Contoh BAB II Skripsi PENGEMBANGAN PERAN

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran
Menurut Degeng dalam Uno (2008: 134), “pembelajaran adalah upaya untuk
membelajarkan siswa.” Berdasarkan pengertian ini, Uno menambahkan,
dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, dan
mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang
diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini
didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada.
Pembelajaran merupakan persoalan guru. Pembelajaran menjadi efektif, efisien,
dan menarik bergantung dari kemampuan guru menerapkan metode pembelajaran
kepada siswa. Suatu materi pelajaran yang disampaikan guru bisa saja menarik
bagi siswa tetapi belum tentu efektif dan efisien. Pembelajaran yang diberikan di
kelas terikat pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun oleh
guru. Di dalam RPP terdapat standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD),
dan indikator, sehingga dapat ditentukan metode dan media pembelajaran serta
alokasi waktu yang dibutuhkan. Selain itu, pembelajaran merupakan suatu proses
mencapai tujuan belajar. Suatu proses dimaksud, bagi siswa, adalah proses
mengalami pengetahuan. Siswa memahami suatu materi pelajaran dengan

berbagai metode belajar sehingga dimungkinkan mempermasalahkan pengetahuan
yang sedang dialaminya.

7

Metode pembelajaran ditetapkan guru berdasarkan isi materi pelajaran dengan
tujuan meningkatkan minat belajar siswa. Setiap materi pelajaran memiliki tingkat
kesulitan yang berbeda-beda untuk disampaikan guru. Jika materi pelajaran itu
disampaikan dengan metode yang tidak sesuai pembelajaran menjadi tidak efektif,
efisien, dan menarik, maka metode pembelajaran berpengaruh dalam membuat
siswa belajar.

B. Kebermaknaan Belajar

Menurut Uno (2008: 52),

tujuan utama pembelajar adalah mengelola aktivitas stimulus, respon, dan
penguatan sebagai satu kesatuan kerja untuk memvariasikan dan
mengoptimalkan terjadinya tindak belajar (learning actions). Akan tetapi,
dalam praktik tugas ini sering ditafsirkan sebagai pemberian pengetahuan

teoritis deskriptif sebanyak-banyaknya sehingga dalam banyak kejadian di
kelas terkesan nyaris tanpa makna karena tidak dapat diikuti dengan tindak
belajar yang semestinya.

Pembelajaran adalah upaya kebermaknaan belajar. Memahami pengertian
demikian, pembelajaran adalah aktifitas yang bergantung tujuan belajar.
Pengetahuan yang tak terbatas menyebabkan tujuan-tujuan belajar disederhanakan
pada konsep ilmu tertentu. Kebermaknaan sendiri tidak terlepas dari interaksi.
Interaksi, bagi siswa, dipahami sebagai kebermaknaan terhadap berbagai sumber
belajar. Oleh sebab itu kebermaknaan belajar dibatasi pada waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai standar kompetensi (SK).

Menurut Uno (2008:53),

8

Belajar merupakan proses internal yang tidak dapat diamati secara
langsung. Perubahan perilaku seseorang yang tampak sesungguhnya
hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi persepsi dirinya terhadap
sesuatu yang sedang diamati dan dipikirkannya. Sedangkan fungsi

stimulus yang datang dari luar direspon sebagai aktivator kerja memori
otak untuk membentuk dan mengembangkan struktur kognitif melalui
proses asimilasi dan akomodasi yang terus-menerus diperbaharui,
sehingga akan selalu saja ada sesuatu yang baru dalam memori dari setiap
akhir kegiatan belajar.
Menurut aliran kognitif tersebut, belajar merupakan kegiatan siswa untuk
mendapatkan pengetahuan. Siswa pada tahap selanjutnya memaknai sendiri
belajar melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan
kemampuan baru yang khas baginya. Sejalan dengan keadaan demikian, Ausubel
dalam Uno (2008:12) berpendapat:
Siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur
kemajuan” (Advance Organizers) didefinisikan dan dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa. … “advance organizers” dapat
memberikan tiga manfaat, yakni
1) Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar
yang akan dipelajari oleh siswa,
2) Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa
yang sedang dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan”
dipelajari siswa; sedemikian rupa sehingga,
3) Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih

mudah.
Upaya guru untuk membantu siswa belajar dengan baik dapat dilakukan dengan
menyampaikan secara umum manfaat dari materi belajar itu, tahapan-tahapan apa
saja yang sebaiknya ditempuh siswa dalam memahami materi belajar, misalnya
sebelum mempelajari materi elastisitas dan gerak harmonik sederhana guru
menginformasikan bekal awal materi yang harus dikuasai yaitu konsep gaya.
Selain itu, informasi perlu berisikan imbalan dan hukuman jika bekal awal

9

tersebut tidak dikuasai dengan cara guru menginformasikan sebelum mempelajari
materi elastisitas dan gerak harmonik sederhana.

Uno (2008:12) menambahkan,

pengetahuan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya
dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang
menurut Ausubel “sangat abstrak, umum, dan inklusif”, yang mewadahi
apa yang akan diajarkan. Selain itu, logika berpikir guru juga dituntut
sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, maka guru

akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam
rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi ke
dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.
Belajar, pada akhirnya, bergantung dari kondisi dua pihak. Kondisi ini
menyangkut kesiapan siswa dalam menerima berbagai sumber belajar dan
kesiapan sumber belajar (guru dan berbagai sumber belajar lainnya) dalam
mengkonstruksikan pengetahuan siswa. Memahami kondisi ini, Bruner dalam
Uno (2008: 12), mengusulkan:

proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk
konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang
menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.
Memahami

usulan

Bruner

tersebut


teori

pembelajaran

pada

dasarnya

mempersoalkan bagaimana membelajarkan suatu konsep ilmu, sedangkan teori
belajar mempersoalkan siapa si belajar (siswa). Uno (2008:13) memisalkan
perbedaan teori pembelajaran dan teori belajar sebagai berikut:

10

teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak untuk
belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan (membelajarkan) penjumlahan.
Meskipun demikian, perbedaan teori pembelajaran dan teori belajar, lebih bersifat
pada ruang lingkup objek penelitian (siswa). Perbedaan teori pembelajaran dan
teori belajar seperti yang telah dimisalkan pada tahap selanjutnya menunjukkan

hubungan yang baik dalam menggunakan metode eksperimen. Di dalam metode
eksperimen guru hanya mempersoalkan bagaimana siswa mempelajari materi
belajar (berpusat pada materi belajar) dan tidak mempersoalkan apa, siapa, kapan,
dimana, dan bagaimana siswa (berpusat pada siswa).

C. Perangkat Pembelajaran

Perangkat yang digunakan dalam proses pembelajaran disebut dengan perangkat
pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang diperlukan dalam mengelola proses
belajar

mengajar

dapat

berupa:

silabus,

RPP


(Rencana

Pelaksanaan

Pembelajaran), LKS (Lembar Kerja Siswa), media pembelajaran, serta buku ajar
siswa, (Ibrahim, 2000: 3).

1. Silabus
Silabus merupakan salah satu produk pengembangan kurikulum berisikan garisgaris besar materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, dan rancangan penilaian.
Dengan kata lain silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan atau
kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi,
kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator

11

pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber
belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan, berdasarkan standar
nasional pendidikan (SNP).


2. RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)

RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), yaitu panduan langkah-langkah yang
akan dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran yang disusun dalam
skenario pembelajaran. RPP disusun untuk setiap pertemuan yang terdiri dari tiga
rencana pembelajaran dikembangkan dari rumusan tujuan pembelajaran yang
mengacu dari indikator untuk mencapai hasil belajar sesuai kurikulum berbasis
kompetensi (KBK, 2004).

RPP yang dimaksud adalah RPP yang berorientasi pembelajaran terpadu yang
menjadi pedoman bagi guru dalam proses belajar mengajar.

Langkah-langkah pembelajaran (sintaks) dikembangkan mengadopsi sintaks
pembelajaran terpadu yang dimodifikasi dan disesuaikan terutama dengan materi
pembelajaran yang di ajarkan. Dengan kata lain bahwa sintaks yang
dikembangkan berkaitan dengan cara penyampaian materi pembelajaran.
Langkah-langkah pembelajaran tersebut difokuskan pada peningkatan kualitas
pembelajaran, yaitu untuk memenuhi ketuntasan pembelajaran melalui pencapaian
indikator hasil pembelajaran sesuai kurikulum.


Komponen-komponen penting yang ada dalam rencana pembelajaran meliputi:
Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), hasil belajar, indikator

12

pencapaian hasil belajar, strategi pembelajaran, sumber pembelajaran, alat dan
bahan, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, dan evaluasi.

3. LKS (Lembar Kegiatan Siswa)

Menurut Triyanto dalam Priyantono (2010: 21) LKS adalah panduan siswa yang
digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah.
Dalam proses pembelajaran, LKS digunakan sebagai media bagi siswa untuk
mendalami materi fisika yang sedang dipelajari. Dengan adanya LKS siswa
dituntut untuk mengemukakan pendapat dan mampu membuat kesimpulan. Hal
ini menunjukkan bahwa LKS berfungsi sebagai media yang dapat meningkatkan
aktifitas siswa dalam proses belajar mengajar.

Menurut Sriyono dalam Setiawan (2005: 13) LKS dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian berdasarkan isinya yaitu:


1. Fakta, merupakan tugas yang sifatnya mengarahkan siswa untuk mencari
fakta-fakta atau hal-hal lain yang berhubungan dengan bahan yang
diajarkan.
2. Pengkajian, merupakan penggalian pengertian tentang bahan kearah
pemahaman.
3. Pemantapan dan kesimpulan, yang sifatnya memantapkan materi pelajaran
yang dikaji dalam diskusi kelas dimana kebenaran kesimpulan telah
ditemukan dan diterima oleh semua peserta.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa LKS merupakan suatu
panduan dalam melakukan penyelidikan yang berbentuk tertulis dan memiliki

13

fungsi sebagai media untuk membuat siswa menjadi aktif. LKS tidak hanya berisi
petunjuk praktikum tetapi memuat pertanyaan-pertanyaan yang menggiring siswa
untuk menyimpulkan materi yang dipelajari.

Suyanto

(2009)

telah

mengembangkan

suatu

model

pembelajaran

yang

memperhatikan bekal ajar awal siswa dengan prinsip eksplicitisme dan ketuntasan
serta menerapkan pendekatan keterampilan proses. Model pembelajaran Suyanto

(2009) tersebut disajikan secara tercetak, dengan format sebagai berikut:
a. Judul: Berupa judul suatu topik pembelajaran
b. Tujuan Pembelajaran: Berupa tujuan pembelajaran khusus (TPK), yang
pengembangannya melalaui Analisis Materi Pelajaran (AMP)
c. Wacana-wacana

materi

prasyarat

berupa

Pendahuluan,

sebagai

pengetahuan dan keterampilan yang merupakan bekal awal ajar.
Pengetahuan dan keterampilan tersebut dapat berupa kemampuan
konseptual fisika ataupun keterampilan-ketrampilan dasar laboratoris.
d. Wacana Utama: suatu wacana yang sesuai dengan topik pembelajaran.
Wacana ini dapat berupa bahan ceramah, bahan tuntunan untuk
menggunakan bahan kepustakaan atau tugas-tugas laboratoris. Wacana
utama ini menyajikan contoh soal dan atau contoh pemecahan masalah
menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari untuk memecahkan
masalah dengan prosedur ilmiah, soal-soal latihan menyelesaikan soal,
atau

latihan

menyelesaikan

tugas

memecahkan

masalah

secara

laboaratoris.
e. Kegiatan pralaboratorium: Berupa penyajian masalah yang harus
disampaikan guru untuk dipecahkan oleh siswa dengan prosedur ilmiah.

14

Berisi pula tuntunan merumuskan hipotesis, tuntunan merencanakan suatu
kegiatan kerja untuk menguji rumusan hipotesis yang telah dirumuskan.
Setiap kegiatan pralaboratorium melibatkan guru secara aktif, yang
meminta perannya sebagai tempat konsultasi dan memberikan keputusan
bahwa prosedur kerja yang direncakan siswa sungguh dapat dikerjakan.
f. Kegiatan Laboratorium: Berupa instruksi untuk melaksanakan kegiatan
kerja yang telah direncanakan dan telah diperiksa guru, bimbingan
pengumpulan data, bimbingan analisis data, dan bimbingan penarikan
kesimpulan. Semua bimbingan berupa pertanyaan-pertanyaan yang
jawabannya merupakan tuntunan melakukan setiap langkah prosedur
ilmiah.

4. Buku Siswa

Buku siswa (modul, diktat) merupakan buku panduan bagi siswa dalam kegiatan
pembelajaran yang memuat materi pelajaran, kegiatan penyelidikan berdasarkan
konsep, kegiatan sains, informasi, dan contoh-contoh penerapan sains dalam
kehidupan sehari-hari.

Selain itu, buku bacaan siswa ini juga sebagai panduan belajar baik dalam proses
pembelajaran di kelas, maupun belajar mandiri. Materi ajar berisikan garis besar
bab, kata-kata sains yang dapat dibaca pada uraian materi pelajaran, tujuan yang
memuat tujuan yang hendak dicapai setelah mempelajari materi ajar, materi
pelajaran berisi uraian materi yang harus dipelajari, bagan atau gambar yang
mendukung ilustrasi pada uraian materi, kegiatan percobaan menggunakan alat
dan bahan sederhana dengan teknologi sederhana yang dapat dikerjakan oleh

15

siswa, uji diri setiap materi pokok, dan masalah-masalah dalam kehidupan seharihari yang perlu didiskusikan.

5. Media Pembelajaran

Media pembelajaran diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan
untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Sadiman, dkk (2006: 6) menjelaskan
bahwa kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
medium yang secara harfiah berarti perantara atau penghantar. Media
pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan, fungsinya untuk
menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa
sehingga proses belajar terjadi.

Media mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar yaitu dapat
memperjelas penyajian pesan dan informasi yang disampaikan oleh guru dalam
pembelajaran,

mengarahkan

dan

meningkatkan

perhatian

siswa,

serta

mengefektifkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Selain itu media
pembelajaran juga dapat digunakan oleh siswa sebagai sarana belajar mandiri,
atau bersama dengan siswa lainnya tanpa kehadiran seorang guru. Dengan media
pembelajaran dapat terus berlangsung meskipun tidak disertai oleh guru.

Media pembelajaran adalah komponen sumber belajar atau wahan fisik yang
mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang
siswa untuk belajar. AECT (Assosiation for Education Comunication and
Technology) dalam Sadiman, dkk (2006: 19) menjelaskan bahwa:

16

Dengan masuknya berbagai pengaruh ke dalam khazanah pendidikan
seperti ilmu cetak-mencetak, tingkah laku (behaviorisme), komunikasi,
dan laju perkembangan teknologi elektronik, media dalam
perkembangannya tampil dalam berbagai jenis format (modul cetak, film,
televise, film bingkai, film rangkai, program radio, computer dan
seterusnya) masing-masing dengan cirri-ciri dan kemampuannya sendiri.
Media pembelajaran sebagai sumber belajar merupakan komponen dari system
instruksional disamping pesan, orang, teknik latar dan peralatan. Sehingga fungsi
media pembelajaran yang utama adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut
mempengaruhi kondisi dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh
guru. Hamalik dalam priyantono (2010: 14) menyatakan:
Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan
motivasi dan rangsangan belajar bahkan membawa pengaruh psikologis
terhadap siswa.
Dengan demikian penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi
pencapaian pembelajaran sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan
penyampaian isi pesan pembelajaran. Secara umum media mempunyai kegunaan:
a. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis,
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra,
c. Menimbulakan gairah belajar, interaksi labih langsung antara murid
dengan sumber belajar,
d. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan
visual, audiotori, dan kinestetiknya,
e. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan
menimbulkan persepsi yang sama.

17

Karakteristik dan kemampuan masing-masing media perlu diperhatikan oleh guru
agar mereka dapat memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan.

6. THB (Tes Hasil Belajar)

THB merupakan butir tes yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa
setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar. THB meliputi tes hasil belajar
produk, tes hasil belajar proses, dan tes hasil belajar psikomotorik. THB
psikomotorik berupa keterampilan melaksanakan eksperimen.

THB dibuat mengacu pada kompetensi dasar yang ingin dicapai, dijabarkan
kedalam indikator pencapaian hasil belajar dan disusun berdasarkan kisi-kisi
penulisan butir soal lengkap dengan kunci jawabannya serta lembar observasi
penilaian psikomotorik kinerja siswa.

THB juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan siswa. THB yang
dikembangkan disesuaikan dengan jenjang kemampuan kognitif. Untuk penskoran
hasil tes, menggunakan panduan evaluasi yang memuat kunci dan pedoman
penskoran setiap butir soal.

Selain perangkat pembelajaran, untuk mengamati kegiatan pembelajaran, aktivitas
siswa selama kegiatan pembelajaran, juga dikembangkan lembar pengamatan
pengelolaan kegiatan pembelajaran model pembelajaran terpadu.

18

D. Keterampilan Sosial
Menurut Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell (1998: 87)
keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif
dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang
dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan
perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus
melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998:
90). Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara,
mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus
menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian
ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Libet dan Lewinsohn dalam Cartledge dan Milburn (1995: 56) mengemukakan
keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan
perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika
perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly dalam
Gimpel & Merrel (1998: 90) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai perilakuperilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi
interpersonal dalam lingkungan. Keterampilan sosial, baik secara langsung
maupun tidak membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar
harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya (Matson,
dalam Gimpel & Merrell, 1998: 110).

19

Mu’tadin (2006: 45) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang
harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya
dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk dapat
menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilanketerampilan
sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan
orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau
keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau
menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila
keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula
bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan
maksimal.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial
merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap
perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian
yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh
pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.

Tabel 1. Dimensi umum keterampilan sosial

Dimensi
Hubungan dengan
sebaya (peer
relation)
Manajemen
diri
management)

Pola Perilaku
teman Interaksi sosial, prososial, empati,
partisipasi sosial, sociability-leadership,
kemampuan sosial pada teman sebaya.
(Self- Kontrol diri, kompetensi sosial,
tanggung jawab sosial, peraturan,
toleransi terhadap frustasi.

20

Kemampuan
(Academic)

akademis Penyesuaian sekolah, kepedulian pada
peraturan sekolah, orientasi tugas,
tanggung jawab akademis, kepatuhan di kelas,
murid yang baik.
Kepatuhan (Compliance)
Kerjasama
secara
sosial,
kompetensi,
cooperation-compliance.
Perilaku Asertif (Assertion)
Keterampilan sosial asertif, social initiation,
social activator, gutsy.

Cara memunculkan keterampilan sosial dalam pembelajaran di kelas biasanya
dilakukan dengan pembentukan kelompok belajar. Dalam kelompok tersebut,
mereka diajarkan keterampilan-keterampilan sosial agar dapat bekerja sama
dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar aktif, memberikan
penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, berdiskusi, dan sebagainya.

Agar terlaksana dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan
atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama bekerja dalam kelompok,
tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru
dan saling membantu di antara teman sekelompok untuk mencapai ketuntasan
materi. Belajar belum selesai jika salah satu anggota kelompok ada yang belum
menguasai materi pelajaran.

E. Keterampilan Proses Sains

Keterampilan proses sains merupakan sejumlah keterampilan yang dibentuk oleh
komponen-komponen metode sains/scientific methods. Keterampilan proses
(prosess-skill) sebagai proses kognitif termasuk di dalamnya juga interaksi dengan
isinya (content). Indrawati dalam Nuh (2010: 1) mengemukakan bahwa:

21

Keterampilan Proses merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang
terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk
menemukan suatu konsep atau prinsip atau teori, untuk mengembangkan
konsep yang telah ada sebelumnya, ataupun untuk melakukan
penyangkalan
terhadap
suatu
penemuan
(falsifikasi)".
Jadi keterampilan proses sains adalah kemampuan siswa untuk menerapkan
metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu
pengetahuan. Keterampilan proses sains sangat penting bagi setiap siswa sebagai
bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta
diharapkan memperoleh pengetahuan baru/ mengembangkan pengetahuan yang
telah dimiliki.

Keterampilan proses mencakup keterampilan berpikir/ keterampilan intelektual
yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siswa melalui proses belajar
mengajar dikelas, yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang
produk IPA. Keterampilan proses perlu dikembangkan untuk menanamkan sikap
ilmiah pada siswa. Semiawan dalam Nuh (2010: 1) berpendapat bahwa terdapat
empat alasan mengapa pendekatan keterampilan proses sains diterapkan dalam
proses belajar mengajar sehari-hari, yaitu:
1) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung semakin
cepat sehingga tidak mungkin lagi guru mengajarkan semua konsep dan
fakta pada siswa,
2) Adanya kecenderungan bahwa siswa lebih memahami konsep-konsep
yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh yang konkret,
3) Penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
bersifat mutlak 100%, tapi bersifat relatif,
4) Dalam proses belajar mengajar, pengembangan konsep tidak terlepas
dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak didik.

Metode ilmiah merupakan dasar dari pembentukan pengetahuan dalam sains.
Metode ilmiah dapat diartikan sebagai cara untuk bertanya dan menjawab

22

pertanyaan ilmiah dengan membuat obsevasi dan melakukan eksperimen.
Menurut Hess dalam Mahmuddin (2010: 3), terdapat enam langkah-langkah
metode ilmiah, yaitu:

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengajukan pertanyaan atau merumuskan masalah
Membuat latar belakang penelitian atau melakukan observasi
Menyusun hipotesis
Menguji hipotesis melalui percobaan
Menganalisa data dan membuat kesimpulan
Mengomunikasikan hasil

F. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui
Integrasi Mata Pelajaran, Pengembangan Diri, dan Budaya Sekolah.

1. Prinsip dan Pendekatan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa

Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan
sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan
diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu
mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus
dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya
dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung
jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai
pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai
dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses

23

berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan
mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya
dan karakter bangsa.

1) Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari
awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.
Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan
berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah
terjadi selama 9 tahun.

2) Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah;
mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan
kurikuler dan ekstrakurikuler. Gambar 1 berikut ini memperlihatkan
pengembangan nilai-nilai melalui jalur-jalur itu:

Gambar 1. Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa

24

Pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa melalui berbagai mata
pelajaran yang telah ditetapkan dalam Standar Isi (SI), digambarkan sebagai
berikut ini.

Gambar 2. Pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa melalui setiap
mata pelajaran

3) Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materi
nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai
itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika
mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata
pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan
jasmani dan kesehatan, seni, dan ketrampilan.

Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru
tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan
materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus

25

untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu
aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam
ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak
ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik
perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan
pada diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak
paham makna nilai itu.

4) Proses

pendidikan

dilakukan

peserta

didik

secara

aktif

dan

menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya
dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru
menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang
ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses
pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang
dan tidak indoktrinatif.

Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka
guru menuntun peserta didik agar aktif. Hal ini dilakukan tanpa guru
mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif, tapi guru
merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif
merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan
informasi

dari

sumber,

mengolah

informasi

yang

sudah

dimiliki,

merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau
proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter

26

pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas,
sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.

2. Perencanaan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan
oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama
sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui halhal berikut ini:

1) Program Pengembangan Diri

Dalam program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan
budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan
sehari-hari sekolah, yaitu melalui hal-hal berikut.

a. Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus
menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah upacara pada
hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut,
dan lain-lain) setiap hari Senin, beribadah bersama atau shalat bersama setiap
dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran,
mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman.

b. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu
juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan

27

yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik
yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya
perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus
melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang
tidak baik itu. Contoh kegiatan itu: membuang sampah tidak pada tempatnya,
berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku
tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh.

Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak
baik dan yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi,
menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olah raga atau kesenian,
berani menentang atau mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji.

c. Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain
dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga
diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru
dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku
dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru
dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama
memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu.
Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur
kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga
kebersihan.

d. Pengkondisian

28

Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa
maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah
harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai
tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar
ditempatkan teratur.

2) Pengintegrasian dalam mata pelajaran

Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan
dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut
dicantumkan dalam silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam silabus
ditempuh melalui cara-cara berikut ini:

a. Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar
Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
tercantum itu sudah tercakup di dalamnya;
b. Memperlihatkan keterkaitan antara SK dan KD dengan nilai dan indikator
untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan;
c. Mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel 1 itu ke
dalam silabus;
d. Mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP;
e. Mengembangkan proses pembelajaran peserta didik secara aktif yang
memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi
nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan

29

f. Memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan
untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.

3.

Pengembangan Proses Pembelajaran

Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa menggunakan pendekatan
proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat pada anak; dilakukan melalui
berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat.

1. Kelas, melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang
dirancang sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan
dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak selalu
diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada
pendidikan

budaya

dan

karakter

bangsa.

Meskipun

demikian,

untuk

pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin,
mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat melalui
kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pegembangan beberapa nilai
lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif
memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan
untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai itu.

2. Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh peserta didik,
guru, kepala sekolah, dan tenaga administrasi di sekolah itu, direncanakan sejak
awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan
sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat

30

dimasukkan ke dalam program sekolah adalah lomba vocal group antarkelas
tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato bertema
budaya dan karakter bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa,
lomba olah raga antarkelas, lomba kesenian antarkelas, pameran hasil karya
peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa, pameran foto hasil karya
peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa, lomba membuat tulisan, lomba
mengarang lagu, melakukan wawancara kepada tokoh yang berkaitan dengan
budaya dan karakter bangsa, mengundang berbagai narasumber untuk berdiskusi,
gelar wicara, atau berceramah yang berhubungan dengan budaya dan karakter
bangsa.

3. Luar sekolah, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti
oleh seluruh atau sebagian peserta didik, dirancang sekolah sejak awal tahun
pelajaran, dan dimasukkan ke dalam Kalender Akademik. Misalnya, kunjungan ke
tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, menumbuhkan
semangat kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan
kepedulian dan kesetiakawanan sosial (membantu mereka yang tertimpa musibah
banjir, memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum, membantu
membersihkan atau mengatur barang di tempat ibadah tertentu).

4.

Penilaian Hasil Belajar

Penilaian pencapaian pendidikan nilai budaya dan karakter didasarkan pada
indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester
dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya
mengenai apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan” maka guru

31

mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik
itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan
perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan
dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki
gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman
sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum
teman sekelasnya.

Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di
sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya
perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan
guru. Selain itu, guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan
atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan
menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan
terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai
kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.

Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya, guru
dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang pencapaian suatu
indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan atau pertimbangan itu dapat
dinyatakan dalam pernyataan kualitatif sebagai berikut ini.

BT: Belum Terlihat (apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda
awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator).

32

MT: Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya
tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum
konsisten).
MB: Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai
tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten).
MK: Membudaya (apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku
yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten).

Pernyataan kualitatif di atas dapat digunakan ketika guru melakukan asesmen
pada setiap kegiatan belajar sehingga guru memperoleh profile peserta didik
dalam satu semester tentang nilai terkait (jujur, kerja keras, peduli, cerdas, dan
sebagainya). Guru dapat pula menggunakan BT, MT, MB atau MK tersebut dalam
rapor.

Posisi nilai yang dimiliki peserta didik adalah posisi seorang peserta didik di akhir
semester, bukan hasil tambah atau akumulasi berbagai kesempatan/tindakan
penilaian selama satu semester tersebut. Jadi, apabila pada awal semester seorang
peserta didik masih dalam status BT sedangkan pada penilaian di akhir semester
yang bersangkutan sudah berada pada MB maka untuk rapor digunakan MB. Ini
membedakan penilaian hasil belajar pengetahuan dengan nilai dan keterampilan.

33

DAFTAR PUSTAKA

Cartledge, G. & Millburn, J. F. (1995). Teaching Social Skills to Children &
Youth. Innovative Aproach, 3rd ed. Massachussets: Allyn & Bacon.
Depdiknas. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Depdiknas RI. Jakarta.
Dahlan, Ahmad. 2010. Keterampilan Proses Sains. [Online] tersedia:
https://www.eurekapendidikan.com/2014/10/keterampilan-proses-sains.html.
03/11/2010. 21:27 WIB.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. PT Rineka Cipta.
Jakarta.
Dwiyogo, Wasis D. 1999. Pelatihan dan Lokakarya Nasional Angkatan I
Metodelogi Penelitian Pengembangan 2001(Pengembangan Model Strategi
Pembelajaran pada Kelas Unggulan Sekolah Dasar di Jawa Timur).
Universitas Negeri Malang. Malang.
Edukasi, Wawasan. 2010. Pengertian Kurikulum, Fungsi dan Landasan
Pengembangan Kurikulum. [Online] tersedia: http://wawasanedukasi.web.id/2017/10/kurikulum.html. 16/10/2011. 00:35 WIB.
Gimpel, G.A. & Merrell, K.W. (1998). Social Skill of Children and Adolescents:
Conceptualization, Assessment, Treatment. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates Publisher. [On line] tersedia: http://www.questia.com/PM.qst?a
=o&d=27773641. 16/10/2011. 00:35 WIB.
Ibrahim, M., dan Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. University
Press. Surabaya.
Johnson, D. & Johnson, R. (1999). Learning Together and Alone: Cooperative,
Competitive, and Individualistic Learning. Boston: Allyn & Bacon.
Kemendiknas. 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan
Karakter Bangsa. Kemendiknas RI. Jakarta
L’abate, Luciano & Milan, Michael A. (1985). Handbook Of Social Skill Training
And Research. New York: John Wiley dan Sons, Inc.
Mahmuddin. 2010. Belajar Jadi Manusia: Komponen Penilaian Keterampilan
Proses Sains. [On line] tersedia: http://mahmuddin.wordpress.com.
03/11/2010. 21:27 WIB.

34

Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru. PT. Remaja Rosdakarya Offset. Bandung.
Mulyasa, E. 2009. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan:
Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Muqarrobin, Firdaus. 2010. Definisi dan Pengertian Belajar Menurut Para Ahli.
[Online] tersedia: http://wawasan-edukasi.web.id/2015/06/definisi-belajarmenurut-para-ahli.html. 16/10/2011. 00:36 WIB.
Mu’tadin, Z. 2002. Mengembangkan Ketrampilan Sosial Pada Remaja. [On line]
tersedia: http://www.epsikologi.com/remaja/htm. 16/10/2011. 00:36 WIB.
Nuh, Usep. 2010. Fisika SMA Online: Keterampilan Proses Sains. [On line]
tersedia: http://fisikasma-online.blogspot.com. 03/11/2010. 21:27 WIB.
Nurohman, Sabar. 2010. Penerapan Seven Jump Method (SJM) Sebagai Upaya
Peningkatan Keterampilan Proses Sains Mahasiswa. Yogyakarta: FMIPA
Universitas Negeri Yogyakarta.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Kencana. Jakarta.
Sadiman, Arief S. 2008. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan
Pemanfaatannya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Penerbit Alfabeta. Bandung.
Suyanto, Eko. 2009. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2009:
Pengembangan Contoh Lembar Kerja Fisika Siswa dengan Latar
Penuntasan Bekal Awal Ajar Tugas Studi Pustaka dan Keterampilan Proses
Untuk SMA Negeri 3 Bandarlampung. Universitas Lampung. Lampung
Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhani. Gema Insani. Jakarta.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,
Landasan, dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Kencana. Jakarta.
Uno, Hamzah B. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Bumi
Aksara. Jakarta.