Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai

(1)

PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

MARINI NOVIANDRI

091301007

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2013/2014


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul :

Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2014

MARINI NOVIANDRI 091301007


(3)

Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai Marini Noviandri dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran penyesuaian diri lansia pasca bercerai. Penyesuaian diri akan dijabarkan berdasarkan indikator penyesuaian diri yang normal oleh Schneiders (1964). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terhadap dua orang partisipan dengan karakteristik lansia wanita yang telah bercerai di usia 60 tahun ke atas. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara secara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan kedua partisipan memiliki penyesuaian diri yang baik setelah bercerai. Penyesuaian diri ini dapat dilihat dengan tidak adanya emosi berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan psikologis, tidak adanya rasa frustrasi, pertimbangan rasional dan kemampuan pertahanan diri, mampu untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu, dan bersikap realistis serta objektif. Dukungan emosional yang diberikan oleh lingkungan keluarganya membantu partisipan dalam menyesuaikan diri.


(4)

Elderly’s Post-Divorce Adjustment Marini Noviandri and Indri Kemala Nasution

ABSTRACT

The aim of this research is to know how alderly can make a self-adjustment after a divorce by using Schneiders’ normal adjustmet theory. The method used in this research is case study of two partisipants which has several characteristics such as, elderly woman who have been divorced at age 60 years and over. The method which has been used to gathering datas was in-depth-interview. The result showed the partisipant could adjust herself nicely after the divorce. The adjustment can be seen by the absence of excessive emotionality, absence of psychological mechanisms, absence of the sense of personal frustration, rational deliberation and self-direction, ability to learn, utilization of past experience, and realistic, objective attitude. The emotional support she takes from her family helps her to adjust herself nicely.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia dan hidayahnya penulis dapat menyusun sebuah penelitian yang berjudul “PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI” guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Sumatera Utara.

Rasa terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, H. Arziyon, SE. dan Dr. Hj. Chairul Bariah Mozasa, SH., M.Hum., yang tidak henti-hentinya memberikan semangat, dukungan, dan doa di sepanjang proses penelitian ini. Terciptanya penelitian ini tidak terlepas dari doa restu yang selalu dipanjatkan oleh Papa dan Mama.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang memberikan dukungan serta bantuan. Untuk itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulus hati kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah sabar meluangkan waktu dan tenaganya untuk membimbing, mendukung, serta memberi saran selama proses penyelesaian penelitian ini. Merupakan sebuah kehormatan bagi penulis dapat dibimbing dan bertukar pikiran bersama kakak.


(6)

3. Ibu Ade Rahmawati, M.Psi, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas kesediaan ibu untuk meluangkan waktu menguji serta memberikan saran dan kritik guna menyempurnakan penelitian ini.

4. Mbak Aprilia Fadjar Pertiwi, M.si, psikolog selaku dosen pembimbing

akademik. Walaupun hanya beberapa semester, penulis tetap berterima kasih kepada Mbak Iteung karena saran yang diberikan benar-benar membantu penulis di masa-masa awal perkuliahan. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada kak Juliana Irmayanti Saragih, M.psiyang juga menjadi dosen pembimbing akademik di masa pertengahan hingga akhir perkuliahan. Tidak hanya memberikan bimbingan akademik, namun Kak Juli juga berbaik hati untuk memberikan saran terkait penelitian ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang

telah membagikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis. Semoga ilmu ini akan terus bermanfaat sepanjang hidup.

6. Seluruh staf bidang akademik, administrasi, dan perpustakaan Fakultas

Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan melancarkan segala urusan administrasi penulis selama ini.

7. Kakak, adik, serta sepupu-sepupu penulis, kak Annisa Yulindri (Icha), Yati Sharfina Desiandri, kak Euis Wikanita, dan Rafika Maya Sari Siregar (Pika) yang juga memberikan dukungan penuh terhadap penelitian ini. terima kasih juga karena telah memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini.


(7)

8. Teman-teman terbaik dari penulis, Rezki Wulandari (Wulan), Hana Zafirah Ardani, Rahma Safitri (Lili), Yurisqa Shadila (Dila), Qisty Anindiaty, Yuanda Novrita (Wanda), dan Farah Oktamurdiantri (Pai) yang selama 5 tahun terakhir menjadi tempat untuk saling berbagi, mulai dari berbagi ilmu, cerita, hingga makanan. Terima kasih atas dukungan yang telah diberikan. Terima kasih karena selalu ada ketika dibutuhkan. Terima kasih atas semua kenangan yang kalian berikan selama perkuliahan ini. Semoga persahabatan ini berlangsung hingga selamanya.

9. Terima kasih kepada Katriin dan Ratna yang membantu penulis memberikan

inspirasi dalam menulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Aisyah, Putri Carol, Agiska, Jeremy, Serefhy, Juli, Inu, Chika, Susi T., Fita, Rezqy ‘Ubi’, dan Riri yang juga berjuang selama proses penelitian ini berlangsung. Semoga kita semua bisa menyandang gelar Sarjana Psikologi dalam waktu dekat.

10. Keluarga besar H. Mohammad Zain Saidi (Mozasa) dan keluarga besar H.

Abdurrahman yang selalu memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis. Perhatian-perhatian tersebut selalu menjadi semangat bagi penulis selama proses penyelesaian penelitian ini.

11. Pihak-pihak yang membantu penulis ketika mencari partisipan yang sesuai

dengan karakteristik penelitian. Terima kasih kepada Om Edi Yunara, Pak Jalaludin, dan Pak Zulham yang tiada hentinya memberikan informasi kepada penulis yang berkaitan dengan penelitian ini.


(8)

12. Kedua partisipan penelitian yang bersedia meluangkan waktunya di dalam penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Anda berdua.

13. Pihak-pihak yang telah membantu keseluruhan proses penelitian ini yang

tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih atas bantuan, dukungan, saran, serta kritik yang diberikan selama penelitian berlangsung.

Penulis sadar bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, maka daripada itu penulis mengharapkan saran dan kritik agar penelitian ini menjadi lebih baik. Akhir kata penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Medan, April 2014


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9


(10)

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : LANDASAN TEORI ... 11

A. Penyesuaian Diri ... 11

1. Definisi Penyesuaian Diri ... 11

2. Bentuk Penyesuaian Diri ... 12

3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal ... 14

4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 16

5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik ... 18

6. Penyesuaian Diri Lansia ... 20

B. Lansia ... 23

1. Definisi Lansia ... 23

2. Tugas Perkembangan Lansia ... 25

C. Perceraian ... 26

1. Definisi Lansia ... 26

2. Perceraian di Masa Lansia ... 27

3. Penyebab Perceraian ... 28

4. Dampak Perceraian ... 31

5. Penyesuaian Perceraian ... 33

D. Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai ... 37

E. Dinamika Penelitian ... 40

BAB III : METODE PENELITIAN ... 41


(11)

B. Metode Penelitian ... 42

C. Partisipan Penelitian ... 42

1. Karakteristik Partisipan Penelitian ... 42

2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 43

3. Teknik Pengambilan Partisipan ... 43

4. Lokasi Penelitian ... 44

D. Metode Pengambilan Data ... 44

E. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 45

F. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ... 46

G. Prosedur Penelitian ... 47

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 47

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 49

3. Tahap Pencatatan Data ... 51

4. Prosedur Analisis Data ... 51

BAB IV : ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN... 54

A. Hasil ... 55

1. Analisa Data Partisipan ... 55

a. Identitas Diri Partisipan ... 55

b. Latar Belakang Partisipan ... 55

2. Data Wawancara Partisipan ... 58

a. Data Hasil Observasi ... 58

b. Data Hasil Wawancara ... 61


(12)

2) Perceraian ... 65

3) Penyesuaian Diri Pasca Bercerai ... 68

a) Tidak adanya emosi yang berlebihan ... 68

b) Tidak adanya mekanisme psikologis ... 70

c) Tidak adanya rasa frsutrasi ... 71

d) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri ... 72

e) Mampu untuk belajar ... 73

f) Memanfaatkan pengalaman masa lalu ... 75

g) Sikap yang realistis dan objektif ... 76

3. Hasil Data Partisipan ... 77

B. Analisa dan Pembahasan Partisipan ... 85

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 150

A. Kesimpulan ... 150

B. Saran ... 153

1. Saran Praktis ... 153

2. Saran Penelitian Lanjutan ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 155


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan ... 55 Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan ... 58 Tabel 3. Rekapitulasi Penyesuaian Diri Partisipan Pasca Bercerai ... 92


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Gambaran Penyesuaian Diri Partisipan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Pedoman Wawancara ... 101 LAMPIRAN 2 Informed Consent ... 104 LAMPIRAN 3 Rekonstruksi Data ... 108


(16)

Elderly’s Post-Divorce Adjustment Marini Noviandri and Indri Kemala Nasution

ABSTRACT

The aim of this research is to know how alderly can make a self-adjustment after a divorce by using Schneiders’ normal adjustmet theory. The method used in this research is case study of two partisipants which has several characteristics such as, elderly woman who have been divorced at age 60 years and over. The method which has been used to gathering datas was in-depth-interview. The result showed the partisipant could adjust herself nicely after the divorce. The adjustment can be seen by the absence of excessive emotionality, absence of psychological mechanisms, absence of the sense of personal frustration, rational deliberation and self-direction, ability to learn, utilization of past experience, and realistic, objective attitude. The emotional support she takes from her family helps her to adjust herself nicely.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Semasa hidup, manusia akan melewati tahap-tahap perkembangan tertentu. Perkembangan manusia diawali dari pertumbuhan janin di dalam rahim hingga masa lansia. Setiap tahap perkembangan memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus dilewati tiap individu. Begitu pula dengan lansia, yang juga menjalani tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996).

Tugas perkembangan lansia didominasi oleh penyesuaian diri (Havighurst dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan kondisi fisik yang mengakibatkan lansia harus mengurangi beberapa kegiatan yang dijalaninya. Tugas perkembangan lainnya adalah penyesuaian diri terhadap masa pensiun yang umumnya dijalani oleh lansia. Selain kedua hal di atas, tugas perkembangan lansia lainnya adalah menyesuaikan diri terhadap hilangnya pasangan (Hurlock, 1996).

Kehilangan pasangan di masa lansia dapat terjadi karena kematian ataupun perceraian (Hurlock, 1996). Walaupun lebih banyak lansia yang menjadi janda atau duda akibat kematian pasangan, namun ada juga beberapa lansia yang mengalami kesendirian karena perceraian. Menurut data yang dihimpun oleh BPS-RI Susenas yang dilansir dalam Komisi Nasional Lanjut Usia pada tahun


(18)

2009 persentase lansia di Indonesia yang mengalami perceraian adalah 2,21% dari total jumlah lansia. Jumlah ini memang cukup sedikit, tetapi hal ini menunjukkan bahwa perceraian di masa lansia juga perlu mendapat perhatian khusus (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010).

Jumlah lansia yang bercerai di kota Medan, baik sebagai pihak penggugat maupun tergugat, pada tahun 2013 mencapai 177 orang. Tidak adanya keharmonisan merupakan penyebab utama dari perceraian (Pengadilan Agama Medan, 2013). Menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012), ketidakcocokan atau disharmonis antara pasangan lansia disebabkan oleh penurunan fungsi fisik dan psikologis dari lansia itu sendiri. Akibatnya timbulah ketegangan emosional yang mempengaruhi hubungan pernikahannya. Selain itu tidak sedikit lansia yang bercerai karena masing-masing tidak dapat menerima pendapat pasangannya.

Pada sebuah artikel yang ditulis oleh Yadegaran (2012) disebutkan bahwa perceraian di masa lansia juga memiliki alasan yang cukup sederhana misalnya pasangan suami istri yang mempunyai tujuan hidup berbeda, hubungan yang tidak lagi dekat, atau tidak memiliki perasaan terhadap pasangan. Hurlock (1996) menjelaskan perceraian yang terjadi pada lansia tidaklah muncul akibat suatu permasalahan baru melainkan berasal dari sebuah keputusan yang telah dipikirkan sejak awal namun terhalang karena pasangan lebih mengedepankan kepentingan anak ataupun karena alasan ekonomi.


(19)

Beberapa penelitian mengemukakan beberapa hal yang mendasari terjadinya perceraian pada pasangan lansia. Sebuah studi yang dilakukan oleh Gottman (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) menyatakan bahwa penyebab terjadinya perceraian pada lansia didasari oleh kurangnya emosi positif selama menjalani pernikahan. Maksud dari kurangnya emosi positif seperti dicontohkan oleh Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2006) misalnya ketika istri berbicara dengan semangat kepada suaminya tetapi tidak ditanggapi oleh sang suami. Dalam pernikahan seperti ini biasanya tidak terjadi pertengkaran yang hebat antara suami dan istri, bahkan pernikahan bisa bertahan cukup lama tapi akan lebih beresiko berakhir dengan perceraian.

Di lain pihak, menurut penelitian Sternberg (dalam DeGenova, 2008) hal lain yang mendasari konflik dalam pernikahan lansia berdasarkan teori komponen cinta adalah pasangan lansia yang hanya memiliki komitmen di dalam pernikahannya. Komitmen meliputi suatu keputusan untuk berada di suatu hubungan dan menjaganya dalam jangka waktu yang lama. Namun komitmen saja tidak dapat mempertahankan suatu hubungan pernikahan. Di dalam pernikahan juga dibutuhkan hasrat dan kedekatan agar pernikahan bisa bertahan lama.

Kekerasan juga merupakan salah satu penyebab perceraian pada lansia. Menurut data yang dihimpun dari Pengadilan Agama Klas IA Medan, sekitar 6,1% dari kasus perceraian di masa lansia disebabkan oleh tindak kekerasan oleh pasangan (Pengadilan Agama Medan, 2013). Kekerasan yang terjadi di dalam


(20)

pernikahan umumnya disebabkan karena level kepuasan pernikahan yang rendah dan masalah dalam komunikasi (DeGenova, 2008).

Selain masalah ketidakharmonisan dan kekerasan, permasalahan ekonomi dalam kehidupan rumah tangga juga menjadi penyebab perceraian pada lansia. Menurut studi yang dilakukan oleh International Longevity Center di London, lansia lebih banyak mengalami permasalahan keuangan karena anggaran pensiun terus dipakai untuk melunasi hutang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia yang tidak mampu mengatur keuangan memiliki kemungkinan lebih besar untuk bercerai dibandingkan dengan lansia yang memiliki keuangan yang stabil (Republika Online, 2013).

Perceraian memiliki dampak bagi lansia. Memang lansia pria maupun wanita yang kehilangan pasangan akibat kematian maupun perceraian akan mengalami hal yang sama, namun perceraian memiliki karakteristik yang khas. Di masa awal setelah bercerai, lansia akan menjadi marah kepada mantan pasangannya (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Hal ini sesuai dengan pernyataan SY yang berusia 62 tahun:

“perasaan marah? Ya pastilah. Cuman lama-lama kita pikir-pikir ya ngapain lagi (marah). Sama mantan pasangan saya gak pernah berkomunikasi lagi. Pas anak saya nikah, di situlah saya bilang ‘maaf ya’. Dibilangnya, ‘ya udahlah, kita jalanin aja’”

(wawancara personal, 5 Maret 2014)

Selain itu lansia yang bercerai akan merasakan trauma karena mereka telah membangun hubungan dalam jangka waktu yang lama dengan pasangan, melakukan aktivitas bersama, merencanakan masa depan bersama, dan memiliki


(21)

komitmen dalam hubungannya, tetapi kini seseorang yang sudah lama dikenal telah menjadi orang asing (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006).

Kesepian merupakan salah satu dampak stres psikologis yang dialami lansia setelah kehilangan pasangannya (DeGenova, 2008; Matlin, 2008). Selain kehilangan pasangan, perasaan kesepian yang dialami oleh lansia ini dikarenakan hilangnya persahabatan di antara teman sebaya. Menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012) interaksi lansia dengan teman sebaya menurun karena keterbatasan yang dimiliki lansia misalnya keterbatasan fisik, gerak, serta akses komunikasi. Selain itu lingkup pertemanan menjadi mengecil karena proses kepindahan ataupun kematian.

Dampak-dampak setelah bercerai biasanya disertai dengan usaha dalam menyesuaikan diri (Dewi, 2011). Dalam menyesuaikan diri terdapat pengadopsian sebuah pola perilaku pada situasi maupun konflik sehingga dengan cara tersebut nantinya akan muncul keselarasan dan keharmonisan antara individu dan lingkungan (Schneiders, 1964).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menjalin hubungan dengan orang lain merupakan suatu hal yang membantu pasca bercerai misalnya dengan membangun hubungan sosial atau menikah kembali. Menikah kembali dapat membantu lansia menyesuaikan diri setelah bercerai dimana individu yang menikah kembali menunjukkan penyesuaian yang lebih baik (Burgess & Locke, 1960; DeGenova, 2008). Pernikahan kembali lebih banyak dilakukan oleh pria setelah bercerai dibandingkan dengan wanita. (Komisi Nasional Lansia, 2010).


(22)

Pernikahan kembali bukanlah bentuk penyesuaian setelah bercerai yang dipilih oleh wanita. Pada profil penduduk lanjut usia di tahun 2009 yang dihimpun oleh Komisi Nasional Lansia (2010) terlihat bahwa persentase lansia wanita yang bercerai sebanyak 3,14%. Hal ini diperkuat dengan pernyataan S, 63 tahun, yang menyatakan tidak ingin menikah kembali setelah bercerai dengan suaminya:

“ah, ngapain lah nenek kawin lagi. Itu kan kerjaannya yang muda-muda aja. Kalo nenek enggak lah. Udah gak ada pikiran kayak gitu lagi”

(Wawancara personal, 31 Mei 2013)

Pada lansia wanita, salah satu faktor yang membantu setelah bercerai adalah lingkungan (Schneiders, 1964). Kelompok dukungan (support group) merupakan bentuk bantuan yang bisa didapatkan oleh lansia wanita dari

lingkungan. Support group dapat membantu lansia memulihkan keadaan pasca

bercerai. Bagi wanita, kelompok ini akan memberikan pengaruh jika memberikan dukungan secara emosional (Oygard & Hardeng dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Sebuah penelitian oleh Nisa (2009) mengenai wanita desa yang bercerai menunjukkan dukungan dari teman dan keluarga dapat membantu penyesuaian diri. Dalam sebuah wawancara personal, S (63 tahun) dengan cepat dapat melupakan permasalahan perceraiannya dan tidak mengalami rasa kesepian karena kegiatan yang dilakukannya bersama dengan teman-teman sebaya yang ada di lingkungannya.

“jadi nenek tinggal di kampung. Namanya pun kampung tapi ramai. Yang apa (menemani) ya kawan-kawanlah. Mengaji kita pigi sama-sama, ramai-ramai. Kan gak terasa apa, susah-susah. Yang susah-susah itu kan yang gak ada kegiatan. Duduk aja. Kalau (diajak) pergi, ayo.”


(23)

Dukungan dari keluarga serta pandangan masyarakat terhadap perceraian juga membantu lansia wanita untuk menyesuaikan diri. Lansia wanita yang bercerai umumnya akan tinggal berdekatan ataupun tinggal bersama salah satu anaknya. Cara ini dilakukan lansia untuk dapat melakukan kontak sosial dengan orang di sekitarnya (Hurlock, 1996). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Widarti (2012) menunjukkan beberapa partisipan penelitiannya dapat menyesuaikan diri karena mendapatkan dukungan dari pihak keluarga. Sementara itu beberapa partisipan lainnya masih belum bisa untuk menyesuaikan diri akibat pandangan negatif masyarakat mengenai perceraian dan keluarga yang menyalahkan partisipan atas perceraian.

Selain lingkungan, agama juga dapat memberikan kontribusi terhadap penyesuaian diri lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Indriana, Desiningrum, dan Kristiana (2011) menunjukkan bahwa religiusitas yang dimiliki lansia berhubungan secara signifikan dengan penyesuaian diri lansia. Lansia yang religius dapat menjadi individu yang lebih dapat menyesuaikan diri sehingga mencapai kesejahteraan sosial.

Teori penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) memuat indikator-indikator yang menunjukkan bahwa seseorang telah menyesuaikan diri secara normal. Indikator-indikator tersebut antara lain: tidak menunjukkan emosi yang berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan diri, dan tidak menunjukkan rasa frustrasi, mampu mengarahkan diri, memiliki pertimbangan rasional, kemauan untuk belajar dari pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis serta objektif dalam menilai suatu masalah. Penelitian yang dilakukan oleh


(24)

Wahyuningsih (2007) menunjukkan bahwa individu yang bersikap realistis dengan menerima status janda atau dudanya dapat menyesuaikan diri lebih baik. Hal ini senada dengan pernyataan seorang lansia wanita yang menerima status jandanya dan menjadikan kunjungan ke tempat anak-anaknya sebagai cara untuk menyesuaikan dirinya.

“(pengaruh perceraian) gak ada. Dia gak suka sama kita apa boleh buat... Sekarang biasa aja. Nanti nenek melancong-melancong ke tempat anak di sana, di sini. Gak ada nenek pikir-pikir (perceraian)”

(wawancara personal, 31 Mei 2013)

Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat bahwa perceraian juga dapat terjadi di masa lansia. Perceraian juga memberikan dampak dalam kehidupan lansia seperti misalnya kesepian. Untuk itulah dibutuhkan penyesuaian diri agar tercipta keselarasan dalam diri walaupun tanpa kehadiran pasangan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana penyesuaian diri lansia setelah mengalami perceraian.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti ingin meneliti bagaimana penyesuaian diri pada lansia setelah bercerai berdasarkan indikator-indikator penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964).

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri lansia setelah bercerai.


(25)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dalam ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan lanjut usia. Selain itu penelitian ini juga dapat memberikan manfaat bagi peneliti lainnya. Selama ini penelitian mengenai lansia hanya menyoroti permasalahan psikologis lansia yang kehilangan pasangan karena kematian. Semoga penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang ingin mengetahui kasus perceraian di masa lanjut usia.

2. Manfaat Praktis

Selain ditujukan untuk menambah informasi, penelitian ini juga dapat memberikan manfaat lainnya seperti:

a. Memberikan informasi mengenai indikator-indikator penyesuaian diri setelah bercerai;

b. Menjadi sumber acuan bagi lansia yang bercerai untuk dapat menyesuaikan

dirinya setelah bercerai dengan mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dan indikator penyesuaian diri yang normal;

c. Membantu lingkungan di sekitar lansia untuk memahami kondisi psikologis

yang dialami lansia yang telah bercerai sehingga dapat membantu lansia untuk menyesuaikan diri.


(26)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Bab ini berisi latar belakang mengenai kasus perceraian di Indonesia, khususnya pada lansia serta dampak dan penyesuaian setelah terjadinya perceraian. Selanjutnya dipaparkan juga tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan dari penelitian ini.

Bab II : Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menjelaskan lebih dalam lagi mengenai penyesuaian diri, lansia, dan perceraian pada lansia.

Bab III : Bab III berisi metodologi penelitian seperti apa yang akan dilakukan selama penelitian berlangsung.

Bab IV : Bab IV berisi analisa dari data yang telah dikumpulkan dan

pembahasan berdasarkan teori digunakan.

Bab V : Bab V berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan serta

saran-saran, baik saran yang ditujukan untuk peneliti selanjutnya maupun saran praktis untuk dalam kehidupan sehari-hari.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENYESUAIAN DIRI 1. Definisi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri sebagaimana dimaksudkan oleh Schneiders (1964) ialah: “a process involving both mental and behavioral responses by which an individual strive to cope successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives.”

Sesuai dengan definisi di atas, maka pengertian penyesuaian diri menurut Schneiders adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku pada individu untuk menghadapi kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, serta konflik-konflik. Penyesuaian diri nantinya berdampak pada keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dan lingkungan di sekitarnya (Schneiders, 1964).

Selaras dengan pernyataan Schneiders, penyesuaian diri menurut Calhoun dan Acocella (1990) adalah sebuah interaksi yang kontinyu antara diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Penyesuaian diri merupakan sebuah proses timbal balik dan saling mempengaruhi antara individu dan lingkungannya.

Schneiders (1964) membagi penyesuaian diri ke dalam tiga sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation) yang lebih menyoroti penyesuaian diri dalam hal fisik, fisiologis, dan biologis. Sudut pandang yang kedua adalah penyesuaian diri sebagai bentuk


(28)

konformitas (conformity) dimana individu menyesuaikan diri agar sesuai dengan norma yang ada di lingkungan dan menghindari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional. Sudut pandang yang terakhir adalah penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) dimana individu mampu untuk merencanakan dan mengorganisasikan suatu respon untuk mengatasi konflik, kesulitan, dan rasa frustrasi yang dialami.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan penyesuaian diri adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku atas tuntutan yang berasal dari dalam diri seperti kebutuhan internal maupun konflik, ketegangan, dan frustrasi. Selain itu, penyesuaian diri juga sebagai proses timbal balik antara diri dan lingkungan sekitar.

2. Bentuk Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) juga mengemukakan bahwa ada empat macam bentuk penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu berdasarkan pada kontak situasional respon, yaitu:

a. Penyesuaian diri personal

Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Penyesuaian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Penyesuaian Diri Fisik dan Emosi

Dikatakan oleh Schneiders bahwa kesehatan fisik berhubungan erat dengan kesehatan emosi. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam


(29)

kesehatan emosi dan penyesuaian diri, yaitu: adekuasi emosi, kematangan emosi, dan kontrol emosi.

2) Penyesuaian Diri Seksual

Merupakan kapasitas yang bereaksi terhadap realitas seksual (impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan salah dan perbedaan seks). Kapasitas tersebut memerlukan perasaan, sikap sehat yang berkenaan dengan seks, kemampuan menunda ekspresi seksual, orientasi heteroseksual yang adekuat, kontrol yang ketat dari pikiran dan perilaku, identifikasi diri yang sehat.

3) Penyesuaian Moral dan Religi

Moralitas adalah kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara efektif dan bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam kehidupan individu.

b. Penyesuaian Diri Sosial

Dikatakan Schneiders bahwa rumah, sekolah dan masyarakat merupakan aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola-pola hubungan diantara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral diantara ketiganya.

c. Penyesuaian Diri Marital atau Perkawinan

Penyesuaian diri marital pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab, hubungan dan harapan yang terdapat pada keadaan suatu perkawinan.


(30)

d. Penyesuaian Diri Jabatan atau Vokasional

Berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis dimana kesuksesan dalam penyesuaian diri akademik akan membawa keberhasilan seseorang di dalam penyesuaian diri karir atau jabatan.

3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal

Istilah “penyesuaian yang normal” yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) mengarah kepada perilaku yang umum dan tidak memiliki kesulitan serta karakteristik negatif yang diasosiasikan dengan respon maladjustive dan abnormal. Berikut ini merupakan indikator dari penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964).

a. Tidak adanya emosi yang berlebihan.

Individu dapat merespon suatu situasi atau permasalahan dengan tenang dan terkontrol yang memungkinkan mereka untuk berpikir dan mencari jalan keluarnya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak memiliki emosi, yang mana mengindikasikan abnormalitas, tapi lebih mengarah kepada kendali diri yang positif.

b. Tidak adanya mekanisme psikologis.

Penyesuaian diri yang normal juga dikarakteristikkan dengan tidak adanya mekanisme psikologis. Melakukan pendekatan secara langsung terhadap permasalahan atau konflik dinilai sebagai respon yang lebih normal dibandingkan dengan melakukan mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi, ataupun kompensasi.


(31)

c. Tidak adanya rasa frustrasi.

Perasaan frustrasi dapat mempersulit individu untuk berperilaku secara normal terhadap suatu situasi atau permasalahan. Individu yang merasa frustrasi akan menemui kesulitan dalam mengorganisasikan pemikiran, perasaan, motif, serta perilakunya secara efektif.

d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri.

Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri sangat bertolak belakang dengan mekanisme psikologis. Dasar dari kemampuan manusia ketika berpikir dan mempertimbangkan permasalahan, konflik, dan frustrasi merupakan sebuah penyesuaian yang normal. Sebaliknya, ketiadaan dari karakteristik-karakteristik ini merupakan pertanda sulitnya melakukan penyesuaian.

e. Mampu untuk belajar.

Penyesuaian yang normal dikarakteristikkan dengan pembelajaran berkelanjutan yang menghasilkan perkembangan dari kualitas personal yang diperlukan di kehidupan sehari-hari.

f. Memanfaatkan pengalaman masa lalu.

Penyakit mental, seperti neurotik dan kenakalan, dikarakteristikkan oleh ketidakmampuan untuk belajar dari masa lalu. Sebaliknya, penyesuaian yang normal memerlukan pembelajaran dari masa lalu.

g. Sikap yang realistis dan objektif.

Sikap yang realistis dan objektif merupakan sesuatu yang didasari oleh pembelajaran, pengalaman masa lalu, dan pemikiran rasional, yang


(32)

memungkinkan individu untuk menyadari situasi, permasalahan, atau keterbatasan diri sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk memandang diri sendiri secara realistis dan objektif merupakan pertanda jelas dari sebuah kepribadian dengan penyesuaian yang normal.

Berdasarkan penjabaran mengenai indikator-indikator di atas, maka yang individu yang dikatakan telah melakukan penyesuaian diri yang normal adalah inidividu yang tidak memiliki emosi yang berlebihan, pertahanan psikologis, perasaan frustrasi, rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis dan objektif. Di lain pihak, karakteritik yang negatif diasosiasikan dengan perlikau maladjustive.

Schneiders (1964) menjelaskan semakin banyak respon-respon yang memenuhi indikator ini, semakin tinggi tingkat penyesuaiannya. Lebih lanjut Schneiders juga menjelaskan bukan hanya jumlah penyesuaiannya yang menentukan tingkat penyesuaian seseorang, tetapi juga kualitas dari penyesuaian tersebut. Menentukan penyesuaian merupakan hal yang relatif, tergantung pada kapasitas seseorang dalam menghadapi masalah yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) menjabarkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Faktor-faktor ini merupakan yang berasal secara biologis dari dalam diri individu maupun lingkungan di sekitar individu.


(33)

a. Kondisi fisik

Kondisi fisik merupakan kesatuan jasmaniah individu yang merupakan bawaan lahir yang terdiri dari hereditas, susunan syaraf, sistem kelenjar, otot, dan sebagainya. Kondisi fisik yang baik dapat mengarah kepada penyesuaian diri yang baik. Bagi individu yang menderita cacat fisik ataupun penyakit kronis akan sedikit menghambat proses penyesuaian diri.

b. Perkembangan dan Kematangan

Tingkat perkembangan dan kematangan individu yang berbeda-beda akan membutuhkan penyesuaian diri yang berbeda pula. Kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosi dapat mengarah kepada penyesuaian diri yang baik.

c. Determinan Psikologis

Yang termasuk di dalam determinan psikologis merupakan pengalaman, hasil belajar, determinasi diri, konsep diri, frustrasi, dan konflik. Semua hal ini akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Pengalaman, baik yang baik maupun yang buruk, akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Begitu pula dengan proses belajar yang dapat membantu individu untuk memahami hal-hal apa saja yang membantunya dalam menyesuaikan diri.

d. Lingkungan

Lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat juga memberikan pengaruh terhadap penyesuaian diri. Kekohesifan maupun permasalahan dalam keluarga memberi dampak dalam penyesuaian diri individu. Sedangkan lingkungan sekolah berpengaruh terhadap penyesuaian diri karena di sinilah perkembangan intelektual, nilai, sikap, dan moral individu terbentuk.


(34)

Konsistensi nilai, sikap, peraturan, dan moral yang dianut dalam masyarakat akan diidentifikasi oleh individu sehingga juga dapat mempengaruhi penyesuaian diri.

e. Agama dan budaya

Agama berkaitan erat dengan budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai dan keyakinan yang sangat mendalam sehingga mempengaruhi tujuan, kestabilan, serta keseimbangan hidup individu.

Berdasarkan penjabaran di atas, kita dapat melihat bahwa faktor pendukung penyesuaian diri meliputi area personal dan sosial. Faktor personal seperti kondisi fisik, psikologis, dan kematangan perkembangan. Faktor sosial seperti lingkungan, agama, dan budaya.

5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik

Schneiders (1964) mengatakan individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah yang memiliki respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan juga baik (wholesome). Baik (wholesome) memiliki arti respon penyesuaiannya sesuai dengan lingkungan, dalam hubungan kemasyarakatan, dan juga dalam hubungan dengan Tuhan.

Individu yang memiliki penyesuaian yang baik juga merupakan seseorang yang memiliki keterbatasan namun dapat diatasi dengan kepribadian dan kapasitas dirinya; telah belajar bagaimana berinteraksi dengan dirinya dan lingkungan dengan cara yang dewasa, baik, efisien, dan memuaskan; dan mampu mengatasi konflik mental, frustrasi, serta kesulitan diri maupun sosial tanpa mengembangkan


(35)

perilaku symptomatis. Dengan kata lain, individu yang menyesuaikan diri dengan baik relatif tidak mengalami gejala-gejala seperti kecemasan yang kronis, obsesi, fobia, tidak mampu untuk membuat keputusan, dan gangguan psikosomatis lainnya yang mengganggu moral, sosial, keyakinan, dan pekerjaan dari individu tersebut.

Lebih lanjut, Schneiders mengklasifikasikan kriteria penyesuaian diri yang baik ke dalam 16 poin sebagai berikut:

1. Pengetahuan dan pemahaman diri sendiri.

2. Objektivitas dan penerimaan diri.

3. Kendali dan perkembangan diri.

4. Integrasi personal.

5. Tujuan yang baik dan terarah. 6. Perspektif yang adekuat.

7. Selera humor.

8. Tanggung jawab.

9. Kematangan respon.

10. Pengembangan kebiasaan diri yang baik.

11. Mampu beradaptasi.

12. Bebas dari respon simtomatis atau cacat.

13. Mampu berinteraksi dan menaruh minat terhadap orang lain. 14. Keluasan minat dalam bekerja dan bermain.

15. Kepuasan dalam bekerja dan bermain.


(36)

6. Penyesuaian Diri Lansia

Setiap tahap perkembangan mewajibkan individu untuk melakukan penyesuaian diri, baik itu terkait kondisi fisik maupun psikologis. Hal ini tak terkecuali bagi lansia. Terdapat berbagai kriteria dalam menilai penyesuaian diri yang dilakukan oeh lansia. Empat kriteria di bawah ini merupakan yang paling umum menurut Hurlock (1996).

a. Kualitas pola perilaku

Penyesuaian diri yang baik pada diri lansia hendaknya sesuai dengan teori aktivitas (activity theory) dimana teori ini menjelaskan jika seharusnya pria dan wanita tetap beraktivitas di masa tuanya sebagaimana yang ia lakukan di masa muda ataupun mencari aktivitas pengganti apabila sudah pensiun, terlibat masalah keuangan, maupun pindah ke lingkungan baru. Penyesuaian diri yang buruk adalah penyesuaian diri yang karakteristiknya seperti teori pelepasan teori (disengagement theory). Teori mengatakan bahwa individu lebih memilih untuk membatasi kegiatannya baik secara sukarela maupun tidak. Penyesuaian diri yang baik juga dapat terlihat dalam diri lansia jika ia mampu menyesuaikan diri di masa mudanya.

b. Perilaku emosional

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia lebih apatis dalam kehidupan dan juga kurang responsif. Lansia juga sulit untuk mengekspresikan perasaan kasih sayang kepada orang lain. Di lain sisi, perasaan emosional lansia semakin kuat sehingga lansia sangat mudah untuk marah. Dibandingkan dengan orang-orang yang lebih muda, lansia umumnya tidak memiliki wadah


(37)

untuk menyalurkan emosi mereka sehingga mereka menjadi cemas dan tertekan dalam waktu yang lama.

c. Kepribadian

Banyak yang mengatakan semakin tua seseorang maka ia akan bertingkah seperti anak-anak. Sebenarnya pola kepribadian yang terbentuk di masa tua merupakan manifestasi dari sifat yang sudah ada di dalam diri dan kemudian menjadi semakin tampak di masa tua karena adanya tekanan-tekanan di hari tua.

d. Derajat kepuasan atau kebahagiaan

Kriteria yang dipakai untuk mengukur kebahagiaan lansia adalah rentang antara keadaan diri yang sebenarnya (real selves) dan keadaan pribadi yang ideal (ideal selves). Jika jarak di antara keduanya kecil, maka lansia akan memandang kehidupannya sebagai suatu hal yang memuaskan dan memberikan kebahagiaan. Namun jika terdapat perbedaan yang cukup besar di antara keduanya, maka lansia akan memandang kehidupannya dengan kekecewaan dan ketidakbahagiaan.

Kebahagiaan lansia di masa tua juga dipengaruhi oleh “Tiga A Kebahagiaan” (Three A’s of Happiness) yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Bila seseorang tidak mampu memenuhi salah satu dari ketiga hal tersebut, kecil kemungkinan bagi lansia untuk bisa bahagia di masa tuanya. Barrett (dalam Hurlock 1996) menjelaskan hal lain yang dapat membuat lansia bahagia yaitu kesiapan


(38)

lansia dalam menghadapi masa pensiun dan memandangnya sebagai masa kejayaan (the golden years).

Tidak semua penyesuaian diri yang dilakukan lansia merupakan penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa kriteria yang menunjukkan penyesuaian diri lansia yang buruk. Namun terlebih dahulu kita akan membahas penyesuaian diri yang baik menurut Hurlock (1996), kemudian diikuti oleh kriteria penyesuaian diri yang buruk.

Penyesuaian Diri yang Baik

1. Minat yang kuat dan beragam

2. Kemandirian dalam hal ekonomi, yang memungkinkan untuk hidup mandiri

3. Membangun hubungan sosial dengan segala umur dan tidak terbatas pada

orang-orang lanjut usia saja

4. Kenikmatan kerja yang menyenangkan dan bermanfaat tetapi tidak

memerlukan banyak biaya

5. Berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan

6. Kemampuan untuk memelihara rumah tanpa mengerahkan terlalu banyak

tenaga fisik

7. Kemampuan untuk menikmati berbagai kegiatan masa kini tanpa menyesali

masa lampau

8. Mengurangi kecemasan terhadap diri sendiri maupun orang lain

9. Menikmati kegiatan dari hari ke hari walaupun aktivitas tersebut dilakukan berulang-ulang


(39)

10. Menghindari kritik dari orang lain, terutama dari orang yang lebih muda

11. Menghindari kesalahan khususnya tentang kondisi tempat tinggal dan

perlakuan dari orang lain

Penyesuaian Diri yang Buruk

1. Kurang memiliki minat dan kurang berpartisipasi dalam lingkungan

2. Menarik diri dalam dunia khayalan

3. Selalu mengenang masa lalu

4. Selalu cemas karena didorong perasaan menganggur

5. Kurang bersemangat dan produktivitas rendah

6. Menganggap bahwa melakukan suatu aktvitas berarti membuang waktu

7. Merasa kesepian karena hubungan dalam keluarga sangat kaku

8. Terisolasi secara geografis

9. Tinggal di panti jompo maupun bersama anak yang telah dewasa

10. Selalu mengeluh dan mengkritik sesuatu

11. Menolak mengikuti kegiatan orang-orang lansia karena menganggapnya

membosankan.

B. LANSIA

1. Definisi Lansia

Usia tua merupakan tahap akhir dalam rentang kehidupan manusia. Budaya dan agama sangat berpengaruh dalam menentukan usia seseorang sehingga definisi untuk seseorang yang lanjut usia merupakan suatu hal yang relatif.


(40)

Dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2007), peneliti membagi istilah lansia ke dalam tiga bagian, yaitu young old, old old, dan oldest old. Ketiga istilah ini secara kronologis dibagi berdasarkan kelompok usia dan jenis kegiatan yang dilakukan para lansia. Young old merujuk kepada seseorang yang berumur 65-74 tahun yang biasanya masih beraktivitas dengan aktif. Istilah old old diberikan kepada seseorang yang berusia 75-84 tahun, kemudian istilah oldest old merujuk kepada seseorang yang berusia 85 tahun ke atas dan biasanya memiliki kesulitan untuk beraktivitas sehari-hari.

Levinson (dalam Colarusso & Nemiroff, 1981) mendeskripsikan masa paruh baya mulai dari usia 40 hingga 60 tahun dimana masa ini merupakan periode aktualisasi serta masa untuk berkontribusi kepada masyarakat. Selanjutnya masa dewasa akhir yang dimulai dari usia tujuh puluhan yang digambarkan sebagai masa kemunduran, namun juga merupakan masa dimana muncul kebijaksanaan melalui pengalaman dari konflik antara keinginan dan moral, antara diri sendiri dan orang lain, dan antara individu dan masyarakat.

Secara kronologis, usia tua dimulai dari usia enam puluh tahun. Hurlock (1996) membagi tahap lansia ke dalam dua bagian; usia lanjut dini bagi seseorang yang berusia enam puluh tahun, dan usia lanjut bagi seseorang yang berusia tujuh puluh tahun ke atas. Usia lanjut dini merupakan peralihan dari masa dewasa madya menuju masa dewasa akhir. Selanjutnya, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012) serta Komisi Nasional Lanjut Usia (2010) juga menentukan batas usia lansia dimulai dari umur 60 tahun.


(41)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka individu yang tergolong ke dalam usia lanjut adalah yang berusia 60 tahun ke atas dimana masa dewasa akhir atau lansia diidentikkan dengan masa kemunduran dan juga kebijaksanaan yang didapatkan dari pengalaman semasa hidup.

2. Tugas Perkembangan Lansia

Tugas perkembangan menurut Havighurst (dalam Lindgren, 1959) adalah permasalahan atau situasi yang pada umumnya muncul di suatu rentang kehidupan individu. Jika individu berhasil melakukan tugas perkembangannya, maka ia juga akan berhasil di dalam kehidupannya. Namun jika ia gagal, maka ia akan merasa tidak bahagia, tidak memiliki harapan, mendapat penolakan dari masyarakat, dan sulit untuk melakukan tugas perkembangan di tahap berikutnya.

Pada tahap perkembangan dewasa akhir, tugas perkembangan yang harus dilakukan lansia adalah proses penyesuaian baik terhadap diri maupun lingkungan di sekeliling lansia. Havighurst (dalam Hurlock, 1996) menguraikan beberapa tugas perkembangan pada masa lansia, di antaranya:

a. Penyesuaian diri terhadap menurunnya kondisi fisik dan kesehatan.

b. Penyesuaian diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya penghasilan

keluarga.

c. Menyesuaikan diri dengan kehilangan pasangan hidup.

d. Membentuk hubungan dengan orang yang seusia.

e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.


(42)

Dengan segala perubahan yang dialami oleh lansia, lansia perlu melakukan penyesuaian diri terhadap diri dan lingkungannya. Menurunnya kondisi fisik dan kesehatan pada lansia menuntut lansia agar melakukan perubahan dan perbaikan peran baik di dalam maupun di luar rumah. Kondisi ini juga berdampak terhadap kehidupan sosial lansia dimana penurunan kondisi fisik lansia cenderung menghambat lansia dalam aktivitas sosial yang dulu pernah dilakukan. Pada usia lanjut, orang tua akan berpisah dengan anak-anaknya. Selain perpisahan dengan anak, lansia juga harus menyesuaikan diri terhadap kepergian pasangan, baik karena perceraian maupun kematian. Untuk menghindari rasa kesepian dari serangkaian peristiwa yang umum terjadi pada lansia, membentuk hubungan sosial dengan teman sebaya merupakan cara yang paling baik untuk meningkatkan kesejahteraan lansia (Hurlock, 1996).

C. PERCERAIAN

1. Definisi Perceraian

Jika pernikahan merupakan suatu peristiwa yang membahagiakan, maka perceraian menurut Landis dan Landis (1960) adalah sebuah peristiwa tidak bahagia yang berlawanan dengan pernikahan. Perceraian merupakan perpisahan dari suami dan istri sebagai akhir dari rusaknya pernikahan (Burgess & Locke, 1960). Perceraian merupakan cara yang legal untuk mengakhiri pernikahan dan sebagai pengumuman ke masyarakat luas bahwa suami dan istri yang telah bercerai sudah tidak mampu untuk mengatasi kesulitan dalam pernikahan mereka


(43)

perceraian merupakan suatu peristiwa legal yang tidak bahagia yang menandakan berakhirnya suatu hubungan suami istri.

2. Perceraian di Masa Lansia

Perceraian juga dialami oleh individu yang memasuki ataupun yang sudah berada di masa lansia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hal-hal yang menjadi penyebab perceraian lansia. Gottman dan Levenson (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) mengembangkan dua model yang memprediksi perceraian yang dibagi menjadi early divorce dan later divorce. Perceraian yang digolongkan ke dalam early divorce adalah pernikahan yang berusia sekitar 7 tahun. Emosi negatif yang ditunjukkan ketika pasangan memiliki masalah dikatakan dapat memprediksi perceraian di usia awal pernikahan. Di lain pihak, perceraian yang digolongkan ke dalam later divorce jika anak pertama sudah berusia 14 tahun. Kurangnya emosi positif ketika pasangan berdiskusi dikatakan dapat memprediksi perceraian.

Dilihat dari ilmu sosiologi, meningkatnya perceraian di masa lansia disebabkan oleh fenomena baby boomers yang mencapai puncaknya pada tahun 1970 hinggan 1996-an (Brown dan Lin, 2012). Dari sini dapat diketahui bahwa jumlah lansia yang bercerai akan semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya jumlah lansia akibat fenomena baby boomers.

Di Indonesia, penyebab perceraian di masa lansia menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012) adalah ketidakcocokan atau disharmonis antara


(44)

pasangan suami dan istri. Selain itu pertambahan usia juga secara alami dapat menurunkan kondisi fisik maupun psikologis lansia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya ketegangan di antara suami dan istri yang membuat mereka tidak dapat menerima pendapat satu sama lain sehingga timbulah perceraian.

Berdasarkan penjelasan di atas, penyebab terjadinya perceraian di usia lansia menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers sehingga meningkatkan jumlah lansia. Sedangkan dari sisi psikologis faktor penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta kemunduran kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya permasalahan pada pasangan.

3. Penyebab Perceraian

Perceraian dapat bermula dari beberapa permasalahan di dalam pernikahan yang terjadi sejak lama. Permasalahan yang timbul merupakan manifestasi dari konflik dan ketegangan yang lebih mendalam. Burgess dan Locke (1960) menjelaskan beberapa permasalahan dalam pernikahan, dimana jika dibiarkan terlalu lama akan berujung pada perceraian. Dalam studi yang dilakukan oleh Burgess dan Locke (1960), pria dan wanita mengalami permasalahan pernikahan yang berbeda. Pria umumnya memiliki permasalahan pernikahan di area hubungan percintaan dengan pasangan, seks, perdebatan yang berlangsung sejak lama, campur tangan dari pihak keluarga pasangan, masalah keuangan, minuman keras, dan tidak adanya teman. Sama halnya dengan pria, wanita juga mengalami permasalahan pernikahan di area hubungan percintaan dengan


(45)

pasangan, seks, perdebatan dengan pasangan, tidak memiliki teman, serta kesulitan keuangan dan memiliki perilaku yang kurang diterima masyarakat.

Burgess dan Locke (1960) juga melakukan studi terhadap permasalahan pernikahan kepada pasangan yang telah bercerai. Subjek pria mengatakan mereka mengalami kesulitan pernikahan karena hubungan seks yang tidak memuaskan, tidak memiliki anak, campur tangan dari keluarga pasangan, perdebatan dengan pasangan, dan kurang memiliki teman. Sedangkan bagi wanita, permasalahan yang terjadi selama ia pernah menikah adalah penyakit menular seksual, tidak adanya dukungan, minuman keras, perjudian, dan suami yang ditahan di penjara.

Burgess dan Locke (1960) menjabarkan beberapa faktor yang dapat menimbulkan konflik di dalam pernikahan, yaitu:

a. Genic and Psychogenic Tensions

Genic dan psychogenis tensions ini sering disebut juga dengan ketidaksesuaian tempramen. Hal ini dapat berkembang dari suami dan istri yang memiliki tempramen yang sama ataupun berbeda. Ketidaksesuaian tempramen yang dimilliki pasangan dapat mengarah kepada konflik pernikahan, bahkan perceraian.

b. Budaya

Konflik pernikahan dapat bermula dari budaya. Di dalam pernikahan, suami dan istri pasti memiliki kebiasaan yang beragam dalam berbicara, bersikap, berpikir, dan dalam nilai yang dimiliki pasangan tersebut. Semua hal tersebut tanpa sadar tercipta sejak awal pernikahan. Faktor yang mempengaruhinya adalah nilai agama dan budaya yang dimiliki masing-masing pasangan.


(46)

c. Peran Sosial

Konflik dalam keluarga dapat muncul ketika anggota keluarga memiliki status dan peran sosial yang berbeda. Perbedaan ini akan menciptakan konflik dalam keluarga jika dianggap lebih penting melebihi pendidikan, agama, dan kemampuan intelektual.

d. Ekonomi

Sikap pasangan terhadap keuangan dapat memprediksi munculnya konflik di dalam pernikahan atau tidak. Pasangan hendaklah memiliki kesamaan sikap dalam melihat tujuan dan peran ekonomi di dalam keluarga. Jika terjadi perbedaan dalam tujuan menggunakan uang, maka kemungkinan terjadinya konflik akan lebih besar.

e. Kasih Sayang dan Hubungan Seksual

Konflik antara suami dan istri dapat muncul ketika keduanya tidak mampu mengekspresikan rasa kasih sayang dan kepuasan dalam hubungan seksual. Dalam hubungan seksual, konflik tidak akan muncul jika pasangan memiliki sikap yang sama dalam tujuan melakukan hubungan seksual, misalnya dengan sama-sama berpikir bahwa hubungan seksual adalah hanya untuk kegiatan prokreasi atau kegiatan hiburan. Namun jika pasangan memiliki pandangan yang berbeda, maka akan timbul konflik.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa penyebab perceraian dapat dilihat melalui perspektif gender. Selain itu perceraian juga terjadi karena perbedaan tempramen, budaya, sosial, ekonomi, atau hanya karena sudah tidak memiliki kasih sayang.


(47)

4. Dampak Perceraian

Perceraian tidak menghilangkan masalah. Masih ada dampak yang ditimbulkan setelah bercerai. Dampak dari perceraian lebih traumatik dibandingkan dengan kematian karena sebelum dan sesudah perceraian akan timbul rasa sakit dan tekanan emosional dalam diri seseorang. Dampak lainnya adalah cela sosial yang diberikan oleh masyarakat. Perceraian juga memberikan pengaruh kepada anak-anak. Mereka akan merasa malu karena merasa berbeda. Hal ini dapat merusak konsep diri anak. Lebih lengkapnya, berikut penjabaran mengenai masalah yang umum dihadapi pria dan wanita setelah bercerai oleh Hurlock (1996):

a. Masalah ekonomi. Setelah bercerai, baik istri maupun suami mengalami

kurangnya pendapatan keluarga karena harus menghidupi dua rumah tangga. Seringkali istri harus bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

b. Masalah praktis. Suami dan istri melakukan pekerjaan rumah tangga

bersama-sama. Namun setelah bercerai mereka harus mengerjakan semua rutinitas terebut masing-masing.

c. Masalah psikologis. Individu akan merasa tidak menentu dan identitasnya

“kabur” setelah bercerai. Hal ini khususnya terjadi pada wanita karena selama menikah identitasnya sangat tergantung pada suaminya.

d. Masalah emosional. Setelah perceraian akan timbul rasa bersalah, kemarahan, benci, dendam, dan cemas mengenai hari ke depannya, sehingga mengakibatkan perubahan kepribadian.


(48)

e. Masalah sosial. Permasalahan sosial biasanya terjadi kepada wanita karena kehidupan sosialnya hanya terbatas kepada sanak saudara dan teman dekat saja. Kehidupan sosial pria lebih baik dibandingkan wanita, walaupun ia akan merasa tersisih juga.

f. Masalah kesepian. Pria akan merasa lebih kesepian dibandingkan wanita,

khususnya di hari libur. Hal ini karena pria biasa menyerahkan urusan anak-anak kepada istrinya pada saat-saat seperti itu.

g. Masalah pembagian tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak. Masalah

penyesuaian diri akan timbul pada orang tua dan anak setelah pembagian hak asuh. Terlebih lagi jika kedua orang tua mendapatkan hak asuh. Bila hak asuh jatuh di salah satu pihak (ayah atau ibu), maka ia akan menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan anak yang tidak patuh dan tanggung jawab.

h. Masalah seksual. Bercerai dapat menyebabkan aktivitas seksual terhenti. Cara untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menikah kembali. Jarak antara bercerai dan menikah kembali relatif lebih panjang pada wanita dibandingkan dengan pria.

i. Masalah perubahan konsep diri. Rasa kebencian akan timbul setelah bercerai, tidak peduli siapa yang menyebabkan perceraian terjadi. Perasaan ini akan selalu mewarnai konsep diri mereka yang dapat mengarah kepada perubahan kepribadian.

Lebih lanjut, Landis dan Landis (1960) mengungkapkan enam masalah yang timbul sebagai dampak dari perceraian, di antaranya:


(49)

a. Seseorang harus menerima dirinya sendiri setelah perceraian. Rasa tidak aman dan tidak percaya terhadap orang lain timbul setelah bercerai. Hal ini hanya akan menambah masalah.

b. Menyesuaikan diri setelah terkejut secara emosional akibat perceraian.

c. Perubahan dalam kehidupan sosial.

d. Permasalahan keuangan yang umumnya terjadi pada pria dan wanita. Wanita

harus mencari dukungan finansial baru setelah perceraian. Sedangkan pria harus tetap menghidupi anak dan istrinya meskipun telah bercerai.

e. Bagi wanita, ia harus mengatur kembali seluruh hidupnya setelah bercerai.

f. Permasalahan emosional.

5. Penyesuaian Perceraian

Penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan penyesuaian pernikahan. Hal ini dikarenakan penyesuaian pernikahan dilakukan secara bersama-sama oleh dua individu sedangkan penyesuaian perceraian hanya dilakukan oleh satu individu saja (Landis & Landis, 1960).

Penyesuaian terhadap perceraian dapat berbeda antara pria dan wanita; anak muda dan orang tua; dan antara seseorang yang menjalani pernikahan dalam waktu yang singkat atau lama. Penyesuaian terhadap perceraian akan lebih mudah bagi orang yang berusia muda. Penyesuaian pernikahan nantinya akan berbeda antara seseorang yang mendapatkan hak asuh anak dan yang tidak mendapatkan hak asuh anak sama sekali. Bagi seseorang yang lebih terikat secara emosional kepada pasangan, lebih bergantung, dan lebih mengalami gangguan emosional


(50)

akibat perceraian, penyesuaian perceraian akan dirasa lebih sulit (Burgess & Locke, 1960).

Selanjutnya, Burgess dan Locke (1960) dan DeGenova (2008) juga mengemukakan beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan setelah bercerai. Penyesuaian-penyesuaian ini dibagi ke dalam delapan kategori, seperti:

a. Mengatasi trauma akibat perceraian.

Perceraian merupakan peristiwa yang dapat mengganggu secara emosional akibat kehilangan pasangan secara tiba-tiba. Perasaan trauma lebih besar ditunjukkan oleh pihak yang tidak berinisiatif memulai perceraian. Berbicara dengan orang lain merupakan suatu cara untuk melampiaskan emosi setelah bercerai. Dalam studi yang dilakukan oleh Locke, wanita-wanita yang bercerai lebih memilih tinggal di lingkungan yang sama dan saling berbagi. b. Mengatasi sikap dari masyarakat.

Masyarakat memandang perceraian sebagai suatu kegagalan moral ataupun kegagalan seseorang dalam mempertahankan rumah tangganya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kini perceraian dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Bagi orang-orang yang memandang perceraiannya dalam cara yang positif, maka mereka akan cenderung cepat untuk menyesuaikan diri. Lain halnya dengan individu yang memandang perceraiannya sebagai hal yang negatif, maka ia cenderung akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri.


(51)

c. Kesepian dan penyesuaian kembali di kehidupan sosial.

Kesepian akan sangat terasa bagi pihak yang tidak mendapatkan hak asuh anak. Membangun hubungan sosial dengan orang lain dapat memberikan dukungan dan juga membantu individu untuk menyesuaikan diri setelah bercerai. Selain itu, menikah kembali juga dapat membantu penyesuaian. Bagi individu yang tidak menikah kembali, maka akan merasa kesepian. Penyesuaian setelah bercerai juga terasa lebih sulit bagi orang yang lebih tua, terutama wanita. Wanita yang bercerai di atas 40 tahun memiliki kesulitan keuangan bagi dirinya sendiri serta anak-anaknya.

d. Penyesuaian terhadap hak asuh anak.

Perceraian dapat mengurangi kedekatan antara anak dan orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak. Ibu, sebagai pihak yang lebih sering diberi hak asuh anak, pada umumnya masih mengizinkan mantan pasangan untuk mengunjungi anak-anaknya. Jika ibu puas dengan keputusan hak asuh anak ini, maka kesejahteraan anak akan semakin meningkat.

e. Keuangan

Masalah keuangan umumnya dialami oleh wanita, terlebih jika ia mendapatkan hak asuh anak. Meskipun sudah diatur oleh pengadilan, tetapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang tidak diberi bantuan finansial dari mantan suaminya.

f. Mengatur kembali tanggung jawab dan peran kerja

Bagi pihak yang mendapatkan hak asuh anak, maka ia harus menyesuaikan diri dengan peran yang dulu dilakukan oleh mantan pasangannya. Ia juga


(52)

harus bekerja lebih keras untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri serta anak-anak. Sebagai konsekuensinya, waktu untuk berkumpul dengan anak akan menjadi lebih sedikit.

g. Berhubungan dengan mantan pasangan

Banyak pasangan yang masih menyimpan kemarahan kepada mantan pasangan bahkan setelah bertahun-tahun bercerai. Padahal jika hubungan dengan mantan pasangan masih terjaga, maka kedua pihak akan mendapatkan keuntungan di antaranya menjaga hubungan dengan anak atau mendapatkan dukungan finansial. Semakin buruk hubungan dengan mantan pasangan, maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri.

f. Menikah kembali

Seseorang yang telah bercerai dapat menemukan kepuasan dan penyesuaian setelah bercerai dengan cara menikah kembali. Pernikahan kembali dapat membuat seseorang melupakan pernikahannya terdahulu.

h. Interaksi dengan keluarga

Keluarga dapat membantu penyesuaian setelah bercerai dengan cara memberikan dukungan. Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam meminta dukungan dari orang tua atau keluarga. Pria umumnya bergantung pada keluarga sesaat setelah bercerai dan periode yang dibutuhkan wanita dalam bergantung pada keluarganya lebih lama dibandingkan dengan pria.

Wanita lebih suka menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan dengan pria. Pihak yang mendapatkan hak asuh anak lebih


(53)

sering menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan dengan pihak yang tidak mendapatkan hak asuh.

i. Pindah ke lokasi baru

Pindah ke lokasi baru dapat menjadi salah satu bentuk penyesuaian. Biasanya di awal perceraian seseorang akan pindah ke rumah orang tuanya, lalu kemudian pindah ke tempat baru dan meninggalkan teman-temannya. Hal ini dilakukan untuk melupakan kenangan bersama mantan pasangan.

Dampak dari perceraian tidak hanya mempengaruhi individu namun juga orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Untuk itu penyesuaian perceraian tidak hanya meliputi aspek personal, tetapi juga sosial. Walaupun melakukan penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan penyesuaian pernikahan, tetapi hal ini akan terasa lebih mudah jika didukung oleh lingkungan sekitar individu.

D. PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI

Perceraian yang terjadi di masa lansia dapat dijelaskan dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis. Penyebab terjadinya perceraian di usia lansia menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers sehingga meningkatkan jumlah lansia (Brown & Lin, 2012). Sedangkan dari sisi psikologis faktor penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta kemunduran kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya permasalahan pada pasangan (Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan BKKBN, 2012).


(54)

Perceraian tersebut pun berdampak terhadap permasalahan emosional dan sosial lansia (Hurlock, 1996; Burgess & Locke, 1960). Perceraian tentu saja berpengaruh pada tugas perkembangan lansia dalam menyesuaikan diri terhadap hubungan sosial dengan teman sebaya dan peran sosial yang dimilikinya.

Setelah perceraian terjadi, individu hendaklah melakukan penyesuaian. Penyesuaian diri dapat membantu individu untuk menyelaraskan tuntutan dari dalam diri individu dan lingkungan sekitarnya. Tidak mampu menyesuaikan diri dapat mengarahkan seseorang berperilaku maladjustive seperti frustrasi maupun munculnya konflik mental (Schneiders, 1964).

Burgess dan Locke (1960) serta Hurlock (1996) mengemukakan penyesuaian-penyesuaian yang banyak berfokus pada penyesuaian personal dan sosial, seperti misalnya mengatasi rasa trauma, mengatur keuangan, dan melakukan penyesuaian baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Berinteraksi dengan keluarga dapat memberikan lansia dukungan. Selain itu berbicara dengan orang lain dinilai Locke (dalam Burgess & Locke, 1960) sebagai suatu cara lansia untuk meluapkan perasaan kepada orang lain.

Penyesuaian diri didukung oleh beberapa faktor, di antaranya faktor kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, dan agama serta budaya (Schneiders, 1964). Faktor-faktor ini dapat berpengaruh terhadap penyesuaian diri lansia. Faktor lingkungan dapat membantu lansia untuk meningkatkan kualitas pola perilaku lansia dimana penyesuaian diri lansia yang baik adalah jika lansia terlibat dalam berbagai kegiatan (activity theory). Selain itu faktor kematangan, terutama kematangan emosional, dapat membantu lansia


(55)

untuk mengatur perilaku emosionalnya. Bagi lansia yang memandang poositif perceraiannya maka akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian (Burgess & Locke, 1960).

Seluruh faktor penyesuaian diri di atas mengarah kepada indikator penyesuaian diri yang normal. Schneiders (1964) mengemukakan indikator dari individu yang mampu melakukan penyesuaian diri adalah tidak memiliki emosi yang berlebihan, tidak mempunyai pertahanan psikologis, tidak ada perasaan frustrasi, berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman, serta bersikap realistis dan objektif. Sikap yang realistis merupakan faktor penunjang kebahagiaan lansia seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1996).


(56)

E. DINAMIKA PENELITIAN Keterangan: Menghasilkan Dipengaruhi oleh Penyesuaian Diri (Schneiders, 1964)

Indikator penyesuaian diri yang normal (Schneider, 1964): Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri Tidak memiliki emosi berlebihan Tidak ada mekanisme pertahanan psikologis Tidak frustrasi Rasional Memanfaatkan pengalaman masa lalu Mampu untuk belajar Bersikap realistis dan objektif Lansia Bercerai Dampak Bercerai Penyebab


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Poerwandari (2007) menyederhanakan perbedaan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif didasarkan pada angka, cara berpikir yang digunakan adalah deduktif, menjaga objektivitas dengan menentukan generalisasi jumlah, serta mempunyai desain penelitian yang tegas sejak awal. Sementara itu Poerwandari mengemukakan ciri-ciri pendekatan kualitatif, yaitu berdasar pada kekuatan narasi, studi dalam situasi alamiah, peneliti melakukan kontak langsung dengan partisipan di lapangan, dan peneliti sebagai instrumen kunci.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri lansia setelah bercerai. Penyesuaian diri merupakan suatu hal yang subjektif dimana tiap individu melakukan penyesuaian dengan cara yang berbeda. Selain itu alasan dan dampak dari perceraian itu sendiri juga berbeda pada setiap pasangan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif subjektifitas partisipan dapat terlihat. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif memang menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi nyata kehidupan sehari-hari.


(58)

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan fenomena yang hadir dalam suatu konteks yang terbatas (Poerwandari, 2007). Kasus yang dimaksud dapat berupa individu, peran, kelompok, organisasi, bahkan suatu bangsa. Dengan pendekatan studi kasus peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh mengenai hubungan berbagai fakta dari kasus tersebut.

Poerwandari (2007) membagi studi kasus ke dalam tiga tipe. Namun penelitian ini hanya menggunakan tipe studi kasus intrinsik, yaitu penelitian yang dilakukan karena ketertarikan terhadap suatu kasus. Penelitian dilakukan untuk memahami suatu kasus secara utuh tanpa harus menghasilkan suatu konsep atau teori baru. Penelitian ini dilakukan dengan melihat kasus yang berbeda yang terjadi pada dua orang partisipan dengan karakteristik yang sama.

C. PARTISIPAN PENELITIAN

1. Karakteristik Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini telah ditentukan berdasarkan karakteristik-karakteristik tertentu. Adapun karakteristik-karakteristik yang dimaksud adalah:

a. Berusia di atas 60 tahun

Pemilihan partisipan didasarkan pada teori Hurlock (1996) yang mengklasifikasikan masa lansia dimulai dari umur 60 tahun. Selain itu Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (2012) dan Komisi Nasional Lanjut Usia (2010) juga menentukan batas usia lansia di Indonesia dimulai


(59)

dari usia 60 tahun. Pada masa ini terdapat tugas perkembangan yang dijalani oleh lansia, seperti menyesuaikan diri terhadap hilangnya pasangan.

b. Individu yang bercerai

Pemilihan individu yang bercerai disesuaikan dengan tujuan penelitian dalam melihat penyesuaian diri lansia pasca bercerai. Partisipan yang dipilih adalah individu yang mengalami perceraian di masa lansia. Hal ini dikarenakan perceraian di masa lansia memiliki dampak dan karakteristik yang khas seperti misalnya kesepian.

2. Jumlah Partisipan Penelitian

Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah satu orang lansia wanita. Jumlah ini terbilang sedikit karena kasus perceraian pada lansia sangat jarang terjadi. Poerwandari (2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif berorientasi pada kasus yang unik. Dengan menampilkan kedalaman dan detail, penelitian kualitatif lebih berfokus pada sejumah kecil kasus.

3. Teknik Pengambilan Partisipan

Cara untuk menentukan partisipan di dalam pendekatan kualitatif dan kuantitatif berbeda menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007). Secara mendetail, Patton menguraikan pedoman untuk menentukan partisipan pada pendekatan kualitatif yang harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Dalam hal ini, peneliti menggunakan teknik pengambilan partisipan berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Hal ini


(60)

dikarenakan partisipan dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan teori atau penelitian-penelitian sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian. Pengambilan partisipan dengan teknik ini agar partisipan benar-benar mewakili (representatif terhadap) fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan. Kota Medan dipilih untuk memudahkan peneliti dalam proses pengambilan data mengingat peneliti juga berdomisili di sini. Lokasi pengambilan data dapat berubah sewaktu-waktu dan sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan partisipan. Hal ini sesuai dengan keinginan partisipan agar partisipan merasa lebih nyaman selama proses wawancara. Adapun lokasi yang menjadi tempat penelitian adalah ruang tamu yang terdapat di dalam rumah partisipan.

D. METODE PENGAMBILAN DATA

Metode utama yang dilakukan dalam penelitian ini untuk pengambilan data adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari, 2007).


(61)

Lebih lanjut Patton (dalam Poerwandari, 2007) membedakan tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara yaitu wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, serta wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Namun metode wawancara yang diterapkan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum dimana peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum. Alasan pemilihan metode ini adalah keluwesan jawaban yang bisa diberikan oleh partisipan penelitian namun tetap berada di ranah aspek-aspek penelitian yang ingin diketahui oleh peneliti.

Bentuk pertanyaan yang akan diajukan kepada partisipan adalah pertanyaan terbuka (open question). Bentuk pertanyaan ini memiliki kelebihan dimana partisipan dapat memberikan jawaban dengan lebih mudah dan luas. Selain itu jawaban yang panjang juga dapat mengungkapkan pengetahuan, perasaan, persepsi, dan prasangka dari partisipan (Stewart & Cash, 2003).

E. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengusulkan beberapa hal praktis agar peneliti dapat memperoleh transkrip data yang lengkap melalui proses wawancara. Beberapa alat yang dibutuhkan untuk pengambilan data adalah:

1. Alat perekam

Penggunaan alat perekam memiliki tiga kelebihan. Pertama, menggunakan alat perekam dapat membuat peneliti menjadi sedikit lebih santai dan berkonsentrasi terhadap jawaban dari partisipan. Kedua, peneliti dapat


(62)

mendengarkan jawaban partisipan berhari-hari setelah dilakukannya wawancara tanpa perlu mengingat jawaban partisipan. Ketiga, alat perekam dapat merekam jawaban partisipan yang mungkin tidak terdengar oleh peneliti ketika sedang dilakukan wawancara (Stewart & Cash, 2003).

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara dapat berfungsi sebagai pengingat bagi peneliti mengenai aspek-aspek apa saja yang akan ditanyakan. Dengan pedoman wawancara, peneliti dapat menyesuaikan pertanyan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan teori penyesuaian diri oleh Schneiders (1964).

3. Alat tulis

Alat tulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pulpen dan buku catatan. Penggunaan alat tulis dapat membantu peneliti mencatat poin-poin penting sehingga menghemat waktu pada saat mendengarkan rekaman wawancara secara keseluruhan (Stewart & Cash, 2003).

F. KREDIBILITAS DAN VALIDITAS PENELITIAN

Kredibilitas merupakan istilah yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif menggantikan istilah validitas, yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif dilihat dari keberhasilan dalam mengeksplorasi masalah, atau


(63)

kompleks (Poerwandari, 2007). Upaya untuk meningkatkan kredibilitas penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui:

1. Mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan

objektif terhadap setting, partisipan, ataupun hal-hal yang terkait.

2. Menggunakan jenis pertanyaan terbuka agar memperoleh hasil yang akurat.

3. Mengulang pertanyaan yang diajukan kepada partisipan untuk melihat

konsistensi dari jawaban yang diberikan

4. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data-data yang terkumpul

seperti rekaman wawancara, transkrip wawancara, rekonstruksi data hasil wawancara, dan data hasil analisa wawancara dengan partisipan.

5. Berdiskusi bersama rekan sejawat, dosen pembimbing, serta dosen-dosen

yang memahami topik penelitian ini sehingga dapat memberikan saran terhadap analisis yang dilakukan peneliti.

6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking)

data dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

G. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam mempersiapkan penelitian di antaranya:


(64)

a. Mengumpulkan data di masyarakat.

Dalam mengumpulkan data, peneliti banyak mengumpulkan informasi mengenai perceraian di masa lansia melalui buku, jurnal, serta media seperti internet dan film.

b. Mempersiapkan landasan teori

Setelah terkumpul data mengenai perceraian serta penyesuaian diri setelah perceraian, peneliti mengumpulkan teori mengenai indikator-indikator penyesuaian diri yang normal.

c. Menyusun pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan kerangka teori yang telah dijabarkan. Pedoman wawancara nantinya berisi bentuk penyesuaian diri partisipan, faktor apa yang mempengaruhinya, serta apa indikator penyesuaian diri yang normal pada partisipan.

d. Mencari partisipan

Sebelum mencari partisipan, terlebih dahulu peneliti mencari informasi yang berkaitan agar mendapatkan partisipan yang sesuai berdasarkan kriteria yang telah dijabarkan sebelumnya. Selain itu peneliti juga mengurus izin untuk melaksanakan penelitian di instansi-instansi yang terkait dengan partisipan.

e. Menyiapkan informed consent

Setelah bertemu dengan partisipan dengan karakteristik yang sesuai, peneliti pun mulai menyiapkan informed consent yang berfungsi sebagai surat persetujuan agar partisipan mau mengikuti proses penelitian ini.


(65)

f. Persiapan untuk pengumpulan data

Proses persiapan pengumpulan data dimulai dengan mempersiapkan alat-alat bantu penelitian seperti alat perekam, pedoman wawancara, serta alat tulis. Kemudian peneliti memeriksa kembali kelayakan dari alat yang akan digunakan.

g. Membangun rapport

Agar partisipan dapat memberikan jawaban dengan lebih santai, peneliti perlu membangun kedekatan dengan partisipan dengan melakukan percakapan ringan. Dalam membangun rapport, peneliti dibantu oleh anak partisipan serta pengacara yang mengurus perceraian partisipan. Mereka membantu peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian agar tidak terjadi kesalahpahaman. Selanjutnya partisipan dan peneliti menyepakati waktu yang akan digunakan untuk melakukan wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Meminta persetujuan partisipan melalui informed consent.

Pemberian informed consent ini agar partisipan mengetahui tujuan penelitian, keterlibatan partisipan dalam penelitian, waktu dan tempat penelitian, jaminan kerahasiaan, serta hak partisipan untuk mengundurkan diri apabila partisipan tidak menyetujui konten dari penelitian ini. Setelah partisipan dan peneliti menandatangani informed consent, proses pengambilan data dapat dilakukan.


(66)

b. Melakukan wawancara yang sesuai dengan pedoman wawancara.

Proses wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang sebelumnya telah disusun oleh peneliti berdasarkan teori yang digunakan. Wawancara dilakukan lebih dari satu kali agar mendapatkan hasil yang maksimal dan sesuai dengan kebutuhan penelitian.

c. Peneliti dan partisipan menjadwalkan pertemuan selanjutnya.

Di setiap akhir dari sesi wawancara, peneliti dan partisipan akan menjadwalkan pertemuan selanjutnya. Hal ini dilakukan sesuai kesepakatan kedua pihak agar tidak mengganggu kegiatan yang biasa dilakukan peneliti maupun partisipan di luar dari jadwal wawancara.

d. Peneliti memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam transkrip verbatim.

Setelah melakukan wawancara, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam transkrip verbatim. Peneliti kemudian membubuhkan kode-kode khusus (koding) sehingga data-data yang diperoleh dapat tersusun secara detail (Poerwandari, 2007). Hal ini dapat memudahkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai topik yang akan diteliti, dalam hal ini adalah penyesuaian diri.

e. Melakukan analisa data.

Setelah transkrip verbatim selesai, peneliti membuat analisa untuk mengidentifikasi tema yang muncul. Selanjutnya analisa data disusun menjadi sebuah bentuk narasi dan menyusunnya berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Data-data yang telah disusun


(67)

kemudian dijabarkan berdasarkan indikator-indikator penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964).

f. Menarik kesimpulan serta membuat diskusi dan saran.

Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan data-data yang telah diperoleh untuk menjawab rumusan permasalahan yang telah ditentukan. Selanjutnya peneliti membuat diskusi berdasarkan kesimpulan dan hasil yang telah diperoleh. Kemudian peneliti memasukkan saran-saran yang sesuai dengan kesimpulan, diskusi, dan hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Data yang didapatkan melalui proses wawancara akan diubah menjadi bentuk tulisan yang disebut dengan verbatim. Verbatim merupakan proses mendengar lalu menuliskan kata per kata hasil rekaman wawancara kemudian diketik. Tujuan dari pembuatan verbatim adalah untuk menganalisis data lebih lanjut (Poerwandari, 2007).

4. Prosedur Analisis Data

Poerwandari (2007) membagi prosedur analisis data ke dalam lima tahap, yaitu:

a. Koding

Langkah pertama yang paling penting sebelum menganalisis data adalah dengan memberikan kode-kode pada materi yang dperoleh. Tujuannya adalah untuk mengorganisasi dan menciptakan data yang sistematis serta detail


(1)

menikah kembali. Partisipan memiliki sikap yang realistis dengan mau memaafkan perbuatan mantan suaminya. Ia pun bersedia menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya. Partisipan bersikap objektif dengan selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga mantan suami. Ia juga objektif melihat perceraiannya karena ia tidak keberatan untuk menceritakan permasalahan perceraiannya kepada peneliti untuk tujuan pendidikan. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh partisipan didukung oleh faktor perkembangan dan kematangan emosional serta lingkungan keluarga yang terus memberikannya dukungan secara emosional.

B. SARAN

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penyesuaian diri lansia pasca bercerai.

1. Saran Praktis

a. Lansia yang bercerai

Bagi lansia yang telah bercerai diharapkan untuk tetap menjaga hubungan dengan orang-orang terdekatnya. Perceraian dapat menimbulkan dampak seperti rasa sedih maupun kesepian sehingga lansia sebaiknya mencari dukungan melalui orang terdekatnya, misalnya keluarga, atau dengan cara menikah kembali.


(2)

b. Lingkungan

Dukungan secara sosial maupun emosional dibutuhkan untuk membantu lansia mengatasi permasalahan setelah bercerai. Keluarga sebagai lingkungan terdekat lansia diharapkan dapat selalu mendampingi lansia setelah bercerai agar mengurangi dampak-dampak perceraian seperti kesepian.

2. Saran Penelitian Lanjutan

Kedua partisipan dalam penelitian ini adalah pihak penggugat yang memulai proses perceraian sehingga peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperkaya data-data dengan memfokuskan penelitian pada lansia yang menjadi pihak tergugat dalam perceraian untuk melihat perbedaan kondisi psikologis yang terjadi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abrahms, 2012, Life After Divorce, diakses pada tanggal 03 Juli 2013,

Amato, P. R. & Previti, D., 2003, People’s reasons for divorcing: Gender, social class, the life course, and adjustment, Journal of Family Issues, Vol. 24 No. 5, Juli 2003.

Brown, S. L. & Lin, I. F., 2012, The gray divorce revolution: Rising divorce among middle-aged and older adults, 1990-2009, Bowling Green State University: National Center for Family and Marriage Research.

Burgess, E.W. & Locke, H.J., 1960, The family: From institution to companionship, New York: American Book Company.

Calhoun, J.F. & Acocella, J.R., 1990, Psikologi tentang penyesuaian dan

hubungan kemanusiaan (edisi ketiga), alih bahasa: R.S. Satmoko,

Semarang: IKIP Semarang Press.

Cavanaugh, J. C. & Blanchard-Fields, F., 2006, Adult development and aging, California: Thomson Wadsworth

Colarusso, C.A. & Nemiroff, R.A., 1981, Adult development: A new dimensions in psychodinamic theory and practice, New York: Plenum Press.

DeGenova, M. K., 2008, Intimate relationships, marriages, and families (7th ed.), New York: McGraw-Hill, Inc.

Dewi, D. K., 2011, Penyesuaian diri pada wanita dewasa muda pasca bercerai, Universitas Gunadarma: Faklutas Psikologi.


(4)

Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan BKKBN, 2012, Pembinaan sosial kemasyarakatan bagi lansia, Jakarta:, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Fachrina & Anggraini, N., 2007, Penyesuaian kembali (readjustment) peran dan hubungan sosial pasangan yang bercerai, Universitas Andalas: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Hurlock, E. B., 1996, Psikologi perkembangan (ed. kelima), Jakarta: Penerbit Erlangga.

Indriana, Y., Desiningrum, D. R., & Kristiana, I. K., 2011, Religiositas, keberadaan pasangan, dan kesejahteraan sosial (social well being) pada lansia binaan PMI cabang Semarang, Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No. 2, Oktober 2011.

Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010, Profil penduduk lanjut usia 2009, Jakarta: Komisi Nasional Lanjut Usia.

Kurniawaty, L.Y.S., 2003, Hubungan antara kecerdasan emosi dengan kemampuan penyesuaian diri pada remaja, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta: Fakultas Psikologi.

Landis, J. J. & Landis, M. G., 1960, Personal adjustment marriage and family living, Prentice-Hall.

Lindgren, H. C., 1959, Psychology of personal and social adjustment, American Book.

Matlin, M. W., 2008, The psychology of women (sixth ed.), California: Thomson Wadsworth.

Nisa, F., 2009, Penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai, Universitas Sumatera Utara: Fakultas Psikologi.


(5)

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D., 2007, Human development (10th ed.), New York: McGraw-Hill, Inc.

Pengadilan Agama Medan, 2013, Pengadilan agama Medan rekap usia, diakses

pada tanggal 11 Juni 201

Pengadilan Agama Medan, 2013, Pengadilan agama Medan rekap faktor penyebab perceraian tahun 2013, diakses pada tanggal 11 Juni 2014,

Poerwandari, E. K., 2007, Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia, Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Republika, 2013, Utang Tingkatkan Perceraian Pasutri Lansia, diakses pada 12 Maret

Rivki, 2013, 340 Ribuan Pasangan Cerai di 2012, Istri Lebih Banyak Menggugat, diakses pada tanggal 03 Juli 2013,

Schneiders, A.A., 1964, Personal adjustment and mental health, New York : Holt, Reinhart & Winston Inc.

Stewart, C. J. & Cash, W. B. J., 2003, Interviewing: Priciples and practices, New York: McGraw-Hill, Inc.

Wahyuningsih, H., 2007, Penyesuaian sosial janda akibat perceraian, Universitas Muhammadiyah Malang.

Widarti, W. S., 2012, Penyesuaian diri pada perempuan pasca perceraian di Kabupaten Banjarnegara, Universitas Negeri Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan.


(6)

Wijaya, N., 2007, Hubungan antara keyakinan diri akademik dengan penyesuaian diri siswa tahun pertama sekolah asrama SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan, Universitas Diponegoro Semarang: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran.

Yadegaran, J., 2012, Adjusting After 'Gray Divorce', diakses pada tanggal 20 Mei Contra Costa Times