Model Komunikasi Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak

Model Komunikasi Efektif

bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak

Edy Suryadi

Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Jln. Setyabudi No. 229 Bandung Hp. 081322688466, email: edi_surya@yahoo.co.id

Abstract

The objective of the research is to study the influence of the communication between child and parents in the family and teachers, in the school to the students ability of creative thinking. The communication of child with parents and teachers in this research are differend according to three styles of communication: Instructional communication style, participation and delegation communication style. Based on the results of data analysis, it can be obtained the information that: (1) The communication between the child and parents and teachers is very important for the development of creative thinking ability for child. (2) The style of instructional communication developed well by parents and teachers is very effective whenever be adapted to the child who has the lower level of creative thinking ability, but the participation and delega- tion communication style are not effective, (3) The style of participation communication devel- oped well by parents or teachers is very effective whenever be adapted to the child who has the moderate level of creative thinking ability, but the instructional and delegation communication styles are not effective, (4)The style of delegation communication developed well by parents or teachers is very effective if adapted to the child who has the higher level of creative thinking ability, whereas the instructional and participation communication styles are not effectively.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komunikasi antara anak dan orang tua dalam keluarga dan guru di sekolah dengan kemampuan siswa berpikir kreatif. Komunikasi anak dengan orang tua dan guru dalam penelitian ini adalah berbeda yang didasarkan pada tiga gaya komunikasi, meliputi: gaya komunikasi instruksional, partisipasi dan gaya delegasi komunikasi. Berdasarkan hasil analisis data, dapat diperoleh informasi bahwa: (1) komunikasi antara anak dan orang tua dan guru sangat penting untuk pengembangan kemampuan berpikir kreatif untuk anak. (2) Gaya komunikasi instruksional yang dikembangkan baik oleh orang tua dan guru sangat efektif bila disesuaikan dengan anak yang memiliki tingkat yang lebih rendah kemampuan berpikir kreatif, tapi partisipasi dan gaya delegasi komunikasi menjadi tidak efektif, (3) Gaya partisipasi komunikasi terbangun dengan baik oleh orang tua atau guru sangat efektif bila disesuaikan dengan anak yang memiliki tingkat kemampuan berpikir kreatif, namun gaya komunikasi instruksional dan delegasi tidak cukup efektif, (4) Gaya komunikasi delegasi dikembangkan dengan baik oleh orang tua atau guru sangat efektif jika disesuaikan dengan anak yang memiliki tingkat lebih tinggi kemampuan berpikir kreatifnya, sedangkan gaya komunikasi instruksional dan partisipasi akan tidak efektif.

Kata Kunci: berpikir kreatif, gaya komunikasi, efektif

264 Pendahuluan

Persoalan yang dikaji dalam tulisan ini berkaitan dengan isu tentang rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Gejala tentang rendah- nya mutu pendidikan di Indonesia, di antaranya diindikasikan oleh rendahnya kreativitas para lu- lusan sebagaimana sering disoroti oleh masyara- kat pemakai lulusan tersebut. Hasil studi penda- huluan yang dilakukan secara khusus terhadap kreativitas peserta didik SMA di Kota Madya Su- kabumi dari 197 siswa yang diteliti 98,5 persen memiliki tingkat kemampuan berpikir kreatif ren- dah dan hanya 1,5 persen yang termasuk pada kelompok tinggi.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut pertanyaan yang muncul kemudian mengapa kreativitas peserta didik SMAN di Kota madya Sukabumi rendah, dan faktor-faktor apa yang menyebabkan rendahnya kreativitas peserta didik SMAN di Kota maya Sukabumi tersebut?

Rendahnya kreativitas mutu pendidikan sudah tentu merupakan produk dari sistem pendidikan yang kurang atau bahkan tidak mengembangkan keseluruhan dimensi psikologis individu, baik dimensi kognitif, afektif, konatif, maupun psikomotorik. Dimensi psikologis yang tampaknya kurang mendapat perhatian dari sistem pendidikan dewasa ini adalah aspek kreativitas (Sanusi, 1992). Perilaku-perilaku kreatif yang tumbuh dalam iklim pendidikan masih belum banyak mendapat perhatian. Padahal pendidikan diyakini mempunyai peran dan fungsi strategis dalam rangka melahirkan perilaku-perilaku kreatif anak. Diduga bahwa diantara mereka belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan yang memadai untuk dapat mengembangkan potensi- nya secara optimal, sehingga mereka cenderung menjadi anak berprestasi di bawah potensinya. Fakta menunjukkan bahwa yang banyak dikem- bangkan melalui pendidikan dewasa ini adalah kemampuan berpikir linier, eksak, dan logis. Fung- si-fungsi otak belahan kiri (left hemisphere) se- perti kemampuan berpikir linier, eksak, rasional, penalaran (Clark, 1983) sebagai manifestasi ke- mampuan berpikir konvergen (Guilford,1985) mendapat tekanan yang kuat dalam praktek- praktek pendidikan. Sementara itu fungsi-fungsi otak belahan kanan (right hemisphere) yang

menyangkut kemampuan berpikir holistik, gestalt, imajinatif, intuitif, kreatif masih kurang mendapat perhatian. Di sisi lain kreativitas individu sangat dibutuhkan. Sebab kreativitas dapat melahirkan inovasi yang mengendap dalam manifestasi budaya. Melalui kreativitas itulah kehidupan manusia menjadi penuh makna. bangsa (Costa Berthur L, ed,1985). Pentingnya kreativitas individu dalam hubungannya dengan upaya peningkatan mutu pendidikan memang sangat penting. Karena itu, dalam rumusan tujuan pendidikan nasional, nampak jelas bahwa kreativitas merupakan salah satu dimensi penting bagi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas. Implikasinya, sistem pendidikan hendaknya ditujukan untuk mengembangkan kualitas berpikir peserta didik agar dalam proses perkembangan kognitif dan inteligensinya memperoleh peluang secara optimal.

Aktualisasi kemampuan berpikir kreatif merupakan resultante dari proses interaksi dan interdependensi antara faktor—faktor psikologis dan faktor lingkungan. Kedua faktor tersebut, pada masing-masing individu memiliki peranan yang berbeda-beda. Secara sosial-psikologis, kemam- puan berpikir kreatif merupakan fenomena indi- vidu dan sekaligus fenomena sosial-budaya. Tiga lingkungan yang dianggap sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berpikir kreatif adalah lingkungan keluarga dan lingkung- an sekolah.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan anak. Melalui pendidikan keluarga, komunikasi orang tua sangatlah penting dalam rangka pembentukan seorang anak. Komunikasi dalam keluarga di- harapkan terjadi interaksi, saling tukar menukar pengetahuan, pendapt, pengalaman dan seba- gainya (Solihat, 2005:307). Di dalam keluraga- lah anak mengenal kasih sayang, berbagai kebia- saan, nilai-nilai hidup, mengadaptasi perilaku dari orang tuanya, dan mengenal tanggung jawab sebagai kosekwensi perilakunya. Pendidikan pertama dan utama yang dialami anak dalam ke- luarga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anaktermasuk di dalamnya ke- mampuan berpikir kreatif (Adiwikarta, 1988:67. Eshleman & Cashion,1985,336-337. Schenei- ders, 1964:145). Keluarga merupakan instru-

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, September - Desember 2010, halaman 263 - 279

265

ment penting yang memiliki kekuatan untuk memudahkan atau menghambat berkembangnya potensi-potensi kreatif individu ( Fontana,1981. Arasteh dan Arasteh ,1976. Hurlock (1979). Studi Max. Kinnon (1976,1973) terhadap para arsitek yang dianggap paling kreatif di Amerika Seri- kat, diantaranya mengungkapkan bahwa dilihat dari latar belakang keluarganya, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga kondusif un- tuk perkembangan kreativitas. Diketahui bahwa kedua orang tua mereka memiliki minat artistik yang memungkinkan minat artistik anaknya turut terangsang. Sementara itu, Siegelman (Libert dkk, 1976) mengemukakan hal yg bertolak belakang, dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa ko- munikasi antara anak yang kreatif dengan orang tuanya (guru) banyak diwarnai oleh penolakan da- ri pada penerimaan atau kasih sayang. Arasteh (1968) juga melaporkan bahwa komunikasi antara anak kreatif dengan orang tuanya agak kurang hangat.

Sekolah merupakan lingkungan kedua dalam pendidika anak, setelah lingkungan keluar-

ga. Lingkungan sekolah harus kondusif bagi per- tumbuhan kemampuan berpikir kreatif anak. Iklim kondusif bagi perkembangan kemampuan berpi- kir kreatif anak tersimpul secara integral dalam berbagai aspek kehidupan sekolah, yang tercakup di dalamnya komunikasi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, siswa dengan fasilitas belajar yang tersedia, dan kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif melalui aneka kegiatan di sekolah. Hadir atau tidak hadirnya faktor-faktor tersebut secara favorable akan mempengaruhi perkembanan kemampuan berpikir kreatif, meskipun sekolah bukan satu- satunya faktor penentu. Di sekolah, guru memiliki peranan yang sangat penting dalam konteks perkembangan potensi kreatif anak. Guru di samping sebagai educator, fasilitator, dan lain sebagainya, juga harus dapat berperan sebagai komunikator dalam proses belajar-mengajar (PBM).

Ketiga, lingkungan kehidupan masya- rakat . Lingkungan kehidupan masyarakat merupakan lingkungan ketiga dalam pendidikan anak. Baik sebelum maupun sesudah anak sekolah, sebagian waktunya dipergunakan untuk bergaul dengan orang lain di sekitarnya. Dari hasil perga-

ulan dengan lingkungannya ini dapat mempenga- ruhi perkembangan kerativitasnya. Hal ini diaki- batkan oleh adanya tradisi, adat istiadat, dan ke- biasaan yang diterima sebagai etika masyarakat yang mempengaruhi perilaku kelompok dan peri- laku individu. Kemampuan kreatif anak tidak sama sekali lepas dari pengaruh masyarakat yang me- ngelilinginya (Alisjahbana, 1983. Arieti, 1976, Munandar, 1982. Kartadinata, 1982. Lytton, 1971).

Penelitian ini lebih memfokuskan pada dua lingkungan, yakni lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Dalam kedua lingkungan tersebut, interaksi atau komunikasi antara para anggotanya itulah yang sangat penting. Suasana komunikasi yang bersifat psikologis terjadi di dalam keluarga dan sekolah. Suasana komunikasi yang bersifat psikologis dalam kedua lingkungan tersebut diberi makna dalam konteks komunikasi antara pribadi-pribadi yang terlibat.

Komunikasi dalam lingkungan keluar-

ga dan lingkungan sekolah dapat dibedakan ber- dasarkan apakah komunikasi tersebut efektif atau tidak efektif. Serangkaian komunikasi di- anggap efektif apabila berdasarkan hasil-hasil stu- di kepustakaan mampu menciptakan situasi ko- munikasi yang kondusif bagi perkembangan ke- mampuan berpikir kreatif. Sedangkan komunikasi yang tidak efektif, bila secara teoretis kurang atau tidak memberikan kemungkinan untuk berkem- bangnya kemampuan berpikir kreatif individu.

Gambar 1. Model Efektivitas Komunikasi bagi Pengem- bangan Kemampuan Berpikir Kreatif

Suryadi, Model Komunikasi Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak

266

Sehubungan dengan itu, untuk mengkaji komunikasi anak dengan orang tua dan guru de- ngan siswa di lingkungannya masing-masing dikem- bangkan model komunikasi oleh peneliti sendiri, sebagaimana diperagakan berikut ini:

Model yang dikembangkan ini mengacu kepada pendekatan yang yang menekankan kepada aspek penyesuaian antara komunikator dan komunikan. Fisher (Fisher:1978, Hami- joyo,1993) mengatakan bahwa penyesuaian me- rupakan fenomena normal komunikasi manusia yang secara dramatis dapat memaksimalkan kemungkinan pencapaian proses komunikasi. Efektivitas komunikasi antara lain tergantung kepada situasi dan hubungan sosial antara komunikator dengan komunikan terutama dalam ruang lingkup frame of reference (kerangka rujukan), maupun luasnya pengalaman diantara mereka. Dalam proses komunikasi, kerangka rujukan akan mempengaruhi bagaimana orang memberikan makna pada pesan yang di terimanya. Komunikasi dapat dipahami dan diterima serta dilaksanakan bersama, harus dimungkinkan ada- nya peran serta untuk mempertukarkan dan merun- dingkan makna diantara individu yang terlibat dalam proses komunikasi sehingga pada gilirannya keselarasan dan keserasian dapat tercapai.

Titik berat model yang dikembangkan, mengacu kepada dua unsur pokok dari unsur- unsur komunikasi, yakni unsur komunikator dan unsur komunikan. Yang menjadi perhatian dari unsur komunikator adalah aspek how to commu- nicate, yaitu mengacu kepada pola perilaku atau gaya komunikator ketika mencoba mempengaruhi komunikan atau ketika menyampaikan pesan- pesannya kepada komunikan. Sedangkan yang menjadi perhatian dari unsur komunikan adalah aspek frame of reference (kerangka rujukan), yaitu panduan pengetahuan dan pengalaman komunikan, yakni kemampuan berpikir kreatif. Aspek how to communicate, dibedakan ke dalam tiga klasifikasi, yait (1) gaya komunikasi imstruksional (Instructive Communicarion Style ), (2) gaya komunikasi partisipasi (Par- ticipative Communication Style ), (3) Gaya komunikasi delegasi (delegative communica- tion style ), sedangkan frame or reference (kemampuan berpikir kreatif) komunikan juga diklasifikasi ke dalam tiga klasifikasi, yaitu

(1) tingkat rendah, (2) tingkat sedang, dan (3) ting- kat tinggi. Asumsinya adalah bahwa komunikasi yang efektif dapat tercapai, apabila guru atau orang tua mampu mengadaptasi perilaku atau gaya ko- munikasinya dengan tingkat kemampuan berpikir kreatif anak sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Gaya komunikasi instruksional (G 1 ) adalah gaya komunikasi yang dikembangkan oleh orang tua dan guru melalui sikap, perbuatan, dan ucapannya yang cenderung lebih banyak mem- berikan penjelasan, pengarahan secara spesifik (apa, mengapa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan) tentang pesang-pesan yang disam- paikannya. Gaya komunikasi seperti ini bersifat satu arah, instruksional (linier, one way commu- nication ). Artinya, komunikator lebih banyak berperan secara akif dalam menjelaskan dan mengarahkan secara spesifik (apa, mengapa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan) tentang pesan-pesan yang disampaikannya. Gaya komunikasi instruksional di dasarkan kepada falsafah ing ngarso sung tulodo yang mengandung makna keteladanan yang ditampilkan seorang komunikator melalui sikap, perbuatan, dan ucapannya ketika berinteraksi dengan inividu yang lainnya. Sikap, perbuatan, dan ucapanya selan- jutnya akan menjadi pola anutan dan ikutan bagi penerima pesan (komunikan). Falsafah ing ngarso sung tulodo ini mempunyai keterkaitan dengan apa yang desebut Qawlan Ma Rufan (QS.4:5) yang berarti membimbing, mendidik atau menggurui dan sikap kepribadian orang tua atau parent (dalam teori hubungan interpersonal dari Eric Berne) yang ditampilkan seseorang ketika berkomunikasi dengan lainnya. Sikap kepribadian orang tua adalah asumsi dan perilaku yang kita terima dari orang tua atau orang yang dianggap sebagai orang tua (Rakhmat, 1991:123). Bertitik tolak dari Al-Quran (QS. 4:5), falsafah, teori di atas, serta didukung oleh pengamatan dan mengamalan sebagaimana yang telah dijelaskan terhadap kecenderungan- kecenderungan pola perilaku seseorang ketika berkomunikasi dengan yang lainnya, maka muncul apa yang disebut gaya komunikasi instruksional. Secara konseptual gaya komunikasi seperti ini memiliki tingkat kemungkinan etektif paling tinggi apabila di terapkan pada anak atau siswa yang memiliki frame of reference atau kemampuan

berpikir kreatif yang rendah (KR 1 ). Sebaliknya jika

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, September - Desember 2010, halaman 263 - 279

267

diterapkan pada anak atau siswa yang memiliki

kemampuan berpikir kreatif sedang (KR 2 ) atau tinggi (KR 3 ) gaya ini tidak akan efektif. Gaya komunikasi partisipasi (G 2 ) adalah

gaya komunikasi yang ditampilkan komunikator (orang tua dan guru) melalui sikap, perbuatan, dan ucapannya yang cenderung memberikan kesem- patan kepada anak untuk ikut terlibat dalam proses komunikasi. Keterlibatan anak tersebut tidak ter- batas sebagai penerima pesan tetapi juga penyam- pai pesan. Siapa komunikator dan siapa komuni- kan sudah tidak tampak lagi karena kedua-dua- nya berperan ganda. Bertitik tolak dari Al-Quran (QS. 4:5), falsafah, teori di atas, serta didukung oleh pengamatan dan pengalaman sebagaimana yang telah dijelaskan terhadap kecenderungan- kecenderungan pola perilaku seseorang ketika berkomunikasi dengan yang lainnya, maka muncul apa yang disebut gaya komunikasi partisipasi. Secara konseptual gaya komunikasi partisipasi yang ditampilkan oleh guru atau orang tua akan memiliki tingkat kemungkinan efektif paling tinggi apabila diterapkan pada anak atau siswa yang memiliki frame of reference atau kemampuan

berpikir kreatif sedang (KR 2 ). Sebaliknya jika

diterapkan pada anak atau siswa yang memiliki

kemampuan berpikir kreatif rendah (KR 1 ) atau tinggi (KR 3 ) gaya ini tidak akan efektif. Gaya komunikasi delegasi (G 3 ) adalah

gaya komunikasi yang ditampilkan orang tua dan guru melalui sikap, perbuatan, dan ucapannya yang cenderung menempatkan dirinya pada posisi sebagai penerima pesan dan hanya pada saat-saat tertentu saja orang tua dan guru bertindak sebagai penyampai pesan apabila diperlukan. Dalam kondisi seperti ini terjadi proses pertukaran peran antara orang tua dan guru yang semula berperan sebagai penyampai pesan berubah menjadi pe- nerima pesan, demikian juga sebaliknya. Bertitik tolah dari Al-Quran (QS. 4:5), falsafah, teori di atas, serta didukung oleh pengamatan dan penga- laman sebagaimana yang telah dijelaskan terhadap kecenderungan-kecenderungan pola perilaku seseorang ketika berkomunikasi dengan yang la- innya, maka muncul apa yang disebut gaya ko- munikasi delegasi. Secara konseptual gaya ko- munikasi delegasi yang ditampilkan orang tua dan guru akan memiliki tingkat kemungkinan efektif paling tinggi apabila diterapkan pada anak atau

siswa yang memiliki frame of reference atau ke- mampuan berpikir kreatif tinggi (KR 3 ). Sebaliknya jika diterapkan pada anak atau siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah (KR 1 ) atau

sedang (KR 2 ) gaya ini tidak akan efektif. Dengan demikian dari ketiga gaya ko- munikasi yang dikembangkan guru atau orang tua, secara konselptual tidak ada satupun gaya ko- munikasi yang paling efektif diantara ketiganya. Efektif tidaknya suatu gaya komunikasi tersebut bergantung kepada sejauhmana gaya tersebut mampu beradaptasi dengan frame of reference komunikan.

Berdasarkan masalah, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran, dan model yang dikembangkan, rumusan masalah, tujuanda, dan hipoteis penelitian dirumuskan berikut ini : (1) Adakah pengaruh komunikasi anak dengan orang tua dan guru dengan siswa di lingkungannya masing-masing terhadap kemampuan berpikir kreatif anak? (2) Sejauhmanakah tingkat efek- tivitas gaya komunikasi instruksional yang dikem- bangkan oleh orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing jika dihubungkan dengan anak yang memiliki tingkat kemampuan berpikir kreatif rendah, sedang, dan tinggi? (3) Sejauhmanakah tingkat efektivitas gaya komunikasi partisipasi yang dikembangkan oleh orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing jika dihubungkan dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan berpikir kreatif rendah, sedang, dan tinggi? (4) Se- jauhmanakah tingkat efektivitas gaya komunikasi delegasi yang dikembangkan oleh orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing jika dihu- bungkan dengan anak yang memiliki tingkat ke- mampuan berpikir kreatif rendah, sedang, dan tinggi?

Tujuan umum Peneltian, menemukan bagaimana kemampuan berpikir kreatif anak di- konstruksi dan dipelihara melalui komunikasi, yang pada gilirannya dapat memecahkan ren- dahnya mutu pendidikan. Secara khusus peneliti- an ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang: (1) Pengaruh komunikasi anak dengan orang tua dan guru dengan siswa di lingkungannya masing- masing terhadap kemampuan berpikir kreatif anak? (2) Tingkat efektivitas gaya komunikasi instruk- sional, partisipasi, dan delegasi yang dikembangkan oleh orang tua dan guru di lingkungannya masing-

Suryadi, Model Komunikasi Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak

268 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, September - Desember 2010, halaman 263 - 279

masing jika dihubungkan dengan anak yang me- Metode Penelitian

miliki tingkat kemampuan berpikir kreatif rendah? (3) Tingkat efektivitas gaya komunikasi instruk-

Penelitian ini merupakan tipe penelitian sional, partisipasi, dan delegasi yang dikembang- verifikatif , yaitu penelitian yang bertujuan menguji kan oleh orang tua dan guru di lingkungannya ma- hipotesis. Sesuai dengan tujuan penelitian yang sing-masing jika dihubungkan dengan siswa yang hendak dicapai, metode yang digunakan ialah memiliki tingkat kemampuan berpikir kreatif se- metode explanatory survey method, yakni suatu dang ? (4) Tingkat efektivitas gaya komunikasi in- metode penelitian survey yang bertujuan menguji struksional, partisipasi, dan delegasi yang dikem- hipotesis dengan cara mendasarkan pada bangkan oleh orang tua dan guru di lingkungannya pengamatan terhadap akibat yang terjadi; dan masing-masing jika dihubungkan dengan anak yang mencari faktor-faktor yang mungkin menjadi memiliki tingkat kemampuan berpikir kreatif tinggi? penyebabnya melalui data tertentu. (Rusidi,

Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai 1989:1992). Konsekuensi metode penelitian ini berikut: (1) Komunikasi anak dengan orang tua memerlukan operasionalisasi variable-variabel dan guru dengan siswa di lingkungannya masing- yang diteliti sehingga dapat dijabarkan ke dalam masing berpengaruh secara positif terhadap ke- indikator-indikator yang dapat diukur secara mampuan berpikir kreatif anak. (2) Gaya komu- kuantitatif sedemikian rupa untuk dapat digunakan nikasi instruksional yang dikembangkan oleh orang model uji hipotesis dengan metode statistika. tua dan guru di lingkungannya masing-masing

Mengingat masalah yang diteliti adalah memiliki tingkat efektivitas yang lebih tingggi jika masalah gejala sosial, maka gambaran yang di- dihubungkan dengan anak yang memiliki tingkat peroleh disamping menggunakan pendekatan kemampuan berpikir kreatif rendah, dibandingkan analisis kuantitatif berasarkan informasi statistik dengan gaya komunikasi partisipasi dan gaya ko- juga digunakan pendekatan analisis kualitatif yang munikasi delegasi. (3) Gaya komunikasi partisi- didasarkan kepada interpretasi terhadap hasil- pasi yang dikembangkan oleh orang tua dan guru hasilnya. di lingkungannya masing-masing memiliki tingkat

Dengan menggunakan metode tersebut di efektivitas yang lebih tingggi jika dihubungkan atas, diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan- dengan anak yang memiliki tingkat kemampuan kesimpulan yang dapat diangkat ketaraf gene- berpikir kreatif sedang, dibandingkan dengan gaya ralisasi, berdasarkan hasil-hasil pengolahan dan komunikasi instruksionan dan gaya komunikasi analisis data. Implikasi yang bermakna juga menjadi delegasi. (4) Gaya komunikasi delegasi yang di- sasaran penelitian ini. kembangkan oleh orang tua dan guru di lingkung-

annya masing-masing memiliki tingkat efektivitas Objek Penelitian

yang lebih tinggi jika dihubungkan dengan anak yang memiliki tingkat kemampuan berpikir kreatf

Objek penelitian ini adalah seluruh SMA tinggi, dibandingkan dengan gaya komunikasi Negeri dan Swasta yang ada di Kota Madya instruksional dan gaya komunikasi partisipasi.

Sukabumi, sekaligus sebagai unit analisis.

Tabel 1 Kerangka Sampling

NO NAMA SEKOLAH

UKURAN SAMPEL

JUMLAH SISWA

1. SMA NEGERI I

2. SMA NEGERI II

3. SMA NEGERI III

4. SMA NEGERI IV

5. SMA MUHAMADYAH

6. SMA PASUNDAN

7. SMA KRISTEN 165

8. SMA PGRI

9. SMA MARDIYUANA 83 14

JUMLAH

Suryadi, Model Komunikasi Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak 269

Sedangkan sumber datanya adalah para siswa untuk terlibat dalam proses komunikasi secara aktif kelas tiga. Ukuran populasi dan sampel penelitian tidak hanya sebagai penerima pesan,tetapi juga dapat dilihat pada kerangka sampling pada tabel sebabagai penyampai pesan (two way commu-

1 di atas.

nication ).

Gaya komunikasi delegasi adalah gaya

Operasionalisasi Variabel Penelitian

komunikasi yang di tampilkan oleh orang tua dan guru (komunikator) melalui sikap, perbuatan,

Variabel-variabel dalam penelitian ini, dan ucapannya yang cenderung memberikan ke- bersumber dari kerangka teori yang dijadikan percayaan sepenuhnya kepada anak atau siswa dasar penyusunan konsep berpikir yang meng- untuk bertindak sebagai penyampai pesan, semen- gambarkan secara abstrak suatu gejala sosial. tara ia sendiri bertindak sebagai penerima pesan. Variabel-variabel yang dioperasionalisasikan

Indikator-indikator ketiga ketiga gaya adalah semua variable yang terkandung dalam komunikasi di atas, meliputi (1) keterbukaan; hipotesis-hipotesis penelitian yang dirumuskan, (2) empati; (3) perasaan positif; (4) memberikan yaitu dengan cara menjelaskan pengertian- du-kungan, dan (5) memelihara keseimbangan. pengertian konkrit dari setiap variabel sehingga

Keterbukaan dipahami sebagai suasana dimensi dan indikator-indikatornya serta ke- kebatinan komunikator yang menerima dan me- mungkinan derajat nilai atau ukurannya dapat mahami semua pesan tentang ciri dan sifat khas ditetapkan.

komunikan. Suasana tersebut ditunjukkan melalui Variabel efektivitas komunikasi anak pikiran, perkataan, dan tindakan, yakni (1) menilai dengan orang tua di lingkungan keluarga dan pesan secara objektif dengan menggunakan ke- variabel efektivitas komunikasi guru dengan sis- ajegan logika; (2) melihat nuansa pesan; (3) berori- wa di lingkungan sekolah, secara operasional di- entasi pada isi pesan; (4) mencari informasi dari definisikan sebagai: sejauhmana orang tua dan berbagai sumber; (5) menilai kembali pesan yang guru (komunikator) mampu menciptakan suasana salah; (6) pengertian pesan yang tidak sesuai de- komunikasi yang kondusif sehingga mampu ngan rangkaian kepercayaannya atau keyakin- mempengaruhi anak (komunikan) untuk dapat annya. mengembangkan dirinya dengan segala potensi

Empati dipahami sebagai suasana keba- yang dimilikinya.

tinan komunikator yang menerima dan memahami Komunikasi antara anak dengan orang tua pesan komunikan sama seperti sikap komunikan di lingkungan keluarga dan guru di lingkungan menerima dan memahami dirinya (komunikator sekolah yang akan diukur tingkat keefektifannya menjadikan dirinya sebagai komunikan). adalah : (1) gaya komunikasi instruksional, (2) gaya

Perasaan positif dipahami sebagai suasana komunikasi patrisipasi, dan (3) gaya komunikasi komunikasi antarpribadi di mana komunikator delegasi.

merasa bahwa : (1) pesan-pesan di pandang priba- Gaya komunikasi instruksional adalah ga- dinya bersifat menyenangkan; (2) pribadi komu- ya komunikasi yang ditampilkan oleh orang tua nikator menyenangkan; (3) suasana kebatinan dan guru (komunikator) melalui sikap, perbuatan, bersama antara komunikator dan komunikan me- dan ucapannya yang cenderung lebih banyak mem- nyenangkan.; (4) suasana kebathinan bersama an- berikan penjelasan, pengarahan, secara spesifik tara komunikator dan komunikan menyenangkan. (apa, mengapa, siapa, bagaimana, dimana, dan ka- Perasaan tersebut direfleksikan dalam bentuk pi- pan) terhadap pesan yang disapaikannya (linier kiran, perkataan, dan tindakan komunikator yang: communication, one way communication ).

(1) yakin akan kemampuan dirinya dalam menga- Gaya komunikasi partisipasi adalah gaya tasi perbedaan masalah tentang pesan dengan komunikasi yang ditampilkan oleh orang tua dan komunikan; (2) merasa setara dalam me-maknai guru (komunikator) melalui sikap, perbuatan, dan pesan dengan komunikan; (3) menyadari bahwa ucapannya yang cenderung memberikan ke- pesan tentang perilaku komunikan tidak selama- sempatan kepada anak atau siswa (komunikan) nya sesuai dengan komunikator; (4) mampu mem-

270 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, September - Desember 2010, halaman 263 - 279

perbaiki dirinya agar sesuai dengan pesan tentang Item-item alat pengumpul data di atas komunikan.

mengacu kepada skala yang dikembangkan oleh Memberikan dukungan dipahami sebagi Likert yang terdiri atas pernyataan positif dan per- sikap seorang komunikator yang mengurangi sikap nyataan negative. Skala pengukuran semua vari- defensive dalam komunikasi. Dalam konteks ini, able dalam penelitian ini adalah pengukuran pada komunikator menciptakan suasana yang : (1) mem- skala ordinal. Untuk kepentingan analisis data de- berikan pendapat terhadap pesan tentang komu- ngan Analisis jalur (Path Analysis) yang mensya- nikan tetapi tidak menilai komunikan; (2) beker- ratkan tingkat pengukurang variabel sekurang- jasama dengan komunikan dalam memecahkan kurangnya interval, indeks pengukuran variabel ini masalah tentang pesan; (3) bersikap jujur terha- ditingkatkan menjadi data dalam skala interval dap komunikan tanpa motif terpendam; (4) mem- melalui method of successive intervals. (Hays, berikan penghargaan baik moril maupun materil. 1969:39).

Memelihara keseimbangan dipahami

sebagai sikap komunikan yang : (1) merasa pri- Rancangan Uji Hipotesis

badinya sederajat dengan komunikan; (2) bersifat horizontal dan demokratis; (3) menjaga kese-

Penelitian ini melakukan analisis hubungan larasan dan keserasian dengan memberikan kausal, yakni melihat sejauhmana pengaruh kesempatan yang sama dalam menyampaikan efektivitas komunikasi antara anak dengan orang pesan; (4) berani menyatakan telah salah persepsi tua di lingkungan keluarga dan efektivitas komu- terhadap pesan tentang komunikan.

nikasi guaru dengan siswa di lingkungan sekolah Variabel kemampuan berpikir kreatif terhadap kemampuan berpikir kreatif anak. Ran- anak atau siswa secara operasional di definisikan cangan uji hipotesis digunakan adalah path analy- sebagai : kemampuan yang mencerminkan kelan- sis, dengan langkah kerja pengujian hipotesis dirin- caran, keluwesan, orisinalitas dalam berpikir, dan ci sebagai berikut (1). Mengitung koefisien kolerasi kemampuan mengelaborasi suatu gagasan. seluruh variabel independen dengan variabel Indikator-indikatornya meliputi: (1) fluency dependen, dengan rumus sbb:

2 (kesiapan,kelancaran, dan kemampuan mengha- 2 r = “x

1 y/ (“x 1 ) (“y )…. (Snedecor & silkan banyak gagasan); (2) fleksibility (kemam- Cochran,1967); (2). Menyusun matriks korelasi

puan menggunakan bermacam-macam pende-

X 1 X 2 X 3 katan dalam mengadapi persoalan); (3) orisi-

nalitas (kemampuan mencetuskan gagasan yang baru dan berguna); (4) elaborasi (kemampuan

X 1 rX 1 X 1 rX 1 X 2 rX 1 X 3 melakukan suatu hal secara mendetail); (5) con- R

X 2 rX 2 X 1 rX 2 X 2 rX 2 X 3 structive discontent (ketidak puasan konstruktif);

X 3 rX 3 X 2 rX 3 X 2 rX 3 X 3 (6) memiliki disiplin diri; (7) independen. Dengan demikian, data yang diperlukan

(3). Menghitung inverse dari R; (4). Meng- dalam penelitian ini, meliputi data kemampuan hitung Path Coefficient: PYX i =C i1 – rYX 1 + berpikir kreatif anak, efektivitas komunikasi anak C i2 – rYX 2 +C i3 – rYX; (5). Besar pengaruh va- dengan orang tua di lingkungan keluarga dan efek- riabel independen secara bersama-sama terha- tivitas komunikasi guru dengan siswa si lingkungan 2 dap variabel dependen r X

3 (12) = PX 3 X 1 . rX 3 X 1 sekolah. Selanjutnya untuk mengumpulkan data di + PX 3 X 2 . rX 3 X 2 ; (6). Menghitung besarnya pe-

atas, dikonstruksi tiga jenis alat ukur data (instru- ngaruh variabel lain yang tidak diteliti terhadap ment ) yang meliputi: (1) Alat ukur data tentang variable tak bebas; (7). Menguji Path Coeffi- kemampuan berpikir kreatif siswa; (2) Alat ukut cient . dat tentang efektivitas komunikasi anak dengan

Dari hasil perhitungan Path Coefficient orang tua di lingkungan keluarga; (3) Alat ukur data pada tingkat pertama belum memiliki keterangan tentang efektivitas komunikasi guru dengan siswa apakah semua variabel bebas bisa di masukkan di lingkungan sekolah.

ke dalam paradigma. Untuk memeriksa apakah

Suryadi, Model Komunikasi Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak 271

semua variabel bebas sebaiknya dimasukkan ke- orang tuanya dan di lingkungan sekolah bersama dalam paradigma atau cukup hanya beberapa saja, guru-gurunya. Gambaran hasil penelitian ini sesuai yakni agar mendapat kesingkatan ilmiah (princi- dengan apa yang di hipotesiskan sebelumnya ple of parsimony ), perlu dilakukan uji signifikasi tentang adanya pengaruh yang positif, sekaligus dengan rumus sebagai berikut:

mendukung hasil-hasil studi terdahulu mengenai

t 1 = 3 X I PX

,V=n–k–1

peranan keluarga dan sekolah yang berpokus pada komunikasi antar individu di dalamnya.

(-r2 (123) Cii

Sehubungan dengan hasil penelitian ter- n– k – 1

sebut pertanyaan yang muncul adalah mengapa Setelah dilakukan pengujian, jika terbukti komunikasi anak dengan orang tua dan guru di ada variabel yang selayaknya didrop (karena non- lingkungannya masing-masing berpengaruh ter- signifikan) perhitungan harus diulangi lagi untuk hadap kemampuan berpikir kreatif anak? Komu- mencari path coefficient model setelah ada path nikasi yang terjadi di keluarga dan sekolah sesung- yang dihilangkan. Kemudian dibuat lagi path dia- guhnya sangat kompleks, tidak terbatas kepada gram yang baru. Untuk mengukur secara obyektif anak dengan orang tua dan guru saja, malainkan (ilmiah) perlu dilakukan pengujian secara statistic antara seluruh anggota keluarga juga teman-te- apakah ada perbedaan informasi yang dierima jika mannya di sekolah. Namun dalam penelitian ini menggunakan path diagram penuh (full recursive tidak mempermasalahkan komunikasi secara ke- system ) dan jika menggunakan path diagram di- seluruhan, tetapi hanya terpusat kepada interaksi mana ada variabel yang didrop. Untuk menguji anak dengan orang tua dan gurunya, sejauh diper- masalah ini digunakan Spechts Method dengan sepsi dan dirasakan secara subjektif oleh anak. langkah kerja: (1). Menghitung R 2

Komunikasi anak dengan orang tua dan penuh (full recursive system). Dihitung juga R 2

K untuk model

guru berdasarkan perasaan subjektif dan pada usia dimana path yang dihilangkan; (2). Menghitung Q remaja pada dasarnya penghayatan tersebut

2 = (1 – R 2 K ) / (1 – R M ); (3). Menghitung W = 1 – merupakan akumulasi kesan dan pengalaman ( n – d ) In Q. Bandingkan harga Wdengan 2 d sepanjang hidupnya. Pada usia remaja, lingkungan

(d = degress of freedom, banyak path yang dihi- kelurga dan sekolah tetap tampil sebagai faktor langkan). Guna menguji seluruh sub-subhipotesis yang signifikan bagi perkembangan psikologis dilihat dari uji keberartian path coefficient ko- individu, bahkan pada fase inilah individu mulai resasi.

menunjukkan identitas dirinya. Keinginan untuk berdiri sendiri dan lepas dari ketergantungannya

Hasil Penelitian dan Pembahasan

terhadap orang tua dan guru, disatu pihak, dan kekurang mampuannya untuk berdiri sendiri, di lain

Dari keseluruhan hasil pengujian hipotesis, pihak, seringkali menimbulkan konflik pribadi. secara statistik hasilnya dideskripsikan pada tabel Pola perilaku yang sulit di ramalkan, seringkali dua.

muncul pada usia remaja, yang pada dasarnya merupakan menifestasi dari proses perkem-

Pengaruh Komunikasi Anak dengan Orang bangannya. Dalam kaitan ini, komunikasi orang Tua dan Guru di Lingkungannya masing- tua dan guru yang tidak efektif, cenderung dapat

masing

menimbulkan dampak psikologis yang merugi- kan bagi anak itu sendiri.

Hasil perhitungan secara statistik (lihat Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa tabel 2) menunjukkan bahwa komuniksi orang tua orang tua dan guru merupakan the most signifi- dengan anak dan guru di lingkungannya masing- cant persons dalam kehidupan anak. Dalam arti masing berpengaruh secara positif terhadap ke- kata bahwa orang tua dapat berbuat banyak dalam mampuan berpikir kreatif anak. Hasil penelitian mengembangkan kemampuan berpikir kreatif anak ini mengidikasikan bahwa kemampuan berpikir melalui suasana komunikasi yang efektif berda- kreatif anak antara lain tergantung atas komunikasi sarkan kepada penghormatan terhadap anak yang dibinanya di lingkungan keluarga bersama sebagai individu yang khas.

272

Penelitian ini juga menemukan bahwa dibandingkan dengan pengaruh relatif komunikasi antara anak dengan orang tua, pengaruh relatif komunikasi guru dengan anak, ternyata lebih rendah. Hal ini sesuai dengan fungsi sekolah se- bagai lingkungan sekunder (kedua) setelah ling- kungan keluarga dalam kehidupan anak. Dengan demikian guru di sekolah memiliki arti penting bagi kehidupan anak setelah orang tua.

Berkaitan dengan ini (Clark, 1983), mengemukakan bahwa guru di sekolah dapat berbuat banyak untuk mengembangkan kemam- puan berpikir kreatif anak. Karena, gurulah sum- ber otoritas di dalam kelas ketika proses belajar- mengajar berlangsung. Dalam proses belajar- mengajar tersebut, komunikasi antara guru dan anaklah yang merupakan faktor terpenting. Ko- munikasi yang berlangsung antara guru dengan anak merupakan faktor yang sangat menentukan iklim kelas secara keseluruhan. Sebagai suri tau- ladan bagi perilaku anak, guru menjadi figur sentral di kelas. Sadar atau tidak perilaku guru dijadikan model identifikasi dan ditiru oleh anak.

Tingkat Efektivitas Gaya Komunikasi Instruksional yang Dikembangkan Orang Tua dan Guru di Lingkungannya masing-masing terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Anak Tingkat Rendah, Sedang dan tinggi

Hasil perhitungan secara statistik (lihat tabel 2) menunjukkan bahwa: (1) Gaya komu- nikasi instruksional yang dikembangkan orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing ber- pengaruh secara positif terhadap anak yang me- miliki kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah; (2) Gaya komunikasi instruksional yang dikem- bangkan orang tua di lingkungan keluarga berpe- ngaruh secara negatif terhadap kemampuan ber- pikir kreatif anak tingkat sedang. Sedangkan yang dikembangkan guru di lingkungan sekolah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemam- puan berpikir kreatif anak tingkat sedang. Dengan kata lain gaya komunikasi instruksional tidak efek- tif bila dikembangkan pada anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat sedang. Bah- kan di lingkungan keluarga cenderung negative; (3) Gaya komunikasi instruksional yang dikem-

bangkan orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing berpengaruh secara negatif ter- hadap siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat tinggi. Dengan kata lain bahwa gaya komunikasi instruksional yang dikembangkan gu- ru sangat tidak efektif bagi anak yang memiliki ke- mampuan berpikir kreatif tingkat tinggi.

Dengan mengontrol gaya komunikasi par- tisipasi dan gaya komunikasi delegasi, dapat di- ramalkan bahwa anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah antara lain tergantung atas gaya komunikasi instruksional yang dibina di lingkungan keluarga bersama orang tuanya dan di lingkungan sekolah bersama gurunya. Di sisi lain, apabila orang tua di lingkungan keluarga dan guru di lingkungan sekolah mengembangkan gaya ko- munikasi partisipasi dan gaya komunikasi delegasi terhadap anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, maka secara statistis dapat dira- malkan kemampuan berpikir kreatif anak tidak akan berkembang secara maksimal.

Sehubungan dengan hasil penelitian ter- sebut, pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa gaya komunikasi instruksional yang dikembangkan orang tua maupun guru di ling- kungannya masing-masing berpengaruh secara positif terhadap anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah, sedangkan gaya komunikasi pertisipasi dan gaya komunikasi delegasi tidak?

Dilihat dari teori perkembangan, terdapat tiga periode perkembangan kreativitas, yaitu periode formatif, periode embrionik, dan periode produktif (Supriadi, 1994:121). Periode formatif menunjukkan pada saat ketika individu mulai mengembangkan wawasan berpikirnya, mem- perkaya khasanah pengalamannya, dan melatih kepekaan persepsinya terhadap tantangan yang datang dari lingkungan. Periode ini bukan me- rupakan suatu peristiwa yang berdiri sendiri dan terjadi sesaat, melainkan merupakan suatu proses yang berlangsung jauh sejak anak melawati masa kanak-kanaknya dalam lingkungan keluarga, sekolah sampai kepada lingkungan masyarakat. Periode embrionik yaitu merupakan periode pada saat individu mulai menampakan kreativitasnya tapi masih belum menemukan format yang utuh dan matang. Periode produktif adalah periode pada

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, September - Desember 2010, halaman 263 - 279

Suryadi, Model Komunikasi Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak 273

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Pengujian Setiap Variabel Penelitian

NO

VARIABEL

UJI KEBERARTIAN KESIMPULAN

PATH

COEFFICIENT t

P = 0.05 1

1. X 1 - X 3 0.516 0.371 7.644 1.960 Signifikan

2. X 2 – X 3 0.466 0.217 4.470

Signifikan

3. X 1.1 – X 3.1 0.166

4. X 1.2 – X 3.1 0.026 0.046 0.644

1.960 Nonsignifikan

Signifikan

5. X 1.3 – X 3.1 -0.058 -0.160 -2.840

1.960 Nonsignifikan

6. X – X -0.107

Nonsignifikan 1.1 3.2

7. X 1.2 – X 3.2 0.443

8. X 1.3 – X 3.2 0.317 0.110 1.786

1.960 Nonsignifikan

9. X 1.1 – X 3.3 -0.073 -0.148 -2.256

1.960 Nonsignifikan

Signifikan

11. X

10. X 1.2 – X 3.3 0.180

12. X 2.1 – X 3.1 0.131 0.158 2.248

Signifikan

13. X 2.2 – X 3.1 0.044 -0.041 -0.583 1.960 Nonsignifikan

14. X 2.3 – X 3.1 0.030

15. X 2.1 – X 3.2 0.088 0.010 0.143

1.960 Nonsignifikan

Nonsignifikan

16. X 2.2 – X 3.2 0.159 0.169 2.422

Signifikan

Nonsignifikan

17. X – X 0.066

18. X 2.1 – X 3.3 -0.083

19. X 2.2 –X 3.3 0.079 0.092 1.340

1.960 Nonsignifikan

20. X 2.3 –X 3.3 0.176 0.201 2.927

Signifikan

Keterangan: X 1 :Komunikasi Orang Tua Dengan Anak Di Lingkungan Keluarga X 2 :Komunikasi Guru Dengan Anak Di Lingkungan Sekolah X 3 : Kemampuan Berpikir Kratif Anak X 1.1 :Gaya Komunikasi Instruksional yang Dikembangkan orang Tua Di Lingkungan Keluarga X 1.2 :Gaya komunikasi Parstisipasi yang Dikembangkan Orang Tua Di Lingkungan Keluarga X 1.3 : Gaya Komunikasi Delegasi yang Dikembangakan Orang Tua Di Lingkungan Keluarga X 2.1 : Gaya Komunikasi Instruksional yang Dikembangkan Guru Di Lingkungan Sekolah X 2.2 : Gaya Komunikasi Partisipasi yang Dikembangkan Guru Di Lingkungan Sekolah X 2.3 : Gaya Komunikasi Delegasi yang Dikembangkan Guru Di Lingkungan Sekolah X 3.1 : Kemampuan a Berpikir Kreatif Tingkat Rendah X 3.2 : Kemampuan Berpikir Kreatif tingkat Sedang X 3.3 : Kemampuan Berpikir Kreatif Tingkat Tinggi

saat individu mulai menampakan kreativitasnya yang biasanya ditandai dengan kurangnya inisiatif, yang utuh dan matang atau konkret.

tidak mampu mengambil keputusan sendiri, tidak Ketiga periode perkembangan kreativitas mampu memikul tanggungjawab, dan memiliki di atas, jelas bahwa kreativitas individu tidak lahir ketergantungan kepada orang lain. dalam sesaat, melainkan hasil suatu proses yang

Periode embrionik merupakan periode panjang. Dikaitkan dengan teori kematangan dari pada saat kreativitas anak berada pada tingkat Argyris terdapat kaitan yang sangat erat diantara sedang. Periode ini kalau dihubungkan dengan keduanya. Di mana periode formatif merupakan teori kematangan, biasanya individu yang tidak periode pada saat kematangan kreativitas anak mampu tetapi mau, atau mampu tetapi tidak mau. masih pada tingkat rendah. Periode ini biasanya Ketidakmampuan atau ketidakmauan itu, seba- individu kurang memiliki kemampuan dan kemauan gai akibat kurangnya keyakinan. Apabila indivu dan kurang memiliki keyakinan sebagai akibat dari itu yakin atas kemampuannya tetapi tidak mau, pengetahuan dan pengalamannya yang rendah, maka ketidak mampuan itu lebih merupakan per-

274 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, September - Desember 2010, halaman 263 - 279

soalan motivasi. Anak seperti ini biasanya tidak nikasinya. Karakteristik-karakteristik gaya ko- memiliki ketergantungan yang cukup tinggi ke- munikasi seperti ini bersifat satu arah, dalam arti pada orang lain, sudah menampakan adanya ini- bahwa komunikator (orang tua dan guru) sangat siatif, dan sudah mulai mengambil resiko secara dominan dalam mengembangkan komunikasi- terbatas.

nya.

Periode produktif merupakan periode Komunikasi yang bersifat instruksional ini pada saat kreativitas anak berada pada tingkat tidak berarti otoriter di mana orang tua dan guru tinggi. Periode ini kalau di kaitkan dengan teori dapat berbuat sekehendak hatinya untuk menga- kematangan, biasanya individu yang memiliki ke- rahkan, dan memberikan hukuman terhadap anak, mampuan dan memiliki kemauan. Dari hasil studi malainkan selalu menanamkan disiplin diri (self- longitudinal yang dilakukan oleh Torrance (1977) dicipline ) dan ini analog dengan falsafah ‘’ing selama 12 tahun terhadap anak SMA menemukan ngarso sung tulodo ‘’ dari Ki Hajar Dewantara. bahwa anak-anak yang kreativitasnya tinggi cen- Falsafah ini menggambarkan orang tua dan guru derung ingin mencoba berbagai hal, mempunyai sebagai komunikator yang dengan segala kelu- minat yang luas, imajinatif, toleran terhadap am- huran budinya, kearifannya, selalu memberikan biguitas, dan berani mengambil resiko. Konse- tuntunan dan arahan serta pentingnya disiplin diri kuansinya hubungan dengan orang tua dan guru- kepada anak. Oleh sebab itu, mudah di duga bah- gurunya dari sifat anak yang kreatif tidak selalu wa gaya komunikasi seperti ini akan efekitif bagi ingin meletakan diri pada otoritas.

anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif Ketiga tahapan perkembangan kreativitas tingkat rendah. kaitannya dengan teori kematangan sebagaimana

Dengan demikian, hasil penelitian ini terungkap di atas, mengimplikasikan bahwa per- mengisyaratkan bahwa gaya komunikasi in- lunya kehati-hatian baik dari orang tua maupun struksional memiliki tingkat efektivitas yang ting- guru di lingkungannya masing-masing dalam gi jika di kembangkan pada anak yang memiliki memberikan layanan pendidikan kepada anak. kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah. Apa Dalam arti bahwa anak yang memiliki tingkat yang terungkap dari hasil penelitian ini sesuai kreativitas rendah, sedang, dan tinggi akan me- dengan hiptesis yang diajukan. nuntut layanan yang berbeda baik dari orang tua

Hal yang menjadi persoalan sekarang ada- maupun guru. Persoalan yang perlu ditekankan lah mengapa gaya komuniksi instruksional tidak disini adalah layanan pendidikan yang bagai- berpengaruh secara positif terhdap anak yang manakah agar setiap periode perkembangan kre- memiliki kemamuan berpikir kreatif tingkat sedang ativitas tersebut dapat dirangsang oleh mekanis- dan tinggi? me komunikasi antara anak dengan orang tua di

Dugaan yang dapat dikemukakan disini lingkungan keluarga dan guru dengan siswa di ling- adalah, bahwa gaya komunikasi pretisipasi kungan sekolah, sehingga mampu menghasilkan cenderung menuntut pertisi pasi aktif dari anak, prestasi kreatif sebagai mana yang diharapkan.

sementara potensi kemampuan berpikir kreatif Bertitik tolak dari tahapan perkembangan anak belum cukup untuk merespon rangsangan kreativitas dan teori kematangan beserta sejumlah yang dangan dari orang tua maupun guru. Aki- karakteristik yang dimiliki untuk masing-masing batnya muncul apa yang disebut dengan salah suai periode perkembangan kreativitas di atas, adanya (maladjusted-behaviors). Atau dalam bahasa pengaruh tersebut sudah dapat diramalkan komunikasinya dikenal dengan istilan miss com- sebelumnya. Sebab, gaya komunikasi instruksional munication . Inilah yang disebut dengan ambisi pada dasarnya merupakan gaya komunikasi yang orang tua yang terlalu berlebihan (Hurlock,1990) ditampilkan komunikator (orang tua dan guru) yang pada akhirnya akan membekukan kreativitas. melalui sikap, perbuatan, dan ucapannya yang

Begitu pula halnya dengan gaya komunikasi cenderung lebih banyak memberikan penjelasan, delegasi yang menunut anak untuk percaya pada pengarahan secara spesifik (apa, mengapa, bagai- diri sendiri atas dasar tanggungjawabnya sendiri mana, dimana, dan kapan) dalam proses komu- tanpa keterlibatan yang cukup jauh dari orang tua

Suryadi, Model Komunikasi Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak 275

maupun guru. Sementara itu di pihak lain anak tingkat sedang antara lain tergantung atas efek- belum mampu untuk bertindak seperti itu. Aki- tivitas gaya komunikasi partisipasi yang dibina di batnya apa yang terjadi pada diri anak mudah lingkungan keluarga bersama orang tuanya dan di diramalkan, yakni adanya ketidak puasan atau lingkungan sekolah bersama gurunya. Disisi lain, mungkin rasa prustasi dan kecewa.

apabila orang tua di lingkungan keluarga dan guru di lingkungan sekolah mengembangkan gaya

Tingkat Efektivitas Gaya Komunikasi komunikasi partisipasi terhadap anak yang me- Partisipasi Yang Dikembangkan Orang Tua miliki kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah, dan Guru di Lingkungannya Masing-masing maka secara statistis dapat diramalkan kemam- terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Anak puan berpikir kreatif anak tidak akan maksimal.

Tingkat Rendah, Sedang, dan Tinggi

Apa yang terungkap dari hasil penelitian ini, sesuai dengan hipotesis yang diajukan.