Pengaruh Salinitas Terhadap Prevalensi Ektoparasit Pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

(1)

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

RESTI FAUZIAH 070805047

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RESTI FAUZIAH 070805047

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PERSETUJUAN

Diluluskan di

Medan, November 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dedy Arief Hendriyanto S.St,Pi. M.Si Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc NIP. 19780524200003 1 002 NIP. 19640409199403 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001

Judul : PENGARUH SALINITAS TERHADAP

PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

Kategori : SKRIPSI

Nama : RESTI FAUZIAH

Nomor Induk Mahasiswa : 070805047

Program Sudi : SARJANA (S1)

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, November 2011

RESTI FAUZIAH 070805047


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH SALINITAS TERHADAP PREVALENSI EKTO PARASIT PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) “ sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan. Serta shalawat beriring salam penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman kebodohan menuju zaman berilmu saat ini.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc sebagai Dosen Pembimbing 1, dan Bapak Dedy Arief Hendriyanto S.St,Pi. M.Siselaku Dosen Pembimbing 2. Kepada Dra. Nunuk Priyani, M.Sc dan Bapak Prof. Syafruddin Ilyas M.Biomed selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak saran dan arahan dalam penulisan skripsi ini juga kepada Bapak Riyanto Sinaga, S.Si selaku Dosen Penasehat Akademik. Ketua Departemen Biologi, Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc serta seluruh staff pengajar dan pegawai di Departemen Biologi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurhasni Muluk selaku aboran di aboratorium Mikrobiologi FMIPA USU serta kepada Ibu Roslina Ginting dan Bang Endra Raswin selaku Pegawai Administrasi Program Studi Biologi FMIPA USU. Terima kasih atas keluangan waktu dan keikhlasan dalam membantu penulis selama ini.

Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Viktor Immanuel selaku Kepala Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia Medan, Ibu Barita Aritonang, Pak Ramon Nasution, Bang Sahala Sianturi, Ibu Marlina Dolok, Kak Retna, Kak Atika, Pak Oscar, Pak Su, Pak Akum, Bg Joko, Bg Randy, Bg Wisran, Kak Puji dan Kak Yuni yang banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis selama melakukan penelitian. Kepada adik-adik dari SMKN 1 Kisaran: Nico, Dedi, Eva, Kesy dan Adik-adik dari SMKN 2 Tanjung Balai: Sinta, Dera, Fitri, terima kasih buat kerjasama dan bantuannya. Serta rekan seperjuangan Helmi Kristina Simamora dan Laura Aprilini terima kasih atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini.

Ungkapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada Orang tua Papa Suharwanto, Ibunda R. Aswita, dan Ayahanda tercinta (Alm.) Sufianto atas do’a serta dukungan moril yang tak pernah padam. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kalian. Untuk Mpok Winda Irfani, adikku Fariz, Anas- Anis D. Arinto tetaplah menjadi yang terbaik. Teruntuk Keluarga Besar Kakek (Alm) H. Amran Amir, Nenek Hj. Rosmini, Bu Awi, Bu Eka, Om Joko, Bg Surya, Kak Wency, Yekti, Dita Astria (Almh.), Wak Ani, Wak Atik yang selalu membantu serta memberikan dukungan dan motivasi tiada henti kepada penulis. Semoga Allah SWT


(6)

selalu melimpahkan kebaikan dan rahmat kepada keluarga kita. Amin. serta keponakanku Azura dan Azmi atas setiap canda tawa pelipur lara penulis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada saudariku Rysa, Dwi, Riwil dan Anti atas suka duka dan tawa yang telah kita lewati bersama, semoga ikatan persaudaraan di hati kita tidak akan pernah lekang oleh waktu. Teman-teman Like D’Ants Crew 2007: Maika, Putri, Aini, Nila, Irma, Desy, Maria, Helmi, Laura, Yanti, Abel, Misel, Adeka, Risma, Umi, Nia, Tika, Nisa, Sari, Else, Hotda, Siti, Natal, Ibeth, Katrina, Marie, Astri, Yeni, Erlinda, Fatma, Dina, Affan, Asril, Mirza, Ncay, Jayana, Jupe, Reymond, Farid, Alex, terimakasih atas pertemanan yang indah sejak awal perkuliahan.

Kepada kakak-kakak di MSC (Microbiology Study Club) Bang Yopi, Bang Kabul, Bang Fendi, Kak Utien, Kak Imus, Kak Sarah, Kak Netti untuk segala ilmu yang telah diberikan. Kepada BFS (Bengkel Fotografi Sains) Crew Bang Ayul, Bang Panji, Bang Koto, Bang Ferdi, Mas Edi, Bang Andi, Bang Juned, Bang Zulfan, Kak Diah, Kak Atika, Kak Ummi, Eka, Dewi, Nopi, Sirma dan Andini atas kebersamaan dan momen yang indah. Kepada rekan-rekan di laboratorium mikrobiologi Asril, Mirza, Affan, Yanti, Nila, Ria, Nina, Ayu dan Frans terimakasih atas segala bantuan yang diberikan selama ini, jangan pernah berhenti berjuang.

Kepada kakak stambuk 2006 Kak Ami, Kak Nikmah, Kak Ika, Kak Yayan, Kak Nana, Kak Siti, Kak Sari, Kak Lia, Kak Reni, Kak Vita, Bg Kasbi terima kasih atas arahan dan masukannya selama ini, kepada Ibu-ibu S2: Kak Wiwin, Kak Yuni, Bu Siti, Bu Rita, Bu Yunilas dan Bang Rizki kehadiran kalian telah memberi warna tersendiri di hati penulis. Untuk MO Community Yekti, Nina, Bowo, Rio, Ial, Dedi, Dwi, Rudi terima kasih atas semua yang telah kita lewati bersama.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada saudaraku di UKMI AL- FALAK FMIPA USU: Ukhti Sri. Heni, Kiki. Lia, Arni, Rini, Ayu, Nova, Minah, Evie, Titin, Dilla, Kak Nana, Kak Yossi, Kak Shinta, Kak Halimah, Kak Tika, Kak Muti serta Akh Agus, Emir, Yudha, Heru, Subhan, Adam, Zubeir dan Ganda atas silaturrahmi yang selama ini terjalin.

Terima kasih penulis ucapkan kepada guru penulis semenjak SD, SMP sampai SMA atas segala ilmu yang telah diberikan secara ikhlas tanpa pamrih. Tanpa kalian mungkin penulis tidak akan menjadi seperti sekarang. Kalianlah pahlawan tanpa tanda jasa di hati penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pihak, dan mohon maaf atas segala kekurangan selama ini. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, November 2011


(7)

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PREVALENSI EKTOPARASIT PADA BENIH KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis serangan ektoparasit serta untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap prevalensi ektoparasit pada ikan kerapu macan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi, Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan dari bulan Januari sampai Juni 2011. Pemeriksaan ektoparasit menggunakan metode kerokan kulit dan metode mount insang, dan analisis data menggunakan uji chi square dengan 6 perlakuan yaitu 20, 25, 30, 35, 40 dan 45 ppt, masing-masing dengan 4 kali ulangan. Wadah yang digunakan pada penelitian ini adalah akuarium yang diisi air dengan volume 20 liter dan tiap wadah diisi dengan 10 ekor ikan. Ikan yang digunakan berukuran ± 10 cm. Pengamatan terhadap perkembangan parasit dilakukan setiap 2 minggu sekali. Dari total ikan yang diperiksa diperoleh prevalensi tertinggi pada Oodonium sp. 14,48 %, Trichodina sp. 14,21 %, Diplectanum sp. 12,69 dan prevalensi terendah pada Benedenia sp. 12,49 %. Pada salinitas 30-35 ppt terjadi penurunan tingkat infeksi ektoparasit terhadap kerapu macan yang baik untuk penurunan prevalensi ektoparasit.


(8)

INFLUENCE OF SALINITY IN PREVALENCE ECTOPARASITES AT THE SEED OF TIGER GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

This study was conducted to know ectoparasites infecting tiger grouper, and the influence of salinity in ectoparasites prevalency in the tiger gouper. The study was conducted at Parasitology Laboratorium, Fish Quarantine, First Class in Polonia-Medan from January to June 2011. Double layer slide glass method and gill mount methods were used to examine ectoparasite prevalency. Chi-square analysis was utilized to compare all treatment of salinity (20, 25, 30, 35, 40 and 45 ppt). Ten fish of ±10 cm was used. Observation was done every two weeks during six weeks of study. The result showed that salinity affected the ectoparasites prevalency. Ectoparasites were found in two of the body, in the surface and gills. Oodonium sp., Trichodina sp. and Diplectanum sp. showed relatively high prvelency by 14,48 %, 14,21 % and 12,69 %, respectively Benedenia sp. showed low prevalency by 12,49 %. Salinity at 35 ppt showed relatively lower prevalency compared to other salinity.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii PENGHARGAAN iv ABSTRAK vi ABSTRACT vii

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1 1.1Latar Belakang 1

1.2Permasalahan 2

1.3Tujuan Penelitian 3 1.4Hipotesis 3 1.5Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 2.1 Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) 4 2.2 Salinitas Air 6

2.3 Penyakit Akibat Infeksi Parasit 7

2.4 Hubungan antara Inang dan Parasit 8

2.5 Ektoparasit pada Kerapu Macan 9

BAB 3 BAHAN DAN METODE 11

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Alat dan Bahan 11

3.2.1 Alat 11

3.3.2 Bahan 11

3.3 Metode Penelitian 11

3.3.1 Pemeriksaan Sampel 12

3.3.2 Pemeriksaan Ektoparasit 12

3.3.2.1 Metode Kerokan Kulit (Double Layer Slide Glass Method) 12

3.3.2.2 Meode Mount Insang 13

3.4 Gejala Klinis 13

3.5 Pengukuran Nilai Prevalensi 13

3.6 Analisis Data 13 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

4.1 Identifikasi dan Deskripsi Jenis Ektoparasit 15

4.1.1 Jenis Ektoparasit Insang 15

4.1.2 Jenis Ektoparasit Kulit 17

4.2 Prevalensi Ektoparasit terhadap Salinitas 20

4.3 Kualitas Air 24


(10)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 26

5.1 Kesimpulan 26

5.2 Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 32


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Prevalensi Trichodina sp. 20

Tabel 2. Prevalensi Oodonium sp. 20

Tabel 3. Prevalensi Diplectanum sp. 21

Tabel 4. Prevalensi Benedenia sp. 21


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Pola hubungan interaksi antara patogen penyakit, inang dan

lingkungan

2

Gambar 2 Jenis-jenis ektoparasit pada kerapu macan 9

Gambar 3. Infeksi Diplectanum sp. 16

Gambar 4. Infeksi Oodonium sp. 17

Gambar 5. Trichodina sp. 18

Gambar 6. Infeksi Trichodina sp. 18

Gambar 7. Infeksi Benedenia sp. 19

Gambar 8. Histogram kerapu macan yang terinfeksi ektoparasit berdasarkan kadar salinitas


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Kaidah pengambilan sampel 32

Lampiran B. Alur kerja kerokan kulit dan mount insang 33

Lampiran C. Data pengamatan mingguan ektoparasit 35

Lampiran D. Tabel chi square 36

Lampiran E. Dokumentasi Penelitian 37

38


(14)

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PREVALENSI EKTOPARASIT PADA BENIH KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis serangan ektoparasit serta untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap prevalensi ektoparasit pada ikan kerapu macan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi, Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan dari bulan Januari sampai Juni 2011. Pemeriksaan ektoparasit menggunakan metode kerokan kulit dan metode mount insang, dan analisis data menggunakan uji chi square dengan 6 perlakuan yaitu 20, 25, 30, 35, 40 dan 45 ppt, masing-masing dengan 4 kali ulangan. Wadah yang digunakan pada penelitian ini adalah akuarium yang diisi air dengan volume 20 liter dan tiap wadah diisi dengan 10 ekor ikan. Ikan yang digunakan berukuran ± 10 cm. Pengamatan terhadap perkembangan parasit dilakukan setiap 2 minggu sekali. Dari total ikan yang diperiksa diperoleh prevalensi tertinggi pada Oodonium sp. 14,48 %, Trichodina sp. 14,21 %, Diplectanum sp. 12,69 dan prevalensi terendah pada Benedenia sp. 12,49 %. Pada salinitas 30-35 ppt terjadi penurunan tingkat infeksi ektoparasit terhadap kerapu macan yang baik untuk penurunan prevalensi ektoparasit.


(15)

INFLUENCE OF SALINITY IN PREVALENCE ECTOPARASITES AT THE SEED OF TIGER GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

This study was conducted to know ectoparasites infecting tiger grouper, and the influence of salinity in ectoparasites prevalency in the tiger gouper. The study was conducted at Parasitology Laboratorium, Fish Quarantine, First Class in Polonia-Medan from January to June 2011. Double layer slide glass method and gill mount methods were used to examine ectoparasite prevalency. Chi-square analysis was utilized to compare all treatment of salinity (20, 25, 30, 35, 40 and 45 ppt). Ten fish of ±10 cm was used. Observation was done every two weeks during six weeks of study. The result showed that salinity affected the ectoparasites prevalency. Ectoparasites were found in two of the body, in the surface and gills. Oodonium sp., Trichodina sp. and Diplectanum sp. showed relatively high prvelency by 14,48 %, 14,21 % and 12,69 %, respectively Benedenia sp. showed low prevalency by 12,49 %. Salinity at 35 ppt showed relatively lower prevalency compared to other salinity.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu jenis ikan laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena sangat disukai didalam maupun di luar negeri seperti negara-negara Asean, Hongkong, Cina, dan Jepang. Budidaya ikan ini sangat potensial akan tetapi masih terkendala dengan rentannya penyakit terutama oleh bakteri dan pertumbuhannya relatif agak lambat (Feliatra, 2002).

Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang harus dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya ikan. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit ikan selain dapat mematikan ikan juga dapat menurunkan mutu dari ikan itu sendiri. Kematian yang ditimbulkan oleh penyakit ikan sangat tergantung pada jenis penyakit ikan yang menyerang, kondisi ikan dan kondisi lingkungan. Apabila kondisi lingkungan menurun maka kematian yang diakibatkan oleh wabah penyakit sangat tinggi, tapi sebaliknya apabila kondisi lingkungan baik maka kematian akibat infeksi suatu penyakit lebih rendah. Tinggi rendahnya kematian akibat infeksi suatu penyakit juga tergantung pada kondisi immunitas ikan. Wabah penyakit yang terjadi pada kondisi ikan sedang sehat tidak akan mengakibatkan kematian yang tinggi, dan sebaliknya akan mengakibatkan kematian yang tinggi apabila kondisi ikan kurang sehat (Supriyadi, 2007). Penyakit akibat infestasi parasit merupakan penyakit yang sering dijumpai pada kegiatan budidaya ikan laut (Koesharyani et al., 2001).

Menurut penyebabnya, penyakit ikan dibedakan atas penyakit infeksi dan non infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh jasad parasitik, bakteri, jamur dan virus. Penyakit parasiter yaitu penyakit akibat infeksi jasad parasitik seperti golongan protozoa maupun metazoa. Protozoa yang sering ditemukan sebagai organisme


(17)

parasitik meliputi sporozoa, ciliata dan flagellate, sedangkan metazoa meliputi crustacea dan isopoda. Jasad parasiter tersebut dapat menginfeksi ikan air tawar maupun ikan laut (Taukhid, 2006).

Jika terjadi tekanan lingkungan (akibat perubahan mendadak dan pemakaian antibiotik pada budidaya di pertambakan) dan perairan tidak dalam keadaan seimbang dinamis (Stady state), maka ikan akan mengalami perubahan fisiologis. Kerentanan ikan sebagai hospes atau inang juga sangat ditentukan oleh kualitas air sebagai media hidupnya (Adji, 2008). Organisme yang hidup di laut atau perairan payau (Estuarine) hanya dapat bertahan pada perubahan-perubahan salinitas yang relatif kecil, hal tersebut sangat berhubungan dengan tekanan osmotik sel (Hutabarat, 1984).

1.2Permasalahan

Diketahui bahwa adanya parasit mampu muncul pada kondisi yang kurang baik di lingkungan. Hal ini menjadi salah satu pemicu akan penyakit ikan baik dari segi budidaya maupun nilai ekonomis. Munculnya suatu penyakit pada organisme disebabkan oleh adanya interaksi tiga unsur yang bekerja secara bersamaan, yaitu unsur lingkungan, patogen dan inang (organisme budidaya). Hubungan tersebut dapat digambarkan pada gambar 1.

Gambar 1. Pola hubungan interaksi antara patogen penyakit, inang dan lingkungan (Lio-Po et al., 2001)

Host Patogen

Environment


(18)

Munculnya penyakit parasiter merupakan hasil interaksi antara kondisi lingkungan budidaya yang tidak mendukung kehidupan di dalamnya, ikan (inang) yang rentan dan adanya parasit (patogen). Pada kondisi lingkungan yang jelek ikan menjadi stress sehingga daya tahan tubuhnya lemah dan memudahkan patogen menyerang inang (Sindermann, 1990).

Kualitas lingkungan perairan merupakan suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya (Boyd, 1979). Kondisi lingkungan atau kualitas air yang buruk termasuk fluktuasi suhu yang terlalu tinggi dan salinitas juga merupakan penyebab ikan stress (Kordi, 2004).

1.3Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui jenis ektoparasit pada kerapu macan serta mengetahui ada tidaknya pengaruh salinitas terhadap prevalensi ektoparasit pada kerapu macan.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh salinitas terhadap prevalensi dari ikan kerapu macan terhadap ektoparasit yang beragam.

1.5 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai indikator bahwa lingkungan perairan sekitar budidaya telah menurun ditandai dengan adanya ektoparasit pada prevalensi dan intensitas tertinggi. 2. Sebagai bahan informasi bagi stake holder / pembudidaya terkait penyakit parasit


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerapu Macan

Perairan Indonesia terletak di antara dua Samudera, Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik dengan panjang garis pantai lebih dari 80.000 km yang banyak terdiri dari perairan karang sehingga dapat dijumpai berbagai jenis ikan karang, termasuk ikan kerapu (Serranidae). Ikan tersebut bersifat karnivora, rakus dan dapat memangsa berbagai jenis ikan, cephalopoda, crustacea, dan lain-lain (Munro, 1967). Ikan kerapu macan mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih besar dan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lain (Sunaryat & Minjoyo, 2004). Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan budidayanya karena harganya cukup mahal. Kebutuhan ikan kerapu hidup semakin meningkat baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor (Nurjana, 2007 dalam Bunga, 2008).

Ikan kerapu di Indonesia umumnya mempunyai daerah penyebaran di perairan karang-karang di seluruh perairan Indonesia diantaranya di Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Karimun Jawa, NTB (Manyunar et al., 1991). Dan di seluruh perairan Indo-Pasifik lainnya seperti Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang Laut Cina, selat dan bagian perairan utara Australia (Djamali et al., 1998). Menurut Dennis et al., (2006), ciri-ciri morfologis ikan kerapu macan adalah bentuknya agak bulat memanjang dan mempunyai ukuran badan lebih tinggi, sirip dada berwarna kemerahan dan sirip lainnya mempunyai tepi kecoklatan.

Ikan kerapu termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas air yang fluktuatif, perlu cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, hidup di daerah karang, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 26 ºC, panjang


(20)

rata-rata maksimal 90 cm. Tubuh kerapu macan dipenuhi sisik yang berukuran kecil yang berbentuk sikloid. Nama kerapu diberikan biasanya untuk empat genus Serranidae yaitu Epinephelus, Variola, Plectropampus dan Cromileptes. Di Indonesia Epinephelus sendiri mempunyai 38 spesies. Sebagian besar famili Serranidae hidup di perairan dangkal dengan dasar pasir berkarang, walaupun beberapa jenis dapat ditemukan di perairan dalam (Burgess et al., 1990). Menurut Heemstra & Randall (1999), ikan kerapu berjumlah 110 jenis dari 11 genus seperti Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptes, Dermatolepis, Ephinephelus, Gracila, Plectropomus, Saloptia, Triso, dan Variola.

Kerapu macan memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal (perut), sirip pektoral (dada), sirip garis lateral (gurat sisi) dan sirip caudal (ekor). Sirip dorsal memanjang hampir sepanjang bagian punggung, bagian jari-jari kerasnya memiliki jumlah yang sama dengan jari-jari lunaknya, jumlah jari-jari adalah 13-15 buah. Sirip anal terdiri dari 3 buah jari-jari. Sedangkan jumlah jari-jari di sirip ekor adalah 15-17 buah dan bercabang dengan jumlah 13-15 buah. Sisik yang menutupi seluruh permukaan tubuh berbentuk kecil, mengkilat dengan bentuk sikloid. Warna dasar kerapu macan adalah cokelat, dengan perut berwarna putih serta bercak hitam dan putih disekujur tubuh yang tidak beraturan. Bentuk badan kerapu macan memanjang dan cenderung gepeng (compressed) atau agak membulat. Ketebalan tubuh 2,6 – 2,9 cm dari panjang standar, dengan skala garis lateral adalah 53-58 cm. Panjang total tubuh kerapu macan dapat mencapai 80 cm. Mulut berukuran lebar dengan posisi serong keatas dan bibir bawah menonjol keatas. Lubang hidung besar berada diatas mulut berbentuk bulan sabit (Abduh, 2007).

Laju pertumbuhan ikan kerapu yang dibudidaya sangat lambat, seperti yang dilaporkan oleh Soni (2002), ikan kerapu macan laju pertumbuhannya 0,45 g/hari dan sebesar 0,60 g/hari, sedangkan kerapu lumpur sebesar 0,61 g/hari. Laju pertumbuhan tersebut dapat menyebabkan biaya operasional menjadi tinggi sehingga kurang menguntungkan secara ekonomis. Namun demikian sebagian pertumbuhan ikan kerapu akhir-akhir ini sudah menunjukkan peningkatan. Akbar & Sudaryanto (2001) melaporkan bahwa ikan kerapu macan laju pertumbuhannya 2,30 g/hari, sedangkan laju pertumbuhan ikan kerapu lumpur 3,59 g/hari.


(21)

2.2 Salinitas Air

Salinitas adalah komposisi ion-ion dalam perairan (Wetzel, 1983). Ion-ion yang terdapat dalam perairan laut terdiri dari enam elemen, yaitu klorin, sodium, magnesium, sulfur, kalsium dan potassium. Menurut Dawes (1993), salinitas merupakan faktor kimia yang mempengaruhi sifat fisik air, diantaranya adalah tekanan osmotik dan densitas air. Salinitas perairan laut yang normal berkisar antara 33 ppt hingga 37 ppt. Salinitas berpengaruh terhadap proses fisiologis seluruh organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Andrews et al., (2003) salinitas atau kadar garam merupakan jumlah total material terlarut dalam air.

Menurut Subyakto & Cahyaningsih (2003), salinitas ideal untuk pemeliharaan kerapu adalah 28 – 33 ppt. Salinitas pada penelitian sedikit diatas salinitas optimun untuk kerapu, tetapi benih kerapu masih bisa beradaptasi terhadap salinitas tersebut. Sedangkan kondisi lingkungan perairan pada lokasi penangkapan ikan kerapu di alam, seperti suhu berkisar antara 27-29,62 oC, dengan salinitas berkisar antara 34,259 – 34,351 ‰, oksigen terlarut berkisar antara 3,95 - 4,28 ml/L, nitrat berkisar antara 1-6 μg.at/L dan posfat berkisar antara 0,80 - 1,40 μg.at/L (Langkosono & Wenno, 2003). Menurut Chua & Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24-31o C, salinitas antara 30-33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8-8,0. Sementara itu Suprakto & Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya yaitu kecepatan arus 15-30 cm/s, suhu 27-29º C, salinitas 30-33 ppt, pH 8,0 - 8,2; oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5m.

Menurut Nontji (1993), di samudera salinitas berkisar antara 34 – 35 ppt.

Variasi salinitas di permukaan air sangat mirip dengan keseimbangan evaporasi dan presipitasi. Salinitas merupakan faktor pembatas bagi organisme perairan terutama yang berada pada range yang sempit. Densitas air laut naik sejalan dengan kenaikan salinitas dan tekanan serta penurunan temperatur. Satu bagian per 1000 garam kenaikan densitasnya sekitar 0,8 bagian per 1000.


(22)

2.3 Penyakit Akibat Infeksi Parasit

Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang meliputi genetik dan kondisi fisiologis ikan serta faktor eksternal yang berhubungan dengan lingkungan. Faktor eksternal tersebut yaitu komposisi kualitas kimia dan fisika air, bahan buangan metabolik, ketersediaan pakan, dan penyakit (Hepper & Prugnin, 1984).

Parasit merupakan suatu organisme yang mengambil bahan untuk kebutuhan metabolismenya (makanan) dari tubuh inangnya dan merugikan bagi inang tersebut., sehingga parasit tidak dapat hidup lama di luar tubuh inangnya (Alifuddin, 2004). Kisaran batas toleransi temperatur yang sesuai untuk ikan adalah sekitar 20 – 32 oC, sedangkan untuk daerah tropis sebaiknya 27 oC dengan fluktuasi 30 oC (Riani, 2004).

Menurut Supriyadi (2004), berdasarkan sifat hidupnya parasit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu obligat dan fakultatif. Parasit obligat yaitu parasit yang hanya bisa hidup jika berada pada inang. Parasit fakultatif yaitu parasit yang mampu hidup di lingkungan air jika tidak ada inang disekitarnya. Ekosistem perairan tambak merupakan ekosistem binaan yang bertujuan untuk produksi udang maupun ikan. Menurut Afrianto & Liviawaty (1992), penyakit adalah suatu gangguan pada organisme yang disebabkan oleh parasit, kekurangan gizi atau faktor fisik dan lingkungan serta menyebabkan daya tahan tubuh ikan melemah.

Penyakit dalam budidaya ikan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi yang besar (Sudjiharno, 2003). Menurut Reantoso et al., (2004), mengemukakan bahwa permasalahan penyakit pada budidaya ikan laut di Asia Timur dan Asia Tenggara telah diidentifikasi dengan beberapa faktor dalam budidaya yaitu melalui perbaikan lingkungan (polusi dan racun dari akibat kelimpahan plankton) dan perbaikan manajemen (aklimatisasi, penanganan mortalitas dan tranportasi mortalitas) pada juvenil. Program manajemen kesehatan harus memenuhi beberapa persyaratan dan dapat mencakup semua aktifititas budidaya. Pada tingkat produksi, syarat yang harus dipenuhi adalah pemilihan benih, nutrisi, penanganan limbah, optimalisasi kualitas air dan monitor berkala.


(23)

2.4 Hubungan antara Inang dan Parasit

Pengertian inang menurut Kusumah (1976), adalah organisme hidup yang dipendeki (ditempati) oleh parasit. Antara inang dan parasit terdapat hubungan simbiosis parasitisme yaitu bentuk kehidupan bersama antara dua spesies organisme yang berbeda atau lebih dan organisme yang ditumpanginya akan mendapat kerugian karenanya.

Parasit ada di lingkungan perairan seperti juga ikan hidup di lingkungan air. Jika kualitasnya air jelek mengakibatkan ikan stress, tetapi kondisi ini justru merupakan media yang baik bagi parasit sehingga mereka berkembang biak dan populasinya cukup untuk menginfeksi ikan hingga sakit (Taukhid, 2006). Parasit adalah organisme yang hidupnya dapat menyesuaikan diri dengan inangnya, dan merugikan organisme yang ditempatinya (inangnya). Dimana inang spesifik sebagai inang yang dapat menyediakan kebutuhan parasit yang bersangkutan dan parasit tersebut mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam inang tanpa adanya hambatan-hambatan (Noble & Noble, 1989).

Salah satu parasit pada ikan kerapu macan adalah dari kelompok protozoa. Protozoa dicirikan dengan ukurannya yang mikroskopik bersel satu dan termasuk eukariotik. Ukuran protozoa berkisar dari 1-50 μm atau lebih. Bersifat holozoik atau sporozoik, tetapi sedikit yang holopitik. Reproduksi organisme ini dapat berlangsung secara seksual dan aseksual tergantung kepada kelompoknya. Beberapa spesies protozoa hidup bebas atau bersifat parasit. Kemampuannya yang tinggi untuk memperbanyak diri pada inang telah menyebabkan parasit protozoa sangat berbahaya pada ikan (Dana et al., 1994).

Populasi gabungan organisme yang hidup bersama di dalam suatu jaringan organ insang dikenal sebagai campuran parasit. Selanjutnya dikatakan bahwa, parasit di dalam inangnya dipengaruhi oleh adanya parasit spesies lain. Infeksi bersama antara spesies yang berbeda dapat bersifat antagonistik, dimana keberadaan suatu spesies akan menghambat perkembangan atau dapat bersifat sinergistik atau saling menunjang kehidupan masing-masing spesies (Noble & Noble, 1989).


(24)

Menurut Kabata (1985), parasit dapat ditinjau dari tempat hidupnya yaitu parasit ekto dan endo. Jika ditinjau dari segi siklus hidupnya, Kusumah (1976) mengatakan ada tiga penggolongan parasit yaitu intermitter parasit yaitu siklus hidupnya secara periodik dalam waktu tertentu berada di dalam inang, tetapi di waktu lain meningggalkan inang yang ditumpanginya. Siklus hidup yang lain adalah fakultatif parasit dimana dapat hidup tanpa organisme lain. Kemudian obligateri parasit yang mana siklus hidupnya membutuhkan organisme lain dan hidup selamanya.

2.5 Ektoparasit pada Kerapu Macan

Menurut Widyastuti (2002), bahwa parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup pada permukaan luar tubuh inang atau di dalam liang-liang kulit yang mempunyai hubungan dengan dunia luar. Endoparasit yaitu parasit yang hidup pada organ dalam tubuh ikan seperti hati, limfa, otak dan dalam sistem pencernaan, sirkulasi darah, pencernaan, sirkulasi darah, pernafasan, dalam rongga perut, otot, daging, dan jaringan tubuh lain.

Ektoparasit merupakan parasit yang menyerang tubuh ikan bagian luar (Bhagawati et al., 1991). Ektoparasit dapat menyebabkan mortalitas tinggi yang bersifat akut. Infeksi ektoparasit juga menimbulkan kerugian non letal yaitu pertumbuhan yang lambat, penurunan efisiensi pencernaan dan faktor predisposisi bagi infeksi jamur, bakteri dan virus (Sommerville, 1998 dalam Mulia, 2005).

Gambar 2. Jenis-jenis ektoparasit pada kerapu macan 10 x 40 (A. Diplectanum; B. Trichodina sp.)


(25)

Monogenea merupakan cacing pipih dengan ukuran panjang 0,15-20 mm bentuk tubuhnya fusiform, haptor di bagian posterior dan siklus kait sentral sepasang dan sejumlah kait marginal. Salah satu contoh kelas monogenea yaitu Dactylogyridae yang mempunyai alat bantu organ tambahan pada tubuhnya yang biasa disebut squamodis yang berfungsi sebagai perekat, selanjutnya dikatakan bahwa ada sekitar 1500 spesies monogenea yang ditemukan pada ikan (Gusrina, 2008). Menurut Kabata (1985), bahwa Monogenea umumnya ektoparasit dan jarang bersifat endoparasit. Monogenea salah satu parasit yang sebagian besar menyerang bagian luar tubuh ikan (ektoparasit) jarang menyerang bagian dalam tubuh ikan (endoparasit) biasanya menyerang kulit dan insang. Menurut Noga (1996), monogenea merupakan parasit yang umum ditemukan di insang dan kulit ikan air tawar maupun laut.

Menurut Prayitno, (1998), parasit monogenea menyebabkan rusaknya insang ditambah dengan produksi lendir yang berlebihan ini akan mengganggu pertukaran gas oksigen. Akibatnya sel-sel mati dan tidak berfungsi sehingga ikan akan mati karena tidak bernafas dengan baik. Ciri ikan yang terserang monogenea adalah produksi lendir pada bagian epidermis akan meningkat, kulit terlihat lebih pucat dari normalnya, frekuensi pernapasan terus meningkat karena insang tidak dapat berfungsi secara sempurna, kehilangan berat badan (kurus) melompat-lompat ke permukaan air dan terjadi kerusakan berat pada insang.


(26)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai Juni 2011 di Laboratorium Parasitologi milik Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Adapun alat yang dipakai adalah akuarium (60x 40x 40) cm3, aerator/ filter air, refraktometer, pH meter, termometer, disecting set, scalpel, objek glass, cover glass, sarung tangan, masker, kamera digital, serokan ikan tanggok, pipet tetes dan mikroskop Olympus CCTV stereo.

3.2.2 Bahan

Adapun bahan yang dipakai adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebanyak 240 ekor dengan ukuran panjang ± 10 cm, alkohol 70 %, tissue, kapas, akuades dan reagen NaCl fisiologis.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok, suatu objek dengan tujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis dan akurat mengenai fakta maupun sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Suryabrata, 2003).


(27)

3.3.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan di Keramba Jaring Apung wilayah Pesisir Timur, Belawan sebanyak 240 ekor benih kerapu macan dengan ukuran ±10 cm secara acak. Sebanyak 10 ekor digunakan untuk masing-masing perlakuan salinitasnya, dalam 4 ulangan yang dilakukan setiap 2 minggu sekali. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik diberikan oksigen lalu dibawa ke Laboratorium Parasitologi Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan. Kemudian ditampung dalam akuarium berukuran (60x40x40) cm3 sebanyak 24 buah. Sebelum digunakan akuarium di desinfeksi dengan KMnO4 5 ppm lalu dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Setelah wadah

disiapkan benih kerapu macan diaklimatisasi untuk penyesuaian salinitas sesuai perlakuan. Selama proses aklimatisasi kondisi kesehatan ikan dievaluasi.

3.3.2 Pemeriksaan Ektoparasit

Pemeriksaan ektoparasit ini bertujuan mencari dan menentukan ektoparasit pada bagian tubuh eksternal ikan kerapu macan yaitu sirip, lendir, kulit dan insang yang menimbulkan gangguan pada kesehatan ikan kerapu macan. Metode yang digunakan sesuai metode Kabata (1985) dan Purnowati et al., (2002) yang dimodifikasi yaitu metode kerokan kulit (double layer slide glass method) dan metode mount insang. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10x100. Identifikasi parasit dilakukan dengan berdasarkan Kabata (1985) dan Dana et al., (1984).

3.3.2.1 Metode Kerokan Kulit (Double Layer Slide Glass Method)

Bagian kulit dari kepala sampai ekor dikerok dengan menggunakan scalpel yang bersih, sehingga diperoleh cairan mucus (lendir), sel epitel serta parasit pada kulit (kerokan kulit dilakukan dari sisi lateral tubuh, sirip belakang dan pangkal sirip). Kemudian kerokan diusapkan pada objek glass dan ditetesi dengan NaCl fisiologis atau akuades sebanyak 2-3 tetes di bagian permukaan usapan dengan menggunakan pipet tetes hingga merata, kemudian ditutup dengan cover glass. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop.


(28)

3.3.2.2 Metode Mount Insang

Sebagian insang dari ikan kerapu macan diambil dengan mengggunakan forcep dan gunting, kemudian kartilago filament dipotong dengan scalpel dan ditempatkan di objek glass lalu ditutup dengan cover glass agar filament insang tidak bergerak. Selanjutnya, teteskan NaCl fisiologis atau akuades sebanyak 2-3 tetes di bawah usapan sampai merata dengan menggunakan pipet tetes. Pengamatan di lakukan di bawah mikroskop.

3.4 Gejala Klinis

Pengamatan gejala abnormal ikan kerapu macan setelah terserang ektoparasit dievaluasi setiap 2 minggu sekali, selama dua bulan. Berdasarkan gejala klinis khas ektoparasit pada setiap perlakuan secara visual dicatat di tabel pengamatan. Ikan abnormal yang menunjukkan gejala klinis khas ektoparasit berupa adanya produksi lendir yang berlebihan, terjadinya luka, dan perubahan warna pada kulit ikan yang berubah menjadi lebih pucat.

3.5 Pengukuran Nilai Prevalensi

Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini meliputi jenis ektoparasit yang menyerang ikan kerapu macan dan tingkat infeksinya. Menurut Saleh (1996), prevalensi pada ikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3.6 Analisis Data

Data yang didapat dari setiap pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data dilihat perbandingannya dengan menggunakan Uji Chi Square (non parametrik)

Jumlah ikan yang terserang parasit

X 100 % Prevalensi =


(29)

untuk pengujian hipotesis melalui adanya perbandingan antara frekuensi observasi yang benar-benar terjadi / aktual dengan frekuensi harapan/ekspektasi. Adapun pada prevalensi ektoparasit berdasarkan kadar salinitas yang dikaitkan dengan frekuensi ekspektasi dengan nilai/perbandingan dalam Ho. Derajat bebas (Db) = k-1. Ho (P<0,05) menyatakan nilai setimbang, pernyataan diterima. Sedangkan H1 (P>0,05)


(30)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi dan Deskripsi Jenis Ektoparasit

Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap ikan kerapu macan yang diteliti, diketahui bahwa jenis parasit yang sering menginfeksi insang ikan tersebut adalah Diplectanum sp. yang merupakan parasit monogenea, Oodonium sp. yang termasuk ke dalam parasit protozoa filum Sarcomastigophora, dan jenis parasit yang menyerang permukaan tubuh yaitu Trichodina sp. dari famili Trichodinidae, dan Benedenia sp. dari famili Capsylidae berdasarkan buku identifikasi Kabata (1985) dan Dana et al., (1984).

4.1.1 Jenis Ektoparasit Insang

Pengamatan mikroskopik menunjukkan ektoparasit lain yang menyerang kerapu macan dengan ciri-ciri memiliki alat penempel dengan bentuk tubuh seperti cacing monogenea dan biasanya menyerang bagian insang. Gejala klinis yang diperoleh selama penelitian berupa kerusakan pada bagian insang akibat ditumpangi oleh parasit tersebut. Menurut Rakovac et al, (2002) parasit yang memiliki alat pengait yang melebar (untuk mengaitkan diri pada inang) yang disebut anchor dan dilengkapi dengan organ penempel tambahan yang dinamakan lamelle atau squamodisc merupakan Diplectanum sp. (Gambar 3). Agen infeksi dan kondisi patologis antara ikan budidaya dan ikan alam mempunyai insidensi berbeda. Diplectanum sp. adalah parasit monogenea yang menyebabkan reaksi proliferatif sel-sel epitel insang yang terkena infeksi.


(31)

Gambar 3. Diplectanum sp. (10x40)

Parasit monogenea termasuk Diplectanum sp. mempunyai siklus hidup yang langsung, sederhana, tidak melibatkan inang perantara dan hanya melibatkan satu inang saja sehingga bila kondisi perkembangannya baik, maka parasit ini akan berkembang lebih cepat tanpa memerlukan inang perantara (Anshary et al., 2001). Siklus hidup parasit ini dimulai dari telur parasit yang menetas dalam waktu 5-8 hari yang berkembang menjadi parasit muda (Oncomiracidia) yang dilengkapi dengan cilia berfungsi sebagai alat gerak untuk menemukan inang baru, di inang biasanya tumbuh dan berkembang di bagian insang (Koesharyani, 2001).

Jenis ektoparasit lainnya yang menyerang kerapu macan mempunyai bentuk bulat dan tidak memiliki flagella. Gejala klinis yang menunjukkan bahwa parasit ini menyebabkan luka pada bagian tubuh dari ikan kerapu macan. Menurut Kabata (1985) parasit yang dapat menyebabkan kerusakan pada kulit inang-inangnya adalah rizoid Oodonium sp. (Gambar 4). Penyakit ini lebih dikenal dengan nama velvet yang merupakan ektoparasit yang menginfeksi kulit dan insang. Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini ikan mengalami anoreksia dan terjadi pendarahan pada insang. Gejala ikan yang terinfeksi Oodonium dengan kondisi yang sudah parah pada kulitnya akan terlihat lapisan seperti beludru.


(32)

Gambar 4. A. Oodonium sp. (10x10); B. Permukaan tubuh yang luka akibat terinfeksi Oodonium sp.

Dana et al., (1994) mengatakan bahwa Oodonium sp. termasuk ke dalam parasit protozoa, filum Sarcomastigophora, subfilum Mastigophora, famili Blantoniidae, genus Oodinium dan spesies Oodinioum sp. Adapun filum Sarcomastigophora ini dibedakan atas tiga kelompok subfilum yakni Mastigophora, Sarcodina dan Opalinata. Dimana stadia parasit atau disebut trofont berbentuk bulat. Ukurannya terggantung pada jenis dan stadia siklus hidupnya berukuran lebar 15-70 μm dan mencapai panjang 150-670 μm. Trofont tidak berflagella sehingga tidak dapat berenang bebas. Trofont biasanya diseliputi oleh suatu membran tipis transparan yang memperlihatkan struktur sitoplasmik, terdapat bentuk seperti akar (rizoid) yang digunakan untuk melekatkan diri pada substrat.

4.1.2 Jenis Ektoparasit Kulit

Dari pengamatan ditemukan ektoparasit berbentuk seperti lonceng dan memiliki cilia pada sisi tubuhnya. Cilia yang digunakan sebagai alat gerak. Pada saat parasit ini bergerak parasit ini akan melebarkan dan memendekkan tubuhnya. Menurut Hidayaturrohman (1990), bahwa parasit yang berbentuk seperti lonceng terbalik ini merupakan Trichodina sp.(Gambar 5). Sisi dorsalnya cembung, dapat dikontraksikan serta memiliki dua mahkota bercilia. Sisi bagian ventral sedikit cekung dan berfungsi sebagai alat penghisap. Mulut terdapat di tengah alat penghisapnya dan dikelilingi oleh cincin yang menempel padanya, terdiri dari 20-30 tanduk-tanduk kecil. Bila parasit ini memanjangkan atau memendekkan tubuhnya, mulutnya akan melebar atau menyempit. Parasit ini tidak tahan hidup lama tanpa adanya inang.

B A


(33)

Gambar 5. Trichodina sp. (10x10)

Menurut Irianto, (2005) Trichodina sp. merupakan jenis Protozoa dari kelompok Ciliata yang memiliki bulu getar, memiliki bentuk badan seperti cawan, berdiameter 5μm, dengan bulu getar terangkai pada kedua sisi sel. Trichodina sp. merupakan parasit yang mudah memisahkan diri menjadi dua bagian yang lebih kecil dan kemudian masing-masing bagian akan kembali memperbanyak diri. Menurut Kabata (1985), Trichodina sp. termasuk dalam famili Trichodinidae, sub ordo Mobilina, ordo Petrichida dan kelas Ciliophora.

Secara visual selama penelitian jenis ektoparasit ini menyerang ikan kerapu macan dengan menampakkan gejala klinis seperti adanya warna pada permukaan tubuh yang memucat jika dibandingkan dengan ikan yang normal (Gambar 6) dan gejala lainnya seperti adanya bagian tubuh ikan yang rusak atau mengalami luka akibat sering menggosok-gosokkan tubuh pada permukaan akuarium. Dari pemeriksaansecara mikroskopik Trichodina sp. banyak ditemukan pada bagian kulit serta insangdari ikan kerapu macan yang diserang.

Gambar 6. A. Infeksi Trichodina sp. warna tubuh ikan menjadi pucat, B. Warna tubuh ikan kerapu macan normal


(34)

Menurut Afrianto & Liviawaty (1992), Trichodina sp. menyebabkan penyakit gatal (Trichodinasis) pada ikan dan pada bagian tubuh ikan yang diserangnya terutama kulit, sirip dan insang. Kabata (1985), menyatakan bahwa ikan yang terkena infeksi Trichodina sp. menyebabkan sirip ikan menjadi rusak, demikian pula pada insangnya. Bila sudah demikian, kehadiran bakteri dan jamur sebagai agen penyakit sekunder sangat besar kemungkinan menyerang kulit dan menyerang ikan dalam skala pembenihan.

Klinger & Floyd (1998) mengatakan bahwa Trichodina sp. merupakan salah satu parasit yang sering menyerang ikan budidaya, terutama bagian kulit dan insang. Infeksi dalam jumlah yang sedikit tidak akan mengakibatkan kerugian pada budidaya ikan. Namun, jika ikan mengalami stress atau kualitas air menurun, maka parasit ini akan berkembang biak dengan cepat dan mengakibatkan kerugian yang besar. Lebih lanjut dinyatakan bahwa infeksi dalam jumlah yang besar akan mengakibatkan ikan tampak pucat, nafsu makan turun dan sensitif terhadap infeksi bakteri.

Dari hasil pengamatan secara mikroskopik ditemukan jenis ektoparasit lainnya yang menyerang kerapu macan dengan bentuk bentuk pipih seperti cacing yang memiliki alat pengait pada bagian posterior tubuhnya dengan gejala infeksi pada ikan kerapu macan yang terserang seperti pernafasan ikan meningkat dan produksi lendir yang berlebihan pada permukaan tubuh inang yaitu Benedenia yang banyak menyerang bagian insang dan permukaan tubuh ikan. Ciri-cirinya memiliki panjang 1,4-2,7 mm, bentuk pipih agak oval, bagian anterior terdapat sepasang alat penempel, sedangkan pada bagian posterior terdapat haptor yang dilengkapi dengan sepasang alat pengait (Zafran, 1998) pada Gambar 7.


(35)

Dibandingkan dengan parasit insang, parasit kulit yang ditemukan pada ikan budidaya jenisnya sangat sedikit, dan umumnya jenis yang banyak ditemukan adalah Bendenia sp. yang merupakan skin monogenetic trematodes atau disebut juga parasit kulit, karena banyak ditemukan pada lendir tubuh ikan atau bagian kulit tubuh ikan. Menurut Kabata, (1985) bahwa ektoparasit Benedenia termasuk ke dalam ordo Dactylogridae, famili Capsylidae, genus Benedenia dan spesies Benedenia sp. Menurut Gusrina (2008), bahwa Benedenia sp. sering menyerang ikan kerapu macan terutama di bagian kulit dan insang dan menyerang kulit bahkan beberapa ikan yang terserang parasit ini menunjukkan gejala klinis abnormal pada mata yaitu terjadi kebutaan. Insang merupakan organ penting yang sangat dibutuhkan oleh organisme perairan sebab insang merupakan organ primer untuk pertukaran gas-gas juga berperan dalam proses osmoregulasi.

4.2Prevalensi ektoparasit terhadap salinitas

Dari pengamatan diperoleh bahwa terjadi prevalensi ektoparasit terhadap salinitas pada parasit Trichodina (Tabel 1) Oodonium (Tabel 2) Diplectanum (Tabel 3) dan Benedenia (Tabel 4).

Tabel 1. Prevalensi parasit Trichodina sp.

Salinitas (ppt)

oi Ei (oi-ei) (oi-ei)2 (oi-ei)2/ei

20 0.125 0.03 0.095 9.02x10-3 0.30

25 0.20 0.03 0.17 0.028 0.96

30 0.275 0.03 0.245 0.06 2

35 0.30 0.03 0.27 0.073 2.43

40 0.375 0.03 0.345 0.12 3.96

45 0.40 0.03 0.37 0.137 4.56

Tabel 2. Prevalensi parasit Odonium sp.

Salinitas (ppt)

oi Ei (oi-ei) (oi-ei)2 (oi-ei)2/ei

20 0.125 0.02 0.10 0.01 0.43

25 0.125 0.02 0.10 0.01 0.43

30 0.2 0.02 0.17 0.03 1.5

35 0.25 0.02 0.23 0.10 2.08

40 0.35 0.02 0.32 0.10 4.42


(36)

Tabel 3. Prevalensi parasit Diplectanum

Salinitas (ppt)

oi Ei (oi-ei) (oi-ei)2 (oi-ei)2/ei

20 0.125 0.02 0.105 0.01 0.5

25 0.175 0.02 0.155 0.02 1.2

30 0.2 0.02 0.18 0.03 1.5

35 0.25 0.02 0.22 0.053 2.65

40 0.3 0.02 0.28 0.078 3.92

45 0.3 0.02 0.28 0.078 3.92

Tabel 4. Prevalensi parasit Benedenia

Salinitas (ppt)

oi Ei (oi-ei) (oi-ei)2 (oi-ei)2/ei

20 0.15 0.02 0.126 0.016 0.66

25 0.175 0.02 0.151 0.022 0.92

30 0.2 0.02 0.176 0.030 1.25

35 0.275 0.02 0.251 0.063 2.625

40 0.275 0.02 0.251 0.063 2.625

45 0.35 0.02 0.326 0.106 4.41

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa adanya perbedaan nilai antara masing-masing parasit. Pada Trichodina nilai prevalensi tertinggi pada salinitas 45 ppt yaitu sebesar 4,56 dan terendah pada salinitas 20 ppt yaitu 0,3; sedangkan pada Oodonium nilai prevalensi terendah pada salinitas 20-25 ppt yaitu 0,43 dan tertinggi pada salinitas 45 ppt yaitu 5,875. Diplectanum memiliki nilai prevalensi terendah pada salinitas 20 ppt yaitu 0,5 dan tertinggi pada salinitas 40-45 ppt sama yaitu 3,92. Hal ini juga terjadi pada Benedenia yang memiliki nilai prevalensi terendah pada salinitas 20 ppt yaitu 0,66 dan tertinggi pada salinitas 45 ppt yaitu 4,41.

Hasil uji chi square menunjukkan perbedaan prevalensi ektoparasit pada tingkat salinitas berbeda (p<0,05). Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada kehidupan organisme akuatik. Menurut Buchmann (1988 dalam Bunga, 2008) bahwa parasit mempunyai tingkat infeksi yang berbeda berdasarkan umur, panjang dan berat ikan. Dari pengamatan selama penelitian diperoleh 235 ekor kerapu macan terinfeksi ektoparasit, sedangkan 5 ekor dari benih kerapu macan tidak ditemukan parasitnya. Namun ditemukan kista yang belum dapat diidentifikasi yang dapat dijumpai pada salinitas 20 ppt di minggu awal pengamatan penelitian. Berdasarkan pengamatan secara visual, pada salinitas 20-25 ppt diperoleh


(37)

jumlah ikan yang terinfeksi sedikit dan pada salinitas 40-45 ppt terdapat tingkat infeki ektoparasit yang tinggi dari setiap minggunya. Keseimbangan air pada ikan tergantung pada kadar garam air tersebut. Ikan di laut seringkali menghadapi masalah yang berlawanan dengan menahan air tubuh mereka dengan adanya air laut yang tingi kadar garamnya. Semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi. Karena itu, sangat penting dalam mengelola kualitas air, terutama salinitas (Fujaya, 2004). Djokosetyanto (2006), mengatakan bahwa salinitas merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup dan metabolisme ikan. Salah satu aspek fisiologis ikan yang dipengaruhi salinitas adalah tekanan dan konsentrasi osmotik serta konsentrasi ion tubuh.

Dari 240 ekor sampel kerapu macan yang diperiksa yaitu 60 ekor (10 ekor setiap 2 minggu) dari masing-masing salinitas ditemukan 4 (empat) spesies ektoparasit yaitu pada insang 2 spesies yaitu Diplectanum sp., dan Oodonium sp., sedangkan di kulit (lendir) ditemukan 2 spesies yaitu Trichodina sp. dan Benedenia sp. Hal ini sesuai dengan observasi yang pernah dilakukan olehKoesharyani et al., (2001) bahwa Trichodina sp. menyerang kulit kerapu dengan tingkat patogenitas tinggi, sedangkan Diplectanum sp. menyerang insang kerapu dengan tingkat patogenitas sedang, akan tetapi Benedenia sp. menyerang kulit dengan tingkat patogenitas rendah dan frekuensi sedang. Dengan nilai parasit Trichodina sp. prevalensi parasit sebesar 14,21 %. Diplectanum sp. 12,69 % dan Benedenia sp.dengan prevalensi12,49 %.

Tingkat infeksi ikan kerapu macan yang terserang penyakit parasit semakin meningkat dari setiap minggunya (Gambar 8.) Pada salinitas 40-45 ppt prevalensi ikan yang terinfeksi parasit jauh lebih banyak di minggu ke-6 dibandingkan pada minggu ke-0. Hal ini dapat disebabkan karena siklus hidup dari parasit itu sendiri yang menyebar masuk ke dalam tubuh ikan.


(38)

(a.) (b.)

(c.) (d.)


(39)

Hal ini sesuai dengan pernyataan Akbar & Sudaryanto (2001), bahwa salinitas yang terlalu rendah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat infeksi ektoparasit pada tubuh ikan. Menurut Bhagawati et al., (1991) bahwa jenis parasit tersebut diduga terdapat dalam tubuh ikan kerapu macan karena menyebar secara horizontal melalui telur, kista atau spora dalam air yang berkembang dalam kualitas air yang ekstrim. Selain melalui air, parasit dapat masuk melalui carrier (pembawa) dan vector (perantara) yang menyatakan bahwa benih ektoparasit dapat masuk ke dalam perairan kolam karena terbawa oleh air, tumbuhan dan dapat pula karena adanya benda-benda atau binatang yang masuk ke dalam kolam, juga terbawa oleh binatang renik.

Jenis ektoparasit dari monogenea umumnya menyerang dalam jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan ektoparasit lainnya. Noga (1996) menyebutkan infestasi monogenea biasanya merupakan indikator bahwa sanitasi (kebersihan) dan pengawasan kualitas air buruk seperti tingginya ammonia atau nitrit dan rendahnya oksigen terlarut.

4.3 Kualitas Air

Air merupakan media kehidupan ikan. Selain jumlah, kualitasnya juga harus memenuhi syarat yang diperlukan agar budidaya ikan yang dilakukan berhasil. Pengelolaan kualitas air merupakan tindakan preventif dalam menanggulangi serangan penyakit parasit. Adapun parameter kualitas air meliputi salinitas, pH dan suhu. Parameter kualitas air selama penelitian disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 5. Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian

Parameter Hasil

Ph 7,5-8,0

Suhu (ºC) 28-31 ºC

Menurut Wardoyo (1981), kualitas air merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam mengelola sumberdaya perikanan. Diantaranya suhu merupakan unsur kualitas air yang perlu diperhatikan karena mempunyai pengaruh terhadap


(40)

pertumbuhan organisme. Hasil pengamatan terhadap derajat keasaman (pH air tercatat 7,5-8,0) masih dalam batas yang layak, terhadap kisaran tersebut masih pada batas yang cukup untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Kisaran pH air yang ideal bagi perikanan 6,5-8,5 (Wardoyo 1981).

Pengukuran suhu air selama penelitian ini adalah 28 – 31 ºC, kondisi suhu ini masih memungkinkan ikan hidup optimal. Kisaran suhu yang baik bagi kepentingan budidaya ikan adalah 25-32 ºC (Daelami, 2001). Menurut Nurhudah (2006) perubahan suhu air berlangsung secara lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini dapat menghindarkan terjadinya perubahan suhu yang mendadak dapat menyebabkan organisme perairan stress. Kenaikan maupun penurunan suhu yang mendadak akan mengakibatkan ikan mengalami stress dengan gejala ikan berenang melonjak, mengapung di permukaan dan penurunan nafsu makan, daya tahan menurun sehingga pada kondisi ini ikan akan rentan terhadap serangan parasit dan penyakit (Aryati, 2003).


(41)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Jumlah parasit dengan prevalensi tertinggi yaitu Oodonium sp. dengan prevalensi 14,48%, Trichodina sp. yang berasal dari kelas Ciliata sebesar 14,21%, Diplectanum sp. 12,69%, dan prevalensi terendah pada parasit Benedenia sp. 12,49%.

2. Salinitas mempengaruhi prevalensi ektoparasit.

3. Salinitas 30-35 ppt menunjukkan prevalensi ektoparasit yang paling kecil.

5.2 Saran

Diharapkan adanya penelitian lanjutan tentang kajian parameter kualitas air yang lebih berkaitan dengan hubungannya terhadap prevalensi ektoparasit pada benih kerapu macan.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M. 2007. Pembesaran Kerapu Macan Di Karamba Jaring Apung. Batam: Balai Budidaya Laut Batam.

Adji, K. 2008. Evaluasi Kontaminasi Bakteri Patogen pada Ikan Segar di Paerairan Teluk Semarang. Tesis. Semarang. Universitas Diponegoro.

Afrianto, E. & Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 11, 22-77.

Akbar, S & Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Jakarta: Penebar Swadaya.

Alifuddin, M. 2004. Diagnostik Pewarnaan Sediaan Parasit. Dalam: Pelatihan Dasar Karantina Ikan Tingkat Ahli dan Terampil. Pusat Karantina Ikan. Bogor: hlm. 15.

Andrews, C. Adrian, E & Neville, C. 2003. Manual of Fish Health. A Firefly Publisher. Canada. Fisrt Printing. hlm. 207.

Anshary, H., & Ogawa. K. 2001. Microhabitats and Made of Attachment of Neoheterobothrium hirame, a Monogenean Parasite of Japanese Flounder. Fish Pathology. 36 (1): 21-26.

Aryati, Y. 2003. Prevalensi dan Derajat Infeksi Ichtyophthirius sp. pada Benih Gurami (Osphronemus gouramy L.) di Kabupaten Sleman. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. hlm. 30.

Bhagawati, D., Petrus, H.T., & Ramawati,S. 1991. Mengenal Ektoparasit Penyebab Penyakit pada Kolam Rakyat di Desa Beji Purwokwerto. Karya Ilmiah. Fakultas Biologi UNSOED. Purwokerto.

Boyd, C. E. 1979. Water Quality in Warm Water Fiah Ponds. Department of Fisheries and Allied Aquacultures. Agricultural Experiment Station. Auburn University Alabama. USA.

Bunga, M. 2008. Prevalensi dan Intensitas Serangan Parasit Diplectanum sp. pada Insang Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus Forsskal) di Keramba Jaring Apung. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. 18 (3): 204-210.

Burgess, W.E., Axelrod H.R. & Raymond E.H. 1990. Marine Aquarium Fishes. 3rd edition. USA: Publications Inc.


(43)

Chua, T. E. & Teng, S. K. 1978. Effects of Feeding Frequency on The growth of Young Estuary Grouper, Epinephelus tauvina Forskal, Culture in Floating Net Cage. Aquaculture.14: 31 – 47.

Dana, D. Sarono, A,. Alifudin, M., Sukenda & Widodo. 1994. Petunjuk Teknis Determinasi Parasit Ikan. Buku 3. Kerjasama Pusat Karantina Pertanian-Fakultas Perikanan. Bogor. hlm. 24-25.

Daelami, D.A.S. 2001. Agar Ikan Sehat. Jakarta. Penebar Swadaya. hlm. 2, 11-79.

Dawes, C.J. 1993. Marine Botany. A Wiley Interscience Publication. New York: John Wiley and Sons.

Dennis, K. G., Dong, J. L., Gun, W. B., Hee, J. Y., Nam, S. S., Hwa, Y. Y., Cheol, Y. H., Jun, H. P., & Se, C. P. 2006. Detection of Betanodaviruses in Apparently Healthy Aaquarium Fishes and Invertebrates. Zoonotic Disease Priority Research Institute, and College of Veterinary Medicine. Korea: Seoul National University. hlm.151-742.

Djamali, A. Sutomo, A., Fatuchri, M & Mubarak, H. 1998. Sumber Daya Benih Komersial. Dalam Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stock Sumber Daya Ikan Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm. 169-183.

Djokosetyanto, D. 2006. Pengelolaan Parameter Fisika dan Kimia Air. Makalah Perawatan dan Pemeliharaan Ikan. Pusat Karantina Ikan. Jakarta.

Feliatra. 2002. Implementasi dan Pengembangan Bioteknologi Kelautan dalam Upaya Optimalisasi Pemanfaatan Laut Indonesia. Makalah dalam Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru. Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Makassar: Universitas Hasanuddin. hlm. 88-101.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan. Jilid 3. Diakses Dari

Hamzah, M. S. 2003. Studi Variasi Musiman Beberapa Parameter Oseanografi terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Kerang Mutiara (Pinctada maxima) di Perairan Teluk Kombal, Lombok Barat. Seminar Nasional ISOI, Jakarta. 30 – 31 Juli 2003. hlm. 12.

Heemstra, P.C. & Randall, J.E. 1999. Seranidae; Gruopers and Sea Bass (also Soap Fishes,Anthiines, In The Living Marine Recources of The Western Central Pacific. KE Carpenter and VH Niem (Mugilidae to Carangidae). Fish. Biol.


(44)

Hidayaturrohman. 1990. Penyakit Penting Ikan Budidaya di Indonesia. Bogor: ITB Press. hlm. 19.

Hutabarat. 1984. Pengantar Oseanografi. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit UI-Press. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Telestotei. Yogyakarta: UGM Press.

Jobling, M. 1981. The Influences of Feeding on The Metabolic Rate of Fishes. Fish. Biol. 18: 385-400.

Kabata, Z. 1985. Parasites and Diseases of Fish Cultured in The Tropics. United Kingdom: International Development Reasearch Council. hlm. 135, 163, 317-318.

Klinger, R.E. & Floyd, R.F. 1998. Introduction to Freshwater Fish Paraites. Coorporative Extension Service Instintute of Food and Agricultural Sciences University of Florida. hlm 17.

Koesharyani, I., Mahardika, K., Johnny, F., Zafran, D.R. & Yuasa, K. 2001. Manual for Fish Disease Diagnostic-II. Marine Fish and Crustacean Disease in Indonesia. Gondol. Research Institute for Marine Culture and Japan International Cooperation Agency (JICA). hlm. 57.

Kordi, M. G. H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Kusumah, H. 1976. Penyakit dan Hama Ikan. Departemen Pertanian, Badan Diklat dan Penyuluhan Pertanian. Sekolah Usaha Perikanan Menengah. Bogor.

Langkosono & Wenno, L. F. 2003. Distribusi Ikan Kerapu (Serranidae) dan Kondisi Lingkungan Perairan Kecamatan Tanimbar Utara, Maluku Tenggara. Prosiding Lokakarya Nasional dan Pameran Pengembangan Agribisnis Kerapu II. Jakarta, 8–9 Oktober 2002. “Menggalang Sinergi unrtuk Pengembangan Agribisnis Kerapu”. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian BPPT. Jakarta: hlm. 203-212.

Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Cultured Penaeid Shrimp. World Aquaculture Society, Baton Rouge, Louisiana, USA. hlm. 304.

Lio-Po, G. D., Lavilla, C. R., Cruz-Lacierda, E. R. 2001. Health Management in Aquaculture. Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development Centre. Philipines: Tigbauan Hoilo. hlm. 187.

Manyunar, P., Imanto. D., Susanti & Yokokawa, T. 1991. Pemijahan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Seminar Marine Fish Culture. Jakarta. 16 Januari 1991: 1-10.


(45)

Meadows, P.S & Campbell, J.I. 1998. An Introduction to Marine Science. New York: John Wiley and Sons.

Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Munro, I. S. R. 1967. The fishes of New Guinea, Departement of Agriculture Stock and Fisheries Port Mores. hlm. 651.

Mulia, D.S. 2005. Tingkat Infeksi Ektoparasit Protozoa pada Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Balai Benih Ikan (BBI) Pandak dan Sidabowa, Kabupaten Banyumas. Jurnal Sains Akuatik. 10 (1): 1-11.

Noble, E.R & Noble G.A. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Edisi Kelima. Yogyakarta: UGM Press.

Noga, E.J. 1996. Fish Disease. Diagnosis and Treatment. Department of Companion Animal & Special Species Medicine. North Caroline State University. hlm. 23-25.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Nurhudah, M. 2006. Pengelolaan Kualitas Air. Makalah Pendidikan dan Pelatihan Dasar Pengendali Hama Penyakit Ikan Tingkat Ahli. Pusat Karantina Ikan. Jakarta.

Prayitno, S. B. 1998. Prinsip-Prinsip Diagnosa Penyakit Ikan. Semarang: Penerbit UNDIP. hlm. 19.

Rakovac, R.C, Perovic, I.S, Popovic, N.T. Hacmanjek, M. Simpraga, B. & Teskeredzik, E. 2002. Health Status of Wild and Cultured Sea Bass in The Northern Adriatic Sea. Center for Marine and Environmental Research. LIRA, Bijenicka 54, 10000. Zagreb, Croatia.

Reantoso, M.G.B, Shomkiat, K & Chinabut, S. 2004. Review of Grouper Diseases and Health Management. Regional Workshop on Sea Farming Grouper Culture. Departement of Fisheries Compound. Thailand.

Riani, E. 2004. Manajemen Kualitas Air. Dalam: Pelatihan Dasar Karantina Ikan Tingkat Ahli dan Terampil. Bogor: Pusat Karantina Ikan. hlm. 12.

Rokhmani. 2002. Beberapa Penyakit Parasiter pada Budidaya Gurami (Osphronemus gouramy Lac.) di Kabupaten Banyumas. Sains Akuatik. 5 (1): 21-26.

Saleh, S. 1996. Statistik Non Parametrik. Edisi kedua. BPFE. Yogyakarta. hlm. 39-58. Sindermann, C. J. 1990. Disease of Marine Fish in Principal Diseases of Marine Fish and Shelfish. Vol. 1. Second Edition. Academic Press, Inc. San Diego. California.


(46)

Sommerville, C. 1998. Parasites of Farmed Fish. In: K.D. Black & A.D. Pickering (eds). Biology of farmed fish. Sheffield Academic Press. hlm. 146-179.

Soni, A. F. M. 2002. Penggunaan Beberapa Shelter pada Pendederan Ikan Kerapu Macan di Tambak. Dalam: Budidaya Air Payau. Departemen Kelautan dan Perikanan, Dirjen Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. hlm. 9.

Subyakto, S & Cahyaningsih. S 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga. Jakarta: Agromedia Pustaka. hlm. 65.

Sudjiharno. 2003. Pengembangan Usaha Budidaya Kerapu di Keramba Jaring Apung di Wilayah Perairan Lampung. Buletin Budidaya Laut No. 16. Balai Budidaya Laut. hlm. 53-60.

Sunaryat. H. & Minjoyo, 2004. Perbedaan Frekuensi Pemberian Pakan pada Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Keramba Jaring Apung. Budidaya Laut.

17: 27-33.

Suprakto, B. & Fahlivi, M. R. 2007. Studi Tentang Kesesuaian Lokasi Budidaya Ikan di KJA di perairan Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep. Pembangunan Kelautan Berbasis IPTEK. Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. Prosiding SeminarKelautan III. 24: 58 – 65.

Supriyadi, H. 2007. Pemeriksaan dan Identifikasi Hama dan Penyakit Ikan / Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Dalam: Pelatihan Dasar Karantina Ikan Tingkat Ahli dan Terampil. Pusat Karantina Ikan. Jakarta. hlm 6.

Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Universitas Gadjah Mada. Rajawali Pers. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada.

Sutisna, H.D & Sutarmanto, R. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Taukhid. 2006. Manajemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Laboratorium Riset Kesehatan ikan. Bogor.

Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training Analisa Dampak Lingkungan Hasil Kerjasama UNDP-PS IPB. Bogor. hlm. 41.

Wetzel, R.G. 1983. Limnology. 2nd Edition. Toronto: Saunders College Publishing. Zafran, D. Roza. 1998. Manual for Fish Diseases Diagnosis. Marine Fish and

Crustacean Diseases in Indonesia. Gondol Research Institute fo Fisheries. Gondol. Bali.


(47)

Lampiran A. Kaidah pengambilan sampel ikan

Amos (1985) dalam Lightner (1996)

Populasi ikan

Jumlah Sampel ikan yang diperlukan pada Asumsi Prevalensi

2% 5% 10% 20% 30% 40% 50%

50 50 35 20 10 7 5 2

100 75 45 23 11 9 7 6

250 110 50 25 10 9 8 7

500 130 55 26 10 9 8 7

1000 140 55 27 10 9 9 8

1500 140 55 27 10 9 9 8

2000 145 60 27 10 9 9 8

4000 145 60 27 10 9 9 8

10000 145 60 27 10 9 9 8


(48)

Lampiran B. Alur kerja kerokan kulit (Double Layer Slide Glass Method) dan mount insang (Kabata, 1985)

Alur kerja kerokan kulit (Double Layer Slide Glass Method)

v Bagian kulit dari kepala sampai ekor

Diperoleh cairan lendir (mucus)

Hasil

Diusapkan pada objek glass

Ditetesi dengan NaCl atau akuadest sebanyak 2-3 tetes Ditutup dengan cover glass

Dilakukan pengamatan di bawah mikroskop Dikerok dengan scalpel yang bersih


(49)

Alur kerja mount insang

Sebagian dari insang

Hasil

Hasil

Diambil dengan menggunakan forcep atau gunting Dipotong kartilago filament dengan scalpel

Ditempatkan di atas objek glass

Ditutup dengan cover glass agar filament insang tidak bergerak Ditetesi dengan NaCl atau akuadest sebanyak 2-3 tetes

di bawah usapan sampai merata


(50)

Lampiran C. Data pengamatan mingguan ektoparasit

b. Parasit Diplectanum Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 1 2 2 5

25 ppt 1 2 2 2 7

30 ppt 1 2 2 3 8

35 ppt 2 2 3 3 10

40 ppt 2 3 3 4 12

45 ppt 2 3 3 4 12

Total 8 13 15 18 54

c. Parasit Trichodina Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 1 2 2 5

25 ppt 1 2 2 3 8

30 ppt 2 3 3 3 11

35 ppt 2 3 3 4 12

40 ppt 3 4 4 4 15

45 ppt 3 4 4 5 16

Total 11 17 18 21 67

a. Parasit Oodonium Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 1 2 2 5

25 ppt 0 1 2 2 5

30 ppt 2 2 2 2 8

35 ppt 2 2 3 3 10

40 ppt 3 3 4 4 14

45 ppt 3 4 4 5 16


(51)

d. Parasit Benedenia Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 2 2 2 6

25 ppt 1 2 2 2 7

30 ppt 1 2 2 3 8

35 ppt 2 3 3 3 11

40 ppt 2 3 3 3 11

45 ppt 3 3 4 4 14

Total 9 15 15 17 56

Data Ikan Terinfeksi

Salinitas Minggu 0 (M-0) Minggu 2 (M-1) Minggu 4 (M-2) Minggu 6 (M-3) Total

20 ppt 0 5 8 8 21

25 ppt 3 7 8 9 27

30 ppt 6 9 9 11 35

35 ppt 8 10 12 13 43

40 ppt 9 13 14 15 51

45 ppt 11 14 15 18 58


(52)

Lampiran D. Tabel χ2 (Chi Square)

Derajat Kebebasan

Kemungkinan

0,99 0,90 0,70 0,50 0,30 0,10 0,05 0,01 0,001 1 0,002 0,016 0,15 0,46 1,07 2,71 3,84 6,64 10,83

2 0,02 0,21 0,71 1,39 2,41 4,61 5,99 9,21 13,82

3 0,12 0,58 1,42 2,37 3,67 6,25 7,82 11,35 16,27

4 0,30 1,06 2,20 3,36 4,88 7,78 9,49 13,28 18,47

5 0,55 1,61 3,00 4,35 6,06 9,24 11,07 15,09 20,52

6 0,87 2,20 3,83 5,35 7,23 10,65 12,59 16,81 22,46

7 1,24 2,83 4,67 6,35 8,38 12,02 14,07 18,48 24,32

8 1,65 3,49 5,53 7,34 9,52 13,36 15,51 10,09 26,13

9 2,09 4,17 6,39 8,34 10,66 14,68 16,92 21,67 27,88

10 2,56 4,87 7,27 9,34 11,78 15,99 18,31 23,21 29,59

15 5,23 8,55 11,72 14,34 17,32 22,31 25,00 30,58 37,70

20 8,26 12,44 16,27 19,34 22,78 28,41 31,41 37,57 45,32

25 11,52 16,47 20,87 24,34 28,17 34,38 37,65 44,31 52,62


(53)

Lampiran E. Dokumentasi penelitian di Laboratorium

Tempat Penelitian Lab. BKI Kelas I Polonia

Pengerokan Lendir Pengamatan Mikroskopik Pengukuran pH


(1)

Lampiran B. Alur kerja kerokan kulit (Double Layer Slide Glass Method) dan mount insang (Kabata, 1985)

Alur kerja kerokan kulit (Double Layer Slide Glass Method) v Bagian kulit dari kepala sampai

ekor

Diperoleh cairan lendir (mucus)

Hasil

Diusapkan pada objek glass

Ditetesi dengan NaCl atau akuadest sebanyak 2-3 tetes Ditutup dengan cover glass

Dilakukan pengamatan di bawah mikroskop Dikerok dengan scalpel yang bersih


(2)

Alur kerja mount insang Sebagian dari

insang

Hasil

Hasil

Diambil dengan menggunakan forcep atau gunting Dipotong kartilago filament dengan scalpel

Ditempatkan di atas objek glass

Ditutup dengan cover glass agar filament insang tidak bergerak Ditetesi dengan NaCl atau akuadest sebanyak 2-3 tetes

di bawah usapan sampai merata


(3)

Lampiran C. Data pengamatan mingguan ektoparasit

b. Parasit Diplectanum Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 1 2 2 5

25 ppt 1 2 2 2 7

30 ppt 1 2 2 3 8

35 ppt 2 2 3 3 10

40 ppt 2 3 3 4 12

45 ppt 2 3 3 4 12

Total 8 13 15 18 54

c. Parasit Trichodina Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 1 2 2 5

25 ppt 1 2 2 3 8

30 ppt 2 3 3 3 11

35 ppt 2 3 3 4 12

40 ppt 3 4 4 4 15

45 ppt 3 4 4 5 16

Total 11 17 18 21 67

a. Parasit Oodonium Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 1 2 2 5

25 ppt 0 1 2 2 5

30 ppt 2 2 2 2 8

35 ppt 2 2 3 3 10

40 ppt 3 3 4 4 14

45 ppt 3 4 4 5 16


(4)

d. Parasit Benedenia Salinitas Minggu 0

(M0) Minggu 2 (M1) Minggu 4 (M2) Minggu 6 (M3) Total

20 ppt 0 2 2 2 6

25 ppt 1 2 2 2 7

30 ppt 1 2 2 3 8

35 ppt 2 3 3 3 11

40 ppt 2 3 3 3 11

45 ppt 3 3 4 4 14

Total 9 15 15 17 56

Data Ikan Terinfeksi

Salinitas Minggu 0 (M-0) Minggu 2 (M-1) Minggu 4 (M-2) Minggu 6 (M-3) Total

20 ppt 0 5 8 8 21

25 ppt 3 7 8 9 27

30 ppt 6 9 9 11 35

35 ppt 8 10 12 13 43

40 ppt 9 13 14 15 51

45 ppt 11 14 15 18 58


(5)

Lampiran D. Tabel χ2 (Chi Square)

Derajat Kebebasan

Kemungkinan

0,99 0,90 0,70 0,50 0,30 0,10 0,05 0,01 0,001 1 0,002 0,016 0,15 0,46 1,07 2,71 3,84 6,64 10,83 2 0,02 0,21 0,71 1,39 2,41 4,61 5,99 9,21 13,82 3 0,12 0,58 1,42 2,37 3,67 6,25 7,82 11,35 16,27 4 0,30 1,06 2,20 3,36 4,88 7,78 9,49 13,28 18,47 5 0,55 1,61 3,00 4,35 6,06 9,24 11,07 15,09 20,52 6 0,87 2,20 3,83 5,35 7,23 10,65 12,59 16,81 22,46 7 1,24 2,83 4,67 6,35 8,38 12,02 14,07 18,48 24,32 8 1,65 3,49 5,53 7,34 9,52 13,36 15,51 10,09 26,13 9 2,09 4,17 6,39 8,34 10,66 14,68 16,92 21,67 27,88 10 2,56 4,87 7,27 9,34 11,78 15,99 18,31 23,21 29,59 15 5,23 8,55 11,72 14,34 17,32 22,31 25,00 30,58 37,70 20 8,26 12,44 16,27 19,34 22,78 28,41 31,41 37,57 45,32 25 11,52 16,47 20,87 24,34 28,17 34,38 37,65 44,31 52,62 30 14,95 20,60 25,51 29,34 33,53 40,26 43,77 50,89 59,70


(6)

Lampiran E. Dokumentasi penelitian di Laboratorium

Tempat Penelitian Lab. BKI Kelas I Polonia