Pengaruh pH Air Terhadap Tingkat Patogenitas Viral Nervous Necrosis Pada Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

(1)

PENGARUH pH AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS

VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

HELMI KRISTINA SIMAMORA

070805019

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PENGARUH pH AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS

VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH

HELMI KRISTINA SIMAMORA

070805019

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH pH AIR TERHADAP TINGKAT

PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS PADA BENIH IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

Kategori : SKRIPSI

Nama : HELMI KRISTINA SIMAMORA

Nomor Induk Mahasiswa : 070805019

Program Studi : SARJANA(S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, September 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dedy Arief Hendriyanto, S. St.Pi, M.Si. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 19780524 200003 1 002 NIP. 19640409 199403 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M. Sc. NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH pH AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan,

Helmi Kristina Simamora 070805019


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas cinta kasih dan berkat penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pengaruh pH Air Terhadap Tingkat Patogenitas Viral Nervous Necrosis Pada Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)” dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di FMIPA USU Medan.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak dan Ibu dosen terkasih: Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Dedy Arief Hendriyanto, S.St.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing II, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku Dosen Penguji serta kepada Dosen Penasehat Akademik, Drs. Arlen H.J., M.Si yang selama ini telah memberikan arahan, bimbingan dan masukkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc, selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Bapak Kiki Nurtjahja, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Roslina Ginting, Ibu Nurhasni Muluk dan Bang Ewin selaku Staf Pengawai Administrasi dan seluruh Dosen Pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Viktor Immanuel selaku Kepala Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan, Bapak Ramon Nasution, Ibu Ir. Barita Sriwanty Aritonang, Bapak Sahala Sianturi, S.Si, Ibu Marlina Dolok Saribu, S.Si, Bapak Drh. Sangkot SN dan Staf Pengawai BKI Polonia Medan atas kepercayaan dan kerjasama yang terbina selama ini.

Ucapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada kedua orang tua, Ayah tercinta A. Simamora dan Ibunda tercinta J. Sihite atas doa, dukungan dan setiap tetesan keringat yang tercurah untuk anak-anaknya. Serta kepada Abang saya Jack Jones Simamora, Kakak terkasih Romauli Simamora dan Adik tersayang David Simamora atas dorongan semangat yang diberikan kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat seperjuangan: Resti Fawzia dan Laura Aprilini. Semoga setiap pengalaman yang kita hadapi bersama menjadi kenangan terindah yang tidak akan terlupakan. Rasa terima kasih penulis juga ucapkan buat adik-adik dari SMKN 1 Kisaran dan SMKN 1 Tanjung Balai atas bantuan yang luar biasa: Nico, Dedy, Sinta, Fitri, Eva, Kessy, dan Dera. Serta buat “Like D Ants” : Natalia, Ibeth, Eva, Else, Hotda, Siti, Anggun, Katrina, Dina, Putri, Yanti, Misfalla, Asril, Nila, Alex, Mirza, Ria, Affan, dan teman stambuk 2007 lainnya, abang dan kakak asuh stambuk 2005, 2006 dan adik asuh 2009: Astrid dan Bertua. Terima kasih penulis ucapkan kepada adik-adik sekolah minggu, seluruh anggota R/N HKBP Parsaoran dan teman-teman dari Ikatan Muda-Mudi Cinta Damai atas doa dan dukungannya selama ini.


(6)

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Tuhan memberkati kita semua.

Medan, September 2011


(7)

PENGARUH pH AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh pH air terhadap tingkat patogenitas viral nervous necrosis pada benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah dilakukan pada bulan Januari sampai April 2011. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pH air terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih kerapu macan. Adapun ikan yang digunakan yaitu benih kerapu macan ukuran ± 10 cm. Penelitian ini diawali dengan uji FID50 yaitu untuk mendapatkan konsentrasi virus VNN yang akan diinjeksikan

pada Uji Utama. Selanjutnya dilakukan uji konfirmatif yang meliputi Uji Hematologi, Uji Histopatologi dan Uji RT-PCR.

Hasil penelitian yang dilakukan memperoleh nilai FID50 sebesar 10-4/0,1 ml

yang diinjeksikan pada benih ikan. Pada Uji Utama diperoleh persentase kematian ikan tertinggi pada perlakuan pH 6,0 sebesar 96,67% dan terendah pada perlakuan pH 8,5 sebesar 63,33%. Dari hasil yang didapat, perlakuan pH 8,5 berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05). Pada Uji Hematologi diperoleh bahwa jumlah leukosit pada masing-masing perlakuan mengalami penurunan dari jumlah leukosit normal sebesar 150.000-300.000 sel/mm 3. Jumlah eritrosit pada setiap perlakuan relatif normal dari jumlah eritrosit normal sebesar 1,3 juta -3 juta sel/mm 3. Nilai hematokrit pada masing-masing perlakuan menurun dari nilai hematokrit normal sebesar 12-14% dan jumlah Hemaglobin diperoleh juga mengalami penurunan dari jumlah hemoglobin normal sebesar 30,8-45,5 g/dl.

Pada uji histopatologi dampak infeksi VNN ditandai dengan adanya penggumpalan atau akumulasi sel-sel radang dan sel-sel glia yang berkelompok secara umum dan terjadinya vaskulitis. Hasil diagnosis PCR diperoleh bahwa terdapat perbedaan tingkat patogenitas yang berbeda pada masing-masing perlakuan.


(8)

Effect of pH Water Levels on the Pathogenicity of Viral Nervous Necrosis in Seed Tiger Grouper (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

A study on effect of pH on pathogenicity of viral nervous necrosis in seed tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been carried out from January to April 2011. The purpose of this study was to investigate the effect of pH on the pathogenicity level of VNN in tiger grouper seed. The fish used was tiger grouper seeds of ± 10 cm. Study was initiated with FID50 test to get the concentration of virus VNN to be

injected in Main Test. Confirmative test included Hematology Test, Histopatology Test and RT-PCR.

The result showed that FID50 value was 10-4/0,1 ml to be injected to the fish.

The highest percentage of morbidity of fish was at pH 6.0 (96.67%) and the lowest occured at pH 8.5 (63.33%). pH 8.5 showed significantly different to the other treatments (p<0.05). The number of leukocytes in each treatment decreased from the normal (150.000-300.000 cells/mm3). The number of erythrocytes of all treatments was normal (1.3-3 million cells/mm3). The hematocrite decreased to 12-14%. The hemoglobin decreased to 30.8-45.5g/dl. The impact of VNN infection characterized by the accumulation of clotting or imflammatory cells, more glial cells revealed and the occurence of vasculitis. PCR results confirmed the different of pathogenicity of each treatment.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

PENGHARGAAN iv

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan Penelitian 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) 4

2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN) 6

2.3 Kualitas air 7

BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 10

3.2 Alat dan Bahan 10

3.3 Prosedur Penelitian 10

3.3.1 Isolat Virus 11

3.3.2 Uji FID50 11

3.3.3 Pengaruh pH Terhadap Patogenitas VNN 12

3.3.4 Pengamatan Gejala Klinis 12

3.3.5 Uji Hematologi 13

3.3.6 Pemeriksaan Histopatologi 15

3.3.7 Uji Biologi Molekuler (RT-PCR) 16

3.3.8 Analisis Data 17

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji FID50 18

4.2 Pengaruh pH air Terhadap Tingkat Patogenitas VNN 19 4.3 Gejala Klinis Akibat Infeksi VNN 21

4.4 Uji Hematologi 22

4.5 Pemeriksaan Histopatologi 23


(10)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 28

5.2 Saran 28


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Nilai FID50 18

Tabel 4.2 Pengaruh pH air terhadap tingkat patogenitas VNN 19


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.3 Gejala klinis infeksi VNN 21

Gambar 4.5 Pemeriksaan histopatologi 25


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A. Pengamatan Harian Pada Masing-masing Perlakuan 32 Lampiran B. Uji Normalitas, Non Parametrik Mann-Whitney 33 Lampiran C. Amplikasi Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction 45

Lampiran D. Pembuatan Isolat Virus 46

Lampiran F. Alur kerja Uji FID50 47

Lampiran G. Pemeriksaan Hematologi 48

Lampiran H. Pemeriksaan Histopatologi 51

Lampiran I. Uji Reverse Trancriptase Polimerase Chain Reaction (RT-PCR) 53

Lampiran J. Dokumentasi penelitian 56


(14)

PENGARUH pH AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh pH air terhadap tingkat patogenitas viral nervous necrosis pada benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah dilakukan pada bulan Januari sampai April 2011. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pH air terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih kerapu macan. Adapun ikan yang digunakan yaitu benih kerapu macan ukuran ± 10 cm. Penelitian ini diawali dengan uji FID50 yaitu untuk mendapatkan konsentrasi virus VNN yang akan diinjeksikan

pada Uji Utama. Selanjutnya dilakukan uji konfirmatif yang meliputi Uji Hematologi, Uji Histopatologi dan Uji RT-PCR.

Hasil penelitian yang dilakukan memperoleh nilai FID50 sebesar 10-4/0,1 ml

yang diinjeksikan pada benih ikan. Pada Uji Utama diperoleh persentase kematian ikan tertinggi pada perlakuan pH 6,0 sebesar 96,67% dan terendah pada perlakuan pH 8,5 sebesar 63,33%. Dari hasil yang didapat, perlakuan pH 8,5 berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05). Pada Uji Hematologi diperoleh bahwa jumlah leukosit pada masing-masing perlakuan mengalami penurunan dari jumlah leukosit normal sebesar 150.000-300.000 sel/mm 3. Jumlah eritrosit pada setiap perlakuan relatif normal dari jumlah eritrosit normal sebesar 1,3 juta -3 juta sel/mm 3. Nilai hematokrit pada masing-masing perlakuan menurun dari nilai hematokrit normal sebesar 12-14% dan jumlah Hemaglobin diperoleh juga mengalami penurunan dari jumlah hemoglobin normal sebesar 30,8-45,5 g/dl.

Pada uji histopatologi dampak infeksi VNN ditandai dengan adanya penggumpalan atau akumulasi sel-sel radang dan sel-sel glia yang berkelompok secara umum dan terjadinya vaskulitis. Hasil diagnosis PCR diperoleh bahwa terdapat perbedaan tingkat patogenitas yang berbeda pada masing-masing perlakuan.


(15)

Effect of pH Water Levels on the Pathogenicity of Viral Nervous Necrosis in Seed Tiger Grouper (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

A study on effect of pH on pathogenicity of viral nervous necrosis in seed tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been carried out from January to April 2011. The purpose of this study was to investigate the effect of pH on the pathogenicity level of VNN in tiger grouper seed. The fish used was tiger grouper seeds of ± 10 cm. Study was initiated with FID50 test to get the concentration of virus VNN to be

injected in Main Test. Confirmative test included Hematology Test, Histopatology Test and RT-PCR.

The result showed that FID50 value was 10-4/0,1 ml to be injected to the fish.

The highest percentage of morbidity of fish was at pH 6.0 (96.67%) and the lowest occured at pH 8.5 (63.33%). pH 8.5 showed significantly different to the other treatments (p<0.05). The number of leukocytes in each treatment decreased from the normal (150.000-300.000 cells/mm3). The number of erythrocytes of all treatments was normal (1.3-3 million cells/mm3). The hematocrite decreased to 12-14%. The hemoglobin decreased to 30.8-45.5g/dl. The impact of VNN infection characterized by the accumulation of clotting or imflammatory cells, more glial cells revealed and the occurence of vasculitis. PCR results confirmed the different of pathogenicity of each treatment.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umumnya dikenal dengan istilah "groupers" dan merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang mempunyai nilai jual cukup tinggi dan peluang ekonomi yang baik di pasaran domestik maupun pasar internasional (Ibrahim, 2010). Jenis kerapu ini merupakan ikan asli Indonesia yang hidup tersebar di berbagai perairan berkarang di nusantara (Anonim, 2001).

Kegiatan budidaya ikan laut di Indonesia khususnya ikan kerapu macan merupakan budidaya laut yang memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan, karena kegiatan ini berperan dalam hal memenuhi kebutuhan ikan konsumsi, peningkatan penghasilan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat petani ikan maupun nelayan serta dapat bermanfaat dalam pelestarian sumber daya ikan laut yang mulai langka (Maghfirah, 2009).

Budidaya ikan kerapu macan pada umumnya dilakukan pada karamba jaring apung (KJA) yang berada di perairan di lepas pantai. Ikan kerapu macan menyenangi air laut berkadar garam 33 - 35 ppt. Menurut Chua & Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24 - 31ºC, salinitas antara 30-33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sementara itu Suprakto & Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya, yaitu kecepatan arus 15 - 30 cm/s, suhu 27 - 29ºC, salinitas 30 - 33 ppt, pH 8,0 - 8,2, oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5 m (Langkosono, 2007).

Dalam pemeliharaan ikan kerapu masih terdapat kendala, diantaranya adalah tingkat kematian yang masih relatif tinggi akibat penyakit infeksi Viral Nervous


(17)

Necrosis (VNN). Virus ini umumnya menginfeksi stadia larva sampai yuwana dan

menyerang sistem organ syaraf mata dan otak (Yuasa et al., 2001 dalam Suratmi dan Aryani, 2007). VNN menyerang secara akut pada ukuran ikan dibawah 50 g (Sutarmat, 2004). Penyakit akibat infeksi virus masih merupakan masalah utama dalam budidaya ikan kerapu karena dapat menyebabkan kematian ikan hingga 100% dalam waktu yang relatif singkat (Suratmi, 2007).

Gejala yang tampak pada ikan yang terinfeksi VNN berbeda-beda sesuai dengan stadia atau umur ikan. Ikan yang berumur kurang dari 20 hari apabila terinfeksi VNN tidak menunjukkan gejala klinis kecuali kemauan makan yang menurun, ditandai dengan banyaknya sisa rotifer pada air pemeliharaan. Ikan umur 20-40 hari menunjukkan tingkah laku berenang yang abnormal yaitu ikan berenang di dekat permukaan air dan selanjutnya terjadi kematian di dasar bak pemeliharaan. Pada ikan yang berumur 2-4 bulan yang terinfeksi tampak diam/tidur di dasar jaring. Sedangkan ikan umur lebih dari 4 bulan terlihat berenang mengampang di atas permukaan air disertai adanya pembesaran gelembung renang (Sugianti, 2005).

Kualitas air dalam budidaya ikan adalah setiap peubah yang mempengaruhi pengelolaan dan sintasan, perkembangbiakan, pertumbuhan, atau produksi ikan. Air yang baik adalah yang mampu menunjang kehidupan ikan dengan baik (Purnamawati, 2002). Air laut normal selalu bersifat basa dan kondisi demikian diperlukan bagi kehidupan biota laut (Romimohtarto, 2008). Perairan dengan pH rendah mengakibatkan aktivitas tubuh ikan menurun dan kondisi ikan menjadi lemah, sehingga ikan mudah terkena infeksi penyakit dan bahkan menyebabkan kematian pada ikan. pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S (Irawan et al.,


(18)

1.2Permasalahan

Usaha pembesaran ikan kerapu macan merupakan usaha perikanan laut yang layak dikembangkan. Namun dalam pembudidayaannya, penyakit yang disebabkan oleh virus dapat menyerang ikan dan menyebabkan kematian dalam jumlah besar sehingga kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Hingga kini penyakit akibat virus belum dapat ditanggulangi secara pasti sehingga lebih ditekankan kepada upaya pencegahan dan membatasi penularannya dengan cara memperhatikan kualitas air, salah satunya menjaga pH air yang mendukung untuk kehidupan ikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh pH air terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih ikan kerapu macan.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pH air terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih ikan kerapu macan.

1.4 Hipotesis

Perbedaan pH air berpengaruh terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih ikan kerapu macan.

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

a. Sebagai bahan informasi untuk kegiatan budidaya ikan kerapu macan dalam memahami penyakit yang disebabkan oleh VNN.

b. Mencengah dan membatasi penularan penyakit oleh VNN pada budidaya ikan kerapu macan.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Ikan kerapu bernilai ekonomis tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri sehingga penangkapan dan budidayanya bisa berkembang. Ikan ini mempunyai nilai komersial yang tinggi karena rasa dagingnya yang enak. Namun saat ini untuk memenuhi permintaan pasar masih didominasi hasil tangkapan di alam (Anonim, 2001). Sedangkan hasil budidaya masih terbatas dan hanya berasal pada daerah-daerah tertentu saja terutama yang dekat dengan pusat pemasaran, seperti Bali, Tanjung Pinang, Batam, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan lain-lain (Langkosono, 2007).

Menurut Wardana, 1994 dalam Sudirman (2008) ciri-ciri morfologi ikan kerapu adalah sebagai berikut: bentuk tubuh pipih, yaitu lebar tubuh lebih kecil dari pada panjang dan tinggi tubuh, rahang atas dan bawah dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat, mulut lebar, serong ke atas dengan bibir bawah yang sedikit menonjol melebihi bibir atas, sirip ekor berbentuk bundar, sirip punggung tunggal dan memanjang dimana bagian yang berjari-jari keras kurang lebih sama dengan yang berjari-jari lunak, posisi sirip perut berada di bawah sirip dada, badan ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid. Ikan kerapu genus Epinephelus tubuh ditutupi oleh bintik-bintik berwarna cokelat atau kuning, merah atau putih, tinggi badan pada sirip punggung pertama biasanya lebih tinggi dari pada sirip dubur, sirip ekor berbentuk bundar.

Ikan kerapu macan masuk ke dalam ordo Perciformes; famili Serranidae, Genus Epinephelus dan spesies Epinephelus fuscoguttatus. Ikan ini termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas air yang fluktuatif, perlu


(20)

cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 26oC, panjang rata-rata maksimal 90 cm. Tubuh kerapu macan dipenuhi sisik yang berukuran kecil yang berbentuk sikloid. Nama kerapu diberikan biasanya untuk empat genus Serranidae yaitu Epinephelus, Variola, Plectropampus dan Cromileptes. Di Indonesia Epinephelus sendiri mempunyai 38 spesies. Sebagian besar famili

Serranidae hidup di perairan dangkal dengan dasar pasir berkarang, walaupun

beberapa jenis dapat ditemukan di perairan dalam (Burgess et al., 1990).

Ikan kerapu macan mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih besar dan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lain (Endrawati et al., 2008). Ikan ini merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, menjadi sumber devisa dan merupakan komoditi ekspor unggulan ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Amerika (Feliatra et al., 2004). Ikan kerapu macan sebagai komoditi ekspor menyumbang devisa negara sebesar 580 juta US $ pada tahun 2003 (Anonim, 2004).

Ikan kerapu macan hidup di daerah karang sehingga biasa disebut kerapu karang. Dalam dunia perdagangan internasional dikenal dengan nama flower atau

carped cod (Ghufran & Kordi, 2004). Ikan kerapu di Indonesia banyak ditemukan di

perairan Pulau Sumatera, Pulau Buru, Pulau Jawa, Sulawesi, dan Ambon. Salah satu indikator adanya ikan kerapu adalah perairan karang. Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumber daya ikan kerapu sangat besar (Sudirman, 2008).

Menurut Anonimous (2001) bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan kerapu macan berlangsung baik pada suhu berkisar antara 25oC-32oC, salinitas berkisar antara 20 ppt-32 ppt, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 4 ppm - 8 ppm dan pH berkisar antara 7,5-8,3. Sedangkan menurut Akbar & Sudaryanto (2001) bahwa ada keterkaitan pertumbuhan dan kondisi lingkungan perairan pada lokasi budidaya ikan kerapu, seperti suhu berkisar 27oC-29oC, salinitas 30-33 ppt, pH berkisar antara 8,0-8,2 dan oksigen terlarut (DO) lebih besar dari 5 ppm. Ikan kerapu macan bisa juga hidup di perairan muara sungai dengan kisaran kadar garam 15-30 ppt, suhu air 24oC- 31oC, dan kadar oksigen terlarut antara 4,9-9,3 mg/l.


(21)

2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN)

Viral Nervous Necrosis (VNN) yang juga dikenal sebagai virus encephalophaty dan retinopathy (VER) adalah penyakit berbahaya yang menyerang larva dan juvenil ikan

budidaya di Asia, Australia, Eropa dan Amerika Utara (Yukio, 2004). Agen penyebab VNN telah diindentifikasi sebagai anggota baru dari Nodaviridae dari karakter genom dan proteinnya (Chi et al., 2001).

Keluarga Nodaviridae terdapat dua jenis yaitu jenis Alphanodavirus dan

Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi ikan. Betanodaviruses

(famili Nodaviridae) adalah agen penyebab serangan VNN pada budidaya ikan laut.

Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola, tidak punya kapsid dengan genom

yang terdiri atas dua ikatan tunggal (Yukio, 2007). Virus ini terdiri dari dua segmen

(RNA1 dan RNA2) dari utas tunggal RNA (ssRNA) dengan segmen RNA2

mengandung segmen sebagai pembungkus protein virus. Segmen RNA2 dapat diisolasi dan digunakan sebagai target deteksi RNA virus melalui metode molekular dan pelindung protein virus pada metode imunitas (Moody & Herwood, 2008).

Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain perilaku ikan terserang berenang tak menentu dan ikan mengapung dengan perut di atas disebabkan oleh pembengkakan selaput renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi (kerusakan) kuat sistem saraf pusat dan retina (Thie´ry et al., 2006).

Virus dapat menjadi agensia penyakit atau agensia hereditas. Sebagai agensia penyakit, virus dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan perubahan-perubahan yang merugikan pada sel inang yang diinfeksinya, sehingga sel inang rusak atau bahkan mati. Sedangkan sebagai agensia hereditas virus dapat masuk ke dalam sel inang dan menyebabkan perubahan-perubahan yang dapat diwariskan (Jutono, 1975).


(22)

2.3 Kualitas air

Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya (Irawan et al., 2009).

Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis dahulu. Dengan demikian, air yang digunakan benar-benar layak bagi kehidupan ikan yang dipelihara. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia dan keadaan biota air lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik berupa pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), ataupun jasad penyebab penyakit (Daelami, 2002). Faktor-faktor lain yang mensifati kualitas air laut antaranya adalah salinitas, suhu dan kandungan oksigen (Romimohtarto, 2008).

Derajat keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan dan mahluk-mahluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan ikan (Effendi, 2003). Untuk nilai pH yang sesuai untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,5, sedangkan nilai yang baik untuk oksigen yang terlarut dalam air untuk menunjang kehidupan organisma di dalam air yaitu minimal 2 ppm dan nilai amoniak yang tidak berbahaya untuk kelangsungan hidup ikan yaitu tidak melebihi dari 1 ppm (Setyadi, 2007).

pH di perairan penting untuk reaksi-reaksi kimia dan senyawa-senyawa yang mengandung racun. Perubahan asam atau basa di perairan dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik (Ghufran & Kordi, 2004). Nilai pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas (Effendi, 2003). pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik,


(23)

semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula

sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3

(Irawan, 2009).

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) tentang baku mutu air laut untuk biota laut tertera pada Tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Baku mutu air laut untuk biota laut

Fisika

Parameter Satuan Baku mutu

Kecerahan m coral: >5

mangrove: - lamun: >3

Kebauan - alami

Kekeruhan NTU >5

Padatan tersuspensi total mg/l coral: 20 lamun: 20

Sampah - nihil

Suhu ºC alami

coral: 28-30 mangrove: 28-32 lamun: 28-30

Lapisan minyak - nihil

Kimia pH - 7 - 8,5

Salinitas ‰

alami mangrove: s/d 34 coral: 33-34 lamun: 33-34

Oksigen terlarut (DO) mg/l >5

BOD5 mg/l 20

Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3

Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015

Nitrat (NO3-N mg/l 0,008

Sianida (CN-) mg/l 0,5

PAH (Poliaromatik hidrokarbon)

mg/l 0,003

Senyawa Fenol total mg/l 0,002

PCB total (poliklor bifenil) μg/l 0,01 Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1

Minyak & lemak mg/l 1


(24)

TBT (tributil tin) μg/l 0,01

Logam terlarut Raksa (Hg) mg/l 0,001

Kromium heksavalen (Cr(VI) mg/l 0,005

Arsen (As) mg/l 0,012

Kadmium (Cd) mg/l 0,001

Tembaga (Cu) mg/l 0,008

Timbal (Pb) mg/l 0,008

Seng (Zn) mg/ 0,05

Nikel (Ni) mg/l 0,05

Biologi Coliform (total) MPN/100 ml 1000

Patogen sel/100 ml nihil

Plankton sel/100 ml tidak bloom

Radio Nuklida Komposisi yang tidak diketahui


(25)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai April 2011 di Laboratorium Biologi Molekuler Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia Medan, Laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biokimia Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan Balai Veteriner, Medan.

3.2Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan adalah akuarium 60x40x40 cm3, aerator, filtrasi, alat diagnosis PCR, elektroforesis, sentrifugasi, transilluminator UV gelombang, spektrofotometer, mikroskop, counter, timbangan analitik, vortex, termometer, heater otomatis, pH meter, ember, sarung tangan, masker, serokan ikan, alat suntik, kamera digital, disecting set, jarum suntik 1 ml, pipet tetes, batang pengaduk, autoklaf, pinetip, dan micro tube. Bahan yang digunakan yaitu benih kerapu macan dengan ukuran panjang ±10 cm sebanyak 310 ekor, inokulum baku virus VNN, air laut, larutan Hank’ Balauced Salt Soluble (HBSS), CHCl3, RNA extraction, isopropanol,

etanol 75%, ddH2O, NaCI fisiologis, HCl 10%, NaOH 10%, akuades, bahan-bahan

pemeriksaan PCR: Kit VNN lengkap 1 set, parafilm, bahan-bahan pemeriksaan histopatologi, bahan-bahan pemeriksaan hematologi, anti koagulan EDTA.


(26)

3.3Prosedur penelitian 3.3.1 Isolat Virus

Isolat virus berasal dari Dr. Uun Yanuhar-UNIBRAW-Malang. Ikan kerapu positif VNN hasil diagnosis PCR diambil organnya untuk digunakan sebagai bahan suspensi organ 10%. Ekstraksi virus dilakukan dengan metode Malole et al., (2006) yaitu dengan cara menggerus mata dan otak ikan dengan mortar dan ditambahkan larutan NaCI fisiologis, sehingga menghasilkan konsentrat virus 10%. Pada pelaksanaan penggerusan ini, mortar dan larutan NaCl fisiologis dalam kondisi dingin. Hasil gerusan yang telah halus, disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit dengan suhu 5°C. Supernatan diambil dengan syringe kemudian disaring dengan kertas saring miliphore 0,45 µm. Hasil saringan merupakan inokulan baku virus VNN dan ditambahkan Penicillin 10.000 IU dan Streptomicyin 10.000 µg. Supernatan diencerkan dengan larutan Hank's Balauced Salt Solution (HBSS). Untuk keperluan selama penelitian bahan inokulan virus ini kemudian diawetkan dalam deep freezer (suhu -40°C).

3.3.2 Uji Fish Infectious Dosis-50 (FID50)

Penelitian diawali dengan uji pendahuluan yaitu mencari nilai FID50 dengan metode

Reed and Muench dalam Amrullah (2004) yaitu dengan cara menginfeksikan virus VNN 0,1 ml/ekor ikan kerapu macan dengan konsentrasi 10-2 sampai 10-7 pada masing-masing akuarium. Kemudian akuarium diisi air laut 10 L dan 6 ekor ikan. Gejala klinis penyakit ikan diamati dan dicatat tingkat kesakitan ikan selama 7 hari. Nilai FID50 dihitung dengan menggunakan rumus Reed and Muech. Hasil yang

didapatkan kemudian dijadikan sebagai konsentrasi virus yang akan diinfeksikan ke benih ikan kerapu macan pada uji utama.

Rumus Reed and Muench 1938 dalam Amrullah (2004):

>50% - 50% PD =


(27)

Keterangan :

P.D = Proportionate Distance

>50% = Prosentase pengamatan di atas mendekati 50% <50% = Prosentase pengamatan di bawah mendekati 50%

3.3.3 Pengaruh pH Terhadap Patogenitas VNN

Uji utama dilakukan untuk mengkaji pengaruh konsentrasi pH media air terhadap tingkat patogenitas virus VNN pada benih kerapu macan. Perlakuan perbedaan konsentrasi pH terdiri dari 6 (enam) perlakuan + 1 (satu) kontrol. Masing-masing akuarium percobaan diisi dengan 10 ekor ikan kerapu macan. Perlakuan diaplikasikan dengan tiga ulangan. Penginfeksian virus positif VNN dilakukan secara intramuscular (Dosis FID50-72 jam). Pengamatan dilakukan selama 6 hari. Adapun rancangan

perlakuannya adalah sebagai berikut:

Po = Pemeliharaan kerapu macan negatif VNN (kontrol)

Pi = Pemeliharaan kerapu macan diinfeksi virus (+) VNN FID50 pada pH 6,0

Pii = Pemeliharaan kerapu macan diinfeksi virus (+) VNN FID50 pada pH 6,5

Piii = Pemeliharaan kerapu macan diinfeksi virus (+) VNN FID50 pada pH 7,0

Piv = Pemeliharaan kerapu macan diinfeksi virus (+) VNN FID50 pada pH 7,5

Pv = Pemeliharaan kerapu macan diinfeksi virus (+) VNN FID50 pada pH 8,0

Pvi = Pemeliharaan kerapu macan diinfeksi virus (+) VNN FID50 pada pH 8,5

3.3.4 Pengamatan Gejala Klinis

Pengamatan kesakitan/moribund ikan kerapu macan setelah diinfeksi virus VNN dievaluasi setiap 3 jam sekali berdasarkan gejala klinis khas VNN pada setiap perlakuan secara visual dan dicatat di tabel pengamatan. Ikan mati/sekarat (moribund) yang menunjukkan gejala klinis khas VNN adalah kelesuan, perilaku renang abnormal (gerakan memutar dan menabrak kasar), pembesaran gelembung renang (swim

bladder), perubahan warna tubuh ikan menjadi gelap dan hilangnya selera makan


(28)

Hasil pengamatan yang dilakukan pada setiap perlakuan digambarkan secara sistematis dan jumlah ikan mati/sakit karena infeksi virus VNN pada masing-masing perlakuan dihitung dari awal infeksi sampai hari ke 7. Persentase ikan mati/sakit dihitung berdasarkan rumus Reed and Muench dalam Amrullah (2004):

Nt

I = X 100% No

Keterangan : I = Persentase ikan sakit karena terinfeksi VNN (%)

Nt = Jumlah ikan sakit terinfeksi VNN (ekor)

No = Jumlah ikan tiap unit percobaan (ekor)

3.3.5 Uji Hematologi

Pemeriksaan hematologi ikan uji (kontrol dan perlakuan) dilakukan dengan metode Benjamin (1978). Pemeriksaan ini dilakukan setelah penginfeksian virus dan timbulnya gejala klinis VNN. Sampel darah yang telah diberi antikoagulan EDTA diambil untuk pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (PCV), eritrosit, dan leukosit. Pengambilan darah dilakukan di bagian caudal pudancle karena dekat dengan tulang yang mengarah ke jantung.

Penentuan hemoglobin dilakukan dengan cara memasukkan Working Reagent ke dalam 2 cuvet sebanyak 2,5 ml. Sampel dimasukkan ke dalam cuvet pertama, dan akuades ke dalam cuvet kedua sebagai blank masing-masing 10 µ l, lalu dihomogenkan masing- masing campuran dan dibiarkan selama tiga menit pada suhu kamar. Untuk menentukan jumlah haemoglobin digunakan alat spektrofotometer. Terlebih dahulu diatur panjang gelombang spektrofotometer pada 540 nm dan diatur standarnya, lalu dinolkan dengan blank. Sampel dimasukkan dan dibaca hasilnya.

Penghitungan hematokrit dilakukan dengan cara memasukkan darah ke dalam tabung hematokrit sebanyak 3/4 tabung dan ujungnya ditutup dengan lilin. Lalu


(29)

disentrifugasi pada 11.000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan pada tabung ditempatkan pada microhaematocrite reader untuk melihat nilai hematokrit.

Penghitungan jumlah eritrosit dilakukan dengan cara sampel darah dihisap menggunakan pipet eritrosit sampai mencapai angka 0,5. Ujung pipet dibersihkan dengan tissue. Setelah bersih, larutan Hayem dihisap sampai tanda 101 dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara. Pipa penghisap dilepaskan, lalu diaduk sampai bagian yang tercampur hanya bagian yang membesar dari pipet. Cairan pada ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang. Suspensi darah diteteskan pada bagian pinggir gelas penutup kamar hitung, dimana tetes 1-2 dibuang terlebih dahulu. Perhitungan jumlah sel darah merah dilakukan pada kotak di bagian tengah kamar hitung sebanyak 5 kotak dimana 4 kotak di bagian sudut dan 1 kotak di bagian tengah dengan menggunakan mikroskop. Selanjutnya jumlah eritrosit yang didapat dihitung dengan menggunakan Hasil Perhitungan Akhir (HPA) yaitu jumlah seluruh sel darah merah dari lima kotak tersebut (n butir) dikalikan 10.000 per ml (HPA= n x 10.000).

Penghitungan jumlah leukosit dilakukan dengan cara sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet penghisap sampai mencapai angka 0,5. Terlebih dulu ujung pipet dibersihkan dengan kapas. Setelah bersih, larutan Turk dihisap sampai tanda 11 dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara. Pipa penghisap dilepaskan, lalu diaduk sampai bagian yang tercampur hanya bagian yang membesar dari pipet. Cairan pada ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang. Suspensi darah diteteskan pada bagian pinggir gelas penutup kamar hitung, dimana tetesan pertama dibuang. Perhitungan jumlah sel darah putih dilakukan pada 4 kotak besar pada bagian pinggir kamar hitung dengan menggunakan mikroskop. Selanjutnya jumlah leukosit yang didapat dihitung dengan menggunakan Hasil Perhitungan Akhir (HPA) yaitu jumlah seluruh sel darah putih dari lima kotak tersebut (n butir) dikalikan 50 per ml (HPA= n x 50).


(30)

Keterangan: E: Eritrosit, L: Leukosit

Gambar 1. Kamar Hitung Improved Neubauer (Zaneveld et al., 1977)

3.3.6 Pemeriksaan Histopatologi

Pembuatan sediaan histologis menurut Suntoro (1983), dengan metode parafin adalah: fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, penanaman, penempelan, pemotongan, penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan serta pemberian label. Organ otak dicuci dengan NaCl 0,9% lalu difiksasi menggunakan Buffer Neutral

Formalin (BNF) 10% selama 1 jam. Jaringan dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80,

96% selama 1,5 jam. Dehidrasi dilakukan dengan merendam otak dalam alkohol absolut I,II,III selama 1 jam dan xylol I,II,III se1ama 5 jam. Infiltrasi dilakukan dengan merendam otak pada parafin I,II yang dilakukan di dalam oven dengan suhu 56ºC selama 2 jam. Embedding dilakukan dengan meletakkan otak pada kaset berbentuk segi empat sebagai cetakan. Setelah itu, parafin yang telah cair dituang ke dalam kaset tersebut, dan diberi label. Kemudian blok-blok parafin yang telah di

holder dipotong dengan mikrotum sehingga membentuk pita-pita parafin dengan

ukuran ketebalan 4 µ m. Pita parafin diambil dengan skapel, diletakkan pada gelas objek, dan dicelupkan pada air dingin dan air hangat. Kemudian diletakkan di atas

waterbath beberapa detik untuk melekatkan pita parafin pada gelas objek.

Preparat dimasukkan ke dalam xylol I, II, III dilanjutkan dengan proses dealkoholisasi dengan mencelupkan preparat ke dalam alkohol absolut I, II, III selama 3 menit. Pewarnaan sediaan otak diwarnai dengan menggunakan Hematoksilin Eosin. Pewarnaan dilakukan dengan cara gelas objek dimasukkan ke dalam larutan pewarna

E

E E

E E

L L


(31)

Hematoksilin Eosin selama 3 menit lalu dicuci dengan dengan air mengalir. Preparat ditetesi canada balsem dan ditutup dengan gelas penutup lalu diamati strukturnya di bawah mikroskop.

3.3.7 Uji Biologi Molekuler

Ekstraksi RNA dilakukan dengan Metode Reverse Transcription Polimerase Chain

Reaction IQ2000 yaitu dengan memasukkan 20 mg sampel otak ke dalam tabung

mikro 1,5 ml dan dilarutkan dengan 500 µ l RNA Extraction Solution. Sampel digerus sampai hancur, didiamkan pada suhu kamar selama 5 menit. CHCl3 ditambahkan

sebanyak 100 µ l, kemudian divortex selama 20 detik dan dibiarkan pada suhu kamar

selama 3 menit, lalu disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 15 menit. Fase atas (bagian jernih) sebanyak 200 µ l dimasukkan ke dalam tabung mikro 0,5 ml berisi 200 µ l isopropanol, lalu divortex. Larutan disentrifugasi pada 12000 rpm selama 10 menit, lalu dibuang isopropanol. Pelet dicuci dengan 0,5 ml etanol 75%, kemudian di spin

down pada 9000 rpm selama 5 menit untuk mendapatkan pelet RNA, kemudian etanol

dituang dan pelet dikeringkan. Pelet dilarutkan dengan 200 µ l ddH2O. Campuran

RT-PCR dan Nested RT-PCR disiapkan sesuai jumlah sampel yang akan diuji dan dimasukkan 8 µ l campuran reaksi reagen RT-PCR ke masing-masing tabung mikro 0,2 ml dan diberi label. Ekstrak sampel sebanyak 2 µ l ditambahkan ke dalam masing-masing campuran reaksi. Sampel dimasukkan ke dalam mesin PCR untuk proses amplikasi tahap I. Setelah tahap pertama selesai, proses tahap kedua dapat dilakukan yaitu dengan menambahkan 15 µ l campuran reagen Nested PCR ke dalam masing-masing tabung sampel dan dilakukan running PCR.

Proses elektroforesis dimulai dengan menyiapkan gel agarose 2% ( 2 gram agarose yang dilarutkan dengan 100 ml TAE 1x) dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu larutan dipanaskan menggunakan microwave sampai mendidih dan berubah menjadi bening. Gel agarosa didinginkan pada suhu kamar sampai suhu sekitar 50oC dan gel dituangkan ke dalam kotak gel dengan ketinggian gel agarosa sekitar 0,3-0,5 cm, total ketebalan tidak lebih besar dari 0,8 cm. Lalu sisir plastik


(32)

(comb) dimasukkan untuk membentuk sumur. Setelah gel agarose memadat diangkat

comb pada kedua sisi kotak. Kotak gel ditambahkan buffer elektroforesis 1X sampai

batas maksimum. Marker dimasukkan ke sumur pertama sebanyak 5 µ l, dan diikuti kontrol positif, kontrol negatif, dan terakhir sampel sebanyak 8 µ l. Running elektroforesis dilakukan pada tegangan 100-150 Volt. Elektroforesis dihentikan bila pita mendekati 2/3 dari gel. Kemudian, gel dikeluarkan dari kotak gel untuk mempersiapkan prosedur pewarnaan EtBr.

Gel agarose hasil running elektrophoresis direndam ke dalam larutan Ethidium Bromida (EtBr) 10 µl yang dicampur dengan 100 ml akuades pada wadah plastik selama 10 menit dan sesekali digoyang. Kemudian gel agarose dikeluarkan dan dicuci dengan akuades steril. Untuk membaca hasilnya, gel agarose diletakkan pada pertengahan transilluminator UV gelombang dan dilihat hasilnya.

3.3.8 Analisis Data

Data yang didapat akan dianalisis dengan Uji Normalitas, Uji Homogenitas dan Uji t (Mann-Whitney non parametik) dengan sistem SPSS Release 13.


(33)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Nilai FID50

Untuk mendapatkan konsentrasi inokulan VNN yang akan diinjeksikan pada uji utama dilakukan uji awal yaitu uji FID50 dengan melakukan pengenceran inokulum VNN

dari 10-2 sampai 10-7. Sebanyak 0,1 ml inokulum virus diinjeksikan ke benih ikan kerapu macan/ekor dalam akuarium. Persentase kesakitan dari masing-masing perlakuan dicatat dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Nilai FID50 selama 72 jam pada perlakuan benih ikan kerapu macan

SPF yang diinjeksi inokulan VNN

Berdasarkan hasil perhitungan FID50, konsentrasi suspensi virus VNN yang

akan digunakan pada uji utama memiliki nilai Proportionate Distance sebesar 0,50, nilai FID50 suspensi virus VNN ekuivalen 10-4/0,1ml.

Konsentrasi Suspensi Virus-Pengenceran Jumlah ikan Jumlah Ikan Persentase Kesakitan (%)

Sakit Tidak

sakit 10 -2

10 -3 10 -4 10 -5 10 -6 10 -7

6 6 6 6 6 6 6 4 2 0 1 0 0 2 4 6 5 6 100,0 66,67 33,34 0 16,67 0


(34)

4.2 Pengaruh pH air Terhadap Tingkat Patogenitas VNN

Pengaruh nilai pH air pada penelitian ini dinilai berdasarkan persentase ikan terinfeksi virus VNN yang sakit. Persentase kesakitan ikan selama penelitian pada masing-masing perlakuan memiliki tingkat kesakitan yang tinggi rata-rata di atas 50%. Jumlah persentase kesakitan ikan kerapu macan dapat dilihat pada Grafik 4.2 di bawah ini.

Gambar 4.2 Grafik Persentase Kesakitan Ikan Kerapu Macan Diinjeksi VNN

Dari Grafik 4.2 dapat dilihat bahwa tingkat kesakitan ikan yang tertinggi terjadi pada perlakuan pH 6,0 sebesar 96,67% sedangkan tingkat kesakitan yang terendah terjadi pada perlakuan pH 8,5 sebesar 63,33%. Perlakuan pH 6,5, pH 7,0 dan pH 7,5 terjadi tingkat kesakitan yang sama yaitu sekitar 90% dan pada perlakuaan pH 8,0 terjadi kesakitan sebesar 86,67% selama 6 hari pengamatan, sedangkan Po (kontrol) tidak terjadi kesakitan.

Data yang didapat tidak menyebar secara normal (p<0,05) dan tidak bervarians homogen (p<0,05), oleh karena itu, dilakukan Uji Non Parametrik Mann-Whitney. Dari uji yang dilakukan didapat bahwa perlakuan kontrol memiliki nilai yang berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Hasil yang tidak berbeda nyata didapat pada

a

b c c c c

d 96,67±5,77

90±10 90±10 90±10 86,67±11,5

63,33±5,77


(35)

perlakuan pH 6,5, pH 7,0 dan pH 7,5 sedangkan perlakuan pH 8,5 berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Menurut Yukio (2004), infeksi VNN secara alami bersifat akut. Keparahan penyakit dipengaruhi oleh faktor-faktor stres seperti padat penebaran tinggi dan suhu air yang tinggi di keramba budidaya. Kombinasi faktor-faktor ini dapat menyebabkan kematian tinggi selama periode pemeliharaan. Perbedaan angka kematian mungkin disebabkan oleh tahap perkembangan sistem kekebalan tubuh ikan kerapu atau tingkat infeksi yang rendah.

Menurut Irawan et al., (2009), perairan dengan pH rendah mengakibatkan aktivitas tubuh ikan menurun dan kondisi ikan menjadi lemah, sehingga ikan mudah terkena infeksi penyakit dan bahkan menyebabkan kematian pada ikan. Hal ini dapat dilihat dari persentase tingkat kesakitan tertinggi yang didapat pada perlakuan pH 6,0 yaitu pH asam, dibandingkan dengan persentase tingkat kesakitan terendah pada perlakuan pH 8,5 atau pH basa. Nilai persentase kematian yang tinggi merupakan salah satu gambaran ganasnya/kuatnya infeksi virus. Menurut Irianto (2005), tingkat patogenitas suatu penyakit meliputi suatu interaksi yang kompleks antara tingkat virulensi patogen, derajat imunitas inang, kondisi fisiologis dan genetik hewan. Infeksi virus pada sel-sel inang akan merangsang sistem pertahanan tubuh inang. Pada tingkat infeksi berat mekanisme pertahanan tubuh akan tertekan dan hewan inang dalam hal ini ikan, akan mati

Menurut Gufran & Kordi (2004), ikan kerapu macan dapat hidup dengan baik pada pH 7,8-8,3. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa pH air di bawah 7,8 akan meyebabkan keadaan stres pada ikan kerapu macan sehingga menyebabkan kematian yang cukup tinggi didukung dengan infeksi dari VNN. Stres juga akan mempengaruhi faktor perlindungan alami ikan seperti mukus, sisik, kulit, lisozim, antibodi dan reaksi inflamasi.


(36)

4.3Gejala Klinis Akibat Infeksi VNN

Keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena dapat mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Pengamatan harian yang dilakukan setelah infeksi virus VNN menunjukkan bahwa awal terjadinya gejala klinis pada ikan kerapu macan pada setiap perlakuan pH air adalah berbeda.

Ikan yang diinjeksikan virus pada perlakuan pH air yang berbeda mengalami gejala klinis abnormal paling cepat yaitu terjadi mulai hari ke-3 hingga terjadi kematian. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan Chi (2001) yang menyatakan bahwa kematian pada ikan kerapu yang diinjeksikan oleh VNN pada ikan sehat dapat mencapai kematian hingga 100% dalam waktu 3 hari.

Pada hari ke-4 sampai hari ke-5 pada masing-masing ulangan, tanda-tanda ikan terinfeksi semakin jelas terlihat adanya beberapa ikan berenang tak menentu dan ikan mengapung dengan perut diatas disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang (swim bladder), perubahan warna (discolouration) tubuh terlihat lebih gelap. Pada hari ke-6 mulai terlihat beberapa ikan yang lebih parah mengapung dengan posisi kepala mengarah ke permukaan air dan ekor ke arah bawah. Gejala klinisnya dapat dilihat dari Gambar 4.3 di bawah ini.

Gambar 4.3 a) Gerakan berenang ikan dengan posisi kepala di bawah. b) Gerakan berenang ikan tidak menentu. c) Pembengkakan gelembung renang pada ikan. d) Perubahan warna tubuh ikan menjadi lebih gelap.


(37)

4.4 Uji Hematologi

Pemeriksaan hematologi yang dilakukan dari masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda. Terjadi penurunan jumlah sel darah dari keadaan normal pada beberapa perlakuan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh adanya serangan VNN pada darah dan mempengaruhi jumlah sel darah. Hasil pemeriksaan hematologi ikan kerapu macan yang diinjeksi VNN dapat dilihat dari Tabel 4.4 di bawah ini.

Tabel 4.4 Hasil Uji Hematologi

Keterangan: Jumlah leukosit normal : 150.000-300.000 sel/mm 3 Jumlah eritrosit normal : 1,3-3 juta sel/mm 3 Nilai hematokrit normal : 12-14%

Jumlah Hb normal : 30,8-45,5 g/dl

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa pada masing-masing perlakuan terjadi perubahan jumlah sel darah dari jumlah normal. Menurut Alamanda

et al., (2007), pada ikan yang terserang penyakit terjadi perubahan pada nilai

hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah eritrosit dan jumlah leukosit. Penurunan jumlah leukosit terendah didapat pada perlakuan pH 7,0 yaitu 1.200 sel/mm3 dan diikuti pada perlakuan pH 7,5 sebesar 4.000 sel/mm3 dan pH 6,5 sebesar 7.400 sel/mm3, sedangkan jumlah leukosit tertinggi didapat pada perlakuan pH 8,5 sebesar 28.000 sel/mm3. Jumlah leukosit pada masing-masing perlakuan dibandingkan dengan jumlah leukosit normal sebesar 150.000-300.000 sel/mm3. Penurunan ini sebagai akibat dari kuatnya infeksi virus. Leukosit yang ada pada pembuluh darah sangat berkurang karena sebagian besar leukosit bergerak menuju jaringan-jaringan yang terinfeksi. Leukositosis terjadi apabila ada benda asing dalam darah. Jika virus terus menyerang, maka kekebalan tubuh menurun sehingga terjadi leukopenia. Ketidakmampuan sistem imunitas ikan dalam menghadapi infeksi virus, terlihat dari jumlah leukosit ikan yang

Perlakuan Hb (g/dl) PCV

(%)

Eritrosit (mm3)

Leukosit (mm3) Po (kontrol) 44,0 12,0 2.300.000 264.000

pH 6,0 25,0 8,0 2.500.000 32.000

pH 6,5 17,2 6,0 2.570.000 7.200

pH 7,0 12,0 3,5 2.400.000 1.200

PH 7,5 13,5 4,6 2.450.000 4.000

pH 8,0 23,0 6,9 2.700.000 16.160


(38)

menurun. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Hendriyanto et al., (2007), mengenai infeksi KHV pada ikan mas dinyatakan bahwa kondisi ketidakmampuan sistem imunitas ikan dalam menghadapi infeksi ditandai dengan semakin menurunnya jumlah leukosit.

Jumlah eritrosit, pada masing-masing perlakuan didapat jumlah yang normal berkisar antara 2,30-2,84 juta sel/mm3 dirujuk dari jumlah eritrosit normal sebesar 1,3-3 juta sel/ mm3. Kadar hematokrit normal didapat pada perlakuan Po (kontrol) sebesar 12% dirujuk dari nilai hematokrit ikan normal sekitar 12-14% sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan dengan kadar hematokrit berkisar antara 3,5-8,0%. Jumlah hematokrit terendah didapat pada perlakuan pH 7,0 sebesar 3,5%. Menurut Anderson (1996), menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi, sedangkan meningkatnya kadar hematokrit, menunjukkan ikan ada dalam keadaan stres. Apabila ikan terkena penyakit atau nafsu makannya menurun, nilai hematokrit darahnya menjadi tidak normal. Jika nilai hematokrit rendah maka jumlah eritrositpun rendah (Bastiawan et al., (2001) dalam Alamanda et al., 2007).

Jumlah hemoglobin tertinggi didapat pada perlakuan Po (kontrol) sebesar 44,0 g/dl dan terendah pada perlakuan pH 7,0 sebesar 12,0 g/dl. Jumlah normal hemoglobin ikan yaitu sekitar 30,8-45,5 g/dl. Dapat dikatakan, bahwa pada perlakuan kontrol jumlah hemoglobin normal sedangkan pada perlakuan yang diinjeksi virus VNN mengalami penurunan nilai hemoglobin dari nilai normal. Menurut Bastiawan et

al., (2001) dalam Alamanda et al., 2007), kemampuan mengikat oksigen dalam darah

tergantung pada jumlah hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau menggantung di bawah permukaan air. Menurut Irianto (2005), sejumlah ikan pada pH rendah, maka kapasitas hemoglobin dalam membawa oksigen juga rendah. Pada pH 7,4 laju oksigenasi empat kali lipat lebih cepat daripada laju deoksigenasi di insang. Pada pH rendah pada jaringan yang aktif mobilisasi, laju deoksigenasi dapat mencapai 400 kali daripada laju oksigenasi.


(39)

4.5Pemeriksaan Histopatologi

Gambaran histopatologi pada sampel otak masing-masing perlakuan memperlihatkan kerusakan yang sama (Gambar 4.5). Namun kerusakan terparah terjadi pada perlakuan pH 6,0 ditandai dengan adanya kongesti, peningkatan sel-sel glia, terbentuknya halo di sekitar sel glia dan neuron yang menunjukkan adanya edema serta ditemukan adanya vaskulitis. Dari pengamatan organ otak pada Po (kontrol) terlihat adanya sedikit peningkatan sel-sel glia dan kongesti di beberapa bagian otak walaupun struktur otak relatif masih terlihat normal. Pada perlakuan pH 6,5, pH 7,0, pH 7,5, pH 8,0 dan pH 8,5 tampak adanya kongesti yang disertai dengan adanya penggumpalan atau akumulasi sel-sel radang dan sel-sel glia yang berkelompok secara umum dan terjadinya vaskulitis.

Menurut Munday (1997), bahwa pada pengamatan mikroskop cahaya, histopatologi serangan VNN ditandai dengan vakuolisasi dan nekrosis dari sistem saraf pusat yang sangat konsisten pada berbagai spesies. Secara umum, anterior otak lebih parah terkena dampak dari pada sumsum tulang belakang posterior dan stadia larva lebih parah terkena dampak dari stadia remaja. Kerusakan yang paling khas adalah adanya vakuolisasi pada otak menyebabkan intrasitoplasmik. Namun posisi yang tepat tidak selalu dapat ditentukan. Kerusakan lainnya dicatat termasuk piknosis, sel basophilia, kariorrhesis sel saraf, granularitas neuropil dan akumulasi bahan eosinophilik dalam makrofag dan dinding pembuluh darah.

Menurut Moody & Horwood (2008), kerusakan biasanya kurang parah pada ikan lebih tua dari ikan remaja dan tergantung pada umur ikan. Keparahan vakualisasi bisa berkisar dari satu atau dua sel yang berpengaruh terhadap nekrosis ke seluruh daerah di otak. Secara umum, vakuolasasi terjadi lebih sering pada tektum optik dan otak kecil daripada di telencephalon dan medula oblongata. Infeksi virus pada sel-sel inang akan merangsang sistem pertahanan tubuh inang. Pada tingkat infeksi berat maka mekanisme pertahanan tubuh akan tertekan dan hewan inang dalam hal ini ikan akan mati (Irianto, 2005).


(40)

Gambar 4.5 Histopatologi Otak Ikan Kerapu Macan yang Diinjeksikan VNN pada Masing-Masing Perlakuan pH dengan Pewarnaan HE dan

Pembesaran 400x (V: Vasculitis, K: Kongesti, E:Edema, G:Sel glia, = 10 µm )

4.6Diagnosis Reverse Transcriptase-PCR

Tingkat patogenitas VNN pada benih ikan kerapu macan yang sakit dapat diketahui dengan metode Reverse Transcriptase-PCR. Sampel otak dari masing-masing perlakuan diambil dan dilakukan running PCR sehingga diketahui tingkat patogenitas VNN. Hasil diagnosis RT-PCR dapat dilihat pada Gambar 4.6 di bawah ini.

K

K K E

G

K E

K


(41)

Gambar 4.6 Hasil Diagnosis RT-PCR

M : Berat molekul marker, 848 bp, 630 bp, 333 bp + 1 : VNN P(+) standard, band terbentuk pada 289 bp

+2 : VNN P(+) standard, band terbentuk pada 289 bp dan 479 bp

+ 3 : VNN P(+) standard, band terbentuk pada 289 bp, 479 bp, dan 1160 bp (-) : Negative control (yeast tRNA or ddH2O)

Po : Sampel kontrol negatif

Pi : Sampel pH 6,0 dengan tingkat infeksi berat Pii : Sampel pH 6,5 dengan tingkat infeksi sedang Piii : Sampel pH 7,0 dengan tingkat infeksi sedang Piv : Sampel pH 7,5 dengan tingkat infeksi sedang Pv : Sampel pH 8,0 dengan tingkat infeksi sedang Pvi : Sampel pH 8,5 negatif

Dari hasil diagnosis RT-PCR di atas dapat dilihat bahwa sampel ikan kerapu macan diinfeksi virus VNN pada perlakuan konsentrasi pH yang berbeda adalah positif VNN, ditunjukkan dengan adanya pita RNA virus pada pasangan basa yang sejajar dengan kontrol positif. Namun pada perlakuan Pvi didapat hasil yang negatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat patogenitas virus yang cukup rendah sehingga fragmen RNA virus tidak terdeteksi dalam proses Nested PCR. Tingkat patogenitas yang berat didapat pada sampel perlakuan pH 6,0 ditandai dengan adanya fragmen RNA pada 848 bp, 630 bp, 333 bp. Tingkat patogenitas yang sedang didapat pada sampel perlakuan pH 6,5, pH 7,0, dan pH 7,5 ditandai dengan adanya fragmen RNA pada 630 bp dan 333 bp.

Menurut Moody & Horwood (2008), hasil positif Nested RT-PCR dari jaringan ikan mengindikasikan keberadaan RNA Nodavirus pada sampel. Hasil negatif nested RT-PCR mengindikasikan ketidakberadaan RNA virus pada sampel. Bagaimanapun juga, hasil positif Nested RT-PCR tidak mengindikasikan apakah sampel menular. Amplikasi positif hasil nested RT-PCR yang tercatat sebelumnya 848 bp

630 bp


(42)

dari spesies atau lokasi geografi dimana infeksi Betanovirus menginfeksi belum disekuensing, seharusnya dilakukan sekuensing sehingga dapat dibandingkan dengan sekuens Betanovirus yang telah diketahui untuk mengkonfirmasi hasil. Hal ini penting ketika test diagnosis lainnya telah digunakan. Seperti yang dilakukan oleh Munday & Nakai (1997) pada larva dan juvenil ikan kembung (Pseudocaranx dentex), digunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosurbent Assay) dengan menggunakan antiserum SJNNV (Stripe Jack Nervous Necrosis Virus) yang telah berkembang dan cukup sensitif untuk mendeteksi virus ini. Namun sayangnya, uji ini tidak dapat digunakan untuk jenis virus nekrosis lainnya. Berdasarkan data sekuens RNA2 dari SJNNV, teknik RT-PCR telah berkembang untuk mendeteksi SJNNV. Teknik ini dapat digunakan untuk mengaplikasikan sekitar 100 fragmen asam nukleat SJNNV dan telah berhasil digunakan untuk mendeteksi awal infeksi SJNNV pada ikan kerapu pasir ketika antigen virus tidak terdeteksi oleh metode ELISA.


(43)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa:

a. Persentase kematian tertinggi ikan kerapu macan yang diinjeksi VNN terjadi pada perlakuan pada pH 6,0 sebesar 96,67% dan terendah pada perlakuan pH 8,5 sebesar 63,33%.

b. Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh VNN pada perlakuan pH 6,0 lebih parah dibandingkan dengan perlakuan pH lainnya.

c. Jumlah sel darah pada semua perlakuan yang diinjeksi virus VNN mengalami penurunan.

d. Hasil diagnosis RT-PCR membuktikan bahwa ikan kerapu macan positif terserang VNN dengan tingkat patogenitas yang berbeda.

5.2 Saran

Diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat kerusakan organ bagian dalam dari ikan kerapu macan yang terserang VNN agar didapat data yang lebih lengkap.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar S. & Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Kerapu Bebek. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm. 103.

Alamanda, I.E., Hanjadani, N.S., dan Budiharjo, A. 2007. Penggunaan Metode Hematologi dan Pengamatan Endoparasit Darah untuk Penetapan Kesehatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kolam Budidaya Desa Mangkubumen Boyolali. Biodiversitas. 8(1): 34-38.

Amrullah. 2004. Penggunaan Imunostimulan Spirulina platensis untuk Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Koi (Cyprinus carpio) terhadap Virus Herpes (Thesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan Kerapu SEAFDEC. Departemen Kelompok Kerja Perikanan APEC (Aquaculture Departemen Southeast Asia Fisheries Development Center).

---, 2004. Budidaya Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Laut. Lampung.

---, 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Laut Ikan Kerapu. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktorat Pembudidayaan. Seri II/BDL/04. 42.

Bastiawan, D., Wahid, A., Malifudin, & Agustiawan, I. 2001. Gambaran Darah Lele Dumbo (Clarias spp.) yang Diinfeksi Cendawan Alphanomyces sp pada pH yang Berbeda. Jurnal Penelitian Indonesia. 7(3):44-47.

Benjamin, M.M. 1978. Outline of Veterinary Clinical Pathology. Third Edition. USA: The IOWA State University Press Ames. hlm. 48-55.

Burgess, W.E., Axelrod, H.R. & Raymond E.H. 1990. Marine Aquarium Fishes. T.F.H. Publications Inc. USA. 3rd edition.

Chua, T. E. & Teng, S. K. 1978. Effects of Feeding Frequency on The Growth of Young Estuary Grouper, Epinephelus tauvina Forskal, Culture in Floating Net Cages. Aquaculture. 14: 31–47.

Chi, S.C., Lo, B. J. & Lin, S. C. 2001. Characterization of Grouper Nervous Necrosis Virus (GNNV). Journal of Fish Diseases. 24. 3-13.

Daelami, D. 2002. Agar Ikan Sehat. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm. 27.


(45)

Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

Perairan. Yogjakarta: Kanisius. hlm. 17.

Endrawati, H., Zainuri, M., Kusdiyantini, E. & Kusumaningrum, H.P. 2008. Pertumbuhan Juvenil Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang Dipelihara dengan Padat Penebaran Berbeda. Ilmu Kelautan. 13(3): 133-138. Feliatra, Irwan, E. & Edwar, S. 2004. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Probiotik dari

Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam Upaya Efisiensi Pakan Ikan. Jurnal Natur Indonesia. 6(2): 75-80.

Hendriyanto, D.A., Martono, Setyawan, D.A., Lilianti & Damayanti, R. 2007. Aplikasi Vitamin C pada Kasus Infeksi KHV Ikan mas (Cyprinus carpio) di Sumatera Utara. Uji Coba Balai Karantina Ikan Polonia. hlm. 1-34.

Ghufran, H. & Kordi, K. 2004. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 28.

---, Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: Bina Adiaksara. hlm. 175. Irawan, A., Aminullah, Dahlan, Ismail, Bahri, S., & Fahdian, Y. 2009. Faktor –

Faktor Penting dalam Proses Pembesaran Ikan di Fasilitas Nursery dan Pembesaran. Makalah Bidang Kosentrasi Aquaculture Program Alih Jenjang

Diploma IV ITB. hlm 1-17.

Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 117.

Ibrahim, E. S. 2010. Teknik Pemeliharaan Larva Kerapu Macan (Epinephelus

fuscoguttatus).

Jutono, H., Kabiru, S.S., Susanto, Judoro & Suhardi. 1975. Mikrobiologi untuk

Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Fakultas Pertanian UGM. hlm. 78.

Langkosono. 2007. Budidaya Ikan Kerapu (Serranidae) dan Kualitas Perikanan.

Neptunus. 14(1): 61-67.

Maghfirah, H. Teknik Pemeliharaan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di CV. Dewata Laut, Desa Penyabangan. Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali.

Malole, M.B.M., Murtini, S. & Farida, C.Z. 2006. Modul Praktikum Penyakit Viral

Ikan. hlm. 7.

Moody, N. J. & Herwood, P. F. 2008. Betanodavirus Infections of Finfish. Australia and New Zealand Standard Diagnostic Procedure. 1-18.


(46)

Munday, B.L. & Nakai, T. 1997. Special Topic Review: Nodaviruses as Pathogen in Larva and Juvenile marine Finfish. World journal of Microbiology and

Biotechnology. 13:375-381.

Purnamawati. 2002. Peranan Kualitas Air Terhadap Keberhasilan Budidaya Ikan di Kolam. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 8(1): 1-34.

Setyadi, I. 2007. Produksi Masal Larva Ikan Kerapu Pasir (Epinephelus Corallicola) dengan Ukuran Bak Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14: 42

-47.

Sudirman, H., Karim, M. Y. 2008. Ikan Kerapu. Biologi, Eksploitasi, Manajemen dan

Budidaya. Jakarta: Yarsif Watampone. hlm. 9.

Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional dalam Pengendalian Penyakit Ikan. 1-37.

Suratmi, S., Aryani, N.L.T. 2007. Kasus Infeksi Penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) pada Ikan Kerapu di Pulau Bali. Buletin Teknisi Litkayasa Akuakultur. 7(1):59-63.

Sutarmat, T. 2004. Beberapa Kunci Sukses pada Budidaya Kerapu di Keramba Jaring Apung. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 10(4): 1-3.

Romimohtarto, K. 2008. Kualitas Air Dalam Budidaya Laut.Freedom eLearning Of Open Source. 1-16.

Thie´ry, R., J. Cozien, J. Cabon, F. Lamour, M. Baud, and A. Schneemann. 2006. Induction of a Protective Immune Response against Viral Nervous Necrosis in the European Sea Bass Dicentrarchus labrax by Using Betanodavirus Virus-Like Particles. Jurnal of Virology. 80(20): 10201-10207.

Yuasa, K.I., Koesharyani, D. Roza, F. Jhony, and Zafran. 2001. Manual for PCR Procedure; Rapid diagnosis on Viral Nervous Necrosis (VNN) in Grouper. Lolitkanta-JICA Booklet. 13- 35.

Yukio, M., Leobert, D. D. & Erlinda, R. C. 2007. Susceptibility of Fish Species Cultured

in Mangrove. Japan Agricultural Research Quarterly. 41(1). 95-99.

---, 2004. Mass Mortalities Associated with Viral Nervous Necrosis in

Hatchery-Reared Sea Bass Lates calcarifer in the Philippines. Japan Agricultural

Research Quarterly. 38(1): 69-73.

Zaneveld, Polakoski (1977), Techniques of Human Andrology: 160 dalam Zaneveld L.J.D., Fulgham DL. 1986. Short course: Male Reproduction/Andrology and


(47)

Lampiran A. Data Persentase Kesakitan Ikan

Perlakuan

Ulangan

% Total Kesakitan % Rata-Rata Kesakitan

I II III

Po(Kontrol) 0 0 0 0 0

pH 6,0 100 90 100 290 96,67

pH 6,5 80 100 90 270 90,00

pH 7,0 90 100 80 270 90,00

pH 7,5 80 90 100 270 90,00

pH 8,0 100 80 80 260 86,67

pH 8,5 60 60 70 190 63,33

Keterangan:

a. Waktu pengamatan dilakukan selama 6 hari dan dicatat kesakitan ikan setiap hari. b. Jumlah ikan pada awal perlakuan sebanyak 10 ekor per akuarium


(48)

Lampiran B. Data Uji Normalitas, Non Parametrik Mann-Whitney Tests of Normality(b)

Perlakuan

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Statistic df

Kesakitan pH 6.0 0,384815 3 . 0,75 3

-4,2E-16

pH 6,5 0,174678 3 . 1 3 1

pH 7,0 0,174678 3 . 1 3 1

pH 7,5 0,174678 3 . 1 3 1

pH 8,0 0,384815 3 . 0,75 3

-4,2E-16

pH 8,5 0,384815 3 . 0,75 3

-4,2E-16 a. Liliefors significance Correction

b. Kesakitan is contant when perlakuan = Po. It has been omitted

Npar Tests

Kruskal-Wallis Test

Perlakuan N

Mean Rank

Kesakitan Po 3 2

pH 6,0 3 16,83333 pH 6,5 3 13,66667 pH 7,0 3 13,66667 pH 7,5 3 13,66667 pH 8,0 3 12,16667

pH 8,5 3 5

Total 21

Test Statisticsa,b

Kesakitan

Chi-Square 14,18141

df 6

Asymp.

Sig. 0,027674 a. Kruskal Wallis Test


(49)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan Po pH 6,0 Total 3 3 6 2,00 5,00 6 15 a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Test Statisticb

Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -2,12132

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,033895 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,1a

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan Po pH 6,5 Total 3 3 6 2,00 5,00 6 15

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -2,08683

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,036904 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,1a

a. Not corrected for ties


(50)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan Po pH 7,0 Total 3 3 6 2,00 5,00 6 15 Test Statistics(b) Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -2,08683

Asymp. Sig.

(2-tailed) 0,036904

Exact Sig.

[2*(1-tailed Sig.)] 0,1a a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan Po pH 7,5 Total 3 3 6 2,00 5,00 6 15

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -2,08683

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,036904 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,1a

a. Not corrected for ties


(51)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan Po pH 8,0 Total 3 3 6 2,00 5,00 6 15

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan Po pH 8,5 Total 3 3 6 2,00 5,00 6 15

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -2,12132

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,033895 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,1a

c. Not corrected for ties

d. Grouping Variable: Perlakuan Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -2,12132

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,033895 Exact Sig. [2*(1-tailed


(52)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,0 pH 6,5 Total 3 3 6 4,17 2,83 12,50 8,50

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 2,5

Wilcoxon W 8,5

Z -0,94281

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,345779 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,4a

a. Not corrected for ties b. Grouping Variable:

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,0 pH 7,0 Total 3 3 6 4,17 2,83 12,50 8,50

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 2,5

Wilcoxon W 8,5

Z -0,94281

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,345779 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,4a

a. Not corrected for ties


(53)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank Kesakitan pH 6,0

pH 7,5 Total 3 3 6 4,17 2,83 12,50 8,50

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,0 pH 8,0 Total 3 3 6 4,33 2,67 13,00 8,00

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 2,5

Wilcoxon W 8,5

Z -0,94281

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,345779 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,400a

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 2,5

Wilcoxon W 8,5

Z -0,94281

Asymp. Sig.

(2-tailed) 0,345779

Exact Sig.


(54)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,0 pH 8,5 Total 3 3 6 5,00 2,00 15,00 6,00

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -2,0226

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,043114 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,100a

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,5 pH 7,0 Total 3 3 6 3,50 3,50 10,50 10,50

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 4,500

Wilcoxon W 10,500

Z ,000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 1,000a

a. Not corrected for ties


(55)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,5 pH 7,5 Total 3 3 6 3,50 3,50 10,50 10,50

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 4,500

Wilcoxon W 10,500

Z ,000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 1,000a

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,5 pH 8,0 Total 3 3 6 3,83 3,17 11,50 9,50

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 3,5

Wilcoxon W 9,5

Z -0,4714

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,637352 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] 0,7

a. Not corrected for ties


(56)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 6,5 pH 8,5 Total 3 3 6 5,00 2,00 15,00 6,00

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Npar Test (Mann-Whitney Test) Rank

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 7,0 pH 7,5 Total 3 3 6 3,50 3,50 10,50 10,50 Test Statistics(b) Kesakitan

Mann-Whitney U 4,500

Wilcoxon W 10,500

Z ,000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000a a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 0

Wilcoxon W 6

Z -1,99263

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,046302 Exact Sig. [2*(1-tailed


(57)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 7,0 pH 8,0 Total 3 3 6 3,83 3,17 11,50 9,50

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Npar Test (Mann-Whitney Test) Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 7,0 pH 7,5 Total 3 3 6 5,00 2,00 15,00 6,00

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U ,000

Wilcoxon W 6,000

Z -1,993

Asymp. Sig. (2-tailed) ,046 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,100a

c. Not corrected for ties

d. Grouping Variable: Perlakuan Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 3,500

Wilcoxon W 9,500

Z -,471

Asymp. Sig. (2-tailed) ,637 Exact Sig. [2*(1-tailed


(58)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 7,5 pH 8,0 Total 3 3 6 3,83 3,17 11,50 9,50

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan

Npar Test (Mann-Whitney Test) Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 7,5 pH 8,0 Total 3 3 6 5,00 2,00 15,00 6,00

a. Not corrected for ties

b. Grouping Variable: Perlakuan Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U 3,500

Wilcoxon W 9,500

Z -,471

Asymp. Sig. (2-tailed) ,637 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,700a

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U ,000

Wilcoxon W 6,000

Z -1,993

Asymp. Sig. (2-tailed) ,046 Exact Sig. [2*(1-tailed


(59)

Npar Test (Mann-Whitney Test) Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Rank

Kesakitan pH 8,0 pH 8,5 Total

3 3 6

5,00 2,00

15,00 6,00

Test Statistics(b)

Kesakitan

Mann-Whitney U ,000

Wilcoxon W 6,000

Z -2,023

Asymp. Sig. (2-tailed) ,043 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,100a a. Not corrected for ties


(60)

Lampiran C. Amplikasi Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction

Amplikasi RNA dibagi menjadi dua reaksi protokol dalam mesin RT-PCR yaitu: a. Protokol suhu reaksi PCR tahap I:

42°C 30 menit; 94°C 2 menit, kemudian 94°C 30 detik; 62°C 30 detik; 72°C 30 detik, ulangi 20 siklus, kemudian tambahkan 72°C 30 detik; 20°C 30 detik pada akhir siklus.

b. Profil suhu reaksi PCR tahap 2 (Nested PCR):

94°C 20 detik; 62°C 20 detik; 72°C 30 detik, ulangi 30 siklus, kemudian tambahkan 72°C 30 detik; 20°C 30 detik pada akhir siklus.

Persiapan Reagent

a. RT-PCR Reaction: 8 µL/reaksi

RT-PCR Pre-Mixed Reagent : 7,0 µL IQzymeTM, 2 unit/µL : 0,5 µL Reverse Transcriptase (RT) Mix Enzim : 0,5 µL b. Nested PCR Reaction: 15 µL/reaksi

Nested PCR Pre-Mixed Reagent :14 µL IQzymeTM, 2 unit/µL : 1 µL


(61)

Lampiran D. Pembuatan Isolat Virus Metode menurut Malole et al., (2006)

Diambil organ mata dan otaknya Digerus dengan mortal

Ditambahkan NaCl fisiologis

Disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 15 menit pada suhu 5°C

Diambil supernatan

Disaring dengan miliphore 0,45 µm

Ditambahkan antibiotik penicilin 10.000 IU dan Streptomicin µ l tiap mililiter suspensi Disimpan dalam deef freezer suhu -40ºC Hasil

Inokulan baku virus Virus konsentrasi 10% Ikan kerapu macan positif VNN


(62)

Lampiran E. Alur kerja Uji FID50

Metode Menurut Reed and Muench dalam Amrullah (2004)

Diinfeksi virus VNN dengan konsentrasi masing-masing 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, 10-6, 10-7 sebanyak 0,1 ml/ekor Diamati gejala klinis dan dicatat kematian

Dihitung nilai FID50

Hasil


(63)

Lampiran F. Pemeriksaan Hematologi

Metode Menurut Benjamin (1983) 1. Penentuan Hemoglobin

Dimasukkan ke dalam 2 cuvet

Dimasukkan sampel 10 µ l ke dalam cuvet pertama Dimasukkan akuades 10 µ l ke dalam cuvet kedua

Dihomogenkan masing-masing campuran dan dibiarkan selama 3 menit

Diatur spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm Diatur standar

Dinolkan spektrofotometer

Dimasukkan sampel dan dibaca hasilnya

2. Pemeriksaan Hematokrit (PCV)

Dimasukkan ke dalam tabung hemotokrit sebanyak ¾ tabung dan ditutup ujungnya dengan lilin

Disentrifugasi pada 11.000 rpm selama 5 menit

Dilakukan perhitungan nilai supranatan pada microhematocrite reader Working Reagent

Hasil

Darah


(64)

3. Pemeriksaan Eritrosit

Dihisap dengan aspirator hingga angka 0,5 Dibersihkan ujung pipet dengan tissue

Dihisap larutan Hayem sampai tanda 101 tanpa menimbulkan gelembung udara

Dilepaskan aspirator Dilakukan pengadukan

Dibuang cairan yang tidak ikut terkocok

Diteteskan suspensi darah pada bagian pinggir kamar hitung, dimana tetesan pertama dibuang terlebih dulu

Diamati di bawah mikroskop

Dihitung jumlah sel darah merah pada 5 kotak menengah di bagian tengah kamar hitung

Dihitung jumlah eritrosit dengan Rumus: HPA= n x 10.000 Darah


(65)

4. Pemeriksaan Leukosit

Dihisap dengan aspirator hingga angka 0,5 Dibersihkan ujung pipet dengan tissue

Dihisap larutan Turk sampai tanda 11 tanpa menimbulkan gelembung udara

Dilepaskan aspirator Dilakukan pengadukan

Dibuang cairan yang tidak ikut terkocok

Diteteskan suspensi darah pada bagian pinggir kamar hitung, dimana tetesan pertama dibuang terlebih dulu

Diamati di bawah mikroskop

Dihitung jumlah sel darah putih pada 4 kotak besar pada bagian pinggir kamar hitung

Dihitung jumlah leukosit dengan Rumus: HPA= n x 50 Darah


(66)

Lampiran G. Pemeriksaan Histopatologi Metode Menurut Suntoro (1983)

Dicuci dengan NaCl 0,9%

Difiksasi (dimasukkan ke dalam fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% selama 1 jam)

Washing, (dengan menggunakan jaringan dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80, 96% selama 1,5 jam

Dehidrasi dilakukan dengan merendam otak alkohol absolut I,II,III selama 1 jam

Clearing dilakukan dengan merendam otak dilakukan dengan xylol I,II,III se1ama 5 jam

Infiltrasi dilakukan dengan merendam otak pada parafin I,II yang dilakukan di dalam oven dengan suhu 56ºC selama 2 jam.

Embedding dilakukan dengan meletakkan otak pada kaset berbentuk segi empat yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai cetakan. Setelah itu, menuang parafin yang telah cair ke dalam kaset tersebut, dan diberi label.

Otak


(67)

Cutting dilakukan dengan memotong blok-blok parafin yang telah di

holder pada mikrotum sehingga membentuk pita-pita parafin dengan

ukuran ketebalan 4 µ m.

Attaching dilakukan dengan mengambil beberapa pita parafin dengan

skapel, kemudian diletakkan pada gelas objek, dan dicelupkan pada air dingin dan air hangat. Kemudian diletakkan di atas waterbath beberapa detik untuk melekatkan pita parafin pada objek glass.

Deparafinasi, dilakukan dengan cara mencelupkan preparat ke dalam xylol I, II, III selama 3 menit

Dealkoholisasi, dilakukan dengan mencelupkan preparat ke dalam alkohol absolut I, II, III selama 3 menit

Pewarnaan sediaan otak diwarnai dengan menggunakan Hematoxilin Eosin. Pewarnaan dilakukan dengan cara gelas objek dimasukkan ke dalam larutan pewarna Hematoxilin Erlich selama 3 menit lalu dicuci dengan dengan air mengalir

Mounting dilakukan dengan menutup preparat dengan canada balsam.

Diusahakan supaya tidak terdapat gelembung udara. Diamati di bawah mikroskop

Pita Parafin

Hasil Blok parafin


(1)

Lampiran G. Pemeriksaan Histopatologi Metode Menurut Suntoro (1983)

Dicuci dengan NaCl 0,9%

Difiksasi (dimasukkan ke dalam fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% selama 1 jam)

Washing, (dengan menggunakan jaringan dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80, 96% selama 1,5 jam

Dehidrasi dilakukan dengan merendam otak alkohol absolut I,II,III selama 1 jam

Clearing dilakukan dengan merendam otak dilakukan dengan xylol I,II,III se1ama 5 jam

Infiltrasi dilakukan dengan merendam otak pada parafin I,II yang dilakukan di dalam oven dengan suhu 56ºC selama 2 jam.

Embedding dilakukan dengan meletakkan otak pada kaset berbentuk segi empat yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai cetakan. Setelah itu, menuang parafin yang telah cair ke dalam kaset tersebut, dan diberi label.

Otak


(2)

Cutting dilakukan dengan memotong blok-blok parafin yang telah di holder pada mikrotum sehingga membentuk pita-pita parafin dengan ukuran ketebalan 4 µ m.

Attaching dilakukan dengan mengambil beberapa pita parafin dengan skapel, kemudian diletakkan pada gelas objek, dan dicelupkan pada air dingin dan air hangat. Kemudian diletakkan di atas waterbath beberapa detik untuk melekatkan pita parafin pada objek glass.

Deparafinasi, dilakukan dengan cara mencelupkan preparat ke dalam xylol I, II, III selama 3 menit

Dealkoholisasi, dilakukan dengan mencelupkan preparat ke dalam alkohol absolut I, II, III selama 3 menit

Pewarnaan sediaan otak diwarnai dengan menggunakan Hematoxilin Eosin. Pewarnaan dilakukan dengan cara gelas objek dimasukkan ke dalam larutan pewarna Hematoxilin Erlich selama 3 menit lalu dicuci dengan dengan air mengalir

Mounting dilakukan dengan menutup preparat dengan canada balsam. Diusahakan supaya tidak terdapat gelembung udara.

Diamati di bawah mikroskop Pita Parafin

Hasil Blok parafin


(3)

Lampiran H. Uji Reverse Trancriptase Polimerase Chain Reaction (RT-PCR)

Dimasukkan 20 mg sampel otak ke dalam tabung mikro 1,5 ml Dilarutkan dengan 500 µl RNA Extraction Solution

Digerus sampai hancur, didiamkan pada suhu kamar selama 5 menit Ditambahkan 100 µ l CHCl3, kemudian divortex 20 detik. Biarkan

pada suhu kamar selama 3 menit lalu disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 15 menit.

Dipipet 200 µ l dari fase atas (bagian jernih) ke dalam tabung mikro 0,5 µl yang berisi 200 µ l 2-propanol

Divortex sebentar, lalu disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 10 menit, lalu dibuang isopropanol tersebut

Dicuci pelet dengan 0,5 ml etanol 75%, kemudian di spin down 9000 rpm selama 5 menit untuk mendapatkan pelet RNA, kemudian dituang etanol dan dikeringkan pelet

Dilarutkan dengan 200 µl ddH2O

Otak


(4)

Disiapkan reagent RT-PCR dan Nested PCR sesuai dengan sampel. Untuk setiap campuran reaksi perlu mempertimbangkan 3 standar positif (103, 102 dan 101) dan 1 kontrol negatif (ddH2O atau ragi

tRNA).

Dipipet 8 µl reagen RT-PCR ke dalam tabung mikro dan diberi label Ditambahkan 2 µ l ekstrak sampel RNA atau standar ke masing-masing campuran reaksi

Dimasukkan ke dalam thermal cycle untuk proses tahap I (First PCR Reaction)

Ditambahkan 15 µ l reagen Nested PCR untuk setiap tabung setelah tahap I selesai

Dimasukkan ke dalam thermal cycle untuk proses tahap II (Nested PCR Reaction)

Ditambahkan 5 µ l 6X loading dye untuk masing-masing tabung dan dihomogenkan

Pelet


(5)

Ditimbang gel agarose sebanyak 2 g

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 100 ml TAE Dipanaskan di dalam microwave sampai berubah bening

Didinginkan pada temperatur ruang sampai temperatur 50°C

Dituang dalam kotak gel dengan ketinggian 0,3-0,5 cm dan ketebalan 0,8 cm

Dimasukkan sisir plastik (comb) ke dalam gel agarose Diangkat comb pada saat gel sudah memadat

Ditambahkan buffer elektroforesis ke dalam kotak gel sampai garis pembatas

Dimasukkan 5 µ l marker ke sumur pertama, diikuti kontrol negatif dan sampel sebanyak 8 µ l satu per satu

Dilakukan proses elektroforesis pada tegangan 100-150 volt sampai warna biru mencapai ¾ bagian gel

Dikeluarkan gel dari kotak gel

Direndam gel ke dalam campuran 10 µ l Ethidium Bromida dan 100 ml akuabides selama 10 menit

Diangkat gel dan dicuci dengan akuades steril

Diletak pada transilluminator UV gelombang untuk membaca hasil akhir

Gel agarose


(6)

Lampiran I. Dokumentasi Penelitian

Sterilisasi Kolam penampungan akuarium

Sentrifugasi PCR Vorteks

Microwave Elektroforesis UV-Transmillator