Jenis-Jenis Bakteri Gram Negatif Potensial Patogen Pada Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina)

  

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina)

  Ikan kerapu hidup di perairan pantai hingga mencapai kedalaman 60 meter. Terumbu karang yang banyak di temukan di perairan Indonesia merupakan tempat hidupnya. Biasanya ikan ini berdiam diri di celah-celah batu menanti mangsa. Makanan utamanya adalah ikan-ikan kecil lainnya. Warna dasar tubuh kerapu adalah cokelat muda, yang sesuai dengan lingkungan hidupnya. Bulatan- bulatan merah atau coklat terdapat pada kepala bagian atas, tubuh dan sirip. Pada kerapu besar jalur dan bulatan itu menghilang. Penyebaran ikan ini sangat luas, mulai dari Laut Merah dan Afrika Selatan hingga Indonesia, Philipina, Jepang, Hawaii dan Australia (Ratna dkk., 2001).

  Larva kerapu pada umumnya menghindari permukaan air pada siang hari, sebaliknya pada malam hari lebih banyak ditemukan di permukaan air.

  Penyebaran vertikal tersebut sesuai dengan sifat ikan kerapu sebagai organisme yang pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang sedangkan pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makan (Anidiastuti, 2004).

  Ikan kerapu yang paling terkenal dan sering dibudidayakan di Indonesia adalah Ikan kerapu lumpur. Adapun ciri-ciri kerapu lumpur secara morfologi yaitu bentuk tubuh agak rendah, moncong panjang memipih dan menajam, maxillary lebar di luar mata, gigi-gigi pada bagian sisi dentary 3 atau 4 baris, terdapat bintik putih coklat pada kepala, badan dan sirip, bintik hitam pada bagian dorsal dan posterior. Habitat ikan kerapu lumpur adalah pantai yang banyak ditumbuhi algae jenis Ulva reticulata dan Gracilaha spp. dan setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar yang terdiri atas pasir berlumpur (Purba, 1990).

  Selain itu, Ikan kerapu lumpur memiliki badan yang berwarna dasar sawo matang dan pada bagian bawah agak keputihan. Terdapat garis menyerupai pita yang berwarna gelap, yang melintang pada badannya dalam jumlah sekitar 4-6 buah. Saat masih muda, pada seluruh tubuhnya terdapat noda-noda berwarna merah sawo (Murtidjo, 2002). Adapun klasifikasi ikan kerapu lumpur adalah sebagai berikut :

  Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas Ordo : Perciformes Famili : Serranidae Genus : Epinephelus Spesies : Epinephelus tauvina

  Gambar 2. Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina)

  Gejala Penyakit Pada Ikan

  Penyakit ikan dapat didefenisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat tubuh atau sebagian alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan), dan adanya patogen. Dengan demikian timbulnya serangan penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan ikan, dan organisme penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit (Kordi, 2004).

  Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) ada beberapa gejala penyebab penyakit diantaranya :

  1. Gejala Eksternal Lesi terjadi secara subkutan dengan pembengkakan sehingga menyebabkan ulcerative dermatitis (furunculosis), pembengkakan biasanya menjadi luka terbuka berisi nanah, darah dan jaringan yang rusak di tengah luka tersebut terbentuk cekungan, pada serangan akut tanda-tanda yang menyeluruh mungkin tidak tampak, hemorhagi pada dasar sirip dan sirip dorsal geripis, mata menonjol dan warna tubuh menjadi gelap.

  2. Gejala Internal Pada jaringan otot tubuh, usus bagian belakang lengket dan bersatu, pembengkakan limfa dan ginjal yang berkembang menjadi nekrosis, serta septicemia sangat jelas.

  3. Histopatologi Nikrosis pada jaringan dengan kolonisasi bakteri, inflamasi sedikit dijumpai karena bakteri menghasilkan leukocytolytic exotoxin.

  Ikan kerapu yang menderita sakit biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang dapat diketahui dengan jelas dan mudah. Beberapa gejala yang dapat terlihat dengan jelas seperti kelainan tingkah laku pada kondisi ikan berenang terlihat sangat lemah dengan posisi miring (Menukik dari permukaan langsung ke dasar, bergerak kembali ke permukaan dan akan tetap berada di permukaan), nafsu makan berkurang dan daya tahan tubuh melemah, kelainan bentuk mata, sisik dan warna tubuh, mata menonjol, sisik badan sebagian lepas, warna tubuh menjadi lebih gelap, kelainan pada insang dan sirip ekor. Tutup insang membuka terus- menerus secara cepat, sirip ekor tidak normal serta kelainan pada kulit, ada luka- luka pada kulit dan bintik-bintik putih serta merah (Purba, 1990).

  Jenis-Jenis Penyakit Pada Ikan Kerapu Lumpur

  Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu lumpur di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas. Permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu lumpur di keramba jaring apung adalah terjadinya penyakit. Salah satu penyakit yang ditemukan pada ikan kerapu lumpur adalah penyakit infeksi bakteri dengan gejala klinis adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Johnny dkk., 2002).

  Sewaktu bakteri menginfeksi ikan, bakteri dapat menghasilkan zat beracun yang disebut sebagai toksin yang merupakan produk ekstraseluler yang berkaitan dengan antibiosis sehingga bisa mematikan organisme inang atau memudahkan bakteri masuk ke dalam tubuh inang. Berdasarkan proses pengeluarannya, toksin yang dihasilkan oleh bakteri dapat bersifat eksotoksin jika diekskresikan ke luar sel, atau endotoksin jika racun tersebut tetap disimpan dalam sel bakteri dan tidak diekskresikan (Todar, 2002).

  Menurut Handajani dan Samsundari (2005) jenis penyakit ikan laut dan organisme yang sering terjadi disebabkan oleh bakteri adalah sebagai berikut:

  1. Penyakit sirip borok organisme penyebabnya Myxobacter sp. dan Vibrio sp.

  2. Penyakit Bacterial sirip organisme penyebabnya Pseudomonas sp. dan Gram Positif.

  3. Penyakit Streptococciasis organisme penyebabnya Cocci.

  4. Penyakit Vibriosis organisme penyebabnya Streptococcus dan Vibrio.

  Kendala terbesar yang selalu dihadapi pada kegiatan budidaya ikan kerapu adalah terjadinya serangan bakteri patogen terutama pada stadia larva. Serangan bakteri patogen ini menimbulkan penurunan kualitas dan tingkat produksi pada usaha pembenihan ikan kerapu, bahkan kematian dan kegagalan panen dapat terjadi. Rukyani (1993) melaporkan bahwa akibat adanya serangan penyakit, hanya sekitar 40% dari seluruh areal keramba di Indonesia yang masih beroperasi sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Sekurang-kurangnya 300 miliar rupiah telah hilang pertahunnya dari seluruh areal keramba di Indonesia.

  Mikroorganisme virus, bakteri atau parasit merupakan penyebab penyakit yang sering ditemukan dalam pembenihan atau budidaya ikan. Menurut Shickney

  (2000) penyakit bakterial pada ikan kerapu lumpur adalah Vibrio sp., Aeromonas sp., Pasteurella spp., Streptococcus dan Mycobacterium. Kasus penyakit bakterial pada ikan kerapu macan disebabkan oleh adanya infeksi bakteri Vibrio sp. dan dapat bersifat patogen ataupun hanya penyebab sekunder (Bessie, 1988 diacu oleh Wong dkk.,1990). Sedangkan pada kerapu lumpur kasus penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi (Saeed, 1995) atau Pseudomonas sp. berupa peradangan pada kulit (Nash dkk., 1987).

  Bakteri Vibrio sp.

  Vibrio sp. merupakan salah satu bakteri patogen yang tergolong dalam divisi bakteri, kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, famili Vibrionaceae.

  Bakteri ini bersifat gram negatif, fakultatif anaerobik, fermentatif, bentuk sel batang dengan ukuran panjang antara 2 – 3 um, menghasilkan katalase dan oksidase dan bergerak dengan satu flagella pada ujung sel (Austin, 1988). Vibrio merupakan patogen oportunistik yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan.

  Bakteri Vibrio yang patogen dapat hidup di bagian tubuh organisme lain baik di luar tubuh dengan jalan menempel, maupun pada organ tubuh bagian dalam seperti hati, insang, ginjal, dan limfa. Menurut Wagiyo (1975) dampak langsung bakteri patogen dapat menimbulkan penyakit, parasit, pembusukan dan toksin yang dapat menyebabkan kematian biota yang menghuni perairan tersebut.

  Lebih lanjut dikemukakan bahwa toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen akan merusak sel dan jaringan inang secara keseluruhan. Kerusakan sel akibat interaksi antara toksin dengan inang. Bordas., dkk (2004), mengemukakan bahwa beberapa jenis bakteri patogen memproduksi toksin tetrodotoksin. Bakteri- bakteri penghasil toksin tersebut antara lain adalah Vibrio alginolyticus, Vibrio Parahaemolyticus dan Vibrio anguillarum yang berupa anhydrotetrodotoksin.

  Beberapa jenis Vibrio yang bersifat patogen yaitu dengan mengeluarkan toksin ganas dan seringkali mengakibatkan kematian pada manusia dan hewan.

  

Vibrio cholera yang berasal dari darat atau air tawar, sudah dikenal sebagai

  penyebab penyakit muntah berak di Indonesia (Thayib, 1977). Jenis Vibrio yang terdapat pada ikan dan invertebrata laut adalah Vibrio alginolyticus, Vibrio

  damsela, Vibrio charchariae, Vibrio anguilarum, Vibrio ordalli, Vibrio cholerae, Vibrio salmonicida, Vibrio vulnificus, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio pelagia, Vibrio splendida, Vibrio fischeri dan Vibrio harveyi (Austin dan Austin, 1993).

  Umumnya ikan yang terserang penyakit Vibriosis memperlihatkan gejala- gejala ikan kehilangan nafsu makan (anorexia), kulit ikan menjadi gelap, insang ikan pucat, sering terjadi pembengkakan pada kulit yang lama-kelamaan akan pecah menjadi luka (bisul) dan mengeluarkan cairan nanah berwarna kuning kemerah-merahan, terjadi pendarahan pada dinding perut dan permukaan jantung dan jika dilakukan pembedahan akan terlihat pembengkakan dan kerusakan pada jaringan hati, ginjal dan limpa (Kordi, 2004).

  Bakteri Vibrio sp. diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987).

  Ciri bakteri Vibrio adalah bentuknya seperti batang pendek, tidak membentuk spora, sumbu melengkung atau lurus, ukurannya 0,51 mm x 1 – 2 mm, bersifat gram negatif, tumbuh baik pada kadar NaCl 1 – 1,5 %, terdapat tunggal atau kadang-kadang bersatu dalam bentuk s atau spiral. Vibrio harveyi umumnya hidup di air laut dan payau, terutama air dangkal serta musim dimana temperatur air menjadi tinggi, ditemukan di habitat-habitat akuatik, sebagian pada air laut, lingkungan estuarin dan berasosiasi dengan hewan laut. Bakteri Vibrio spp termasuk jenis bakteri halofit. Dapat tumbuh secara optimum pada salinitas 20

  • – 30 ppt, dan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi alkali, yaitu pH optimum berkisar antara 7,5 – 8,5 (Prajitno, 2005).

  Bakteri Aeromonas sp.

  Bakteri Aeromonas sp dapat hidup di berbagai perairan di dunia seperti air sungai, estuaria, air laut dan dikenal sebagai penyebab penyakit Motil Aeromonas

  

Septicaemia (MAS) dimana bakteri tersebut memproduksi berbagai produk

  protein ekstraseluler, termasuk toksin, haemolysin dan enzim protease yang diduga sebagai penyebab virulensi bakteri tersebut terhadap inangnya (Muslim, dkk., 2009). Penularan bakteri ini melalui air, kontak badan, pemakaian alat yang telah tercemar atau karena alat digunakan untuk pemindahan ikan yang telah terserang bakteri Aeromonas.

  Kerugian yang ditimbulkannya sangat besar, sebab dalam waktu relatif singkat puluhan ton ikan mati secara masal, baik ukuran benih maupun induk. Serangan bakteri ini bersifat laten (berkepanjangan), jadi tidak memperlihatkan gejala penyakit meskipun telah dijumpai pada tubuh ikan. Serangan bakteri ini baru terlihat apabila ketahanan tubuh ikan menurun akibat stres yang disebabkan oleh penurunan kualitas air, kekurangan pakan atau penanganan ikan yang kurang baik (Kordi, 2004).

  Ikan yang terserang bakteri Aeromonas menujukkan perubahan warna tubuh menjadi gelap, berenang tidak beraturan, mata ikan rusak, sisik seperti akan lepas, sirip rusak, insang berwarna pucat, ikan berenang ke permukaan seperti kekurangan oksigen, insang rusak sehingga sulit bernapas, kulit ikan menjadi kasat dan timbul pendarahan dengan luka-luka borok, perut menjadi besar (dropsi) dan apabila dibedah akan terlihat pendarahan pada hati, ginjal dan limpa.

  Aeromonas salmonicida menyebabkan penyakit Furuncolosis dan

  merupakan bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif adala

  Aeromonas salmonicida berbentuk batang pendek ( 1,3 – 2,0 x 0,8 – 1,3 µm ), non motil atau tidak bergerak, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, pertumbuhan optimum pada suhu 22

  ⁰C. Koloni bakteri ini berwarna putih, kecil, bulat, dan cembung. Strain typical dapat menghasilkan pigmen coklat yang akan lebih kelihatan apabila medium ditambah dengan tyrosine atau phenylalanine. Pada media dengan kandungan asam amino tinggi pigmen coklat akan jelas kelihatan pada umur kultur 48 jam. Secara biokimia bakteri ini bersifat oksidase positif dan memfermentasi glukosa (Septiama, 2008).

  Bakteri Edwardsiella sp.

  Penyakit Edwardsiellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Edwardsiella yaitu Edwardsiella tarda dan Edwardsiella ictaluri. Bakteri ini menyerang spesies-spesies ikan di daerah tropis. Bakteri E. tarda dan E. ictaluri bisa bertahan hidup di air. Beberapa inang alamiah bisa bertahan sebagai carrier. Penularan secara horizontal yaitu kontak antara inang satu dengan inang lainnya atau melalui air. Gejala eksternal ikan yang terserang. Penyakit Edwardsiellosis pada infeksi ringan, hanya menampakkan luka-luka kecil. Ukuran luka sebesar 3 – 5 mm. Luka tersebut berada disamping bagian belakang badan (posterio-lateral) (Mangunwiryo dkk., 1995).

  Sebagai perkembangan penyakit lebih lanjut, luka bernanah berkembang dalam otot rusuk dan lambung. Pada kasus akut akan terlihat luka bernanah secara cepat bertambah dengan berbagai ukuran. Perkembangan lebih lanjut, luka-luka (rongga-rongga) berisi gas. Terlihat bentuk cembung, menyebar ke seluruh tubuh.

  Ikan tampak kehilangan warna, dan luka-luka kemudian merata di seluruh tubuh. Jika luka digores, bau busuk tersebar. Bekas jaringan mati bisa berisi 3 rongga (Nitimulyo dkk., 1993).

  Edwardsiella ictaluri merupakan salah satu spesies yang juga termasuk

  famili dari Enterobacteriaceae yang bersifat patogen. Menurut Irianto (2005) bakteri ini berbeda dengan Edwardsiella tarda, ia justru menginfeksi ikan pada saat masih muda (benih, seukuran jari). Bakteri dapat menyebabkan Enteric

  Septicemia atau septikemia enterik yang menunjukkan gejala klinis seperti infeksi

  sistemik bakteri pada umumnya, diantaranya nekrosa dan ulserasi organ distensi abdominal, exophthalmia dan hemoragi pada kulit dan mulut. Pada negara empat musim, bakteri ini merupakan bakteri yang menyebabkan penyakit musiman. Ia dapat bertahan hidup pada suhu sekitar 24 ˚ – 28˚C yang merupakan suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri. Tingkat prevalensinya meningkat pada bulan Mei–

  Juni dan September – Oktober. Selain itu E. ictaluri dapat bertahan pada air kolam selama 90 hari dengan suhu sekitar 25 ˚C (Songer dan Post, 2005).

  Penularan Penyakit Ikan Melalui Air

  Air merupakan kebutuhan mutlak bagi ikan, sebab seluruh hidupnya berada dalam air. Namun demikian, tidak semua air dapat digunakan untuk memelihara ikan. Sumber air yang digunakan untuk mengairi ikan kerapu harus memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang tahun (Supratno, 2006).

  Pengendalian kondisi lingkungan budidaya agar tetap stabil dan optimal bagi organisme perairan termasuk ikan sebagai hewan budidaya menjadi sangat perlu dilakukan. Sehingga secara khusus pengolahan dan air sebagai tempat budidaya perlu dilakukan. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar air (H

  unsur yang kemudian menentukan apakah lingkungan tersebut cocok untuk kegiatan budidaya. Jadi kualitas air yang baik adalah air yang cocok untuk kegiatan budidaya, dimana jenis komoditas bisa hidup dan tumbuh dengan normal (Maniagasi dkk., 2013).

  Air yang digunakan untuk pembenihan maupun pembesaran ikan yang telah tercemar oleh penyakit, biasanya ikan yang dibudidayakan juga akan terserang oleh penyakit tersebut. Penggunaan air yang berkualitas rendah atau air yang telah tercemar oleh senyawa beracun dapat menyebabkan timbulnya serangan penyakit pada ikan. Penyakit yang menyebabkan ikan sakit berupa penyakit infeksi maupun non infeksi (Kordi, 2004).

  Pengelolaan kualitas air untuk keperluan budidaya sangat penting, karena air merupakan media hidup bagi kehidupan organisme akuakultur. Usaha untuk memperbaiki dan mempertahankan kualitas air telah banyak dilakukan, baik secara fisik maupun kimia. Tetapi biaya yang dibutuhkan cukup besar dan terkadang tidak ramah lingkungan (Mulyanto, 1992).

  Suhu

  Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu harian, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air (Effendi, 2006). Suhu dalam budidaya ikan berpengaruh terhadap laju metabolisme, pemijahan dan penetasan telur, aktivitas patogen, sistem imunitas, daya larut senyawa kimia, serta kalarutan oksigen dan karbondioksida.

  Ikan adalah hewan poikiotermal, dimana suhu lingkungan sangat berpengaruh tehadap metabolisme termasuk sistem imunitas (Noga, 2000).

  Apabila suhu mengalami penurunan akan menyebabkan kelarutan oksigen meningkat, laju metabolisme menurun, nafsu makan berkurang, pertumbuhan berkurang, sistem imun menurun, gerakan ikan melemah, disorientasi sehingga ikan dapat mengalami kematian. Sedangkan bila suhu meningkat, maka suhu tubuh meningkat, laju metabolisme juga meningkat, konsumsi oksigen bertambah sedangkan kadar oksigen terlarut menurun, toksistas perairan dari senyawa kimia meningkat, jumlah patogen meningkat sehingga ikan mudah terekspose oleh penyakit dan dapat menimbulkan kematian. Kisaran suhu standar untuk pembenihan ikan kerapu adalah 28 C.

  ˚ – 32˚

  Salinitas

  Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat di konversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Kisaran salinitas perairan laut antara 30 – 40 ppm.

  Tingkat salinitas yang terlampau rendah atau terlampau tinggi dapat mengakibatkan respon stres dari akut hingga kronis pada ikan budidaya (Noga 2000).

  Semakin tinggi salinitas maka kadar oksigen terlaut di perairan akan semakin menurun, hal ini menyebabkan ikan menjadi stress dam mudah terkena penyakit, selain itu, perubahan salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan (Effendi, 2006).

Kecerahan

  Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruahan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengkuran kecerahan sebaiknya dilakukan ketika cuaca cerah (Effendi, 2006).

  Derajat Keasaman (pH)

  Derajat keasaman (pH) didefinisikan sebagai logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen. Kebanyakan perairan alam memiliki nilai pH 6,9 – 9. pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia yang dapat menyebabkan kematian massal pada ikan. Noga (2000) mengatakan bahwa pH rendah dapat menyebabkan penurunan tingkat produksi lendir sedangkan pH tinggi dapat menyebabkan ikan stres. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5.