Karakterisasi Ekstrak ETANOL Tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) dari Tiga Tempat Tumbuh di Indonesia

(1)

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN

RUMPUT ISRAEL (

Asystasia gangetica

) DARI TIGA

TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

SKRIPSI

ARSYADANIE SAIFI ADLI

(1110102000031)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2014 / 1435 H


(2)

ii Skripsi ini adalah karya sendiri,

dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Arsyadanie Saifi Adli NIM : 1110102000031 Tanda Tangan :


(3)

iii NAMA : ARSYADANIE SAIFI ADLI

NIM : 1110102000031

JUDUL : KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN RUMPUT ISRAEL (Asystasia gangetica) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Puteri Amelia, M. Farm., Apt Marissa Angelina, M.Farm., Apt NIP. 198012042011012004 NIP. 198212312005022001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(4)

iv Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Arsyadanie Saifi Adli

NIM : 1110102000031

Program studi : Farmasi

Judul : KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN

RUMPUT ISRAEL (Asystasia gangetica) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

Telah berhasil dipertahankan didepan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Puteri Amelia, M.Farm., Apt. ( )

Pembimbing 2 : Marissa Angelina, M.Farm., Apt. ( )

Penguji 1 : Ismiarni Komala, Ph.D., Apt ( )

Penguji 2 : Prof. Dr. Atiek Soemiati, MS., Apt ( )

Ditetapkan di : Ciputat


(5)

v

Nama : Arsyadanie Saifi Adli

Program studi : Farmasi

Judul : KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN

RUMPUT ISRAEL (Asystasia gangetica) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

Rumput Israel (Asystasia gangetica) merupakan tanaman yang tumbuh di daratan Afrika, Arab, dan Asia. Rumput Israel digunakan secara tradisional untuk mengobati asma, rematik, batuk kering, dan gangguan pencernaan. Aktivitas farmakologis dari tanaman Rumput Israel diantaranya efek bronkopasmolitik, anti inflamasi, anti hipertensi, anti artritis, dan antiviral dengue. Karakterisasi dari ekstrak tanaman Rumput Israel perlu dilakukan untuk memperoleh data parameter spesifik dan non spesifik sebagai langkah awal standardisasi untuk menjamin keseragaman khasiat, mutu, dan keamanan. Karakterisasi dilakukan terhadap ekstrak etanol tanaman Rumput Israel dari tiga daerah yang berbeda yaitu Tangerang Selatan, Depok, dan OKU timur. Dari proses ektraksi pada tanaman Rumput Israel didapat rendemen masing-masing sebesar 20,6 %, 18,58 %, dan 20,17 % pada ekstrak Rumput Israel asal Tangsel, Depok, dan OKU Timur. Uji parameter spesifik menunjukkan ekstrak berbentuk kental, berwarna coklat kehijauan, berbau khas, dan berasa pahit dengan kadar senyawa larut air sebesar 60,810 % + 0,37 sampai 74,485%+2,27. Kadar senyawa larut etanol sebesar 36,063%+0,75 sampai 44,065%+0,78. Fase gerak terbaik pada KLT yakni kloroform : metanol (9:1) dan HPLC air : metanol (8:2). Kandungan kimia yakni flavonoid, alkaloid, tanin, dan steroid, dengan kadar total flavonoid 4,3 % sampai 8,162 %. Hasil uji parameter non spesifik menunjukkan susut pengeringan 18,098 % + 0,04 sampai 19,065 % + 0,55, bobot jenis 1,0165 g/mL + 0,0001 sampai 1,0184 g/mL + 0,0001, kadar air 7,573 % + 0,13sampai9,742 % + 0,10. Kadar abu 18,604 % + 1,33 sampai 32,153 % + 0,79, kadar abu tidak larut asam 3,061 % + 0,72 sampai 3,506 % + 0,34. Sisa pelarut (etanol) tidak terdeteksi dengan GCMS. Cemaran Pb (Timbal) tidak terdeteksi sedangkan cemaran Cd (Kadmium) 4,96 ppm sampai 6,52 ppm dan cemaran As (Arsen) ketiga ekstrak <0,005 ppm.

Kata kunci : Karakterisasi, Asystasia gangetica, Rumput Israel, Parameter spesifik, Parameter non spesifik.


(6)

vi

Name : Arsyadanie Saifi Adli

Department : Pharmacy

Judul : CHARACTERIZATION OF ETHANOL EXTRACT OF

RUMPUT ISRAEL (Asystasia gangetica) FROM THREE PLACES IN INDONESIA

Rumput Israel (Asystasia gangetica) is a plant that grows in mainland Africa, Arabia, and Asia. Rumput Israel traditionally used to treat asthma, arthritis, dry cough, and digestive disorders. Pharmacological activites Rumput Israel including broncopasmolitic effects, anti-inflammatory, anti-hypertensive, anti-arthritis, and antiviral dengue. Characterization of Rumput Israel needs to be done to obtain data on specific and non-specific parameters as a first step to ensure uniform standardization of efficacy, quality, and safety. Characterization made to ethanol extract of Rumput Israel from three different regions of the South Tangerang, Depok, and East OKU. Extraction process in the Rumput Israel yield obtained respectively by 20.6%, 18.58%, and 20.17% in Rumput Israel from South Tangerang, Depok, and East OKU. Specific test parameters showed extracts shaped thick, greenish brown, characteristic odor and a bitter taste with the levels of water-soluble compounds 60,810 % + 0,37 to 74,485 % + 2,27. Levels of ethanol-water-soluble compounds by 36,063 % +0,75 to 44,065% + 0,78. The best mobile phase in TLC is chloroform : methanol (9 : 1) and HPLC is water : methanol (8 : 2). The chemical constituents of flavonoids, alkaloids, tannins, and steroids, with levels of total flavonoids 4.3% to 8.162%. The test results of non-specific parameters indicate of drying shrinkage 18,098 % + 0,04 to 19,065 % + 0,55, a specific gravity of 1,0165 g/mL + 0,0001 to 1,0184 g/mL + 0,0001, the water content of 7,573 % + 0,13 to 9,742 % + 0,10. Ash content is 18,604 % + 1,33 to 32,153 % + 0,79, acid insoluble ash content 3,061 % + 0,72 to 3,506 % + 0,34. Residual solvent (ethanol) was not detected by GCMS. Contamination Pb (Lead) not detected while the contamination of Cd (Cadmium) 4.96 ppm to 6.52 ppm and contamination of As (Arsenic) all extract <0.005 ppm.

Keywords : Characterization, Asystasia gangetica, Rumput Israel, specific parameters, non-specific parameters.


(7)

vii Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Karakterisasi Ekstrak Etanol Tanaman Rumput Israel

(Asystasia gangetica) dari Tiga Tempat Tumbuh di Indonesia” ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari ada beberapa pihak yang sangat memberikan kontribusi kepada penulis. Maka perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yanng sebesar-besarnya khususnya kepada :

1. Allah SWT, atas rahmat, nikmat, dan karuni-Nya sehingga dengan izinnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Kedua orang tua, Abah tercinta dr. Suriadie dan Mama tercinta dr. Siti

Nurjanah yang tiada henti memberikan kasih sayang, nasihat, dan do’a serta

dukungan kepada ananda baik moril maupun materil.

3. Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt. sebagai pembimbing I dan Ibu Marissa Angelina, M. Farm., Apt. sebagai pembimbing II yang telah rela meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk membimbing serta memotivasi penulis selama penelitian.

4. Ibu Lia, Ibu Tatik, Mas Lili, Ibu Lisna, Ibu Mimin, Ibu Lala, Ibu Mega, Mas Udin, Pak Rokib, Pak Wakhidi atas segala bantuan yang telah diberikan selama penelitian.

5. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan


(8)

viii menyelesaikan studi di program studi farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Sahabat penulis, Andalusia, yang selalu satu dalam langkah, erat dalam ukhuwah, dan saling menyukseskan. The paviliun, yang susah senang bersama, dan semua cowo Andalusia, Arum, Fikry, Dwikky, Fahrur, Erwin, Chandra, Atras, Hafit, Denny, Anas, Iid, Luther, Rendy, Hadi, Mirza.

8. Kakakku tercinta drg. Ichda Nabiela, dan adikku tersayang Faiq Fadhil Dzulfiqar Bariq, Mirza Zuffar Al-Haq Firdausi, Gharizza Nayla.

9. Keluarga besar Bani Amir dan Bani Taberani yang selalu memberikan motivasi dan dukungannya.

10.Seluruh pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.

Jakarta, 3 September 2014


(9)

ix Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Arsyadanie Saifi Adli NIM : 1110102000031 Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul :

KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN RUMPUT ISRAEL

(Asystasia gangetica) dari TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat

Pada Tanggal : 3 September 2014 Yang menyatakan


(10)

x

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Rumput Israel (Asystasia gangetica) ... 6

2.1.1. Klasifikasi Tanaman ... 6

2.1.2. Sinonim dan Nama Daerah ... 6

2.1.3. Deskripsi ... 6

2.1.4. Tempat Tumbuh ... 9

2.1.5. Penggunaan dan Khasiat ... 9

2.1.6. Kandungan Kimia ... 10

2.2. Karakterisasi Sebagai Langkah Awal Standardisasi ... 10

2.2.1. Pengertian Standardisasi ... 10

2.2.2. Standardisasi Menjamin Keseragaman Khasiat ... 11

2.2.3. Standardisasi untuk Uji Klinik ... 11 2.2.4. Standardisasi Menjamin Aspek Keamanan dan


(11)

xi

2.3. Parameter-Parameter Standar Ekstrak ... 12

2.3.1. Parameter Spesifik ... 13

2.3.2. Parameter Non Spesifik ... 14

2.4. Simplisia ... 15

2.5. Ekstrak ... 16

2.6. Ekstraksi ... 17

2.6.1. Pengertian Ekstraksi ... 17

2.6.2. Metode Ekstraksi ... 17

2.7. Faktor yang Mempengaruhi Mutu Ekstrak ... 19

2.7.1. Faktor Biologi ... 19

2.7.2. Faktor Kimia ... 19

2.8. Kromatografi Lapis Tipis ... 20

2.8.1. Deskripsi ... 20

2.8.2. Fase Diam ... 21

2.8.3. Fase Gerak ... 21

2.8.4. Deteksi Bercak ... 22

2.8.5. Perhitungan Nilai Rf ... 23

2.9. Spektrofotometri ... 23

2.9.1. Spektrofotometri UV-Vis ... 23

2.9.2. Spektrofotometri Serapan Atom ... 25

2.10. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 28

2.11. Kromatografi Gas-Spektrometri Massa ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 33

3.2. Alat dan Bahan ... 33

3.2.1. Alat ... 33

3.2.2. Bahan Uji ... 33

3.2.3. Bahan Kimia ... 34

3.3. Prosedur Kerja ... 34

3.3.1. Persiapan Bahan Uji ... 34

3.3.2. Karakterisasi Ekstrak Rumput Israel ... 35


(12)

xii

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

4.1. Determinasi Tanaman ... 44

4.2. Rendemen Ekstrak ... 44

4.3. Pengamatan Makroskopik ... 44

4.4. Hasil Parameter Spesifik ... 45

4.4.1. Identitas Ekstrak ... 45

4.4.2. Organoleptik Ekstrak ... 45

4.4.3. Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu ... 46

4.4.4. Uji Kandungan Kimia Ekstrak ... 46

4.5. Hasil Parameter Non Spesifik ... 49

4.6. Pembahasan ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1. Kesimpulan ... 59

5.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(13)

xiii

Gambar 1 : Asystasia gangetica ... 7

Gambar 2 : Asystasia gangetica ... 8

Gambar 3 : Asystasia gangetica ... 8

Gambar 4 : Skema Kromatografi Lapis Tipis ... 20

Gambar 5 : Skema Spektrofotometer UV-Vis ... 24

Gambar 6 : Skema Spektrofotometer Serapan Atom ... 26

Gambar 7 : Skema Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 28

Gambar 8 : Skema GCMS ... 31

Gambar 9 : Hasil Uji Pola Kromatogram KLT ... 46

Gambar 10 : Hasil Uji Pola Kromatogram KCKT ... 47

Gambar L.1 : Ekstrak etanol Asystasia gangetica asal Tangsel ... 68

Gambar L.2 : Ekstrak etanol Asystasia gangetica asal Depok ... 68

Gambar L.3 : Ekstrak etanol Asystasia gangetica asal OKU Timur ... 68

Gambar L.4 : Spektrofotometri UV-Vis ... 68

Gambar L.5 : Desikator ... 68

Gambar L.6 : Muffle Furnace ... 68

Gambar L.7 : Pilot Plant ... 69

Gambar L.8 : Mikroskop ... 69

Gambar L.9 : GCMS ... 69

Gambar L.10 : HPLC ... 69


(14)

xiv

Tabel 4.1 : Rendemen Ekstrak ... 44

Tabel 4.2 : Pengamatan Makroskopik ... 45

Tabel 4.3 : Identitas Ekstrak ... 45

Tabel 4.4 : Organoleptik Ekstrak ... 45

Tabel 4.5 : Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu ... 46

Tabel 4.6 : Nilai Rf KLT ... 47

Tabel 4.7 : Data Puncak Kromatogram KCKT ... 48

Tabel 4.8 : Penapisan Golongan Kimia... 48

Tabel 4.9 : Kadar Flavonoid ... 48

Tabel 4.10 : Parameter Non Spesifik ... 49

Tabel 4.11 : Parameter Non Spesifik Cemaran ... 49

Tabel L.1 : Senyawa Terlarut Air ... 80

Tabel L.2 : Senyawa Terlarut Etanol ... 82

Tabel L.3 : Susut Pengeringan ... 84

Tabel L.4 : Bobot Jenis ... 86

Tabel L.5 : Kadar Abu ... 88

Tabel L.6 : Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 90


(15)

xv

Lampiran 1 : Alur Penelitian ... 65

Lampiran 2 : Determinasi Tanaman Rumput Israel ... 66

Lampiran 3 : Alat dan Bahan Penelitian ... 68

Lampiran 4 : Hasil Uji Cemaran Logam ... 70

Lampiran 5 : Uji Sisa Pelarut Dan Pola Kromatogram GCMS ... 75

Lampiran 6 : Perhitungan Rendemen Ekstrak ... 79

Lampiran 7 : Perhitungan Senyawa Terlarut Air ... 80

Lampiran 8 : Perhitungan Senyawa Terlarut Etanol ... 82

Lampiran 9 : Perhitungan Susut Pengeringan ... 84

Lampiran 10 : Perhitungan Bobot Jenis ... 86

Lampiran 11 : Perhitungan Kadar Abu ... 88

Lampiran 12 : Perhitungan Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 90

Lampiran 13 : Perhitungan Kadar Air ... 92

Lampiran 14 : Perhitungan Kadar Total Flavonoid ... 94


(16)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya hayati kedua terbesar setelah Brasil. Di Indonesia terdapat lebih kurang 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup di kepulauan Indonesia, diketahui sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Kotranas, 2007).

Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005), Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap bahan baku dan obat konvensional impor senilai 160 juta USD/tahun, padahal berdasar kekayaan tanaman yang dimiliki Indonesia berpotensi besar menjadi sumber daya tanaman obat bagi dunia. Tren global “back to nature” menunjukkan pertumbuhan pesat,

termasuk di Indonesia, sehingga produk tanaman obat (TO) memiliki arti strategis di bidang kesehatan.

Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar EY, 2006).

Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia. Menurut WHO, negara negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2003).


(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fakta bahwa penggunaan obat berbasis tumbuhan semakin berkembang pesat di masyarakat seiring dengan kekayaan biodiversitas yang dimiliki Indonesia, serta dukungan dari WHO perihal upaya pengembangan obat herbal, menjadikan tugas bagi pemerintah untuk menjamin obat berbasis herbal memiliki mutu yang terukur, mampu mendukung derajat kesehatan, terjamin keamanannya dengan terbebas dari bahan mikroba berbahaya, serta meningkatkan nilai ekonomi produk alam Indonesia.

Berdasarkan Farmakope Herbal (2009), Obat herbal terstandar merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandardisasi. Salah satu tanaman yang sedang dikembangkan sebagai obat herbal terstandar adalah Rumput Israel (Asystasia gangetica).

Rumput Israel (Asystasia gangetica) merupakan tanaman yang tumbuh di daratan Afrika, Arab, dan Asia. Di Kenya dan Uganda, tanaman ini dikonsumsi sebagai sayuran, sedangkan di Nigeria, daun dari tanaman ini digunakan untuk mengobati asma. Di India, tanaman ini digunakan untuk mengobati penyakit rematik, sedangkan di Maluku, tanaman ini diolah menjadi jus dan dicampur dengan jeruk dan bawang putih untuk mengobati batuk kering. Sedangkan di Filipina, tanaman ini digunakan untuk mengobati gangguan pencernaan (Grubben G.J.H, 2004).

Menurut Ezike et al (2008), penggunaan Asystasia gangetica sebagai obat tradisional asma dikarenakan adanya kandungan terpenoid pada tanaman tersebut yang dapat memberikan efek bronkopasmolitik

Berdasarkan penelitian Mohan Khrisna (2011), ekstrak metanol Asystasia

gangetica memiliki aktivitas anti inflamasi yang signifikan dengan perkiraan

mekanisme yakni menghambat sintesis prostaglandin dengan menstabilkan membran lisosom.

Antosianin yang diisolasi dari ekstrak etanol Asystasia gangetica memiliki aktivitas menghambat alfa-amilase yang cukup baik sehingga dapat dikembangkan sebagai obat anti diabetes (Rajeshwari Sivaraj et al, 2013)

Menurut penelitian Mugabo Pierre dan Raji Ismaila (2013), ekstrak air


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SHR (Spontaneously Hypertensive Rats) dengan perkiraan mekanisme yakni melalu penghambatan ACE (Angiotensin Converting Enzyme) dan sebagai antagonis reseptor Angiotensin II, sehingga dapat dikembangkan sebagai obat anti hipertensi.

Ekstrak metanol dari Asystasia gangetica dengan konsentrasi 200 µg/mL menunjukkan aktivitas penghambatan yang denaturasi protein yang cukup baik, yakni sebesar 42,7 % sedangkan Natrium diklofenak sebagai standar dengan konsentrasi yang sama, memiliki aktivitas penghambatan denaturasi protein sebesar 84,47 %. Hal ini menunjukkan peluang digunakannya tanaman Asystasia gangetica

sebagai obat anti artritis.

Albendazole digunakan sebagai standar untuk mengetahui aktivitas anthelmintic dari ekstrak metanol Asystasia gangetica dengan Pheretima posthuma

sebagai objek. Ekstrak metanol Asystasia gangetica dengan konsentrasi 10 mg/ml menunjukkan aktivitas yang baik, dimana membutuhkan waktu 54 menit untuk mematikan Pheretima posthuma, sedangkan albendazole dengan konsentrasi yang sama membutuhkan waktu 56 menit (Gopal T.K et al, 2013).

Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan metode foccus forming assay, tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) memiliki aktivitas antiviraldengue dengan nilai IC50 sebagai parameternya. Berbagai manfaat yang ada dalam tanaman Asystasia

gangetica tentu berasal dari senyawa kimia yang dikandungnya, dimana

berdasarkan penelitian Kensa Mary (2011), Asystasia gangetica diketahui mengandung senyawa fenol, alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan steroid.

Kandungan kimia yang terdapat dalam tanaman Asystasia gangetica tidak dapat dijamin konstan karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya bibit, umur tanaman, tempat tumbuh, iklim, serta cara panen. Kandungan kimia yang bertanggungjawab terhadap efek biologis harus mempunyai spesifikasi kimia berupa jenis dan kadar, sedangkan ekstrak sebagai bahan baku obat harus memenuhi syarat mutu dan keamanan, sehingga harus dilakukan standardisasi. Sampai saat ini belum ada laporan penelitian baik nasional maupun internasional tentang standardisasi tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica).


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk menjamin keseragaman khasiat, mutu, dan keamanan dari suatu ekstrak, perlu dilakukan standardisasi. Standardisasi dalam kefarmasian adalah serangkaian parameter prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik (Depkes RI, 2000).

Melihat manfaat dari tanaman Asystasia gangetica berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, dan banyaknya ketersediaan tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) di Indonesia, serta sejalan dengan pengembangan ekstrak Rumput Israel (Asystasia gangetica) sebagai obat antiviral dengue oleh Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), maka perlu adanya penelitian tentang karakterisasi ekstrak etanol tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) dari 3 tempat tumbuh di Indonesiauntuk mengetahui standar mutu dan keamanan, serta menjaga kualitas dari ekstrak Asystasia gangetica dalam rangka pengembangan obat herbal di Indonesia.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, diketahui bahwa belum ada penelitian mengenai karakterisasi ekstrak etanol Rumput Israel

(Asystasia gangetica) sebagai tahap pengembangan ekstrak terstandar.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menetapkan parameter non spesifik yang meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu, sisa pelarut, dan cemaran logam berat pada ekstrak etanol Rumput Israel (Asystasia gangetica)

2. Menetapkan parameter spesifik yang meliputi identitas ekstrak, organoleptik ekstrak, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, dan kandungan kimia ekstrak pada ekstrak etanol Rumput Israel (Asystasia


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data karakterisasi dari ekstrak etanol Rumput Israel (Asystasia gangetica) berupa parameter spesifik dan non spesifik sebagai langkah awal dalam menjamin keseragaman khasiat, mutu, dan keamanan dari ekstrak etanol Rumput Israel (Asystasia gangetica).


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RUMPUT ISRAEL (Asystasia gangetica)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Klasifikasi dari tanaman ini adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Subclass : Asteridae Order : Scrophulariales Family : Acanthaceae Genus : Asystasia Blume

Species : Asystasia gangetica (L.) T. Anderson (Tilloo S.K et al, 2012)

2.1.2 Sinonim dan Nama Daerah

Sinonim : Asystasia coromandeliana Nees (1832)

Nama Daerah : Chinese Violet (Inggris), Herbe le rail (Prancis), Namu (Liberia), Ara Sungsang, Seri Pagi (Malaysia), Rumput Israel (Indonesia) (Grubben G.J.H, 2004).

2.1.3 Deskripsi

Asystasia gangetica tumbuh merambat dan bercabang, batangnya

berbentuk segi empat dengan panjang hingga 2 meter. Bentuk daun saling berlawanan dan tidak terdapat stipula. Panjang tangkai daun 0,5-6 cm dengan daun yang berbentuk ovutus dengan panjang 4-9 cm dan lebar 2-5 cm. Bentuk pangkal daun segitiga sungsang (Cuneatus) atau berbentuk jantung (Cordatus) saat daun masih kecil. Ujung daun berbentuk meruncing (Acuminatus) dan permukaan daun berbulu pendek dan lembut (Pubescens). Asystasia gangetica


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memiliki 4-6 urat daun (vena lateralis) di setiap sisi pelepah. Bentuk perbungaan majemuk dan berderet mengarah pada satu sisi dengan panjang deret bunga mencapai 25 cm. Tangkai bunga memiliki panjang hingga 3 mm dan kelopak bunga dengan panjang 4-10 mm. Bunga biasanya berwarna putih atau putih dengan bintik-bintik keunguan (Grubben G.J.H, 2004).

Periode dari penyebaran bibit hingga munculnya benih Asystasia

gangetica membutuhkan waktu 8 minggu di daerah terbuka atau terkena sinar

matahari langsung, tetapi bisa memakan waktu 2 minggu lebih lama di daerah yang sebagian tertutup. Tanpa penyiangan, proporsi Asystasia gangetica dalam semak dari perkebunan kelapa sawit muda meningkat dalam jangka waktu 2 tahun dari 25 % menjadi 84 %. Asystasia gangetica memiliki daya serap tinggi terhadap nutrisi dalam tanah dan mengganggu penyerapan nutrisi spesies lain sehingga dikategorikan sebagai gulma. Asystasia gangetica memiliki palatabilitas dan daya

cerna yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pakan hewan (Grubben G.J.H, 2004).

Gambar 1 : Asystasia Gangetica


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2 : Asystasia gangetica

(Sumber :http://keyserver.lucidcentral.org/weeds/data)

Keterangan Gambar 3 : 1. Keseluruhan tanaman 2. Daun

3. Batang 4. Bunga

5. Mahkota bunga dan benang sari

6. Kelopak bunga dan putik

7. Putik 8. Benang sari 9. Kapsul

10.Kapsul kosong 11.Biji

Gambar 3 : Asystasia gangetica

(Sumber : Tsai Wen Hsu et al, 2005)

1 2

3

4

5

6 7

8 9

10 11


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1.4 Tempat Tumbuh

Asystasia gangetica berasal dari daratan tropis Afrika, Arabia dan Asia.

Asystasia gangetica biasa ditemukan di pinggir jalan dan tepi sungai, di daerah

yang lembab, dan dapat tumbuh hingga ketinggian 2.500 m dpl. Di daerah dengan musim kemarau 4 bulan atau lebih, tanaman ini kemungkinan tidak dapat bertahan hidup. Asystasia gangetica dapat berkembang pada tanah aluvium pantai, tanah gambut dengan 85 % bahan organik dan pH 3,5-4,5 , dan tanah liat. Dua subspesies dari Asystasia gangetica dapat dibedakan, dimana Asystasia gangetica.

Subsp. micrantha ( Nees ) Ensermu, dengan panjang mahkota bunga kurang dari

2,5 cm dan panjang tangkai putik kurang dari 1,5 cm biasanya tumbuh di daerah tropis Afrika, pulau-pulau di Samudera Hindia dan Arab Saudi. Sedangkan

Subsp. gangetica, dengan panjang mahkota bunga lebih dari 2,5 cm dan tangkai

putik lebih dari 1,5 cm biasanya tumbuh di India, Sri Lanka, Asia Tenggara dan pulau-pulau di Samudera Pasifik, dan terdapat juga di daerah tropis benua Amerika (Grubben G.J.H, 2004).

2.1.5 Penggunaan dan Khasiat

Rumput Israel (Asystasia gangetica) secara lokal digunakan sebagai sayuran di Kenya dan Uganda dimana tanaman ini dicampur dengan kacang tanah, wijen, ataupun sayuran lainnya. Kemampuan tumbuh yang baik dan nilai gizi yang tinggi menjadikan Asystasia gangetica digunakan sebagai pakan untuk sapi, kambing dan domba di Asia Tenggara. Di Afrika, larutan dari tanaman ini digunakan untuk meringankan rasa sakit saat melahirkan, dan getahnya digunakan untuk mengobati luka, meredakan otot kaku dan pembesaran limpa pada anak-anak. Serbuk dari akar Asystasia gangetica dipercaya memiliki efek analgesik dan digunakan dalam mengobati sakit perut dan gigitan ular. Larutan dari daun

Asystasia gangetica digunakan untuk mengobati epilepsi dan gangguan saluran

kemih (Grubben G.J.H, 2004).

Asystasia gangetica telah banyak digunakan sejak zaman kuno di daerah

Babungo, Kamerun untuk mengobati berbagai penyakit. Masyarakat pedesaan di daerah Sivagangai dari Tamil Nadu, India Selatan, menggunakan Rumput Israel untuk mengobati rematik. Sedangkan Orang suku bukit Marudhamalai, Tamil


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nadu, menggunakan pasta dari akar Asystasia gangetica untuk mengobati alergi kulit. Di Kawazu-Natal, Afrika Selatan, penduduk menggunakan Asystasia

gangetica sebagai sayuran. Secara tradisional, jus dari tanaman ini digunakan

sebagai anthelmintik, mengobati pembengkakan, rematik, gonorrhea dan penyakit pada telinga. Asystasia gangetica juga digunakan sebagai obat

tradisional untuk mengobati diabetes mellitus di beberapa daerah di India Selatan (Tilloo S.K et al, 2012).

2.1.6 Kandungan Kimia

Asystasia gangetica mengandung senyawa alkaloid, antrakuinon, senyawa

fenolik, steroid, tanin, glikosida, dan xanthoprotein (Daffodil E.D et al, 2013). Ekstrak metanol Asystasia gangetica mengandung beberapa senyawa flavonoid,

diantaranya Luteolin, Kuersetin, Kaempferol, dan Isorhamnetin (Gopal T.K et al, 2013).

Senyawa glikosida biflavon dari Asystasia gangetica yang telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi yakni apigenin 7-0-glukosil (3’-6’’) luteolin 7’’ -0-glukosida (Senthamilselvi M.M et al, 2011). Selain itu, senyawa glikosida epoksimegastigmane (asygangoside) dari Asystasia gangetica juga telah berhasil diisolasi (Kanchanapoom T et al, 2007).

2.2 KARAKTERISASI EKSTRAK SEBAGAI LANGKAH AWAL

STANDARDISASI

2.2.1 Pengertian Standardisasi

Standardisasi suatu simplisia tidak lain adalah pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari produk seperti yang ditetapkan sebelumnya. Standardisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi, juga harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000).


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengingat obat herbal dan berbagai tanaman memiliki peran penting dalam bidang kesehatan bahkan bisa menjadi produk andalan Indonesia, maka perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan keamanan ekstrak tanaman obat. Rangkaian proses melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (tumbuhan obat) disebut standardisasi bahan obat alam (SBOA) atau standardisasi obat herbal (Saifudin et al, 2011)

2.2.2 Standardisasi Menjamin Keseragaman Khasiat

Mayoritas penggunaan bahan obat berbasis herbal di Indonesia masih bersifat tidak terukur baik kepastian tanaman, takaran, cara penyiapan sehingga tidak menjamin konsistensi khasiat. Salah satu tujuan dari standardisasi adalah menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal. Standardisasi melibatkan pemastian kadar senyawa aktif farmakologis melalui analisis kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman khasiat.

Tercatat sekitar 997 industri obat tradisional di Indonesia dan 98 diantaranya adalah produsen dengan skala besar dan sedang. Produsen dengan skala besar dan sedang telah mampu mengekspor produknya ke negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, Pakistan, negara-negara di Timur Tengah bahkan beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat. Banyak bahan mentah rempah dan obat herbal diekspor ke luar negeri tanpa mengalami pengolahan. Masalah yang seringkali dihadapi adalah belum terstandarnya bahan baku yang diperdagangkan bahkan dijumpainya kontaminan mikrobiologis pada produk obat herbal (Saifudin et al, 2011).

2.2.3 Standardisasi untuk Uji Klinik

Uji Klinik adalah uji senyawa kimia obat, obat herbal, ekstrak dan berbagai sediaan pada dosis tertentu dengan target biologis manusia (atau veteriner jika targetnya memang binatang), agar memberikan respon biologis berupa parameter-parameter klinik perbaikan dari kondisi patologis yang terkait dengan penyakit tertentu. Untuk itu semua aspek dituntut terdesain dan dikontrol dengan baik.


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Respon uji klinik sangat ditentukan oleh konsistensi dosis. Jika jumlah zat aktif yang diberikan tidak konsisten, maka interpretasinya menjadi bias dan justru merugikan. Disinilah peran besar standardisasi untuk menjaga senyawa-senyawa aktif selalu konsisten terukur antarperlakuan (Saifudin et al, 2011).

2.2.4 Standardisasi Menjamin Aspek Keamanan dan Stabilitas Ekstrak

Tempat tumbuh tanaman, penanganan pasca panen, proses ekstraksi, penyimpanan simplisia tanaman dan ekstrak juga mempengaruhi elemen keamanan terhadap pemakai, misalnya keberadaan logam berat (Pb, Cd,dan As), pestisida dalam tanah, udara dan air, jenis dan jumlah mikroorganisme dan metabolit pencemar berbahaya. Keberadaan air di dalam suatu ekstrak juga mempengaruhi stabilitas bahan baku bahkan bentuk sediaan yang nantinya dihasilkan. Untuk itu dilakukan berbagai analisis untuk menentukan batas minimal kadar air, zat dan jumlah mikroba pencemar yang disebut parameter non spesifik. Proses standardisasi yang meliputi aspek kimiawi metabolit sekunder, jumlah cemaran mikroba minimal, cemaran logam berat, sisa pelarut, dan lain-lain sangatlah penting karena terkait dengan efikasi dan keamanan pada konsumen (Saifudin et al, 2011).

2.2.5 Standardisasi Meningkatkan Nilai Ekonomi

Tanaman obat dan rempah Indonesia mempunyai potensi besar sebagai produk unggulan. Belum tingginya upaya lintas sektoral dan terpadu antara swasta-pemerintah-perguruan tinggi untuk mengangkat secara sistematis natural

product Indonesia mengakibatkan banyak produk ekspor herbal berdaya tawar

rendah. Standardisasi adalah upaya penting untuk menaikkan nilai ekonomi produk alam Indonesia dimana dampak positifnya sebenarnya menguntungkan

semua pihak, yakni konsumen, produsen, dan juga pemerintah (Saifudin et al, 2011).

2.3 PARAMETER-PARAMETER STANDAR EKSTRAK

Parameter-parameter standar ekstrak terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik.


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.3.1 Parameter Spesifik

Parameter spesifik berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa aktif. Berdasarkan Depkes RI (2000), parameter spesifik meliputi :

1. Identitas

Identitas ekstrak meliputi deskripsi tata nama ekstrak, nama lain tumbuhan (sistematika botani), nama Indonesia tumbuhan, dan bagian tumbuhan yang digunakan.

2. Organoleptik

Organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa untuk pengenalan awal yang sederhana dan seobjektif mungkin.

3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Penentuan jumlah senyawa terlarut dalam pelarut tertentu dilakukan dengan melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

4. Uji kandungan kimia ekstrak a) Pola Kromatogram

Pada penentuan pola kromatogram, ekstrak ditimbang dan diekstraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Pengujian ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT/KCKT).

b) Kadar Total Golongan Kandungan Kimia

Kadar kandungan golongan kimia ditetapkan dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri, atau lainnya. Metode yang digunakan harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linearitasnya. Tujuan dari penentuan kadar golongan kimia adalah


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memberikan informasi golongan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.

c) Kadar Kandungan Kimia Tertentu

Adanya kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah densitometer, kromatografi gas, kromatografi cair kinerja tinggi, atau instrumen lain yang sesuai.

Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linearitas, ketelitian, ketepatan, dan lain-lain. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologis (Depkes RI, 2000).

2.3.2 Parameter Non Spesifik

Parameter non spesifik merupakan aspek yang berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitasnya. Berdasarkan Depkes RI (2000), parameter non spesifik meliputi :

1. Susut Pengeringan

Parameter susut pengeringan diukur dengan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan terbuka. Adapun tujuan menentukan susut pengeringan untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan.

2. Bobot Jenis

Parameter bobot jenis diukur dengan mengetahui masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25°C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Adapun tujuan menentukan bobot jenis ekstrak yaitu memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang.

3. Kadar air

Kandungan air yang berada di dalam bahan dapat diukur dengan cara yang tepat diantaranya dengan titrasi, destilasi atau gravimetrik. Tujuan penentuan kadar air adalah untuk mengetahui tercapainya batasan minimal atau rentang kandungan air di dalam bahan.

4. Kadar Abu

Pada penentuan kadar abu, bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik. Uji ini bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.

5. Sisa pelarut

Dalam penentuan sisa pelarut, yang ditentukan adalah kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan). Pada ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Tujuan dalam menentukan sisa pelarut adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada, sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan. 6. Cemaran logam berat

Penentuan kandungan logam berat dilakukan dengan metode spektroskopi serapan atom yang lebih valid dan bertujuan untuk menguji cemaran logam berat untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (As, Pb, Cd) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

2.4 SIMPLISIA

Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan. Kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60o C. Simplisia segar adalah bahan alam segar yang belum dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya. Serbuk simplisia nabati adalah bentuk serbuk dari simplisia nabati, dengan ukuran derajat kehalusan tertentu. Sesuai dengan derajat kehalusannya, dapat berupa serbuk sangat kasar, agak kasar, halus dan sangat halus (Farmakope Herbal, 2009).

Serbuk simplisia nabati tidak boleh mengandung fragmen jaringan dan benda asing yang bukan merupakan komponen asli dari simplisia yang bersangkutan antara lain telur nematoda, bagian dari serangga dan hama serta sisa tanah. Nama latin simplisia ditetapkan dengan menyebut nama marga (genus), nama jenis (spesies) dan bila memungkinkan petunjuk jenis (varietas) diikuti dengan bagian yang digunakan. Nama latin dengan pengecualian ditetapkan dengan menyebut nama marga untuk simplisia yang sudah lazim disebut dengan marganya. Nama lain adalah nama Indonesia yang paling lazim, didahului dengan bagian tumbuhan yang digunakan (Farmakope Herbal, 2009).

2.5 EKSTRAK

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Farmakope Indonesia IV, 1995)

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Farmakope Indonesia III, 1979)

Ekstrak kering adalah sediaan padat yang memiliki bentuk serbuk yang didapatkan dari penguapan dari pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Ekstrak kering dapat ditambahkan bahan tambahan, yaitu bahan pengisi, bahan penstabil

(stabilizers), dan bahan pengawet (preservative). Ekstrak kering yang telah

distandardisasi adalah ekstrak kering yang telah diukur kandungannya, dan dipastikan perihal penggunaan bahan inert dan bagian tumbuhan yang digunakan


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk pengolahan. Penggunaan pelarut disesuaikan dengan jumlah dan monografinya (US Pharmacopeia, 2009).

Ekstrak kental didapatkan dari penguapan sebagian dari pelarut, air, alkohol, atau campuran hidroalkohol yang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi. Ekstrak kental dapat ditambahkan antimikroba atau bahan pengawet lainnya yang sesuai. Ekstrak kental dan ekstrak kering yang berasal dari bahan yang sama dapat digunakan sebagai obat-obatan atau suplemen, tetapi memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing (US Pharmacopeia, 2009).

2.6 EKSTRAKSI

2.6.1 Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya.

Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada

lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Dirjen POM, 1986).

2.6.2 Metode Ekstraksi

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), terdapat beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

1. Cara dingin a) Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

b) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Cara Panas a) Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b) Sokletasi

Sokletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.

c) Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

d) Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air mendidih, temperatur terukur 96oC-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

e) Dekok

Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.7 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU EKSTRAK

2.7.1 Faktor Biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya, dan dipandang dari beberapa faktor biologi, baik untuk tumbuhan liar maupun tumbuhan obat hasil budidaya yang meliputi :

1. Identitas Jenis

Jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasi sampai informasi genetik sebagai faktor internal untuk validasi jenis (spesies)

2. Lokasi Tumbuhan Asal

Lokasi berarti faktor eksternal, yaitu lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air, senyawa organik dan anorganik)

3. Periode Pemanenan Hasil Tumbuhan

Faktor ini merupakan dimensi waktu dari proses kehidupan tumbuhan terutama metabolisme sehingga menentukan senyawa yang dikandung. Ada waktu dimana senyawa kandungan mencapaii kadar optimal dari proses biosintesis dan sebaliknya ada waktu dimana senyawa tersebut dikonversi ataupun dibiotransformasi menjadi senyawa lain.

4. Penyimpanan Bahan Tumbuhan

Merupakan faktor eksternal yang dapat diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik dan abiotik)

5. Umur Tumbuhan dan Bagian yang Digunakan (Depkes RI, 2000)

2.7.2 Faktor Kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya, khususnya dipandang dari segi kandungan kimianya. Faktor kimia, baik untuk bahan dari tumbuhan liar maupun tumbuhan hasil budidaya, meliputi beberapa hal, yaitu :

1. Faktor Internal

Meliputi jenis, komposisi kualitatis, komposisi kuantitatif, dan kadar total rata-rata dari senyawa aktif dalam bahan.


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Faktor Eksternal

Meliputi metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan, serta kekeringan bahan, pelarut yang digunakan, kandungan logam berat, dan kandungan pestisida (Depkes RI, 2000).

2.8 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

2.8.1 Deskripsi

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gandjar dan Rohman, 2007).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Roy, James, dan Arthur, 1991).

Gambar 4 : Skema Kromatografi Lapis Tipis


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik

(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun

(descending). Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan

lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.8.2 Fase Diam

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 m. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, makasemakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya.Penjerap yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara mekanisme penyerapan yang utama pada KLT adalah adsorpsi danpartisi (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.8.3 Fase Gerak

Fase gerak pada KLT dapat dipilih berdasarkan pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :

1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.

2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi senyawa yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

akan meningkatkan harga Rf secara signifikan (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.8.4 Deteksi Bercak

Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan dengan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Fluorosensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak :

1. Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan senyawa yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak.

2. Mengamati lempeng dibawah lampu ultraviolet yang dipasang panjang gelombang emisi 254 nm atau 366 nm untuk menampakkan fraksi sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluorosensi terang pada dasar yang berfluorosensi seragam. Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluorosensi yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluorosensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluorosensi setelah dilakukan pengembangan.

3. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-coklatan.

4. Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup.

5. Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatatan (recorder) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.8.5 Perhitungan Nilai Rf

Retardation Factor (Rf) adalah parameter karakteristik kromatografi

kertas dan kromatografi lapis tipis. Harga Rf merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu komponen pada kromatografi dan pada kondisi tetap marupakan besaran karakteristik dan reproduksibel. Nilai Rf bersifat karakteristik dan menunjukkan identitas masing-masing komponen. Komponen yang paling mudah larut dalam pelarut harganya akan mendekati satu, sedangkan komponen yang kelarutannya rendah akan mempunyai Rf hampir nol. Perhitungan nilai Rf didasarkan pada rumus :

Nilai Rf dinyatakan hingga angka 1,0 beberapa pustaka menyatakan nilai Rf yang baik yang menunjukkan pemisahan yang cukup baik adalah berkisar antara 0,2-0,8 (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.9 SPEKTROFOTOMETRI

2.9.1 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis

lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995).

Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi. Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang

Jarak yang ditempuh oleh komponen


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 1990).

Gambar 5 : Skema Spektrofotometer UV-Vis (Sumber : Anonim, 2012)

Pada spektrofotometer UV-Vis, untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain:

1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna

2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisa

3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis (Mulja dan Suharman, 1995).

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi :

1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu wolfram.

2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. 3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca

atau kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini.

4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1990).


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visibel dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi ultraviolet atau terlihat sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Panjang gelombang serapan merupakan ukuran dari pemisahan tingkatan-tingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan. Spektrum ultraviolet adalah gambar antara panjang gelombang atau frekuensi serapan lawan intensitas serapan (transmitasi atau absorbansi). Sering juga data ditunjukkan sebagai gambar grafik atau tabel yang menyatakan panjang gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan molar, Emax atau log Emax (Sastrohamidjojo, 2001).

Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi menuju ke tingkat yang lebih tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik. Monokromator adalah suatu piranti optis untuk memencilkan radiasi dari sumber berkesinambungan. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar monokromatis. Alat dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 1990).

Pengukuran pada daerah UV harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan ketebalan 10 mm. Sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan sel untuk meletakkan cairan ke dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah spektral yang diminati. Sebelum sel dipakai dibersihkan dengan air atau dapat dicuci dengan larutan detergen atau asam nitrat panas apabila dikehendaki (Sastrohamidjojo, 2001).

2.9.2 Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah Spektrometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et al, 2000).

Gambar 6 : Skema Spektrofotometer Serapan Atom (Sumber : http://web.nmsu.edu/~kburke/Instrumentation)

Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi diturunkan dari :

1. Hukum Lambert : Bila suatu sumber sinar monokromatik melewati medium transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorpsi.

2. Hukum Beer : Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut. Dari kedua hukum tersebut diperoleh suatu persamaan :

Keterangan : Io = Intensitas sumber sinar

It = Intensitas sinar yang diteruskan

ε = Absortivitas molar It = Io.e-(εbc) A = - Log It/Io = εbc


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b = Panjang medium

c = Konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar A = Absorbansi

Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya berbanding lurus dengan konsentrasi atom (Day dan Underwood, 1989).

Instrumen pada spektrofotometer serapan atom terdiri dari : 1. Sumber Sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow

cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung

suatu katoda dan anoda. Bila antara anoda dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang memiliki kecepatan dan energi yang tinggi lalu akan bertabrakan dengan gas-gas yang diisikan sehingga gas menjadi ion bermuatan positif. Ion positif akan bertabrakan dengan katoda dan menghasilkan pancaran spektrum yang disesuaikan dengan unsur yang akan dianalisis.

2. Tempat sampel

Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah sampel menjadi uap atom-atom yaitu dengan nyala (flame) atau tanpa nyala (flameless).

3. Monokromator

Pada spektrofotometer serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Disamping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi yang disebut

chopper.

4. Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat atomisasi. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton (photomultiplier tube). Ada 2 cara dalam sistem deteksi, yaitu memberikan respon terhadap


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

radiasi resonansi dan radiasi kontinyu atau hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi.

5. Readout

Readout merupakan suatu alat petunjuk atau sistem pencatatan hasil yang dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan sutu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.10 KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Kromatografi cair kinerja tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel. Kromatografi merupakan teknik yang mana zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi. Pemisahan zat-zat terlarut diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan KCKT membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Indira, 2010).

Gambar 7 : Skema Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Sumber : Anonim, 2012)


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Beberapa komponen pada Kromatografi Cair Kinerja Tinggi diantaranya adalah : 1. Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung wadah harus lebih besar dari 500 mL, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2 mL/menit (Pasri, 2010).

2. Pompa

Untuk mengerakkan fase gerak melalui kolom diperlukan pompa. Pompa harus mampu menghasilkan tekanan 6000 psi pada kecepatan alir 0,1–10 mL/menit. Pompa ada 2 jenis yaitu pompa volume konstan dan pompa tekanan konstan. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan teflon. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor (Pasri, 2010).

3. Injektor

Ada beberapa tipe injektor dalam KCKT, diantaranya adalah Stop-Flow,

Septum, dan Loop Valve. Teknik yang umum digunakan adalah Stop-Flow,

yaitu aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam cairan kecil dan resolusi tidak dipengaruhi (Putra, 2004).

4. Kolom

Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok :

a. Kolom analitik

Diameter dalam 2 -6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis material pengisi kolom. Untuk kemasan pellicular, panjang yang digunakan adalah 50 -100 cm. Untuk kemasan poros mikropartikulat, 10 -30 cm.

b. Kolom preparatif

umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25-100 cm. (Putra, 2004).


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh (Putra, 2004).

Hasil dari pemisahan kromatografi biasanya ditampilkan dalam bentuk kromatogram pada rekorder. Waktu retensi dan volume retensi dapat diketahui dan dihitung. Data ini bisa digunakan untuk mengidentifikasi secara kualitatif suatu komponen, bila kondisi kerja dapat dikontrol. Lebar puncak dan tinggi puncak sebanding atau proporsional dengan konsentrasi dan dapat digunakan untuk memperoleh hasil secara kuantitatif (Putra, 2004).

2.11 KROMATOGRAFI GAS-SPEKTROMETRI MASSA

Kromatografi gas adalah suatu proses pemisahan campuran menjadi komponen-komponennya oleh fase gas yang bergerak melalui suatu lapisan serapan (sorben) yang stasioner (Gritter, 1991). Prinsip kromatografi gas didasarkan atas partisi zat yang hendak dianalisis antara dua fase yang saling kontak tetapi tidak bercampur. Partisi tercapai melalui adsorpsi atau absorpsi atau proses keduanya. Sebagai fase gerak digunakan gas pembawa. Bagian pokok alat kromatografi gas adalah injektor, kolom pemisah, dan detektor (Roth dan Blaschke, 1998).

Spektrometri massa (SM) adalah suatu instrumen yang dapat menyeleksi molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan massanya. Spektrum massa diperoleh dengan mengubah senyawa cuplikan menjadi ion-ion yang bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan (m/e) (Fessenden,1992). Spektrometer massa dapat mengidentifikasi massa molekul relatif (BM), dan pemenggalan suatu senyawa yang tidak diketahui, dengan membandingkannya terhadap senyawa yang dikenal (standar). Dari data yang diperoleh bila ada kesamaan, dapat dianggap bahwa senyawa tersebut identik (Silverstein et al, 1998)


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

GCMS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry) atau disebut Kromatografi Gas-Spektrometri Massa merupakan perpaduan dari kromatografi gas dan spektroskopi massa. Senyawa yang telah dipisahkan oleh kromatografi gas, selanjutnya dideteksi atau dianalisis menggunakan spektroskopi massa. Pada GCMS aliran dari kolom terhubung secara langsung pada ruang ionisasi spektrometer massa. Pada ruang ionisasi semua molekul (termasuk gas pembawa, pelarut, dan solut) akan terionisasi, dan ion dipisahkan berdasarkan massa dan rasio muatannya. Setiap solut mengalami fragmentasi yang khas (karakteristik) menjadi ion yang lebih kecil, sehingga spektra massa yang terbentuk dapat digunakan untuk mengidentifikasi larutan secara kualitatif (Harvey, 2000).

Gambar 8 : Skema GCMS

(Sumber : http://people.whitman.edu/~dunnivfm/C_MS_Ebook/CH2/2_3)

Pada kromatografi gas (KG) sampel dapat berupa gas atau cairan, yang diinjeksi pada aliran fasa gerak yang berupa gas inert (juga disebut sebagai gas pembawa). Sampel dibawa melalui kolom kapiler dan komponen sampel akan terpisah berdasarkan kemampuanya untuk terdistribusi dalam fasa gerak dan fasa diam (Harvey, 2000).


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fasa gerak yang paling umum digunakan untuk GCMS adalah He, Ne, Ar, dan N2, yang memiliki keuntungan inert terhadap sampel maupun terhadap fasa diam. Kolom yang digunakan biasanya terbuat dari kaca, stainless steel, tembaga, atau aluminium dan mempunyai panjang sekitar 2-6 m, dan diameter 2-4 mm. Kolom diisi dengan suatu fasa diam dengan kisaran diameter 37-44 m sampai


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama 7 bulan, yakni bulan Januari-Juli 2014 di Laboratorium Bahan Alam, Pusat Penelitian Kimia – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong.

3.2.ALAT DAN BAHAN

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia, erlenmeyer, gelas ukur, corong, labu evaporasi, spatula, batang pengaduk, pipet tetes, mikropipet, kertas saring, kertas saring bebas abu, botol timbang, cawan penguap, krus silikat, piknometer, neraca analitik, desikator, waterbath, hot plate,

magnetic stirrer, pilot plant (Buchi), rotary evaporator (Buchi), oven, plat KLT,

Mikroskop (Olympus-BH2), Muffle Furnace (Sibata SMS-160), Spektrofotometri Serapan Atom (AA Shimadzu-6300), Spektrofotometri UV-Vis (Mecasys), Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Shimadzu-10AVP), dan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (Shimadzu-QP2010).

3.2.2 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol 70 % yang telah dipekatkan dari bagian tangkai dan daun dari tanaman Rumput Israel

(Asystasia gangetica). Tanaman ini diperoleh dari 3 tempat tumbuh yang berbeda,

yaitu Tangerang Selatan (Jalan Raya Puspiptek, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten), Depok (Jalan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat), dan OKU Timur (Desa Nusa Tunggal, Kecamatan Belitang III, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan) pada bulan Januari 2014.


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2.3 Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%, air kloroform LP, kloroform-amonia, aquadest, etanol 96% (Merck), metanol (J.T Baker), n-heksana, etil asetat, H2SO4 2N, pereaksi Mayer, pereaksi

Dragendorf, pereaksi Wagner, serbuk Mg, HCl pekat, FeCl3 1%, NaCl 0,9 %,

KOH 0,5 N, NaOH 1 N, eter, pereaksi Lieberman-Buchard, AlCl3 10%, kalium asetat 1M, kuersetin (Sigma), HCl encer, HNO3 pekat, HClO4.

3.3.PROSEDUR KERJA

3.3.1 Persiapan Bahan Uji

1. Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan merupakan bagian tangkai dan daun dari tanaman Rumput Israel yang diambil secara langsung dari kebun di Puspitek Tangerang Selatan, Jalan Pondok Petir Kecamatan Bojongsari Kota Depok, dan Desa Nusa Tunggal Kecamatan Belitang III OKU Timur.

2. Determinasi Sampel

Determinasi tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) dari tiga tempat tumbuh dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat

3. Sortasi Basah

Penyortiran dilakukan terhadap tanaman Rumput Israel (Asystasia

gangetica) dari bahan-bahan pengotor dan bahan asing lainnya pada batang

dan daun. 4. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan menggunakan air mengalir lalu ditiriskan agar kelebihan air cucian keluar.

5. Perajangan

Karena tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) bersifat merambat, maka sebelum dikeringkan perlu dilakukan perajangan terhadap batang tanaman tersebut agar pengeringan berlangsung lebih cepat.


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saat pengeringan, tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) dibuat merata dan tidak bertumpuk. Dilakukan pengeringan dengan dikering anginkan selama 5 hari untuk tanaman asal Tangerang Selatan dan Depok, serta 6 hari untuk tanaman asal OKU Timur hingga tanaman kering dan dapat diremas.

7. Sortasi Kering

Setelah kering, dilakukan penyortiran untuk memisahkan kotoran ataupun bahan asing dari simplisia.

8. Pembuatan Ekstrak

Sebelum dilakukan ekstraksi, dilakukan penggilingan terhadap simplisia hingga berbentuk serbuk, lalu dilakukan penimbangan sebagai bobot awal. Ektraksi dilakukan dengan cara maserasi. Simplisia kering Rumput Israel

(Asystasia gangetica) dari tiga tempat tumbuh masing-masing 2476,6 gram

(Tangsel), 1108 gram (Depok), dan 1084,6 gram (OKU Timur) dimaserasi dengan etanol 70 % hingga terendam + 5 cm diatas permukaan simplisia selama 24 jam sambil sesekali dilakukan pengocokan. Proses maserasi dilakukan berulang kali hingga maserat tidak berwarna. Hasil maserasi Rumput Israel disaring dengan kertas saring lalu filtrat yang didapat dikumpulkan dan dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary

evaporator kemudian dihitung rendemen terhadap ekstrak tersebut.

bobot ekstrak yang didapat (gram) x 100 % bobot simplisia awal (gram)

3.3.2 Karakterisasi Ekstrak Rumput Israel

3.3.2.1 Pengamatan Makroskopik

Uji makroskopik yang dilakukan yakni pengamatan fisik terhadap tanaman Rumput Israel (Asystasia gangetica) meliputi bentuk, daun, warna daun, buah dan bunga (Farmakope Herbal, 2009).


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.2.2 Parameter Spesifik

1. Identitas ekstrak (Depkes RI, 2000)

a) Deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan dan nama Indonesia tumbuhan)

b) Senyawa identitas yang terkandung 2. Organoleptik (Depkes RI, 2000)

Pengenalan ekstrak secara fisik menggunakan pancaindera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa

3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (Depkes RI, 2000) a) Kadar senyawa yang larut dalam air

Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 20 mL air-kloroform LP (2,5 mL air-kloroform dalam 1000 mL air) dalam labu bersumbat sambil beberapa kali dikocok selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam kemudian disaring. 20 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Uji dilakukan sebanyak tiga kali (triplo) dan dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal.

Keterangan : A1 = Bobot cawan + residu setelah pemanasan (gram) A0 = Bobot cawan kosong (gram)

B = Bobot sampel awal (gram) b) Kadar senyawa yang larut dalam etanol

Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 20 mL etanol (95 %) dalam labu bersumbat sambil beberapa kali dikocok selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam kemudian disaring secara cepat. 20 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Uji dilakukan sebanyak tiga kali (triplo)dan dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol (95 %) terhadap berat ekstrak awal.

A1– A0 x 100%

B % Senyawa larut dalam air =


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan : A1 = Bobot cawan + residu setelah pemanasan (gram) A0 = Bobot cawan kosong (gram)

B = Bobot sampel awal (gram)

4. Uji Kandungan Kimia Ekstrak

a) Pola Kromatogram(Saifudin et al, 2011)

Ekstrak sebanyak 5 mg dilarutkan dalam 1 mL metanol untuk memperoleh larutan uji. Larutan uji dari ketiga tempat lokasi ditotolkan pada plat KLT berupa silika gel 60 F254 sebagai fase diam, kemudian dielusi dengan fase gerak kloroform : metanol lalu diamati pemisahan senyawa dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Plat KLT diberi pereaksi H2SO4 dengan cara disemprot untuk menampakkan noda lalu dihitung nilai Rf.

Pada uji kromatogram dengan KCKT, fase gerak yang digunakan yaitu kombinasi antara air, metanol, dan asetonitril dengan fase diam non polar C-18. Dilakukan uji dengan berbagai kombinasi fase gerak dan metode elusi hingga terbentuk rekam kromatogram yang baik, yaitu yang simetris dan tidak melebar.

b) Penapisan Golongan Kimia a. Uji Alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff (Anonim, 2012). b. Uji Flavonoid

Sebanyak 3 mL sampel diuapkan, dicuci dengan heksana sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 mL etanol kemudian disaring.

A1– A0 x 100%

B % Senyawa larut dalam etanol =


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Filtrat dibagi 4 bagian A dan B. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditambahkan 0,5 mL HCl pekat kemudian dipanaskan pada penangas air, jika terjadi perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan hasil yang positif (metode Bate Smith-Metchalf) (Marliana, 2005). c. Uji Triterpenoid dan Steroid

Sejumlah ekstrak diekstraksi dengan dietil eter dan fraksi yang larut dalam dietil eter dipisahkan. Fraksi yang larut dalam dietil eter ditambahkan 2 tetes asam asetat glasial dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Lieberman-Buchard). Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan selama beberapa menit. Steroid memberikan warna biru atau hijau, sedangkan triterpenoid memberikan warna merah atau violet (Atmoko T et al, 2009).

d. Uji Saponin

Uji Saponin dilakukan dengan cara memasukkan 1 gram ekstrak sampel kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 10 mL akuades lalu dikocok selama 1-2 menit dan diamati perubahan yang terjadi. Adanya saponin ditandai dengan terbentuknya busa kurang lebih 1 cm dan stabil selama 30 menit (El-Kamali H et al, 2010).

e. Uji Tanin

Ekstrak sebanyak 1 gram ditambahkan 10 ml larutan NaCl 0,9 % panas. Setelah dingin lalu disaring dengan kertas saring. Kemudian filtrat ditambahkan 1-2 tetes larutan FeCl3. Adanya tanin ditandai dengan terbentuknya warna biru, biru tua, atau hijau kebiruan (Mojab F et al, 2003).

f. Uji Antrakuinon

Uji antrakuinon dilakukan dengan uji Brontrager dan uji Brontrager termodifikasi. Uji Brontrager dilakukan dengan cara melarutkan 2 mL sampel dengan 10 mL akuades kemudian disaring, filtrat diekstrak dengan 5 mL benzena. Hasil ekstrak dibagi menjadi 2 bagian, A dan B. Filrat A digunakan sebagai blangko dan filtrat B ditambahkan 5 mL ammonia kemudian dikocok, bila terdapat warna merah berarti hasil positif.


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta LAMPIRAN 14

PERHITUNGAN KADAR TOTAL FLAVONOID

Kurva Kalibrasi

Absorbansi Sampel

Sampel

Absorbansi (500 µL)

Rata-Rata

Rp OKU 0,095 0,084 0,090 Rp Depok 0,062 0,056 0,059 Rp Tangsel 0,051 0,054 0,053

Perhitungan

Konsentrasi akhir =

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250

0 5 10 15 20 25

A

b

sor

b

an

si

Konsentrasi

Kurva Kalibrasi Kuersetin

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

0 0,005

5 0,060

10 0,119

15 0,159

20 0,195

y = 0,00958x + 0,0118 R2 = 0,9944


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Faktor Pengenceran =

% Flavonoid =

−i e e

e FP %

Konsentrasi akhir (250 µL) = µL

µL

=

50 ppm

Konsentrasi akhir (500 µL) = µL

µL

=

100 ppm

Faktor Pengenceran (250 µL) =

= 20

Faktor Pengenceran (500 µL) =

= 10

TANGSEL 500 µL

% Flavonoid =

, − ,

, %

= 4,300 %

DEPOK 500 µL

% Flavonoid =

, − ,

, %

= 4,926 %

OKU TIMUR 500 µL

% Flavonoid =

, − ,


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta LAMPIRAN 15

PERHITUNGAN CEMARAN LOGAM

1. Pb (Timbal)

Kurva Kalibrasi

Perhitungan

Logam Pb (Timbal) pada ekstrak Rumput Israel (Asystasia gangetica) asal Tangerang Selatan, Depok, dan OKU Timur tidak terdeteksi -0,02

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12

0 2 4 6 8 10 12

A

b

sor

b

an

si

Konsentrasi

Kurva Kalibrasi Pb

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

0 -0,00396

5 0,05341

10 0,1047

y = 0,0108x – 0,0029 R2 = 0,9994


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Cd (Kadmium)

Kurva Kalibrasi

Perhitungan

TANGERANG SELATAN y = 0,1764x + 0,0004

0,02005 = 0,1764x + 0,0004 x = 0,02005– 0,0004 0,1764

Kadar Logam =

µg

L L

= , ,

= 4,96 µg/gram = 4,96 ppm -0,2

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2

0 2 4 6 8 10 12

A

b

sor

b

an

si

Konsentrasi

Kurva Kalibrasi Cd

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

0 -0,00098

5 0,8856

10 1,7638

y = 0,1764x + 0,0004 R2 = 0,9999


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DEPOK

y = 0,1764x + 0,0004 0,0236 = 0,1764x + 0,0004 x = 0,0236 – 0,0004 0,1764

Kadar Logam =

µg

L L

= , ,

= 6,52 µg/gram = 6,52 ppm

OKU TIMUR y = 0,1764x + 0,0004 0,02194 = 0,1764x + 0,0004 x = 0,02194 – 0,0004 0,1764

Kadar Logam =

µg

L L

= , ,


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. As (Arsen)

Kurva Kalibrasi Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

0 0,0024

5 0,0658

10 0,1212

15 0,1839

20 0,2413

Perhitungan

Logam As (Arsen) pada ekstrak Rumput Israel (Asystasia gangetica) asal Tangerang Selatan, Depok, dan OKU Timur tidak terdeteksi

y = 0,0119x + 0,0037 R² = 0,9996

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3

0 5 10 15 20 25

A

b

sor

b

an

si

Konsentrasi (ppb)


Dokumen yang terkait

Efek Ekstrak Metanol Dan Ekstrak n-Heksana Daun Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Tikus Wistar Jantan Setelah Diinduksi Karagenan

5 48 86

Uji aktivitas antijamur ekstrak etanol Rumput laut Sargassum ilicifolium (Turner) C. Agardh Terhadap Jamur Candida albicans

3 88 83

Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia

26 149 115

Respon pertumbuhan dan fisiologi tanaman Asystasia gangetica, Impatiens balsamina, dan Mirabilis jalapa pada tingkat polusi yang berbeda

0 5 36

SKRINING AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 70% DARI BEBERAPA DAUN TANAMAN DI INDONESIA Skrining Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Dari Beberapa Daun Tanaman Di Indonesia Terhadap Bakteri Salmonella typhi Serta Bioautografinya.

0 3 13

SKRINING AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 70% DARI BEBERAPA TANAMAN DI INDONESIA TERHADAP BAKTERI Skrining Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Dari Beberapa Daun Tanaman Di Indonesia Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Serta Bioautografinya.

0 11 15

SKRINING AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 70% DARI BEBERAPA DAUN TANAMAN DI INDONESIA Skrining Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Dari Beberapa Daun Tanaman Di Indonesia Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Serta Bioautografinya.

0 2 13

SKRINING AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 70% DARI BEBERAPA DAUN TANAMAN DI INDONESIA TERHADAP BAKTERI Skrining Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Dari Beberapa Daun Tanaman Di Indonesia Terhadap Bakteri Shigella sonnei Serta Bioautografinya.

0 4 17

SKRINING AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 70% DARI BEBERAPA DAUN TANAMAN DI INDONESIA Skrining Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Dari Beberapa Daun Tanaman Di Indonesia Terhadap Bakteri Shigella sonnei Serta Bioautografinya.

0 4 13

Karakterisasi Mutu Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) dari Tiga Tempat Tumbuh

0 0 8