Masyarakat Sipil Aceh dalam Demokrasi Ab

Opini, 7/1/2016, Media Acehtrend
http://www.acehtrend.co/masyarakat-sipil-aceh-dalam-demokrasi-abu-abu/

Masyarakat Sipil Aceh dalam Demokrasi
Abu-Abu

By Danil Akbar Taqwadin 07/01/2016

DALAM kolom opini Aceh Paska Konflik dalam Demokrasi Abu-Abu (aceHTrend.co,
25/12/2015) penulis menggambarkan bahwa rezim politik Aceh dapat dikatakan
menganut sistem non-otoritarian non-demokrasi, lalu bagaimana relasinya dengan
masyarakat sipil? Di mana posisi masyarakat sipil dalam demokrasi abu-abu nya Aceh?
Dan sejauh mana pergeseran masyarakat sipil dalam masa pembangunan perdamaian
paska konflik di Aceh?
Aceh punya catatan sejarah panjang terkait masyarakat sipil. Sebelum Indonesia merdeka
hingga saat ini, gerakan masyarakat sipil selalu mewarnai blantika perpolitikan di Aceh.
Spectrum masyarakat sipil-pun terbentang luas dari persyarikatan, komunitas, ulama,

Opini, 7/1/2016, Media Acehtrend
http://www.acehtrend.co/masyarakat-sipil-aceh-dalam-demokrasi-abu-abu/
lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, intelektual, hingga media massa. Hipotesanya,

masyarakat sipil merupakan pembentuk rezim demokrasi abu-abu di Aceh saat ini.
Pemerintah dan masyarakat sipil memiliki hubungan yang tak dapat dipisahkan.
Masyarakat sipil adalah semua struktur dan asosiasi yang dibentuk oleh actor-aktor untuk
mengisi ruang antara keluarga, ekonomi dan Negara (Pemerintah). Ianya bersifat politis
dan bagian dari rezim politik. Selain itu, ianya dapat mencakup segmen demokratis dan
non-demokratis, serta beradab dan tak beradab sekaligus. Jadi jangan heran melihat
masyarakat sipil yang demokratis yang beradab, demokratis yang tidak beradab, nondemokratis yang beradab, bahkan non-demokratis yang tidak beradab.
Berbicara masyarakat sipil dalam konteks Aceh selalu sarat dengan kisah-kisah demi
masyarakat . Mereka tampil sebagai penggerak barisan oposisi dan motor kemandirian
masyarakat. Pada masa konflik, idealism masyarakat sipil berkaitan erat dengan tujuan
untuk mencari solusi yang terbaik bagi Aceh (perdamaian atau merdeka), dan posisi
menentang Negara (Pemerintah Pusat) adalah mayoritas saat itu. Namun dalam
mekanismenya, pendekatan yang hard digerakkan oleh kaum muda dan pendekatan yang
soft digerakkan oleh kaum tua. Tujuannya pun juga berbeda, ada unsur masyarakat sipil
yang cenderung berkeinginan untuk merdeka, ada pula yang cenderung fokus untuk
menyelesaikan konflik kekerasan secara bermartabat dan bersandar pada kedaulatan
NKRI. Walaupun begitu, ada pula masyarakat sipil yang terang-terangan ber- plat merah,
perpanjangan tangan Jakarta kepada masyarakat, bahkan tak sedikit pula yang bermuka
dua (berpotensi menyesatkan!).
Watak, strategi dan fungsi masyarakat sipil di Aceh mengalami pergeseran setelah tsunami

2004. Bencana yang meluluhlantakkan pesisir barat dan utara Aceh ini menarik simpati
masyarakat internasional untuk datang dan memberi bantuan. Bantuan yang hadir pun
sangat fantastis. Dan tercapainya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM
adalah pra-syarat utama agar bantuan ini mengalir dengan baik ke Aceh.
Dalam periode ini, masyarakat sipil Aceh kebanjiran uang. Berbagai program dilaksanakan
dengan dana triliunan Dollar. Program-program ini pun tumpang-tindih dengan agenda
rekonstruksi dan rehabilitasi paska tsunami dan paska konflik. Tak ayal, berbagai
masyarakat sipil dari segala level (lokal, nasional dan global) hadir untuk membantu.
Agenda demokratisasi yang menjadi misi liberalisme dan reformasi (Indonesia pasca
1998)-pun gencar disorong oleh mereka. Dan, rezim demokrasi abu-abu di Aceh pun lahir
dari perdebatan mereka. Bukan hanya rezimnya saja, bahkan hal ini pun semakin mengabu-abu -kan masyarakat sipil itu sendiri.

Gencarnya arus demokratisasi liberal di Indonesia – terutama di Aceh – memiliki dilema
tersendiri. Di satu sisi, ia didorong sesuai agenda liberalisme dan reformasi Indonesia, di
sisi lain, ia tidak diharapkan karena berkembang melalui intervensi asing. Sehingga
masyarakat sipil Aceh pun dipaksa dan terpaksa nyetel untuk menempatkan diri dalam
arus demokrasi tersebut. (Diper) lemahnya posisi dan peran Pemerintah dalam demokrasi
liberal membuat masyarakat sipil Aceh meraup keuntungan besar berbanding yang terjadi
pada rezim militer otoritarian sebelum damai. Dalam konteks paska tsunami, donatur asing


Opini, 7/1/2016, Media Acehtrend
http://www.acehtrend.co/masyarakat-sipil-aceh-dalam-demokrasi-abu-abu/
lebih melirik masyarakat sipil sebagai mitra daripada Pemerintah. Di sisi lain, Pemerintah
pun membutuhkan mereka demi legitimasi dan menyewa tenaga profesionalnya. Kucuran
dana asing dan proyek Pemerintah pun tak pernah sepi. Akhirnya, masyarakat sipil
melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah, dari prediksi dan
penghitungan hasil pemilu, pengentasan kemiskinan, penguatan kapasitas hukum,
pengembangan sumber daya masyarakat, dsb. Bahkan kerja-kerja legislatif dan yudikatif
pun turut diambil alih oleh masyarakat sipil, dari pengawasan kinerja Pemerintah,
investigasi kasus pidana, perdata serta korupsi, hingga pengawasan masalah syariat dan
akidah sekalipun. Sehingga tak heran, masyarakat sipil Aceh berubah menjadi industri
baru. Dan industri ini tak jarang meninggalkan idealismenya demi meraup keuntungan
sebesar-besarnya.
Pergeseran masyarakat sipil Aceh dari motor gerakan sosial dan politik masyarakat
(menentang Pemerintah pada masa konflik) kepada industri jasa modern, mengharuskan
mereka memiliki institusi yang dikelola secara professional. Institusi-institusi masyarakat
sipil yang cukup mapan pun melahirkan para aktivis yang berubah menjadi kelas elit baru.
Lingkup kerja dan jaringannya pun bukan lagi dalam level lokal, bahkan hingga nasional
dan global (epistemique community). Dalam konteks kapitalisme, hal ini disebut sebagai
flexible production. Maka masyarakat sipil tidak lagi hanya berfikir untuk melahirkan

sesuatu, tapi juga memikirkan keuntungan pribadi apa yang dapat diperoleh dari sesuatu,
dan apakah dalam usaha melahirkan sesuatu itu sebanding (atau lebih besar) dengan
keuntungan yang didapatkan? Formula laba-rugi menghiasi watak mereka.
Selain itu, pergeseran ini juga terlihat dari konteks keadaban (civility) dan
kewarganegaraan (civic) yang memberikan karakteristik tersendiri pada masyarakat sipil.
Keadaban yang dimaksud terkait dengan isu kemandirian. Isu ini penting karena terkait
pembatasan masyarakat sipil dan masyarakat politik (terutama ketergantungan kepada
Pemerintah). sedangkan kewarganegaraan terkait tanggung jawab politis masyarakat sipil
selaku warga negara terhadap negaranya atau nasionalismenya,
Sehingga masyarakat sipil selalu berada diantara tekanan Pemerintah dan private (swasta).
Dari sisi ekonomi, masyarakat sipil Aceh secara realistis memburu donatur sebagai sumber
financial mereka. Ini demi keberlangsungan eksistensi mereka. Namun, secara politis,
masyarakat sipil Aceh juga dihadapkan pada pilihan yang berbeda: (1) bekerja sama dan
menerima proyek-proyek Pemerintah secara total (termasuk tujuan dan ideologinya); (2)
menghindari persentuhan dengan Pemerintah dan lebih membuka diri terhadap pihak
swasta (termasuk yang berkepentingan politik); (3) menolak kerjasama dengan
Pemerintah dan swasta, dan bekerja sesuai aras idealismenya; atau, (4) menerima kerja
sama dengan berbagai pihak (Pemerintah maupun swasta) tanpa terikat dengan tujuan dan
ideologi pihak tersebut. Oleh karena itu, muncul berbagai pertanyaan dan perdebatan
seputar civility dan civic masyarakat sipil Aceh. Lantas apabila masyarakat sipil menjadi

tangan Pemerintah maka ia mendegradasikan kemandirian-nya dan meningkatkan
ketergantungan kepada Pemerintah? Atau apabila masyarakat sipil lebih membuka diri
kepada pihak swasta maka akan menggadaikan tanggung jawab politisnya sebagai warga
negara?

Opini, 7/1/2016, Media Acehtrend
http://www.acehtrend.co/masyarakat-sipil-aceh-dalam-demokrasi-abu-abu/
Hematnya, banyak dari masyarakat sipil Aceh selama ini berada pada posisi membuka diri
kepada Pemerintah (1) maupun swasta (2). Secara tidak langsung, masyarakat sipil
menjadi alat Pemerintah ataupun swasta dalam berbagai agenda, termasuk politik.
Realitanya, menggadaikan budaya civility dan civic merupakan strategi masyarakat sipil
Aceh yang ditempuh demi keberlangsungannya. Sedikit sekali yang bertahan dengan
membuka diri (kepada Pemerintah dan Swasta) namun memaksakan kehendak agar tidak
terikat dengan tujuan dan ideologi apapun (4). Namun, masyarakat sipil yang menolak
bekerja sama dan bergerak sesuai idealismenya cukup marak akhir-akhir ini. Beberapa
komunitas-komunitas berjalan sesuai idealismenya masing-masing tanpa memperdulikan
intervensi apapun (3).
Yang perlu digarisbawahi, retorika masyarakat sipil Aceh yang luas ini tidak selalu bekerja
secara konsisten. Ia berada dalam jaring laba-laba yang begitu kompleks. Dan masyarakat
sipil yang dinamis selalu mampu mengkonstruksi dan men-de-konstruksi watak dan

strategi dan fungsinya sesuai dengan tujuan dan kepentingan mereka sendiri (yang
terkadang berubah-ubah).
Danil Akbar Taqwadin
Akademisi FISIP UIN Ar-Raniry