Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia Ditinjau dari Tipe Kepribadian

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

ASDA PARDOSI

081301038

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Kecemasan menghadapi kematian adalah suatu ketakutan yang dialami individu saat akan menghadapi kematian yang ditandai dengan adanya gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah, gemetar dan ketidakmampuan untuk rileks, hiperaktivitas (pusing, jantung berdebar-debar atau berkeringat), perasaan campuran berisikan ketakutan, kekhawatiran dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Tipe kepribadaian ekstrovert adalah satu kecenderungan untuk mengarahkan kepribadian lebih banyak ke luar daripada ke dalam diri sendiri. Tipe kepribadian introvert adalah salah satu kecenderungan kepribadian untuk menarik diri dari kontak sosial dan minatnya lebih mengarah ke dalam pikiran-pikiran dan pengalamannya sendiri.

Metode dalam penelitian ini adalah adalah penelitian kuantitatif komparatif. Subjek penelitian berjumlah 72 orang lansia dengan usia diatas 60 tahun.Teknik pengambilan sampel adalah accidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala kecemasan menghadapi kematian berdasarkan aspek-aspek kecemasan yang dikemukakan oleh Blackburn & Davidson (dalam Zainuddin, 2002) dan skala kepribadian ekstrovert dan introvert berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Eysenck (dalam Hall dkk, 1985). Analisa data yang digunakan adalah analisis Independent Sample Test untuk apakah ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian kedua kelompok tersebut.

Hasil analisa data diperoleh hasil kecemasan menghadapi kematian antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan nilai p = 0.372 dengan p >0.05, artinya tidak ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian ditinjau dari tipe kepribadian. Tidak adanya perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, religiusitas, dukungan keluarga, dan lingkungan.


(3)

ABSTRACK

This research aims to look at anxiety facing death in the elderly in terms of extroverted and introverted personality type. Dealing with death anxiety is a fear that is experienced when the individual will face death characterized by the presence of psychological disorder characterized by motor tension (trembling and agitation, inability to relax, hyperactivity (dizziness, heart palpitations or sweating), mixed feelings, worries and fears with concerns about the future without a cause for fear. Extrovert pesonality type is a tendency to drive more personlity to the outside than it is inside yourself. Introvert personality type is one o a personality tendency to withdraw from social contact and interest in more lead into thoughts and his own experience.

The method in this research is quantitative research is comparative. Subject research amounted to 72 elderly with age above 60 years.Sampling technique is the accidental sampling. Measuring instrument used was dealing with death anxiety scale based on aspects of the anxiety expressed by the Blackburn & Davidson (in Zainuddin, 2002) and the personality scale based on the theory advanced by Eysenck (Hall et al, 1985). Data analysis is the analysis of the Independent Sample Test.

Analysis of the data obtained from the anxiety of dealing with death between extrovert and introvert personality type ith a value of p = 0.372 with p > 0.05, which means that there is no difference in the anxiaty of dealing with death in terms of personality types. Absence of difference it can be affected by various factors like education level, religiousness, support families, and the environment.


(4)

berkat, karunia dan kekuatan yang Dia berikan dalam penyelesaian skripsi ini

yang berjudul “Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Ditinjau Dari Tipe Kepribadian” untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Syukur kepada Tuhan Yesus untuk penyertaanNya kepada peneliti dalam menyelesaikan tahap demi tahap penyelesaian skripsi ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga, khususnya kepada bapak (Hendrik Pardosi) dan mama (Emma Manurung) termasuk keluarga besar peneliti yang senantiasa berdoa, memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti selama kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Elvi Andriani Jusuf, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama proses mengerjakan tugas ini. Terima kasih atas bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, waktu dan tenaga yang


(5)

sebagai orangtua bagi peneliti walaupun sudah pindah dari Fakultas Psikologi.. Terima kasih atas bimbingan, arahan dan bantuan selama peneliti mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.

4. Ibu Debby Daulay, M.Psi., Psikolog., selaku dosen penguji. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan dan saran yang sangat berarti bagi penulis demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang dan nikmat Nya yang tak berbalas kepada ibu.

5. Ibu Etty Rahmawati, M.Si., selaku dosen penguji. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan dan saran yang sangat berarti bagi penulis demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang dan nikmat Nya yang tak berbalas kepada ibu.

6. Kakek dan Nenek di Medan yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Terima kasih atas kesediannya meluangkan waktu untuk mengisi skala peneliti.

7. Seluruh dosen di departemen Psikologi Perkembangan dan seluruh staf pengajar serta pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan telah diberikan kepada peneliti.


(6)

9. Gadis kompor (Rentika cute & Mii Egz) yang selalu ada saat butuh hiburan. Terima kasih buat waktu yang berharga kalian luangkan bagi ku setiap saat aku butuh.

10.Teman-teman seperjuangan stambuk 2008 yang sama-sama berjuang dalam penyelesaian studi di kampus tercinta ini. Terimakasih untuk setiap masukan, cerita, dan perjuangan kita.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu peneliti terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi tercapainya penulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata, semoga Tuhan Yesus berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi saudara-saudara semua.

Medan, April 2014 Peneliti


(7)

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang . ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Lansia 1. Pengertian Lansia ... 15

2. Penggolongan Lansia ... 16

3. Ciri-ciri Lansia ... 16

4. Perubahan-perubahan Padas Lansia. ... 18

5. Lansia dan Akhir Kehidupannya ... 19

B. Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian ... 20

2. Penggolongan Tipe Kepribadian ... 21

2.1 Tipe Kepribadian Ekstrovert ... 22

2.2 Tipe Kepribadaian Introvert ... 23

C. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian ... 24

2. Jenis-Jenis Kecemasan Akan Kematian ... 27

3. Cara Pandang terhadap Kematian ... 28

4. Aspek-Aspek Kecemasan ... 29

5. Faktor-Faktor Yang Memunculkan Kecemasan ... 30

6. Teori Predisposisi Kecemasan ... 32

7. Tingkat Kecemasan ... 34

D. Dinamika Kecemasan Menghadapi Kematian Ditinjau Dari Tipe Kepribadian ... 36

E. Hipotesis... ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40

B. Definisi Operasional 1. Kecemasan Menghadapi Kematian. ... 40

2. Tipe Kepribadian. ... 41

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi ... 43

2. Metode Pengambilan Sampel ... 43

D. Metode Pengumpulan Data ... 44

E. Uji Validitas, Uji Daya Beda Aitem, dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Validitas Alat Ukur ... 49


(8)

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 55

3. Tahap Pengolahan data ... 55

H. Metode Analisis Data 1. Uji Normalitas ... 56

2. Uji Homogenitas ... 56

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian 1. Usia Subjek Penelitian ... 58

2. Jenis KelaminSubjek Penelitian ... 59

3. Status Pekerjaan Subjek Penelitian ... 60

4. Penggolongan Subjek Penelitian Berdasarkan Tipe Kepribadian ... 60

5. Penggolangan Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Kecemasan Menghadapi Kematian. ... 62

B. Hasil Penelitian Utama 1. Hasil Uji Asumsi ... 64

1.1 Uji Normalitas ... 64

1.2 Uji Homogenitas ... 65

2. Uji Hipotesis ... 65

C. Hasil Analisa Tambahan 1. Perbedaan Kecemasan Menghadapi Kematian ditinjau dari Aspek-Aspek Kecemasan. ... 67

2. Perbedaan Kecemasan menghadapi Kematian ditinjau dari Jenis Kelamin. ... 71

3. Perbedaan Kecemasan menghadapi Kematian ditinjau dari Tingkat Pendidikan. ... 72

D. Pembahasan ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 78

B. Saran 1. Saran Metodologis ... 79

2. Saran Praktis ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(9)

Tabel 2. Blue print Skala Kepribadian Sebelum Uji Coba... ... 49

Tabel 3. Skala Kecemasan Menghadapi Kematian ... 53

Tabel 4. Skala Kepribadian ... 54

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 58

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 59

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pekerjaan……….60

Tabel 8. Statistik Reliabilitas ... 61

Tabel 9. Statistik Deskritif ... 61

Tabel 10. Kategori Tipe kepribadian ... 62

Tabel 11. Kategori Data Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan introvert ... 62

Tabel 12. Statistik Reliabilitas ... 63

Tabel 13. Statistik Deskriptif. ... 63

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 64

Tabel 15. Hasil Uji Homogenitas ... 65

Tabel 16. Independen Sampel Test... 66

Tabel 17. Hasil Analisa Perbedaan Suasana Hati antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 67

Tabel 18. Uji Normalitas ... 67

Tabel 19. Tes Statistik ... 67

Tabel 20. Hasil Analisa Perbedaan Pikiran antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 67

Tabel 21. Uji Normalitas ... 68

Tabel 22. Tes Statistik ... 68

Tabel 23. Hasil Analisa Perbedaan Motivasi antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 68

Tabel 24. Uji Normalitas ... 68

Tabel 25. Tes Statistik ... 69

Tabel 26. Hasil Analisa Perbedaan Perilaku Gelisah antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 69

Tabel 27. Uji Normalitas ... 69

Tabel 28. Tes Statistik ... 69

Tabel 29. Hasil Analisa Perbedaan Reaksi-Reaksi Biologis antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 70

Tabel 30. Uji Normalitas ... 70

Tabel 31. Tes Statistik ... 70

Tabel 32. Hasil Analisa Perbedaan Kecemasan Menghadapi Kematian Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 71

Tabel 33. Uji Normalitas ... 71

Tabel 34. Tes Statistik ... 71 Tabel 35. Hasil Analisa Perbedaan Kecemasan Menghadapi Kematian


(10)

(11)

B. Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Uji Coba. ... 94

Lampiran 2 A. Data Mentah Skala Tipe kepribadian Saat Uji Coba. ... 98

B. Data Mentah Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Uji Coba ... 101

Lampiran 3 A. Reliabilitas Skala Tipe Kepribadian Saat Uji Coba. ... 104

B. Reliabilitas Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Uji Coba. ... 106

Lampiran 4 A. Skala Dukungan Tipe Kepribadian Saat Penelitian. ... 109

B. Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Penelitian. ... 116

Lampiran 5 A. Data Mentah Penelitian Tipe Kepribadian. ... 120

B. Data Mentah Penelitian Kecemasan Menghadapi Kematian. ... 123

Lampiran 6 A. Hasil Uji Asumsi... 126


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Kecemasan menghadapi kematian adalah suatu ketakutan yang dialami individu saat akan menghadapi kematian yang ditandai dengan adanya gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah, gemetar dan ketidakmampuan untuk rileks, hiperaktivitas (pusing, jantung berdebar-debar atau berkeringat), perasaan campuran berisikan ketakutan, kekhawatiran dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Tipe kepribadaian ekstrovert adalah satu kecenderungan untuk mengarahkan kepribadian lebih banyak ke luar daripada ke dalam diri sendiri. Tipe kepribadian introvert adalah salah satu kecenderungan kepribadian untuk menarik diri dari kontak sosial dan minatnya lebih mengarah ke dalam pikiran-pikiran dan pengalamannya sendiri.

Metode dalam penelitian ini adalah adalah penelitian kuantitatif komparatif. Subjek penelitian berjumlah 72 orang lansia dengan usia diatas 60 tahun.Teknik pengambilan sampel adalah accidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala kecemasan menghadapi kematian berdasarkan aspek-aspek kecemasan yang dikemukakan oleh Blackburn & Davidson (dalam Zainuddin, 2002) dan skala kepribadian ekstrovert dan introvert berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Eysenck (dalam Hall dkk, 1985). Analisa data yang digunakan adalah analisis Independent Sample Test untuk apakah ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian kedua kelompok tersebut.

Hasil analisa data diperoleh hasil kecemasan menghadapi kematian antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan nilai p = 0.372 dengan p >0.05, artinya tidak ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian ditinjau dari tipe kepribadian. Tidak adanya perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, religiusitas, dukungan keluarga, dan lingkungan.


(13)

ABSTRACK

This research aims to look at anxiety facing death in the elderly in terms of extroverted and introverted personality type. Dealing with death anxiety is a fear that is experienced when the individual will face death characterized by the presence of psychological disorder characterized by motor tension (trembling and agitation, inability to relax, hyperactivity (dizziness, heart palpitations or sweating), mixed feelings, worries and fears with concerns about the future without a cause for fear. Extrovert pesonality type is a tendency to drive more personlity to the outside than it is inside yourself. Introvert personality type is one o a personality tendency to withdraw from social contact and interest in more lead into thoughts and his own experience.

The method in this research is quantitative research is comparative. Subject research amounted to 72 elderly with age above 60 years.Sampling technique is the accidental sampling. Measuring instrument used was dealing with death anxiety scale based on aspects of the anxiety expressed by the Blackburn & Davidson (in Zainuddin, 2002) and the personality scale based on the theory advanced by Eysenck (Hall et al, 1985). Data analysis is the analysis of the Independent Sample Test.

Analysis of the data obtained from the anxiety of dealing with death between extrovert and introvert personality type ith a value of p = 0.372 with p > 0.05, which means that there is no difference in the anxiaty of dealing with death in terms of personality types. Absence of difference it can be affected by various factors like education level, religiousness, support families, and the environment.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk Indonesia selama kurun 40 tahun sejak tahun 1970 mengalami perubahan struktur (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Proporsi penduduk usia dibawah 15 tahun mengalami perubahan menjadi mengecil walaupun jumlahnya masih tetap bertambah. Seiring dengan membaiknya kondisi kesehatan, struktur umur penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan sebagai dampak meningkatnya angka harapan hidup. Hal ini mempengaruhi jumlah dan persentase penduduk lanjut usia yang terus meningkat jumlahnya. Data Badan Pusat Statistika menunjukkan meningkatnya jumlah lansia setiap tahunnya. Pada tahun 1980 presentasi jumlah lanjut usia 5,45%, tahun 1990 sebanyak 6,29%, tahun 2000 sebanyak 7,18%, tahun 2010 sebanyak 9,77%, dan diperkirakan pada tahun 2020 presentasi populasi lanjut usia sebanyak 11,34%. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa harapan hidup manusia dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Berdasarkan kelompok umur, persentase penduduk lansia relatif kecil dibandingkan dengan penduduk usia dibawah 15 tahun (29,06 %), penduduk usia 15-35 tahun (34,53%), maupun penduduk dewasa usia 36-59 tahun (28,04%). Meskipun persentasenya relatif kecil dibandingkan kelompok umur lainnya, namun secara umum jumlah penduduk lansia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasil Susenas yang menyajikan perkiraan jumlah dan proporsi


(15)

penduduk lansia pada tahun 2005, 2007 dan 2009. Pada tahun 2009, jumlah penduduk lansia Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau 8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia dimana pada tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini naik menjadi 18,96 juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2009. Kepedulian akan kesejahteraan lansia tertuang dalam UU No 13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia. UU tersebut mengamanatkan pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan dan perlindungan sosial bagi lansia agar mereka dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2009).

Sejalan dengan bertambahnya umur maka setiap manusia itu pun akan menjadi tua yang berarti akan mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan fisik maupun psikologis tertentu (Yudrik Jahja, 2001). Perubahan-perubahan sudah menjadi kodrat setiap manusia yang disebut dengan istilah

“menua”. Menua merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Namun demikian, kualitas hidup lansia harus diupayakan tetap terjaga sehingga dapat tetap sehat, aktif, dan mandiri. Perubahan yang terjadi akan memberikan berbagai efek terhadap lansia dalam menentukan hidup selanjutnya apakah mereka akan melakukan penyesuaian diri dengan baik atau buruk.

Lanjut usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia sering mengalami kecemasan. Padahal, masa lanjut usia adalah masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati


(16)

masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Namun, pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini. Berbagai persoalan hidup yang mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, kehilangan pasangan hidup atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya (Hurlock, 1996).

Perjalanan manusia dalam menjalani proses hidup yang cukup panjang, telah menyadarkan diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, adanya kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini memiliki respon yang berbeda-beda pada setiap orang atau kelompok orang (Hurlock, 1996). Bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa besarnya kesadaran akan datangnya kematian dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang menganggap kematian dapat diterimanya seperti seorang sahabat. Bagi seseorang atau sekelompok orang lainnya, kematian merupakan sesuatu yang sangat menakutkan atau mengerikan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan dan melakukan bunuh diri (Lalenoh, 1991).

Cara memandang kematian pada setiap tingkat usia mana pun berbeda-beda; sikap orang-orang merefleksikan kepribadian dan pengalaman mereka, sekaligus seberapa kuat mereka yakin bahwa mereka akan meninggal. Perubahan sikap terhadap kematian tergantung pada perkembangan kognitif dan timing of


(17)

event normative atau nonnormatif (Papalia, 1997). Diusia 5 dan 7 tahun sebagian besar anak memahami bahwa kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pada usia ini, anak-anak menyadari dua konsep penting tentang kematian: pertama, bahwa kematian bersifat universal dan tidak dapat dihindari; dan kedua, orang yang sudah meninggal tidak berfungsi. Sebelum usia tersebut, anak-anak yakin beberapa kelompok orang tidak meninggal, bahwa seseorang yang pintar atau beruntung dapat menghindari kematian dan mereka dapat hidup kekal abadi. Mereka percaya bahwa seorang yang meninggal dunia masih bisa berpikir dan merasa. Menurut Piaget (dalam Speece & Brent, 1984), terjadinya perubahan arti setiap konsep tentang kematian berhubungan dengan pemikiran anak-anak yang beralih dari pemikiran praoperasional menuju pemikiran operasional konkret.

Pada usia paruh baya, sebagian besar orang-orang menjadi lebih sadar sebelumnya bahwa mereka akan meninggal dunia. Tubuh mereka mengirim sinyal bahwa mereka tidak lagi semuda, secerdas, dan segairah dulu. Mereka akan lebih memikirkan beberapa tahun yang tersisa bagi mereka dan bagaimana memanfaatkan tahun-tahun tersebut semaksimal mungkin (Neugarten dam Papalia, 1997).

Pada lanjut usia, berbagai perasaan bercampur aduk mengenai kemungkinan proses menjelang kematian. Kemunduran fisik dan berbagai masalah lain yang serat dengan berbagai kemunduran pada usia tua, membuat mereka kehilangan kenikmatan mereka dalam kehidupan dan keinginan mereka untuk hidup (McCue, 1995). Perubahan-perubahan fisik yang dialami pada masa


(18)

lansia yang terlihat adanya kemunduran tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan terhadap kondisi psikologis.

Pada umumnya, lansia tergolong masa yang yang telah memasuki pensiun. Masa pensiun berarti lansia akan mengalami berbagai perubahan dalam kehidupannya sehari-hari. Perubahan-perubahan yang dirasakan membuat lansia harus menyesuaikan diri kembali dengan keadaan kehidupannya yang baru. Pada lansia yang menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik adalah lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman – teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk, 1985). Orang-orang dewasa lanjut dengan penghasilan tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres lainnya yang terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya, memiliki lebih banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun (Stull & Hatch, 1984).

Permasalahan penyesuaian diri pada lansia bisa memunculkan rasa takut yang apabila tidak dapat diatasi akan mengalami yang namanya kecemasan. Kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut (Lazarus, 1969). Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya individu tidak menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia


(19)

mengalami kecemasan. Cluster (dalam Douglas, 1990) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan reaksi individu yang tertekan dalam menghadapi kesulitan sebelum kesulitan itu terjadi. Seperti yang diungkapkan dalam kamus psikologi oleh Chaplin (1989) bahwa kecemasan adalah perasaan campuran yang memuat ketakutan dan kekhawatiran akan masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Carlson (1992) menjelaskan kecemasan sebagai rasa takut dan antisipasi terhadap nasib buruk dimasa yang akan datang, kecemasan ini memiliki bayangan bahwa ada bahaya yang mengancam dalam suatu aktivitas dan obyek, yang jika seseorang melihat gejala itu maka ia akan merasa cemas. Kecemasan merupakan respon emosional yang tidak menentu terhadap suatu obyek yang tidak jelas.

Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian. Menurut Hurlock (1990), kecemasan yang dialami lansia tersebut merupakan kecemasan dari pikiran yang tidak menyenangkan, ditandai dengan adanya rasa khawatir, tidak tenang, dan tidak enak yang tidak dapat dihindari.

Banyak ahli yang memberikan pandangan tentang hal-hal yang mempengaruhi kecemasan. Atkinson (dalam Lestary, 2010) bahwa faktor yang mempengaruhi kecemasan ada dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pendapat Lewin (dalam Irwanto, 1994), kecemasan disebabkan adanya konflik dalam diri individu. Disamping itu, dikatakan juga bahwa kecemasan bisa timbul


(20)

oleh adanya jarak yang lebar antara keinginan yang besar terhadap sesuatu yang ingin diraih dengan kenyataan yang ada.

Stuart & Sundeen (1998), mengidentifikasi kecemasan yang dialami seseorang dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan. Kecemasan ringan merupakan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan masih tergolong normal. Pada tingkat ini, individu akan menjadi waspada dan berhati-hati. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Kecemasan ringan diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Kecemasan sedang memungkinkan seorang unutuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukkan kedaan seperti sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, dapat gagal untuk menggali seseatu yang terjadi pada situasi, akan mengalami beberapa kesulitan beradaptasi dan menganalisa, peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung, dan gemetar. Kecemasan berat, individu cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Tingkat panik, persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.


(21)

Menurut Freud (dalam Siswati, 2000) terjadinya kecemasan pada individu dapat dijelaskan melalui teori psikomotorik, teori kognitif, teori belajar, dan teori kepribadian. Teori psikomotorik menjelaskan bahwa kecemasan adalah hasil konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama impuls agresif dan seksual) yang melawan ego dan superego. Banyaknya impuls id memberikan ancaman pada individu karena berlawanan dengan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena adanya penyimpangan cara berpikir (distorsi kognitif) pada seseorang. Individu mengalami gangguan dalam menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya, sehingga kecemasan ini lebih berpengaruh terhadaap proses berpikir individu. Kecemasan menurut teori belajar terjadi bukan berpusat pada konflik internal tetapi cara-cara ketika kecemasan dihubungkan dengan situasi-situasi tertentu melalui proses belajar. Teori belajar menganggap bahwa kecemasan berkembang melalui belajar berasosiasi. Sehingga stimulus yang awalnya netral menjadi sesuatu yang mencemaskan karena kecenderungan terkondisi yang didasarkan pada hubungan dengan stimulus yang tidak menyenangkan. Teori kepribadian menjelaskan bahwa kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan neurotisme. Adapun stressor yang menimbulkan kecemasan ini adalah ancaman terhadap integritas fisik (ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari) dan ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial seseorang.


(22)

Pada lansia yang sehat, kepribadian yang mereka miliki akan tetap berfungsi secara baik, kecuali jika lansia tersebut mengalami suatu gangguan jiwa. Tipe kepribadian adalah suatu klasifikasi mengenai individu dalam satu atau dua ataupun lebih kategori, atas dasar dekatnya pola sifatnya yang cocok dengan kategori yang ditetapkan (Chaplin, 2001). Tipe kepribadian diakui merupakan sesuatu yang penting dalam mempelajari manusia dengan segala tingkah lakunya, karena dengan mendalami dan memahami manusia berdasarkan tipe kepribadiannya, maka akan diperoleh keterangan yang jelas, langsung, dan lugas mengenai karakteristik kepribadian orang tersebut dan pada gilirannya dapat meramalkan tingkah laku (Feldmen dalam Handayani, 2006).

Umumnya, sifat kepribadian mengacu kepada pola konsistensi dalam cara individu berperilaku, merasa, dan berpikir. Menurut Eysenck (1990), kepribadian dapat dicirikan berdasarkan konsistensi dari individu dalam bertindak, merasa, atau berpikir dengan cara tertentu (misalnya, kecenderungan seseorang untuk berperilaku dengan cara yang ramah dan bersahabat, atau perasaan gugup dan khawatir, atau cakap dan teliti) (dalam Pervin, 2010). Secara singkat bahwa kecenderungan untuk bertindak dengan satu cara merupakan fondasi utama kepribadian.

Seperti yang dijelaskan di atas, berarti kecemasan menghadapi kematian yang dirasakan para lanjut usia salah satu bagian dari kepribadian yang mereka miliki. Kepribadian itu sendiri adalah sesuatu yang memberi tata tertib dan keharmonisan terhadap segala macam tingkah laku berbeda-beda yang dilakukan individu termasuk didalamnya usaha-usaha menyesuaikan diri yang


(23)

beranekaragam namun khas yang dilakukan oleh tiap individu (Hall & Lindzey, 1993). Dengan kata lain kepribadian adalah semua corak kebiasaan yang dilakukan oleh manusia yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Corak kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Sifat kepribadian seseorang saat muda diartikan sebagai cerminan dari kepribadian lansia, dengan memahami kepribadian lansia tentu akan memudahkan kaum muda atau masyarakat umum dan anggota keluarga dari lansia dalam memperlakukan lansia. Namun, pada kenyataannya tidak semua kepribadian lansia berfungsi secara baik. Bisa dilihat secara nyata, bagaimana lansia dalam menghadapi kematian. Berbagai hal yang lansia rasakan seperti khawatir, bingung, dan takut. Menurut Kuntjoro (2002), perkembangan kepribadian itu bersifat dinamis artinya selama individu masih tetap belajar dan bertambah pengetahuan, pengalaman serta keterampilannya, ia akan semakin matang dan mantap.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurul Rosidah (2010) yang menguji hubungan antara tipe kepribadian dengan kecemasan wanita dalam menghadapi menopause di desa Podorejo Sumbergempol Tulungagung didapatkan bahwa hubungan kecemasan dan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert memiliki hubungan. Wanita dengan tipe kepribadian ekstrovert akan mengalami kecemasan ringan, sedangkan wanita dengan tipe kepribadian introvert akan mengalami kecemasan sedang atau berat. Tipe kepribadian memiliki hubungan yang kuat dengan kecemasan. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda sehingga


(24)

tidak ada yang akan memberikan reaksi yang sama mesipun tampaknya seolah-olah mereka akan bereaksi dengan cara yang sama.

Hasil penelitian Susanne Pedersen, dkk tahun 2004 (jurnal yang berjudul Type D Personality Is Associated With Increased Anxiety and Depressive Symptoms in Patients With an Implantable Cardioverter Defibrillator and Their Partners) menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan merupakan salah satu variable bebas yang mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien jika dibandingkan dengan jenis kelamin dan usia. Jenis kelamin dan usia juga memberikan kontribusi akhirnya pasien bisa mengalami kecemasan dan deprasi yang berbeda-beda dalam menghadapi suatu keadaan.

Ada juga Setyodi, Chusnul Chaluq Ar, dan Kristen Teguhwahyuni (2010) meneliti tentang hubungan tipe kepribadian dengan kejadian depresi pada lansia di UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan. Kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa tipe kepribadian (konstruktif, mandiri, tergantung, bermusuhan, dan kritik diri) memiliki hubungan dengan kejadian depresi yang dialami setiap lansia.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia ditinjau dari tipe kepribadian. Adapun tipe kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada tipe kepribadian ekstrovert dan introvert yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung. Ekstrovert adalah kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar daripada ke dalam diri sendiri. Seorang ekstrover memiliki sifat social, lebih banyak berbuat daripada merenung dan berpikir. Ia juga adalah orang yang penuh


(25)

motif-motif yang dikoordinasi oleh kejadian-kejadian eksternal. Introvert adalah suatu orientasi kedalam diri sendiri. Secara singkat seorang introvert adalah orang yang cenderung menarik diri dari kontak social. Minat dan perhatiannya lebih terfokus pada pikiran dan pengalamannya sendiri. Seorang introvert cenderung merasa mampu dalam upaya mencukupi dirinya sendiri, sebaliknya orang ekstrover membutuhkan orang lain.

Diatas telah dikemukakan bahwa kematian telah menjadi bagian hidup setiap manusia yang tidak bisa dihindari, namun kadangkala menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin meneliti tentang perbedaan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian (ekstrovert dan introvert).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah diperlukan untuk memudahkan apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu apakah ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.

C. Tujan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.


(26)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Perkembangan terutama masa akhir kehidupan (lansia) khususnya tentang kecemasan menghadapi kematian. Selain itu juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi peneliti-peneliti lain yang akan meneliti tentang kecemasan menghadapi kematian.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap setiap orang mengenai perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lansia dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. untuk dapat memperlakukan lansia yang semakin dekat dengan akhir hidupnya dengan baik.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Disini digambarkan tentang berbagai tinjauan literature dan hasil penelitian sebelumnya mengenai kecemasan menghadapi kematian. Dan juga


(27)

dijabarkan mengenai faktor kepribadian yang merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kecemasan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraokan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang lansia, kepribadian ekstrovert dan introvert, dan kecemasan. Bab ini juga mengemukakan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan perbedaan tingkan kecemasan antara tipe keptibadian ekstrovert dan introvert.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variable, definisi operasional variable, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji reabilitas dan validitas alat ukur serta rencana pengolahan data.

Bab IV Analisa dan Interpretasi Data

Bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran umum subjek penelitian, hasil uji asumsi, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian.

Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan penelitian, diskusi tentang hasil penelitian, dan saran-saran.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Lansia

1. Pengertian Lansia

Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi setiap manusia. Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lansia.

Lansia merupakan istilah tahapan paling akhir dari proses penuaan. Menurut Hurlock (1999), lansia merupakan periode terakhir atau periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya (Hurlock,1999).

Menurut Erikson (dalam Schaie dan Willis, 2000) bahwa lansia merupakan suatu tahap kehidupan dimana seseorang harus mencapai integritas, sedangkan kegagalan dalam mencapai integritas akan menyebabkan kondisi keputusasaan.


(29)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan tahap akhir rentang hidup yang ditandai dengan berbagai penurunan (seperti kondisi fisik, psikologis, dan sosial) dan akan mencapai integritas atau keputusasaan.

2. Penggolongan Lansia

Menurut Hurlock (1999), masa lansia dimulai dari umur enam puluh tahun (60 tahun) sampai meninggal dunia yang ditandai dengan adanya berbagai perubahan yang bersifat fisik dan psikologis serta semakin menunjukkan penurunan dalam setiap perubahan.

Penggolongan lansia menurut Depkes (dalam Azis, 1994) dikelompokkan menjadi tiga kelompok yakitu:

a. Kelompok lansia dini (55 – 65 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia.

b. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).

c. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu yang berusia lebih dari 70 tahun. Pada penelitian ini, usia lansia yang dipakai mengacu pada pendapat Hurlock (1999) yaitu usia diatas 60 tahun. Pada usia 60 tahun keatas biasanya semua lansia sudah memasuki masa pensiun sehingga ciri-ciri individu yang akan dijadikan sampel hampir sama.

3. Ciri-Ciri Lansia

Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia yaitu: a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran


(30)

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti : lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.

c. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.


(31)

4. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

a. Perubahan fisik – biologi

Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada penurunan atau berkurangnya fungsi alat indera dan sistem saraf mereka seperti penurunan jumlah sel dan cairan intra sel, sistem kardiovaskuler, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal, sistem endokrin dan sistem musculoskeletal. Perubahan-perubahan fisik yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa minder atau kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya (Santrock, 2002).

b. Perubahan psikis

Perubahan psikis pada lansia adalah besarnya individual differences pada lansia. Lansia memiliki kepribadian yang berbeda dengan sebelumnya. Penyesuaian diri lansia juga sulit karena ketidakinginan lansia untuk berinteraksi dengan lingkungan ataupun pemberian batasan untuk dapat beinteraksi (Hurlock, 1980). Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.

c. Perubahan sosial

Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (Santrock, 2002).


(32)

Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan. Lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.

5. Lansia Dan Akhir Kehidupannya

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia. Usia tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Masa usia lanjut atau menjadi tua dialami oleh semua orang tanpa terkecuali. Pada masa ini, seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Kemunduran ini sejalan dengan waktu, sedikit demi sedikit, sehingga tidak dapat lagi melakukan tugasnya sehari-hari.

Pada masa perkembangan lansia, tubuh mulai melemah dan fisik mengalami penurunan secara alamiah. Perubahan-perubahan fisik tersebut membuat lansia merasa minder atau kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, kemunduran kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan organism secara umum. Kemunduran intelektualiatas juga cenderung mempengaruhi keterbatasan memori tertentu. Pada perkembangan emosional, munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, tidak siap menerima kenyataan seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, dan kematian pasangan


(33)

adalah sebagian kecil kejadian atau perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia. Orang berusia lanjut kurang memiliki kemampuan mengekspresikan kehangatan dan perasaan secara spontan terhadap orang lain. Semakin orang berusia lanjut menutup diri, semakin pasif pula perilaku emosional mereka. Kondisi ini membuat lansia memiliki status kelompok minoritas (Hurlock, 1996).

Secara umum, lansia dalam menjalani kehidupannya di masa ini dapat disikapi dengan dua sikap. Pertama, ia menerima masa tuanya dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam. Kedua, ia cenderung menolak datangnya masa tua. Sikap kedua ini menggambarkan ia tidak mau menerima realitas yang ada. Dan, sebagian besar, lansia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga mereka kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi. Dibutuhkan kerjasama yang baik antara lansia, keluarga, family caregivers, professional yang menangani agar mereka dapat melewati masa usia lanjutnya dengan bahagia.

B. Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

Kepribadian adalah kesatuan organisasi yang dinamis sifatnya dari sistem psikofisis individu yang menentukan kemampuan penyesuaian diri yang unik sifatnya terhadap lingkungannya (Allport dalam Kartono, 1980). Jadi, setiap individu itu mempunyai kepribadian yang khas yang tidak identik dengan orang lain dan tidak dapat diganti atau disubstitusikan oleh orang lain. Jadi ada ciri-ciri atau sifat-sifat individu pada aspek-aspek psikisnya yang bisa membedakan


(34)

dirinya dengan orang lain.. Kepribadian dipengaruhi oleh masa lalu dan saat ini (Pervin, 1996). Kepribadian mencakup struktur dan proses yang mencerminkan sifat-sifat bawaan dan pengalaman.

Dalam penelitian ini, kepribadian merupakan struktur dan proses yang mencerminkan sifat-sifat yang tampak (perilaku) maupun yang tidak tampak (psikologis.)

2. Penggolongan Tipe Kepribadian

Setiap orang itu untuk, tidak ada dua orang atau lebih yang persis sama. Selain berbeda dengan orang lain, manusia juga memiliki kesamaan dengan yang lainnya. Penggolongan kepribadian dapat dilakukan berdasarkan kesamaan karakteristik sifat tertentu yang paling menonjol. Hal ini disebut pengelompokan kepribadian manusia (Sumarwan, 2003).

Salah satu tokoh yang melakukan pengelompokan terhadap kepribadian adalah Carl Gustaf Jung. Menurut Jung (dalam Suryabrata, 2000), arah aktivitas psikis dapat ke luar atau ke dalam, dan demikian pula arah orientasi manusia dapat ke luar ataupun ke dalam. Apabila orientasi terhadap segala sesuatu ditentukan faktor-faktor objektif, faktor-faktor luar, maka orang demikian dikatakan mempunyai orientasi ekstrovert. Sebaliknya ada orang mempunyai tipe dan orientasi introvert, yaitu dalam menghadapi segala sesuatu faktor-faktor yang berpengaruh adalah bersifat subjektif, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam batin sendiri.


(35)

Sikap introvert mengarahkan individu ke dunia dalam, dunia subjektif, dan sikap ekstrovert mengarahkan individu ke dunia luar yaitu dunia objektif. Jung juga menjelaskan bahwa individu ekstrovert dan introvert memiliki perbedaan sikap mereka terhadap dunia, baik dalam hal rasional dan tidak rasional (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003).

Eysenck (dalam Hall & lindzey, 1993) mengatakan lebih lanjut bahwa tipe kepribadian ekstrovert dan introvert merupakan dua kutub dalam satu skala. Kebanyakan individu berada ditengah-tengah skala tersebut. Bisa saja individu lebih dekat ke kutub introvert tetapi juga memiliki ciri ekstrovert atau juga sebaliknya, individu lebih cenderung ke kutub ekstrovert tetapi juga memiliki ciri introvert. Setiap individu tidak ada yang murni memiliki tipe kepribadian ekstrovert atau juga murni memiliki introvert. Meskipun demikian, individu dapat dikelompokkan ke dalam salah satu dari bentuk kepribadian tersebut.

2.1. Tipe Kepribadian Ekstrovert

Tipe kepribadian ekstrovert adalah satu kecenderungan untuk mengarahkan kepribadian lebih banyak ke luar daripada ke dalam diri sendiri. Seorang ekstrovert mempunyai ciri bersifat sosial, lebih banyak berbuat daripada berkontemplasi (merenung, berpikir), dan seseorang dengan motif-motif yang dikondisikan oleh kejadian-kejadian eksternal (Chaplin, 2001).

Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) mengatakan bahwa ciri-ciri orang dengan tipe kepribadian ekstrovert adalah memiliki sikap periang/sering berbicara, lebih terbuka, dan lebih dapat bersosialisasi. Eysenck (dalam Hall dkk,


(36)

1985) mengemukakan ciri utama kepribadian ekstrovert adalah sebagai berikut: sifat yang keras hati, menuruti dorongan hati ketika bertindak, cenderung santai, perasaan gembira yang dialami dapat meningkatkan perfoma, lebih suka pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak, toleran terhadap rasa sakit, suka hal-hal yang baru (perubahan), dan suka mengambil kesempatan.

Selanjutnya Jung (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003) mengatakan bahwa ciri-ciri ekstrovert adalah tanggap terhadap lingkungan, pandai bergaul, memiliki mood yang berubah-ubah, impulsif dalam bertindak, suka kegiatan, suka perubahan, dan dapat beradaptasi dengan mudah. Eysenck mengatakan bahwa tipe ekstrovert bercirikan suka bergaul, memiliki banyak teman, membutuhkan orang lain untuk diajak bicara, suka mengambil kesempatan, selalu ingin tahu, senang lelucon dan umumnya suka perubahan. Selain itu, cenderung agresif dan gampang kehilangan kesabaran (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003).

2.2. Tipe Kepribadian Introvert

Tipe kepribadian introvert adalah salah satu kecenderungan kepribadian untuk menarik diri dari kontak sosial dan minatnya lebih mengarah ke dalam pikiran-pikiran dan pengalamannya sendiri (Chaplin, 2001).

Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) mengatakan ciri-ciri orang tipe kepribadian introvert adalah memiliki sifat pemalu, tidak banyak bicara, dan cenderung berpusat pada diri mereka sendiri. Eysenck (dalam Hall dkk, 1985) mengatakan bahwa individu yang berkepribadian introvert memiliki ciri-ciri bertolak belakang atau berlawanan dengan individu yang berkepribadian


(37)

ekstrovert, dimana ciri utama kepribadian introvert adalah sifat hatinya lembut, berpikir dulu sebelum bertindak, cenderung serius, perasaan gembira yang dialami dapat mengganggu performa, menyukai pekerjaan bersifat menyendiri, sensitif terhadap rasa sakit, suka hal-hal yang teratur (tetap), dan cenderung penyegan (malu-malu).

Selanjutnya Jung (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003) mengatakan bahwa ciri introvert adalah suka melamun, menghindari kontak sosial, tenang, tidak terlalu emosional, berpikir dahulu sebelum bertindak, suka termenung, tidak menyukai perubahan, dan tidak mudah beradaptasi. Eysenck mengatakan bahwa tipe introvert bercirikan pendiam, penyegan, introspektif, lebih menyukai buku daripada orang banyak, memikirkan kehidupan sehari-hari secara serius, menyukai keteraturan, menyimpan perasaan, jarang berperilaku agresif dan tidak gampang marah, dapat dipercaya, cenderung pesimis dan menaruh penilaian yang tinggi pada etika, lebih sensitif terhadap penderitaan, gampang letih, dan lebih cepat bosan (Zulkarnaian & Ginting, 2003).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi tipe kepribadian ekstrovert dan introvert yang diajukan oleh Eysenck yaitu tipe kepribadian ekstrovert dan tipe kepribadian introvert merupakan dua kutub dalam satu skala.

C. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian

Kecemasan adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah, gemetar dan ketidakmampuan untuk rileks, hiperaktivitas


(38)

(pusing, jantung berdebar-debar atau berkeringat) dan pikiran dan harapan yang mencemasakan (Santrock, 2002).

Atkinson dkk (1991) mengatakan bahwa kecemasan merupakan keadaan emosi seseorang yang tidak menyenangkan dengan gejala seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dengan tingkat yang berbeda-beda. Hal ini pun didukung oleh pendapat Mahmud (1990) yang mengatakan bahwa kecemasan adalah keadaan takut yan terus-menerus tetapi berbeda dengan ketakutan biasa yang merupakan respon terhadap rangsangan menakutkan yang terjadi, sebab ketakutan yang dialami merupakan respon terhadap kesukaran yang belum terjadi.

Secarta biologis, kematian didefinisikan sebagai berhentinya semua fungsi vital tubuh meliputi detak jantung, aktifitas otak, seta pernafasan (Singh et. al., 2005). Kematian dinyatakan terjadi ketika nafas dan denyut jantung individu telah berhenti selama beberapa waktu yang signifikan atau ketika seluruh aktifitas syaraf otak berhenti bekerja (Papalia et. al., 2002).

Chusairi (1997) menyatakan kematian merupakan pengalaman yang tidak bisa dihindari terjadi setiap saat, maka dari itulah hal ini dapat menimbulkan kecemasan dalam diri individu. Belsky (Henderson, 2002) menggambarkan kecemasan terhadap kematian sebagai pemikiran, ketakutan, dan emosi tentang peristiwa terakhir dari hidup yang dialami individu dibawah kondisi-kondisi hidup yang normal. Dengan kata lain, seseorang akan mengalami kecemasan yang berbeda-beda tentang kematian yang setiap saat bisa terjadi.


(39)

Rattan (Anggreiny, 2009) berpendapat kecemasan terhadap kematian adalah kecemasan yang muncul disaat orang memikirkan akan mengahadapi kematian, memiliki pengalaman atau situasi dimana dirinya dalam keadaan hampir mati, membaca atau mendapat pengetahuan tentang kematian yang kemudian menimbulkan ketakutan.

Tomer (Fry, 2003) mendefinisikan kecemasan menghadapi kematian sebagai ketakutan akan mati dan proses menjelang kematian yang dialami oleh individu dalam kehidupan sehari-hari, hal ini disebabkan sebagai antisipasi dasar kematian. Menurut Templer kecemasan menghadapi kematian (death anxiety) adalah suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang (secara subyektif) manakala memikirkan kematian (Schaie dan Willis, 1991).

Menurut Blackburn dan Davidson (1994), kecemasan menghadapi kematian merupakan gejala fisik maupun psikologis yang tidak menyenangkan sebagai reaksi terhadap adanya perasaan takut yang subjektif, kabur, dan tidak jelas terhadap datangnya kematian itu, yang ditandai dengan munculnya perubahan suasanahati, motivasi, dan gejala biologis seperti jantung berdebar-debar, maupun tampak pada perilaku berupa gugup, gelisah, dan kewasadaan yang berlebihan. Pada peneitian ini, teori kecemasan menghadapi kematian mengacu pada pendapat Blackburn dan Davidson.


(40)

2. Jenis-Jenis Kecemasan Akan Kematian

Menurut Forner dan Neimeyer (dalam Gire & Eyetesmitan, 1999), kematian itu tidak dapat digambarkan dalam kehidupan individu tetapi telah dikonsepsikan yaitu :

1. Kecemasan kematian pada dirinya

Berkaitan dengan takut akan peristiwa dari pengalaman kematian dan meliputi hal-hal seperti apa yang akan terjadi pada individu yang telah mati terlebih dahulu. Bagi beberapa individu, bisa menjadi takut karena penghukuman untuk orang yang telah mati yaitu akan pergi ke surga atau ke neraka, ketakutan dari pembakaran mayat, penguburan bumi, dan apa yang akan terjadi kepada individu-individu yang ditinggalkan.

2. Kecemasan akan kematian pada yang lain

Pengalaman individu dari kematian yang terjadi pada individu lain yang penting bagi dirinya, terutama anggita keluarga dan teman dekatnya. 3. Kecemasan sekarat pada dirinya

Ketakutan menjelang kematian diri sendiri yang dirasakan individu akan berbeda dengan kecemasan akan kematian orang lain. Beberapa individu tidak takut akan kematian diriny sendiri, tetapi individu sangat khawatir akan bagaimana individu akan mati. Hal yang menarik yang sering dilakukan individu untuk menghilangkan kecemasan akan kematian adalah dengan memboroskan uang untuk bepergian, meningkatkan penampilan fisik individu yang sebentar lagi akan membusuk setelah individu mati,


(41)

dan yang menyakitkan adalah semua individu lakukan menjelang kematian walaupun harus membuang waktu dan uang.

4. Kecemasan akan sekarat pada yang lain

Serupa dengan takut akan sekarat dari diri sendiri, yang menjadi perbedaannya adalah bahwa individu tersebut mungkin punya ketertarikan tentang proses menjelang kematian dari individu yang lain yang penting didalam hidupnya.

3. Cara Pandang Terhadap Kematian

Pada tiap-tiap fase ini berkembang perspektif tentang kematian yang berbeda-beda menurut tingkat perkembangan yang dialami (Santrock, 2002).

a. Masa kanak-kanak

Masa ini dimulai sejak bayi dan mayoritas peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep dasar tentang kematian. Bayi lebih mengembangkan keterikatan dengan pengasuh dan mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan dalam proses ini. Pada usia 3-5 tahun, anak sedikit atau tidak sedikitpun memiliki pandangan terhadap kematian. Dalam suatu penelitian pada anak usia 3-5 tahun mengenai persepsi kematian, didapati bahwa anak menolak kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya akan kematian namun hanya minoritas anak. Anak usia 9 tahun ke atas mengenali kematian dan universalitasnya ( Nagy, 1948 dlm Santrock 2002).


(42)

Pandangan remaja mengenai kematian tidak terlalu jelas. Remaja mengembangkan konsep yang abstrak tentang kematian. Remaja menggambarkan kematian sebagai kegelapan, cahaya, transisi, atau ketiadaan sama sekali selain pandangan yang filosofis dan religius.

c. Masa Dewasa

Pada usia dewasa awal individu belum menunjukkan pemahaman khusus mengenai kematian dan meningkat pada usia dewasa tengah ditandai dengan berkembangnya pemikiran tentang akhir hidup. Individu-individu pada usia dewasa akhir labih banyak memikirkan tentang kematian dan membicarakannya dibanding individu usia dewasa awal dan tengah. Mereka juga mengalami pengalaman tentang kematian yaitu kematian teman atau saudara. Di fase usia akhir ini pemikiran dan pemahaman mengenai kematian mengalami peningkatan.

4. Aspek- Aspek Kecemasan

Aspek-aspek kecemasan menurut Blackburn & Davidson (dalam Zainuddin, 2002) adalah:

1. Suasana hati, yaitu keadaan yang menunjukkan ketidaktenangan psikis seperti mudah marah dan perasaan tegang.

2. Pikiran, yaitu keadaan pikiran yang tidak menentu seperti khawatir, sukar konsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, dan merasa tidak berdaya.


(43)

3. Motivasi, yaitu dorongan untuk mencapai sesuatu seperti menghindari situasi, ketergantungan yang tinggi, ingin melarikan diri, dan lari dari kenyataan.

4. Perilaku gelisah, yaitu keadaan diri yang tidak terkendali seperti gugup, kewaspadaan yang berlebihan, dan sangat sensitif.

5. Reaksi-reaksi biologis yang tidak terkendali seperti berkeringat, gemetaran, pusing, berdebar-debar, mual, dan mulut kering.

5. Faktor-Faktor Yang Memunculkan Kecemasan

Banyak ahli memberikan pandangan tentang hal-hal yang mempengaruhi kecemasan. Iskandar (dalam Lestary, 2010) menggambarkan bahwa faktor yang mempengaruhi kecemasan terbagi menjadi dua yaitu internal yang berangkat dari pandangan psikoanalisis yang berpendapat bahwa sumber dari kecemasan itu bersifat internal dan tidak disadari. Sementara menurut Atkinson (dalam Lestary, 2010), menyebutkan bahwa kecemasan lebih ditimbulkan oleh faktor eksternal dari pada faktor internal. Dalam kajian ini menurut Stuart dan Sundeen (1998) menyatakan penyebab kecemasan dibagi menjadi :

a. Faktor predisposisi, yaitu faktor-faktor pendorong timbulnya kecemasan yang dibagi menjadi:

1. Dalam pandangan psikoanalitik kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh


(44)

norma-norma budaya, ego atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen tersebut.

2. Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik. 3. Menurut pandangan perilaku kecemasan merupakan produk frustasi

yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

4. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga.

5. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor Presipitasi merupakan faktor pencetus timbulnya kecemasan yang dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

1. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang/menurunnya kapasitas untuk melaksanakan aktifitas sehari – hari.

2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegritas dalam diri seseorang.


(45)

6. Teori Predisposisi Kecemasan

Menurut Freud (dalam Siswati (2000) terjadinya kecemasan pada individu dapat diterangkan melalui teori-teori :

a. Teori psikomotorik

Menurut teori ini. Freud, menyatakan kecemasan terbagi dalam 4 kategori yaitu : superego anxiety, castration anxiety, separation anxiety dan id or impulse anxiety. Selanjutnya oleh Freud dikatakan pula kecemasan adalah hasil konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama impuls agresif dan seksual) yang melawan ego atau superego. Banyak impuls id memberikan ancaman pada individu karena berlawanan dengan nilai-nilai yang dianut oleh individu atau nilai-nilai moral dalam masyarakat.

b. Teori kognitif

Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena adanya penyimpanan cara berfikir (distorsi kognitif) pada seseorang. Individu akan mengalami gangguan atau penyimpanan dalam menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya, sehingga kecemasan ini lebih dipengaruhi oleh proses berfikir individu bukan oleh situasinya

c. Teori belajar

Kecemasan menurut pandangan teori belajar terjadi bukan terpusat pada konflik interval tetapi cara-cara ketika kecemasan dihubungkan dengan situasi-situasi tertentu melalui proses belajar. Para pengikut pandangan tradisional ini dari teori belajar menganggap bahwa kecemasan berkembang melalui belajar berasosiasi. Sehingga stimulus yang ada awalnya netral


(46)

menjadi sesuatu yang mencemaskan karena cenderung terkondisi yang didasarkan pada hubungan dengan stimulus yang tidak menyenangkan atau aversive stimulus.

d. Teori kepribadian

Kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan neurotisme. Adapun stressor pencetus kecemasan dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

1. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari.

2. Ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi social yang terintegritas dalam diri seseorang.

Hasil penelitian Susanne Pedersen, dkk tahun 2004 (jurnal yang berjudul Type D Personality Is Associated With Increased Anxiety and Depressive Symptoms in Patients With an Implantable Cardioverter Defibrillator and Their Partners) juga mendukung teori kepribadian ini. Dimana hasil penelitian mereka menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan merupakan salah satu variable bebas yang mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien jika dibandingkan dengan jenis kelamin dan usia. Jenis kelamin dan usia juga memberikan kontribusi akhirnya pasien bisa mengalami kecemasan dan deprasi yang berbeda-beda dalam menghadapi suatu keadaan.


(47)

Ada juga Setyodi, Chusnul Chaluq Ar, dan Kristen Teguhwahyuni (2010) meneliti tentang hubungan tipe kepribadian dengan kejadian depresi pada lansia di UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan. Kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa tipe kepribadian (konstruktif, mandiri, tergantung, bermusuhan, dan kritik diri) memiliki hubungan dengan kejadian depresi yang dialami setiap lansia.

7. Tingkat Kecemasan

Stuart & Sundeen (1998), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan.

1. Kecemasan ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalm kehidupan sehari-hari dan masih tergolong normal. Pada tingkat ini, individu akan menjadi waspada dan berhati-hati. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Kecemasan ringan diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Seseorang dengan kecemasan ringan dapat dijumpai berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Persepsi dan perhatian meningkat, waspada b. Mampu mengatasi situasi yang bermasalah c. Ingin tahu, mengulang pertanyaan

d. Kecenderungan untuk tidur 2. Kecemasan sedang


(48)

Kecemasan sedang memungkinkan seorang unutuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukkan kedaan seperti:

a. Sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, belajar menuntut upaya lebih b. Memandang pengalaman ini dengan masa lalu

c. Dapat gagal untuk menggali seseatu yang terjadi pada situasi, akan mengalami beberapa kesulitan beradaptasi dan menganalisa

d. Perubahan suara atau ketinggian suara

e. Peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung f. Gemetar

3. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi. Individu cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Hal-hal dibawah ini sering dijumpai pada seseorang dengan kecemasan berat, yaitu :

a. Persepsi sangat berkurang, tidak dapat berkonsentrasi lebih bahkan ketika diinstruksikan untuk melakukannya

b. Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan perhatian, tidak mampu untuk memahami situasi saat ini


(49)

c. Memandang pengalaman saat ini dengan arti masa lalu, hampir tidak mampu untuk memahami situasi ini

d. Berfungsi secara buruk, komunikasi sulit dipahami e. Sakit kepala, pusing, mual

4. Tingkat panik

Pada tingkat ini persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Seseorang dengan panik akan dapat dijumpai adanya :

a. Persepsi yang menyimpang, fokus pada hal ang tidak jelas b. Belajar tidak bisa focus

c. Idak mampu unuk mengikui, dapa berfokus hana pada hal saa ini, idak mampu meliha aau memahami siuasi, hilang kemampuan mengingat d. Muntah, perasaan mau pusing

D. Dinamika Kecemasan Menghadapi Kematian Ditinjau Dari Tipe Kepribadian

Bertambahnya umur setiap manusia membuat manusia itu menjadi tua yang berarti akan mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan fisik maupun psikologis tertentu (Yudrik Jahja, 2001). Lanjut usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia sering mengalami kecemasan. Masa lanjut usia


(50)

adalah masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Namun, pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini.

Menurut Erikson, lanjut usia mengalami integritas versus keputusasaaan (dalam Papalia, 1997). Lanjut usia yang mencapai penerimaan terhadap apa yang mereka lakukan dalam hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan kehilangan mereka akan dapat menghadapi kematian dengan baik. Sedangkan lanjut usia yang mengalami keputusasaan, tidak dapat menerima keadaan akan mengalami kehilangan berbagai hal biasanya mengalami permasalahan dalam menghadapi kematian. Mereka mungkin akan menolak kematian itu sekalipun mereka menyadari bahwa setiap manusia akan mengalami hal tersebut. Pada lanjut usia, berbagai perasaan yang bercampur aduk mengenai kemungkinan proses menjelang kematian. Kemunduran fisik dan berbagai masalah lain yang serat dengan berbagai kemunduran pada usia tua, membuat mereka kehilangan kenikmatan mereka dalam kehidupan dan keinginan mereka untuk hidup (McCue, 1995).

Dengan berbagai kemunduran yang dialami memunculkan perasaan takut yang berlebihan disebut juga dengan kecemasan. Kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut (Lazarus, 1969). Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya


(51)

kematian. Menurut Hurlock (1990), kecemasan yang dialami lansia tersebut merupakan kecemasan dari pikiran yang tidak menyenangkan, ditandai dengan adanya rasa khawatir, tidak tenang, dan tidak enak yang tidak dapat dihindari.

Menurut Freud (dalam Siswati, 2000), salah satu teori yang bisa menjelaskan terjadinya kecemasan itu adalah teori kepribadian. Teori kepribadian menjelaskan bahwa kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan neurotisme. Adapun stressor yang menimbulkan kecemasan ini adalah ancaman terhadap integritas fisik (ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari) dan ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial seseorang.

Dalam penelitian Setyodi, Chusnul Chaluq Ar, dan Kristen Teguhwahyuni (2010), menyimpulkan bahwa tipe kepribadian (konstruktif, mandiri, tegantung, bermusuhan, dan kritik diri) memiliki hubungan dengan kejadian depresi yang dialami setiap lansia.

Sejalan dengan pendapat Freud, jurnal Type D Personality Is Associated With Increased Anxiety and Depressive Symptoms in Patients With an Implantable Cardioverter Defibrillator and Their Partners (Susanne Pedersen, dkk, 2004) menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan merupakan salah satu variable bebas yang mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien jika dibandingkan dengan jenis kelamin dan usia. Penelitian Nurul Rosidah (2010) menyatakan bahwa setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda sehingga


(52)

tidak ada yang akan memberikan reaksi yang sama meskipun tampaknya seolah-olah mereka akan bereaksi dengan cara yang sama.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya orang yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert akan berbeda dalam melakukan suatu perilaku untuk merespon suatu keadaan dengan orang yang memiliki tipe kepribadian introvert.

E. HIPOTESIS

Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Ho : Tidak ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.

Ha : Lansia dengan kepribadian ekstrovert akan memiliki kecemasan yang lebih ringan dibandingkan dengan lansia dengan kepribadian introvert.


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat komparatif yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadiannya.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian dan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti (Suryabrata, 2002).

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu perbedaan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadiannya, maka variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel Tergantung : kecemasan menghadapi kematian 2. Variabel Bebas : tipe kepribadian ekstrovert dan introvert

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Azwar, 2009). Definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:


(54)

1. Kecemasan Menghadapi Kematian

Kecemasan menghadapi kematian merupakan gejala fisik maupun psikologis yang tidak menyenangkan sebagai reaksi terhadap adanya perasaan takut yang subjektif, kabur, dan tidak4 jelas terhadap datangnya kematian itu, yang ditandai dengan munculnya perubahan suasanahati, motivasi, dan gejala biologis seperti jantung berdebar-debar, maupun tampak pada perilaku berupa gugup, gelisah, dan kewasadaan yang berlebihan.

Kecemasan menghadapi kematian akan diukur dengan menggunakan skala psikologis yang disusun berdasarkan aspek-aspek kecemasan menurut Blackburn & Davidson (dalam Zainuddin, 2002) yang terdiri dari suasana hati, pikiran,, motivasi, perilaku gelisah, dan reaksi-reaksi biologis.

Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang dalam skala kecemasan menghadapi kematian yang diberikan, maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi kematian yang dialami seorang individu. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh dalam skala kecemansan menghadapi kematian, maka semakin rendah tingkat kecemasan yang dihadapi individu.

2. Tipe Kepribadian

Tipe kepribadian ekstrovert merupakan kepribadian yang suka bergaul, memiliki banyak teman, membutuhkan orang lain untuk diajak bicara, suka mengambil kesempatan, selalu ingin tahu, senang lelucon dan umumnya suka perubahan. Tipe kepribadian introvert bercirikan pendiam, penyegan, introspektif, lebih menyukai buku daripada orang banyak, memikirkan kehidupan sehari-hari


(55)

secara serius, menyukai keteraturan, menyimpan perasaan, jarang berperilaku agresif dan tidak gampang marah, dapat dipercaya, cenderung pesimis dan menaruh penilaian yang tinggi pada etika, lebih sensitif terhadap penderitaan, gampang letih, dan lebih cepat bosan.

Skala kepribadian disusun berdasarkan ciri-ciri kepribadian ekstrovert dan introvert yang dikemukakan oleh Eysenck (dalam Hall dkk, 1985), yaitu:

a. Skala kepribadian ekstrovert 1. sifat yang keras hati

2. menuruti dorongan hati ketika 3. cenderung santai

4. perasaan gembira yang dialami dapat meningkatkan perfoma 5. lebih suka pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak 6. tahan terhadap rasa sakit

7. suka hal-hal yang baru 8. suka mengambil kesempatan

b. Skala kepribadian introvert 1. sifat hatinya lembut

2. berpikir dulu sebelum bertindak 3. cenderung serius

4. perasaan gembira yang dialami dapat mengganggu performa 5. menyukai pekerjaan bersifat


(56)

7. suka hal-hal yang teratur

8. cenderung penyegan (malu-malu)

Skor yang tinggi pada skala kepribadian menunjukkan subjek cenderung memiliki tipe kepribadian ekstrovert. Skor yang rendah pada skala kepribadian menunjukkan memiliki tipe kepribadian introvert.

C. Populasi Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi merupakan kelompok subjek yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia, baik pria maupun wanita, yang berusia diatas 60 tahun.

2. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel atau sampling berarti mengambil suatu bagian dari populasi sebagai wakil dari populasi itu. Sedangkan teknik sampling adalah adalah teknik yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu. Teknik sampling diperlukan agar memperoleh sampel yang representatif bagi populasinya dikarenakan analisis penelitian didasarkan pada data sampel, sedangkan kesimpulannya nanti akan diterapkan pada populasi (Azwar, 2010).

Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Accidental Sampling. Metode pengambilan insidental sampling adalah metode


(1)

b. Bagi lansia agar terus mengikuti kegiatan keagamaan untuk meningkatkan nilai religiusitas yang dianutnya sehingga penghayatan seseorang terhadap agamanya akan mempengaruhi penyesuaian dirinya terhadap kematian. c. Bagi keluarga lansia agar agar memberikan dukungan kepada lansia,

dengan menunjukkan kepedulian dan perhatian; mendengarkan keluhan mereka; dan meluangkan waktu serta melakukan kegiatan bersama. Karena adanya dukungan yang diberikan oleh keluarga mampu membuat lansia merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai sehingga mempengaruhi lansia dalam menyikapi datangnya kematian itu.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeny, Silvya. 2009. Hubungan Dukungan Sosial dan Kecemasan dalam Menghadapi Kematian pada Lansia di Panti Jompo Kelurahan Kalirejo Kecamatan Lawang. Skripsi Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Bimbingan dan Konseling dan Psikologi. Universitas Negreri Malang.

Azwar, S. 2000. Reliabilitas dan Validitas. Edisi ke 3. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

_______________. 2010. Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

_______________. 2010. Metode Penelitian. Edisi ke 4. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Hilgard, E. R. 1991. Pengantar Psikologi.

Jakarta: Erlangga.

Blackburn, I.M., & Davidson. 1994. Teori Kognitif Untuk Depresi dan Kecemasan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Carlson,N.R dan Willian Buskist. 1997. Psychology The Science of Behaviour. Englewood Cliffs. New Jersey Hall and Boston: Allyn & Bacon.

Chaplin. 1999. Kamus Lengkap Psikologi ( Terjemahan dari Dr. Kartini Kartono). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Chaplin. 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.

Dian, Pratama Putri,.dkk. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Pada Lansia Di Kelurahan lembah Rumbi Pesisir. Universitas Riau Dewi. 2005. Berbagai Masalah Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas Dirjen

Dikti.

Effendi, Sofian. 1999. Membangan Martabat manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial


(3)

Eysenck. 1990. Personality: Theory and Research. Canada: John Wiley and Sons, Icn.

Fry, P. S. 2003. Perceives Self Effeicacy Domains as Predictors of Fear The Unknown and Fear of Dying Among Older Adults. Psychology and Aging Journal. Vol. 18. No. 3: 474-486

Gire, James T & Eyetesmitan. 1999. Cultural Perspectives on Death dying and Bereavement. Center for Cross-Cultural Research: Wetern Washington University.

Gunarso, D. S. 1995. Psikologi Perawatan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia Hadi, S. 2002. Methodology research jilid I, II, & III. Yogyakarta: Andi Offset. Hall, C. S., & Garner Lindzey.1985. Introduction to the theories of personality.

New York: John Wiley & Son

Hall & Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodiaknostik. Terjemahan Yogyakarta: Penerbit Kanisins.

Handayani,W. (2006). Psikologi keluarga. Jakarta : Pustaka Utama

Hawari, Dadang. 2004. Kanker Payudara Dimensi Psikoreligi. Jakarta: FKUI Hawari, D. 2008. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

Henderson, A.S. 1994. Dementia: Epidemiology of Mental Disorders and Psychosocial Problems. USA: WHO

Hurlock, E. B. 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

_______________. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Irwanto, E.H. 1994. Psikologi Umum. Cetakan ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.


(4)

Kartono, Kartini. 1980. Teori Kepribadian. Bandung: Alumni

Komisi Nasional lanjut Usia. 2010. Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta

Lalenoh, T. 1993. Gerontologi dan Pelayanan Lanjut Usia. Bandung: An-Bana Press & Jakarta: Socialia.

Lazarus, Richard S. 1969. Pattern of Adjustment and Human Effectivenes. New York: McGraw-Hill Book & Co.

Lestary, Dwi. (2010). Seluk Beluk Menopouse. Yogyakarta : Gerailmu.

Mahmud, M. Dimyati. 1990. Psikologi : Suatu Pengantar. Yogyakarta : BPFE. McCue. 1996. Safety of Antihistamines in the Treatment of Allergic Rhinitis in

Elderly Patients. Arch Fam Med.

Naisaban, Ladislaus. 2003. Psikologi Jung: Tipe Kepribadian Manusia dan Rahasia Sukses Dalam Hidup (tipe kebijaksanaan Jung). Jakarta: PT Gramedia.

Papalia, E Diane. 1981. Human Development. United States of America: Mc Graw-Hill.

Papalia, Sterns, & Feldman. 2002. Adulth Development and Aging:2nded. New York: McGraw-Hill Companies.

Pervin, L. A. 1996. The Science of personality. USA: John Wiley & Sons.

Pervin, Lawrence A. dkk. 2010. Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian

(terjemah oleh A.K. Anwar). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rosidah, Nurul. 2010. Hubungan Tipe Kepribadian dengan Kecemasan Wanita

dalam Menghadapi Menopause di Desa Podorejo Sumbergempol Talungagung.

Sadock, B. J. dan Sadock, V. A. 2003. Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.


(5)

Santrock. 1985. Audult Development and Aging. United States of America: Wm. C. Publishers.

Schaie, K.W., dan Willis, S.L.2000. Adulths Development and Aging. 3rdEdition. New York: Harper Collins.

Schultz & Schultz. 1994. Theories of Personality. California: Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove.

Setyoadi, dkk. 2010. Hubungan Tipe Kepribadian Kejadian Depresi Pada Lansia di UPT Panti Sosial Lanjut Usia Pasuruan.

Singh, Laurence. 2005. Adolescence: 6thed. New York: Mc.Graw-Hill Companies. Siswati. 2000. Psikologi Perkembangan. Semarang : Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro

Stuart, G.W., & Sundeen, S.J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Sukardi. 2003. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Susanne, Pedersen. dkk. 2004. Type D Personality Is Associated With Increased

Anxiety and Depressive Symptoms in Patients With an Implantable Cardioverter Defibrillator and Their Partners. Psychosomatic Medicine 6 Suryabrata, S., 2000. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.

_______________. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tamher, S. dan Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Wicaksono. 2003. Ketakutan Terhadap Kematian Ditinjau Dari Kebijakan Dan Orientasi Religius Pada Periode Remaja Akhir Yang Berstatus Mahasiswa.

Jurnal Psikologi. No 1.57-65.

Zainuddin, S.K. 2002. Dukungan Sosial Pada Lansia. Diakses pada bulan November 2013 dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/ dukungan-sosial/.


(6)

Zulkarnain & Ginting, E.D.J., 2003. Kreativitas ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada mahasiswa. Medan: Jurnal Kedokteran Nusantara Universitas Sumatera Utara Vol. 34 No. 4, 176-180.