Pluralitas Allah Israel Interpretasi Dar

Pluralitas Allah Israel: Interpretasi Dari Perspektif Feminisme

Pendahuluan

Berfokus kepada masyarakat Israel yang tergambar dalam Kitab Ibrani, kita menemukan apa yang disebut “sejarah” sebagai sejarah yang ditulis oleh kelompok pemenang- masyarakat

dominan yang didominasi oleh kaum pria yang otoritarian dalam konteks Israel kuno. Hal ini berkonsekuensi pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia wanita Israel kuno – ketika melihat teks-teks tersebut melalui kacamat kaum pria sebagai penulis teks. Kesulitan semakin bertambah dengan tidak adanya bukti langsung mengenai apa yang wanita pikirkan, perkatakan, atau rasakan pada saat itu, selain cetak biru dari kaum pria mengenai keadaan para wanita yang menghasilkan bias informasi. Untuk itu bias informasi ini harus dikenali terlebih dahulu.

Seperti apakah bias informasi tersebut? Pertama, tentunya komposisi kitab Ibrani yang sangat maskulin yang ada saat ini yang secara otomatis tidak memberikan ruang bagi berita kaum feminin. Kedua, Pentatuk yang sangat rumit dan yang komponennya sangat kuno, dalam peredaksiannya pada akhirnya merupakan produk dari aktivitas kaum imam (hanya pria yang boleh jadi imam). Sebagian kitab sejarah berasal dari kalangan kerajaan di Yerusalem termasuk di dalamnya para birokratnya-mulai dari raja sampai kepada pejabat-pejabat kerajaan yang notabene adalah laki-laki. Sangat jarang suara wanita terdengar. Memang beberapa puisi awal dialamatkan kepada para wanita; dan satu kitab, yaitu Kidung Agung dipercaya merupakan hasil komposisi wanita. Namun bagian terbesar dari kepenulisan biblika hanya dialamatkan kepada para penulis pria. Aspek androsentris dari kitab Ibrani memiliki beberapa implikasi dalam upaya untuk mengetahui dunia wanita: pertama, sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada dunia wanita dalam kitab Ibrani, selain mereka umumnya hanya disebut sebagai bagian dari

“keseluruhan Israel,” yang membuktikan para penulis kitab Ibrani sangat minim dalam berfokus kepada wanita. Kedua, perspektif yang menjadi isu dalam kehidupan wanita selalu dilihat dari kacamata kaum pria, oleh karena itu kitab Ibrani tidak mungkin menjadi representasi dari situasi sebenarnya dari budaya wanita. Ketiga, kitab Ibrani secara alamiah sebagian besar hanya menitik-beratkan kepada kehidupan umum atau kehidupan nasional yang berfokus kepada “keseluruhan Israel,” yang membuktikan para penulis kitab Ibrani sangat minim dalam berfokus kepada wanita. Kedua, perspektif yang menjadi isu dalam kehidupan wanita selalu dilihat dari kacamata kaum pria, oleh karena itu kitab Ibrani tidak mungkin menjadi representasi dari situasi sebenarnya dari budaya wanita. Ketiga, kitab Ibrani secara alamiah sebagian besar hanya menitik-beratkan kepada kehidupan umum atau kehidupan nasional yang berfokus kepada

Sejak awal para sarjana biblikal secara alami terlatih untuk menelaah melalui metode sejarah dan linguistik, mereka secara alamiah berkonsentrasi kepada teks-teks biblika daripada bukti-bukti artifaktual. Hasil yang diperoleh adalah interpretasi sejarah mengenai agama Israel kuno dan bukan pada deskripsi dari praktek religius yang benar-benar pernah terjadi. Seharusnya sejarah yang berfokus utama pada teks-teks suci (iman) yang internal (subjektif), dan bukti-bukti arkeologi (material) yang dapat memberikan bukti-bukti eksternal dimana data tidak sebatas fakta-fakta, melainkan fakta-fakta dalam konteks; yaitu fakta yang memiliki arti sesungguhnya ( meaningful facts) karena diinterpretasikan sehingga lebih objektif dan independen, diperkenalkan melalui antropologi beserta aspek terkaitnya seperti, budaya, ekonomi, politik, environment , dan sebagainya.

Pada masa lampau, para arkeolog yang bekerja di Timur Tengah secara tipikal hanya tertarik merelasikan penemuan mereka dengan berusah memberikan iluminasi pada teks-teks biblical dan mengklarifikasi hubungan Israel dengan Negara sekelilingnya. Sehingga pada akhirnya para sejarawan menggunakan material yang ditemukan dari penggalian mereka sekedar untuk memberikan supplement - atau membenarkan/ menguatkan teks-teks Alkitab. Pada tahun- tahun belakangan ini, penekanan lebih diberikan pada persoalan bagaimana menempatkan informasi yang diperoleh dapat memberikan kontribusi kepada rekonstruksi keseluruhan dari dunia sosial Israel kuno. Sebagai contoh, ekonomi dan teknologi yang berdasarkan kepada cara Pada masa lampau, para arkeolog yang bekerja di Timur Tengah secara tipikal hanya tertarik merelasikan penemuan mereka dengan berusah memberikan iluminasi pada teks-teks biblical dan mengklarifikasi hubungan Israel dengan Negara sekelilingnya. Sehingga pada akhirnya para sejarawan menggunakan material yang ditemukan dari penggalian mereka sekedar untuk memberikan supplement - atau membenarkan/ menguatkan teks-teks Alkitab. Pada tahun- tahun belakangan ini, penekanan lebih diberikan pada persoalan bagaimana menempatkan informasi yang diperoleh dapat memberikan kontribusi kepada rekonstruksi keseluruhan dari dunia sosial Israel kuno. Sebagai contoh, ekonomi dan teknologi yang berdasarkan kepada cara

Untuk itu, penggunaan ilmu-ilmu social; seperti arkeologi, dipercaya dapat memberikan deretan informasi impresif yang meningkatkan pengetahuan dan pengertian kita terhadap teknologi, ekonomi, sosial, dan kehidupan intelektual dari dunia masyarakat kuno, seperti bagaimana dan mengapa perubahan dapat terjadi. Pengetahuan semua hal tersebut di atas tidak mungkin diperoleh dari sekedar membaca teks-teks suci melalui interpretasi literer ataupun teologis. Arkeologi juga dapat membantu untuk merekonstruksi ulang keadaan lingkungan Palestina kuno (topografi, iklim, tanah dan sumber air), sistem penopang kehidupan, pola tinggal, demografi, dan sejenisnya yang juga tidak dapat direkonstruksi dari teks-teks biblical. Bagi dunia Palestina kuno, hal ini berguna untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai asal dan keberadaan Israel kuno, transisi dari bentuk tribal kepada bentuk Negara kerajaan, juga bentuk keadaan social Yehuda setelah reformasi, dan lain sebagainya. Kelebihan lain dari arkeologi adalah informasi yang diberikan lebih bersifat objektif karena tidak melalui proses seleksi, editing, dan redaksional seperti yang telah dialami oleh teks-teks kitab Ibrani pada umumnya.

Hal ini bukan berarti meminimalkan peran kitab Ibrani (Alkitab), namun harus disadari bahwa Alkitab muncul dari realitas sosiopolitis yang tidak dapat dimengerti secara lengkap apabila terpisah konteks sosial dengan masyarakat itu sendiri. Dan karena relasinya ini, jika digunakan secara kritis maka teks Alkitab sangat berpotensi memberikan informasi budaya dan social yang lebih baik. Dalam beberapa teks yang ada, tradisi Alkitab menjadi model atau gagasan yang nyata. Namun demikian, walaupun Alkitab dapat memberikan kita informasi mengenai “ide, pikiran” dari suatu bentuk kebudayaan yang nyata terjadi di bangsa Israel dalam waktu-waktu yang berbeda, namun hal ini bukan berarti telah merekam “sejarah” dalam pengertian “sejarah” yang dimengerti manusia abad 20. Melainkan “sejarah” yang tercatat dalam narasi biblical, apakah mereka mengandung infomasi yang akurat atau tidak, haruslah pertama dan terutama dimengerti sebagai mewakili ide atau gagasan ( representing notions) dan Hal ini bukan berarti meminimalkan peran kitab Ibrani (Alkitab), namun harus disadari bahwa Alkitab muncul dari realitas sosiopolitis yang tidak dapat dimengerti secara lengkap apabila terpisah konteks sosial dengan masyarakat itu sendiri. Dan karena relasinya ini, jika digunakan secara kritis maka teks Alkitab sangat berpotensi memberikan informasi budaya dan social yang lebih baik. Dalam beberapa teks yang ada, tradisi Alkitab menjadi model atau gagasan yang nyata. Namun demikian, walaupun Alkitab dapat memberikan kita informasi mengenai “ide, pikiran” dari suatu bentuk kebudayaan yang nyata terjadi di bangsa Israel dalam waktu-waktu yang berbeda, namun hal ini bukan berarti telah merekam “sejarah” dalam pengertian “sejarah” yang dimengerti manusia abad 20. Melainkan “sejarah” yang tercatat dalam narasi biblical, apakah mereka mengandung infomasi yang akurat atau tidak, haruslah pertama dan terutama dimengerti sebagai mewakili ide atau gagasan ( representing notions) dan

Hal penting lainnya yang harus dipertimbangkan adalah lokasi sosial dan maksud dari para pihak yang bertanggung jawab dalam penulisan dan pengediting teks, serta siapa pendengarnya. Contoh; para penulis biblikal sebagian besar adalah kaum pria dan hampir selalu berasal dari klas kecil dan elit. Maka, literature yang mereka ciptakan (bangun), sebagian besar merefleksikan dan lebih concern kepada gender dan klas mereka sendiri daripada masyarakat umum. Kelompok yang berbeda akan memiliki perbedaan kepentingan dan tentunya perbedaan wawasan dan gagasan ( worldview) . Kompetisi kepentingan ini seringkali memunculkan propaganda. Para penguasa elit yang berkuasa misalnya, sering mencari cara untuk mempertahankan kekuasaan mereka melalui intrik dan propaganda. Jadi, apapun ideologi dan kepercayaan yang direfleksikan dalam literature biblical, tidaklah mencerminkan kepercayaan dan ideology dari masyarakat diluar klas elit tersebut (suara mayoritas).

Untuk itu, sumbangsih ilmu-ilmu sosial (khususnya arkeologi) sebagai provider hard data menjadi sangat penting, apalagi jika dihubungkan dengan dunia wanita Israel kuno yang selama ini kurang mendapat tempat dalam dunia kitab Ibrani yang bias gender. Penggalian arkeologi dan bukti-bukti yang ditemukan pada akhir-akhir ini, khususnya mengenai peran dan fungsi dewi-dewi (Allah Asherah) sebagai sesembahan utama umat Israel (bersama-sama dengan Yahweh), telah memberikan pemahaman dan nuansa baru dalam upaya mengerti sistem keagamaan Israel kuno- terutama pentingnya peran wanita dalam masyarakat Israel yang tercermin dari Allah feminine yang popular dan normatif di tengah-tengah masyarakat sebagai objek dan subjek sesembahan umat Israel berdampingan dengan Yahweh, Ba’al, dan dewa-dewi Untuk itu, sumbangsih ilmu-ilmu sosial (khususnya arkeologi) sebagai provider hard data menjadi sangat penting, apalagi jika dihubungkan dengan dunia wanita Israel kuno yang selama ini kurang mendapat tempat dalam dunia kitab Ibrani yang bias gender. Penggalian arkeologi dan bukti-bukti yang ditemukan pada akhir-akhir ini, khususnya mengenai peran dan fungsi dewi-dewi (Allah Asherah) sebagai sesembahan utama umat Israel (bersama-sama dengan Yahweh), telah memberikan pemahaman dan nuansa baru dalam upaya mengerti sistem keagamaan Israel kuno- terutama pentingnya peran wanita dalam masyarakat Israel yang tercermin dari Allah feminine yang popular dan normatif di tengah-tengah masyarakat sebagai objek dan subjek sesembahan umat Israel berdampingan dengan Yahweh, Ba’al, dan dewa-dewi

Bab I Sistem Pantheon Dan Sidang Ilahi Ugarit

Dengan diperkenalkannya dokumen Ugarit V pada tahun 1968, maka studi mengenai Kitab Ibrani dan teks-teks Ugarit memasuki babak baru. Frank Moore Cross dalam karya monumentalnya Canaanite Myth and Hebrew Ephic , mendemonstrasikan adanya hubungan ( sharing ) identitas keagamaan antara Israel dan Kanaan yang sebelumnya dianggap beroposisi. El dari Ugarit oleh F.M. Cross dianggap sama seperti “Allah Para Patriak” dalam narasi Alkitab. El adalah Allah patriakal dan bukan Allah kerajaan, sekaligus ia melihat hubungan antara El dan Ba’al dalam teks Ugarit sebagai bersekutu dan bukan berkonflik. Bagi Cross, El jika dihubungkan dengan Yahweh, maka kedua figur ini merupakan Allah yang sama dimana nama YHWH hanya berfungsi sebagai julukan dari El karena epitet tersebut dimengerti sebatas bentuk kausatif, seperti “Dia (El/Yahweh) yang menciptakan bala tentara surgawi,” dalam hal in karakter El yang mendapat penekanan. Dalam perkembangan selanjutnya, para ahli yang bekerja setelah dipublikasikannya Ugarit V pada tahun 1968, mulai mengerti dan mengakui bahwa berkembangnya agama Israel tidak dapat dipisahkan dari lingkungan Kanaan. Tidak ada lagi pemahaman bahwa agama Israel unik dan sejak awal sudah berkonflik dengan agama Kanaan. Proses ini dengan sendirinya memberikan pengertian baru terhadap pemahaman keilahian Israel.

Terminologi yang dipakai untuk menunjuk kepada konsep sidang ilahi dalam literatur Ugarit mengindikasikan bahwa konsep ini secara umum memiliki hubungan dengan El. Ada beberapa istilah sidang ilahi dalam naskah Ugarti seperti: istilah phr ’ilm (Cta: 29.11.7; Ug. V9.19), dan kalimat ‘Sidang Elohim” dalam bentuk phr bn ’ilm (Cta: 4.III.14), juga kalimat “perkumpulan Anak-Anak ’Ēl” dalam pola mphrt bn ’ilm (Cta: 30:3; 32.1.3.9.17.26.35). 1 Juga

ada istilah p-r yang banyak dipakai yang ditemukan di Ugarit, dipergunakan untuk menunjuk kepada kumpulan dewa tertentu yang berbicara atas nama suatu kelompok atau dewan di bawah sokongan mereka. Penggunan bahasa ini ketika ditujukan kepada kelompok dewa lain mungkin

1 Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epics, (Massachusetts: Harvard University Press, 1979), 154 1 Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epics, (Massachusetts: Harvard University Press, 1979), 154

biasa ditujukan kepadan sidang ilahi El ( dr ’il; dr bn ‘il; dr dt šmm; dr ‘il wp—r b‘l). El dikatakan memiliki tempat tinggal di suatu gunung kosmik yang sering dihubungkan dengan kesuburan, penciptaan, kumpulan sidang ilahi, tempat tinggal Allah maha tinggi, atau tempat di mana ia menunjukkan teofaninya. Dalam naskah Ugarit ada dua gunung penting yaitu gunung El, tempat dimana Allah membuat keputusan yang berhubungan dengan alam semesta; dan gunung Ba’al (zaphon) tempat dimana peperangan yang menentukan hidup dan mati. El juga dikatakan bertempat tinggal di antara dua mata air besar yang mengindikasikan bahwa tempat itu merupakan tempat pertemuan yang dilingkupi oleh dua samudra kosmis dalam lingkup laut primordial. Selain itu, ia juga dikatakan memiliki tempat tinggal berupa “tenda pertemuan.” Atau dala m “tenda kediaman/ tabernakel” yang kudus dan bukan dalam suatu struktur bangunan

permanent. 2 Disitu El duduk dan bertakhta di atas kerubim ’il yšb krbym. Konsep ini tentunya paralel dengan yang terdapat dalam teks 1 Sam. 4:4; 2 Sam. 6:2. 3 Anggota dari sidang ilahi ini

dalam naskah Ugarit ditandai dengan istilah ’ilm, Allah-Allah, bn ’ilm, anak-anak Allah, dan bn ’atrt, anak-anak Atirat. Gelar ’ilm yang disandang para dewa ini menunjukkan kekudusan

mereka dan sebagai bagian dari anak-anak El bny. Hanya ada dua dewa yang tidak mendapat gelar 4 ’ilm; Yamn yang diwakilkan oleh ml’ak, dan Ba’al yang disebut sebagai “anak Dagon.”

Dalam struktur kerajaan, pada bagian tertinggi ada El dengan Asherah (Athirat) merupakan pasangan dewa-dewi pencipta dan pemilik seluruh bn ill, merangkap sebagai orang tua. Lapis ke dua dihuni oleh dewa-dewi k osmic, Ba’al, Anat, Mot, Yamn, Shemesh/ Shapsu dan pembawa pesan lainnya. Lowel K. Handy menyebut kelompok ini sebagai “dewa-dewa aktif” yang fungsinya memberikan jaminan bahwa kehendak El dan Athirat terlaksana. 5

Level ketiga dihuni oleh para dewa “ahli” dalam bidang tertentu, yang dalam hal ini Kothar-wa-Hasis dikenal sebagai representasi level ini. Dia melayani dua level dewa di atasnya

2 E. Theodore Mullen Jr. The Divine Council in Canaanite and Early Hebrew Literature (Harvard: scholar Press, 1978), 134

3 F.M. Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic (Massachussets: Harvard University Press, 1973), 69 4 Ibid. 5 Lowell K. Handy, The Appearance of Pantheon in Judah : “The Triumph of Elohim By Diana Vikander Edelman,

ed., (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdsmans Publishing Company, 1996), 34 ed., (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdsmans Publishing Company, 1996), 34

Pada bagian terakhir, selain ml’ak, terdapat para dewa yang khusus melayani dewa lainnya, seper ti pembawa pesan allah. Mereka menjadi “firman hidup” dari dewa tertinggi yang memberi perintah. Mereka adalah juru bicara dewa pengutusnya. Mereka berada dalam lingkup kerajaan, namun tidak memiliki dominasi apapun walaupun mereka tetap dianggap sebagai dewa.

Bab II Sistem Pantheon dan Sidang Ilahi Israel

Para ahli evolusi teistik seperti F.M. Cross, Albrecht Alt, Roland De Vaux, D.N. Freedman, dan Max Weber, percaya bahwa prinsip evolusi teistik berasal dari adanya fakta agama dunia berkembang dari bentuk politeisme menuju monoteisme. 6 Dan satu hasil dari proses transisi

tersebut adalah Henoteisme. Penelitian Albrecht Alt, 7 soal Allah sesembahan Israel yang heterogen membuktikan Israel memang tidak memiliki sistem monotheisme dalam sistem kepercayaan mereka. Alt

Melihat ’Ēl yang biasa dihubungkan dengan tempat-tempat khusus seperti: ’ēl rō’î di Berlahai Roi (Kej.16:13), e ’ēl ‘ōlam di Bersyeba (Kej. 21:33), ’ēl ’ēlōhê yĩs rāėl di Sikhem (Kej. 33:20),

’ēl bêt - ’ēl di Betel (Kej.31:13; 35:7), ’ēl ‘’ēlyōn di Yerusalem (Kej. 14:19,22) dan ’ēl Śadday (Kej. 17:1-20); yang kemudian menjadi Allah Yahweh dalam berita Musa, originalnya adalah; Allah-Allah terpisah yang disembah oleh orang Israel mula-mula.

Istilah-istilah Kanaan dalam naskah Ugarit seperti: phr ’ilm, phr bn ’ilm, dan mphrt bn ’ilm, parallel dengan beberapa istilah Perjanjian Lama sepert: ‘ēdāt atau ădat,yang artinya sidang

ilahi (Maz. 82). Istilah ini parallel dengan terminology cdt dalam Epic Kirta (CTA:15.II.7.II).

6 Pandangan ini berlawanan dengan Stephen Langdon yang berkesimpulan bahwa Monoteisme mendahului Politeisme dan juga Henoteisme. Menurut dia sejarah civilization manusia adalah perubahan cepat dari

Monotheisme menuju Politeisme extreme dan tersebar secara luas dalam bentuk penyembahan evil spirit. Bukti ini dapat terlihat dari sitem keagamaan orang Sumer (yang mana budaya merekalah yang paling kuat memberi pengaruh kepada dunia kuno timur tengah). Melalu photographic inskripsi yang ditemukan yang menunjuk hampir kepada awal dari konsep kepercayaan yang manusia miliki ini menunjukkan bukti bahwa kepercayaan mereka adalah Monoteis (juga penggalian di Tell Asmar-Eshmuna mengkonfirmasi statement Langdon ini). Lihat artikel Zenit Harris Merril, Monotheism: The Original Religion Of Man, JSOTR-2002, 10-11

7 Albrecht Alt, Essay on Old Testament History and Religion, (Garden City-New York: Anchor Bible Books, 1966), 10-13

Amos 8:14, terdapat istilah dôr (perhimpunan) Yang dalam teks Kanaan disebut ` il/dr bn ` il. Istilah ini dipergunakan sebagai petunjuk umum untuk sebutan “sidang ilahi ‘ēl” dalam mitologi Kanaan (CTA:30.2; 32.1.2.9.17.25-26.34; 34.7). Yesaya menggunakan istilah mô‘ēd untuk menunjuk kepada “gunung Pertemuan,” yang dalam teks Ugarit (CTA:2.1) disebut har- mô‘ēd, sedangkan “kemah pertemuan ‘ēl disebut ’óhel mô‘ēd. 8 Untuk beberapa istilah Kanaan seperti

banū ’ili ( -im) dan ba nū qudši, dalam kitab suci Ibrani ditemukan paralelnya dengan sebutan

b e nê ’ēlîm (Maz. 29:1; 89:7); b e nê ělōhîm (Ul. 32:8); b e nê hā’ ělōhîm (Kej. 6:2.4; Ayb. 1:6; 2:1);

b e nê ‘elyôn (Maz. 82:6) dan kol- ělōhîm dalam Mazmur 97:7. Terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep “sidang ilahi” dalam literature ke dua bangsa ini sangat mirip. ’Ēl digambarkan sebagai bapa, raja, dan pengada dari semua ilah di Kanaan. Untuk itu, ’Ēl digambarkan juga sebagai hakim bijaksana yang duduk sebagai pemimpin dari suatu sidang yang disebut sidang ilahi berupa dewa-dewa yang

mengelilinginya. Mazmur 82 membuktikan sekaligus menyimpulkan bahwa divine pluralism tidak sebatas masalah gramatikal saja, karena Yahweh menunjuk kapada “ God of gods ” atau digunakan sebagai definite artikel ha elohim (the God) untuk sebutan Yahweh, atau bene elohim (anak-anak

Allah) untuk allah-allah lainya (Kej. 6:2, ayub1:6). 9 Mazmur 82 yang diperkirakan dibuat pada sekitar abad ke 8 SM, dalam terjemahan LAI secara vulgar diberi judul “Allah dalam sidang

ilahinya” untuk menunjukkan bahwa penafsir LAI sadar dan membenarkan adanya konsep sidang ilahi dalam Perjanjian Lama. Berbeda dengan adegan sidang ilahi lainnya, pada bagian ini El (walaupun banyak ahli melihat El disini sebagai YHWH, namun sidang di sini disebut sidang EL) digambarkan sedang berkonflik dengan anggota sidang lainnya dan akan menjatuhkan hukuman karena adanya pelanggaran keadilan.

Adegan dalam Mazmur ini membangun pemahaman teologis mengenai El/ YHWH sebagai penguasa universal. Namun tidak berarti ide monoteisme otomatis muncul, akan tetapi penghukuman yang diberikan terhadap Allah bangsa-bangsa dan tunduk di bawah kuasa EL semata menujukkan karakternya sebagai penguasa embedded. Keberadaan Allah lain tidak dipungkiri, namun kuasa kosmos yang mereka miliki dieliminasi karena dianggap usang. Semua

8 Victor H. Matthews, Social World of Ancient Israel, (Massachsetts: Hendrickson Publisher Inc), Hal. 121-123 9 Gerald Cooke, The Sons of God, Z.F.A.W. 1964, 33 8 Victor H. Matthews, Social World of Ancient Israel, (Massachsetts: Hendrickson Publisher Inc), Hal. 121-123 9 Gerald Cooke, The Sons of God, Z.F.A.W. 1964, 33

McGinn, 10 melihat beberapa terminologi Ugarit seperti istilah td dan dm muncul dengan frekuensi sering dalam Kitab Ibrani. Kebanyakan terminology ini muncul dengan pengertian “jemaah/ kumpulan Israel.” (Kel. 12:3; Bil. 16:9) atau istilah “jemaah anak-anak Israel” (kel. 16:1,9; Im. 16:5; Bil. 14:5). Istilah ini juga muncul untuk menunjuk “suku-suku Israel sebagai jemaah YHWH” (Mzm. 7:8). Pada intinya, istilah ini menujuk kepada “ assembly, company, band, gathering” yang dalam Mazmur 82:1 mendapat penekanan bahwa kumpulan ini memiliki

substansi ilahi. Sedangkan istilah dm lebih menunjuk kepada suatu “tempat pertemuan.” Selain itu, ada istilah rwd yang memiliki arti “lingkaran.” Istilah ini bisa ditujukan kepada “lingkaran tertentu” yang banyak terdapat dalam Mzm. 14:4; 49:20; 73:15; 84:11; 95:10;112:2; Yes 53:8; Yer 7:29; 2:31; dan Ams. 30:11-14.

Kita juga menemukan kata yang sangat umum dipakai untuk menyebut suatu sidang dengan istilah dws . Istilah ini muncul dalam Maz 8:8; Yer 23:18, 20; Amos 3:7 dan Ayub 15:8 dengan arti “secret counsel” atau “ secret speech ” yang mengidikasikan bahwa kelompok ini

memiliki tugas sebagai penasehat (Maz 55:15). Dalam Mazmur 89:8, kumpulan ini menujuk kepada suatu sidang dari yang kudus .

Nabi Micah melalui penglihatannya melihat sebuah pertemuan (1 Raja-Raja 22: 19-38). Pada bagian ini terlihat Allah secara aktif mencari advice and consent dari anggota sidang ilahi sebelum memberikan suatu keputusan penting.

“Mikah menggambarkan Allah yang sedang mengumpulkan nasehat dari anggota sidang ilahinya (1 Raj. 22:20). Dia bertanya bagaimana Ahab harus dihukum karena berperang dengan kesombongannya sendiri. Mereka maju tanpa meminta otorisasi dari nabi Allah. Diskusi berlangsung di antara anggota sidang ilahi tentang bagaimana seharusnya menjalankan kehendak Allah. Micah menggambarkan perbincangan itu dengan “yang seorang berkata begini, yang lain berkata begitu,” namun ia mengerti bahwa mereka sedang membuat suatu rekomendasi penting

Visi ini dimulai dengan penglihatan Yahweh yang duduk di atas tahtanya didampingi 2 raja lainnya (istilah “tahta” sebetulnya sudah menujuk kepada suatu sistem pemerintahan

lengkap dalam bentuk hirarki). Mikah melaporkan bahwa semua anggota sidang ilahi sedang

10 Mc. Ginn, The Divine Council and Israelite Monotheism, (Hamilton, Ontaria: Mc. Master University, 2005), 76-

Penglihatan Mikah ini menunjukkan sistem pemerintahan Yahweh tidak bersifat monistik karena ada partisipan lain di sekitarnya. Penulis kitab percaya bahwa ada semacam dewan di surga di mana Yahweh berkuasa yang dapat mempengaruhi keputusan Yahweh. Bagi orang Israel kuno, peristiwa ini merupakan hal nyata yang memberikan otoritas bagi berita yang dibawa Mikah. Sehingga, berita apapun yang disampaikan Mikah (walaupun tidak ada nilai kebenarannya seperti yang terjadi dalam kasus raja Ahab ini), namun, tetap dipercaya sebagai berita Allah. Dengan ini kita melihat para nabi memegang peran penting sebagai ujung tombak atau pembawa pesan dari keputusan sidang ilahi tersebut. Yeremiah mengklaim otoritasnya berasal dari fakta bahwa ia secara fisik pernah berada di tengah-tengah dewan sidang ilahi.

(Yeremiah 23:18, 22): 11 “Sebab siapakah yang hadir dalam musyawarah Tuhan, sehingga ia memperhatikan dan mendengarkan firmanNya?...sekiranya mereka hadir dalam dewan musyawarahKu, niscayalah mereka akan mengabarkan firmanKu kepa da umatKu.”

Yesaya 6:1-13, dengan jelas menunjukkan konsep sidang ilahi yang dimilikinya memiliki motif sama dengan konteks Mikah. Kalimat pembuka dimulai dengan kalimat “ I saw the Lord sitting on a throne, ” yang mengindikasikan Allah sedang berkumpul dengan anggota-anggota kerajaannya. Ada setidaknya 6 persamaan ide antara penglihatan Mikah dan Yesaya ini: (1) ke

dua- duanya menggambarkan pengalaman mereka sebagai “melihat/ penglihatan kepada YHWH” (2) Dari kedua penglihatan tersebut YHWH dikatakan duduk di tahtanya (3) ada anggota sidang ilahi yang duduk/ berdiri sekitarnya (4) YHWH mencari sukarelawan (5) ada sukarelawan yang datang dan (6) sang sukarelawan diberi tugas kemudian pergi. Pembagian ini juga dilakukan ole John E.C. Kingsbury, namun dalam 5 bagian: (1) YHWH sebagai raja duduk di tahtanya (2) makhluk surgawi lain berada sekitarnya (3) semua adegan terjadi melalui penglihatan (4) hasil meeting diberitakan dalam cerita adegan surgawi dan (5) adegan selalu diasosiasikan dengan

pesta agrikultur atau diseting karena peristiwa tertentu. 12 Sebagai kontras dari cerita Mikah, di sini Yesaya dikatakan tidak pasif karena ia langsung

mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan. Memperhatikan hal ini, kita teringat naskah Ugarit

11 Ibid, Mc. Ginn, The Divine Council and Israelite Monotheism, 62 12 John E.C. Kingsbury, The Prophets and the Council of Yahweh, JBL 83 (1964), 279-286 11 Ibid, Mc. Ginn, The Divine Council and Israelite Monotheism, 62 12 John E.C. Kingsbury, The Prophets and the Council of Yahweh, JBL 83 (1964), 279-286

Yesaya 40:1-8 yang merupakan produk pembuangan, dapat dilihat sebagai Mazmur yang menggunakan konsep sidang ilahi untuk menyatakan bahwa YHWH dengan segenap anggota sidang ilahi berpartisiapasi dalam rencana Tuhan untuk membebaskan Israel dari pembuangan. Untuk itu, seorang pembawa pesan telah dikirim, karena Allah sedang melakukan tindakan baru yang dalam bahasa sang nabi; “peristiwa” baru akan terjadi. Nampaknya para pendengar

Deutero Yesaya ini harus bekerja keras untuk menyusun dunia narasi sidang ilahi yang dipakai ini, karena lebih mudah orang pada jaman Mikah untuk mengerti konsep teresebut dibanding mereka yang hidup pada era pembuangan.

Mazmur 89:6-9 jika diperhatikan dengan seksama berisi beberapa narasi berbeda; ayat- ayat awal memiliki parallel dengan 2 Sam.7:11-16, mengenai perjanjian Daud dengan Allah. Ayat 24-37 bernuansa propetik, ayat 39-52 (yang merupakan inti Mazmur ini) beisi ratapan pemazmur. Dan ayat 6-9 yang jadi pembahasan McGinn, merupakan berita mitologi yang menggambarkan fungi dari dewan ilahi yang secara terbatas memuja dan meninggikan YHWH, ia ditinggikan di atas dunia, firmannya tetap bahkan mengatasi laut, 13 segenap sidang

meninggikan YHWH sebagai Allah tertinggi di antara Allah lainnya walaupun perjanjian yang telah dibuat denganNya nampak telah gagal. Akan tetapi konfidens kepada YHWH harus tetap dipertahankan, karena tidak ada yang seperti dia. Tidak ada yang dapat menandingi kuasa dan

kekuatannya. 14

13 Gambaran Allah mengatasi laut, menunjukkan ia menguasai bahkan sampai dunia monster yang dalam hal ini dilukiskan dikuasai oleh Yamn dalam teks Ugarit.

14 Penulis melihat hal yang paling mirip antara El Ugarit dengan YHWH Israel adalah peranan yang dipakai oleh ke dua penguasa tersebut. Ke dua-duanya sering disebut sebagai pencipta, raja, penguasa segala-galanya, pahlawan

Dari pembahasan yang sudah dilakukan, sangat jelas bahwa konsep sidang ilahi merupakan elemen penting dalam kosakata teologi Perjanjian Lama. Dengan mengikuti pola Ugarit, diketahui bahwa dewan ilahi ini memiliki tempat-tempat pertemuan khusus yang walaupun teks-teks Ugarit dan teks-teks Kitab Ibrani tidak menujukkan lokasi khusus, namun diketahui bahwa tempat pertemuan tersebut merupakan tempat kudus dengan nuansa surgawi yang dalam teks Ugarit disebut gunung kudus (gunung Zapon) dengan dua mata air yang selalu mengalir, serta adanya suatu tabernakel tempat pertemuan. Demikian pula dalam naskah Ibrani, YHWH dikatakan berdiam di gunungnya yang kudus (Zion) dan juga dalam tabernakel. Masing- masing tempat itu memiliki tahta; yaitu tahta tempat El dan YHWH berdiri ditengah anggota sidang ilahinya.

Para anggota sidang ilahi sangat bervariasi baik julukan maupun jumlah (nampaknya malaikat memiliki porsi jumlah terbesar). Tempat tertinggi diduduki El-Ashera (Ugarit) dan YHWH/ El-Asherah (Israel), yang memiliki kuasa terbesar sebagai pencipta dan penopang alam semesta beserta seisinya. Sering juga kita mengidentifikasi adanya satu “kumpulan” dengan sebutan yhwh tzebaot yang mengelilingi tahta El. Kumpulan ini umumnya disebut “bala tentara surgawi” yang berdiri sekeliling takhta. Mayoritas ahli menyebut kumpulan ini sebagai tentara dalam arti sesungguhnya.

Selain itu, kita juga melihat bagaimana Yesaya menujuk kepada satu sosok yang disebut Serafim; suatu makhluk dengan tiga pasang sayap yang berdiri di dekat Tuhan. Tokoh ini digambarkan menutupi wajahnya dengan kedua sayapnya ketika terbang dengan sepasang sayap lainnya. Mereka bernyanyi bagi Tuhan, merayakan kekudusannnya, yang menunjukkan ke transendesian Allah.

yang gagah perkasa dalam Kitab Ibrani. Bahkan jika kita memperhatikan kata El dalam Kitab Ibrani, maka lebih sering ia disebut sebagai Allah Israel, padahal sebagai dewa Kanaan, tentunya ada perbedaan di antara mereka. Namun kita tetap melihat El dan Yahweh sebagai Allah Israel.

Bab III Yahweh Versus Asherah

Pluralisme Allah di Israel pada era bait Allah pertama (bahkan masih bertahan sampai era Yesus), bermuara pada pemahaman bahwa Israel tidak pernah mengalami era monotheisme seperti yang dipikirkan orang modern saat ini. Apalagi istilah montoheisme yang merupakan produk abad pertengahan harus diuji ke-validitasiannya apabila ditarik mundur (dipergunakan) untuk menjelaskan keadaan sosial masyarakat yang ribuan tahun sebelumnya. Selain itu, gambaran pluralisme ilah Israel tentunya memberikan ruang lebih luas terhadap pentingnya penyembahan ilah-ilah feminine – khususnya Asherah dalam masyarakat Israel kuno yang tercermin dalam sistem agama mereka. Sebab tidak semua orang Israel menyembah Yahweh

William Dever dalam artikelnya A Temple Build For Two , mempublikasikan beberapa penemuan terbaru arkeologi, dan yang terbaru adalah apa yang ia sebut “ House of Shrine ,” yang

diklaim Dever member bukti bahwa YHWH Allah Israel memiliki pasangan. 15 Sepanjang artikel yang dibuatnya, Dever mempresentasikan pembaca artifak yang ditemukan dalam jumlah besar

serta bervariasinya house of shrines yang ditemukan di seluruh Israel; khususnya di daerah Transjordan dan Palestina yang menurutnya dikhususkan bagi Asherah-Atirat yang kultusnya dipraktekkan masyarakat Israel pre-exilic. Dalam tiap-tiap house of shrine itu terdapat tahta, dengan dua kursi kembar yang diletakkan dan diperuntukkan bagi YHWH dan Asherah. Dua pohon palem menopang atap dari ruangan tersebut, dan di bagian depan terdapat dua patung

singa bertengger tepat di bawah kaki pohon palem tersebut. 16 Inilah bukti yang menggambarkan system politheistik Israel. Faktanya, Israel tidak saja

menyembah YHWH, atau YHWH dengan Asherah, namun mereka menyembah seluruh panteon yang disebut “dewan ilahi” Allah. Jika kita menghubungkan kepercayaan Israel ini dengan

berita para nabi; khususnya para nabi awal dan akhir, serta berita Deuteronomi yang memahami Israel sebagai penganut monoteisme, maka mun cul pertanyaan: “apa muatan dibalik pernyataan para nabi tersebut, khususnya kaum Deuteronomis yang melakukan Reformasi seperti yang dicatat dalam kitab Raja- Raja dan kitab Tawarik?” Benarkah agama Israel pada era bait Allah pertama adalah murni agama Monoteisme YHWH-patriakisme seperti yang diklaim kitab Ibrani?

15 William Dever, A Temple Build For Two, (Biblical Archaeology Review, Vol 23 No. 2. March/ April 2008, 55-56 16 Singa dan pohon palem (pohon kehidupan) selalu diasosiasikan dengan figure Asherah.

Ataukah sistem agama Israel politeistik sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan melalui ilmu arkeologi yang dibantu dengan interpretsi biblical arkeologi? Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, penulis memberikan bukti-bukti hard data melalui metode interpretasi material kultur; khususnya yang berhubungan dengan Asherah sebagai Allah sesembahan resmi Israel dan Yehuda era monarkhi.

Peran dan Fungsi Asherah di Israel

Barangkali yang paling banyak didiskusikan dan juga paling banyak menuai kontroversi adalah bukti dari penemuan arkeologi berupa inskripsi di Tell Kuntilet Ajrud. Tell ini ditemukan

pada Oktober 1975 dan Mei 1976 oleh arkeolog Israel Ze’ev Meshel. 17 Kuntilet Ajrud berlokasi sekitar 75 Km selatan Kades Barnea di Utara gurun Sinai dan 80 Km Barat laut Eilat. Lokasi ini

lebih berfungsi sebagai “desert way station.” 18 “caravan stop,” 19 atau sebagai tempat menginap para musafir yang dalam perjalanan. Para ahli mengasumsikan bahwa tempat ini beroperasi

sekitar abad 900-700 SM, suatu periode dimana kepenulisan Deuteronomis dan dan beberapa kesusasteraan para nabi dibuat.

Dari begitu banyak objek yang ditemukan di Kuntilet Ajrud ini, terdapat dua bejana besar, yang walaupun rusak cukup parah, namun ketika direstorasi, bejana ini bertuliskan brkt.

tk . lyhwh. š r . wl šrth dan lyhwh t wl šrth. Joseph Naveh menterjemahkan teks pertama

I bless you by Yahweh, our guardian, and by his Asherah sebagai: 20 . Sedangkan William Dever menterjemahkan sebagai

I bless you by Yahweh Shomron and by his Asherah. 21 Perbedaan antara terjemahan Dever dan Naveh terletak pada terjemahan atas istilah

Shomron. Bagi Dever, Shomron menujuk kepada toponym Shomron (Samaria), sedangkan Naveh melihat triliteral šmr, berhubungan dengan tindakan “menjaga dan memperhatikan,” sebagai kata benda verbal dengan posesif suffix sehingga menjadi “Yahweh our guardian.” Sedangkan untuk kata tmn dalam teks ke dua , kedua ahli tersebut sepakat bahwa istilah ini

berarti Teiman. Namun yang paling penting kedua ahli ini sepakat dengan terjemahan “by his [Yahweh’s] Asherah.”

17 Meshel Ze’ev and Carol Meyers. “The Name of God in the Wilderness of Zin,” BAR. Vol. 39, 1976, 6-10. 18 Ibid. 19 Beck, Pirhiya.. “The Drawings from Horvat Teiman, (Kuntillet Ajrud),” Tel Aviv 9, 1982, 3-68. 20 Naveh, Joseph. “Graffiti and Dedications,” BASOR 235, 1979, 28 21 William Dever, 1982. “Recent Archaeological Confirmation of the Cult of Asherah in Ancient Israel,” Hebrew

Studies . 1982, vol. 23, 37. (lihat juga Hadley dan John Day)

Penemuan inskripsi Kuntilet Ajrud ini kemudian mendapat klarifikasi dari penemuan di Khirbet-el-Qom (Makeda dalam catatan kitab Ibrani), yang berlokasi sekitar 13 Km sebelah Barat Hebron pada tahun 1967 oleh William Dever. Salah satu dari inskripsi yang ditemukan dever dari dasar kubur yang diperkirakan dari tahun 750-700 SM diterjemahkan Dever Blessed

be Uriyahu to Yahweh, and from his enemies save him by his a/Asherah. 22 Sedangkan epigrafis Prancis André Lemaire menterjemahkan teks ini sebagai Blessed be Uriyahu by Yahweh and by his asherah; from his enemies he saved him! 23 Dan Judith M. Hadley dalam disertasinya The Cult of Asherah in Ancient Israel and Judah: Evidence for a Hebrew Goddess, menterjemahkan teks tersebut dengan Blessed by Uriyahu by Yahweh for from his enemies by his (YHWH’s)

asherah he (YHWH) has saved him. 24

Penemuan dua bentuk teks yang sama dari dua tempat berbeda dan dari masa yang juga berbeda, khususnya penyebutan mengenai asherah sebagai pasangan YHWH, bermuara padakesimpulan “YHWH memang memiliki pasangan”. Teks-teks ini membuktikan bahwa umat Israel tidak hanya menyembah YHWH saja. Agama Israel Pre-exilic bukanlah agama YHWH seperti yang diklaim nabi-nabi pertama dan kaum Deuteronomis. Melainkan, agama Israel adalah agama pluralis; dalam hal ini plural dalam penyembahan kepada Allah, dengan kata lain Israel memiliki politheistik-bahkan poli-Yahwistik.

Untuk lebih menguatkan argumentasi mengenai pluralitas agama di Israel, maka, pada bagian selanjutnya yangmasih berhubungan dengan research para ahli mengenai Asherah, penulis menyertakan beberapa survey para ahli lainnya mengenai seperti:

Mark S. Smith 25 Smith dalam buku The Origin of Biblical Monotheism: Israel’s Poltheistic Background and the Ugaritic Texts, melihat bahwa sampai berakhirnya era bait Allah pertama, Israel tetap

monolatry atau politeisme. Dengan mempelajari teks-teks dari Kuntiled Ajrud dan Khirbet El- Qom, serta catatan dalam Tel Miqne, Smith menyimpulkan bahwa symbol-simbol yang ditemukan tersebut bermuara kepada dewi Asherah sebagai “ilah/ allah” dan bukan sebatas

22 William Dever, Archaeology and the Ancient Israelite Cult: How the Kh. el- Qôm and Kuntillet ‘Ajrûd ‘Asherah’ Texts Have Changed the Picture,” Eretz Israel ; vol. 26, 10

23 A dré Le aire, Who or what was Yahweh s Asherah? BAR ,

4, 42-51.

24 Judith M. Hadley, The Cult of Asherah in Ancient Israel and Judah: Evidence for a Hebrew Goddess,( (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 86

25 Mark S. Smith, The Origins of Biblical Monotheism: Israel's Polytheistic Background and the Ugaritic Texts, New York : Oxford University Press, 2001 25 Mark S. Smith, The Origins of Biblical Monotheism: Israel's Polytheistic Background and the Ugaritic Texts, New York : Oxford University Press, 2001

dalam bait Allah, yang biasanya dihubungkan dengan ke-ilahian Asherah sebagai suatu pribadi dan bukan image semata. Smith juga yakin bahwa Asherah dalam sistem agama Israel merupakan pasangan dari YHWH.

Saul M. Olyan 26 Para ahli sudah sejak lama mempertimbangkan penghancuran patung tembaga (Nehustan) dan patung Asherah dari bait suci Yerusalem oleh Hizkiah, disebabkan pengaruh para Deuteronomist seperti yang tercantum dalam 2 Raj. 18:4. Objek kultus yang didirikan Musa ini pada era pengembaraan, ternyata sampai era Hizkiah tetap menjadi kultus yang memainkan peran penting dalam ibadah Israel di Yerusalem (hal ini dibuktikan konfirmasi narrator Deuteronomis itu sendiri).

Olyan melihat kedua kultus yang dihancurkan itu memiliki hubungan dengan kaum Deuteronomist. Menurut Olyan, dalam agama Kanaan periode jaman Perunggu sampai jaman Besi, dewi Asherah selalu muncul dan diasosiasikan dengan ular (dalam hal ini Olyan menerima identifikasi istilah tannit sebagai Asherah deng an pengertian “the one of the serpent” seperti yang dibuat F.M. Cross ). Dengan ini, Olyan melihat bahwa Nehustan yang berada di bait suci Yerusalem juga merupakan kultus ibadah Asherah.

Mengapa penyembahan kepada Nehustan, Asherah, dan patung-patung lainnya sangat ditentang oleh kaum Deuteronomis? Padahal Ulangan 4:19-20 dan 29:25, jelas mengindikasikan bahwa monoteisme bukan pilihan tepat saat itu. Pertanyaan ini dijawab Olyan:

A thorough analysis of the evidence suggests (that) Otherwise legitimate Yahwistic symbols and practices (the bull icons of Dan and Bethel, the bamat, the asherah, Nehushtan, the massevot) are judged illegitimate by the deuteronomistic school, who make use of polemical distortion as a technique to eliminate these practices and remove these symbols from the cultus. Dengan meminjam istilah Huthinghton, penguasaan atas unsur-unsur social dan politik di suatu bangsa, menentukan arah dan perubahan bangsa itu sendiri, tentu termasuk di dalamnya adalah aspek agama.

26 Saul M. Olyan, Asherah and the Cult of Yahweh in Israel (Society of Biblical Literature Monograph Series, No. 34)

Beroperasinya kultus Asherah dalam sistem agama Israel telah dibuktikan dan dijamin melalui penemuan-penemuan arkeologi serta berdasarkan research dari teks-teks yang ditemukan. Asherah dan kultusnya menurut Olyan, legal bukan saja dalam agama popular, namun popular dalam kultus resmi agama YHWH ( official religion ). Bahkan bukti kitab Ibrani sendiri memberikan dukungan kuat bahwa kultus Asherah merupakan praktek yang sah dalam sistem peribadatan negara baik di Yehuda maupun di Israel, dan mungkin di seluruh kontinen di mana orang Israel menetap. Pelarangan dan polemic terhadap figure Asherah dan symbol-simbol kultusnya menunjukkan bahwa praktek mereka begitu popular dalam kultus YHWH pada era jaman Besi di Israel; bukti-bukti dari Kuntilet Ajrud dan Khirbet El-Qom memberikan konfirmasi mengenai hal ini.

Selanjutnya Olyan juga melihat dihubungkannya figure Asherah dengan Baal dalam berita Deuteronomi, dianggap sebagai bentuk polemis dan propaganda kaum Deuteronomi untuk menyerang figure Asherah itu sendiri. Karena dalam naskah Ugarit Asherah tidak pernah dihubungkan dengan Baal (melainkan dengan El).

Richard J. Pettey 27

Richard J. Pettey dalam bukunya Asherah:goddess of Israel, menyimpulkan bahwa dewi yang dilukiskan dalam naskah Ugarit ini merupakan pasangan EL yang merupakan kepala panteon, dan oleh karena itu, ia (Asherah) memiliki kedudukan tertinggi dalam strata ilah; khususnya strata para dewi di Syro-Palestina, yang juga memiliki peran sebagai ibu dari segala dewi di Ugarit.

Pertanyaan kemudian muncul; apakah Asherah adalah Allah di Israel? Jawaban pertama yang mungkin adalah “tidak” karena ia sangat di kutuk oleh berita Deuteronomis dalam setiap bagian di Kitab Ibrani. Namun, ada juga yang akan berkata “ya” ia Allah di Israel berdasarkan “ condemnation ” yang dilancarkan oleh kaum Deuteronomis yang justru memberikan indikasi bahwa Ahserah, kultus dan prakteknya tumbuh dan berkembang di Israel, dan ini juga sekaligus mengungkapkan bahwa para penulis kitab Ibrani sebetulnya kaum minoritas jika dibandingkan dengan pengikut Asherah. Indikasinya adalah mayoritas penduduk Israel mulai dari kalangan

27 Richard J. Pettey, Asherah: Goddess of Israel, (American University Studies, Series VII, Theology and Religion, Vol. 74) 27 Richard J. Pettey, Asherah: Goddess of Israel, (American University Studies, Series VII, Theology and Religion, Vol. 74)

Bagi Pettey, kultus Asherah beroperasi dalam frame institusional karena memiliki sanctuaries, cult personnal, and offerings yang beroperasi di semua daerah Israel dan Yehuda. Selain itu, umat Israel juga melihat Asherah merupakan pasangan dari YHWH, sama seperti dalam panteon Kanaan dimana ia merupakan pasangan EL. Sehingga menjadi sah saja jika figure

“ke-perempuan-nya” muncul dalam kitab-kitab hikmat. Bahkan diakui bahwa Taurat yang memiliki gender feminine yang biasa dihubungkan dengan “pohon kehidupan,” juga merupakan label yang biasa dilekatkan kepada Asherah.

Van Der Toorn 28 Menurut Toorn, bukti mengenai kultus para dewi (Asherah, Anat, Astarte) dalam teks- teks biblical, epigrafi dan arkeologi sangat kuat. Ketika kultus ini dilihat lebih luas lagi dalam kerangka agama dunia Timur Dekat Kuno, maka ada tiga poin yang harus diperhatikan:

Pertama , dalam agama timur dekat kuno, hanya ada satu dewi yang memiliki kuasa sama dengan dengan dewa, yaitu Asherah/ Astarte. Dewi lainnya seperti Anat selalu diposisikan sebagai subordinate dari dewa-dewa lainnya, dan disembah secara sendiri-sendiri. Kedua , dewi- dewi di Israel selalu digambarkan sebagai pasangan YHWH. Anat dalam naskah Elam disembah bersamaan dengan Yahu sebagai Anat-Yahu, atau Anat dan Yahweh. Demikian juga Asherah, ia selalu dihubungkan dengan terminology “Yahweh- Asherah.” Nampaknya ini merupakan posisi resminya yang selalu dihubungkan deng an “kebergantungan” atau “penundukan” dirinya kepada male deity tersebut. Ketiga , walaupun posisi para dewi ini adalah bawahan dari pasangannya (YHWH), namun Asherah dan Anat merupakan figure prominen dalam penyembahan, yang dalam bahasa biblical sering di sebut sebagai kultus/ ibadah penyembahan kepada “ratu surgawi.” Toorn juga memastikan bahwa praktek penyembahan terhadap para dewi/ ilah ini tidak terbatas pada kaum bawah saja (popular religion), namun juga dilakukan di kalangan kerajaan yang identik dengan YHWH sebagai official religion.

Kedudukan para dewi ini yang lebih dekat dengan manusia dari pada kepada pasangannya, telah diposisikan Olyan sebagai “mediator” yang dapat menjadi penengah antara manusia dengan YHWH (bandingkan posisi Maria dalam Mariology Katolik Roma).

28 Van der Toorn, Karel (editor), Dictionary of Deities and Demons in the Bible, 1999

Konsekuensinya adalah: para dewi ini pada akhirnya sering dianggap sebagai gambar Allah oleh para penyembahnya.

Sampai pada poin ini, maka, kita menyimpulkan seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya bahwa YHWH memiliki Asherah merupak an “fakta” yang tidak bisa dipungkiri. Dalam kitab Ibrani kita menjumpai nama Asherah muncul dalam berbagai varian sebanyak 40 referensi. Ayat-ayat seperti Ulangan 16:21; 1 Raj. 16:33; 2 Raj. 21:7 dan 23:6, mengindikasikan bahwa sosok ini berupa patung kayu yang dipajang dekat altar. Ini menjelaskan mengapa ia harus dirubuhkan (dipotong) seperti dalam catatan Hakim-hakim 6:25, Kel.34:13, Ul.7:5, dan Mikah 5:13.

Sebaliknya, jika kita memperhatikan narasi 1 Raja- raja 18:19 mengenai “400 nabi Asherah,” juga dalam catatan 1 Raj. 15:13; dan 2 Raj.23:4, semua ini menunjukkan bahwa

Asherah bukan hanya sebatas tiang/ patung kayu, melainkan “allah/ilah.” Para ahli terbagi dalam dua golongan besar antara yang melihat Asherah sebatas patung kayu dan mereka yang melihat Asherah sebagai allah, namun William dever dalam artikelnya yang dimuat di jurnal

Eretz Israel memberikan posisi terkuat sebagai berikut: “I would insist that the ‘asherah’ as a tree-like object –a ‘mere symbol’ -would have been meaningless unless it mediated to those in the ancient cult the existence, presence and power of an actual deity, the old Canaanite Mother

Goddess Asherah.” 29 For Dever, the inscriptions prove that “in Israel Yahweh could be closely identified with the cult of Asherah, and in some circles the goddess was actually personified as

his consort.” 30 David Noel Freedman mendukung pandangan Dever tersebut yang melihat bahwa

Asherah tidak semata patung kayu dengan menyimpulkan bahwa penyembahan kepada Asherah sebagai pasangan YHWH sudah berakar kuat dalam masyarakat Israel dan Yehuda sebelum pembuangan. Protes terhadap kultus Asherah yang dilancarkan dalam berita-berita propetik dan oleh kaum Deuteronomis lebih disebabkan karena popularitas dari penyembahan ini bersama- sama dengan YHWH di seluruh Israel hampir-hampir tidak bisa diperkirakan banyaknya. 31

29 William Dever, Archaeology and the Ancient Israelite Cult: How the Kh. el- Qôm and Kuntillet ‘Ajrûd ‘Asherah’ Texts Have Changed the Picture ,” Eretz Israel , Vol.26, 1999, 11

30 William Dever, “Asherah, Consort of Yahweh? New Evidence from Kuntillet ‘Ajrûd,” BASOR Vol. 255, 1984,

31 31 David Noel Freedman, 1987. “Yahweh of Samaria and his Asherah,” BAR Vol. 50, 1987, 249