KONDISI PSIKOLOGI ANAK DARI KELUARGA YAN (1)

KONDISI PSIKOLOGI ANAK DARI KELUARGA YANG BERCERAI
(THE CONDITIONS OF CHILD PSYCHOLOGY TOWARD
FAMILY DIVORCED)

Oleh
Donna Viranda

Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini
Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
INSTITUT AGAMA ISLAM METRO (IAIN)
2018

ABSTRACT
There is a lot of divorce (Brokenhome) in a family bond. As a result of the divorce, many
negatively impact the child. One of the effects of a parent's divorce is the emergence of an
emotionally overwhelming feeling in the child (the child becomes Tempramen), the child
becomes an unconfident person (and prefers to be alone than to know the social environment.
Therefore, the child victims of parental divorce are more often feel lonely in her life Child of
divorced family must have many obstacles and difference in process of its psychology
development This research aim to know and study the condition of psychology and development
of child behavior from victim of parent divorce (Brokenhome) The writer do research on a child

from the victim of her parents divorce.The child is named Fairel, she is a 5-year-old child and
attends school in Aissiyah kindergarten, Iring Mulyo Metro Timur Central Lampung District
Fairel is a child of the victim from his broken home parents experiencing an emotional social
development that is not same or incompatible with an ak in general. The neighborhood around
her house and school lacked understanding of her situation as a child victim of her parents'
divorce, little concerned and paying close attention to her, the internal scope of her own family
such as grandmother, aunt's uncle, and other relatives. In fact, if many people who understand his
condition and feel sorry for Fairel, as a broken home child may be able to help the development
of psychological conditions and behavioral development of Fairel in accordance with the level of
development so that Fairel can be the same and normal as other children who grow and develop
in a whole family. This study uses data collection techniques by means of observation,
interviews to related parties and documentation. And the results show that, the occurrence of
divorce in a family resulted in unmet fulfillment of the child's needs, especially the need for
attention an d affection from parents who should he get from both parents, a sense of security
tentram (feeling protected) by parents, and do not feel minder. Fairel is still very young to
understand the meaning of separation or divorce of both parents. Prolonged disappointment to
his parents will surely come one day, because a child really wants warmth, harmony, harmony,
and the integrity of his family.

ABSTRAK

Banyak terjadi perceraian (Brokenhome) dalam suatu ikatan keluarga. Akibat dari perceraian
tersebut, banyak memberi dampak- dampak negatif pada anak. Salah satu dampak dari
perceraian orang tua yaitu munculnya rasa selalu emosi pada diri anak (anak menjadi
Tempramen ), anak menjadi pribadi yang tidak percaya diri ( dan lebih senang untuk menyendiri
dari pada mengenal lingkungan social karena itu, anak korban dari perceraian orang tua lebih
sering merasa kesepian dalam hidupnya. Anak dari keluarga yang bercerai pasti banyak memiliki
hambatan dan perbedaan pada proses perkembangan psikologinya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui serta mempelajari kondisi psikologi dan perkembangan perilaku anak dari korban
perceraian orang tua (Brokenhome). Penulis melakukan penelitian pada seorang anak dari korban
perceraian orang tuanya. Anak tersebut bernama Fairel, ia adalah seorang anak yang berusia 5

tahun dan bersekolah di TK Aissiyah, Iring Mulyo Metro Timur Kabupaten Lampung Tengah.
Fairel merupakan anak korban dari perceraian orang tuanya (broken home) mengalami
perkembangan social emosional yang tidak sama atau tidak sesuai dengan anak pada umumnya.
Lingkungan sekitar rumah dan sekolahnya kurang memahami keadaannya sebagai anak korban
dari perceraian orang tuanya ,sedikit yang perduli dan memberikan perhatian yang baik
terhadapnya, yaitu lingkup intern keluarganya sendiri seperti nenek,paman bibi, serta saudara
yang lain. Padahal, jika banyak pihak yang memahami kondisinya dan merasa kasihan kepada
Fairel, yaitu sebagai anak korban dari (broken home) kemungkinan dapat membantu
perkembangan kondisi psikologi dan perkembangan perilaku Fairel sesuai dengan tingkat

perkembangannya sehingga Fairel bisa sama dan normal seperti anak lain yang tumbuh dan
berkembang dalam keluarga yang utuh. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
dengan cara observasi, wawancara kepada pihak terkait serta dokumentasi. Dan hasilpenelitian
tersebut menunjukkan bahwa, terjadinya perceraian dalam suatu keluarga mengakibatkan tidak
terpenuhinya kebutuhan anak tersebut, terutama kebutuhan perhatian serta kasih sayang dari
orang tua yang harusnya ia dapatkan dari kedua orang tuanya, rasa aman tentram (perasaan
dilindungi) oleh orang tua,dan tidak merasa minder. Fairel memang masih sangat belia untuk
mengerti arti perpisahan atau perceraian kedua orang tuanya. Rasa kecewa berkepanjangan
kepada orang tuanya pasti akan muncul suatu saat nanti, karena sejatinya seorang anak
menginginkan kehangatan, keharmonisan, kerukunan, serta keutuhan keluarganya.
Kata Kunci : keluarga, Perceraian, Orangtua, Emosi, perkembangan psikologi anak
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan unit social penting dalam bangunan masyarakat, akan tetapi
mempunyai pengaruh yang besar bagi bangsa dan negara. dari keluargalah akan terlahir generasi
penerus yang akan menentukan nasib bangsa. Apabila keluarga dapat menjalankan fungsi dengan
baik, maka dimungkinkan tumbuh generasi yang berkualitas dan dapat diandalkan yang akan
menjadi pilar-pilar kemajuan bangsa. Sebaliknya,bila keluarga tidak dapat berfungsi dengan
baik, bukan tidak mungkin akan menghasilkan generasi- generasi yang bermasalah yang dapat
menjadi beban social masyarakat. Keluarga yang tenteram, bahagia, dan sejahtera merupakan
dambaan setiap manusia. Untuk mewujudkan keluarga seagaimana mestinya merupakan usaha

yang tidak mudah, karena terbentuknya keluarga merupakan sebuah proses yang panjang dan
melalui penyesuaian yang juga tidak mudah. Mengingat keluarga terbentuk dari dua pribadi yang
berasal dari keluarga berbeda, memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda pula.
Perbedaan- perbedaan tersebut sering kali menjadi pemicu terjadinya kesalah pahaman dan
keributan antar pasangan. Bila tidak segera teratasi maka, kesalah pahaman akan berkelanjutan
menjadi konflik yang berkepanjangan yang bisa berakhir pada perceraian pasangan.
Kelurga merupakan konsep yang bersifat multidimensi.dalam buku Social Structure,
Murdock menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok social yang memiliki karakteristik
tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Murdock, 1965).
Murdock menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti, keluarga poligami, dan keluarga
batih. Murdock meyatakan bahwa keluarga inti merupakan kelompok social yang bersifat
universal.
Reiss mengajukan suatu ciri spesifik yng melekat dalam keluarga, yaitu proses sosialisasi
yang disertai dukungan emosi yang disebutnya dengan sosialisasi pemelihraan (nurturant
socialization). Meurut Reiss, keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam

pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi
baru. Menurut Weigert dan Thomas (1971) keluarga adalah suatu tatanan utama yang
mengkomunikasikan pola-pola nilai yang bersifat simbolik kepada generasi baru.
Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau

berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi structural, definisi fungsional, dan definisi
intersaksional.
Definisi Struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran
anggota keluarga, seperti orang tua, anak dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada
siapa yang menjadi bagian keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang
keluarga sebagai asal-usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan
(families of procreation), dan keluarga batih (extented family).
Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugastugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi – fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi
pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini
memfokuskan kepada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
Definisi trasaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan
keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga ( family
identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita- cita masa depan. Definisi ini
memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.
Pada umumnya, fungsi yang dijalankan oleh keluarga seperti melahirkan dan merawat anak,
menyelesaikan masalah, dan saling perduli antar anggotanya tidak berubah substansinya dari
masa kemasa. Jadi, kesimpulan dari definisi keluarga disini adalah rumah tangga yang memiliki
hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaraya fungsi-fungsi instrumental
mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu
jaringan.

Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi social, yaiyu:
suami-ayah,istri-ibu, dan anak-sibling (lee,1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan
keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Hubungan antara suami
istri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya pershabatan, sedangkan anak-anak
tergantung pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi. Relasi
suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi didalam keluarga.
Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci bagi
kelanggengan keberhasilan dalam melakukan penyesuaian diantara pasangan. Penyesuaian ini
bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berfikir yang luwes. Penyesuaian adalah
interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Calhoun & accocela,
1995). Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang
terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif dalam
melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif merupakan salah satu komponen dalam
melakukan resolusi konflik yang konstruktif.
Menurut David H. Olson dan Amy K. Olson (2003), terdapat 10 aspek yang membedakan
antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu : komunikasi,fleksibilitas,
kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual,kegiatan diwaktu luang,
keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual. Komunikasi merupakan
aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan hamper semua aspek dalam hubungan
pasangan. Intonasi dalam melakukan komunikasi juga perlu diperhatikan.kesalahpahaman dalam


komunikasi akan menyebabkan konflik, yang sering terjadi karena menggunakan gaya
komunikasi negative.
Keluarga dan teman merupakan konteks yang penting bagi pasangan bagi membangun relasi
yang berkualitas. Keluarga sebagai family of origin banyak mempengaruhi kepribadian, selain
itu, keterlibatan orang tua dapat memerkuat atau memperlemah kualitas relasi pasangan. banyak
mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua dapat memperkuat atau
memperlemah kualitas relasi pasangan. Kualitas perkawinan dapat mempegaruhi berlangsungnya
proses-proses yang lain dalam keluarga, misalnya pengasuhan dan performansi individu.
Pasangan yang memiliki derajat kepuasan perkawinan yang tinggi akan memberikan perhatian
secara lebih positif anak. Spiritualitas dan keimanan merupakan dimensi yang paling kuat bagi
pengalaman mansia. Keyakinan spiritual memberikan landasan bagi spiritualitas Anak- anak
menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan hubungan
(Thompson,2006). Pengalaman mereka sepanjang waktu bersama orang-orang yang mengenal
mereka dengan baik, serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami
merupakan hal- hal pokok yang mempengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian social
mereka. John Bowbly (1969) mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai factor
kunci dalam hubungan orang tua- anak yang dibangun sejak usia dini. Menurut Chen, kualitas
hubungan orang tua- anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan, rasa aman,
kepercayaan, afeksi positif, dan ketanggapan dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi

komponen mendasar dalam hubungan orang tua- anak yang dapat membuat anak merasa dicintai
dan mengembangkan rasa percaya diri. Rasa ama merupakan dimensi dalam hubungan yang
berkembang karena interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan,
dan ketanggapan. Interaksi tersebut mengembangkan kelekatan pada masing-masing pihak yang
terlibat dalam hubungan. Rasa percaya diri anak dapat tumbuh karena adanya rasa aman terhadap
lingkungannya dan orang lain. Rasa aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan
eksplorasi yang bermanfaat bagi perkembangan kompetensi. Yang dimaksud dengan interaksi
adalah suatu rangkaian peristiwa ketika individu A menunjukan suatu perilaku X kepada
individu B , atau A memperlihatkan X kepada B yang meresponnya dengan Y. Menurut Hinde
relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok yaitu: intraksi (orang tua dan anak
berinteraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan), kontribusi mutual (orang tua
dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikin juga terhadap
relasi keduanya),keunikan (setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak,
dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak yang lain), pengharapan
masa lalu ( interaksi orang tua-anak yang telah terjadi membentuk suatu cetakan pada
pengharapan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami
bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu situasi), antisipasi masa depan (karena relasi
orang tu-anak bersifat kekal, masing-masing membangun pengharapan yang dikembngkan dalam
hubungan keduanya).
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi,

spiritual, dan social. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan dan
identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan
masyarakat dari generasi ke generasi. Dari kajian lintas budaya ditemukan dua fungsi utama
keluarga, yakni internal (memberikan perlindungan psikososial bagi pra anggotanya) dan
eksternal (mentransmisikan nilai-nilai budaya pada generasi selanjutnya (Minuchin, 1974).
Menurut Berns (2004), keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu: (reproduksi, sosialisasi
edukasi, penugasan peran social, dukungan ekonomi,dukungan emosi/pemeliharaan). Dalam

perspektif perkembangan fungsi pling penting dari keluarga adalah melakukan perawatan dan
sosialisasi pada anak. Sosialisasi merupakan proses yang ditempuh oleh anak untuk memperoleh
keyakinan, nilai-nilai dan perilaku yang dianggap perlu dan pantas oleh anggota keluarga
dewasa, terutama orang tua. Keberfungsian keluarga merujuk pada kualitas kehidupan keluarga,
baik pada level sistem maupun sub system, dan berkenaan dengn kesejahteraan, kompetensi,
kekuatan, dan kelemahan keluarga (Shek,2002). Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari
tingkat kelentingan atau kekukuhan keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan. Terdapat
tiga factor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga, yaitu sistem keyakinan, pola
pengorganisasian keluarga, dan proses komunikasi dalam keluarga. Kekukuhan keluarga
merupakan kualitas relasi didalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi
dan kesejahteraan kelurga. Defrain dan Stinnett (2003) mengidentifikasi enam karakteristik bagi
keluarga yang kukuh yaitu (memiliki komitmen, terdapat kesediaan untuk mengungkapkan

apresiasi, terdapat waktu untuk berkumpul bersama, mengembangkan spirituaitas,
menyelesaikan konflik serta menhadapi tekanan dan krisis dengan efektif, memiliki ritme).
Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua, sehingga sungguh disayangkan
bila pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran orang tua tanpa kesadaran
pengasuhan. Selain memunculkan harapan, kelahiran anak juga memunculkan rasa tanggung
jawa. Rasa tanggung jawab ini muncul karena adanya tuntutan social tentang kewajiban orang
tua untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi anak. Keluarga merupakan sistem yang
terbuka sehingga dapat dipengaruhi oleh konteks social yang melingkupinya. Keberhasilan
pelaksanaan tugas pengasuhan anak juga dipengaruhi oleh lingkunganya. Dalam prespektif
ekologis, Bronfenbrenner (2000) memaparkan bahwa pengasuhan anak tidak dapat dilepaskan
dari sistem-sistem yang melingkupinya yaitu : macrosystem, mesossystem, microsystem dan
chronosystem. Macrosystem yang berupa politik, budaya, ekonomi, dan nilai-nilai social
memiliki kontribusi terhadap proses sosialisasi dan perkembangan anak. Sekolah dan komunitas
sebagai mesosystem berpengaruh terhadap pola asuh dan kerja sama yang terjadi. Microsystem
terjadi melalui relasi orang tua-anak dalam keluarga yang berupa pola asuh orang tua.
Chronosystem berpengaruh melalui terjadinya perubahan tren parenting dari waktu ke waktu
seiring dengan perubahan masyarakat dan tekananya terhadap keluarga.
Pengasuhan anak dapat dipercaya memiliki dampak terhadap perkembangan individu. Gaya
pengasuhan merupakan serangkaian sikap yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak untuk
menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi orang tua-anak. Pengasuhan otoritatif adalah

salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku
anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsive, menghargai dan menghormati pemikiran,
perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan. Pengasuhan otoriter
adalah suatu gaya pengassuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintahperintah orang tua. Pengasuhan permisif gaya asuhan permisif dibedakan dalam dua bentuk.
Pertama, permissive-indulgent diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri
anak, karena orang tua yang permissive-indulgent cenderung membiarkan anak-anak mereka
melakukan apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya anak-anak tidak pernah belajar
mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan agar semua kemauannya
dituruti. Kedua, permissivie indifferent yaitu suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat
tidak terlibat dalam kehidupan anak, anak-anak ini cenderung kurang percaya diri, pengendalian
diri yang buruk dan rasa harga diri yang rendah.
Perceraian adalah berpisahnya hidup suatu pasangan suami dan istri akibat dari
kegagalan mereka sendiri dalam menjalankan sebuah obligasi peran masing-masing. Maka

dalam hal ini, perceraian dapat dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan
dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang
berlaku. Perceraian merupakan terputusnya sebuah hubungan keluarga karena salah satu atau
kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan atau saling mengakhiri hubungan
mereka sehingga mereka sepakat untuk berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.
Mel Krantzler sebagai seorang pakar konsultan perceraian mengamati bahwa perceraian
bagi kebanyakan orang adalah sebagai masa transisi yang penuh dengan kesedihan (T.O. Ihrom
dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, 1999). Pada Masa transisi ini dianggap sebagai masamasa yang sulit jika dihubungkan dengan harapan masyarakat tentang perceraian. jika
masyarakat memandang perceraian adalah sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses
penyesuaian kembali, seseorang akan merasakan beratnya suatu tantangan yang harus dihadapi
dan dijalani karena perceraian tersebut. Krantzler menyebutkan bahwa, perceraian sebagai
“berakhirya hubungan” antara dua orang atau kedua belah pihak yang pernah hidup bersama
sebagai pasangan suami-istri. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perceraian adalah putusnyaatau berakhirnya suatu hubungan suami-istri yang disebabkan oleh
beberapa factor sehingga tidak memungkinkan mereka untuk bersatu dalam kehidupan rumah
tangga atau keluarga lagi. Perceraian yang dilakukan oleh orang tua tidak hanya akan memberi
dampak buruk bagi fisik anak, akan tetapi juga berdampak buruk bagi kejiwana anak. Berbagai
masalah yang muncul tentang keluarga yang dapat berpengaruh pada tingkah perilaku anak. Hal
ini, disebabkan karena orang tua yang selalu mempertahankan egonya masing-masing dan tidak
ada yang ingin atau mau mengalah sehingga, mereka tidak mendapatkan suatu jalan keluar dari
suatu masalah mereka dan para orang tua lebih memilih jalan untuk berpisah atau bercerai. Para
orang tua yang melakukan telah memilih jalan perceraian tidak dapat memberikan pendidikan
yang layak secara umum dan menyeluruh untuk anak-anaknya. Orang tua yang selalu disibukkan
dengan segala pemikirkan perasaan mereka sendiri dibandingkan dengan perasaan anak-anak
mereka, lama-kelamaan akan menghambat suatu perkembangan dan pertumbuhan anak mereka.
Setiap terjadinya suatu peristiwa perceraian orang tua sudah pasti akan berdampak negatif
terhadap proses jalannya pendidikan dan perkembangan jiwa seorang anak, haal tersebut di
karenakan anak usia sekolah dasar umumnya masih sangat membutuhkan kasih sayang dan
perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Hal ini akan dibuktikan nantinya saat dalam
pembahasan berkutnya, hal-hal yang sangat berkaitan dengan dampak-dampak yang dirasakan
oleh anak akibat terjadinya suatu perceraian kedua orang tuanya. Perceraian orang tua
merupakan suatu problema yang cukup besar bagi para anak- anaknya terutama, bagi anak-anak
yang masih duduk di sekolah dasar, sebab anak-anak pada usia ini masih sangat membutuhkan
kasih sayang dari kedua belah pihak orang tuanya. Suasana rumah tangga juga dapat memberi
pengaruh terhadap perkembangan serta pendidikan anak usia Sekolah Dasar. Suasana keluarga
yang berantakan akan menyebabkan seorang anak tidak dapat belajar secara baik bahkan, bisa
membawa pengaruh yang negatif terhadap perkembangan jiwa anak dalam masa
pertumbuhannya, karena pribadi anak tersebut umumnya terjadi melalui proses pengalaman yang
didapat sewaktu ia kecil. Pengalaman yang diperoleh oleh anak di waktu kecil baik pengalaman
pahitnya maupun pengalaman menyenangkan semuanya akan memberikan suatu pengaruh
dalam kehidupan anak nantinya. Zakiah Drajad menyebutkan ada beberapa hal tanggung Jawab
orang tua yang harus dilaksankan terhadap anak-anaknya yaitu : (Memperkenalkan nikmat dan
karunia Allah, Memperkenalkan nikmat dan karunia Allah, Memberi nama bagi anak,
Memperjelas nasab ( keturunan ), Selalu mendo’akan kepada anaknya). Dalam bidang

Emosional yaitu (Adanya rasa kasih sayang dan cinta kepada anak, Harus mencerminkan
keteladanan yang baik karena anaknya akan selalu mengikuti jejak dan prilaku orang tuanya.
Mengikuti sagala tindak tanduk orang tuanya , Berbuat dan bersikap adil dalam keluarga, Bijak
dalam membimbing,Meluangkan waktu untuk bergaul dan bermain dengan anaknya, Harus baik
tidak kasar dan bijak dalam mengungkapkan kemarahannya terhadap seorang anak,Mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak). Dalam Bidang Kesehatan Meliputi (Orang tua dan
keluarga brtanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan merawat anak sejak dalam kandungan
hingga dewasa, Bila Orng tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut
maka pemerintah wajib memenuhinya).
Berbicara masalah tangung jawab, para orang tua yang telah melahirkan anak-anaknya,
sudah dibebankan sebuah tanggung jawab moral terhadap proses pendidikan dan perkembangan
jiwa para anak-anak nya, baik setelah terjadinya proses perceraian atau pun masih dalam sebuah
keluarga yang sempurna, karena anak adalah sebuah harta titipan Tuhan untuk senantiasa dijaga
dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh seseorang penulis
kebanyakan setelah terjadinya perceraian anak mengikuti ibunya, hanya saja sedikit yang ikut
ayahnya, dan tidak sedikit setelah terjadi perceraian anak diambil oleh salah satu neneknya dari
orang tua si anak, untuk dimasukkan kesalah satu sekolah dasar yang ada di mana penulis
melakukan penelitian. Manusia berguna dari dunia dan akhirat, memberi pelajaran dan ilmu yang
bermanfaat sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.
Keluarga jika dipandang dari pertalian darah bersama suami atau istri yaitu kakak, adik,
kakek-nenek, ibu-bapak kemenakan dari pihak suami dan isteri. Pembentukan keluarga sebagai
manusia tersebut diatas juga telah digariskan Agama. Kesimpulan yang dapat diambil,
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
Perceraian mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Jiwa dan pendidikan
anak, terutama anak usia dini. Diantaranya dapat menyebabkan anak bersikap pendiam dan
rendah diri, nakal yang berlebihan, prestasi belajar rendah dan merasa kehilangan. Walaupun
tidak pada semua kasus demikian tapi sebagian besar menimbulkan dampak yang negatif
terhadap perkembangan jiwa anak dan juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak itu
sendiri sebagaimana
tersebut. Pada umumnya anak-anak yang keluarganya bercerai ikut bersama ibunya, dan semua
biaya hidupnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab bapak tetapi menjadi tanggung jawab
si ibu. Anak-anak dari keluarga sempuma memiliki prestasi lebih baik diban dingkan dengan
anak-anak dari keluarga tidak sempuma yang orang tua nya bercerai. Dampak perceraian orang
tua juga terlihat secara nyata bagi anak-anak usia sekolah Dasar seperti pendiam, pemalu, tidak
lagi ceria dan prestasi belajarnya menurun.
Dari ketentuan tersebut dapat dapat disimpulkan, bahwa seorang anak memang
mempunyai hak yang cukup menjamin terhadap kelangsungan hidup dan kebahagiaan anak yang
tersebut. Anak yang sah tersebut berhak mendapatkan sebuah perhatian, baik dari segi
perkembangan jiwanya maupun pendidikan yang layak sampai anak itu berumur 18 tahun.
Karena Hal tersebut ditegaskan dalam sebuah pasal yaitu pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974.
Memperkenalkan nikmat dan karunia Allah,Membimbing anaknya dalam pengalaman ilmu
agama,Memberi nama bagi anak,Memperjelas nasab ( keturunan ),Selalu mendo’akan kepada
anaknya, Dalam bidang Emosional (Adanya rasa kasih sayang dan cinta kepada anak,Harus
mencerminnkan keteladanan yang baik karena anaknya akan selalu mengikuti jejak dan prilaku
orang tuanya,Mengikuti sagala tindak tanduk orang tuanya,Berbuat,dan bersikap adil dalam
keluarga,Bijak dalam membimbing,Meluangkan waktu untuk bergaul dan bermain dengan

anaknya, Harus baik tidak kasar dan bijak dalam,mengungkapkan kemarahannya terhadap anak,
Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, Dalam Bidang Kesehatan Meliputi,
Orang tua dan keluarga brtanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan merawat anak sejak
dalam kandungan hingga dewasa, Bila Orang tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan
tanggung jawab tersebut maka pemerintah wajib memenuhinya.
Seorang ahli psikologi Ny. Singgih D Gunarsa dalam buku psikologinya untuk keluarga
mengatakan, “Orang tua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama dengan
membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan sehari-hari. “Dalam hidup berumah
tanggga tentunya ada perbedaan antara suami dan istri, perbedaan dari pola pikir, perbedaan dari
gaya dan kebiasaan, perbedaan dari sifat dan tabiat, perbedaan dari tingkatan ekonomi dan
pendidikan, serta banyak lagi perbedaan-perbedaan lainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang
dapat mempengaruhi gaya hidup anak-anaknya, sehingga akan memberikan warna tersendiri
dalam keluarga. Perpaduan dari kedua perbedaan yang terdapat pada kedua orang tua ini akan
mempengaruhi kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga tersebut.
Dr. Benyamin Spock (T.O. Ihrom dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, 1999),
mengemukakan kan bahwa setiap individu akan selalu mencari figure yang dapat dijadikan
teladan ataupun idola bagi mereka. Orang tua, yaitu ayah dan ibu, pada umumnya merupakan
teladan bagi anak-anak mereka yang sejenis, serta idola bagi anak-anak mereka yang berlainan
jenis. Artinya, seorang ayah adalah teladan bagi anak laki-lakinya dan idola bagi anak
perempuannya. Demikian juga berlaku sebaliknya dengan sang ibu. Berdasarkan pendapatpendapat para ahli yang telah diuraikan di atas dapat diperoleh pengertian bahwa orang tua
memiliki tanggung jawab dalam membentuk serta membina anak-anaknya baik dari segi
psikologis maupun pisiologis. Kedua orang tua dituntut untuk dapat mengarahkan dan mendidik
anaknya agar dapat menjadi generasi-generasi yang sesuai dengan tujuan hidup manusia.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah TK Aissiyah 15 A Iring Mulyo Metro. Waktu penelitian ini
direncanakan pada semester 2 tahun pelajaran 2017/2018, yang meliputi persiapan penelitian
sampai penyusunan laporan penelitian. Subyek penelitian adalah seorang anak korban
brokenhome yang berusia 5 tahun. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus menurut Dedi Mulyana (2008: 31) adalah
uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok,
suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah wawancara, pengamatan observasi dan dokumentasi. Dalam metode
wawancara ini merupakan salah satu metode yang dapat dipercaya untuk mendapatkan data
tentang individu yang dilakukan dengan pemberian pertanyaan-pertanyaan yang relevan secara
tatap muka, peneliti melakukan wawancara dengan nenek dan guru subjek. Metode observasi
diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak
pada obyek penelitian.

Hasil dan Pembahasan
Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di
dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk
memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah
penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup (Taylor, 1998:24). Pada
umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan
anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses
berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.
Namun tidak demikian halnya dengan anak, ia tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang
telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan
berubah. Berdasarkan temuan di lapangan penulis coba merangkum dampak yang dirasakan anak
—secara psikologis—karena orang tuanya bercerai, antara lain sebagai berikut:
(Merasa tidak aman Perihal rasa tidak aman (insecurity) ini menyangkut aspek financial dan
masa depan, sebab seorang anak ini berpikiran bahwa masa depannya akan suram. Alasan ini
timbul karena ia sudah tidak dapat perhatian lagi dari orang tuanya, baik perhatian secara materi
maupun immateri sehingga tak bisa dipungkiri lagi saat anak mengalami masa remaja tidak akan
menghiraukan lagi keluarga dan lingkungannya. Biasanya anak tersebut akan cenderung
introvert (menutup diri) terhadap sosialnya sebab ia tidak merasa aman saat berada di lingkungan
sosial dan ia menganggap lingkungannya adalah hal-hal yang negative yang bisa mengancam
kehidupannya. Berdasarkan penelitian ini, para informan merasa dirinya kurang diperhatikan
sebab orang tuanya sudah bercerai,
tentu berpisah jarak dengan orang tua. Mengingat hal tersebut, anak akan merasa kurang
mendapat perhatian kasih-sayang orang tuanya sehingga ia merasa dikhianatinya dan ihwal
tersebut yang memeunculkan persepsi anak dengan lingkungannya; bahwa hal-hal yang lain di
luar dirinya adalah membahayakan (negative). Mengutip teori Diane S. Berry and Jane Hansen
(1996:806) ihwal hal positif mempengaruhi anak dalam melakukan interaksi-interaksi serta
secara total melibatkannya di dalam aktivitas social dibanding melakukan hal-hal yang lain yang
hanya mempengaruhi dirinya namun sebaliknya hal negative akan mempengaruhi anak dalam
melakukan interkasi dan aktifitassosialnya dan lebih melakukan hal-hal yang berhubungan
dirinya, Adanya rasa penolakan dari keluargaAnak korban dari keluarga bercerai merasakan
penolakan dari keluarga sebab sikap orang tua berubah. Orang tuanya sudah memiliki pasangan
yang baru (bapak tiri/ibu tiri) sehingga anak merasakan penolakan dan kehilangan orang tua
aslinya. Di sini pasikologi anak tercerabut oleh tindakan orang tuanya yang bercarai.
Keceriannya sudah terenggut hanya kesedihan yang terpagut. Dalam penelitian ini, informan
merasakan rasa penolakan dari keluarga (pihak ayah maupun ibu) yang tidak lagi menganggap
kehadiran (eksistensinya) sehingga anak sering mengalami skeptic terhadap dirinya dan
memungkinkan anak untuk mengalami disorder personality (ketidakstabilan citra diri). Seperti
yang dikemukan oleh Papalia, Olds & Feldman (2008:41), perceraian bukanlah suatu kejadian
tunggal melainkan serangkaian proses yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan berpotensial
menjadi pengalaman stress dan menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi anak, Marah
Dengan adanya perceraian seorang anak seringkali emosinya tidak terkontrol dengan baik
sehingga mereka sering kali marah yang tidak karuan, banyak teman dekat yang menjadi sasaran
amarahnya. Perihal ini dampak psikologis anak yang memiliki sifat temperamen; mudah marah
karena emosinya tidak terkontrol. Ini disebabkan karena pengalamannya yang sering melihat
ayah-ibunya bertengkar, pada masa proses perceraian. Amarah dan agresif merupakan reaksi
yang lazim dalam perceraian, hal itu terjadi bila orang tuanya marah di depan anaknya.

Akibatnya, anak biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, karena tingkah laku
seorang anak akan mengikuti orang tuanya. Bukan cuma psikisnya terganggu akan tetapi
perilakunya juga ikut berubah, hal itu akan mengakibatkan si anak akam suka mengamuk,
menjadi dan tindakanya akan menjadi agresif, menjasi pendiam, tidak lagi ceria, suka murung
dan tidak suka bergaul kepadateman-temannya. Rata-rata informan dalam penelitian mengalami
psikologis seperti itu. Sebagaimana ungkapan Papalia, Olds & Feldman (2008:45) sifat marah
(temperamen) anak yang menjadi korban perceraian dari keluarganya akan selalu terekam oleh
pikiran bawah sadarnya karena perilaku orang tuanya yang sering bertengkar di depan anak, dan
mengakibatkan anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan,SedihSeorang anak akan
merasa nyaman dengan orang tuanya yang harmonis namun sebaliknya ia akan bersedih jika
orang tua mereka berpisah atau bercerai dan saat sudah remaja merasa kehilangan. Anak-anak
yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat perceraian
tersebut seperti insomnia (sulit tidur), kehilangan nafsu makan yang semuanya itu berasal dari
kesedihan yang yang dialaminya. Sebab fase anak yang berumur 5-17 tahun merupakan fase
belajar menyesuaikan diri dan lingkungannya. Namun, perceraian orangtua tetap menorehkan
luka batin yang menyakitkan bagi mereka. Sehingga anak tersebut menjadi ‘penyedih’ atas apa
yangdilakukan oleh orang tuanya; yang bercerai. Berdasarkan data yang dihimpun penulis dalam
penelitian ini, kesedihan yang muncul bagi anak yang menjadi korban perceraian keluarganya
antara lain; orang tua sudah tidakmenghiraukan anaknya lagi dan biasanya anak tersebut di asuh
oleh kakek/nenek dari pihak ayah atau ibu. Dengan begitu, sangat wajar sekali, anak akan merasa
sedih dengan
yang dialaminya. Kesedihan yang dialami anak-anak akan berpengaruh terhadap kehidupannya
di masa mendatang.Kesedihan yang dialami anak akan berdampak pada interaksi sosialnya, yang
mana anak-anak tersebut akan mengalami masa trauma di kehidupan remajanya, misalnya malu
(minder) dengan teman sejawatnya ataupun dengan lain jenis. Perihal ini dibenarkan dengan
teori yang dikemukakan oleh Bird dan Melville (1994:65), anak yang orang tuanya bercerai
merasa malu bahkan sedih, karena anak merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Kondisi
tersebut dapat merusak konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, sedih yang
berkepanjangan, marah, adanya rasa penolakan, merasa rendah diri, dan menjadi tidak patuh dan
cenderung agresif terhadap sosialnya, KesepianSeorang anak tentunya akan merasa kesepian
tanpa adabelaian kasih sayang dari kedua orang tuanya. Seorang anak sangat membutuhkan
belaian dan bimbingan orang tuanya untuk masa selanjutnya. Misalnya anak yang baru menempuh
pendidikan sekolah dasar, biasanya anak membutuhkan oarng tuanya untuk membimbingnya
dalam mengerjakan tugas. Tapi berbeda, dengan anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuan
yang bercerai, anak tersbeut akan merasa kesepian, meskipun anak tersebut di asuh oleh handaitaulan dari pihak ayah/ibu, bahkan diasuh oleh salah satu pihak: ayah atau ibu, sebagai single
parent. Menurut ungkapan informan, dalam penelitian ini, kesepian ini timbul karena orang
tuanya tak pernah memperhatikannya, meskipun anak mendapat perhatian dari saudaranya, yang
mengasuhnya, ia merasa perhatian itu hanya sebatas klise, tidak berpengaruh secara signifikan
psikologi anak. Seperti yang diungkapkan oleh Papalia, Olds & Feldman (2008:54) kesepian
(loneliness) bagi anak yang menjadi korban perceraian yang dilakukan oleh orang tuanya karena
beberapa faktor, antara lain:(Orang tua tidak lagi menghiraukan perilaku dan perkembangan
anaknya, sebab ia lebih mementingkan egonya dalam mencari pasangan hidup selanjutnya,Tidak
ada lagi perhatian yang dicurahkan pada anak karena masing-masing pihak (ayah/ibu) lebih
memperdulikan egoismenya masing-masing untuk segeramelakukan perceraian,

Banyak orang tua mendiskreditkan anak dari hasilhubungannya dengan mantan pasangannya,
sehingga iaberpikir bisa mendapatkan sosok pengganti anak dengan pasangan yang baru
(selanjutnya),Menyalahkan diri sendiri Perasaan menyalahkan diri sendiri merupakan gejala
disorder personality, yang mana faktor tersebut dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya rasa
penolakan dari keluarga, mudah marah/temperamen, sedih yang berkepanjangan dan merasa
kesepian dan semua faktor ini diakibatkan dari pola asuh yang salah. Sebab dalam pola asuh ada
tiga golongan yang kuat dalam menentukan karakter anak, salah satunya adalah significant
others yaitu orang tua dan saudara yang menjadi faktor utama dalam pola pengasuhan anak.
Lebihnya lagi, apabila golangan significant others salah dalam mengasuh anak, misalnya
perceraian dilakukan saat anak masih belum menginjak dewasa, seperti yang dialami oleh
informan dalam penelitian ini, maka akan berdampak pada psikologi anak misalnya anak akan
sering murung dan sering berfikir sehingga banyak diam dan melamun, jarang berkomunikasi
(rigorously communication) dengan orang lain, tidak nyaman berada di tengah komunitas
sosialnya. Sehingga perasaan menyalahkan diri sendiri akan selalu dialaminya. Akhirnya, tak
bisa dielakkan lagi, anak yang sering mengalami perasaan menyalahkan dirinya sendiri akan
berdampak buruk terhadap psikologinya, yakni bisa menyebabkan gangguan psikologi, seperti
bipolar (kepribadian ganda), schizophrenia, fobia dsb. Hal senada juga diungkapkan oleh Taylor
(1998:64) anak yang selalu menyalahkan diri sendiri akan berakibat pada gangguan
psikologinya, sebab menyalahkan diri sendiri (badly image)merupakan awal mula gangguan
psikologi yang berbahaya.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dibuat oleh penulis mengenai “Kondisi Psikologi Anak dari
Keluarga Yang Bercerai’ dengan studi deskriptif terhadap anak keluarga petani yang bercerai di
kota Metro 15 A Iring Mulyo Metro, Lampung Tengah dapat disimpulkan sebagai berikut: Anak
merasa tidak aman setelah ditinggal bercerai oleh orang tuanya karena anak masih butuh
perlindungan dari orang tuanya, baik secara materii maupun non materi, Dalam pikiran anak ada
semacam penalakan dari keluarga orang tuanya padahal si anak ingin tetap diterima di dalam
keluarganya, Anak sering kali marah-marah dan emosinya sering tidak terkontrol dengan baik
karena melihat perilaku orang tuanya yang sering bertengkar, Anak selalu bersedih karena
merasa kehilangan dan juga merasa kecewa terhadap kedua orang tuanya. Anak merasa kesepian
(loneliness) karena ditinggal berceraian oleh orang tuanya sebab ia kurang belaian kasih sayang
dari orang tuanya, Perasaan menyalahkan diri sendiri merupakan gejala disorder personality,
yang mana faktor tersebut dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya rasa penolakan dari
keluarga, mudah marah/temperamen, sedih yang berkepanjangan, merasa kesepian, dan semua
faktor ini diakibatkan dari pola asuh yang salah (baca: orang tua yang bercerai), sebab anakanak
masih belum cukup dewasa dalam menimbang/m emikirkan perceraian dalam hubungan
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologis Kearah
Ragam Varian Kontemporer). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Diane S. Berry and Hansen, Jane. 1996. Positive Affect, Negative Affect, and Social Interaction.
Journal of Psychology and Social Psychology

Moleong J Lexy.2008. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Hildayani, Rini dkk. 2009. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Faried Ma’aruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia,(Jakarta: Gema Insan
Press,1990).
UU Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Orang Tua, Masyarakat Dan Negara
Terhadap Anak.
William J. Goode, sosiologi keluarga, ( Bumi Aksara: Jakarta, 1991)
Agus Sujanto, psikologi kepribadian, (Jakarta:bumi aksara tahun 2004)
Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Jakarta : kencana prenada media group 2012)
Ahmad Susanto, Perkembngan Anak Usia Dini, (Jakarta : kencana prenada media group 2011)
Samsunuwiyati mar’at, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2015)