BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Prinsip Kehati-hatian Dalam Bisnis Kartu Kredit Pada PT.Bank Negara Indonesia Sentra Bisnis Kartu Medan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan memberikan

  pengertian bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan

   atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

  Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi bank dalam sistem hukum perbankan di Indonesia sebagai perantara (intermediary) bagi masyrakat yang kelebihan (surplus) dana dan masyarakat yang kekurangan dana. Penghimpunan dana masyarakat yang dilakukan oleh bank dinamakan simpanan, sedangkan

  

  penyalurannya kembali dari bank kepada masyarakat dinamakan kredit. Fungsi utama bank dalam suatu perekonomian adalah untuk mobilisasi dana masyarakat, dan secara tepat serta cepat menyalurkan dana tersebut kepada pengguna atau investasi

   dana yang efektif dan efisien.

  Melihat dari fungsinya tersebut bank melakukan kegiatan usaha yang disebut dengan produk bank. Produk bank adalah seluruh fasilitas, layanan, dan jasa yang ditawarkan oleh bank kepada masyarakat, baik pada sisi aset, misalnya kredit, termasuk kredit yang berada pada off balance sheet (letter of credit, bank garansi) dan 1 Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir Atas Kredit Macet Nasabah, (Bandung: PT.

  Alumni, 2009), hal.13 2 Tri Widiono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia Simpanan, Jasa & Kredit , (Bogor:Ghalia Indonesia, 2006), hal. 7 3 Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan Permasalahan, (Bandung:

  Book Terrace & Library, 2007), hal. 1 sisi pertanggungjawaban (liabilities), berupa simpanan masyarakat serta jasa-jasa

  

  lainnya, seperti menyediakan jasa dalam rekening giro, kartu debit, kartu kredit dan

   anjung tunai mandiri (automated teller machine/ATM).

  Salah satu produk yang dikeluarkan oleh bank adalah kartu kredit. Kartu kredit atau yang lebih dikenal dengan kartu kredit (credit card) adalah suatu kartu plastik yang berukuran hampir sama dengan ukuran Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang diterbitkan oleh bank penerbit (issuer) dan dipergunakan oleh pemegang kartu (card holder) dan berfungsi sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai dan pihak penerima adalah kaum usahawan/pedagang (merchant) yang telah ditentukan oleh

  

  penerbitnya. Selain itu kartu kredit juga dapat diuangkan oleh pemiliknya. Kartu kredit rasanya tidak asing lagi di era yang mengedepankan teknologi informasi ini.

  Kartu kredit telah menjadi bagian dari gaya hidup yang menuntut efektivitas dan efisiensi, sampai-sampai ada orang yang memiliki lebih dari satu kartu kredit. Karena selain gaya hidup, banyak orang yang masih berpikiran bahwa dengan memiliki banyak kartu kredit, dia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berutang. Ada juga sebagian orang yang menganggap bahwa dengan perolehan kartu kredit maka ada pemasukan tambahan dan bertambahlah daya belinya. Padahal sebenarnya kartu kredit merupakan alat pembayaran, meskipun ada unsur talangan dari sisi sumber

  4 5 Tri Widiono, Op.Cit. hal. 10 Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Book Terrace & Library, 2005), hal.10 6 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta, PT.Rineka Cipta, 2007), hal.

  125 dananya. Oleh karena itu pemahaman mendasar bahwa kartu kredit adalah alat

   pembayaran perlu dicamkan agar tidak salah mengartikannya.

  Permasalahan yang timbul pun semakin kompleks, kartu kredit tidak sama dengan kredit perbankan lainnya yang memiliki perjanjian yang lebih mengikat dengan adanya unsur agunan, sehingga dalam memprosesnya kartu kredit membutuhkan perhatian yang lebih, khususnya dalam pelaksanaan penerbitan kartu kredit sesuai dalam aplikasi, juga tidak terlepas dengan timbulnya penyalahgunaan kartu kredit yang dilakukan oleh pihak yang tidak ada hubungannya dalam penerbitan kartu kredit, sehingga mengakibatkan kerugian bagi bank penerbit serta pemegang kartu kredit.

  Oleh karena itu pentingnya prinsip kehati-hatian dalam industri kartu kredit yang sehat diharapkan dapat mengurangi risiko kredit bermasalah ketika fungsi kartu kredit digunakan sebagai alat utang. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya goncangan ekonomi yang diakibatkan meningkatnya kredit bermasalah terkait dengan pemanfaatan kartu kredit. Meski porsi kredit yang bersumber dari kartu kredit relatif kecil dibandingkan total kredit perbankan, pengalaman negara lain menunjukkan bahwa goncangan ekonomi dapat ditimbulkan pengelolaan industri kartu kredit yang tidak berhati-hati. Lihat saja krisis ekonomi yang menimpa Korea Selatan pada 2003 lalu. Siapa yang menyangka kartu kredit menjadi biangnya. Kekurang hati-hatian penerbit kartu kredit di Korea Selatan dalam memberikan fasilitas kartu kredit telah 7 Puji Atmoko,”Mewaspadai Bubble Kartu Kredit Dalam Bingkai Pengawasan Makroprudensial“,

  

Gerai Info Edisi 23 Februari 2012, Newsletter Bank Indonesia, hal.3,(diakses pada tanggal 20 April 2012) membawa negara tersebut ke dalam jurang krisis ekonomi seri kedua setelah krisis seri pertama pada 1999. Setelah krisis itu pemerintah Korea Selatan lebih memperketat persyaratan pemberian fasilitas kartu kredit. Bagaimana dengan Indonesia? apakah hal yang sama dapat menimpa Indonesia? Jawabannya ‘ya’ perekonomian Indonesia juga bisa menghadapi ancaman dari kartu kredit seperti

   pengalaman Korea Selatan.

  Potensi itu bisa dilihat dari angka Non Performing Loan (NPL) kartu kredit posisi akhir 2011. NPL atau prosentase nilai tagihan kartu kredit yang masuk ke dalam kategori kurang lancar, diragukan dan macet tercatat sebesar 4,26% (empat koma dua puluh enam persen) penyebabnya karena faktor ekternal dan belum efektifnya pengawasan internal bank , ternyata lebih tinggi dibandingkan NPL rata- rata perbankan sebesar 2,55% (dua koma lima puluh lima persen) bahkan lebih tinggi dari NPL kredit konsumsi sebesar 1,85% (satu koma delapan puluh lima persen) angka per November 2011. Sebagai skema kredit tanpa agunan, potensi NPL kartu kredit ini tentu saja tetap menjadi kewaspadaan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas di bidang sistem pembayaran. Jika pemerintah Korea Selatan melakukan pengetatan persyaratan pemberian kartu kredit setelah krisis, maka sudah seharusnya pula BI melakukan kebijakan serupa sebelum terjadi penipuan kartu kredit yang dapat

   menimbulkan goncangan ekonomi.

  8 9 Ibid Ibid Selaku otoritas sistem pembayaran, BI memiliki Kewenangan di bidang pengaturan, perizinan dan pengawasan atas penyelenggaraan kartu kredit. Sebenarnya pengetatan persyaratan pemberian kartu kredit telah dilakukan BI melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) yang dirilis 2004 dan 2005. Pada 2009, BI merealisasi ketentuan APMK dengan melonggarkan persyaratan pemberian kartu kredit untuk meningkatkan daya beli masyarakat dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Pada awal 2012, dengan melihat perkembangan dan potensi risiko di atas, BI kembali melakukan pengetatan persyaratan pemberian kartu kredit dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK (PBI APMK 2012). Bank Indonesia (BI) mengeluarkan Surat Edaran mengenai Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Surat edaran ini merupakan peraturan pelaksana dari PBI No. 14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang perubahan atas PBI No.

  11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK.

  Surat Edaran BI ini diperlukan untuk meningkatkan penerapan aspek kehati- hatian, aspek perlindungan konsumen, dan aspek peningkatan standar keamanan teknologi APMK. Surat Edaran bernomor 14/17/DASP tentang perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dimana resmi berlaku mulai 7 Juni 2012.

  Kepala Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran BI Boedi Armanto dalam surat edaran tersebut menjelaskan materi dalam perubahan Surat Edaran ini menyangkut perlindungan nasabah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, standar keamanan kartu, kerjasama penyelenggara APMK dengan pihal lain, serta penyampaian

   laporan.

  Untuk pelaksanaan hal itu, dikandung tiga aspek yakni perlindungan konsumen, manajemen risiko dan kehati-hatian (prudential). Sejatinya, kartu kredit memiliki dua fungsi, yakni sebagai alat pembayaran dan alat utang. Kartu kredit sebagai alat pembayaran non tunai memiliki peran dalam percepatan perputaran uang yang penyelenggaraannya perlu diamankan. Untuk maksud itu, BI mengharuskan industri kartu kredit memakai teknologi chip menggantikan magnetic stripe (garis magnet).

  

Chip jauh lebih aman karena data yang tersimpan sulit dilakukan kloning sehingga

   lebih menjamin keamanannya.

  Selain itu, BI juga mewajibkan industri kartu kredit memberlakukan pemakaian

  

personal identification number (PIN) dengan 6 (enam) digit. Muara dari aturan itu

  selain untuk melindungi konsumen juga menyelamatkan industri kartu kredit. Aspek kehati-hatian mesti juga diperhatikan penerbit kartu kredit. Terkait aspek ini, PBI APMK mewajibkan penerbit kartu memberikan transaction alert (berhati-hati dalam transaksi) kepada pemegang kartu untuk transaksi dengan kriteria tertentu melalui pesan singkat (SMS). Tujuan pengaturan ini untuk menanggulangi kejahatan dengan mencegah adanya transaksi-transaksi ‘gelap’ yang tak dilakukan oleh pemegang kartu kredit. Dalam Pasal 15A ayat (1) PBI APMK 2012 diatur bahwa : 10 11 (diakses 20 Agustus 2012)

  “Pengaturan Yang Bikin Sehat Industri Kartu Kredit”, Gerai Info Edisi 23 Februari 2012, Newsletter Bank Indonesia hal.1,www.bi.go.id (diakses pada tanggal 20 April 2012)

  “Dalam memberikan fasilitas kartu kredit, penerbit wajib menerapkan manajemen risiko kredit dan memperhatikan sejumlah batasan antara lain, minimum usia calon pemegang kartu kredit, minimum pendapatan calon pemegang kartu kredit, maksimum plafon kredit dan maksimum jumlah kartu yang dapat diberikan oleh penerbit kartu kredit kepada pemegang kartu kredit, dan minimum pembayaran tagihan kartu kredit sebesar 10% (sepuluh persen)

   dari total tagihan”.

  Melalui pengetatan persyaratan pemberian fasilitas kartu kredit diharapkan penerbit kartu kredit dapat menyeleksi pemberian fasilitas kartu kredit kepada pihak yang tepat sasaran. Pihak yang tepat sasaran adalah pihak yang benar-benar dapat menggunakan kartu kredit secara bijak, mengedepankan kartu kredit sebagai alat pembayaran dan bukan semata sebagai alat utang, serta mampu melunasi talangan/utang yang telah dinikmati. Di samping pengetatan dari sisi pemberian fasilitas kartu kredit, BI juga memberikan pembatasan maksimum suku bunga yang dapat dibebankan penerbit kepada pemegang kartu kredit, sebagaimana diatur dalam Pasal 17A PBI APMK 2012. Tujuannya agar industri kartu kredit tetap terjaga sehat pertumbuhannya dan pula dimaksudkan menjaga kemampuan bayar pemegang kartu kredit agar tidak tergerus oleh pembebanan bunga secara berlebihan.

  Di sisi lain juga dimaksudkan agar penerbit kartu kredit lebih efisien dalam mengelola penyelenggaraan bisnis kartu kreditnya. Yang diharapkan dari pengetatan persyaratan pemberian fasilitas kartu kredit dan penetapan batas maksimum suku bunga kartu kredit adalah terkendalinya pertumbuhan industri kartu kredit ke arah yang lebih berhati-hati dan sehat. Tidak terkendali seperti yang pernah terjadi di 12 Ibid Korea Selatan sehingga potensi penipuan kartu kredit yang dapat menimbulkan goncangan ekonomi bisa dihindari. Dengan melihat perannya dalam menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan yang menjadi pilar perekonomian nasional, maka tidak berlebihan jika kebijakan BI di bidang sistem pembayaran termasuk pengetatan persyaratan pemberian fasilitas kartu kredit juga menjadi bagian dari pengawasan makroprudensial.

  Beberapa perbankan nasional guna meningkatkan kinerja yang baik dengan melakukan perencanan yang baik dalam menentukan strategi penyaluran kartu kredit.

  Strategi yang dilakukan yaitu dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, selain itu dengan melakukan analisis kredit yang komprehensif dan pengawasan kredit yang melekat serta sikap kehati-hatian dalam pemberian kartu kredit tetap berdasarkan pada prinsip kehati-hatian (prudential banking) untuk menghindari risiko

   kredit bermasalah dan kredit macet.

  Secara khusus, PT. Bank Negara Indonesia (BNI) merupakan salah satu bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam penerapan prinsip kehati-hatian, bank BNI Sentra Bisnis Kartu juga melakukan strategi penerbitan kartu kredit dan kebijakan di bidang operasional dan perkreditan untuk memantau dan mengendalikan peningkatan risiko kredit macet. Prinsip kehati-hatian dalam penerbitan kartu kredit pada Bank BNI Sentra Bisnis Kartu, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 2 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-undang 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 13 Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,

  2010), hal.143 yang menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

  Dari uraian diatas, maka dalam melakukan kegiatan bisnis kartu kredit pihak Bank BNI Sentra Bisnis Kartu sebagai bank penerbit mempunyai kriteria sendiri untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemegang kartu kredit yang diberikannya sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh Bank BNI Sentra Bisnis Kartu Medan.

B. Permasalahan

  Dari penjelasan yang telah dijabarkan dalam latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana PT. BNI Sentra Bisnis Kartu menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan penanganan bisnis kartu kredit dalam aturan internal ?

  2. Apa saja bentuk-bentuk pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam kegiatan bisnis kartu kredit ?

  3. Bagaimana pertanggungjawaban PT.BNI Sentra Bisnis Kartu Medan terkait dengan bisnis kartu kredit dan penyelesaian kredit bermasalah ?

C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana PT. BNI Sentra Bisnis Kartu dalam menerapkan prinsip kehati-hatian sebagai upaya meningkatkan keamanan.

  2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk-bentuk pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian tersebut.

  3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pertanggungjawaban PT.BNI Sentra Bisnis Kartu Medan terkait dengan bisnis kartu kredit dan penyelesaian kredit bermasalah.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoretis dan praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Segi teoretis a.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum umumnya dan ilmu hukum perbankan khususnya tentang kartu kredit.

  b.

  Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksaan kaidah-kaidah hukum di dalam penerapannya. c.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam menetapkan kebijakan lebih lanjut, dalam upaya meningkatkan taraf hidup rakyat melalui kebijakan perbankan.

2. Segi praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi kepada masyarakat luas untuk mengetahui prinsip kehati-hatian kartu kredit.

E. Keaslian Penelitian

  

Setelah melakukan pemeriksaan judul penelitian yang terdapat Sekolah Pasca

  Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang telah rampung menjadi sebuah hasil penelitian ataupun yang masih berjalan (dikerjakan), ada 4 (empat) orang mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang melakukan penelitian sejenis yaitu:

  1. Katharina Melati Siagian, dengan judul Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit (Studi Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk) pada tahun 2006.

  2. Jamaludin Nasution, denga pada tahun 2011.

  3. Rahimawati, denga pada tahun 2011.

4. Mulhadi, dengan Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle) dalam Kerangka UU Perbankan Indonesia pada tahun 2005.

  Akan tetapi, penelitian yang akan dilakukan ini berbeda objek penelitiannya, penelitian ini spesifik dilakukan pada industri perbankan yang bergerak di sektor bisnis kartu kredit dengan tidak adanya jaminan atau agunan, sehingga pendekatan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan penelitian berbeda. Dengan demikian tesis yang berjudul “Prinsip Kehati-hatian Dalam Bisnis Kartu Kredit Pada PT. BNI Sentra Bisnis Kartu Medan, oleh karena pembahasan yang berbeda penelitian ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran yang teoritis. Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

  

  proses tertentu terjadi. Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butiran- butiran pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi

   bahan perbandingan, pegangan, teoritis.

  Oleh karena itu dalam penelitian tesis ini digunakan teori sebagai pisau analitisnya, yakni teori yang berkaitan dengan Good Corporate Governance dan teori

  Fiduciary Duty yang mengutamakan Prinsip kehati-hatian (Prudential Principal). 14 15 J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1996), hal.203

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal.80

  

Good Corporate Governance menurut World bank adalah kumpulan hukum,

  peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja perusahaan secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarat sekitar secara keseluruhan. Good Corporate Governance merupakan suatu system pengelolaan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja perusahaan, melindungi kepentingan

  

stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan

  serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum. Dari hasil survey World Bank mengenai penerapan Corporate Governance di Indonesia tahun 2004 menunjukkan, bahwa penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan perlu diperkuat, dan sanksi yang ada dianggap belum terlalu efektif dalam mengatasi pelanggaran yang terjadi. Undang-undang perusahaan disarankan untuk secara eksplisit menganut prinsip fiduciary duties bagi para pengurus perusahaan.

   Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi

  seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan

  fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil

  (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan

16 A. Jalil, Sofyan, Good Corporate Governance, Komite Nasional Corporate Governance,

  Jakarta, 2004, hal. 8 pelindung (guardian). Termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang

   mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.

  Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus berpegang pada prinsip kehati-hatian ( prudential

  

banking practices ) dalam menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai

  wujud tanggung jawab bank (responsibility). Organ perusahaan dan karyawan harus melaksanakan peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan.

  Masalah-masalah tersebut tidak lepas dari rendahnya kepatuhan terhadap peraturan dan ketentuan perbankan serta tidak dilaksanakannya Kode Etik Bankir Indonesia. Dua hal paling berat yang dihadapi oleh industri perbankan Indonesia adalah pertama kegagalan bank menjalankan prinsip kehati-hatian (prudential

  

banking ) dalam menyerap pertumbuhan kredit. Hal ini ditambah dengan tidak

  transparannya praktik pengelolaan bank menimbulkan kesulitan untuk mendeteksi praktik kecurangan yang dilakukan pengurus dan pejabat bank. Kedua, adalah masalah yang paling berat yang dihadapi industri perbankan yaitu kegagalan badan pengawas bank dalam menghadapi kelalaian, penipuan dan penggelapan yang dilakukan pengurus bank. Sektor perbankan merupakan sektor yang sangat strategis sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat dan juga sekaligus gerbang investasi, sehingga posisinya sangat penting bagi perekonomian nasional.

17 Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary, (ST. Paul. Minn: West Publishing Co, 1968), hal. 625.

  Kelangsungan kegiatan usaha bank sangat tergantung dari kepercayaan masyarakat. Oleh karenanya diperlukan pengaturan dan pengawasan bank untuk memastikan bahwa bank dijalankan dengan hati-hati, penuh integritas dan profesional terhindar dari moral hazard para pengurusnya. Pengawasan dan pengaturan ini selain menjadi tanggungjawab utama otoritas perbankan, yaitu Bank Indonesia. Peran regulator dalam industri perbankan adalah melakukan kebijakan pengaturan dan pengawasan untuk mewujudkan stabilitas ekonomi nasional yang berkelanjutan melalui system kelembagaan perbankan yang lebih kuat, efisien dan bermanfaat.

  Dalam industri perbankan regulasi yang diberlakukan mempengaruhi proses

  

governance bank secara berlangsung dan merupakan hal yang harus dipatuhi, karena

  dinyatakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap regulasi tersebut merupakan pelanggaran kepatuhan dan mempunyai ancaman sanksi

   hukum.

  Penerapan prinsip kehati-hatian dalam rangka mewujudkan yang baik, maka hukum dapat berperan untuk mendorong bahkan memaksa pengelola perusahaan untuk mewujudkannya dalam bentuk Undang-undang, peraturan pelaksanaan, bahkan surat edaran yang bersifat lebih teknis operasional yang dikeluarkan oleh pihak regulator.

  Dalam dunia perbankan prinsip kehati-hatian diakomodasikan dengan jelas oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-udang Nomor 23 Tahun 1999 tetang Bank Indonesia yang dijabarkan oleh Peraturan Bank 18 Jalil Sofyan, Op.Cit. hal.8 Indonesia No.14/2/PBI/2012 Tanggal 6 Januari 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan

   Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Surat Edaran bernomor

  14/17/DASP tentang perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dimana resmi berlaku mulai 7 Juni 2012.

  Keberadaan kartu kredit diatur dalam berbagai peraturan perundangan, baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat publik. Perjanjian merupakan sumber hukum utama kartu kredit dari segi perdata, sedangkan perundang-undangan merupakan sumber hukum utama kartu kredit dari segi publik. Sebagai bentuk perjanjian khusus, maka disamping berdasarkan Pasal 1320 dan Pasal 1338, kartu kredit juga tunduk pada ketentuan Buku III KUH Perdata, khususnya tentang

  

  perjanjian habis pakai, dan perjanjian jual beli bersyarat . Serta untuk memberikan jaminan keamanan kepada nasabah kartu kredit, pada akhir Januari 1998 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pemberian jaminan atas kewajiban bank pada akhir Januari 1998 sesuai dengan keppres no 26/1998.

  UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kartu kredit oleh perbankan. 19 Up Date Kumpulan Peraturan Perbankan Terbaru Tentang Kartu Kredit, (Jakarta: Pustaka

  Yustisia, 2012), hal. 115 20 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hal. 138

  Dalam UU Perbankan konsep teoritis prinsip kehati-hatian adalah suatu sikap yang harus dipegang teguh oleh setiap orang yang bertugas mengelola suatu perusahaan didalam pikirannya merasa terikat secara moral bahwa yang dikelolanya adalah milik orang lain dan harus bertanggung jawab kepada masyarakat.

  Prudential banking principle atau prinsip kehati-hatian sering menjadi artifisial

  , ketika hal tersebut tidak didukung oleh hukum positif yang memadai, karena tidaklah dapat serta merta suatu objek hukum dianggap sebagai pihak yang telah melanggar prinsip tersebut, tanpa adanya bukti yang cukup atas pemenuhan rumusan delik/strafbaarfeit. Dalam praktik, pemberian fasilitas kredit oleh lembaga perbankan, prinsip tersebut wajib diimplementasikan, namun dalam tataran operasional prinsip tersebut menjadi bias ketika rumusan delik/straafbarfeit sebagai normatif hukum

   bernuansa interpretatif subjektif.

2. Konsepsi

  Konsepsi adalah pendapat, pangkalan pendapat; Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut

  

  dengan operational definition. Konsepsi Penelitian tersebut nantinya akan berpengaruh pada bahan-bahan yang akan digunakan, data yang dicari, lokasi

  21 Tri Widiono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering; (Medan, Ghalia Indonesia, 2009), hal 5 22 Tan Kamello, “Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia”: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: PPs USU), hal. 35. penelitian, teori yang dirujuk hingga metode yang digunakan. Oleh karena itu, perumusan konsepsi menjadi sangat penting dan harus dilakukan dengan hati-hati.

   a.

  Kegiatan bisnis adalah keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan usaha secara teratur dan terus-menerus dengan tujuan mendapatkan keuntungan.

  Dalam penulisan penelitian ini menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional, istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

   b.

  Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha, baik dalam penghimpunan dana masyarakat terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati.

   c.

  Kartu kredit atau credit card adalah uang plastik yang diterbitkan oleh suatu institusi yang memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atas transaksi yang dilakukannya dan pembayaran dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (finance charge) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan.

   d.

  Non Performing Loan (NPL) kartu kredit adalah prosentase nilai tagihan kartu kredit yang masuk ke dalam kategori kurang lancar. 23 Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,

  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 74 24 Richard Burton Simatupang, Op.Cit,hal.1 25 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal.18 26 Johannes Ibrahim, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak Dan Kejahatan, (Bandung: PT.

  Refika Aditama, 2004), hal. 11 e.

  Risiko adalayang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Risiko dikatakan sebagai suatu peluang terjadinya kerugian atau kehancuran. Lebih luas risiko dapat diartikan kemungkinan terjadinya hasil yang tidak diinginkan atau berlawanan dari yang diinginkan. Risiko dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola dengan semestinya. Sebaliknya risiko yang dikelola dengan baik akan memberikan ruang pada terciptanya peluang untuk

   memperoleh suatu keuntungan yang lebih besar.

  f.

  Risiko kredit merupakan risiko yang paling signifikan dari semua risiko yang menyebabkan kerugian potensial. Risiko kredit adalah risiko yang terjadi karena kegagalan debitur, yang menyebabkan tak terpenuhinya kewajiban untuk membayar hutang. Secara garis besar, risiko kredit dapat dibagi menjadi 3 (tiga): risiko default (kelalaian), risiko exposure (pembukaan), dan risiko recovery

   (akhir).

  g.

  Managemen risiko kredit mencakup dua hal, yaitu risiko proses putusan kredit, sebelum putusan dibuat sampai menindaklanjuti komitmen kredit, ditambah risiko pemantauan dan proses laporan. Selanjutnya diperlukan pengukuran dari risiko kredit, antara lain menggunakan : limit system ( pengaturan batasan pemberian kredit) dan credit screening (penyaringan kredit), risk quality ( kualitas risiko) dan

ratings (tingkat), serta credit enhancement (memberanikan pemberian kredit).

27 Ferry N.Idroes Sugiarto, Managemen Risiko Perbankan,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006),

  hal. 7 28 Ibid

  Sedangkan menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia), dinyatakan bahwa proses manajemen risiko bank sekurang-kurangnya mencakup pendekatan pengukuran dan penilaian risiko, struktur limit dan pedoman serta parameter pengelolaan risiko, sistim informasi manajemen dan pelaporannya, serta evaluasi dan kaji ulang manajemen. Bank perlu melakukan manajemen terhadap risiko kredit yang melekat pada seluruh portofolio, yaitu dengan mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan modal yang tersedia cukup, dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul.

   G. Metode Penelitian 1.

  Jenis, Sifat dan Pendekatan Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian normatif, merupakan metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder

  

  29 Edratna, “mangemen risiko kredit”

  yang berkaitan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini (yang berkaitan dengan sinkronisasi hukum), yaitu suatu penelitian pada studi kepustakaan terhadap peraturan-peraturan tertulis yang membahas tentang prinsip kehati-hatian dalam bisnis kartu kredit, melalui pendekatan deskriptif analitis yaitu berupa penggambaran, penganalisaan ketentuan-ketentuan yang berlaku, fakta-fakta

  (diakses tgl 20 april 2012) 30 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14. yang ada dalam praktek perbankan dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam bisnis kartu kredit dan analisa data yang dipergunakan adalah analisa kualitatif.

2. Sumber Data

  Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.

  Mengacu pendapat Soerjono Soekanto dalam menggunakan data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), maka penulis menggunakan data sebagai berikut:

  a. yaitu; Bahan hukum primer

  1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

  Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998.

  3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank

  Indonesia Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004.

  4) Peraturan-Peraturan Bank Indonesia. 5) Peraturan Internal Bank BNI Sentra Bisnis Kartu. b.

  Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberi penjelasan

  

  terhadap bahan hukum primer, terdiri atas: berbagai hasil penelitian, hasil penelitian ilmiah dan artikel yang berkaitan dengan penerapan prinsip kehati- hatian dalam penerbitan kartu kredit di Bank BNI Sentra Bisnis Kartu berdasarkan konsep business judgement rule. c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

  

  primer dan sekunder, dalam tesis ini penulis menggunakan bahan dari media internet, dan kamus besar Bahasa Indonesia.

  3. Tehnik Pengumpulan Data Dengan melakukan studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) melalui studi dokumen untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Selain itu untuk memperkuat data sekunder maka dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan mengadakan interview mengenai permasalahan yang akan diteliti kepada pihak PT. BNI Sentra Bisnis Kartu Medan sebagai informan.

  4. Analisa Data Dalam Penelitian ini, data yang diperoleh disajikan secara kualitatif dengan menggunakan deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan data-data hasil seperti hasil wawancara dan peraturan seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat 31 32 Ibid, hlm.19 Ibid

  Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu ke dalam penjelasan-penjelasan. Yang mana nantinya penjelasan-penjelasan yang telah terbentuk tersebut dapat menjadi jawaban atas rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yakni tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Bisnis Kartu Kredit Pada PT. Bank Negara Indonesia Sentra Bisnis Kartu Medan. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif. Melalui metode deduktif, akan dapat ditarik kesimpulan spesifik

   yang mengarah pada penyusunan jawaban sementara terhadap penelitian.

33 Maria S.W Sumarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar,

  (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,1996),hal.43