Makalah Manajemen Risiko BAB 1 2 3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manajemen risiko merupakan salah satu elemen penting dalam
menjalankan bisnis perusahaan karena semakin berkembangnya dunia
perusahaan serta meningkatnya kompleksitas aktivitas perusahaan
mengakibatkan meningkatnya tingkat risiko yang dihadapi perusahaan.
Sasaran utama dari implementasi manajemen risiko adalah melindungi
perusahaan terhadap kerugian yang mungkin timbul. Lembaga perusahaan
mengelola risiko dengan menyeimbangkan antara strategi bisnis dengan
pengelolaan risikonya sehingga perusahaan akan mendapatkan hasil
optimal dari operasionalnya.
Kita harus bisa menemukan kerugian potensial yang mungkin
terjadi dan mencari cara untuk menangani risiko tersebut. Dunia bisnis pun
tak luput dari ketidakpastian. Ketidakpastian dalam dunia bisnis akan
menyebabkan terjadinya risiko bisnis. Perusahaan merencanakan untuk
menggencarkan promosi produknya dengan harapan penjualanya dapat
meningkat. Dengan analisis yang mendalam diperkirakan penjualan
setelah adanya promosi besar-besaran tersebut dapat meningkat sebanyak
20%. Tetapi kenyataanya penjualan hanya dapat meningkat 10%. Ini

merupakan salah satu bentuk risiko yang terjadi dalam dunia bisnis. Risiko
dalam bisnis tidak bisa diabaikan begitu saja. Perusahaan perlu
menganalisis kemungkinan kerugian potensi dalam bisnisnya tersebut
kemudian mengevaluasi dan mencari cara untuk menanggulanginya.
Dengan demikian diharapkan bisnis yang dijalaninya dapat sukses meraih
tujuan dengan mudah. Risiko merupakan sesuatu yang pasti akan terjadi
ketika

kita

melakukan

suatu

tindakan.

Risiko

adalah


berbagai

kemungkinan yang terjadi pada periode tertentu. Risiko sering dikaitkan

1

dengan kerugian. Jadi risiko adalah ketidakpastian yang mungkin
melahirkan kerugian atau peluang terjadi sesuatu yang bad outcame.
Setiap organisasi perusahaan selalu menanggung risiko. Risiko,
bisnis, kecelakaan kerja, bencana alam, perampokan, dan pencurian,
kebangkrutan adalah beberapa contoh dari risiko yang lazim terjadi di
berbagai perusahaan. Terutama perusahaan yang tidak melakukan tindakan
apa-apa, bahkan tindakan preventif pun tidak dilakukan. Perusahaan ini
tidak melakukan tindakan untuk pencegahan risiko yang akan timbul
nantinya.

1.1 Rumusan masalah
1. Apakah Risiko Operational, Risiko Produksi ?
2. Bagaimana pengukuran Risiko Operational ?
3. Apa yang dimaksud Just In Time ?

4. Bagaimana Strategi mengelola Risiko Barang dan Jasa ?
5. Bagaimana mengelola Risiko Pengadaan dengan aspek-aspek yang perlu
di perhatikan ?
1.2 Tujuan Penulisan
1

Untuk mengetahui definisi Risiko Operational dan Risiko Produksi

2. Untuk mengetahui pengukuran dalam Risiko Operational
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Just In Time dalam Risiko
Operational.
4. Untuk mengetahui Strategi mengelola Risiko Barang dan Jasa
5. Untuk mengetahui mengelola Risiko Pengadaan dengan aspek-aspek yang
perlu di perhatikan.

2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Risiko dan manajemen risiko

Risiko merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, ada
pepatah mengatakan tak ada hidup tanpa risiko. Risiko dapat ditafsirkan sebagai
bentuk ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future)
dengan keputusan yang diambil berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat ini.
Pada dasarnya risiko tidak dapat dihindari dari aktivitas bisnis perusahaan,
sehingga diperlukan manajemen risiko untuk mengatasi permasalahan ini.
Manfaat perusahaan mengimplementasikan manajemen risiko antara lain (Lam,
2007:6) memberikan peran dalam pengelolaan risiko kepada manajer perusahaan,
mengingat manajer perusahaan memiliki akses penuh terhadap informasi dan
dukungan dari para profesional manajemen risiko.
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia menyebutkan bahwa manajemen
resiko adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola
ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia
termasuk: penilaian resiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan
mitigasi resiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumber daya.
Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan resiko kepada pihak
lain, menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menampung
sebagian atau semua konsekuensi resiko tertentu. Manajemen resiko tradisional
terfokus pada resiko- resiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti
bencana alam atau kebakaran, kematian, dan tuntutan hukum).

Menurut Vibiznews.com, manajemen resiko adalah suatu proses
mengidentifikasi, mengukur resiko, serta membentuk strategi untuk mengelolanya
melalui sumber daya yang tersedia. Strategi yang dapat digunakan antara lain
mentransfer resiko pada pihak lain, menghindari resiko, mengurangi efek buruk
dari resiko dan menerima sebagian maupun seluruh konsekuensi dari resiko
tertentu.Sedangkan menurut COSO, manajemen resiko (risk management) dapat

3

diartikan sebagai “a process, effected by an entity’s board of directors,
management and other personnel, applied in strategy setting and across the
enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, manage
risk to be within its risk appetite, and provide reasonable assurance regarding the
achievement of entity objectives.
Manajemen resiko adalah bagian penting dari strategi manajemen semua
perusahaan. Proses di mana suatu organisasi yang sesuai metodenya dapat
menunjukkan resiko yang terjadi pada suatu aktivitas menuju keberhasilan di
dalam masing-masing aktivitas dari semua aktivitas. Fokus dari manajemen
resiko yang baik adalah identifikasi dan cara mengatasi resiko. Sasarannya untuk
menambah nilai maksimum berkesinambungan (sustainable) organisasi. Tujuan

utama untuk memahami potensi upside dan downside dari semua faktor yang
dapat memberikan dampak bagi organisasi. Manajemen resiko meningkatkan
kemungkinan sukses, mengurangi kemungkinan kegagalan dan ketidakpastian
dalam memimpin keseluruhan sasaran organisasi.Manajemen resiko seharusnya
bersifat berkelanjutan dan mengembangkan proses yang bekerja dalam
keseluruhan strategi organisasi dan strategi dalam mengimplementasikan.
Manajemen

resiko

seharusnya

ditujukan

untuk

menanggulangi

suatu


permasalahan sesuai dengan metode yang digunakan dalam melaksanakan
aktifitas dalam suatu organisasi di masa lalu, masa kini dan masa
depan.Manajemen resiko harus diintegrasikan dalam budaya organisasi dengan
kebijaksanaan yang efektif dan diprogram untuk dipimpin beberapa manajemen
senior. Manajemen resiko harus diterjemahkan sebagai suatu strategi dalam
teknis dan sasaran operasional, pemberian tugas dan tanggung jawab serta
kemampuan merespon secara menyeluruh pada suatu organisasi, di mana setiap
manajer dan pekerja memandang manajemen resiko sebagai bagian dari deskripsi
kerja.

Manajemen resiko mendukung akuntabilitas (keterbukaan), kinerja

pengukuran dan reward, mempromosikan efisiensi operasional dari semua
tingkatan.

4

2.2Pengertian Risiko Operational.
Risiko operational merupakan risiko yang umumnya bersumber dari
masalah internal perusahaan, dimana risiko tersebut terjadi disebabkan oleh

lamanya sistem kontrol manajemen (management controlsystem). Yang dilakukan
oleh pihak internal perusahaan. Misalnya risiko operational adalah risiko pada
komputer karena telah terserang virus, kerusakan maintenance pabrik, kecelakaan
kerja, kesalahan dalam pencatatan pembelian barang dan tidak adanya
kesepakatan bahwa barang yan dibeli dapat ditukar kembali dan sebagainya.
Risiko operasonal dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung
maupun tidak langsung dan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan
memperoleh keuntungan. Risiko ini merupakan risiko yang melekat (inherent)
pada setiap aktivitas fungsional Bank, seperti kegiatan perkreditan (penyediaan
dana), tresuri dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan,
pendanaan dan instrumen utang, teknologi sistem informasi dan sistem informasi
manajemen, dan pengelolaan sumber daya manusia.Risiko operasional bukanlah
hal baru walaupun disadari merupakan risiko yang paling akhir terdefinisikan
dalam Basel II.
Definisi risiko operasional dalam Basel II adalah termasuk risiko hukum,
namun

tidak

mencakup


risiko

bisnis,

strategis

dan

reputasi.Menurut

(Mamduh:2009) risiko operational merupakan tipe risiko yang paling tua, tetapi
yan paling sedikit dipahami dibandingkan dengan tipe risiko lainnya. (misalkan
risiko pasar ataupun risiko tingkat bunga). Perusahaan sudah mengenali risiko
operational meskipun dengan nama yang berbeda. Sebagai contoh perusahana
selalu berusaha memperbaiki sistem, prosedur, atau proses bisnis melalui
manajemen kualitas, perusahaan memberikan training kepada karyawannya agar
mereka semakin terlatih dan semakin sedikit membuat kesalahan. Dalam konteks
manajemen risiko, upaya terseut dipandag sebagai upaya untuk mengelola atau
menurunkan risiko operational.


5

2.3 Pengukuran risiko operational
Salah satu teknik untuk mengukur resiko operasional adalah dengan
menggunakan dua klasifikasi, yaitu:
1. Frekuensi atau probabilitas terjadinya resiko.
2. Tingkat keseriusan kerugian atau impact dari resiko tersebut.
Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, kita bisa membuat matriks
frekuensi/tingkat untuk resiko-resiko yang ada, termasuk resiko operasional.
Berikut contoh aplikasi matriks termasuk untuk gagal bayar dan kesalahan
pemrosesan transaksi.
Severity
B Gagal bayar

A Kesalahan pemrosesan

Frequency
Bagan diatas menunjukkan bagan metriks dengan dimensi frekuensi di
sumbu horizontal dan dimensi severity pada sumbu vertical. Resiko-resiko bisa

diklasifikasi berdasarkan dimensi-dimensi tersebut. Misalnya, resiko gagal bayar
dari debitur perusahaan besar biasanya jarang terjadi. Karena itu resiko itu
diklasifikasi sebagai dengan frekuensi rendah. Tetapi jika terjadi, kerugian yang
timbul bisa sangat besar. Karena itu resiko tersebut diklasifikasi dengan severity
tinggi. Gabungan antara frekuensi rendah dengan severity tinggi terlihat pada titik
B pada bagan diatas. Sebaliknya, kesalahan pemrosesan atau kesalahan pencatatan
transaksi akan sering terjadi (apalagi jika proses pencatatan masih secara manual).
Tetapi tingkat severity dari kesalahan tersebut tidak terlalu tinggi. Karena itu

6

kesalahan pemrosesan berada pada titik A. dengan proses semacam itu, kita bisa
memperoleh gambaran mengenai frekuensi dan severity dari suatu resiko, yang
selanjutnya mempunyai implikasi pada bagaimana mengelola resiko tersebut.
Sebagai contoh, berikut ini strategi menghadapi resiko berdasarkan metrics
severity/frequency.
Risk Map
s
i
g
n
i
f
i
c
a
n
c
e

10
9
High 8
7
6
5
4
Low 3
2
1

Quadrant II
(Detect and Monitor)

Quadrant I
(Prevent at Source)

Quadrant IV
(Low Control)

Quadrant III
(Monitor)

2
Low

3

4
High

5

Likelihood
Perhatikan bahwa matriks likelihood (frekuensi) dan significance
(severity) dikelompokan dalam empat kuadran, yaitu:
1. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah
2. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah
3. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi
4. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi
Penentuan tinggi rendah severity atau frekuensi bisa dilakukan melalui
beberapa cara. Misalnya severity atau frekuensi yang lebih besar dibandingkan
dengan median atau rata-rata dari resiko yang ada (dalam daftar) dikelompokkan
kedalam severity atau frekuensi tinggi, dan sebaliknya. Penentuan tinggi rendah
tersebut dapat dilakukan melalui perhitungan angka absolute atau bias melalui
survey terhadap menajer-manajer perusahaan. Melalui pertanyaan-pertanyaan
seperti itu teridentifikasi letak masing-masing resiko berdasarkan dimensi

7

signifikansi dan kemungkinan. Selanjutnya, strategi yang tepat bisa dirumuskan
untuk mengelola resiko tersebut.
 Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah: low
control.
Perusahaan dapat menerapkan pengawasan yang rendah terhadap resiko pada
kategori ini. Pengawasan yang terlalu berlebihan pada jenis resiko ini akan
menimbulkan biaya yang lebih besar dibandingkan manfaatnya, sehingga akan
lebih optimal jika perusahaan tidak melakukan pengawasan yang berlebihan.
 Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah: detect and
monitor.
Tipe resiko seperti ini lebih menantang untuk dihadapi. Jika resiko seperti ini
muncul, perusahaan bisa mengalami kerugian yang cukup besar, dan barang kali
dapat mengakibatkan kebangkrutan. Tetapi frekuensi resiko tersebut relative
jarang, sehingga tidak mudah ditemui atau dikenali oleh perusahaan. Karena itu
resiko tipe ini paling sulit dipahami karakteristiknya, dan sulit diprediksi kapan
datangnya. Misalnya, Baring gagal melakukan pengawasan terhadap trading yang
diluar batas oleh salah seorang tradernya, kemudian terjadi kerugian yang
mengakibatkan kebangkrutan perusahaan tersbut. Frekuensi resiko semacam ini
relative jarang ditemui.
 Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi: Monitor.
Tipe resiko semacam ini seringkali muncul tapi besarnya kerugian relative kecil.
Biasanya resiko semacam ini muncul sebagai akibat perusahaan menjalankan
bisnisnya. Dengan kata lain, resiko semacam ini merupakan konsekuensi
perusahaan menjalankan bisnisnya. Misalnya, untuk perusahaan supermarket, ada
resiko shoplifting (pencurian oleh pembeli), pencurian oleh karyawan, barang
dagangan rusak karena busuk atau karena botol pecah, resiko semacam ini lebih
mudah dikenali, dan perusahaan bisa menghitung resiko tersebut. Kemudian
perusahaan bisa menganggapnya sebagai biaya dari kegiatan bisnis, dan
perusahaan bisa memasukannya dalam komponen harga. Kebanyakan perusahaan
memasukan biaya seperti itu ke dalam struktur harga mereka. Perusahaan bisa
8

memonitor resiko-resiko tersebut untuk memastikan bahwa resiko tersebut masih
berada pada wilayah normal. Jika resiko tersebut bergerak melebihi batas tertentu,
maka perusahaan perlu melakukan tindakan untuk menangani resiko tersebut.
Misalnya, jika frekuensi pencurian oleh pembeli supermarket menunjukkan
kecenderungan menin gkat maka manajer perlu melakukan perbaikan. Perbaikanperbaikan tersebut pada intinya memperbaiki prosedur dan proses bisnis.
Misalnya, pada kasus pencurian diatas, manajer supermarket bisa meminta
pembeli untuk meninggalkan tas, memasang supermarket di supermarket,
memasang barcode pada setiap produk yang dipajang (sehingga jika tidak di lepas
dan melewati tiang scanner akan berbunyi).
 Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi: prevent at
source.
Tipe resiko seperti ini tidak releven lagi dibicarakan, karena jika situasi semacam
ini terjadi, berarti perusahaan tidak lagi bisa mengendalikan resiko, dan bisa
berakibat pada kebangkrutan. Misalnya, jika perusahaan tidak bisa mengendalikan
penggelapan uang dengan jumlah besar oleh karyawannya (tipe resiko ini berada
dalam kuadran frekuensi rendah/signifikansi tinggi), maka ada kemungkinan
resiko ini berubah menuju kuadran frekuensi tinggi/signifikansi tinggi). Jika hal
ini terjadi, maka perusahaan praktis akan bangkrut dalam waktu singkat. Dengan
perspektif semacam ini, maka tugas manajemen resiko adalah mencegahnya
migrasi resiko-resiko yang ada ke dalam kuadran frekuensi tinggi/signifikansi
tinggi.
S
E
V
E
R
I
T
Y

Tinggi

Wilayah 1
Wilayah 2
Wilayah 3

Rendah

Wilayah 4
Rendah

Tinggi
Frequency

9

Strategi untuk menghadapi resiko di wilayah-wilayah tersebut sebagai
berikut:
Wilayah 1. Severity tinggi dan frekuensi tinggi: Immediate Action
Untuk wilayah ini, perusahaan haruas melakukan penanganan yang
agresif dan segera (Immediate Action).
Wilayah 2: Severity tinggi dan frekuensi agak tinggi: Immediate Attention
Untuk wilayah ini, perusahaan harus mengawasi resiko ini (Immediate
Attention).
Wilayah 3: severity agak tinggi dan frekuensi agak tinggi: Periodic Attention
Untuk wilayah ini, perusahaan harus bisa melakukan pengawasan secara
berkala (periodic attention).
Wilayah 4: serity rendah dan frekuensi rendah: Annual Evaluation
Untuk wilayah ini, perusahaan ini bisa lebih longgar, yaitu melakukan
pengawasan dengan jangka waktu panjang, misalnya tathunan. (annual
evaluation).
`

aspek dinamika resiko juga perlu diperhatikan. Resiko bisa berubah dari

wilayah 4 ke wilayah lainya, misal ke wilayah 2. Misalnya, resiko tuntutan hokum
barangkali tidak begitu kelihatan di masa lalu. Tetapi dengan semakin sadarnya
masyarakat akan hak dan kewajibanya, resiko tersebut bisa berubah menjadi
resiko yang semakin pentin. Pengukuran resiko oprasional dapat kita lakukan
dengan penempatan tingkatan dari setiap bentuk resiko yang terjadi. Yaitu
semakin tinggi resiko maka semakin tinggi kem ungkinan untuk memperoleh
retrun yang di harapkan, dengan asumsi resiko dan retrun besifat linier.

10

Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat dalam gambar di bawah ini:

E(R)
IV

III

I

II

Risk (σ)

Pada gambar diatas dapat kita pahami bahwa terdapat suatu hubungan kuat
antara expected return / E(R) dan Risk (σ). Dimana setiap titik-titik dan wilayah
tersebut dapat kita jelaskan sebagai berikut:
1. Posisi 1 adalah dimana E(R) berada di posisi tertinggi dan σ juga berada di
posisi yang tertinggi dalam artian semakin tinggi pengharapan pada E(R) maka
semakin tinggi kemungkinan terjadinya σ. Atau dengan kata lain disini kondisi
maksimalitas E(R) bersifat searah (linier) dengan resiko yang akan diterima.
Misalnya, pada saat suatu perusahaan merencanakan untuk menambah kapasitas
atau profit perusahaan akan mengalami peningkatan, namun ini juga berakibat
pada terjadinya peningkatan pada proses produksi untuk mampu meningfkatkan
jumlah produksi per unitnya yaitu jika sebelumnyya perusahaan bisa
memproduksi 4.000 unit maka sekarang harus ditingkatkan menjadi 4.700 unit.
Kondisi ini akan menimbulkan beberapa dampak pada resiko operasional
perusahaan seperti:
a. Mesin produksi akan mengalami masa penyusutan dengan cepat karena
dipakai dalam waktu lebih lama dan bersifat mengejar target produksi.
b. Kebutuhan bahan baku yang di butuhkan akan mengalami peningkatan
yang tinggi dan tidak boleh berhenti karena akan mempengaruhi
kelancaran produksi secara tepat waktu.
2. posisi II adalah dimana E( R) berada pada posisi rendah dan σ berada pada
posisi yang tinggi atau dengan kata lain E(R) dan σ bersifat tidak searah (non

11

melakukan antisipasi dan menetapkan strategi yang maksimal guna menghindari
semakin terjadinya pergerakan terjadinya kenaikan resiko yang lebih tinggi,karena
semakin tingginya resiko yang terjadi akan menyebabkan beberapa hal pada
perusahaan, misalnya:
a. Peningkatan kerugin perusahaan akan terus bertambah dan lebih jauh
dana cadangan akan lebih banyak terkuras
b. Jika resiko kerugian ini di biarkan terus menerus maka akan
menyebabkan perusahaan berada dalam kondisi financial distress
(kesulitan keuangan).
3. posisi III adalah dimana E(R) berada pada posisi rendah dan σ juga berada pada
posisi yang rendah, atau dengan kata lain E(R) dan σ bersifat searah (linier).
4. pisisi IV adalah dimana E(R) berada pada posisi tinggi dan σ berada pada posisi
yang rendah atau dengan kata lain E(R) dan σ bersifat tidak searah (non linier)
pada kondisi yang seperti ini ada beberapa kondisi dan situasi yang perlu di
cermati:
a. Resiko sangat sulit diprediksi tapi jika terjadi mampu menempatkan posisi
perusahaan berada pada titik posisi II
b. Kondisi dan situasi ini terjadi pada saat control resiko (risk control)
menjadi lemah karena perusahaan selama ini terbuai oleh profit yang terus
menerus mengalami kenaikan.
c. Semangat kerja under pressure yang dilakukan oleh pihak manajemen
perusahaan tidak lagi seperti berada pada posisi II, dan ini bisa berdampak
pada penurunan kedisiplinan kerja serta target pekerjaan yang harus
dikerjakan.

12

2.4 Perubahan Karakteristik Risiko Operational
Setiap risiko bisa berubah karateristiknya dari waktu ke waktu. Misalkan
pada jaman dulu pencatatan transaksi dilakukan secara manual ( karyawan
menuliskan harga dan jumlah unit yang diperdagangkan di kertas ), cara tersebut
dapat memunculkan risiko kesalahan pencatatan. Frekuensi kesalahan cukup
sering karena karyawan sering lelah namun biasanya mengakibatkan kerugian
yang relative kecil. Sekarang ini sudah banyak cara manual seperti itu diganti
dengan pencatatan terkomputerisasi dengan demikian frekuensi kesalahan dapat
diturunkan namun akan muncul jenis risiko baru. Apabila terjadi kegagalan atau
kelemahan pada system komputer maka kerugian yang muncul akan sangat besar.
a. Globalisasi
Era globalisasi telah memberi perubahan besar bagi konsep bisnis pada
seluruh sektor bisnis, baik financial maupun non financial, sehingga
menciptakan konsep produk dibuat untuk bisa menampung keinginan
globalisasi tersebut. Karena itu, perusahaan dituntut untuk menerapkan
manajemen yang berbasis konsep global yang secara tidak langsung
mekanisme operational perusahaan juga harus bersifat global.
b. Otomatisasi
Otomatisasi ini menurunkan risiko yang berkaitan dengan manusia
(misal kesalahan dalam pencatatan karena kelelahan). Tetapi
otomatisasi semacam itu memunculkan risiko yang baru yaitu risiko
kegagalan sistem dan semacamnya. Risiko ini cenderung lebih sulit
untuk dideteksi dan jika terjadi maka perusahaan akan mengalami
kerugian yan signifikan.
c. Terlalu mengandalkan teknologi
Apabila terlalu mengendalikan teknologi maka akan ada risiko baru
yang akan dialami, walaupun dengan menggunakna teknologi
memudahkan dalam membantu proses bisnis yang akan lebih cepat.
d. Outsourcing
Outsourcing merupakan tren bisnis akhir – akhir ini. Outsourcing
berarti menggunakan jasa pihak luar untuk mengerjakan sebagian dari
13

pekerjaan perusahaan. Outsourcing dilakukan dengan pertimbangan
efisiensi ( bisa menurunkan biaya ). Jika melakukan pekerjaan sendiri ,
karena sesuatu hal ( misalkan keahlian yang tidak ada atau skala
ekonomi yang kurang ), bagi perusahaan, akan lebih menguntungkan
jika menggunakan jasa dari pihak luar untuk pekerjaan tertentu.
e. Perubahan budaya masyarakat
Masyrakat semakin lama semakin pandai, semakin sadar kan hak dan
kewajibannya. Kesadaran tersebut cenderung meningkatakan risiko
litigasi, dimana masyarakat akan berusaha menuntut apabila merasa
dirugikan. Perubahan budaya masyarakat bisa meningkatkan risiko
gugatan hukum.
2.5 Biaya untuk risiko Operational
Untuk mengatasi risiko operational suatu perusahaan harus membuat analisa
mencakup:
a. Menghitung dan memetakan bentuk risiko yang sedang dan akan
dihadapi
b. Memperhitung

biaya

yang

harus

dialokasikan

menyangkut

pengelolaan risiko
c. Memutuskan pembentukan mekanisme seperti apa yang layak
diterappkan untuk mengelola risiko
d. Memutuskan dari mana sumberdana yang dapat dialokasikan untuk
mendukung penyelesaian operational risk ini
2.6 Just in time
a. Pengertian Just In time
Menurut Henri Simamora dalam bukunya Akuntansi Manajemen,
Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen dimana
segenap sumberdaya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia,
dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk

14

mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In Time
didasarkan

pada

konsep

arus

produksi

yang

berkelanjutan

dan

mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerjasama dengan
komponen-komponen lainnya. Tenaga kerja langsung dalam lingkungan
Just In Time dipertangguh dengan perluasan tanggung jawab yang
berkontribusi pada pemangkasan pemborosan biaya tenaga kerja, ruang
dan waktu produksi. Metode produksi Just In time mensyaratkan tidak
adanya persediaan bahan baku karena bahan baku dan suku cadang
dijadwalkan untuk sampai ke pabrik dari pemasok hanya pada saat
dibutuhkan saja.
Sistem produksi tepat waktu (Just In Time) adalah sistem produksi
atau sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh
perusahaan-perusahaan Jepang yang pada prinsipnya hanya memproduksi
jenis-jenis barang yang diminta sejumlah yang diperlukan dan pada saat
dibutuhkan oleh konsumen. Konsep just in time adalah suatu konsep di
mana bahan baku yang digunakan untuk aktifitas produksi didatangkan
dari pemasok atau suplier tepat pada waktu bahan itu dibutuhkan oleh
proses produksi, sehingga akan sangat menghemat bahkan meniadakan
biaya persediaan barang / penyimpanan barang / stocking cost.
Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen
dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang,
personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah
untuk mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In
Time didasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan dan
mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerjasama dengan
komponen-komponen lainnya
2.7 Strategi Dalam Risiko Pengadaan Barang dan Jasa
Berhubungan dengan anggaran pemerintahan dalam sebuah kerja
sama pengadaan barang dan jasa sangat rentan dengan aspek KKN.
Konsekuensinya, akan berbenturan dengan hukum yang berlaku.

15

Kerentanan tersebut, menjadikan hukum dan aturan yang ditetapkan pun
jadi semakin ketat untuk menghindari segala kemungkinan tindakan KKN.
Nah, bagi Anda yang terlibat dalam usaha pengadaan barang dan jasa
instansi pemerintah tentu harus mengerti seputar aturan, hukum, dan cara
mengantisipasinya agar tidak terkena risiko pidana. Bagaimanakah
caranya?
Harus selalu disadari bahwa risiko tindak pidana tidak dapat
dihilangkan. Risiko hanya dapat dikurangi kemungkinan terjadinya dengan
mengimplementasikan strategi yang tepat. Menyuap auditor bukan
merupakan cara menyelesaikan masalah yang tepat. Justru sebaliknya,
akan menambah masalah. Salah satu strateginya ialah melalui metode risk
transfer atau memindahkan risiko kepada pihak atau perusahaan lain.
Penerapannya ialah dengan meminjam bendera perusahaan lain untuk
melaksanakan pengadaan barang/jasa. Bagi pengelola pengadaan barang
dan jasa, strategi risk transfer dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut.
1. Meminta penjelasan secara tertulis (fatwa) untuk hal-hal yang belum
jelas kepada lembaga yang kompeten dan relevan, misalnya BPK, LKPP,
Mendagri, atau Menkeu. Dengan memiliki penjelasan tertulis, risiko secara
otomatis akan berpindah kepada lembaga yang mengeluarkan fatwa
tersebut.
2. Meminta persetujuan tertulis kepada manajemen atau lembaga yang
lebih tinggi. Praktik ini pernah terjadi pada pengadaan peralatan
penyadapan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui mekanisme
Penunjukan Langsung. Hal ini dilakukan KPK dengan meminta
persetujuan

presiden

untuk

melaksanakan

pengadaannya

melalui

mekanisme Penunjukan Langsung, tanpa melalui lelang. Pasalnya, jika
pagunya di atas 200 juta rupiah, aturan undang-undangnya mesti melalui
sistem lelang. Dengan demikian, KPK terbebas dari risiko tindak pidana

16

dalam melaksanakan pengadaan peralatan penyadapan melalui mekanisme
Penunjukan Langsung tersebut.
Secara lebih lengkapnya lagi mengenai mekanisme, aturan, dan
strategi pengadaan barang dan jasa ini akan dijelaskan dalam buku Aman
dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Buku ini ditulis
oleh Suswinarno Ak., MM untuk memberikan pemahaman yang baik dan
tepat tentang manajemen risiko pengadaan barang dan jasa pemerintah
agar bisa mengantisipasinya. Buku terbitan VisiMedia ini dibagi ke dalam
enam penjelasan pokok, yaitu mulai dari manajemen risiko, proses
manajemen, identifikasi risiko pada pengadaan barang dan jasa
pemerintah, mengukur risiko tindak pidana pada pengadaan barang dan
jasa pemerintah, strategi mengantisipasi risiko pidana, hingga tip dan trik
menghadapi audit dan auditor.
2.8 Resiko Pengadaan
Dalam opini mendefinisikan barang dan jasa, kuantitas, kualitas,
waktu, tempat dan harga akan menentukan seberapa kompleks proses yang
harus dilakukan dalam mendapatkan barang dan jasa. Seperti yang
diutarakan Samsul, mana yang lebih kompleks mengukur benda atau
tindakan? Jawabannya adalah lebih mudah mengukur benda ketimbang
mengukur tindakan. Karena benda sifatnya tangible (berwujud) sedangkan
tindakan sifatnya intangible (tidak berwujud). Dengan kerangka pikir
diatas tentu lebih sederhana mendapatkan barang dibanding mendapatkan
jasa. Kerangka berpikir ini juga akan membawa kita pada rantai logika
yang sama ketika dihadapkan pada kompleksitas barang/jasa versus
penyedia. Skala kompleksitas menilai barang/jasa tentu lebih sederhana
dibanding menilai penyedianya. Mengkompetisikan banyak penyedia yang
mampu menyediakan barang adalah cara yang paling tepat.
Dalam mengenal karakteristik penyedia, penting juga untuk
mengenal Krajilc Box Method yang memposisikan barang/jasa kedalam
empat kotak berdasarkan karakteristik barang/jasa dikaitkan dengan

17

potensi resiko dan potensi nilai belanja. Karakteristik ini dapat dijadikan
peta dalam pengambilan keputusan penetapan metode pengadaan dikaitkan
dengan skala kompleksitas.
Barang/jasa Laverage mempunyai karakteristik resiko kecil tapi
nilai

pembelian

tinggi

yang

diutamakan

adalah

memaksimalkan

penghematan. Contoh: laptop berada pada pasar persaingan sempurna
dimana jumlah penyedia dan jumlah barang baik jenis maupun kuantitas
tersedia di pasar secara luas dan banyak sehingga faktor yang jadi
pertimbangan hanyalah harga yang terendah.
Barang/jasa Routine adalah barang resiko rendah dengan nilai
pembelian yang rendah yang diutamakan adalah meminimalkan waktu dan
sumber daya. Contoh: alat tulis kantor, pasti diperlukan setiap tahun dalam
jumlah yang kecil dan terpecah-pecah dalam item-item kemudian dari sisi
barang dan penyedia tersedia luas.
Barang/Jasa Bottleneck mempunyai karakteristik resiko tinggi tapi
nilai pembelian rendah fokus kepada jaminan pasokan agar tidak terhenti.
Kontrak jangka panjang dengan eskalasi terpantau dan dinegosiasikan
secara berkala. Contoh : obat-obatan, bersifat urgen dalam artian kalau
tidak tersedia dalam waktu yang dibutuhkan akan mengakibatkan
hambatan pada organisasi, spesifikasi khusus dan jumlah penyedia
terbatas. Nilai pembelian terbatas dan terbagi atas item-item kecil.
Barang/jasa Critical mempunyai karakteristik resiko tinggi dan
dengan nilai pembelian yang tinggi memperhitungkan semua biaya
langsung maupun tidak langsung dan maksimalisasi pencapaian Nilai
Manfaat Uang (Value for Money). Contoh: Mesin Pembangkit Tenaga
Listrik dari sisi spesifikasi sangat khusus, jumlah penyedia terbatas,
bersifat urgen dan nilai pembelian tinggi.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dikenal beberapa metode pemilihan
18

pada penyedia barang/jasa. Pengadaan barang, jasa lainnya, dan pekerjaan
konstruksi, terdapat beberapa metode, yakni pelelangan umum, pelelangan
terbatas, pemilihan langsung, penunjukan langsung, dan pengadaan
langsung; untuk pengadaan jasa konsultan terdapat beberapa metode,
yakni seleksi umum, seleksi sederhana, penunjukan langsung, pengadaan
langsung, dan sayembara. Metode-metode tersebut dilakukan dengan
langkah-langkah yang cukup rumit dan multitafsir. Pusing bukan. Cukup
sudah.

19

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Risiko Operasional merupakan risiko yang umumnya bersumber dari
masalah internal perusahaan, dimana risiko itu terjadi disebabkan oleh lemahnya
sistem kontrol manajemen (management contro sytem) yang dilakukan oleh pihak
internal perusahan.
Untuk menghitung kerugian yang diharapkan jika risiko tertentu muncul
dapat menggunakan kerangka probabilitas ( frekuensi ) dan severity. Rumusnya
adalah: Kerugian yang diharapkan = frekuensi ( probabilitas ) x severity
( besarnya kerugian )
Ada beberapa factor yang mampu memberi pengaruh pada terbentuknya
resiko operasional, yaitu: risiko pada computer, kerusakan peralatan pabrik,
kecelakaan kerja, kesalahan dalam pembukuan secara manual, kesalahan
pembelian dan tidak ada kesepakatan bahwa barang yang dibeli dapat ditukar
kembali, pegawai outsourcing, globalisasi dalam konsep dan produk.
Factor yang menyebabkan perubahan karateristik resiko operasional, yaitu:
globalisasi,

otomatisasi,

Terlalu

Mengandalkan

Teknologi,

Outsourcing,

Perubahan Budaya Masyarakat.

20

DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Muhammad. 2007. Manajemen Resiko Operasional-Teori & Praktek,
Jakarta: Sinar Grafika Offset, PT. Bumi Aksara.
Sucipto, Agus. Manajemen Resiko, Malang
http://visimediapustaka.com/artikel-buku/323-strategi-antisipasi-risiko-pidanapengadaan-barang-dan-jasa
http://nurulazizaheducation.blogspot.com/2011/03/menejemen-risiko.html
http://gaharuchromeblogspot.wordpress.com/2010/07/19/makalah-manajemenresiko/
file:///C:/Users/USER/Downloads/Manajemen%20risiko%20-%20Wikipedia
%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm

21