Gambaran Dermatofita Pada Kaki Pemain Sepak Bola Mahasiswa Angkatan 2010 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatomikosis Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa

  yang disebabkan infeksi jamur (Madani, 2000). Dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit (Buldimulja, 2007). Faktor yang mempengaruhi dermatomikosis adalah udara yang lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik, penggunaan obat antibiotik, steroid, sitostatika yang tidak terkendali. Dermatomikosis terdiri dari dermatomikosis superfisialis, intermedia dan profunda.

  Macam

  • – macam dermatomikosis superfisialis adalah : 2.1.1.

  Dermatofitosis Jamur golongan dermatofitosis terdiri dari 3 genus yaitu Microsporum,

Trichophyton, dan Epidermophyton . Microsporum menyerang rambut dan kulit.

  

Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang

kulit dan jarang pada kuku (Madani, 2000; Siregar, 2004).

  Golongan dermatofita bersifat mencerna keratin, dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran klinis dermatofita menyebabkan beberapa bentuk klinis yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya (Budumulja, 2007; Siregar, 2004).

2.1.1.1 Definisi

  (keratin) misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita (Madani, 2000; Budimulja, 2002).

  2.1.1.2 Epidemiologi: Dermatofita adalah tergolong jamur contagious. Berspora dan memiliki hifa sepanjang sel kulit dan rambut yang mati, merupakan serpihan dari orang yang terinfeksi, membuat infeksi berulang menjadi sering. Infeksi sub-kutaneus yang jarang yang disebabkan jamur ini dapat terjadi pada pasien AIDS. Dermatofita yang menginfeksi manusia diklasifikasikan berdasarkan habitat mereka antara lain sebagai berikut : a.

  Antrophophilic dermatophyta sering dikaitkan dengan manusia dan ditransmisikan baik melalui kontak langsung atau melalui muntahan yang terkontaminasi b. Zoophilic dermatophyta sering dikaitkan dengan hewan-hewan, jamur ini ditransmisikan kepada manusia baik melalui kontak langsung dengan hewan tersebut misalnya hewan peliharaan dan melalui produksi hewan tersebut seperti wool.

  c.

  Geophilic dermatophyta addalah jamur tanah yang ditransmisikan kepada manusia melalui paparan langsung ke tanah atau ke hewan yag berdebu.

  2.1.1.3 Etiologi Dermatofitosis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang teridiri dari tiga genus, yaitu genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermofiton. Dari

  41 spesies dermatofita yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang, yang terdiri dari 15 spesies

  

Trichophyton , 7 spesies Microsporum dan satu spesies Epidermofiton. Selain sifat

  keratinofilik, setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes tertentu. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang- kadang menyerang manusia, misalnya Microsporum canis dan Trichophyton

  

verrucosum. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan

  dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Microsporum gypseum.

  Umumnya gejala-gejala klinik yang timbulkan oleh golongan zoofilik dan golongan geofilik pada manusia bersifat akut dan sedang serta lebih mudah sembuh.

  Dermatofita yang antropofilik terutama menyerang manusia karena memilih manusia sebagai hospes tetapnya. Golongan jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan. Contoh jamur yang antropofilik ialah Microsporum audouinii dan Trichophyton rubrum (Siregar, 2004).

  a.

  Trichophyton (Frey, et al., 1985; Hutabarat, 1999; Rippon, 1988) Mikokonidia banyak, tumbuh bergerombol atau satu-satu sepanjang hifa.

  Sedangkan makrokonidia jarang atau tidak dibentuk sama sekali. 1)

  T. mentagrophytes Makroskopis : Membentuk 2 jenis koloni. Koloni Cottony berwarna putih seperti wol. Koloni powder seperti serbuk warna merah anggur.

  Mikroskopis : Mikrokonidia sangat banyak berkelompok berbentuk bulat/ menyerupai sekelompok buah anggur pada cabang-cabang terminalnya dan banyak terdapat hifa yang menyerupai spiral. {

  Gambar 2.1 Gambar 2.2

  (Image Courtesy

  Morfologi mikroskopis Kultur

  

Trichophyton mentagrophytes Trichophyton mentagrophytes

  2) T. rubrum Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, koloni berbentuk kapas.

  Warna depan putih sampai merah muda dan dasar koloni warna merah. Mikroskopis : Mikrokonidia banyak, berkelompok atau satu-satu sepanjang hifa.

  Gambar 2.3 Gambar 2.4

  (Image Courtesy Morfologi mikroskopis

  Kultur

  Trichophyton rubrum Trichophyton rubrum

  3) T. verrucosum

  Makroskopis : Pertumbuhan sangat lambat, bentuk verrucous warna abu- abu. Mikroskopis : Makrokonidia dan mikrokonidia jarang.

  Gambar 2.5 Gambar 2.6

  (Image Courtesy ) Morfologi mikroskopis T. Trichophyton

  

verrucosum . verrucosum

  4) T. concentricum

  Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, permukaan licin dan berlipat- lipat, warna ditengah coklat dan pinggir coklat muda.

  Mikroskopis : Makrokonidia dan mikrokonidia tidak ada. Ditemukan branching hifa.

  Gambar 2.7 Gambar 2.8

  (Image Courtesy ) Morfologi mikroskopis

  Kultur

  Trichophyton concentricum Trichophyton concentricum

  5) T. tonsuran

  Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, permukaan datar/ berbenjol- benjol. Bentuk bubuk sampai beledru. Warna bervariasi cream, abu-abu, kuning, dan merah coklat dengan dasar kuning sampai merah. Mikroskopis : Mikrokonidia banyak sepanjang sisi hifa dan makrokonidia jarang.

  Gambar 2.9 Gambar 2.10

  (Image Courtesy o Kultur

  Morfologi mikroskopis

  Trichophyton tonsurans Trichophyton tonsurans

  6) T. violaceum

  Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, permukaan menonjol dan verrukosa. Warna violet.

  Mikroskopis : Makrokonidia/ mikrokonidia jarang. Terlihat hifa irreguler dan klamidospora.

  Gambar 2.11 Gambar 2.12

  (Image Courtesy ) Morfologi mikroskopis

  Kultur

  Trichophyton violaceum Trichophyton violaceum

  7) T. schoenleinii

  Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, bagian tengah berlipat dan lebih tinggi dari pinggir. Mikroskopis : Makrokonidia/ mirokonidia tidak ada. Banyak ditemukan hifa Favchandeliers.

Gambar 2.14 Gambar 2.13

  (Image Courtesy ) ton schoenleinii

  Morfologi mikroskopis

  Trichophyton schoenleinii b.

  Microsporum (Frey, et al., 1985; Rippon, 1988) Makrokonidia adalah spora yang paling banyak ditemukan dan terbentuk pada ujung-ujung hifa, sedangkan mikrokonidia sedikit.

  1) M. canis

  Makroskopis : Pertumbuhan koloni cepat, permukaan halus sampai bergranuler. Warna depan coklat muda, sedangkan dasar koloni merah coklat. Mikroskopis : Makrokonidia banyak dijumpai. Ukurannya besar, ujung rucing, dinding tebal serta kasar dan ada tonjolan-tonjolan kecil. Karakteristik dijumpai adanya klamidospora, bisa juga dijumpai racquet hifa, pectine bodies dan nodular bodies.

  Gambar 2.15 Gambar 2.16

  (Image Courtesy ) Morfologi mikroskopis zoophilic Kultur Microsporum canis dermatophyte Microsporum canis.

  2) M. gypseum

  Makroskopis : Pertumbuhan cepat, warna kuning sampai coklat ada jalur jalur radier. Mikroskopis : Makrokonidia besar, bentuk bujur telur, dinding tipis dan bergerigi kecil.

  Gambar 2.17 Gambar 2.18

  (Image Courtesy )

  3) M. audouinii

  Makroskopis : Pertumbuhan lambat, permukaan datar. Warna koloni abu- abu kuning sampai coklat keputihan, dan dasar koloni merah coklat. Mikroskopis : Makrokonidia jarang dan bentuk tidak teratur. Sedangkan mikrokonidia sangat jarang dan ditemukan adanya racquet hifa.

Gambar 2.20 Gambar 2.19

  (Image Courtesy o Morfologi mikroskopis

  Kultur

  Microsporum audouinii Microsporum audouinii

c. Epidermophyton (Frey, et al., 1985; Hutabarat, 1999; Rippon, 1988) Hanya ditemukan makroonidia, ukurannya besar dan berbentuk gada.

E. Floccosum

  Makroskopis : Pertumbuhan koloni lambat, bergranuler warna putih dan berjalur-jalur sentral warna kuning kehijauan. Mikroskopis : Makrokonidia lebar-lebar seperti gada atau berbentuk bunga, ujung bulat dinding halus dan tipis. Mikronidia tidak ada.

  Gambar 2.21 Gambar 2.22

  (Image Courtesy o )

2.1.1.4 Patogenesis dan cara penularan

  Dermatofita menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi dan juga berkoloni pada lapisan kulit, kuku, dan rambut yang telah mati. Mereka juga memicu kehancuran sel-sel yang hidup dengan mengaktifkan sistem imun. Meskipun jamur yang terlibat dalam infeksi kutaneus dan sub-kutaneus hidup di tanah, penyakit yang mereka timbulkan tidak sama dengan infeksi jamur superfisial lainnya karena infeksinya membutuhkan lesi terlebih dahulu pada lapisan kulit yang lebih dalam.

  Kebanyakan dermatfitosis tinggal menetap pada lapisan dermis dan hipodermis sehingga sangat jarang menyebabkan infeksi yang sistemik. Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung

  Penularan langsung dapat melalui fomit, epitel, dan rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia atau dari bianatang, dan tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu, atau air (Siregar, 2004).

  2.1.1.5 Faktor yang mempengaruhi Disamping cara penularan, timbulnya kelainan-kelainan di kulit bergantung pada beberapa faktor : a.

  Faktor virulensi dari dermatofita Virulensi ini bergantung pada afinitas, jamur, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik, atau Geofilik. Selaian afinitas ini, masing- masing jenis jamur tersebut berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian tubuh, misalnya floccosum yang paling sering menyerang lipat paha bagian dalam.

  Faktor yang terpenting dalam virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin di kulit.

  b.

  Faktor trauma Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.

  c.

  Faktor suhu dan kelembaban

  Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal; tempat yang banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.

  d.

  Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur. Insiden panyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah lebih sering ditemukan dari pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.

  e.

  Faktor umur dan jenis kelamin Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anaak dibandingkan pada orang dewasa. Pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibandingkan pada pria, dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-faktor lain, seprti faktor perlindungan tubuh, (topi, sepatu, dan sebagainya), faktor transpirasi serta penggunaan pakaian yang serba nilon dapat memudahkan timbulnya penyakit jamur ini.

  Beberapa jamur yang tumbuh di kulit memiliki gejala klinis yang disebut dengan lesi kutaneus. Dermatofitosis adalah infeksi kutaneus yang disebabkan oleh dermatofita, yaitu jamur yang dapat tumbuh di kulit, kuku, rambut, dan merangsang respon sel-sel imun yang dapat menghancurkan jaringan yang lebih dalam. Hal inilah yang membedakan dermatofitosis dengan infeksi jamur superfisial lainnya.

  2.1.1.6. Tanda dan gejala Di waktu yang lalu dermatofitosis sering disebut sebagai ring worm atau tinea, yang merupakan kata latin dari cacing karena dermatophytosis menghasilkan tempelan melingkar, bersisik yang membuat pemeriksa berpikir ada cacing terletak dibawah permukaan kulit. Meskipun penyakit ini sering disalah tanggapkan karena cacing tidak terlibat dan terminologi fita menyatakan tumbuhan bukan jamur tetapi istilah ini masih digunakan.

  Kebanyakan dermatofitosis secara klinis dapat dibedakan karena mereka secara langsung dapat dikenal sebagai contoh

  athlete’s foot adalah dermatofitosis.

  Dermatofitosis dapat memiliki berbagai gejala klinis.

  2.1.1.7. Diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan Observasi klinis pada umumnya cukup untuk mendiagnosa infeksi dermatofita. Persiapan KOH di kulit atau kerokan kuku atau sampel rambut dapat menampilkan hifa dan atau konidia (spora aseksual), dimana diperlukan untuk konfirmasi diagnosis. Saat diinginkan penentuan intentitas spesifik dari dermatofita membutuhkan pemeriksaan mikroskopis berupa kultur, yang akan memakan waktu berminggu-minggu karena jamur ini sangat lambat tumbuh di laboraturium.

  Infeksi terbatas dapat diobati secara efektif dengan menggunakan obat- obat anti fungal topikal, tetapi untuk infeksi yang menyebar luas pada kulit kepala atau kulit demikian juga pada infeksi kuku harus diobati dengan anti fungal oral. Terbinafine, diberikan secara oral selama 6-12 minggu, sangat efektif pada sebagian besar kasus. Kasus kronik atau kasus yang menetap diobati dengan griseofulvin sampai sembuh (Bauman, et al., 2009).

  Bentuk

  • – bentuk gejala klinis dermatofitosis adalah: 2.1.1.8.

  Tinea kapitis Tinea kapitis adalah kelainan kulit pada daerah kepala, rambut yang disebabkan jamur golongan dermatofita. Disebabkan oleh species dermatofita

  

Trichophyton dan Microsporum. Gambaran klinis keluhan penderita berupa

bercak pada kulit kepala, sering gatal disertai rambut rontok ditempat lesi.

  Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis, pemeriksaan lampu wood dan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH. Pada pemeriksaan mikroskopis terlihat spora diluar rambut (ectotric) atau didalam rambut (endotric). Pengobatan pada anak-anak peroral griseofulvin 10-25 mg/kg BB perhari, pada dewasa 500 mg/hr selama 6 minggu. (Siregar, 2004)

  Berdasarkan bentuk khas, tinea kapitis dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

  a.

   Gray patch ring worm

  Penyakit ini dimulai dengan papul merah kecil yang melebar ke sekitarnya dan membentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik. Warna rambut jadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi, mudah patah, dan terlepas dari akarnya sehingga menimbulkan alopesia setempat.

  Dengan pemeriksaan dengan sinar wood tampak flouresensi kekuning- kuningan pada rambut yang sakit melalui batas “Gray patch” tersebut. Jenis ini biasanya disebabkan oleh species Microsporum dan Trichophyton.

  b.

   Black dot ring worm Terutama disebabkan oleh T. tonsurans, T. violaceum, dan T. mentagrophytes. Infeksi jamur terjadi diluar rambut (ectotric) atau didalam

  rambut (endotric) yang menyebabkan rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala.

  Ujung rambut tampak seperti titik-titik hitam diatas permukaan kulit yang berwarna kelabu sehing ga tampak seperti gambaran “black dot”. Biasanya bentuk ini terdapat pada orang dewasa dan lebih sering pada wanita. Rambut sekitar lesi juga tidak bercahaya lagi karena kemungkinan sudah terkena infeksi. Penyebab utamanya adalah T. tonsurans dan T. violaceum.

  c.

  Kerion Bentuk ini adalah bentuk serius karena disertai dengan radang yang hebat bersifat lokal sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil yang berkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal. Rambut di daerah ini putus-putus dan mudah dicabut. Bila kerion ini menyembuh akan

  Bentuk ini terutama disebabkan oleh M. canis, M. gypseum, T. tonsurans, dan T. violaceum.

  d.

  Tinea favosa Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berwarna cawan (skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus “moussy odor”. lagi. Bila penyakit itu sembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang permanen. Penyebab utamanya adalah T. schoenleinii, T. dan T. gypseum. Karena tinea kapitis ini sering menyerupai

  violaceum,

  penyakit kulit yang menyerang daeerah kepala, penyakit ini harus dibedakan dengan penyakit-penyakit bukan oleh jamur, seperti Psoriasis vulgaris,

  Dermatitis seboroika dan Trikotilomania (Siregar, 2004).

2.1.1.9. Tinea korporis

  Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus

skin ) di daerah muka, badan, lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah T.

  

rubrum dan T. mentagropytes . Gambaran klinis biasanya berupa lesi terdiri atas

  bermacam macam efloresensi kulit, berbatas tegas dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik, bagian tepi lebih aktif dengan tanda peradangan yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi seperti penyembuhan, sementara tepi lesi meluas sampai ke perifer. Kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya serta kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur. Pengobatan sistemik berupa griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu, itrakonazol 100 mg sehari selama 2 minggu, obat topikal salep whitfield.

  Tinea imbrikata Tinea imbrikata adalah penyakit yang disebabkan jamur dermatofita yang memberikan gambaran khas tinea korporis berupa lesi bersisik yang melingkar- lingkar dan gatal. Disebabkan oleh dermatofita T. concentricum. Gambaran klinis dapat menyerang seluruh permukaan kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam Tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama agak tebal terletak konsensif dengan susunan seperti tengahnya. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan kulit dengan KOH dan kultur, gambaran klinis yang khas berupa lesi konsentris. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4 minggu, sering kambuh setelah pengobatan sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama, ketokonazol 200 mg sehari, obat topikal tidak begitu efektif karena daerah yang terserang luas (Madani, 2000; Siregar, 2002).

  2.1.1.11. Tinea kruris Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatofita didaerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus, yang dapat meluas kebokong dan perut bagian bawah.

  Penyebab E. floccosum, kadang-kadang disebabkan oleh T. rubrum. Gambaran klinik lesi simetris dilipat paha kanan dan kiri mula-mula lesi berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas sehingga dapat meliputi scrotum, pubis ditutupi skuama, kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil. Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai larutan KOH 10-20%. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu, ketokonazol, obat topikal salep whitefield, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin, derivat azol dan naftifin HCL (Madani, 2000).

  2.1.1.12. Tinea manus et pedis Tinea manus et pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kaki, jari-jari tangan dan kaki serta daerah interdigital. Penyebab tersering T.

  rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum (Madani, 2000; Siregar, 2002).

  2.1.1.13. Tinea unguium Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita. Penyebab tersering adalah T. mentagrophites, T. rubrum. Gambaran rusak warna menjadi suram tergantung penyebabnya, distroksi kuku mulai dari dista, lateral, ataupun keseluruhan. Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis pada pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 % atau biakan untuk menemukan elemen jamur. Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan, pengertian kerjasama dan kepercayaan penderita dengan dokter karena pengobatan sulit dan lama. Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 bulan untuk jari tangan untuk jari kaki 9-12 bulan. Obat topical dapat diberikan dalam bentuk losio atau krim (Madani, 2000).

2.1.2. Non Dermatofitosis

  2.1.2.1.Pitiriasis versikolor

  Pitiriasis versikolor (panu) adalah penyakit jamur superfisial yang kronik

  biasanya tidak memberikan keluhan subjektif berupa bercak skuama halus warna putih sampai coklat hitam, meliputi badan kadang-kadang menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, kulit kepala yang berambut. Menurut Ballon 1889 (dalam Juanda 2005) Disebabkan oleh malassezia furfur robin. Gambaran klinik kelainan terlihat bercak-bercak warna warni, bentuk teratur sampai tidak teratur batas jelas sampai difus kadang penderita merasa gatal ringan. Diagnosis pada sediaan langsung kerokan kulit dengan larutan KOH 20 % terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok. Pengobatan harus dilakukan menyeluruh tekun dan konsisten. Obat yang dapat dipakai suspensi selenium sulfida (selsun) dipakai sebagai sampo 2-3x seminggu. Obat lain derivat azol misal mikonazole, jika sulit disembuhkan ketokonazole dapat dipertimbangkan dengan dosis 1x 200 mg sehari selama 10 minggu. yang kadang gatal bila berkeringat. Pada orang dengan kulit berwarna, lesi yang terjadi biasanya tampak sebagai bercak hipopigmentasi, tetapi pada orang dengan kulit pucat lesi bisa berwarna coklat kemerahan. Di atas lesi terdapat sisik halus. Ada 2 bentuk yang sering didapat, yaitu makular dan folikular (Arnold, et al., 2000; Siregar, 2004; Krisanty, et al., 2008).

  2.1.2.2. Piedra Piedra adalah infeksi jamur pada rambut ditandai dengan benjolan (nodus) yang keras sepanjang batang rambut. Ada 2 bentuk, yaitu : a.

  Piedra Putih Penyakit ini disebabkan Trichosporon beigellii terutama di daerah subtropis dan beriklim sedang. Gejalannya berupa adanya benjolan warna coklat muda yang tidak begitu melekat pada batang rambut kepala, kumis, janggut dan tidak memberikan gejala-gejala subjektif (Arnold, et al., 2000; Budimulja, 2007).

  b.

  Piedra Hitam Penyakit ini disebabkan oleh piedra hortae dan lebih sering ditemukan pada daerah rambut kepala serta jarang pada rambut dada dan dagu. Piedra hitam merupakan infeksi asimtomatik. Pada batang rambut dada dan dagu. Piedra hitam merupakan infeksi asimtomatik. Pada batang rambut teraba kasar, granular, terdapat nodul yang keras, berukuran kecil, berwarna hitam dan bisa tunggal atau multipel. Nodul melekat erat pada batang rambut, sukar dilepas, bila disisir dengan logam maka akan terdengar bunyi geseran logam (Arnold, et al., 2000; Elgart & Warren, 1992).

  2.1.2.3. Otomikosis Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga bagian luar. Liang telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi skuama dan dapat meluas ke bagian luar sampai muara liang telinga dan daun telinga sebelah dalam. Bila meluas mengeluarkan cairan serosanguinos dan penderita akan mengalami gangguan pendengaran. Penyebab infeksi biasanya jamur kontaminan, yaitu Aspergillus sp., Mukor dan Penisilium (Budimulja, 2007; Siregar, 2004).

2.1.2.4. Tinea nigra palmaris

  Tinea nigra palmaris adalah infeksi jamur superfisial yang biasanya menyerang kulit telapak tangan dan kaki dengan memberikan warna hitam sampai coklat pada kulit yang terserang. Penyebabnya adalah Cladosporium werneckii. Makula yang terjadi tidak menonjol dari permukaan kulit, tidak terasa sakit dan tidak ada tanda-tanda radang. Kadang-kadang dapat meluas sampai di punggung kaki bahkan sampai menyebar ke leher, dada dan muka (Budimulja, 2007; Siregar, 2004).

2.2. Tinea pedis 2.2.1.

  Definisi Tinea pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak kaki, punggung kaki, jari-jari kaki, serta daerah interdigital.

  Tinea pedis atau yang disebut juga dengan

  Athlete’s foot, atau orang awam

  sering menyebutnya dengan kutu air. Biasanya sering ditemukan pada orang dewasa yang setiap hari menggunakan sepatu tertutup, contohnya penggunaan sepatu dan kaus kaki.

  Dan pada orang yang bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagainya (Madani, 2000). Infeksi juga dapat menyebar melalui penggunan pancuran dan ruang ganti pakaian umum, di mana kulit yang terinfeksi dan terkelupas berperan sebagai sumber infeksi. Tidak ada tindakan pengendalian yang benar-benar efektif selain hygiene yang tepat dan penggunaan bedak untuk tinea pedis menahun bersifat asimtomatis dan hanya menjadi aktif pada keadaan panas atau basah yang berlebihan atau pemakaian alas kaki yang tidak sesuai (Jawetz, et al., 1996).

  2.2.2. Epidemiologi Tinea pedis umum dijumpai di seluruh dunia (Martin & Kobayashi, 1999). Tinea pedis lebih sering dijumpai pada dewasa dibandingkan pada anak (Hay & Moore, 1998; Elgart & Warren, 1992; Westom, et-al., 2002). Pria dewasa memiliki 20% kemungkinan menderita Tinea pedis, sedangkan wanita hanya 5% kemungkinan menderita infeksi kronis (Hay & Moore, 1998). Penyebab perbedaan insiden pada anak dan dewasa belum diketahui secara pasti (Clayton, 2000). Frekuensi Tinea pedis di negara-negara Eropa dan Amerika Utara diperkirakan antara 15 sampai 30% dan populasi tertentu lebih tinggi lagi, misalnya pada golongan penambang (sampai 70%), atlet, organisasi militer, dan asrama sekolah (Braun-Falco, et al., 1991; Martin & Kobayashi, 1999). Dari tahun 1999 sampai 2002, di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo kasus Tinea pedis baru pertahun berkisar antara 0,16% sampai 1,19% dari seluruh kasus baru infeksi jamur (Subbagian Mikologi. Bagian/SMF Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FK UI/RSUPN, 1992-2002).

  2.2.3. Etiologi Tiga spesies jamur dermatofita antropofilik T. rubrum, T. mentagrophytes,

  

E. floccosum merupakan penyebab tersering Tinea pedis di seluruh dunia ( Hay &

  Moore, 1998; Masri-Fridling, 1996; Odom, 1993; Matsumoto, 1996; Clayton, 2000). Walaupun demikian, sesugguhnya semua dermatofita dapat menjadi agen penyebab. T. rubrum dapat bermanifestasi dalam berbagai tipe, kecuali tipe vesikulosa. Oleh karena dermatofita patogen tersebut bersifat antropofilik, maka atau lebih spesies jamur kadang terjadi. Untuk itu diperlukan terminologi khusus yang baku untuk memudahkan, terutama guna kepentingan survei klinis. Infeksi kombinasi adalah didapatinya spesies yang berbeda dari lesi yang sama. Infeksi konkuren adalah keadaan didapatinya spesies yang berbeda dari lesi yang berbeda pada saat yang sama. Sedangkan infeksi konsekutif adalah kondisi seorang pasien terinfeksi oleh organisme yang berbeda di lokasi yang sama pada saat yag berbeda

  2.2.4. Faktor predisposisi Tinea pedis merupakan dermatofitosis yang mengenai kaki. Faktor predisposisinya adalah hiperhidrosis dan penggunaan sepatu yang tertutup.

  Penyakit dapat berlangung akut berupa lesi-lesi vesikobulosa (vesicobullous type) sampai ulserasi (acute ulcerative type) pada telapak kaki. Penyakit dapat juga berlangsung kronis berupa eritem dan erosi pada sela jari kaki (chronic

  

intertriginous type ) dan penebalan kulit berskuama pada telapak kaki (chronic

hyperkeratotic type atau moccasin type ) (Verma & Heffernan, 2008).

  2.2.5. Patogenesis Dermatofita berperan dalam proses penghancuran sawar stratum korneum. Tubuh bereaksi terhadap proliferasi jamur dengan mempercepat pertumbuhan lapisan sel basal epidermis. Keadaan ini menyebabkan kulit menjadi tebal dan berdeskuamasi. Bila kondisi lingkungan memadai, misalnya lembab dan tertutup, akan mudah terjadi pertumbuhan berlebihan bakteri oportuistik bersama dermatofita. Pada awalnya koloni difteroid akan berproliferasi, namun dengan semakin beratnya penyakit dominasi bakteri akan berganti menjadi bakteri gram negatif. Tanpa invasi awal oleh dermatofita, umumnya gram negatif hanya tumbuh minimal. Pergeseran pola infeksi bakteri ini akan bermanifestasi menjadi gambaran yang jauh lebih agresif, berupa erosi dan maserasi hebat di sela jari. Bakteri yang dapat diisolasi termasuk Staphylococcus aureus, Corynebacterium

  

jeikeium, Brevibacterium epidermidis, dan Micrococcus sedentarius (Fridling,

1996).

  streptomisin, yang kemudian akan menyeleksi tumbuhnya bakteri yang lebih resisten terhadap antibiotik. Bakteri pada gilirannya memproduksi enzim proteolitik, yang selanjutnya meningkatkan destruksi jaringan. Salah satu penjelasan yang paling mungkin mengenai eliminasi jamur ketika penyakit berlanjut adalah terbentuknya komponen sulfur yang bersifat antijamur, contohnya metanetiol, etanetiol, dan dimetil sulfida yang diproduksi oleh

  

Micrococcus sedentarius dan Brevibacterium epidermidis (Fridling, 1996; Elgart

& Warren, 1992).

  2.2.6. Gambaran klinis Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap harinya harus memakai sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagaiannya. Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadi infeksi sekunder dan peradangan. Dikenal 3 bentuk klinis yang sering dijumpai, yakni : a.

  Bentuk intertriginosa. Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan, basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV, dan V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis, dan erisipilas yang disertai gejala-gejala umum.

  b.

  Bentuk vesikuler akut. Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula- vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki dengan bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini.

  c.

  Bentuk moccasin foot. Pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan berskuama, Eritem biasa ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi (USU digital library, 2003).

Gambar 2.23. Beberapa bentuk gambaran Tinea pedis 2.2.7.

  Pemeriksaan Laboratorium Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut terlebih tempat kelainan dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian,

  1. Kulit tidak berambut (glabrous skin) : dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.

  2. Kulit berambut : rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan, kulit di daerah tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit, pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemudian adanya fluorensi pada kasus-kasus tinea kapitis tertentu.

  3. Kuku : bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan dibawah kuku diambil pula (Budimulja, 2002). Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula- mula dengan pembesaran 10 x 10, kemudian dengan pembesaran 10 x 45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10 x 100 biasanya tidak diperlukan. Sedian

  1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sedian kulit adalah 10% dan untuk rambut dan kuku 20% (Budimulja, 2002; Siregar, 2002; Brooks et-al., 2005; Chaya & Pande, 2007).

  Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghidari kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan (Budimulja, 2002; Siregar, 2002; Brooks et al., 2005; Chaya & Pande, 2007).

Gambar 2.24 Gambar 2.25 Gambar 2.26

  Biakan T.rubrum Biakan M.gypseum Biakan E.floccosum 2.2.8.

  Diagnosis banding Diagnosis banding meliputi seluruh keadaan yang dapat mempunyai gambaran klinis skuama, vesikel atau pustul pada kaki. Kondisi ini terdapat antara lain pada dermatitis kontak, kandidiasis, eritrasma, dan dyshidrosis. Penyakit lain yang perlu juga dipertimbangkan termasuk psoriasis pustular, akrodermatitis kontinua, pioderma, sifilis sekunder, ptiriasis rubra pilaris, dan sindroma Reiter (Fridling, 1996; Martin & Kobayashi, 1999).

  Tangan harus diperiksa untuk mencari tanda lain misalnya tinea „dua kaki satu tangan, nail pit untuk diagnosa psoriasis, atau papul keratotik warna tembaga

  2.2.9. Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anameisis, gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20% yang menunjukan elemen jamur serta kultur jamur (Fridling, 1996).

  2.2.10. Pengobatan Pada umumnya cukup topikal saja dengan obat-obat antijamur untuk bentuk interdigital dan vesikular. Lama pengobatan 4-6 minggu. Bentuk moccasin

  

foot yang kronik memerlukan pengobatan yang lebih lama, apalagi bila disertai

  dengan tinea unguium, pengobatan diberikan paling sedikit 6 minggu dan kadang- kadang memerlukan antijamur per-oral, misalnya griseofulvin, itrakonazol, atau terbenafin. Bentuk klinik akut yang disertai selulitis memerlukan pengobatan antibiotik, misalnya penisilin V, fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang adekuat (Madani, 2000).

  a.

  Terapi lokal 1)

  Lesi-lesi yang meradang akut yang bervesikula dan bereksudat harus dirawat dengan kompres basah secara terbuka secara berselang-selang.(4-6 kali sehari) atau terus, menerus. Vesikula harus dikempeskan tetapi kulitnya harus tetap utuh. 2)

  Haloprogin atau tolnalfat, arutan atau cream dioleskan 3 kali sehari akan menyebabkan involusi dari sebagian besar lesi skuama superfisial dalam waktu 1-3 minggu. 3)

  Lesi hiperkeratosis yang tebal memerlukan terapi lokal dengan obat- Obat-obat antifungal topikal antara lain : 1.

  Golongan imidazol yaitu klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol, itrakonazol, oksikonazol, dan sulkonazol.

  2. Golongan alilamin yaitu naftitin dan terbinafin.

  3. Golongan benzilamin yaitu butenafin 4.

  Golongan lainnya yaitu asam undesilenat, tolnaftat, haloprogin dan b.

  Terapi sistemik Obat-obat antifungal sistemik antara lain griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol,flukonazol, dan terbinafin.

  Pemberian Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan secara oral yang diperoleh dari spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri atau jamur yang mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofites tertentu.

  Setelah pemberian per oral, griseofulvin disebarkan seluruh tubuh. Obat terakumulasi di epidermis dan jaringan keratinisasi lainnya (rambut dan kuku). Keratin merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofites, dan degradasi keratin oleh jamur ini mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin diduga berinteraksi dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan penghambatan pertumbuhan.

  Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita pada kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichopyton,

  

Epidermophyton, dan Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh terhadap

  kandidiasis superfisial atau kandidiasis sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.

  Pengobatan terdiri atas pembuangan tuntas struktur epitel yang terinfeksi dan yang mati serta pemberian bahan kimia antijamur secara topikal. Pengobatan berlebihan sering menyebabkan dermatofitid. Harus dilakukan usaha-usaha untuk mencegah reinfeksi. Bila daerah serangan luas, pemberian griseofulvin secara oral griseofulvin selama beberapa bulan dan kadang-kadang dilakukan pembedahan buangan kuku. Sering terjadi kekambuhan infeksi kuku (Jawezt, 1996).

2.2.11. Langkah-langkah pencegahan a.

  Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi.

  Daerah-daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus dikeringkan betul-betul dan diberi bedak pengering (talcum ; ZeaSORB) b.

  Alas kaki harus pas betul dan tidak terlalu ketat.

  c.

  Pasien dengan hiperhidrosis agar memakai kaos kaki dari bahan katun yang menyerap dan jangan memakai bahan wool atau bahan sintetis.

  d.

  Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dalam air panas.

  2.2.12. Komplikasi Organisme yang dapat dibiakkan dari sela jari kaki normal adalah sejumlah mikroflora, termasuk Micrococcae (Staph), Coryneform aerobik, dan sedikit bakteri gram negatif. Sela jari juga dikolonisasi oleh dermatofita dan ragi misalnya Candida. Bila sawar stratum stratum korneum rusak oleh karena drmatofita, yaitu terjadi inflamasi dan maserasi, bakteri akan mempunyai kemampuan berproliferasi. Infeksi sela jari oleh bakteri gram negatif adalah komplikasi terberat dari spektrum dermatofitosis kompleks. Gambaran klinis berupa maserasi putih sela jari dengan erosi yang nyeri. Lesi ini bersifat eksudatif dan berbau serta dapat disertai reaksi radang hebat. Pada kasus ini, biakan kuman umumnya akan tumbuh Pseudomonas atau Proteus. Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah infeksi sekunder oleh kapang saprofit, yang sesungguhnya bukan patogen primer. Reaksi „id‟ (autoeksematisasi) akan terjadi berupa vesikular, ekzematisasi, atau erupsi anhidrotik pada jari tangan, telapak tangan dan kaki (Fridling, 1996).

  2.2.13. Prognosis Infeksi jamur pada umumnya berlangsung kronis pada dermatofitosis faktor predisposisinya sulit diatasi (Verma & Heffernan, 2008; Hay & Moore,

  2004).