Analisis Keragaman Beberapa Genotipe Tanaman Tebu (Saccharum spp.) Di Sumatera Utara Berdasarkan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA)

  TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu (Saccharum spp.) Biologi Tanaman

  Klasifikasi Tanaman tebu tergolong tanaman perdu dengan nama latin Saccharum

  officinarum L. Di daerah Jawa Barat disebut Tiwu, di daerah Jawa Tengah dan

  Jawa Timur disebut Tebu atau Rosan. Sistematika tanaman tebu adalah: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Graminales Famili : Graminae Genus : Saccharum Species : Saccharum spp.

  Morfologi 1.

Batang

  Batang tanaman tebu berdiri lurus dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku (Gambar 1). Pada setiap buku terdapat mata tunas. Batang tanaman tebu berasal dari mata tunas yang berada dibawah tanah yang tumbuh keluar dan berkembang membentuk rumpun. Diameter batang antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara 2-5 meter dan tidak bercabang.

  Ga ambar 1. Ba atang tebu

  2. Akar Ak kar tanaman n tebu terma asuk akar se erabut tidak k panjang y yang tumbuh h dari cincin tun nas anakan (Gambar 2 ). Pada fas e pertumbu uhan batang g, terbentuk k pula akar dibag gian yang le ebih atas aki ibat pember rian tanah s ebagai temp pat tumbuh. .

  G Gambar 2. A Akar tebu

  3. Daun Da aun tebu be erbentuk bu usur panah seperti pita

  a, berseling kanan dan n kiri, berpelepah h seperti da aun jagung dan tak ber rtangkai. Tu ulang daun sejajar, dite engah berlekuk. Tepi dau un kadang g-kadang bergelomba ang serta berbulu keras (Gambar 3 3). Ga ambar 3. Da aun Tebu

  4. Bunga Bu unga tebu be erupa malai i dengan pa anjang antar ra 50-80 cm m. Cabang b bunga pada tahap p pertama berupa kar rangan bung ga dan pad da tahap sel lanjutnya b erupa tandan den ngan dua bu ulir panjang g 3-4 mm. T Terdapat pu ula benangsa ari, putik de engan dua kepala a putik dan bakal biji (G Gambar 4).

  Ga ambar 4. Bu unga Tebu

  5. Biji Bij ji tebu sepe erti padi, me emiliki satu biji dengan n besar lemb baga 1/3 pan njang biji (Gamb bar 5). Biji tebu dapat t ditanam di i kebun per rcobaan unt tuk mendap atkan jenis baru hasil persil langan yang g lebih ungg gul (Indrawan nto, et al. 20 010).

  G Gambar 5. B Biji Tebu Syarat Tum mbuh

  Ta anaman tebu u tumbuh di idaerah trop pika dan sub b tropika sa ampai batas garis isoterm 20 C yaitu an ntara 19 LU U – 35 LS. Kondisi tan nah yang ba aik bagi tan naman tebu adala ah yang tid dak terlalu kering dan n tidak ter rlalu basah, , selain itu akar tanaman t tebu sangat t sensitif te erhadap kek kurangan ud dara dalam m tanah seh ingga pengairan dan draina ase harus s sangat dipe erhatikan. D Drainase ya ang baik de engan kedalaman n sekitar 1 meter mem mberikan pe eluang akar tanaman m menyerap ai ir dan unsur hara a pada lapi isan yang le ebih dalam sehingga p pertumbuha an tanaman pada musim ke emarau tida ak tergangg gu. Draina se yang ba aik dan da alam juga dapat manyalurk kan kelebiha an air dimu usim penghu ujan sehingg ga tidak terj adi genanga an air yang dapa at mengham mbat pertu umbuhan ta anaman kar rena berkur rangnya ok ksigen dalam tana ah.

  Di lihat dari je enis tanah, tanaman te ebu dapat t tumbuh bai ik pada ber rbagai jenis tanah h seperti tan nah alluvial l, grumosol, , latosol dan n regosol de engan ketin ggian antara 0 – – 1400 m d diatas permu ukaan laut. Akan tetap pi lahan ya ng paling s sesuai adalah ku urang dari 5 500 m diata as permukaa an laut. Sed dangkan pa ada ketingg gian > 1200 m d diatas permu ukaan laut p pertumbuha an tanaman relatif lam mbat. Kemir ingan lahan sebaiknya kurang dari 8%, meskipun pada kemiringan sampai 10% dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Kondisi lahan terbaik untuk tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan dan sampai 5 % apabila tanahnya lebih berat (Indrawanto et al., 2010).

  Tanah

  1. Sifat fisik tanah Struktur tanah yang baik untuk pertanaman tebu adalah tanah yang gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna, oleh karena itu upaya pemecahan bongkahan tanah atau agregat tanah menjadi partikel-partikel kecil akan memudahkan akar menerobos. Sedangkan tekstur tanah, yaitu perbandingan partikelpartikel tanah berupa lempung, debu dan liat, yang ideal bagi pertumbuhan tanaman tebu adalah tekstur tanah ringan sampai agak berat dengan kemampuan menahan air cukup dan porositas 30 %.

  Tanaman tebu menghendaki solum tanah minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan permukaan air 40 cm. Sehingga pada lahan kering, apabila lapisan tanah atasnya tipis maka pengolahan tanah harus dalam. Demikian pula apabila ditemukan lapisan kedap air, lapisan ini harus dipecah agar sistem aerasi, air tanah dan perakaran tanaman berkembang dengan baik.

  2. Sifat kimia tanah Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6 -

  7,5, akan tetapi masih toleran pada pH tidak lebih tinggi dari 8,5 atau tidak lebih rendah dari 4,5. Pada pH yang tinggi ketersediaan unsur hara menjadi terbatas.

  Sedangkan pada pH kurang dari 5 akan menyebabkan keracunan Fe dan Al pada tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian kapur (CaCO ) agar unsur Fe

  3 dan Al dapat dikurangi.

  Bahan racun utama lainnya dalam tanah adalah klor (Cl), kadar Cl dalam tanah sekitar 0,06 – 0,1 % telah bersifat racun bagi akar tanaman. Pada tanah ditepi pantai karena rembesan air laut, kadar Cl nya cukup tinggi sehingga bersifat racun.

  Iklim Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan tebu dan rendemen gula sangat besar. Dalam masa pertumbuhan tanaman tebu membutuhkan banyak air, sedangkan saat masak tanaman tebu membutuhkan keadaan kering agar pertumbuhan terhenti. Apabila hujan tetap tinggi maka pertumbuhan akan terus terjadi dan tidak ada kesempatan untuk menjadi masak sehingga rendemen menjadi rendah.

  1. Curah hujan Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik didaerah dengan curah hujan berkisar antara 1.000 – 1.300 mm per tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Distribusi curah hujan yang ideal untuk pertanaman tebu adalah: pada periode pertumbuhan vegetatif diperlukan curah hujan yang tinggi (200 mm per bulan) selama 5-6 bulan. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan 4 – 5 bulan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/bulan yang merupakan periode kering. Periode ini merupakan periode pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu.

  Ditinjau dari kondisi iklim yang diperlukan, maka wilayah yang dapat ideal diusahakan untuk tebu lahan kering/tegalan berdasarkan Oldemen dan Syarifudin (1977) adalah tipe B2, C2, D2 dan E2. Sedangkan untuk tipe iklim B1C1D1dan E1 dengan 2 bulan musim kering, dapat diusahakan untuk tebu dengan syarat tanahnya ringan dan berdrainase bagus. Untuk tipe iklim D3, E3 dan D4 dengan 4 bulan kering, dapat pula diusahakan dengan syarat adanya ketersediaan air irigasi.

  2. Suhu Pengaruh suhu pada pertumbuhan dan pembentukan sukrosa pada tebu cukup tinggi. Suhu ideal bagi tanaman tebu berkisar antara 24 C–34 C dengan perbedaan suhu antara siang dan malam tidak lebih dari 10

  C. Pembentukan sukrosa terjadi pada siang hari dan akan berjalan lebih optimal pada suhu 30 C. Sukrosa yang terbentuk akan ditimbun/disimpan pada batang dimulai dari ruas paling bawah pada malam hari. Prosespenyimpanan sukrosa ini paling efektif dan optimal pada suhu 15 C.

  3. Sinar Matahari Tanaman tebu membutuhkan penyinaran 12-14 jam setiap harinya. Proses asimilasi akan terjadi secara optimal, apabila daun tanaman memperoleh radiasi penyinaran matahari secara penuh sehingga cuaca yang berawan pada siang hari akan mempengaruhi intensitas penyinaran dan berakibatpada menurunnya proses fotosintesa sehingga pertumbuhan terhambat.

  4. Angin Kecepatan angin sangat berperan dalam mengatur keseimbangan kelembaban udara dan kadar CO disekitar tajuk yang mempengaruhi proses

  2

  fotosintesa. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam disiang hari berdampak positif bagi pertumbuhan tebu, sedangkan angin dengan kecepatan melebihi 10 km/jam akan mengganggu pertumbuhan tanaman tebu bahkan tanaman tebu dapat patah dan roboh (Indrawanto et al., 2010).

  Daerah Asal

  Genus Saccharum mungkin sebelumnya berasal dari benua yang diasumsikan berdasarkan bentuk dan lokasinya saat ini. Genus tersebut terdiri dari 35-40 spesies dan memiliki dua daerah asal keragaman yaitu dunia lama (Asia dan Afrika) dan dunia baru (Amerika Utara, Tengah dan Selatan). Asia memiliki sekitar 25 spesies asli, Amerika Utara memiliki enam spesies asli dan 4 – 5 spesies telah dikenali, Amerika tengah memiliki tiga atau empat spesies asli dan beberapa diantaranya telah dikenal (Webster dan Shaw 1995). Afrika memiliki dua spesies asli dan Australia memiliki satu spesies naturalisasi (Darke 1999; Bonnett et al. 2008).

  Spesies Brasil belum dikarakterisasi dengan baik. Hanya

  Saccharum

  survei floristik daerah yang telah melaporkan keberadaan spesies ini. Suatu studi menggambarkan spesies asli S. asperum, S.angustifolium, S. purpureum, S.

  biaristatum, S.glabrinodis, S. clandestinus dan S. villosum , tetapi penulis

  berkomentar bahwa spesies tersebut sangat terbatas sehingga ada kemungkinan bahwa semuanya bisa jadi dari keragaman satu spesies (Smith et al. 1982).

  Bahkan, dari spesies yang terdaftar pada penelitian ini, hanya S. asperum, S.

  angustifolium dan S. villosum yang diterima nama ilmiahnya (daftar tanaman 2010). Pada studi lain, spesies asli yang diidentifikasi adalah S. villosum, S. asperum dan S. baldwinii (Filgueiras dan Lerina 2001).

  Spesies Saccharum berperan dalam pengembangan kultivar tebu modern yang berasal dari Asia Tenggara (Roach dan Daniels 1987) karena S. officinarum dan S. spontaneum adalah penyumbang utama genom varietas modern.

  

S. officinarum telah dibudidayakan sejak zaman prasejarah (Sreenivasan

et al. 1987). Hal ini diyakini bahwa daerah asalnya adalah Polinesia dan bahwa

  spesies ini disebar luaskan ke seluruh Asia Tenggara, di mana daerah keanekaragaman modern adalah di Papua Nugini dan Jawa (Indonesia), ini adalah daerah di mana sebagian besar bahan percobaan dikumpulkan di akhir abad ke-19 (Roach dan Daniels 1987).

  Daerah asal dan keanekaragaman S. spontaneum adalah daerah yang lebih beriklim subtropis seperti India. Namun, karena S. spontaneum dapat tumbuh di berbagai habitat dan ketinggian (di kedua daerah tropis dan subtropis), yang saat ini tersebar di garis lintang mulai dari 8°S sampai 40°N dalam tiga zona geografis yaitu : a) bagian timur, di Selatan Kepulauan Pasifik, Filipina, Taiwan, Jepang, Cina, Vietnam, Thailand, Malaysia dan Myanmar, b) bagian tengah, di India, Nepal, Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan, Afghanistan, Iran dan Timur Tengah, dan c) bagian barat, di Mesir, Kenya, Sudan, Uganda, Tanzania, dan negara- negara Mediterania lainnya. Zona ini kira-kira mewakili cluster sitogeografikal alami karena S. spontaneum cenderung memiliki jumlah kromosom yang berbeda pada masing-masing lokasi (Daniels dan Roach 1987).

  Keanekaragaman Genetik Tebu (Saccarum officinarum L.)

  Keragaman genetik memainkan peran yang sangat penting dalam adaptabilitas suatu spesies karena ketika lingkungan suatu spesies berubah, variasi gen yang kecil diperlukan agar spesies dapat bertahan hidup dan beradaptasi (Salisbury dan Ross, 1995). Spesies yang memiliki derajat keragaman genetik yang tinggi pada populasinya akan memiliki lebih banyak variasi alel yang dapat diseleksi (Elfrod dan Stansfield, 2007).

   

  Tebu, Saccharum officinarum (2n = 70-140), disebut juga "noble cane" karena batangnya yang manis dan berair, merupakan spesies rumput tahunan tropis, (famili Poaceae; suku Andropogoneae). Kultivar modern memperlihatkan berbagai jumlah kromosom (2n = 100-130) dan urutan genom ~ 10 Gb berasal dari hibridisasi interspesifik yang rumit karena peristiwa hilangnya sebagian kromosom (aneuploidisasi) dan polyploidisasi (8-10x). Meskipun demikian, haplotype dasar tebu (X = 10; 930 Mb) adalah sangat kecil dan syntenic untuk model rumput, seperti sorgum (Scortecci et al, 2012).

  Di China dan India, S. officinarum disilangkan dengan S. barberi (tebu India, 2n = 60-140) dan S. sinense (tebu Cina, 2n = 104-128) untuk menghasilkan hibrida, yang nantinya akan menjadi hybrid antara S. officinarum dan S.

  (2n = 36-128). Selama abad XIX, persilangan menggunakan spesies

  spontaneum

  liar S. spontaneum (2n = 36-128) dilakukan untuk meningkatkan hasil sukrosa dan ketahanan terhadap penyakit (Roach, 1972, 1989). Dengan demikian, kultivar tebu modern sesuai dengan introgresi dari spesies liar S. spontaneum dan S. robustum (2n = 66-170) ke spesies budidaya S. officinarum, S. sinense dan S. barberi (D'Hont et al., 2008, Grivet et al, 2006;. Irvine, 1999). S. edule (2n = 60, 70, 80) dianggap budidaya ornament di New Guinea dan Kepulauan Fiji, dimana tidak ada kontribusi terhadap kultivar modern. Portugis memperkenalkan tebu ke Brasil selama periode kolonisasi Eropa (abad XV) mungkin dengan hibrida antara S. officinarum dan S. barberi yang berasal dari India dan Persia (Daniels dan Daniels, 1975).

  Tanaman tebu (Saccharum spp. hibrid) merupakan tanaman rerumputan yang kompleks secara genetis karena daerah asal multi spesiesnya yang menghasilkan kromosom mosaik (umumnya 2n = 100 – 130). Disebabkan tingginya tingkat ploidi dan genom yang kompleks, maka perkembangan dalam pemecahan genetik tebu dirasakan lambat. Marka morfologi sering digunakan dalam analisa keragaman genetik, tetapi belakangan ini lebih banyak menggunakan teknik penanda molekuler dan telah berkembang menjadi suatu sarana yang sangat penting untuk menganalisa genotipe tebu terhadap ekploitasinya secara komersil dan seleksi khusus berbagai tetua secara genetis untuk keperluan pemuliaan (Kawar, et al, 2009)

  Evaluasi keragaman genetik berdasarkan karakter morfologi sangat terbatas dan dipengaruhi oleh dampak lingkungan (Afghan et al., 2005). Oleh karena itu, teknik yang dapat mengukur hubungan genetik tanpa pengaruh faktor lingkungan dan sifat fenotip adalah kebutuhan program pemuliaan masa depan.

  Analisis marka molekuler menawarkan penilaian hubungan genetik yang efisien berdasarkan karakteristik genetik (Hussain et al, 2010).

  Pencarian berbagai tetua secara genetik dapat didasarkan pada asal geografis, karakter agronomi, dan data silsilah atau data penanda molekuler (Melchinger, 1999).

  Kultivar Tebu di Sumatera Utara

  Hasil eksplorasi yang telah dilakukan oleh Sinaga dan Susanto (2009), saat ini ditemukan beberapa kultivar tebu di wilayah Sumatera Utara yaitu :

  1. Kultivar tebu kuning

  Tebu ini diperoleh dari kebun masyarakat di Desa Helvetia Kecamatan Marelan Medan utara. Jenis tebu ini banyak dijumpai di daerah – daerah lain di Sumatera Utara. Masyarakat biasanya menanam di pekarangan rumah atau kebun dalam jumlah yang tidak banyak dengan maksud untuk dikonsumsi karena rasanya yang manis, segar dan teksur batang rapuh sehingga mudah untuk digigit. Jenis tebu ini sangat mudah tumbuh dan bertunas terutama pada tanah yang tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering.

  2. Kultivar tebu gelaga

  Sebaran tebu ini di Sumatera Utara tidak seluas tebu kuning. Tebu jenis ini banyak dijumpai di wilayah Medan, Deliserdang dan Langkat. Tebu ini dapat dikonsumsi masyarakat secara langsung karena rasanya manis dan mudah tumbuh pada tanah yang cukup air.

  3. Kultivar tebu Berastagi

  Jenis tebu ini sangat baik tumbuh di daerah Kabupaten Karo, Dairi dan Phak – Phak Barat. Tebu ini memiliki rasa nira yang sangat manis namun tekstur batangnya sangat keras sehingga menyebabkan cara konsumsinya harus diperas/digiling untuk memperoleh niranya. Tebu ini sulit untuk bertunas dibandingkan dengan jenis lainnya. Munculnya tunas dari mata tunas relatif lebih lama dan cenderung akan mati apabila kondisi tanah terlalu basah.

  4. Kultivar tebu gambas

  Jenis tebu ini hampir dapat dijumpai di seluruh wilayah Propinsi Sumatera Utara yang ditanama masyarakat di pekarangan rumah dan kebun. Bagian tebu yang dikonsumsi adalah bagian batang tua. Tebu ini kurang diminati masyarakat dibanding dengan tebu jenis kuning dan tebu hijau besar karena rasanya yang kurang manis dan agak keasam – asaman. Jenis tebu ini sangat mudah tumbuh sebagaimana yang terlihat di kebun masyarakat terutama pada tanah yang ketersediaan airnya cukup.

  Tebu ini memiliki batang yang berwarna merah dan daun yang agak kemerah – merahan. Kultivar ini banyak dibudidayakan masyarakat di pekarangan rumah dan ada yang tumbuh liar di kebun. Tebu jenis ini banyak digunakan masyarakat sebagai obat (Sinaga dan Susanto, 2009).

  Varietas dan Klon Tebu di Sumatera Utara

  Teknologi varietas merupakan salah satu input budidaya tanaman. Dampak masukan dengan menggunakan varietas unggul sudah banyak dilaporkan oleh kalangan praktisi maupun peneliti, yaitu mampu meningkakan produksi secara signifikan. Upaya P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) pada KP (Kebun Percobaan) Medan mencari varietas unggul seri PS (Pasuruan) sudah berlangsung cukup lama sejalan dengan usia berdirinya industri gula di Sumatera Utara. Untuk mendapatkan satu jenis varietas memerlukan ± 3 tahun, melalui tahap SJT I (screening jenis tebu) sampai dengan SJT III. Tahap berikutnya dilakukan Orientasi Varietas (Orvar) dan Warteb (Warung Tebu) pada skala demo (Mulyadi, et al., 1997).

  Sejak tahun 1982 – 1996 ± 1136 jenis varietas telah diuji adaptasikan P3GI KP. Medan di wilayah Sumatera Utara. Varietas yang mampu beradaptasi baik di kedua Pabrik Gula ± ada 7 varietas atau sebesar 0,6 %. Selain varietas yang direkomendasikan P3GI, ada juga varietas introduksi dari luar negeri yaitu F 156 (BZ 134) yang sekarang dikenal sebagai varietas unggul lokal dan mendominasi pertanaman tebu di Sumatera Utara (Mulyadi, et al., 1997).

  Beberapa varietas tebu yang dikembangkan oleh PTP. Nusantara II saat ini untuk Kebun Benih Induk (KBI) tahun tahun tanam 2014/2015 di Kebun T. Jati adalah BZ 134, PS 862, TLH 2, Kentung, GMP 2, VMC 76-16, PS. 921, PS. 864, PS. 951, PS. 851, PS. 881, PSJT. 941, PSBM 901, TLH 1, GMP 1, Kidang Kencana, Cenning. (Risbang Tebu, 2013).

  Marka Molekuler

  Pada awal abad ke-20 ilmuwan menemukan bahwa faktor Mendel mengendalikan warisan (gen) yang terletak dalam urutan linear pada struktur sitogenetik yang jelas dan disebut dengan kromosom. Hal tersebut menunjukkan bahwa kombinasi gen dapat diwariskan dalam kelompok (yaitu gen yang terkait bersama) karena dekat satu sama lain pada kromosom yang sama. Gen individu yang mengapit, dalam menentukan interval terdekat dikenal sebagai penanda molekuler DNA. Penanda molekuler adalah urutan DNA yang dapat diidentifikasi dan ditemukan pada lokasi genom tertentu dan terkait dengan pewarisan sifat atau gen linked (FAO, 2004).

  Penanda harus polimorfik yaitu harus ada perbedaan bentuk sehingga kromosom pembawa gen mutan dapat dibedakan dengan membawa bentuk penanda kromosom gen normal. Polimorfisme dapat dideteksi pada tiga tingkatan yaitu morfologi, biokimia atau molekuler. Baru-baru ini istilah/profiling fingerprinting DNA digunakan untuk menggambarkan penggunaan kombinasi beberapa sistem deteksi lokus tunggal dan digunakan sebagai alat serbaguna untuk menyelidiki berbagai aspek genom tanaman. Hal ini berisi karakterisasi variabilitas genetik, fingerprinting genom, pemetaan genom, lokalisasi gen, analisis evolusi genom, genetika populasi, taksonomi, peternakan dan diagnostik tanaman (Joshi et al, 2011). Menurut Joshi et al (2011), seorang peneliti DNA yang ideal harus dapat menunjukkan ciri - ciri berikut : (i) pewarisan kodominan- bentuk marker yang berbeda harus terdeteksi dalam organisme diploid untuk memungkinkan diskriminasi homozigot dan heterozigot. (ii) Selalu terjadi dalam genom (iii) Selektif dalam perilaku netral (urutan DNA organisme netral untuk lingkungan kondisi atau penerapan pelaksanaan) (iv) Dapat diakses (data tersedia) (v) Mudah dan pengujiannya cepat (vi) Dapat digandakan dan (vii) pertukaran data antar laboratorium mudah.

  Polymerase Chain Reaction (PCR) Berbasis Marka

  Satu dekade setelah munculnya AFLP, ada terobosan lain yang melibatkan penggunaan PCR pada tahun 1990 (Farooq dan Azam, 2002). PCR adalah metode in vitro asam nukleat sintesis dimana segmen tertentu dari DNA dapat khusus direplikasi (Mullis dan Faloona, 1987). Proses tersebut melibatkan dua primer oligonukleotida yang mengapit fragmen DNA yang diinginkan dan amplifikasi diperoleh dengan serangkaian siklus berulang panas denaturasi DNA, annealing primer kepada urutan komplementernya, dan perpanjangan primer anneal dengan polimerase DNA termofilik. Karena produk ekstensi sendiri juga melengkapi primer dan siklus amplifikasi berturut-turut pada dasarnya dua kali lipat jumlah DNA target yang disintesis pada siklus sebelumnya dan hasilnya adalah akumulasi eksponensial dari target fragmen spesifik.

  DNA genom dari dua individu yang berbeda sering menghasilkan amplifikasi yang berbeda dan fragmen khusus yang dihasilkan dari satu individu tetapi tidak untuk lainnya merupakan polimorfisme DNA dan dapat digunakan sebagai penanda genetik. Pola pita diamplifikasi sehingga bisa digunakan untuk genom fingerprint (Welsh dan McClelland 1990 ).

  PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan menggunakan dua oligonuleotida primer yang komplementer dengan ujung 5’ dari kedua untaian sekuens target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer (primer PCR) untuk memungkinkan DNA template dikopi oleh DNA polimerase.

  Untuk mendukung terjadinya annealing primer ini pada template pertama kali diperlukan untuk memisahkan DNA substrat melalui pemanasan. Suhu reaksi selanjutnya diturunkan untuk membiarkan terjadinya perpasangan sekuens dan akhirnya reaksi polimerisasi dilakukan oleh DNA polimerase untuk membentuk untaian komplementer (Nasir, 2002).

  Marker Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

  Marka Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) merupakan suatu teknik untuk mendeteksi polimorfisme urutan nukleotida DNA dengan menggunakan primer tunggal urutan nukleotida (primer oligonukleotida, RAPD), (William et al, 1991 dalam Jonah, 2011). Dalam reaksi ini, satu primer spesies anneal ke DNA genom di dua lokasi yang berbeda pada komplementer untaian DNA template.

  Keuntungan analisis RAPD meliputi: (i)

  Menggunakan sedikit DNA sehingga mampu bekerja dengan populasi yang tidak dapat diakses dengan RFLP. Lebih cepat dan efisien dalam analisis pemetaan genetik dan memiliki kepadatan yang tinggi seperti pada banyak spesies tanaman alfafa (Kiss et al, 1993), kacang fabean (Torress et al, 1993) dan apple (Hammat et al, 1994)

  (ii) Tidak berhubungan dengan uji radioaktif (Kiss et al,1993)

  (iii) Tidak membutuhkan penyelidikan spesies spesifik

  (iv) Tidak terkait dalam blotting atau hibridisasi.

  (v)

  Sederhana, biaya rendah dan tidak membutuhkan informasi urutan DNA sebelumnya untuk aplikasi   (Stammers M, et al, 1995).  

  Kekurangan penanda RAPD adalah :

  (i) polimorfisme diwariskan sebagai karakter dominan atau resesif

  menyebabkan hilangnya informasi relatif terhadap penanda yang menunjukkan kodominasi .

  (ii) Primer relatif singkat, bahkan ketidakcocokan nukleotida tunggal

  sering dapat mencegah primer dari proses annealing yang menyebabkan hilangnya band.

  (iii) Susah dalam pengulangan pada banyak sistem, terutama ketika

  mentransfer antara populasi atau laboratorium sehingga sering perlu bantuan program penanda seleksi ( Liu et al , 1994).

  Marka Molekuler RAPD pada Tebu (Saccharum spp.)

  Tabasum et al., (2010) dalam penelitiannya dengan 40 tebu genotipe termasuk S. officinarum dan S. barberi, menunjukkan bahwa tingkat polimorfisme terdeteksi tinggi dengan menggunakan 30 penanda RAPD, karena lebih dari satu alel yang berbeda dapat di identifikasi oleh setiap penanda sedangkan Hussain. A, (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari dari 50 primer yang digunakan ternyata primer OPB3, OPB5, OPB8, OPB10, OPB11, OPB14, OPB15, OPB3 tingkat polimorfiknya terdeteksi sebesar 16 %.

  Terdapat 20 primer RAPD yang digunakan dalam penelitian Pandey, et al. (2012) dan menghasilkan 110 amplikon dengan rata-rata 5,5 band per primer. Pola Amplifikasi organogenesis langsung mengangkat planlet tebu menggunakan RAPD primer OPA 13. Jumlah fragmen RAPD (110) yang diperoleh dalam penelitian ini sudah cukup untuk mengungkapkan variasi genetik pada tanaman tebu. Polimorfisme dalam profil amplifikasi terdeteksi pada 5 Gy dengan primer OPJ 13 dan 0PJ17 dan perlakuan 200 mM NaCl dengan primer 0PJ18. Band polimorfik merupakan perubahan genetik yang terjadi akibat stres garam dan iradiasi (Asad et.al., 1996)

  Penilaian keragaman dan identifikasi plasma nutfah yang ada merupakan komponen penting dari program perbaikan tanaman. Teknik RAPD-PCR telah berhasil digunakan dalam hal ini. Pola amplikasi RAPD-PCR menjelaskan berbagai tingkat polimorfisme antara tiga genotipe tebu. Terdapat 44 fragmen pada tiap genotipe dan penanda yang dikemukakan oleh Ahmed dan Khaled (2008) dengan menggunakan 7 (tujuh) primer yaitu : OPA-01, OPA-04, OPA-07, OPB-07, OPB-10, OPO-10, OPO-14.

  Beberapa primer dengan teknik RAPD yang digunakan Ullah et.al (2013) untuk menganalisa keragaman genetis varietas tebu yang dikonsumsi/dimakan meliputi : OPA-01, OPA-02, OPA-03, OPA-06, OPA-08, OPA-12, OPB-05, OPB-09, OPB-11, OPB-15, OPB-18, OPB-20, OPC-01, OPC-02, OPC-03, OPC- 04, OPD-01, OPD-03, OPE-02, OPE-04.

  Dari total 40 primer yang digunakan untuk menilai keragaman genetis 17 kultivar tebu hanya 7 primer yang menghasilkan spesifik band. Primer tersebut adalah : OPA-04, OPA-17, OPAB-17, OPC-08, OPA-16, OPG-05, OPG-17 (Kawar et.al., 2009).