Dari sentralisme hukum menuju pluraslism

Dari Sentralisme Hukum menuju Pluralisme
Hukum di Indonesia
(Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum)
Oleh MUHAMMAD AULIA Y GUZASIAH, SH
PENDAHULUAN
Sudah menjadi sifat alamiah dari manusia sebagai zoon politikon atau
mahkluk sosial ialah cenderung untuk selalu mengikatkan diri dengan manusia
lainnya. Sebagai mahkluk sosial, manusia saling membutuhkan satu sama lain,
ada kepentingan dan kebutuhan untuk hidup bersama sampai pada akhirnya
terbentuklah kelompok masyarakat. Hal ini senada dengan adagium klasik yang
diungkapkan oleh seorang filsuf, ahli hukum, dan ahli politik kelahiran Roma,
Mercus Tullius Cicero (106-43 SM) “Ubi Societas Ibi Ius” yang kurang lebih
artinya “where there is society, there is law”, “dimana ada masyarakat disitu ada
hukum”. Adagium ini bermaksud untuk mengungkapkan konsepsi filosofi Cicero
yang menyatakan bahwa hukum tidak dapat di pisahkan dari masyarakat. Hal itu
dikarenakan, konsekuensi dari kehidupan bersama itu menyebabkan adanya
interaksi, kontak atau hubungan satu sama lain. Kontak dapat berarti hubungan
yang menyenangkan atau menimbulkan pertentangan atau konflik.
Mengingat akan banyaknya kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan
yang hendak di capai dalam kehidupan bersama itu, tidak mustahil terjadi konflik
atau


bentrokan

antara

sesama

manusia,

karena

kepentingannya

saling

bertentangan. Konflik kepentingan ini terjadi apabila dalam melaksanakan atau
mengejar kepentingannya seseorang merugikan orang lain. “Homo Homini
Lupus” atau “Man To Man Is an Arrant Wolfe” yang artinya ialah manusia adalah
benar-benar serigala pada manusia lainnya, suatu kalimat yang dipopulerkan oleh
Thomas Hobbes dalam tulisannya yang di publikasikan pada tahun 1651, De cive,

Philosophical Rudiments Concerning Government and Society atau A Dissetation
1

Concerning Man. Dalam tulisannya, Thomas Hobbes mengambarkan bahwa demi
mencapai tujuan yang diinginkan, manusia mampu melakukan kejahatan pada
sesamanya dalam bersaing, bertempur memperebutkan sesuatu “Bellum Omnium
Contra Omnes”. Sehingga manusia di dalam masyarakat memerlukan suatu
perlindungan untuk menjamin berbagai kepentingannya dari bentrokan atau
konflik kepentingan antar sesama manusia (conflict of human interest), maka
terciptalah suatu perlindungan kepentingan, suatu pedoman atau peraturan hidup
yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat
agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman, patokan atau
ukuran untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama ini disebut
norma atau kaidah sosial, termasuk didalamnya kaidah hukum.
Kemudian untuk menerapkan dan mengoperasikan kaidah hukum
dibutuhkan sistem hukum sebagai suatu kesatuan kaidah-kaidah hukum yang
terdiri dari atas bagian-bagian hukum yang mempunyai kaitan (interaksi) satu
sama lain, yang tersusun sedemikian rupa menurut asas-asasnya. Prof. Sudikno
mertokusumo mengartikan sistem hukum merupakan suatu kesatuan yang
terorganisasi, terstruktur (a structured whole) yang terdiri dari unsur-unsur atau

bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan mengadakan kerja
sama untuk kepentingan dan tujuan kesatuan.
Sudah menjadi konsekuensi dari susunan negara kesatuan untuk
sentralistik dalam hal apapun, karena dalam teorinya, didalam negara kesatuan
hanya ada satu pemerintah yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan
serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapakan
kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat
maupun di daerah-daerah. Dengan Asas Sentralisasi yang menghendaki bahwa
segala kekuasaan serta urusan pemerintahan itu milik pemerintahan pusat dan
Asas konsentrasi yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta urusan
pemerintahan itu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat.

2

Kemudian setelah negara-negara di dunia ini mengalami perkembangan
yang

demikian

pesat,


wilayah

negara

menjadi

semakin

luas,

urusan

pemerintahannya semakin kompleks, serta warganegaranya menjadi semakin
banyak dan heterogen, maka di beberapa negara telah dilaksanakan Asas
Desentralisasi dan Asas Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang dari
pemerintahan pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan
urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada di daerah-daerah.
Di Indonesia sendiri, betapa sistem pemerintahan itu mempengaruhi corak
sistem hukum yang digunakan, asas sentralisasi pernah diterapkan pada zaman

kemerdekaan hingga orde baru. Barulah di era Reformasi setelah rezim orde baru
tumbang pada tahun 1998 ditandai dengan krisis finansial yang melanda Indonesia
dan bergejolaknya disintegritas nasional antar daerah, yang membuka keran
demokrasi terbuka kemudian merubah haluan dari negara kesatuan berasaskan
sentralisasi ke negara kesatuan yang berasaskan desentralisasi ditandai
amandamen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yang secara eksplisit, yang tak
hanya mengatur dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah-daerah
(provinsi, kabupaten dan kota) untuk menjalankan pemerintahannya masingmasing pada pasal 18, tetapi juga mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa serta mengakui
dan

menghargai

kesatuan-kesatuan

masyarakat

adat

beserta


hak-hak

tradisionalnya pada pasal 18B hasil amandemen kedua Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
Lalu dari sentralisasi ke desentralisasi kekuasaan pemerintahan pusat ke
tiap-tiap daerah, didorong oleh kemajemukan budaya dan masyarakat ditiap
daerah yang kini otonomi setelah desentralisasi, maka memberikan kesempatan
Pluralisme Hukum untuk tumbuh berkembang di ranah sistem hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dan kini senyatanya kehidupan realitas hukum di
indonesia telah terjadi seperti demikian, terdapat berbagai sistem hukum yang
hidup berdampingan, yaitu Hukum adat, hukum islam, civil law, dan common law.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena yang terjadi seperti, masih berlakunya

3

hukum-hukum adat lokal di beberapa daerah di indonesia yang jauh sebelum
indonesia merdeka dan dalam tahap menjalankan perencanaan pembangunan
nasional, hukum adat sudah mendarah daging kedalam masyarakat indonesia
sehingga tak jarang berbenturan dan bermasalah dengan hukum nasional, juga

kuatnya pengaruh hukum islam di beberapa daerah di indonesia yang kemudian
bercampur baur dengan hukum adat setempat sehingga melahirkan daerah-daerah
yang berstatuskan “istimewa” seperti Aceh yang bersyariatkan Islam, lalu ada juga
dikenal juga sistem hukum civil law yang sebagian besar corak hukum nasional
dan tata cara berhukum di indonesia memakai sistem hukum ini sebagai
konsekuensi penjajahan yang dilakukan oleh belanda kepada bangsa indonesia
yang berdasarkan asas konkordansi, kemudian melalui perkembangan globalisasi
ekonomi dan pergaulan lintas negara yang di lakukan oleh indonesia seperti
melakukan perdagangan internasional, perjanjian-perjanjian atau konvensikonvensi internasional dengan negara-negara maju di dunia, pengaruh sistem
hukum common law secara disadari atau tidak masuk ke indonesia.
Walaupun tidak ada aturan hukum khusus yang menegaskan entitas sistem
hukum apa yang berlaku di Indonesia tetapi fakta di lapangan sosial saat ini
menjelaskan memang terjadinya suatu realitas atau situasi dimana terdapat dua
atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial, yang
kemudian dinamakan Pluralisme hukum. Sehingga terhadap kemungkinan
pengaruh realitas pluralisme hukum yang terjadi di indonesia ini, timbul beberapa
kekhawatiran, apakah pluralisme hukum ini nantinya akan menjadi faktor yang
bisa membawa akibat yang membahayakan esensi dari bentuk negara kesatuan itu
sendiri, yaitu persatuan indonesia ataukah memberi kemanfaatan dan keadilan
bagi kemajemukan budaya dan masyarakat di indonesia.

Maka berangkat dari pemikiran-pemikiran dan fakta-fakta diatas, penulis
tertarik untuk mengkaji fenomena Pluralisme hukum yang sedang terjadi saat ini
dengan sudut pandang studi sosiologi hukum untuk menjelaskan, pertama, konsep
pluralisme hukum dan sentralisme hukum, kedua, perkembangan pluralisme

4

hukum di indonesia, ketiga, pluralisme hukum sebagai pengejewantahan pancasila
dalam mengakomodir kemajemukan masyarakat indonesia.

PEMBAHASAN
Konsep Pluralisme hukum dan Sentralisme hukum
Pluralisme hukum, secara umum didefinisikan oleh Griffiths1 sebagai
suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan
dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan
keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang
kehidupaan sosial, lalu Hooker2 menerangkannya sebagai suatu situasi dimana dua
atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial, kemudian F.
Von Benda-Beckmann3 menambahkannya sebagai suatu kondisi dimana lebih dari
satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktifitasaktifitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat.

Konsep Pluralisme hukum (legal Pluralism) secara umum dipertentangkan
dengan ideologi sentralisme hukum (legal Centralism). Ideologi sentralisme
hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum
negara (State Law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat,
dengan mengabaikan keberadaan-keberadaan sistem-sistem hukum yang lain,
seperti hukum agama (Religious Law), hukum kebiasaan (costumary law), dan
juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal (inner-order
mechanism) yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat4. Sehingga secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung
mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di
dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga
1I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran konsep Pluralisme Hukum, Makalah untuk
dipersentasekan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan kekayaan Alam di
Indonesia yang sedang berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai jawaban”, Hotel Santika
jakarta, 11- 12 oktober, Hlm. 10
2 Ibid
3 Ibid
4 Ibid

5


dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum
yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (State law). Karena itu, meminjam
kata-kata dari Griffiths5 yang menyatakan, “Legal pluralism is the fact. Legal
centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of
social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social
group”, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat
yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan suatu
kemustahilan.
Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths, membedakannya
menjadi dua macam, yaitu weak legal pluralism dan strong legal pluralism.
Menurut Graffiths, pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari
sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi
hukum negara dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain
disatukan di bawah hukum negara dan mengakui adanya keanekaragaman sistem
hukum, tetapi masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut
sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan
servient law yang menurut inferior seperti kebiasaan dan hukum agama.6
Sementara itu konsep Pluralisme hukum yang kuat, yang menurut
Grafitths7 ialah adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua

(kelompok) masyarakat, semua sistem hukum yang ada dipandang sama
kedudukannya dalam masyarakat sehingga tidak terdapat hirarki yang
menunjukkan sistem hukum yang lebih tinggi dari yang lain. Griffiths sendiri
memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat
anatara lain adalah teori living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan
hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang dikontraskan dengan hukum
negara, yang dalam hal ini Ehrlich sebenarnya tidak hanya menunjukkan bahwa
ada jurang diantara law in the books dan aturan-aturan dalam kehidupan sosial,
5 Ibid, hlm. 11
6Sulistyowati Indro, Pluralisme hukum dan Masyarakat Saat Krisis dalam Hukum dan
Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 67.
7 Ibid.

6

tetapi juga bahwa keduanya merupakan kategori yang berbeda-beda secara
hakiki8.
Pandangan lain yang dikategorikan sebagai pluralisme hukum yang kuat
menurut Griffiths adalah teori dari Sally F. Moore mengenai pembentukan aturan
disertai kekuataan pemaksa didalam kelompok-kelompok sosial yang disebri label
the semi-autonomous social fields. Dalam hal ini Griffiths mengadopsi pengertian
pluralisme hukum dari Moore9: “Legal Pluralisme refers to the normative
heteregony attendant upon the fact that social action always takes place in a
context of multiplee, overlapping ‘semi-autonomous social fields’”.
Kemudian berkembang konsep Pluralisme hukum yang baru, yang tidak
menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum
rakyat disisi lain akibat datangnya sejumlah kritikan, seperti dari Tamahana 10 yang
mengatakan bahwa pandangan kaum legal pluralist cenderung menonjolkan
adanya kontras antara hukum negara dan hukum rakyat.
Salah satu dari

pemikir yang dapat digolongkan ke pemikir konsep

Pluralisme yang baru ialah Franz Von Benda-Beckmann 11 yang mengatakan
bahwa tidak cukup untuk menunjukkan dilapangan sosial tententu terdapat
keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting ialah apakah yang terkandung
dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum
tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimakah
keberadaan dari sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam
suatu lapangan kajian tertentu. Kemudian ada Gordon Woodman12 yang
memberikan variasi pandangan pluralisme hukum tersendiri yang melihatnya pada
tataran individu yang menjadi subyek dari pluralisme hukum tersebut sehingga
dalam rangka mengkaji pluralisme hukum saat ini, sudah saatnya memang untuk
tidak didasari pada maping of the legal universe, karena semakin tidak
8 Ibid, hlm. 68.
9 Ibid.
10 Ibid.
11 Ibid, hlm. 69.
12 Ibid.

7

menyederhanakan gejala hukum dalam masyarakat yang rumit. Lihatlah bahwa
pluralisme hukum juga terdapat dalam sistem hukum rakyat (folk law), seperti
hukum agama, adat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang saling “bersaing”,
kemudian juga harus berhadapan dengan sistem hukum negara yang juga plural
sifatnya. Pluralisme dalam hukum negara tidak saja berasal dari pembagian secara
formal jurisdiksi normatif seperti pengaturan pada badan-badan korporasi,
lembaga-lembaga politik, badan-badan ekonomi, dan badan-badan administrasi
yang berada dalam satu sistem, tetapi juga dalam banyak situasi dapat dijumpai
adanya choice of law dalam situasi conflict of law yang sebagaimana pada
prinsipnya dikatakan oleh Kleinhans dan MacDonald13: “state law itself typically
comprises multiple bodies of law, with multiple institutional reflections and
multiple sources of legitimacy”.

13 Ibid, hlm. 70.

8

Perkembangan Pluraslisme hukum dalam Sistem Hukum di Indonesia
Sistem hukum di indonesia dan perkembangannya tidak terlepas dari
sejarah bangsanya dan perkembangan globalisasi ekonomi dan hukum pada masa
yang lampau hingga sekarang. Perdagangan dan penjajahan tidak hanya
membawa komoditi indonesia kepasar dunia, tetapi juga membawa hukum baru
ke negeri ini. Setidaknya, akibat dari perkembangan globalisasi ekonomi dan
hukum yang terjadi di indonesia, terdapat empat sistem hukum yang
berdampingan secara damai di indonesia, yaitu Hukum adat, Hukum Islam, “Civil
Law”, dan “Common Law”14.
Dimulai dengan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup pada
masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa. Istilah adat itu sendiri
berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
berarti “kebiasaan”15. Hukum adat adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat
yang ditaati oleh anggotanya dan kebiasaan itu mempunyai sanksi bila ia tidak
diikuti. Menurut mr. J. H. P. Bellefroit16, hukum adat sebagai peraturan-peraturan
hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan
ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku
sebagai hukum. Adapun bidang hukum adat ini, menurut Ter Har 17 dalam bukunya
“Beginsel en stelsel van het Adat-Recht” meliputi:
1. Tata masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5. Hukum hutang piutang
6. Lembaga/yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hukum keluarga
9. Hukum perkawinan
10. Hukum delik
14 Erman Rajagukguk, Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, paper yang disampaikan pada Diskusi
Panel dalam rangka Dies natalis ke-37 IAIN sunan Gunung djati, Bandung, 2 April 2005. Hlm. 2.
15 Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asasa Hukum Adat indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan
ilmu politik Universitas Padjajaran, Bandung, 2008, hlm.1.
16 Ibid, hlm. 4.
17 Ibid, hlm. 17.

9

11. Pengaruh lampau waktu
Hukum adat yang kini hidup pada rakyat indonesia ialah hasil akulturasi
antara peraturan-peraturan adat-isitiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturanperaturan hidup yang dibawa oleh kultur hindu, kultur islam dan kultur kristen,
yang hal ini bisa dilihat dari sejarahnya. Sebelum Indonesia sebagai negara
modern terbentuk, di indonesia sendiri, telah terbentuk berbagai peradaban yang
silih berganti telah mencapai puncak peradabannya yang kemudian membawa
corak tersendiri yang nantinya sangat mempengaruhi sistem hukum indonesia saat
ini. Dimulai dari peradaban zaman hindu/buddha seperti kerajaan Sriwijaya (abad
VII), kerajaan Kalingga (abad VII), Sanjaya (abad VIII), Syailendra (abad VIII
dan IX), kerajaan Isana (abad IX), Darmawangsa (abad X), Airlangga (abad XI),
kediri (abad XII), Singgasari (abad XIII), Majapahit (abad XIII) 18. Kemudian
disusul oleh peradaban islam, kerajaan samudra pasai (abad XIII), Kesultanan
Demak, Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten, Kerajaan Maluku; kerajaan jailolo,
kerajaan ternate, kerajaan tidore dan bacam (abad XVI), Kerajaan Goa (XVII) 19,
kemudian sampai pada pengaruh pada masa penjajahan belanda yang membawa
pengaruh hukum eropa atau eropa kontinental (Civil law) yang berasal dari sejarah
hukum Romawi yang sangat dipengaruhi oleh etika katolik Vatikan (kristen)20.
Dalam perkembangannya, hukum adat ini berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakatnya, sehingga Hukum adat yang sebagian besar tidak
tertulis itu kemudian mendapatkan tempatnya dalam putusan-putusan pengadilan
formal, sehingga lama-kelamaan perkembangan hukum adat tersebut dapat diikuti
melalui putusan-putusan pengadilan. salah satu contohnya seperti pada putusan
MA No. 391 K/Sip/1969 tentang keabsahan dari hibah yang dilakukan pewaris
kepada ahli waris yang merugikan ahli waris yang lain.
Sampai saat ini Hukum Adat itu masih hidup di beberapa tempat dan tidak
jarang menimbulkan beberapa masalah, terutama yang berkaitan dengan tanah
Ulayat. Hukum adat juga yang menyebabkan tidak dapat di unifikasinya bidang

18 Hartono, Pancasila ditinjau dari segi historis, Rineka Cipta, jakarta, 1992, hlm.4.
19 Ibid, hlm. 5.
20 Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 203.

10

hukum keluarga di Indonesia karena ia berkaitan dengan budaya masyarakat
setempat21.
Selain Hukum Adat, menyebarnya agama Islam di indonesia disertai
dengan berdirinya kerajaan- kerajaan dan kesultanan islam di nusantara, juga
membawa pengaruh hukum Islam. Di beberapa daerah yang penganutnya
islamnya kuat, hukum islam telah meresap dan menyatu dengan kehidupan seharihari masyarakat sehingga hukum islam tak terlepas dari adat dan budaya
masyarakat. Seperti misalnya di sumatera barat dan aceh, masyarakat menerapkan
Hukum Islam dalam bidang perkawinan dan warisan. Sehingga dalam
perbincangan sejarah hukum, hukum islam yang hidup berdampingan dengan
hukum adat, melahirkan perdebatan hukum manakah yang diberlakukan bagi
masyarakt setempat. Snouck Hurgronje22 memperkenalkan teori Receptie, yaitu
Hukum Islam beru berlaku kalau Hukum islam itu sudah terlebur ke dalam
Hukum Adat. Dengan demikian Bagi penganut agama islam belum tentu tunduk
pada Hukum Isalam. Namun teori Receptie ini begitu kontroversial sehingga
mengundang banyak pemikir Hukum Islam untuk mengkritik dan membantahnya,
salah satunya Hazairin23 dengan teori Receptie Exit, yang menolak teori Receptie
dari Hurgronje untuk berlakunya di Indonesia, dengan mengemukakan teori
Receptie ini adalah teori iblis. Kemudian ada Sayuti Thalib24 dengan teori
Receptie a Contrario yang mengemukakan bahwa hukum yang berlaku di
Indonesia adalah hukum islam, sedangkan hukum adat dapat di berlakukan kalau
sudah beradaptasi dengan hukum islam, atau dengan kata lain Hukum adat baru
berlaku jika ia tidak bertentangan dengan hukum islam. Sayuti thalib mengambil
contoh peranan hukum islam di Sumatera Barat, Minangkabau: ”adat bersendikan
syara’, syara’ bersendikan kitabullah”. Juga di aceh, dalam sebuah hadih maja
(peribahasa) yang terkenal di aceh disebutkan, islam dan adat di aceh bagaikan zat
dengan sifat (agama ngen adatagee zat ngen sifet)25.
21 Erman Rajagukguk, op.cit, hlm. 4
22 Abdul Manan, Aspek-Apek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, jakarta, 2006, hlm. 45
23 Ibid
24 ibid
25 Annisha Putri Andini, Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Penerapan Syariat Islam di Aceh
dalam Hukum Dalam Bunga Rampai Pemikiran, Genta press, Yogyakarta, 2015, hlm. 247.

11

Dalam perkembangannya, hukum Islam kini tidak saja mengatur maslah
perkawinan dan warisan, tetapi juga meluaskan pengaruhnya ke bidang hukum
ekonomi seperti perbankan, asuransi dan pasar modal, Undang-undang Perbankan
Indonesia, misalnya, yang telah menetapkan bahwa bank tidak saja menjalankan
usahanya berdasarkan bunga tetapi juga dengan cara-cara lain seperti bagi hasil
yang di jalankan oleh Bank Syariah. Dibidang Tata Negara, perkembangan politik
dalam negeri yang melahirkan beberapa daerah yang mendapatkan status
“isitimewa” khusus untuk memberlakukan Syariat Islam untuk daerah Aceh yang
dituangkan dalam Undang-undang Otonomi Khusus Nangro Aceh Darussalam.
Lalu ketika kolonialisme Belanda menjajakan kekuasaannya ke kepulauan
Nusantara dalam bentuk penjajahan, kolonialisme Belanda sekaligus juga
membawa datangnya hukum Netherland yang berasal dari Code Napoleon.
Hukum ini dimasukkan ke dalam sistem hukum Civil Law atau eropa kontinental
yang berasal dari Prancis dan Prancis mengalinya dari hukum Romawi yang
berkiblat kepada hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang
dbuat pada masa kasiar Justinianus26. Karakteristik khusus dari Civil Law adalah
pertama, hukum merupakan produk legislatif, kedua, hukum adalah peraturan
perundang-undangan, ketiga, sngat dipengaruhi oleh presepsi hukum Romawi,
keempat, semua sistem hukum Eropa kontinental atau Civil Law dikodifikasi
dalam suatu peraturan perundang-undangan, kelima, keputusan pengadilan dalam
sistem hukum kontinental atau Civil Law bukan sumber hukum yang pertama,
tetapi hanya keterangan mengenai hukum, keenam, dalam Common Law memberi
tempat yang sangat penting pada pengadilan, sedangkan pada sistem Eropa
Kontinental atau Civil Law tidak demikian, hukum tidak hanya penuntutan tetapi
sebagian besar mengenai fungsi umumnya, ketujuh, dualisme hukum kebiasaan
dan kepatutan sebagaiman Common Law tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa
Kontinental atau Civil Law, kedelapan, semua sistem Civil Law berbeda dalam
substansi dan prosedur anatara hukum perdata dan hukum administrasi.27
26 John Glissen & Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2007,
hlm. 302
27 W. Friedman, Legal Theory, terjemahan Muhammad Arifin dengan judul Teori dan Filsafat
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, jakarta, 1993, hlm. 163-165.

12

Berdasarkan asas konkordansi maka hukum di Netherland, otomatis
berlaku bagi penduduk di Hindia Belanda yang di mulai pada tahun 1848.
Penduduk Hindia Belanda waktu itu dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur
Asing, Bumi Putra. Golongan penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri
pada hukum Eropa baik secara sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi Eropa ini
dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-Undang
Dagang (KUHDagang), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana).
Dalam perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang
setelah Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undangundang tersendiri seperti Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Tenaga
Kerja, Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Merk, Undangundang Rahasia Dagang. Di negara asalanya sendiri ketiga kitab undang-undang
ini telah mengalami berkali-kali perubahan, di Indonesia perubahan itu terjadi
dengan lahirnya berbagai undang-undang baru yang dulunya diatu dalam
KUHPerdata, KUHDagang dan KUHPidana. perubahan undang-undang ini juga
terjadi oleh karena adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan
penafsiran

terhadap

undang-undang

tersebut

dan

akhirnya

menjadi

yurisprudensi28.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian dalam rangka
menjalankan pembangunan nasional, pada tahun 1967, indonesia mengundang
kembali datangnya modal asing dan mendorong perdagangan internasional
indoensia ke pasar dunia, serta melakukan pinjaman-pinjaman luar negeri dari
negara-negara maju. Kemdian pengaruh Common Law secara perlahan masuk
mempengaruhi hukum indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensikonvensi internasional dimana indonesia menjadi anggotanya, perjanjian antara
para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru dan pengaruh sarjana
hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara Common Law seperti
Amerika Serikat, Inggris dan Australia.
Datangnya modal asing ke Indonesia menyebabkan indonesia menjadi
anggota berbagai konvensi internasional dimana hukum Common Law adalah
dominan. Perjanjian yang terakhir amat mempengaruhi Indonesia dalam bidang
28 Erman Rajagukguk, op.cit. hlm. 6.

13

hukum Ekonomi adalah GATT (General Agreement on Tariff and Trade) atau
WTO (World Trade Organization), TRIMs (Trade Related Invesment Measures)
atau peraturan di bidang investasi yang berhubugan dengan perdagangan dan
TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) atau peraturan yang
berhubungan dengan hak milik intelektual, banyak mempengaruhi undang-undang
di bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Kemudian datangnya modal asing
yang dalam implementasinya melahirkan antara lain Joint Venture Agreement,
perusahaan-perusahaan waralaba negara-negara maju yang memperkenalkan
Indonesia pada Franchise Agreement, berbagai perusahaan Indonesia yang
memerlukan pinjamanan jangka pendek membawa mereka kepada pengenalan
Commercial Paper (CP). Kesemuanya itu datang dari Common Law sistem yang
sebelumnya tidak dikenal di Indoensia.
Badan-badan internasional yang didominasi oleh Common Law secara
tidak disadari juga membawa unsur-unsur sistem hukum tersebut kedalam
undang-undang nasional Indonesia. “Classs Action” diperkenalkan dalam gugatan
perlindungan lingkungan hidup, “Derivative Action” di perkenalakan dalam
gugatan pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris PT atas nama
perusahaan, yang sebelumnya hal-hal tersebut tidak dikenal dalam hukum Acara
Perdata Indonesia yang berasal dari Civil Law sistem. Sarjana hukum indonesia
yang mendapat pendidikan master dan doktor di Negara-negara Common Law
seperti Amerika Serikat, inggris dan Australlia mendorong pula secara tidak
langsung pengaruh Common Law dalam undang-undang di Indonesia.

Pluralisme hukum sebagai pengejewantahan pancasila dalam mengakomodir
kemajemukan masyarakat indonesia.
Melihat betapa majemuknya dan kompleksnya entitas sistem hukum di
indonesia, dengan banyak pulau, suku, bahasa dan budaya, maka menghindari
pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan yang berbeda mengenai cara
pandang dan keyakinan yang hidup di indonesia.

14

Secara umum, kompleksitas entitas sistem hukum yang umum bisa kita
kategorikan kedalam sistem hukum negara, yang di wakili oleh sistem hukum
civil law dan common law, dan sistem hukum rakyat, yang diwakili oleh hukum
adat masing-masing daerah dan hukum islam. kompleksitas pluralisme hukum,
baik dalam sistem hukum negara maupun sistem hukum rakyat dalam kehidupan
sehari-hari selalu saja dapat dijumpai adanya bermacam-macam sistem hukum
lain disamping hukum negara, yaitu hukum adat, agama kebiasaan-kebiasaan,
kesepakatan-kesepakatan atau konvensi-konvensi sosial lainnya yang sudah di
hayati sebagai “hukum” oleh masyarakat. Sangat perlu disadari, bahwa dalam hal
ini hukum negara bukanlah satu-satunya acuan yang mengatur hubungan sosial
warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Semua sistem hukum tersebut
menjadi acuan dan sama-sama mempengaruhi dalam prilaku orang dalam
berinteraksi dengan orang lain dan ketika masing- masing sisem hukum yang
berbeda itu bertemu dalam suatu kasus, biasanya yang terjadi adalah konflik,
meskipun bisa juga terjadi sebaliknya. Contoh kasus yang bisa kita lihat terhadap
bentuk dari konflik ialah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diberbagai tempat di
tanah air beberapa waktu silam, seperti kiris Aceh dengan adanya Gerakan Aceh
Merdeka/GAM (1976), krisis papua dengan Gerakan papua merdeka (1965),
krisis Ambon yang memicu perpecahan antar bangsa karena keyakinan
(1999/2000), krisis poso yang juga bernuansa SARA di sulawesi tengah (1998),
persitiwa Dayak-Madura dari peristiwa sanggau leddo di kalimantan barat (1996)
dan sampit di kalimantan tengah (2001), kerusuhan ketapang di jakarta (1998),
peristiwa bom bali (2002 dan 2005), persitiwa seputar jamaah ahmadiyah di
cikeustik, banten (2011), peristiwa sunni-syiah di sampang, madura (2012) dan
masih beragamnya konflik-konflik yang terjadi hingga yang terbaru insiden di
tolikara, papua (2015).
Sehingga menurut hemat penulis, satu-satunya jalan keluar dan upaya
memahami realitas pluralisme hukum yang terjadi di indonesia itu sendiri ialah
bercermin kepada entitias sejarah bangsa kita sendiri.

15

Apa yang dikatakan oleh von savigny, mengenai tiap bangsa mempunyai
jiwanya masing-masing yang kemudian disebut dengan Volkgeist, di indonesia,
bangsa

mendahului

adanya

negara,

sehingga

kebangsaan

indonesia

merefleksiakan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam
kesilaman29. Dalam ungakapan Clifford Geertz30, “indonesia ibarat anggur tua
dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru”. Hakikat
indonesia adalah suatu cita-cita politk untuk mempersatukan unsur-unsur tradisi
dan inovasi serta keragaman etnis, agam, budaya, dan kelas sosial ke dalam suatu
“boto baru” bernama “negara-bangsa”31. Bangsa (nation) menurut Anderson32
ialah komunitas politis yang secara keseluruhan dibayangkan sebagai kerabat
yang bersifat terbatas dan berdaulat. Yang dalam hal ini, pengertian dari bangsa ini
bisa kita jewantahkan dengan pengertian dari komunitas etnik (suku adat).
Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia sendiri, komunitas-komunitas etnis
itu beragam banyaknya dan majemuknya yang kemudian melebur menjadi satu
kesatuan bangsa, yaitu bangsa indonesia seiring proses membangun dan
membentuk Negara Kesatuan republik Indonesia.
Meskipun faktor budaya memainkan peran penting dalam persatuan
bangsa, kunci pokok yang mempersatuakan bangsa ini buknlah kesamaan budaya,
agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya Negara Persatuan yang
menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham golongan dari
perseorangan33.
Dengan arus globalisasi yang semakin luas cakupannya, dalam
penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi
potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga teanan keragaman dari
luar. Memasuki awal milenium baru, terjadi berbagai perubahan yang cepat,

29 Yudi latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia,
Jakarta, 2011, Ibid, hlm. 250.
30 Ibid.
31 Ibid, hlm. 356.
32 Ibid..
33 Ibid. Hlm. 359

16

dinamis, dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan antar bangsa dan
masyarakat34.
Pada ranah negara-bangsa (nation state), globalisasi menarik (pull away)
sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal untuk mngikuti
tuntutan global. Saat yang sama, globalisasi juga menekan (push down) negarabagian ke bawah, melahirkan tuntutan bagi otnomi lokal dan kepentingan untuk
mengepresikan

perbedaan

kecenderungan

ini

identitas35. Apa

bukanlah

dialektika

yang
yang

perlu
tidak

diwaspadai

dari

terhindarkan

dari

identitas/perbedaan, melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan
atavistik bahwa identitas hanya bisa dipertahanakan dan diamankan dengan cara
menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness), yang dapat membawa
bentrokan antaridentitas dalam rumah tangga kebangsaan36.
Sehingga dalam situasi seperti itu, untuk selalu memahami pluralitaspluralitas dalam pliralisme hukum yang terjadi tanpa menciderai esensi dari
negara kesatua kita ialah selalu melihat prinsip ketiga pancasila meletakkan dasar
kebangsaan sebagai simpul persatuan indonesia sebagai suatu konsepsi
kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan keragaman
dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity), yang dalam slogan negara
dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”37.

PENUTUP DAN KESIMPULAN
Sebagai negara kesatuan indonesia yang mempunyai kondisi budaya dan
masyarakat majemuk, mau tidak mau dalam menjalankan pemerintahannya harus
mengubah haluan yang dulunya bercorak sentralisasi kekuasaan pemerintahan
pusat ke arah desentralisi kekuasaan ke daerah. Sehingga dengan berubahnya
haluan kekuasaan, membuka keran demokrasi mengalir di indonesia dengan deras
kemudian ditambah dengan sejarah bangsa indonesia berupa komunitas etnik
34 Ibid. Hlm. 378
35 Ibid.
36 Ibid. Hlm. 379
37 Ibid. Hlm. 369.

17

(suku adat) yang lebih dulu ada daripada negara itu sendiri kemudian
terbentuknya negara modern ditambah dengan terjadinya globalisasi ekonomi,
politik dan hukum, maka realitas yang terjadi di lapangan sosial di Indonesia saat
ini ialah terjadinya Pluralisme hukum.
Realitas Pluralisme hukum diindonesia merupakan sesautu keniscayaan
yang tidak dapat dihindari. Pluralisme hukum layaknya sebuah koin memiliki dua
mata sisi, di sisi lain hal ini merupakan realitas yang bisa memecah integritas
kesatuan nasioanal indonesia akibat kesemrawutan atau ketidakpastian hukum
yang terjadi dalam skala negara kesatuan, tetapi di sisi lain bisa menjadi manfaat
dan perekat bagi perbedaan-perbedaan masyarakat indonesia yang majemuk
dalam merajut persatuan indonesia jika dipahami dengan cara yang benar melalui
sudut pandang sosiolog hukum dan pancasila sebagai jiwa bangsa (Volkgeist)
Indonesia. maka dari itu sebagai saran dari penulis untuk kedepannya dalam
merancang dan membentuk hukum nasional indonesia ialah baiknya selalu
memeperhatikan semangat, nilai-nilai atau jiwa bangsa dari indonesia yang
tersebar di tiap suku adat yang ada di pelosok negeri indonesia, sehingga
harapannya hukum nasional bisa menjadi sarana perekat dari kemajemukankemajemukan masyarakat indonesia yang mempunyai bangsa yang majemuk
paripurna (par excellence) untuk selalu bisa mengokohkan semangat kebersamaan
dalam persatuan bangsa dan tetap kokoh dari segala goncangan pengaruh negatif
globalisasi dari luar.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media,
Jakarta.
Bewa Ragawino, 2008, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, Bandung.

18

E.K.M. Masinambow, 2003, Hukum Dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan
Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun Ke-70 Prof. D. T.O.
Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.Hartono, pancasila ditinjau dari
segi historis, rineka cipta, jakarta, 1992
John glissen & Frits gorlw, 2007, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika
Aditama, Bandung.
Munir fuady, 2009, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.
Rezki Ramadhani, nabila desyatika putri, & Wafia desinta, 2015, Hukum Dalam
Bunga Rampai Pemikiran, Genta Press, Yogyakarta.
Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Sudikno mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta.
W Friedman, 1993, Teori Dan Filsafat Hukum, PT RajaGraindo Persada, Jakarta.
Yudi latif, 2011, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, Gramedia, Jakarta.

Makalah dan Jurnal
Erman Raja gukguk, Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme (online),
http://perpustakaan.setneg.go.id/images/artikel/ilmu_hukum_indonesia
-pluralisme-ermanrajagukguk.pdf, diakses pada tanggal 5 november
2015

19

I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme hukum (online),
http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/perkembanganpemikiran-konsep-pluralisme-hukum_I-Nyoman-Nurjaya.pdf, diakses
pada tanggal 9 november 2015
Internet
Http://www.academica.edu/2479524/Ubi_Societas_ibi_ius, diakses pada tanggal
3 november 2015
Http://m.hukumonline/berita/bacahol15089/pluralisme-hukum-harus-diakui,
diakses pada tanggal 9 november 2015
Http://www.pustakaindonesia.org/memahami-fungi-dan-tujuan-pancasila/,
diakses pada tanggal 12 november 2015
Http://m.kompasiana.com/pandu_wibowo/konflik-antar-etnis-penyebab-dansolusi_54f6d84fa33311ea608b4a56, diakses pada tanggal 11 november
2015

20