Kecemasan Menghadapi Assessment Centre Berdasarkan Kepribadian Big Five dan Persepsi Dukungan Organisasi

BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan Menghadapi Assessment Centre

1. Pengertian Kecemasan

  Beberapa pengertian mengenai kecemasan ini telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Antara lain dikemukakan oleh Atwater (1983) mendefinisikan kecemasan merupakan perasaan tidak nyaman dan ancaman bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Sedangkan Taylor (1995) mengemukakan bahwa, kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan yang merupakan reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan sebelumnya, kecemasan menurut Hilgard (1996) adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang terkadang dialami oleh individu dalam tingkat yang berbeda-beda.

  Selanjutnya, Nevid (2005) menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif (gelisah atau cemas) bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Jika seseorang mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut mengalami kecemasan, yaitu ketakutan yang

  31 tidak menyenangkan, atau suatu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi (Haber & Runyon 1984).

  Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Seperti yang diungkapkan oleh Wiramihardja (2005) bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya. Kecemasan juga merupakan respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup (Kaplan, Sadock, & Grebb 1997; Fauziah & Widuri, 2007). Kecemasan dianggap abnormal jika kecemasan itu terjadi dalam situasi yang dapat diatasi dengan sedikit kesulitan oleh kebanyakan orang. Artinya, jika kebanyakan orang lain dapat mengatasi suatu kesulitan yang sama dengan lebih mudah, sedangkan seseorang merasakan kesulitan itu sebagai masalah yang sangat besar yang dirasa membuat dirinya tidak mampu untuk mengatasinya (Zulkarnain & Novliadi, 2009).

  Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi. Rochman (2010) menjelaskan kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis.

  Berdasarkan beberapa pendapat yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan ketakutan atau kehawatiran yang bersifat subyektif dari seseorang akibat situasi yang dirasakan mengancam, karena ketidakpastian dimasa mendatang serta akan terjadi sesuatu yang buruk yang dapat menimpa dirinya. Kecemasan sendiri merupakan hal yang normal, akibat dari perubahan, perkembangan, pengalaman baru serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan dianggap abnormal jika kecemasan itu terjadi dalam situasi yang dapat diatasi dengan sedikit kesulitan oleh kebanyakan orang.

2. Konsepsi Kecemasan

  Bentuk kecemasan sebagai suatu respon dapat dibagi menjadi 2 bentuk yaitu kecemasan sebagai state anxiety dan trait anxiety (Spielberger, 1983; Zulkarnain & Novliady, 2009). State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi dan waktu tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan ketegangan yang subjektif.

  

State anxiety ini berubah-ubah intensitasnya dan berfluktuasi dari waktu ke

  waktu. Menurut Haris dan Haris (1984) kecemasan sesaat dalam situasi dan waktu tertentu terbagi lagi ke dalam dua dimensi yaitu somatic anxiety dan

  cognitive anxiety .

  Selanjutnya, Jarvis (2006) ; Videman (2007) mengungkapkan, ketika seseorang merasa cemas, maka akan mengalami perubahan fisiologis berhubungan dengan stimulasi yang tinggi, termasuk peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, sakit perut, bernafas dengan cepat dan muka memerah. Perubahan fisiologis tersebut berhubungan dengan somatic anxiety. Ketika seseorang mengalami somatic anxiety, maka ia juga dapat mengalami

  cognitive anxiety. Cognitive anxiety berhubungan dengan pikiran-pikiran yang

  menemanisomaticanxiety. Pemikiran tersebut meliputi kekuatiran, meragukan diri sendiri dan gambaran akan kekalahan dan dipermalukan (Videman, 2007).

  Sedangkan trait anxiety adalah ciri atau karakteristik seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu keadaan sebagai ancaman. Semakin kuat trait anxiety, semakin mungkin seseorang akan mengalami kenaikan yang lebih tinggi pada state anxiety dalam situasi yang mengancam (Videman, 2007). Dalam hal ini, seseorang yang cemas karena faktor state anxiety dapat dikatakan berhubungan dengan kepribadiannya yang cemas. Begitu juga dengan seseorang yang cemas karena faktor trait anxiety akan memiliki kecemasan yang berhubungan dengan kepribadiannya. Setiadarma (2000) mengatakan bahwa kecemasan bawaan adalah faktor kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi sesuatu keadaan sebagai situasi yang mengandung ancaman atau situasi yang mengancam.

  Kecemasan pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa, yang disebut sebagai facilitating anxiety, yaitu seseorang yang cemas mendapat hasil ujian yang buruk membuat ia belajar dan mempersiapkan diri menghadapi ujian. Dalam hal ini kecemasan yang dimiliki memberikan efek positif yaitu menjadi pendorong untuk belajar dengan rajin. Sedangkan bila kecemasan sangat besar, justru akan mengganggu, dalam hal ini disebut debilitating anxiety (Fauziah & Widury, 2006). Pada debilitating

  anxiety ini terjadi dalam bentuk tidak dapat tidur, gelisah, sering pergi ke toilet pada saat menjelang dilaksanakan ujian atau ketika sedang mengerjakan ujian.

  3. Dimensi Kecemasan

  Haber dan Runyon (1984) mengungkapkan jika individu mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut tengah mengalami kecemasan, yaitu perasaan yang tidak menyenangkan dan merupakan pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Haber dan Runyon (1984) menjelaskan terdapat 4 dimensi kecemasan yaitu:

  1. Dimensi Kognitif (dalam pikiran seseorang) Dimensi kognitif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam pikiran seseorang sehingga ia mengalami perasaan risau dan khawatir.

  Kekhawatiran ini dapat terjadi mulai dari tingkat khawatir yang ringan lalu panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, serta kematian.

  Saat individu mengalami kondisi ini ia tidak dapat berkonsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, dan mengalami kesulitan untuk tidur.

  Termasuk dimensi kognitif antara lain menjadi sulit tidur di malam hari, mudah bingung, dan lupa.

  2. Dimensi Motorik (dalam tindakan seseorang) Dimensi motorik yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk tingkah laku seperti meremas jari, jari-jari & tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat, menggeliat, menggigit bibir, menjentikkan kuku, gugup, dan mengambangkan Tics. Biasanya orang yang cemas menunjukkan pergerakan secara acak.

  3. Dimensi Somatis (dalam reaksi fisik/biologis) Dimensi somatis yaitu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul dalam reaksi fisik biologis seperti mulut terasa kering, kesulitan bernafas, jantung berdebar, tangan dan kaki dingin, diare, pusing seperti hendak pingsan, banyak berkeringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama kepala, leher, bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan.

  4. Dimensi Afektif (dalam emosi seseorang) Dimensi afektif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan seperti dihadapkan pada suatu teror. Luapan emosi ini biasanya berupa kegelisahan atau kekhawatiran bahwa ia dekat dengan bahaya padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Termasuk dimensi afektif antara lain yaitu merasa tidak pasti, menjadi tidak enak, gelisah, dan menjadi gugup (nervous).

  4. Proses Terjadinya Kecemasan

  Ada limaproses terjadinya kecemasan pada individu (Spielberger, 1972) yaitu: a).

  Evaluated Situation, yaitu adanya situasi yang mengancam secara kognitif sehingga ancaman tersebut dapat menimbulkan kecemasan.

  b).

  Perception of Situation, yaitu situasi yang mengancam diberi penilaian oleh individu, dan biasanya penilaian ini dipengaruhi oleh sikap, kemampuan dan pengalaman individu.

  c).

  Anxiety State of Reaction, yaitu individu menganggap ada situasi yang berbahaya, maka reaksi kecemasannya akan timbul. Kompleksitas respon dikenal sebagai reaksi emosional sesaat yang melibatkan respon fisiologis seperti denyut jantung dan tekanan darah.

  d).

  Cognitive Reappraisal Follows, yaitu individu kemudian menilai kembali situasi yang mengancam tersebut, untuk itu individu menggunakan pertahanan diri (defence mechanism) atau dengan cara meningkatkan aktifitas kognisi atau motoriknya.

  e).

  Coping, yaitu individu menggunakan jalan keluar dengan dengan menggunakan defence mechanism (pertahanan diri) seperti proyeksi atau rasionalisasi.

5. Respons Terhadap Kecemasan

  Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon terhadap kecemasan ada 4 aspek yaitu:

a. Respon Fisiologis

  1) Kardiovaskuler, meliputi: palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat, rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

  2) Pernafasan, meliputi: nafas sangat pendek, nafas sangat cepat, tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah.

  3) Neuromuskuler, meliputi: refleks meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor frigiditas, wajah tegang, kelemahan umum kaki goyah, gerakan yang janggal.

  4) Gastrointestinal, meliputi: kehilangan nafsu makan, menolak makanan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, diare.

  5) Traktus urinarius, meliputi: tidak dapat menahan kencing, sering berkemih.

  6) Kulit, meliputi: wajah kemerahan sampai telapak tangan, gatal, rasa panas, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.

  b. Respon Perilaku

  Respon perilaku yang sering terjadi yaitu: gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang kordinasi, cenderung mendapat cidera, menarik dari masalah, menghindar, hiperventilasi.

  c. Respon Kognitif

  Perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupsi, hambatan berfikir bidang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambar visual, takut pada cedera dan kematian.

d. Respon Afektif

  Mudah tersinggung, tidak sabar, gelisah, tegang, nervous, ketakutan, alarm, teror, gugup, gelisah.

6. Tingkatan Kecemasan

  Selanjutnya Suliswati (2005) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu :

a. Kecemasan Ringan

  Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

  1) Respon Fisiologis

  Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.

  2) Respon Kognitif

  Lapang persegi meluas, mampu menerima rangsangan kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara efektif. 3)

  Respon perilaku Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan dan suara kadang-kadang meninggi.

  b. Kecemasan Sedang

  Pada tingkat ini persepsi terhadap lingkungan menurun, individu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain.

  1) Respon Fisiologis

  Sering nafas pendek, nadi ekstra sistolik dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah.

  2) Respon Kognitif

  Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

  3) Respon Perilaku

  Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), berbicara banyak dan lebih cepat, dan perasaan tidak nyaman.

  c. Kecemasan Berat

  Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan/tuntunan.

  1) Respon Fisiologis

  Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur.

  2) Respon Kognitif

  Lapang persepsi sangat menyempit dan tidak mampu menyelesaikan masalah.

  3) Respon Prilaku Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking.

d. Panik

  Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan. 1)

  Respon Fisiologis Nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi, pucat sakit dada dan rendahnya koordanasi motorik

  2) Respon Kognitif

  Lapang persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, tidak dapat berfikir logis, dan ketidakmampuan mengalami distorsi.

  3) Respon Perilaku

  Agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak,

  blocking , presepsi kacau, kecemasan yang timbul dapat

  diidentifikasi melalui respon yang dapat berupa respon fisik, emosional dan kognitif atau intelektual.

7. Pengertian Assessment Centre

  Saat ini metode assessment centre marak dilakukan dalam organisasi untuk menjawab kebutuhan organisasi melaksanakan proses evaluasi guna keperluan rekrutmen, seleksi, pengembangan, promosi dan mempersiapkan karyawan dalam mengembangkan karirnya di perusahaan. Heneman (2000) mengartikan assessment centre sebagai sekumpulan prediksi yang digunakan untuk meramalkan keberhasilan karyawan terutama yang ditunjuk untuk mereka yang akan duduk dalam jabatan-jabatan tinggi/strategis. Shermon (2004) menjelaskan bahwa assessment centre adalah metode untuk mengukur kompetensi dalam menerapkan rencana pekerjaannya.

  Proses seleksi telah berevolusi dengan mengkombinasikan banyak perangkat seleksi lain seperti wawancara, prosedur pengujian yang bervariasi dan latihan-latihan yang dikembangkan untuk situasi tertentu yang mensimulasikan aspek-aspek tertentu dari pekerjaan (Middlemist, Hitt & Greer, 1983; Siregar, 2004). Proses penilaian yang dikombinasikan ini disebut sebagai “assessment centre” dikatakan sebagai centre/pusat karena prosedur penilaian ini telah sering dilakukan dengan periode satu hari hingga satu minggu pada lokasi-lokasi yang jauh dari tempat kerja atau assessment centre merupakan suatu proses dimana pesertanya berpatisipasi dalam latihan keahlian dan mempergunakan keahlian mereka untuk melaksanakan aktivitas tertentu yang dinilai.

  Sejalan dengan itu, menurut Prihadi (2004) istilah assesment centre, digunakan untuk menyebut sebuah proses, prosedur atau metode pendekatan untuk menilai dan mengukur kompetensi orang. Secara praktis, assesment

  centre dapat dipahami sebagai proses penilaian (evaluation) atau rating yang

  canggih dan didesain secara khusus untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya bias, sehingga peserta dalam proses ini mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengungkapkan potensi dan kompetensinya. Thornton dan Rupp (2006) mengartikan assessment centre merupakan suatu prosedur yang digunakan oleh manajemen sumber daya manusia untuk mengevaluasi atribut perilaku atau kemampuan yang relevan terkait dengan efektivitas organisasi.

  Selanjutnya Thornton dan Rupp (2006) mengungkapkan bahwa

  

assessment centre memiliki tingkat akurasi keberhasilan yang tinggi dalam

  meramalkan karyawan di masa depan. Dalam prosesassessment centre yang diukur adalah respon-respon behavioral dari para peserta, sehingga peserta diminta untuk menampilkanperilakuyang kompleksdalam beberapa skenario situasi penting yang menyerupai situasi organisasi (Thorton & Rupp, 2006).Untuk dinyatakan berhasil, peserta harusmenampilkan beberapaperilaku yang dimunculkan secara konsisten sesuai dengan perilaku pada pekerjaan dari berbagai simulasi yang diberikan. Selanjutnya dalam proses assessment

  centre terdapat integration of observation, yaitu bagaimana para assessor

  mengintegrasikan potongan-potongan informasi penilaian yang dimiliki dari setiap assessor. Para assessor mengintegrasikan pengamatan mereka dan kemudian mengintegrasikan evaluasi dimensi untuk menentukan rating keseluruhan, kemudian mereka mengamil keputusan. Metode assessment

  

centre menggunakan proses integrasi dalam menentukan keputusan,

  merupakan proses menjadi bagian dalam assessment centre dan telah dibuktikan keunggulannya dalam beberapa penelitian. Fokus dari assessment

  

centre adalah bukti perilaku aktual yang ditunjukkan peserta asesmen yang

  dapat diamati dan dievaluasi oleh asesor terlatih, berdasarkan multi-kriteria dalam beberapa simulasi langsung terkait situasi kerja sesungguhnya (Thornton & Rupp, 2006).

  Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan di atas, maka disimpulkan bahwa assessment centre merupakan metode yang digunakan oleh manajemen sumber daya manusia untuk melakukan evaluasi terhadap kompetensi individu berdasarkan berbagai kriteria yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan organisasi, dengan menggunakan beragam simulasi guna menampilkan perilaku yang dapat diamati oleh assessor/penilai dan bertujuan untuk meramalkan keberhasilan pegawai dalam jabatan-jabatan tinggi/strategis. Metode assessment centre sendiri memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam meramalkan keberhasilan kinerja karyawan dimasa yang akan datang.

8. Promosi Jabatan

  Menurut Manullang (2001) promosi berarti penaikan jabatan yakni menerima kekuasaan dan tanggungjawab lebih besar dari kekuasaan dan tanggung jawab sebelumnya. Pemberian promosi pada seorang karyawan berarti bahwa karyawan tersebut naik ke posisi yang lebih tinggi dalam struktur organisasi suatu perusahaan. Promosi memberikan peranan penting bagi setiap karyawan, bahkan menjadi idaman yang selalu dinanti-nantikan oleh karyawan. Manullang (2001) juga menambahkan bahwa dengan promosi berarti adanya kepercayaan dan pengakuan mengenai kemampuan serta kecakapan bersangkutan untuk menjabat suatu jabatan yang lebih tinggi. Dengan demikian promosi akan memberikan status sosial, wewenang, dan tanggungjawab serta penghasilan yang semakin besar bagi karyawan tersebut.

  Promosi tidak selalu diikuti oleh kenaikan gaji, gaji bisa tetap, tetapi pada umumnya bertambah besarnya kekuasaan dan tanggungjawab seseorang bertambah juga balas jasa dalam bentuk uang yang diterimanya (Arun Manoppa & Mirzas Saiyadim, 1979).

9. Kecemasan MenghadapiAssessment Centre

  Kecemasan erat kaitannya dengan emosi manusia yang ditandai adanya beberapa gejala seperti kekhawatiran, kegelisahan, ataupun ketidak tenteraman karena adanya ketidakpastian. (Libert dan Morris 1967) mengungkapkan, seseorang yang akan mengikuti ujian/test dapat mengalami suatu kecemasan, atau biasa disebut dengan kecemasan terhadap test (Liebert & Morris 1967). Kecemasan bukan saja bergantung pada “variabel manusianya” tetapi juga rangsang yang membangkitkan kecemasan (Endler & Hunt, 1969; Zulkarnain & Novliadi, 2009). Dalam hal ini salah satu rangsang yang membangkitkan kecemasan adalah situasi saat ujian, karena menurut Djiwandono (2002), timbulnya kecemasan yang paling besar adalah pada saat seseorang menghadapi test atau ujian. Dalam organisasi, salah satu metode evaluasi kinerja karyawan adalah melalui assessment centre. Prihadi (2004) mengemukakan bahwa assessment centre digunakan untuk menilai dan mengukur kompetensi seseorang melalui beberapa proses yang termasuk di dalamnya berupa test.

  Sejalan dengan hal tersebut, Ormrod (2006) mengemukakan bahwa kecemasan terhadap test adalah perasaan cemas yang berlebihan mengenai sebuah test atau penilaian secara menyeluruh. Perasaan cemas yang mengganggu seseorang ketika ia menghadapi ujian tersebut, karena adanya kekhawatiran, ketidakpastian terhadap performa yang ditampilkannya apabila tidak diterima dengan baik hasilnya. Sena, Lowe, dan Lee (2007) menjelaskan bahwa kecemasan test didefinisikan sebagai respon fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu yang mendorong perasaan negatif dalam situasi yang dinilai.

  Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut, disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi assessment centre merupakan suatu perasaan kekhawatiran, kegelisahan dan ketidaktenteraman yang dirasakan individu dalam menghadapi ujian/test atau penilaian menyeluruh berupa proses assessment centre dalam menilai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan individu yang dianggap penting bagi keberhasilan kinerja.

10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

  Menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005), kecemasan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: a.

  Faktor Sosial Lingkungan Meliputi pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam atau traumatis, mengamati respon takut pada orang lain, dan kurangnya dukungan sosial.

  b.

  Faktor Biologis Meliputi predisposisi genetis, ireguaritas dalam fungsi neurotransmiter, dan abnormalitas dalam jalur otak yang memberi sinyal bahaya atau yang menghambat tingkah laku repetitif.

  c.

  Faktor Behavioral Meliputi pemasangan stimuli aversif dan stimuli yang sebelumnya netral, kelegaan dari kecemasan karena melakukan ritual kompulsif atau menghindari stimuli fobik, dan kurangnya kesempatan untuk pemunahan karena penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti.

  d.

  Faktor Kognitif dan Emosional Meliputi konflik psikologis yang tidak terselesaikan (Freudian atau teori psikodinamika), faktor-faktor kognitif seperti prediksi berlebihan tentang ketakutan, keyakinan-keyakinan yang self defeating atau irasional, sensivitas berlebih terhadap ancaman, sensivitas kecemasan, salah atribusi dari sinyal-sinyal tubuh, dan self efficacy yang rendah.

  Menurut Suliswati, (2005) ada 2 faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu : a.

  Faktor predisposisi yang meliputi : 1)

  Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional. 2)

  Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu. 3)

  Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan. 4)

  Frustasi akanmenimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego.

  5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.

  6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani kecemasan akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap konflik yang dialami karena mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.

  7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.

  8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiapine dapat menekan neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

  b.

  Faktor presipitasi meliputi: 1)

  Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam integritas fisik meliputi : a)

  Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologi system imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal.

  b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.

  2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.

  a) Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri.

  b) Sumber eksternal, meliputi kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.

  Dalam penelitian ini, variabel kecemasan yang digunakan berdasarkan teori dari Haber dan Runyon (1984), dimana menjelaskan terdapat 4 dimensi kecemasan yaitu dimensi kognitif, motorik somatif dan afektif. Selanjutnya respon-respon kecemasan yang muncul pada individu disusun berdasarkan teori Stuart dan Sundeen (1998). Terdapat 4 aspek respon kecemasan yang dijabarkan oleh Stuart dan Sundeen (1998) yaitu respon fisiologis, respon perilaku, respon kognitif dan respon afektif.

B. Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

  Dalam studi kepustakaan yang dilakukan oleh Allport (Hall & Lindzey, 2005) menemukan bahwa hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapatnya bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri.

  Selanjutnya, penyesuaian diri diartikan sebagai proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan- ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana individu tinggal (Scheneider, 1964; Desmita, 2009). Sejalan dengan itu Pervin, Cervone dan John (2005) mengemukakan bahwa kepribadian seseorang sangat menentukan bagaimana seseorang itu bertingkah laku dalam kehidupan sehari-harinya. Kepribadian memang merupakan hal yang unik dan merupakan suatu pola yang relatif stabil dari perilaku, pikiran dan emosi yang diperlihatkan oleh seseorang (Baron, 2000).

  Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah karakteristik didalam diri individu, relatif menetap, bertahan, dengan caranya yang unik yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu dalam menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Konsepsi Kepribadian

  Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Pemilahan klasik kemungkinan penyebabnya memisahkan antara nature (bawaan) dan nurture (yang didapat dari asuhan/belajar). Pada satu sisi, bisa jadi seperti saat ini karena bawaan biologis, artinya: karena fitur biologis yang diwarisi. Pada sisi lain, kepribadian bisa jadi merefleksikan pengasuhan; yaitu pengalaman ketika dibesarkan sebagai anak (Pervin, Cervone, & Jhon, 2005) Selanjutnya, Pervin, Cervone, & Jhon (2005) menjelaskan konsepsi mengenai kepribadian, yaitu: a.

  Determinan Genetik Faktor genetik memainkan peran utama dalam menentukan kepribadian dan perbedaan individual. Salah satu caranya adalah mengidentifikasikan kualitas kepribadian tertentu yang diperkirakan memiliki basis biologis. Kualitas seperti ini seringkali dianggap sebagai aspek dari temperamen, istilah yang menunjuk pada kecenderungan emosional dari perilaku berbasis biologis yang tampak jelas pada masa kanak-kanak awal. Karakteristik temperamen yang dipelajari dalam cara ini perilaku yang menunjukkan ketakutan dan perasaan terganggu sebagai reaksi terhadap situasi baru, seperti ketika bertemu dengan orang asing.

  b.

  Determinan Lingkungan.

  Faktor lingkungan berperan penting dalam perkembangan kepribadian. Faktor lingkungan yang terbukti penting dalam studi perkembangan kepribadian diantaranya; kultur, kelas sosial, keluarga dan teman sebaya.

  1). Kultur Setiap kultur memiliki pola pranata perilaku, ritual dan keyakinan sendiri-sendiri. Berbagai praktikkultur ini yang merefleksikan keyakinan religius dan filosofis, memberikan jawaban tentang pertanyaan penting berkaitan dengan karakteristik alamiah diri, peran seseorang dalam komunitasnya, dan nilai serta prinsip terpenting dalam hidup. Sejalan dengan itu, Mastuti (2005) mengungkapkan diantara faktor lingkungan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepribadian adalah pengalaman individu sebagai hasil dari budaya tertentu. Masing-masing budaya mempunyai aturan dan pola sangsi sendiri dari perilaku yang dipelajari, ritual, dan kepercayaan. Hal ini berarti masing-masing anggota dari suatu budaya akan mempunyai karakteristik kepribadian tertentu yang umum (Mastuti, 2005).

  2). Faktor kelas sosial Faktor kelas sosial membantu menentukan status individu, peran yang mereka mainkan, tugas yang diembannya, dan hak istimewa yang dimiliki. Faktor ini mempengaruhi bagaimana individu melihat dirinya dan bagaimana mereka mempersepsi anggota dari kelas sosial lain.

  3). Faktor Keluarga Faktor lingkungan yang paling penting adalah pengaruh keluarga.

  Tiappola perilaku orang tua mempengaruhiperkembangan kepribadian anak. Orang tua mempengaruhi perilaku anak melalui 3 cara utama : a). Melalui perilaku mereka sendiri; mereka menghadirkan situasi yang menghasilkan perilaku tertentu pada diri anak (misalnya, frustrasi yang mengarah pada agresi).

  b). Mereka berperan sebagai model peran untuk identifikasi.

  c). Mereka memilih perilaku yang disetujui. 4). Faktor teman sebaya Teman sebaya juga menjadi hal yang berpengaruh dalam perkembangan kepribadian. Dalam seting sosial luar rumah, pengalaman dengan teman sebaya mungkin berpengaruh lebih besar pada gaya kepribadian. Kelompok teman sebaya berfungsi mensosialisasikan aturan dan perilaku yang diterima dan memberikan pengalaman yang akan berpengaruh jangka panjang pada perkembangan kepribadian individu. Pertemanan memiliki efek tertentu pada perkembangan kepribadian.

3. Pendekatan Trait dalam Kepribadian

  Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori

  trait . Teori trait merupakan sebuah model untuk mengidentifikasi trait-trait

  dasar yang diperlukan untuk menggambarkan suatu kepribadian. Trait didefinisikan sebagai suatu dimensi yang menetapdari karakteristik kepribadian, hal tersebut yang membedakan individu dengan individu yang lain (Mastuti, 2005). Pervin, Cervone dan John (2005) mengungkapkan bahwa salah satu unit analisis yang kerap digunakan untuk mendeskripsikan struktur kepribadian adalah sifat atau ciri kepribadian (trait personality). Selanjutnya Pervin, Cervone dan John (2005) menambahkan bahwa susunan trait merujuk pada konsistensi respons individual kepada berbagai situasi.

  Costa dan McCrae (1998) mengembangkan teori kepribadian big five. Teori ini didasarkan pada model lima faktor kepribadian sebagai representasi struktur trait yang merupakan dimensi utama dari kepribadian. Trait kepribadian merupakan dimensi dari kepribadian yang merupakan kecenderungan emosional, kognitif, dantingkah laku, yang bersifat menetap dan ditampilkan individu sebagai respons terhadap berbagai situasi lingkungan (Westen, 1999). Taksonomi kepribadian lima besar merupakan asesmen yang komprehensif dari kepribadian dimana individu mempersepsikan bagaimana dirinya sendiri serta bagaimana hubungan dirinya dengan orang lain. Penilaian dalam kepribadian limabesar tidak menghasilkan satu trait tunggal yang dominan, tetapi menunjukkan seberapa kuat setiap trait dalam diri seseorang. Kelima trait kepribadian tersebut adalah: neuroticism, extraversion, openness

  

to experience, agreeableness , serta conscientiousness (Pervin, Cervone, John,

2005).

  Selanjutnya Pervin, Cerveron dan John (2005) mengilustrasikan arti dari faktor-faktor tersebut. Dalam tabel berikut dipaparkan mengenai daftar sifat seseorang yang merupakan skor tinggi secara individual dan rendah pada faktor lain. Kepekaan emosi yang merupakan neuroticism dengan sisi lain dari perasaan negatif termasuk kecemasan, sedih, mudah tersinggung, dan gugup. Faktor Keterbukaan atas pengalaman digambarkan dengan luasnya, kedalaman dan kompleksitas dari mental individu dalam pengalaman hidup. Khusus faktor

  

extraversion dan faktor agreeableness kedua sifat tersebut lebih bersifat

  interpersonal, yang berarti perbuatan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain. Faktor conscientiousness diterangkan awal mula adalah berkaitan dengan tugas dan perilaku sebagai tujuan akhir dan pengendalian diri sebagai faktor sosial.

Tabel 2.1. Faktor Kepribadian Big Five dan Skala Ilustratif Karakteristis Skor Tinggi Skala Sifat Karakteristik Skor Rendah

  Cemas, takut, emosional, tidak aman, tidak sebanding, murung

  Neuroticism

Mengukur emosi yang tidak

stabil. Identifikasi rata-rata

individu penyebab stress

psikologis, ide-ide yang tidak

realistik, dorongan hati dan

mengatasi respon-respon

penyeusian yang buruk.

  Kalems, relaks, tidak emosional, keras, pasti, kepuasan diri

  Sosial, aktif, banyak bicara, orientasi personal, optimis, senang bercinta, pengasihan

  

Extraversion

Mengukur kuantitas dan insentitas dari interaksi

interpersonal, level aktifitas,

kebutuhan untuk stimulasi dan

kapasitas kesenangan Segan, sederhana, tidak mewah, diam, menarik diri

  Ingin tahu, tertarik sesuatu hal di luar, kreatif, keaslian, penuh imajinatif, tidak tradisional

  Openness to Experience

Mengukur secara proaktif,

apresiatif terhadap pengalaman

untuk pencarian, toleransi untuk

eksplorasi terhadap sesuatu yang

belum dikenal.

  Konvensional, kembali ke masa lalu, tidak memiliki ketertarikan, tidak artistik, tidak bersifat analitik.

  Lembut, alamiah, kepercayaan, senang membantu, pemaaf, mudah dibohongi, tulus hati.

  Agreeableness

Mengukur kualitas interpersonal

yang berorientasi secara

berkelanjutan dari belas kasihan

hingga antagonis dalam pikiran-

pikiran, perasaan-perasaan dan

langkah-langkah.

  Sinis, kasar, curiga, tidak kooperatif, menaruh dendam, tidak kenal belas kasihan, mudah tersinggung, manipulatif Mengorganisasi, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin diri, teliti, seksama, tertib, ambisius, tekun dalam berusaha

  Conscientiousness

Mengukur pendidikan seseorang

dalam organisasi, keras hati,

motivasi diri dalam mencapai

tujuan, ketergantungan yang

berbeda, memilih orang-orang

dengan sentimental

  Tidak bertujuan, tidak percaya, malas, teledor, kemauan rendah

4. Dimensi-Dimensi Kepribadian Big Five

  a.

  Extraversion (E) Faktor pertama adalah extraversion, faktor ini menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia (Costa & McCrae, 1992; Pervin Cervone & John, 2005). Faktor extraversion ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, karena

  

extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial.

Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme

  yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain.

  Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam

  bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang rendah. Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan tingkat extraversion rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya.

  b.

   Agreeableness (A) Trait agreeableness menilai kualitas orientasi individu dengan

  kontinum nilai dari sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku (Costa & McCrae, 1992; Pervin Cervone & John, 2005).

  Agreeableness memiliki adaptasi yang mengindikasikan seseorang

  yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain.

  Berdasarkan value survey , seseorang yang memiliki skor

  agreeableness tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kecenderungan: suka membantu, pemaaf, dan penyayang.

  Individu yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi cenderung menghindar dari usaha langsung untuk memutuskan konflik dengan orang lain. Sedangkan orang-orang dengan tingkat

  agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang

  kooperatif. Orang yang menilai rendah kemampuan untuk bersepakat memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan orang lain (Robbins 2001; Mastuti, 2005).

c. Neuroticism (N) Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi.

  Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami

  stress , mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang maladaptive (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone

  & John, 2005). Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self esteem yang rendah.

  Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Individu yang memiliki tingkat neuroticism tinggi adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan untuk emosional (Robbins, 2001).

d. Openness (O)

  TraitOpenness menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri.

  Menilai bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone & John, 2005). Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru.

  Openness mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk

  menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat openness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi dan memiliki pemikiran yang luas. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama. Individu yang memiliki tingkat openness yang rendah digambarkan sebagi pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan. e.

  Conscientiousness (C) Dimensi conscientiousness menilai kemampuan individu di dalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone & John, 2001).

  Conscientiousness memiliki rasa ketergantungan, kontrol diri

  dan mau mendengarkan saran dari orang lain, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan disiplin diri seseorang. Seseorang yang

  conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang

  tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang well-organize, tepat waktu, dan ambisius.

  Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap

  lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Di sisi negatifnya trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic, membosankan. Tingkat

  conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya.

C. Dukungan Organisasi

1. Pengertian Persepsi Dukungan Organisasi

  Persepsi dukungan organisasi didefinisikan sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi memberi dukungan pada karyawan dan sejauh mana kesiapan organisasi dalam memberikan bantuan pada saat dibutuhkan (Rhoades & Eisenberger, 2002).

  Selanjutnya, persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Dengan demikian, karyawan memiliki harapan akan adanya dukungan organisasi terhadap kebutuhan mereka (Eisenberger, et. al., 1986; Rhoades & Eisenberger, 2002; Shannock 2006).

  Rhoades dan Eisenberger (2002) juga menyatakan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasi juga dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang dibentuk oleh tiap karyawan mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi. Keyakinan ini dibentuk berdasarkan pada pengalaman mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan agen organisasinya (misalnya supervisor), dan persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan mereka. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh agen organisasi dipandang sebagai tindakan dari organisasi (Levinson; Justin, 2003). Perilaku manajemen dan kebijakan-kebijakan organisasi merupakan dasar bagi pegawai untuk menginterpretasikan mengenai dukungan organisasi. Persepsi dukungan organisasi akan meningkat jika organisasi terlihat menerapkan reward yang baik, peluang peningkatan karir, dan kebijakan-kebijakan positif di tempat kerja.

  Selanjutnya Eisenberger & Rhoades (2002) menambahkan bahwa bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagi kebutuhan sosioemosional mereka seperti respect (penghargaan), caring (kepedulian), dan tangible benefit seperti gaji dan tunjangan kesehatan.

  Perasaan dihargai oleh organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan terhadap approval (persetujuan), esteem (penghargaan) dan

  affiliation (keanggotaan).

  Berdasarkan beberapa uraian, disimpulkan bahwa persepsi dukungan organisasi adalah persepsi karyawan mengenai sejauhmana kesiapan organisasi dalam memberikan dukungan terhadap karyawan melalui kebijakan dan prosedur yang diterapkan, penerimaan sumber daya, interaksi dengan agen organisasi, guna memenuhi kebutuhan sosioemosinal karyawan seperti respect, caring, tangible benefit, tunjangan kesehatan.

3. Aspek - Aspek Persepsi Dukungan Organisasi

  Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), ada tiga aspek persepsi dukungan organisasi, yaitu : a)

  Penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan (organizational reward

  and working condition ): penghargaan dan kondisi pekerjaan yang

  menyenangkan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi dukungan organisasi, seperti mengizinkan karyawan untuk mengembangkan kemampuannya, otonomi mengenai bagaimana pekerjaan dilakukan, dan pengakuan dari atasan. Bentuk penghargaan organisasi yang diterima oleh karyawan dari organisasi dapat berupa gaji, tunjangan, bonus, promosi, pelatihan/pengembangan diri. Salah satu bentuk dukungan organisasi terhadap karyawannya adalah kondisi kerja yang nyaman dan aman bagi karyawan.

  b) Dukungan yang diterima dari atasan (support received from

  

supervisor ): merupakan keyakinan karyawan bahwa atasan peduli

terhadap karyawannya dan menghargai kontribusi mereka.