai sebagai anggota, sekalipun simpatisan PKI ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Organisasi dibubarkan dan orang-orang yang sekalipun tidak terlibat dalam pergerakan politik juga ditangkap. Martin, satu dari ribuan yang tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara karena kecondongan politiknya.4

Saat itu, setelah meliput Presiden, Martin mengikuti pelatihan jurnalistik di Semarang, kemudian terjadi peristiwa itu. Pendidikan tidak selesai, kacau, dan bubar. Ia masuk lagi ke Jakarta setelah 2 Oktober 1965. Koran sudah ditutup. Semua orang menyelamatkan diri, termasuk Martin. Tapi, ia ditangkap awal 1966. Setengah tahun ia ditahan. Martin termasuk beruntung, ia tidak sampai dipukul, tidak dikirim ke Salemba, atau ke Pulau Buru. Ia ditangkap bersama lima orang lainnya. Temannya, Putu Oka Sukanta babak belur dihajar karena di dalam kantongnya terdapat surat korespondensi dengan teman di LEKRA, lalu dicurigai ada hubungan dengan PKI. Di kantong Martin terdapat surat dari kekasih dan surat wasiat dari orang tua yang mau naik haji. Ia menerima wasiat sebagai anak bahwa akan menerima bagian tanah di sini. Interogatornya menjadi bingung, sebab pada waktu itu

3

Martin Aleida, Leontin Dewangga, (Jakarta:Kompas, 2003), h.230

4


(43)

simpatisan PKI selalu dituduh ateis. Lalu Martin menejelaskan bahwa tidak ada hubungan antara agama dengan kepercayaan politik.5

Setelah keluar dari tahanan, apa saja dikerjakan oleh Martin Aleida. Ia menjual bensin di pinggir jalan, berdagang di Pasar Baru dan dikejar-kejar polisi, serta menjadi pelayan di restoran Padang. Setelah kerja serabutan, Martin diberi pekerjaan oleh JS Hadis, Sekretaris Jenderal PWI Pusat dan wartawan Berita Yudha. Ia menjalankan took yang baru buka di Pasar Jembatan Lima dengan gaji waktu itu 250 rupiah per hari. Lalu, Martin meminta izin kepada JS Hadis untuk melamar di majalah yang baru dibuka oleh Goenawan Mohammad (GM). JS menyetujui. Martin masuk ke TEMPO

tanggal 15 Januari 1971 sebelum majalah ini terbit 6 Maret 1971.6

Separuh dari usianya dia habiskan di Jakarta, di mana dia memperoleh pengalaman yang luas, terutama di bidang jurnalistik. Dia mengerjakan

assignment dalam berbagai bidang, namun di kalangan rekan-rekannya dia

lebih dikenal sebagai wartawan olahraga dan masalah-masalah kesehatan untuk majalah berita mingguan TEMPO. Dia bekerja di majalah ini selama 13 tahun sebelum mengundurkan diri tahun 1984. Beberapa waktu lamanya dia menjadi kontributor jurnal olahraga BOLA.7

Dia percaya olahraga memberikan kesempatan yang luas bagi seseorang penulis untuk mengasah dan mempertajam kepekaan pada detail dan gerak yang membuat kehidupan ini begitu dinamis. Untuk menemukan “roh” seorang pelari jarak jauh, dan untuk membuat laporannya lebih hidup, dia turut serta dalam lima lomba marathon yang masing-masing berjarak lebih kurang 40 km.8

Martin Aleida berhenti dari TEMPO karena mula-mula semua sepaham. GM bilang, cita-cita kita dalam jurnalistik sama. Tapi begitu majalah maju,

5

Doddi Ahmad Fauji, Sastra, Kata Martin Aleida , Jakarta: Jurnal Nasional, 2007.

6

ibid

7

Aleida. op. cit.

8


(44)

mulailah timbul friksi, dan like or dislike. Waktu diberikan mobil misalnya, itu ditentukan sesuai jabata, bukan fungsi. Syubah Asa misalnya, karena dia dibelikan Hartop, akhirnya harus kekurangan tiap bulan. Martin mulai stress, kemudian mobil hanya dipakai dua hari dalam seminggu karena biaya bensin yang mahal.9

Setelah selesai dari TEMPO, Martin Aleida bekerja setahun di TV NHK

milik Jepang. Selesai dari NHK, ia dipanggil oleh kantor penerangan PBB untuk bekerja di sana. Karena atasan Martin adalah orang Jepang, dan ia pernah kerja di NHK, maka ia dianggap mengerti mentalitas orang Jepang. Ternyata, atasan Martin di kantor berita PBB sangat gila kerja. Tapi, atasannya itu memberikan pelajaran yang luar biasa. Kantor masuk jam 7 pagi, atasannya sudah bekerja. Martin pulang jam setengah delapan malam, atasannya pun masih bekerja. Apa yang dikerjakan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan ia tidak bisa bahasa Indonesia. Hal tersebutlah yag menjadi bagian Martin.10

Martin pensiun dari kantor PBB tahun 2001. Ia pikir sudah terlalu lama bekerja untuk di luar dirinya. Sudah waktunya bekerja bekerja untuk diri sendiri. Ia kembali menulis. Tahun 1969, tiga cerpen Martin dimuat di

Horison. Tapi setelah bekerja di TEMPO, ia tidak bisa menulis lagi. Untuk

melatih menulis, saat itu bekerja di TEMPO sangat tepat, karena saat itu banyak penulis. Sebenarnya sejak tahun 1998 ia kembali lagi menulis karena waktunya memungkinkan untuk menulis tema-tema yang ia sukai.11

Berakhirnya kekuasaan yang otoriter selama 32 tahun telah memanggil dirinya untuk menulis cerita-cerita pendek sebagai kesaksian terhadap ketidakadilan maupun kekejaman yang diderita para korban kebengisan kekuasaan, mereka yang malang, yang oleh kekuasaan diharamkan untuk

9

Fauji,. op. cit.

10

Ibid

11


(45)

dilukiskan, karena itu berarti mencoreng hasil perburuan pembangunan yang diilhami oleh kerakusan akan kekayaan yang nista: pemberhalaan materi.12

B. Karya Martin Aleida

Martin Aleida mulai menulis cerita sejak sekolah menengah atas di Tanjung Balai, Sumatera Utara dan diterbitkan di Indonesia Baru (Medan) dan

Harian Rakyat (Jakarta), dua harian pada awal 1960-an setiap hari memuat

cerita pendek. Dalam menulis karyanya, Martin Aleida banyak menuliskan kisah tentang pengalamannya akan tragedi 1965. Karya-karyanya antara lain

Malam Kelabu, Ilyana,dan Aku (kumpulan cerpen, 1998), Layang-Layang Itu

Tak Lagi Mengepak Tinggi-Tinggi (novelet, 1999), Perempuan Depan Kaca

(kumpulan cerpen, 2000), Leontin Dewangga (kumpulan cerpen, 2003) ,

Jamalingak Tak Pernah Menangis (novel, 2004), Dendam Perempuan

(kumpulan cerpen, 2006), Mati Baik-Baik, Kawan (kumpulan cerpen, 2009),

dan Langit Pertama Langit Kedua (menghimpun sejumlah cerita pendek,

catatan perjalanan, esai, kritik, dan perdebatan, 2013).

Kumpulan cerita pendeknya “Leontin Dewangga” yang diterbitkan oleh Penerbit Buku KOMPAS, mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2004. Terjemahan cerita pendeknya “Leontin Dewangga” dalam bahasa Inggris disertakan dalam antalogi cerita pendek Asia-Pasifik, terbit di Boston, berjudul “Another Kind of Paradise.” Desember 2005, para sastrawan dan budayawan Aceh menganugerahkan “Dokarim Award” berkat karyanya yang mencerminkan empati pada penderitaan dan perjuangan rakyat Aceh.

C. Pemikiran Martin Aleida

Warna tema keseluruhan cerpen-cerpen yang dilabelkan kepada Martin ialah latar belakang malapetaka tahun 1965, di mana anggota Partai Komunis Indonesia, atau yang dikaitkan dengan itu, diratakan dengan tanah, dibasmi

12


(46)

sampai cindhil abang. Cindhil adalah sebutan untuk anak tikus, sedangkan

abang artinya merah. Idiom cindhil abang, bukan hanya menunjuk ke PKI,

melainkan ke bayi-bayi yang masih merah, yang belum tumbuh bulu, belum bisa melihat. Tokoh-tokoh yang ditampilkan Martin sebagian berdasar cerita yang mengalami, atau dialami, adalah tokoh yang “beruntung,” karena tidak ikut dibunuh. 13 Martin sering mengisahkan tentang dendam dan kematian. Tidak hanya itu, hampir sebagian karya Martin merupakan kesaksiannya akan tragedi 1965.

Teman-teman sastrawan di Taman Ismail Marzuki menyebutkan cerita- cerita Martin terlalu realis, sesak dengan jurnalisme. Martin tidak menyesal, ia tidak punya sesuatu yang hanya berupa angan-angan kosong pada orang lain. Ia hanya ingin menjadi saksi. Dan, kesaksiannya tidak tunggal, kaku. Karena ia juga bercerita tentang jalan hidup yang enteng dari seorang tokoh.14

D. Sinopsis Tiga Cerpen Martin Aleida

1. Sinopsis Cerpen Suara

Cerpen Suara menceritakan tentang seorang biduan bernama Marwah Juwita. Juwita melakuan segala cara untuk mendapatkan keindahan suara. Perjuangannya, kecantikan, serta gayanya membawanya ke tingkat kesuksesan tertinggi seorang penyanyi. Namun sayang, pernikahannya dengan seorang dokter harus menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya.

Juwita akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Lalu, ia pun menjadi pengunjung tetap di kafe seberang Gedung Kesenian Jakarta, tempat para seniman berkumpul. Di sanalah Juwita tersadar bahwa perjuangan dan ketenaran yang telah ia dapat dulu, tidak lagi mempunyai arti apapun. Juwita harus rela dirinya terlupakan.

13

Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, (Bandung: Ultimus, 2014), h. 175-176

14


(47)

2. Sinopsis Cerpen Aku Sepercik Air

Cerpen Aku Sepercik Air menceritakan tentang seorang perempuan bernama Munah. Munah merupakan seorang istri yang patuh terhadap suaminya, Nizam. Ia rela membuang pikirannya untuk hidup di kampung halaman, demi mengikuti suaminya yang berniat merantau.

Namun, kepatuhan serta kesetiaan Munah harus terbayar oleh pengkhianatan suaminya. Suaminya berselingkuh dan menelantarkan Munah beserta kedua anaknya. Kesewenang-wenangan Nizam akhirnya dibalas oleh Munah.

3. Sinopsis Cerpen Malam Kelabu

Cerpen Malam Kelabu menceritakan tentang hubungan antara Armada dengan Partini. Mereka berdua dipertemukan di Jakarta. Partini merasa cemas dengan keadaan keluarga setelah peristiwa G30S serta kiriman dari orangtua tidak datang lagi, Partini memutuskan untuk kembali ke desanya di Soroyudan. Sesekali Partini berkirim surat ke Armada.

Sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius. Armada pergi ke desa Soroyudan untuk menikahi Partini. Partini digambarkan sebagai gadis yang jujur dan suka berterus terang. Ia juga tidak suka berdandan. Hal inilah yang membuat Armada jatuh cinta pada Partini, karena menurutnya berdandan ialah bentuk dari kepura-puraan. Namun, keadaan telah berubah. Partini ikut terbunuh karena ayah dan pamannya merupakan anggota PKI.


(48)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA A. Unsur Intrinsik Cerpen

1. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang saling terikat dan tidak dapat dilepaskan. Tokoh merupakan individu rekaan yang kemudian mengemban suatu watak. Tokoh dan penokohan amat penting dalam sebuah karya sastra, karena tidak mungkin suatu karya dapat tercipta tanpa adanya tokoh dan penokohan.

a. Suara

Marwah Juwita

Marwah Juwita adalah seorang perempuan cantik yang mempunyai suara sangat bagus dan kemauan keras. Juwita menjadi biduan tenar pada masanya. Namun akhirnya, Juwita harus menyerah pada takdirnya sebagai istri. Juwita harus patuh kepada suami, dan menghentikan karirnya. Walaupun pada akhirnya ia kembali kepada pendirian dan suara hatinya dan memutuskan berpisah dengan suaminya.

“Bayangkanlah, bagaimana keras kemauannya mengikuti suara-suara yang muncul dari jiwanya, sehingga dia juga pernah mengutarakan niatnya untuk bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja satu-satunya yang terdapat di kota kami.”1

“Sampai datanglah pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang namun sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya.”2

1

Martin Aleida, Dendam Perempuan, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, 2006), h. 29

2

Ibid, h. 32


(49)

“Dari dia sendiri jugalah kuketahui bahwa perkawinannya dengan dokter itu akhirnya kalah juga menghadapi suara- suara yang terus berdesakan dari dalam relung jiwanya.”3

Pinora

Pinora merupakan seorang penulis beruntung. Ia beruntung karena dapat menulis hingga usinya yang sudah senja. Pinora merupakan teman Juwita. Ia merupakan orang yang menghargai dan mendukung Juwita diwaktu Juwita membutuhkan pengakuan dari orang lain dan para seniman.

“Dan matanya berseri-seri menahan kebahagiaan ketika kukatakan bahwa aku akan mencarikan teman yang bersedia mencarikan sponsor untuk memamerkan sketsa- sketsanya itu di satu galeri kecil.”4

Bang Ote

Bang Ote merupakan pemilik perahu di kali Ciliwung, tepatnya kurang lebih seratus meter di sebelah timur dari kafe seberang Gedung Kesenian.. Ia yang membantu orang-orang untuk menyeberang di kali itu.

“Apakah bang Ote menyeberangkan Mama tadi?” tanyaku kepada pemilik perahu. “Ya. Dua kali dia menyeberang. Seperti orang kebingungan. Membawa segulung kertas. Waktu disapa, dia tak menjawab.”5

b. Aku Sepercik Air

Munah

Munah merupakan seorang istri sekaligus ibu. Ia juga merupakan perempuan yang peduli terhadap lingkungan.selain itu, ia merupakan istri yang patuh terhadap suaminya. Ia pun ikut suaminya untuk merantau ke Jakarta. Di tengah kesetiaan dan kepatuhan yang ia berikan kepada suaminya, ia juga diberikan penghianatan oleh suaminya. Munah sangat sayang pada dua

3

Ibid, h. 35

4

Ibid, h. 38

5


(50)

anaknya. Ia ingin diceraikan secara baik dan diberikan uang untuk pulang ke kampung bersama anak-anaknya. Untuk membalas dendamnya, ia pun memberanikan diri menemui suaminya dan membalas penghianatan yang diterimanya.

“Andainya penduduk kota yang berbilang ribuan itu saban pagi menjemput segenggam pasir gosong dan menimbunkannya ke tepian, kupikir mata pencaharian mereka yang sama sekali tergantung pada sungai itu tentulah akan tertolong. Asahan tertolong.”6

“Aku hanya seorang perempuan, seorang istri, dan sudah menjadi adat kebiasaan di daerah kami bahwa seorang istri haruslah mengalahkan pikiran-pikirannya dan tunduk pada suami.”7

“Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Melawan untuk menghancurkan si pendosa.”8

“Mengapa ayah begitu sampai hati. Memperlakukan ibu sehina ini, madu kesetiaan dari ibu kau balas dengan tuba kesewenang-wenangan.”9

Nizam

Nizam adalah suami dari Munah. Saat usahanya jatuh, ia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Ia merupakan seseorang lelaki yang tidak bertanggung jawab pada istri dan anak- anaknya. Ia tinggal bersama perempuan barunya dan mempunyai usaha menyewakan rumah di satu daerah gelap.

“Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih berastu dengan aku dan anak-anak kami. Penyakit lamnya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain.”10

Fadilla

Fadilla adalah anak pertama dari Munah dan Nizam. Fadilla sudah menikah dan mempunyai satu anak. Namun sayang, istrinya

6

Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 98

7

Ibid, h. 99

8

Ibid, h. 102

9

Ibid, h. 106

10


(51)

meninggalkannya karena menganggap Fadilla tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia adalah anak laki-laki yang bertanggung jawab, ia mencari nafkah untuk ibu dan adiknya.

“Aku bangga juga punya anak laki-laki yang sudah sanggup mengambil alih kewajiban orangtuanya yang tak bertanggung jawab.”11 “Kau temukan kesetiaan pada ibu, tapi kau lemparkan. Sedangkan aku, seorang suami yang menunjukkan kesetiaan yang diturunkan ibu padaku, ditinggalkan istriku.”12

Lailan Hanum

Lailan Hanum adalah anak kedua dari Munah dan Nizam. Lailan merupakan gadis yang lugu dan cantik. Hatinya mudah sekali tersentuh.

“Lailan.” “Lama aku menunggu sampai dia menatapku. Matanya yang bundar dan jernih dengan bulu yang lentik dilindungi alis yang tebal memayung. Hidungnya menjulur landai dari dahinya yang lebar. Mancung, ditayang bibir yang tipis. Dadanya penuh”13

c. Malam Kelabu

Kamalludin Armada

Armada adalah seorang pelaut yang berasal yang berasal dari kota kecil di Asahan. Ia merupakan laki-laki yang suka berterus terang, jujur, penuh semangat, dan keras hati. Ia meninggalkan keluarganya untuk tujuan kebebasan. Lingkungan keluarga yang feudal dan fanatik mendorong dia untuk memilih jalan itu. Armada juga merupakan laki-laki yang tanggung jawab, ia berniat melamar kekasihnya, Partini. Namun kenyataan hidup membuatnya putus asa.

“Yah. Orang-orang Sumatera suka terus terang. Saya senang dengan sikap itu.”14 ”Saya juga berterimakasih atas

11

Ibid, h. 103

12

Ibid, h. 107

13

Ibid, h. 109

14


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NISA KURNIASIH, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret

1991. Anak keenam dari enam bersaudara dari Bapak Ayi Fatah dan Ibu Tarwati. Ia menuntaskan Sekolah Dasar di SDN 07 Petamburan, Jakarta Pusat. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke SMPN 40 Jakarta. Lalu, menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 35 Jakarta pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ia melanjutkan pendidikannya ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.