BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ibu - Pengaruh karakteristik Dan Dukungan Keluarga Pada Ibu yang Memuliki Bayi Berumur 0 Sampai 3 Bulan terhadap Pemberian Imunisasi HB-0 di Wilayah Kerja Puskesmas Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak Kabupaten

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Ibu

  Banyak faktor yang memengaruhi seseorang untuk melaksanakan pemberian imunisasi HB-0. Menurut Chen RT dalam Hadi (2005) faktor-faktor yang memengaruhi ketepatan pemberian imunisasi HB-0 adalah : faktor perilaku, faktor non perilaku dan faktor lingkungan. Faktor perilaku mencakup perilaku ibu dan perilaku tenaga kesehatan, faktor non perilaku misalnya sulitnya mencapai sasaran pelayanan kesehatan, mahalnya biaya transportasi dan mahalnya biaya jasa pelayanan kesehatan, termasuk faktor lingkungan dan manajemen program yang meliputi komitmen global program imunisasi, kebijakan pemerintah pusat dan daerah, pengaruh sarana dan prasarana termasuk tersedianya vaksin dengan cukup sesuai kebutuhan dan tenaga kesehatan yang tersedia, terjangkau oleh masyarakat dapat memberikan kontribusi terhadap ketepatan pemberian imunisasi HB-0.

  Di samping itu perilaku yang berhubungan dengan tempat melahirkan, pemeriksaan kehamilan, penolong persalinan. Faktor lain yang dapat berpengaruh adalah merupakan faktor penghambat seperti maturisasi program imunisasi, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), bayi berat lahir rendah (BBLR), bayi sakit, bayi prematur dan sosial budaya masyarakat atau istiadat yang masih relatif kuat yang diyakini oleh individu atau masyarakat.

  15 Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut

  reinforcing stimulation atau reinforce yang akan memperkuat respon. Oleh karena itu

  untuk membentuk perilaku seperti perilaku pemberian imunisasi HB-0 perlu adanya kondisi tertentu yang dapat.

  Di antara berbagai teori dan model perilaku kesehatan, yang saat ini menonjol di bidang promosi dan komunikasi kesehatan, salah satunya adalah Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model). Menurut model kepercayaan kesehatan (Becker, 1974, 1979), perilaku ditentukan apakah seseorang : (1) percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu; (2) menganggap masalah ini serius; (3) menyakini efektivitas tujuan pengobatan dan pencegahan; (4) tidak mahal; dan (5) menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan.

  Health Belief Model merupakan teori yang digunakan untuk

  mengidentifikasikan faktor-faktor yang memengaruhi preventive health belief (perilaku kesehatan pencegahan) seperti pemeriksaan berkala dan imunisasi (Rosentock & Kirsht, 1979 cit Gochman, 1988). Komponen kunci dan teori ini adalah (1) perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan), (2) perceived severity (persepsi akan keparahan suatu penyakit), (3) perceived benefit (persepsi akan manfaat), (4) perceived barriers (persepsi hambatan suatu perilaku pencegahan), (5)

  

cues to action (isyarat untuk bertindak), (6) faktor lainnya seperti sosial, dukungan

suami/keluarga, kepercayaan.

  pendekatan beberapa teori perilaku sehat, perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni :

2.1.1. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

  Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan juga variasi demografi seperti tingkat sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dan dalam din individu tersebut. Dalam faktor predisposisi yang diteliti adalah sebagai berikut:

2.1.1.1. Umur

  Menurut Notoatmodjo (2010), umur ibu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam hal pemberian imunisasi HB-0 pada umur bayi 0-7 hari. Untuk ibu yang usia muda cenderung untuk tingkat pendidikannya rendah sehingga belum memehami akan manfaat imunisasi, sedangkan ibu yang lebih tua cenderung lebih banyak pengalaman dan informasi yang didapat mengenai manfaat imunisasi bagi bayinya.

  Hadi (2005) menemukan ada pengaruh antara umur ibu dengan pemberian imunisasi Hepatitis B-0. Ibu yang mempunyai umur < 25 tahun status imunisasi bayi masih rendah, kemudian meningkat pada umur ibu 25-29 tahun. Semakin bertambah umur ibu (peningkatan 1 tahun), bayi cenderung 0,97 kali lebih rendah memperoleh

2.1.1.2. Pendidikan

  Menurut pendapat Pillai dan Conaway (1992) ibu yang berpendidikan memiliki pengaruh lebih besar dalam program pelayanan kesehatan termasuk dalam memberikan imunisasi kepada anaknya sebab mempunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan.

  Helmi (2008) dalam penelitiannya menyebutkan ada hubungan antara faktor internal (pengetahuan, tingkat pendidikan) dan faktor eksternal (peran petugas kesehatan) dengan perilaku ibu dalam pemberian imunisasi Hepatitis B, sedangkan faktor internal (kepercayaan) dan faktor eksternal (pendapatan) secara statistik tidak terdapat ada pengaruhnya terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B-0.

  Dombkowski (2004) menyebutkan ketepatan usia pemberian imunisasi dipengaruhi oleh pengasuhan oleh orang tua tunggal, jumlah anggota keluarga, pendidikan orang tua, tidak adanya asuransi kesehatan dan kepemilikan telepon. Besarnya anggota keluarga diukur dengan jumlah anak dalam keluarga. Makin banyak jumlah anak makin besar kemungkinan ketidak tepatan pemberian imunisasi pada anak. Keluarga yang mempunyai banyak anak menyebabkan perhatian ibu akan terpecah, sementara sumber daya dan waktu ibu terbatas sehingga perawatan untuk setiap anak tidak dapat maksimal.

  Ismail (1999) menemukan adanya hubungan antara status imunisasi dasar lengkap dengan pengetahuan ibu tentang imunisasi, pendidikan orang tua, pendapatan tentang imunisasi merupakan suatu faktor yang sangat erat.

  2.1.1.3. Pekerjaan

  Status dan pekerjaan ibu memberi pengaruh terhadap status imunisasi. Ibu yang bekerja di luar rumah lebih sering memberikan imunisasi pada anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Hadi (2005) menyatakan bahwa sebesar 8,44 kali lebih besar pada ibu yang bekerja dibandingkan ibu yang tidak bekerja dalam memberikan imunisasi kepada bayinya.

  2.1.1.4. Pengetahuan

  Gust (2004) menyebutkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua bayi berhubungan dengan status imunisasi bayi. Tiga pertanyaan meliputi ketidakinginan orang tua untuk mengimunisasikan bayi jika mempunyai lagi (sikap), ketidakyakinan orang tua tentang keamanan imunisasi (pengetahuan) dan pernah menolak bayinya untuk diimunisasi (perilaku) berhubungan dengan status imunisasi bayi. Selain faktor sosio ekonomi keluarga, pelayanan kesehatan dan jumlah balita dalam keluarga juga ikut memberikan kontribusi terhadap status imunisasi bayi. Jumlah anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi pada anak. Ibu yang mempunyai banyak anak kesulitan dalam mendatangi tempat pelayanan kesehatan. Karakteristik ibu yang mempengaruhi ketidak lengkapan imunisasi anak adalah ibu kulit hitam dan hispanic, janda, berpendidikan rendah < 12 tahun dan hidup di bawah garis kemiskinan (Lukman, 2008).

  Penelitian Kasniyah (2001) di Kecamatan Bayan Jawa Tengah menyebutkan masyarakat tentang imunisasi. Faktor tersebut berupa anjuran dan pemimpin formal maupun non formal di masyarakat serta anjuran dari petugas kesehatan.

2.1.1.5. Sikap (attitude)

  1. Defenisi Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2007).

  Newcomb dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

1. Komponen Pokok Sikap

  Allport yang dikutip dari Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu : a.

  Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

  b.

  Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c.

  Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

  Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total emosi memegang peranan penting. Sebagai contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar tentang penyakit hepatitis B (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena hepatitis B. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya anaknya tidak terkena hepatitis B. Ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit hepatitis

  2. Tingkatan Sikap 1.

  Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

  2. Merespons (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

  3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  4. Bertanggung jawab (responsible)

  Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).

  Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap 1.

  Faktor Internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.

  2. Faktor Eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap (Notoatmodjo, 2003).

  2.1.2. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)

  Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana, sumber informasi atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut juga faktor-faktor pendukung. Misalnya : Puskesmas, Posyandu, Polindes, Rumah Sakit.

  2.1.3. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing Factors) Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

  Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), dukungan suami, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Faktor penguat adalah: Menurut Sarwono dalam Yusuf (2007), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Sistem dukungan untuk mempromosikan perubahan prilaku ada 3, yaitu: (1) dukungan materil adalah menyediakan fasilitas latihan, (2) dukungan informasi adalah untuk memberikan contoh nyata keberhasilan seseorang dalam melaksanakan diet dan latihan, dan (3) dukungan emosional atau semangat adalah memberi pujian atas keberhasilan proses latihan.

  Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan

  Menurut Rodin & Salovey yang dikutip oleh Niven (2002) mengemukakan bahwa perkawinan dan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. dukungan sosial sebagai info verbal/non verbal, bantuan nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku bagi pihak penerima.

  Siswandoyo dan Putro (2003) melakukan survei terhadap ibu—ibu anak usia 12-23 bulan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi Hepatitis B menyebutkan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi anak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendapatan, waktu tempuh, dukungan keluarga dan pelayanan petugas imunisasi.

  Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh memberikan kasih saying serta menerima dan mendukung. Menurut Friedman (2003) dukungan keluarga adalah bagian integral dari dukungan social. Dampak positif dari dukungan keluarga adalah meningkatkan penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan.

2.2. Bentuk Dukungan Keluarga i. Dukungan Instrumental

  Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung, seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan dan pelayanana. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karea individu langsung memecahkan masalah yang berhubungan dengan materi. Dukungan instrumental sangat dierlukan terutama dalam mengatasi masalah yang di anggap dapat diatasi.

ii. Dukungan Informasional

  Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran dan umpan balik tentang situasi dan keadaan individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

iii. Dukungan Emosional

  Bentuk dukungan ini membuat individu merasa nyaman, yakin diperlukan untuk dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat mengatasi masalah dengan baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapai keadaan yang dianggap tidak dapat diatasi.

  iv. Dukungan Penilaian

  Bentuk dukungan ini berupa penghargaan tinggi pada individu, pemberian semangat, persetujuan dengan pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

  Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.

  Efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan. Secara spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stress (Setiadi, 2008).

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga

  Sarafino (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan menerima dukungan keluarga atau tidak.

  Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: a. Faktor dari Penerima Dukungan (Recipient) Seseorang tidak akan menerima dukungan social dari orang lain jika ia tidak suka bersosial, tidak suka menolong orang lain, dan tidak ingin orang lain tahu bahwa ia membutuhkan bantuan. Beberapa orang terkadang tidak cukup asertif untuk memahami bahwa ia sebenarnya membutuhkan bantuan dari orang lain, ataumerasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya atau tidak tahu kepada siapa dia harus meminta pertolongan.

  b. Faktor dari Pemberi Dukungan (Providers) Seorang terkadang tidak memberikan dukungan social kepada orang lain ketika ia sendiri tidak memiliki sumber daya untuk menolong orang lain, atau tengah menghadapi stres, harus menolong dirinya sendiri atau kurang sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain membutuhkan dukungan darinya.

  Menurut Friedman (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan efeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari orang tua dengan kelas sosial bawah.

  Suami adalah pemimpin dan pelindung bagi istrinya, maka kewajiban suami terhadap istrinya ialah mendidik, mengarahkan serta mengertikan istri kepada kebenaran, kemudian memberinya nafkah lahir batin, mempergauli serta menyantuni dengan baik (Harymawan, 2007).

  Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suamimempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga (Chaniago, 2002).

2.4. Hepatitis B

  Hepatitis B didefinisikan sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan ditandai dengan suatu peradangan yang terjadi pada organ tubuh seperti hati (Liver).Penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit kuning, padahal penguningan (kuku, mata, kulit) hanya salah satu gejala dari penyakit Hepatitis itu (Misnadiarly, 2007).

2.4.1. Etiologi

  Hepatitis B terjadi disebabkan oleh Virus hepatitis B yang terbungkus serta mengandung genoma DNA (Deoxyribonucleic acid) melingkar. Virus ini merusak fungsi liver dan terus berkembang biak dalam sel-sel hati (Hepatocytes). Akibat serangan ini sistem kekebalan tubuh kemudian memberi reaksi dan melawan.Kalau berhasil maka virus dapat terbasmi habis. Tetapi jika gagal virus akan tetap tinggal dan menyebabkan Hepatitis B kronis (si pasien sendiri menjadi carrier atau pembawa virus seumur hidupnya). Dalam seluruh proses ini liver mengalami peradangan (Misnadiarly, 2007).

  2.4.2. Sumber Penularan

  Virus hepatitis B mudah ditularkan kepada semua orang.Penularannya dapat kemaluan wanita (Sekret Vagina), darah menstruasi. Dalam jumlah kecil HBsAg positif dapat juga ditemukan pada Air Susu Ibu (ASI), air liur, air seni, keringat, tinja, cairan amnion dan cairan lambung (Dalimartha, 2004).

  2.4.3. Cara Penularan

  Ada dua macam cara penularan Hepatitis B, yaitu transmisi vertikal dan transmisi horisontal.

  a.

  Transmisi vertikal Penularan terjadi pada masa persalinan (Perinatal).Virus hepatitis B ditularkan dari ibu kepada bayinya yang disebut juga penularan Maternal Neonatal.

  Penularan ini terjadi akibat ibu yang sedang hamil terserang penyakit Hepatitis B akut atau ibu memang pengidap kronis Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

  b.

  Transmisi horisontal Adalah penularan atau penyebaran Virus hepatitis B dalam masyarakat.

  Penularan terjadi akibat kontak erat dengan pengidap Hepatitis B atau penderita Hepatitis B akut.Misalnya pada orang yang tinggal serumah atau melakukan hubungan seksual dengan penderita Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

  Cara penularan paling utama di dunia ialah dari ibu kepada bayinya saat proses melahirkan. Kalau bayinya tidak divaksinasi saat lahir bayi akan menjadi

  

carrier seumur hidup bahkan nantinya bisa menderita gagal hati dan kanker hati.

  Selain itu penularan juga dapat terjadi lewat darah ketika terjadi kontak dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

  Masa inkubasi (saat terinfeksi sampai timbul gejala) sekitar 24-96 minggu (Misnadiarly, 2007).Namun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa masa inkubasi Virus hepatitis B berkisar dari 15–180 hari (rata-rata 60-90 hari).

  2.4.5. Gejala dan Tanda

  Gejala penyakit Hepatitis B ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia pasien saat terinfeksi, kondisi kekebalan tubuh dan pada tingkatan mana penyakit diketahui. Gejala dan tanda antara lain: a.

  Mual-mual (Nausea) b. Muntah (Vomiting) disebabkan oleh tekanan hebat pada liver sehingga membuat keseimbangan tubuh tidak terjaga c.

  Diare d. Anorexia yaitu hilangnya nafsu makan yang ekstrem dikarenakan adanya rasa mual e.

  Sakit kepala yang berhubungan dengan demam, peningkatan suhu tubuh f. Penyakit kuning (Jaundice) yaitu terjadi perubahan warna kuku, mata, dan kulit.

  2.4.6. Kelompok yang Rentan

  Adapun kelompok yang rentan terkena Hepatitis B adalah : a. Anak yang baru lahir dari ibu yang terkena Hepatitis B b. Tinggal serumah atau berhubungan seksual dengan penderita Hepatitis B c.

  Mereka yang tinggal atau sering bepergian ke daerah endemis Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

  Seseorang yang terinfeksi Virus hepatitis B maka proses perjalanan penyakitnya tergantung pada aktivitas sistem pertahanan tubuhnya. Jika sistem pertahanan tubuhnya baik maka infeksi Virus hepatitis B akan diakhiri dengan proses penyembuhan. Namun, bila sistem pertahanan tubuhnya terganggu maka penyakitnya akan menjadi kronik. Penderita Hepatitis B Kronik dapat berakhir menjadi sirosis hati atau kanker hati (Karsinoma Hepatoseluler). Sirosis dan kanker hati sering menimbulkan komplikasi berat berupa pendarahan saluran cerna hingga Koma Hepatik (Dalimartha, 2004).

  2.4.8. Diagnosa

  Diagnosa yang dapat dilakukan yaitu serologi (test darah) dan biopsi liver (pengambilan sampel jaringan liver).Bila HBsAg positif maka orang tersebut telah terinfeksi oleh Virus hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

  2.4.9. Pencegahan Hepatitis B

  Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui program imunisasi. Imunisasi adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh yang diharapkan dapat menghasilkan zat antibodi yang pada saatnya nanti digunakan untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (Hadinegoro, 2008).

  Program imunisasi di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

  1. Imunisasi Wajib Imunisasi yang diwajibkan meliputi HB-0 (Hepatitis B 0-7 hari), BCG (Bacille

Calmette Guerin), Polio, DTP/HB (Difteria, Tetanus, Pertusis) dan campak.

  2. Imunisasi yang Dianjurkan Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat beban penyakit (burden of disease) namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas.Imunisasi yang dianjurkan adalah HiB (Haemophillus

  Influenza Tipe B) , Pneumokokus, Influenza, MMR (Measles, Mumps, Rubella),

  Demam tifoid, Hepatitis A, Varisela, Rotavirus, dan HPV (Human Papilloma Virus) (Dinkes, 20013).

2.5. Pengertian Imunisasi

  Imunisasi salah satu cara yang paling efektif untuk memberikan kekebalan khusus terhadap seseorang yang sehat, dengan tujuan utama untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 2000).

  Menurut Musa dalam Mirzal (2008) Imunitas dalam ilmu kedokteran adalah suatu peristiwa mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing hingga terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik Imunisasi (PD3I).

  Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.Oleh karena itu imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga apabila seseorang terpapar antigen yang serupa maka tidak akan pernah terjadi penyakit (Ranuh dkk, 2001).

2.5.1. Program Imunisasi

  Program imunisasi di Indonesia telah dimulai sejak abad ke 19 untuk membasmi penyakit cacar khususnya di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi dinyatakan Negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980 mulai diperkenalkan imunisasi BCG, DPT dan TT secara berturut-turut untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit TBC anak, difteri, pertusis dan tetanus neonatorum. Tahun 1981 dan 1982 berturut-turut mulai diperkenalkan antigen polio dan campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai kecamatan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) (Depkes RI, 2000).

  Cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4% pada tahun 1984. Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Dengan bantuan donor internasional (antara lain WHO, UNICEF, USAID) program berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin. Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur.

  Pemerintah bertekad untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) yaitu komitmen internasional dalam rangka Child Survival pada akhir tahun 1990.

  Dengan penerapan strategi mobilisasi sosial dan pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), UCI ditingkat nasional dapat dicapai pada akhir tahun 1990.

  Akhirnya lebih dari 80% bayi di Indonesia mendapat imunisasi lengkap sebelum ulang tahunnya yang pertama (Depkes RI, 2000).

2.5.2. Tujuan Pelaksanaan Imunisasi

  Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit yang dapat menyerang anak-anak. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sedini mungkin kepada bayi dan anak-anak. Menurut Depkes RI (2001), tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita dan anak-anak pra sekolah. semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi.Tujuan pemantauan menurut Azwar (2003) adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan kerja, mengetahui permasahan yang ada.Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki program.

  Menurut Sarwono (1998), pemantauan yang dilakukan oleh petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi adalah sebagai berikut : Pemantauan ringan adalah memantau apakah pelaksanaan pemantauan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, apakah vaksin cukup tersedia, pengecekan lemari es normal, hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan, peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril, apakah diantara 6 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dijumpai dalam seminggu.

  Cakupan imunisasi dapat dilakukan dengan cara memantau cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan garis target, dapat digambarkan masing-masing desa. Untuk mengetahui keberhasilan program dapat dengan melihat seperti, bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 75-100% dari target, berarti program sangat berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 50-75% dari target, berarti program cukup berhasil dan bila garis pencapaian dalam 1 tahun dibawah 50% dari target berarti program belum berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat dibawah 25% dari target berarti program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan dan kabupaten. Disamping itu, pada kedua tingkat ini perlu 2003).

2.5.3. Imunisasi Hepatitis B

  Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu (1) vaksin yang berasal dari plasma, dan (2) vaksin rekombinan.Kedua vaksin ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir karena antibodi anti HBsAg ibu tidak mengganggu respons terhadap vaksin (Wahab, 2002).

  Vaksin Hepatitis B sering disebut dengan unject. Unject ini sendiri adalah : Alat suntik (spluit dan jarum) sekali pakai dan tidak dipakai ulang dengan spesifikasi Uniject-HB sebagai berikut: a.

  Isi kemasan 0,5 ml b. Ukuran jarum 25 G x 5/8” c. Dimensi : panjang kemasan 2,3 x 3,5 cm d. Satu box karton (3 liter) isi 100 uniject e. Satu coldbox carton (isi 40 liter) berisi 800 uniject HB-0 12 water pack.

  Kemudian uniject ini adalah alat suntik yang tidak perlu diisi vaksin oleh petugas sebelum disuntikan, karena sudah terisi dari pabriknya, alat suntik yang tidak perlu distrerilkan oleh petugas sebelum disuntikan karena sudah steril dari pabriknya, Alat suntik yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit karena jarum suntik

  Imunisasi Hepatitis B pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B

  yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. HBIg tidak

  Imunoglobulin (HBIg)

  

selalu tersedia di kebanyakan negara berkembang, di samping itu harganya yang relatif

mahal. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi Hepatitis B. Dalam beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita Hepatitis B perlu diberikan HBIg mendahului

atau bersama-sama dengan vaksinasi Hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi

terhadap VHB diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya 24 jam setelah persalinan. Vaksin HB-0 diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan.Untuk mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin HB-0 diberikan segera setelah persalinan (Dalimartha, 2004).

2.6. Program Imunisasi Hepatitis B di Indonesia

  Imunisasi Hepatitis B dimaksudkan agar individu membentuk antibodi yang ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi virus Hepatitis B. Tujuan umum pemberian imunisasi Hepatitis B yaitu untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B, dengan tujuan khususnya adalah memberikan imunisasi Hepatitis B, tiga dosis kepada bayi berumur 0-11 bulan dengan memberikan dosis pertama sedini mungkin sebelum bayi berumur < 7 hari (Depkes RI, 2000).

  Pemberian imunisasi HB-0 sesuai dengan jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2000 harus berdasarkan status HbsAg ibu pada saat melahirkan. Bayi dilahirkan dan ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, diberikan vaksin mg secara intra muscular dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diketahui HbsAg ibu positif segera diberikan 0,5 ml HBIG (Hepatitis B

  

Immune Globulin) sebelum usia anak satu minggu. Bayi lahir dari ibu HbsAg positif,

  dalam waktu 12 jam setelah lahir secara bersamaan diberikan 0,5 ml HBIG dan vaksin rekombinan (HB Vak- II 5 mg atau engerix B 10 mg) intra muscular di sisi tubuh yang berlainan.

  Dosis kedua diberikan 1-2 bulan sesudahnya dan dosis ketiga pada usia 6 bulan. Bayi yang lahir dan ibu dengan HbsAg negatif, diberikan vaksin rekombinan (HB Valc-II dengan dosis minimal 2,5 ug atau engerix B 10 ug), vaksin plasma

  derived dengan dosis 10 ug intra muscular saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua

  diberikan 1-2 bulan kemudian dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis pertama.

  Pemberian imunisasi HB-0 segera setelah lahir di Indonesia masih sulit. Kesulitan itu antara lain karena masyarakat belum bisa menerima penyuntikan pada bayi baru lahir dan kontak tenaga kesehatan dengan bayi baru lahir kurang karena sebagian persalinan masih ditolong oleh dukun (Depkes RI, 2000). Koordinasi pelaksanaan imunisasi Hepatitis B dilakukan oleh petugas KIA dan imunisasi.

  Pemberian imunisasi HB-0 untuk bayi berumur 0 sampai 7 hari menjadi kewenangan petugas KIA sedangkan HB 2 dan HB 3 kewenangan petugas imunisasi. Penjangkauan bayi baru lahir dengan memantau kohort ibu hamil yang dimulai saat

  Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dosis pertama imunisasi HB-0 diberikan segera setelah lahir sedangkan persalinan yang ditolong oleh dukun, penjangkauannya berdasarkan laporan keluarga/kader/dukun kepada tenaga kesehatan/bidan desa (Depkes RI, 2002).

  Vaksin Hepatitis B dibuat dari bagian virus yaitu lapisan paling kuat (mantel

  

virus) yang telah mengalami proses pemurnian. Vaksin HB-0 akan rusak karena

pembekuan dan karena pemanasan. Vaksin ini paling baik disimpan pada suhu 2-8°C.

  adanya perkembangan baru untuk vaksin HB-0 yang disebut uniject prefilled syring Hepatitis B (Uniject HB). Penggunaan uniject HB-0 oleh bidan di desa adalah salah satu alternatif utama dalam upaya pengembangan Hepatitis B agar bisa segera memberikan imunisasi pada bayi baru lahir 0-7 hari untuk mencegah terjadinya transmisi vertikal (Depkes RI, 2000).

2.6.1. Tujuan Program Imunisasi Hepatitis B

  Tujuan program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan umum

  Adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B.

  2. Tujuan khusus

  Adalah Pemberian dosis pertama dari vaksin HB-0 kepada bayi sedini mungkin sebelum bayi berumur 7 hari.

  Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu.

  Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu : 1. Imunisasi HB-0 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.

  2. Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepatitis B-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepatitis B-2 dengan hepatitis B-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008).

Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B Umur Bayi Imunisasi Kemasan

  0-7 hari HB-0 Uniject (HB-monovalen) 2 bulan DPT/HB1 Kombinasi DPT/HB-1 3 bulan DPT/HB2 Kombinasi DPT/HB-2 4 bulan DPT/HB3 Kombinasi DPT/HB-3

  Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008

2.6.3. Kontra indikasi dan Efek Samping

  Vaksin hepatitis B diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil, bayi baru lahir, pasien dengan immunocompromised, yaitu pasien dengan kelainan sistem imunitas seperti penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Efek samping yang mungkin timbul dapat berupa reaksi lokal ringan seperti rasa sakit pada bekas suntikan dan reaksi peradangan.Reaksi sistemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada saluran cerna. Gejala di atas akan hilang

2.7. Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B

  Imunisasi merupakan program penting dalam upaya pencegahan primer bagi individu dan masyarakat terhadap penyebaran penyakit menular.Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya di imunisasi dengan berbagai alasan. Beberapa hambatan pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000) adalah pengetahuan, lingkungan, logistik, urutan anak dalam keluarga, jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi, mobilitas keluarga, ketidakstabilan politik, sikap tenaga kesehatan, pembiayaan dan pertimbangan hukum.

  Gust (2004), menyebutkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua bayi berhubungan dengan status imunisasi bayi.Tiga pertanyaan meliputi ketidakinginan orang tuauntuk mengimunisasi bayinya jika mempunyai bayi lagi (sikap), ketidakyakinan orang tua tentang keamanan imunisasi (pengetahuan), dan pernah menolak bayinya di imunisasi (perilaku) berhubungan dengan status imunisasi bayi.Selain itu faktor sosial ekonomi keluarga, pelayanan kesehatan, dan jumlah balita dalam keluarga juga ikut memberikan kontribusi terhadap status imunisasi bayi.Jumlah anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi pada anak.Ibu yang mempunyai banyak anak kesulitan dalam mendatangi tempat pelayanan kesehatan.Karakteristik ibu yang mempengaruhi ketidaklengkapan imunisasi anak adalah ibu kulit hitam, janda, berpendidikan rendah, dan hidup dibawah garis kemiskinan (Lukman, 2008).

  12-23 bulan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi hepatitis B menyebutkan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi anak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendapatan, waktu tempuh, dukungan keluarga, dan pelayanan petugas imunisasi.

2.8. Landasan Teori

  Konsep teori Lawrence Green (1991) dalam Notoatmodjo tahun 2007 yaitu dalam mendiagnosis perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, adalah sebagai berikut:

  • Pengetahuan • Sikap • Kepercayaan • Keyakinan • Nilai-nilai
  • Ketersediaan Sarana dan Prasarana
  • Dukungan Keluarga

Gambar 2.1. Hubungan Status Kesehatan dan Perilaku Faktor Predisposisi

  Faktor Pemungkin

  Status Kesehatan Perilaku Kesehatan Faktor Penguat Dari kerangka teori diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut teori faktor predisposisi (predisposing factor) yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya, (2) faktor pemungkin (enabling factor)yaitu tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan dan ketersediaan vaksin HB-0 dan (3) faktor penguat (renforcing factor) yaitu sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas serta dukungan keluarga.

  Salah satu kunci keberhasilan proses pemberian imunisasi HB-0 adalah adanya dukungan dari keluarga yaitu suami, ibu, mertua atau anggota keluarga lainya.

  Menurut Caplan (1976) dalam Friedman (1998) mengemukakan bahwa keluarga memiliki fungsi dukungan yaitu: dukungan informasional,dukungan penilaian,dukungan instrumental dan dukungan emosional Dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada ibu tentang imunisasi HB-0 , menemani ibu pada saat konsultasi ke petugas kesehatan dan membantu ibu pada saat mengimunisasikan bayinya.

2.9. Kerangka Konsep

  Berdasarkan pada landasan teori diatas, maka pada penelitian ini dirumuskan

  Variabel Independen Variabel Dependen Karakteristik Ibu :

  • Umur • Pendidikan • Pekerjaan • Jumlah Anak • Pengetahuan • Sikap

  Pemberian Imunisasi HB-0 Dukungan Keluarga

  • Dukungan Informasional • Dukungan Penilaian • Dukungan Instrumental • Dukungan Emosional

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

  Kerangka konsep menggambarkan bahwa variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor predisposisi ( Umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, pengetahuan, sikap) dan faktor pendorong (dukungan keluarga) sedangkan variabel dependen adalah pemberian imunisasi HB-0.

Dokumen yang terkait

Pengaruh karakteristik Dan Dukungan Keluarga Pada Ibu yang Memuliki Bayi Berumur 0 Sampai 3 Bulan terhadap Pemberian Imunisasi HB-0 di Wilayah Kerja Puskesmas Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2014

1 30 178

Pengaruh Karakteristik Ibu dan Dukungan Suami terhadap Pemberian Imunisasi BCG Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Aekraja Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2011

4 34 88

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Campak Pada Bayi di Puskesmas Padang Bulan Medan

16 82 61

Pengaruh Karakteristik Ibu Dan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi 0 - 7 Hari Di Kabupaten Langkat

4 66 131

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Perilaku - Pengaruh Perilaku Ibu Balita Dan Dukungan Keluarga Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi Dasar Di Wilayah Kerja Puskesmas Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013

0 0 31

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication - Pengaruh Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dan Karakteristik Ibu terhadap Kelengkapan Imunisasi Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kabupaten Deli Serdang

0 0 28

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) - Determinan Pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) pada Ibu Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Balige Kabupaten Toba Samosir Tahun 2013

0 3 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Faktor yang Memengaruhi Kejadian Anemia pada Ibu Hamil - Pengaruh Karakteristik Individu, Konsumsi Zat Gizi dan Sosial Budaya terhadap Kejadiaan Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut

0 0 31

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga - Dukungan Keluarga dalam Pelaksanaan Pijat Oksitosin untuk Meningkatkan Produksi ASI pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor

0 0 19

Pengaruh karakteristik Dan Dukungan Keluarga Pada Ibu yang Memuliki Bayi Berumur 0 Sampai 3 Bulan terhadap Pemberian Imunisasi HB-0 di Wilayah Kerja Puskesmas Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2014

0 0 55