Potensi Pengembangan Ubijalar Organik di

POTENSI PENGEMBANGAN UBIJALAR ORGANIKDI WILAYAH
DATARAN TINGGI PAPUA
R. Garuda dan Kadir S.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua,
Jl. Yahim No. 49, Sentani, Jayapura, Papua,
Email: garudasittiraodah@gmail.com
ABSTRAK

Daerah pengembangan ubijalar di wilayah dataran tinggi Papua
adalah Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo, karena di wilayah ini
masyarakat asli Papua lebih cenderung untuk mengkonsumsi ubijalar
sebagai makanan pokoknya. Namun produks iubijalar sebagai makanan
pokok masyarakat yang hidup di dataran tinggi tersebut dihadapkan dengan
sulitnya mempertahankan produktivitas agar tetap stabil secara kontinyu.
Hal ini karena kondisi topografi dari berbukit sampai pegunungan yang terjal
ditambah sistem pertanian tebang bakar yang dikembangkan masyarakat
membuat erosi cukup tinggi akibatnya lapisan tanah subur hilang terbawa
air. Guna pengembangan ubijalar dibutuhkan ragam varietas unggul yang
sesuai untuk ditanam pada wilayah dataran tinggi Papua dengan tujuan
mendukung pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat dan industri pangan.
Rekomendasi varietas unggul ubijalar yaitu varietas Cangkuang, varietas

Papua Pattipi, varietas Papua Sollosa, varietas Weayuken, varietas Helaleke
dan Varietas ubijalar Cilembu terdapat beberapa klon potensial seperti :UPUM 5, UP-UM 6, UP-UM 9. Selain itu perbaikan teknik budidaya seperti
penanaman dengan system kuming, pengaturan jarak tanam, penggunaan
bahan organik sebagai pupuk dan pengendalian OPT secara terpadu dengan
penggunaan pestisida nabati.
Kata kunci : Ubijalar, organik, dataran tinggi, potensi.

Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

627

PENDAHULUAN
Ubijalar (Ipomoea batatas.Poir) merupakan pangan pokok bagi sukusuku yang hidup di wilayah dengan sumber pangan alternatifnya sangat
sedikit. Di beberapa lokasi, kedudukan ubijalar sangat strategis, baik dari
aspek ekologi maupun ekonomi. Peluang untuk mendapatkan komoditas
substitusi ubijalar sebagai bahan pangan relatif kecil. Secara ekologis,
terdapat sedikit tanaman pangan beresiko rendah selain ubijalar yang
mampu beradaptasi dan berproduksi baik dengan teknologi sederhana. Dari
aspek ekonomi, memasok ubijalar dari kabupaten lain ke lokasi tertentu

yang terisolasi merupakan alternatif yang kurang ekonomis karena sulitnya
transportasi dan logistik. Penduduk daerah pedalaman yang mengkonsumsi
ubijalar sebagai makanan pokok sering mengalami kesulitan, karena gagal
panen akibat pengaruh cuaca ekstrim (banjir dan kekeringan) atau serangan
hama/penyakit. Dengan demikian, teknologi alternatif untuk mengatasi
masalah tersebut perlu tersedia. Secara politis mempertahankan ubijalar
sebagai pangan pokok ikut mendorong terwujudnya diversifikasi pangan
nasional (Suyamto et al. 2012).
Tanaman ubijalar di Indonesia merupakan salah satu tanaman yang
cukup penting, baik sebagai makanan pokok alternatif di musim paceklik
maupun makanan tambahan dalam rangka diversifikasi pangan, sehingga
sangat berperan dalam menjaga ketahanan pangan di masyarakat. Hampir
seluruh bagian ubijalar dapat dimanfaatkan yaitu a) daun: sayuran, pakan
ternak, b) batang: bahan tanam, pakan ternak, c) kulit ubi: pakan ternak, d)
tepung ubijalar: makanan, e) pati ubijalar : fermentasi, pakan ternak, asam
sitrat, f) ubi segar : bahan pangan. Bahkan menurut Dewa et al. (2012),
ubijalar berpotensi sebagai bahan baku industri modern (perekat, tekstil,
farmasi, dan kosmetik).
Ubijalar dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara seperti
tepung, permen, kripik, chips, snack, dan gula fruktosa. Ubijalar dapat

pula dipergunakan sebagai bahan baku makanan olahan seperti mie dan

628

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

roti. Ubijalar juga dapat dikemas dalam bentuk pasta yang dipergunakan
sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Ubijalar di berbagai
negara maju dipergunakan sebagai bahan baku dalam kegiatan bermacam
industri seperti industri tekstil, industri farmasi, industri fermentasi, industri
lem, kosmetika, pembuatan sirup, dan sebagai bahan baku dalam industri
pembuatan saus.
Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia, total areal
lahan pertanian organik di Indonesia pada tahun 2010 seluas 238.872
ha. Luasan areal meningkat 10% dari tahun sebelumnya mencakup lahan
pertanian organik yang telah disertifikasi, lahan yang sedang dalam proses
sertifikasi Penjaminan Mutu Organisasi Indonesia (PAMOR), dan lahan yang
tidak bersertifikat. Peningkatan pertanian organik di Indonesia tumbuh seiring
dengan peningkatan luas lahan organik di seluruh dunia yang mencapai 2
juta ha (AOI 2010).

Ubijalar termasuk tanaman semusim. Tanaman ini cocok ditanam di
daerah dengan ketinggian 500 s/d 1.000 dpl dan suhu 21 s/d 27 derajat
Celcius serta mendapat sinar matahari 10 jam per hari. Kelembapan udara
(RH) 50% - 60% dengan curah hujan 750 mm - 1.500 mm pertahun. Ubijalar
ideal ditanam di tanah pasir berlempung, gembur, banyak mengandung
bahan organik dengan PH 5,5 – 7 (Rukmana 1997). Tanaman ubijalar
sudah membentuk ubi saat berumur 3 minggu sejak tanam. Ubijalar dapat
diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan setek batang atau pucuk
daun. Bahan setek daun yang digunakan harus memenuhi persyaratan
bahan tanaman minimal berumur 2 bulan atau lebih, pertumbuhan tanaman
yang akan diambil seteknya harus dalam keadaan sehat normal dan tidak
terlalu subur, mengalami masa penyimpanan di tempat yang teduh selama 17 hari. Masa panennya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti iklim, tingkat
kesuburan tanah, varietas dan lokasi penanaman. Apabila ditanam di dataran
tinggi maka masa panen akan lebih lama antara 5 s/d 6 bulan sementara
apabila ditanam di dataran rendah bisa dipanen saat berumur 3 s/d 4 bulan.
Hasil panen sangat bervariasi tergantung lokasi penanaman. Luas panen
Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

629


ubi jalar di Indonesia sekitar 230.000 ha dengan produktivitassekitar
10 ton/ha. Padahal dengan teknologi maju beberapa varietas unggul ubi
jalar dapat menghasilkanl ebih dari 30 ton umbi basah/ha (P2KLH UNPAR,
2012). Penanaman di dataran rendah bisa panen ubijalar sebanyak 15 – 20
t/ha. Untuk dataran sedang bisa dipanen ubi sebanyak 20 – 25 t/ha dan di
dataran tinggi bisa dipanen 25 – 30 t/ha. Ubijalar dapat disimpan hingga 5
s/d 6 bulan bahkan lebih tergantung dari cara penyimpanan. Ubijalar yang
telah disimpan rasanya lebih manis dibandingkan dengan ubijalar yang baru
saja dipanen. Cara yang paling praktis agar tahan lama disimpan adalah
dibenamkan ke dalam pasir.
Daerah pengembangan ubijalar di wilayah dataran tinggi Papua adalah
Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo, karena di wilayah ini masyarakat asli
Papua lebih cenderung untuk mengkonsumsi ubijalar sebagai makanan
pokoknya. Namun produksi ubijalar sebagai makanan pokok masyarakat yang
hidup di dataran tinggi tersebut dihadapkan pada sulitnya mempertahankan
produktivitas agar tetap stabil secara kontinyu. Hal ini karena kondisi
topografi yang berbukit sampai pegunungan yang terjal ditambah sistem
pertanian tebang bakar yang dikembangkan masyarakat membuat erosi
cukup tinggi akibatnya menghilangkan lapisan tanah subur karena terbawa

air. Hasil penelitian Jusuf et al., (2006) di Jayawijaya menunjukkan bahwa
beberapa klon lokal ubijalar memiliki produksi yang cukup tinggi, antara lain
MSU 99051-1 (Papua Salossa) mencapai rata-rata 24,0 t/ha, BB 97089-12
(Papua Pattipi) mencapai 25,7 t/ha dan BB 97256-9 (Sawentar) mencapai
23,1 t/ha, hal ini sangat menunjang pengembangan sumber pangan bagi
penduduk di dataran tinggi Yahukimo.

630

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

REKOMENDASI VARIETAS UNGGUL
Guna pengembangan ubijalar dibutuhkan ragam varietas unggul yang
sesuai untuk ditanam pada wilayah dataran tinggi Papua dengan tujuan
mendukung pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat dan industri pangan.
Adapun varietas unggul ubijalar yang direkomendasikan dan telah diuji
adaptasikan seperti :

1. Varietas Cangkuang
2. Varietas Papua Pattipi

3. Varietas Papua Sollosa
4. Varietas Weayuken
5. Varietas Helaleke
6. Varietas ubijalar Cilembu terdapat beberapa klon potensial seperti


UP-UM 5



UP-UM 6



UP-UM 9
Varietas dan klon-klon tersebut dapat menjadi pertimbangan

kebijakan pengembangan ubijalar kedepan di wilayah dataran tinggi Papua.
Penggunaan varietas rekomendasi dapat meningkatkan produksi ubijalar
yang dibudidayakan karena telah dilakukan uji adaptasi terhadap varietasvarietas tersebut sehingga diperoleh informasi dan tingkat keefektifannya.


Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

631

Tabel 1. Produktivitas dan produksi bahan kering umbi kajian adaptasi
varietas ubijalar, Papua 2013
No

Klon/
Varietas

Produksi
(t/ha)
Jaya
Wijaya

Bahan kering
(%)


Yahukimo

Jaya
Wijaya

Prod bhn kering
(t/ha)

Yahukimo

Jaya
Wijaya

Yahukimo

1

UP-UM 1


7,40a

7,60a

43,54d

39,99b

3,22a

3,04ab

2

UP-UM 4

10,67ab

8,68ab


43,62d

37,53b

4,65abc

3,26bc

3

UP-UM 5

14,67c

10,71c

35,25bc

38,29b

5,27bc

4,11d

4

UP-UM 6

13,61bc

7,43a

31,81ab

28,09a

4,32ab

2,08a

5

UP-UM 9

13,08bc

7,40a

43,08d

40,36b

5,64bcd

2,98ab

6

Rancung

15,14c

7,55a

30,58a

26,78a

4,62abc

2,03a

7

Papua Salosa

16,65c

9,76bc

41,99d

39,85b

6,99d

3,89cd

8

Helaleke

16,14c

7,86a

39,53cd

39,69b

6,38cd

3,12ab

9

Cangkuang

23,59d

13,31d

38,96cd

38,09b

9,19e

5,07e

10

Weayuken

23,42d

10,77d

39,50cd

39,53b

9,25e

4,25d

13,63

18,66

6,66

8,39

16,13

8,17

KK (%)

Sumber : Syafruddi kadir et al., 2013.

Tabel 2. Karakter morfologis varietas-varietas ubijalar rekomendasi wilayah
dataran tinggi Papua 2013
Asal Koleksi

Karakter Morfologi
Kulit Umbi
Daging Umbi

No

Klon/Varietes

1.

UP-UM 5

Univ. Padjadjaran

Ungu

Ungu

2.

UP-UM 6

Univ. Padjadjaran

Kuning Pucat

Orange

3.

UP-UM 9

Univ. Padjadjaran

Pink mudah

Kuning/ orange

4.

Papua Salosa

Balitkabi

Kuning

Kuning keorangean

5.

Papua Pattipi

6.

Helaleke

Lokal Wamena

Merah

Kuning Pucat

7.

Cangkuang

Balitkabi

Merah

8.

Weayuken

Lokal Wamena

Kecoklatan

Kuning Muda
Ungu bercampur
putih

Sumber : Syafruddi kadir et al., 2013.

632

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Varietas-varietas rekomendasi ini juga harus memiliki komposisi kimia
yang baik agar tingkat kecukupan gizi masyarakat dapat terpenuhi sehingga
dalam membudidayakan vareitas yang menjadi rekomendasi di wilayah
dataran tinggi Papua memberi keuntungan baik dari segi ekonomi maupun
dari segi kesehatan.
Tabel 3. Komposisi kimia klon/varietas ubijalar, Papua 2013
No

Klon/
Varietas

Protein

Amilum

Gula
Reduksi

Amilosa

-------------------- g/100 g ----------------

Beta
Karoten

Vitamin C

-------- mg/100 g --------

1.

UP.UM 1

3,06

15,42

8,48

3,66

43,95

30,79

2.

UP.UM 4

2,50

18,86

6,92

4,45

1,98

24,63

3.

UP.UM 5

3,02

14,17

8,74

3,38

71,70

31,67

4.

UP.UM 6

3,09

15,81

9,05

3,75

69,58

32,99

5.

UP.UM 9

3,09

15,55

9,02

3,70

70,63

32,76

6.

Rancung

2,67

15,16

8,27

3,60

39,86

30,13

7.

P. Salosa

3,02

15,76

8,22

3,74

41,47

30,13

8.

Helaleke

2,39

18,42

7,09

4,36

1,47

25,72

9.

Cangkuang

2,53

18,87

6,96

4,46

1,85

25,06

10.

Weyayuken

2,71

16,38

7,52

3,88

1,59

27,04

Sumber : Syafruddi kadir et al., 2013

Salah satu keunggulan yang dapat ditonjolkan ubijalar adalah
kandungan beta karoten yang tinggi sehingga dapat menjadi pertimbangan
petani dalam menggunakan varietas tersebut. Beta karoten bermanfaat
dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Menurut

Ginting et al.

(2007), kandungan karotenoid pada umbi sangat dipengaruhi oleh jenis atau
varietas. Selain varietas, kandungan beta-karoten ubi juga dipengaruhi oleh
waktu tanam, umur panen, lokasi dan kecukupan air (Kays and Kays, 1998).
Sebagian besar karotenoid pada ubi terdeteksi sebagai beta-karoten (86-90
%) terutama pada umbi yang dagingnya berwarna jingga. Beberapa varietas
dengan daging ubi berwarna putih pada umumnya tidak mengandung betakaroten atau jika ada hanya dalam jumlah yang sangat kecil (Bradbury and
Holloway, 1988 dalam Ginting et al., 2007).
Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

633

PERBAIKAN TEKNIK BUDIDAYA
Penanaman Dengan Sistem Kuming
Penanaman dengan sistem kuming akan memberi hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan kebiasan petani lokal menanam dengan cara tebang
bakar atau sistem guludan. Pada sistem kuming dilakukan pengolahan
tanah secara sempurna kemudian dibuat kuming yaitu meninggikan tanah
dan mencampur pupuk organik setinggi 40 cm dengan pola memanjang.
Hal ini bertujuan agar umbi yang terbentuk dalam tanah akan lebih leluasa
pertumbuhannya sehingga diperoleh umbi yang memiliki bobot lebih besar
dibandingkan sistem tanam langsung maupun sistem guludan. Pertumbuhan
umbi dalam tanah akan mendapat unsur hara yang cukup karena kurangnya
kompetisi dengan tanaman lain.
Tabel 4. Rata-rata berat umbi/tanaman saat panen 6 (enam) bulan pada
berbagai perlakuan di dataran tinggi Kabupaten Yahukimo, Papua
2006
Sistem
Tanam
Kuming

Guludan

Varietas
Cangkuang
(g)

Varietas Papua
Pattipi (g)

Varietas Papua
Sollosa (g)

Rataan
(g)

941,6

1.016,7

1.816,7

2.036,8a

1.416,6

1.355,0

2.300.0

2.615,0

1.380,0

2.477.3

2.830,0

1.857,7

2.639.0

2.913,3

2.143,3

2.850.0

1.056,7

846,7

631,7

1.336,0

1.151,0

880,0

1.936,0

1.456,7

961,7

1.950,0

1.583,3

1.145,0

2.150,0

1.676,7

1.500,0

1.352,8b

Sumber : Albert Soplanit, 2006.

634

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Tabel 5. Komponen produksi kajian adaptasi ubijalar di papua dengan
penanaman sistem kuming, 2013
No

Diameter Umbi
(cm)

Klon/Varietes

Jaya Wijaya
ab

Jumlah Umbi
(bh)

Yahukimo
ab

Jaya Wijaya
abc

Yahukimo

1.

UP-UM 1

4,42

3,77

4,97

3,88a

2.

UP-UM 4

4,15a

4,23abc

4,93abc

4,26ab

3.

UP-UM 5

5,45ab

5,64d

6,80bc

5,28c

4.

UP-UM 6

4,29a

3,43a

6,07abc

3,75a

5.

UP-UM 9

4,94ab

3,61ab

3,80ab

4,26ab

6.

RANCUNG

4,97ab

4,57bc

6,27abc

5,22c

7.

PAPUA SALOSA

5,27ab

5,26abc

4,60abc

4,84bc

8.

HELALEKE

5,87abc

4,38abc

3,13a

4,33ab

9.

CANGKUANG

7,29c

4,97cd

5,27abc

4,50b

10.

WEAYUKEN

6,23bc

4,94cd

7,40c

4,80bc

KK ( % )

18,64

22,50

10,47

12,64

Sumber : Syafruddi kadir et al., 2013.

Pengaturan Jarak Tanam
Jarak tanam dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman
ubijalar, sehingga pengaturan jarak tanam dapat menjadi perhatian petani
dalam melaksanakan budidaya ubijalar. Menurut Soplanit dan Tangkearung
(2007) jarak tanam 75 cm x 100 cm memberikan produksi ubijalar tertinggi
pada pertanaman monokultur yakni 21,90 t/ha, disusul tumpang sari ubijalar
dengan kacang tanah 19,65 t/ha pada pertanaman ubijalar di dataran tinggi
Yahukimo. Kadir et al., (2013) menyatakan bahwa jarak tanam 70 cm x 100
cm memperlihatkan produktivitas Cangkuang (9,31 t/ha) dan Weayuken
(6,77 t/ha) lebih tinggi dibandingkan klon/varietas lainnya yang hanya mampu
mencapai produktivitas 3,40 t/ha – 6,71 t/ha. Klon introduksi yang memberi
produktivitas tertinggi adalah UP-UM 6 (6,71 t/ha) dan tingkat produktivitas
tersebut nyata lebih tinggi dibandingkan dengan klon introduksi lainnya.

Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

635

Penggunaan Bahan Organik Sebagai Pupuk
Bahan organik merupakan komponen utama dalam budidaya ubijalar
organik di Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Yahukimo. Bahan organik
ini yang nantinya akan dijadikan sebagai pupuk organik penyedia unsur hara
bagi tanaman, pembenah tanah terutama perbaikan tekstur dan struktur
tanah. Bahan organik yang umumnya tersedia di lokasi berasal dari sisa
tanaman dan berbagai jenis tanaman liar yag dapat dijadikan sebagai sumber
pupuk organik. Menurut hasil penelitian Soplanit (2006) untuk meningkatkan
hasil produksi ubijalar di Jayawijaya diperlukan bahan organik antara 10-20
t/ha sebagai pengganti hara bagi tanaman (kesuburan kimia tanah).
Untuk daerah dataran tinggi, banyak tumbuh tanaman perdu Titonia
diversifolia (paitan), tanaman ini telah dikembangkan sebagai sumber bahan
organik untuk meningkatkan ketersediaan hara. Penggunaan tanaman ini
sebagai pupuk hijau mampu meningkatkan ketersediaan dan serapan P
tanaman jagung di Andisol, dan menurunkan konsentrasi Al-dd (Utami et al.
2002; Prasetia et al., 2002).
Peran bahan organik sangat besar dalam meningkatkan kesuburan
tanah dan akan menentukan produktivitas tanah. Peranan bahan organik
tidak hanya berperan dalam penyediaan hara tanaman saja, namun yang
jauh lebih penting terhadap perbaikan sifat fisik, biologi dan sifat kimia
tanah lainnya seperti terhadap pH tanah, kapasi atas pertukaran kation dan
anion tanah, daya sangga tanah dan netralisasi unsur meracun seperti Fe,
Al, Mn dan logam berat lainnya termasuk netralisasi terhadap insektisida.
Berkaitan dengan kesuburan fisika tanah, bahan organik berperan dalam
memperbaiki struktur tanah melaui agregasi dan aerasi tanah, memperbaiki
kapasitas menahan air, mempermudah pengolahan tanah dan meningkatkan
ketahanan tanah terhadap erosi. Pengaruh terhadap biologi tanah, bahan
organik berperan meningkatkan aktivitas mikrobia dalam tanah dan dari hasil
aktivitas mikrobia pula akan terlepas berbagai zat pengatur tumbuh (auxin),
dan vitamin yang akan berdampak positip bagi pertumbuhan tanaman.
(Atmojo 2003)

636

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT)
Strategi Pengendalian Hama Terpadu
Menurut

Arifin (2012), pengendalian OPT dalam konsep PHT,

dilakukan dengan berbagai cara yang dipadukan secara serasi untuk
menurunkan populasi, kemudian mempertahankannya pada tingkat yang
dapat ditoleransi, karena status OPT ditentukan oleh OPT dan tanaman
maka strategi pengendalian OPT ditekankan padi modifikasi salah satu atau
keduanya. Strategi PHT menurut Pedigo (1999) meliputi :

1. Strategi tanpa pengendalian
Strategi ini diterapkan pada kondisi ekosistem pertanian stabil. Dalam
kondisi ini, populasi OPT diatur oleh :
a.

Faktor bergantung kepadatan (density-dependent faktor) yaitu faktor
yang intesitas bekerjanya berubah-ubah menurut kepadatan populasi
OPT. Contohnya kemampuan kumbang predator Curinus coeruleus
memangsa Bemisia tabaci pada tanaman labu dan kacang merah
bergantung pada kepadatan populasi mangsa.

b.

Faktor bebas kepadatan (density-independent factor), yaitu faktor
yang intensitas bekerjanya tidak bergantung pada kepadatan populasi
OPT. Faktor seperti ketahanan varietas tanaman, iklim, dan pestisida
dapat bertindak sebagai pengendali populasi OPT apabila musuh
alami tidak dapat menurunkan populasi OPT ke keadaan seimbang.
Peranan

kedua

faktor

tersebut

dapat

dimanfaatkan

untuk

mengendalikan populsi OPT secara alami dalam jangka panjang. Upaya
tersebut dapat dilakukan dengan mengatur pola tanam dan menggunakan
pestisida nabati.

Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

637

2. Strategi menurunkan populasi OPT
Strategi ini diterapkan untuk dua situasi. Pertama, bila populasi OPT
akan melampaui ambang ekonomi (AE) maka untuk tujuan preventif, sebelum
tanam dilakukan upaya mengubah lingkungan menjadi tidak disukai OPT,
antara lain : 1). pengaturan pola tanam meliputi pergiliran tanaman, waktu
tanam, dan tanam serentak, dan 2). pengaturan teknik bercocok tanam
meliputi pengaturan jarak tanam, penggenangan dan sanitasi. Pengaturan
teknik bercocok tanam dimaksudkan agar pertumbuhan tanaman dan
hasil panen menjadi optimal dan dapat pula digunakan untuk menghambat
perkembangan populasi OPT. Bila kondisi normal, populasi OPT akan berada
di atas AE sepanjang musim, maka tujuan kuratif harus disiapkan tindakan
pengendalian.

3.

Strategi mengurangi kerentanan tanaman
Penggunaan varietas tahan tidak mengurangi populasi OPT secara

langsung, tetapi tanaman dapat menolak atau mentoleransi OPT. Strategi ini
biayanya murah, mudah dilakukan petani dan aman bagi lingkungan.

4.

Strategi kombinasi
Ada beberapa teknik pengendalian yang dapat digunakan secara

terpadu untuk menurunkan status OPT yaitu :
a. Pengendalian dengan teknik budidaya, misalnya menanam tanaman
perangkap OPT, menanam varietas yang tahan dan toleran.
b. Pengendalian hayati, misalnya mengonservasi parasitoid dan predator,
memperbanyak dan melepas agens hayati (virus, bakteri, cendawan
dan nematoda patogen serangga).
c. Pengendalian mekanis dan fisik, misalnya mengumpulkan dan
membinasakan kelompok telur dan ulat.
d. Pengendalian dengan pestisida nabati.

638

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Penggunaan Pestisida Nabati
Dalam pertanian organik, penggunaan pestisida sintetik tidak
diperbolehkan karena penggunaan pestisida ini memiliki dampak negatif yang
akan terasa dengan timbulnya resistensi, resurjensi, ledakan hama sekunder,
matinya jasad bukan sasaran dan pencemaran lingkungan (Untung, 1993).
Dengan adanya dampak negatif ini, maka diperlukan pemanfaatan potensi
lokal untuk membuat pestisida nabati. Di Papua, ketersedian sumberdaya
alam dengan aneka ragam tanaman dapat dimanfaatkan sebagai pestisida
nabati. Namun pemanfaatannya sebagai pestisida nabati masih sangat
rendah.
Jenis tanaman yang mempunyai potensi sebagai pestisida nabati dan
banyak terdapat di sekitar lahan usahatani seperti sirsak (Annona glabra dan
A. squamosa), bengkuang (Pachyrhizus aerosus URB), bunga Pyrethum
indica, jeringau (Acorus calamus), Lempuyang (Zingiber sp), kecubung
(Datura patula), jarak (Ricinus communis), kunyit (Cucurma domestica),
Aglaia (Aglaia odorata), zodia (Evodia suaveolens) (Baringbing dan Syahid
1999; Hadad danTaryono 1999; dan Martina 2005). Tanaman lainnya seperti
lengkuas, sereh, sirih, mimba, mindi, buah nona dan sejumlah empon-empon
seperti jahe dan temulawak.
Penelitian tentang insektisida nabati yang telah dilakukan selama
tiga dasawarsa terakhir telah banyak menghasilkan tambahan informasi
tentang kandungan metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan untuk
mengendalikan hama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu dan Ho
(1999), menyatakan bahwa E. rutaecarpan mempunyai sifat toksisitas kontak
terhadap dewasa Sitophilus zeamais (LD50 = 0,043 µg/mg), larva Tribolium
castaneum LD50 = 0,093 µg/mg dan dewasa LD50 = 0,118 µg/mg. Ekstrak
mimba dan tembakau dapat bersifat sebagai insektisida sistemik, karena
dengan ekstrak mimba dan tembakau10% tingkat kematian serangga
mencapai 87,5% dan 100% (Mardimingsih et al., 2002). Hal yang sama juga
terjadi pada aplikasi ekstrak biji Lantana camara pada penggerek polong
Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

639

Etiella zinckenella dan Spodoptera litura (Harnoto et al., 2000), bobot pupa
makin rendah pada perlakuan yang konsentrasinya makin tinggi.
Kandungan bahan aktif yang terdapat pada tanaman yang akan
dijadikan pestisida botani berbeda-beda menurut jenis tanamannya dan
mempunyai efek yang berbeda pula terhadap setiap jenis serangga sasaran.
Kandungan bahan aktif dan OPT sasaran dari berbagai jenis tanaman yang
digunakan sebagai bahan pestisida dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6. Kandungan bahan aktif beberapa jenis tanaman dan OPT
sasaran, 2006
No.

Jenis
Tanaman

1.

Mimba

Azadirachtin
Salanin
Meliantriol
Nimbing

Ulat buah (Helicoverpa armigera), kutu
daun (Aphid), ulat daun kubis (IPluttela
xylostella), ulat krop (Crocidolomia
binotalis), ulat grayak (Spodoptera
litura), ulat tanah (Agrotis spp),
penggorok daun (Liriomyza spp), kutu
kebul (Bemisia tabaci), rebah kecambah
(Rhizoctonia solani), nematode, layu
fusarium, wereng coklat, wereng hijau,
belalang kembara, kumbang beras
(Sitophilus oryzae).

2.

Mindi

Meliacin

Kutu (Myzuz persicea), belalang
(Locusta migratoria), nematoda
(Meloidogyne sp), penyakit bercak
daun (Helmintos sporium sp), wereng
batang, wereng daun padi, ulat grayak
(Spodoptera litura), hama gudang
(Tribalium castaneum)

3.

Sirsak

Asimisin
Bulatacin
Squamosinl

Trips pada cabai, kutu daun kentang
(Macrosiphum solanifolii), Aphids,
belalang, kepik hijau, wereng coklat,
wereng hijau.

640

Bahan Aktif

OPT Sasaran

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

No.

Jenis
Tanaman

4.

Serai

Bahan Aktif
Sitral
Sitronela
Geraniol
Mirsena
Nerol
Farnesol
Metil heptenon
Dipentena

OPT Sasaran
Hama gudang, kumbang beras
(Sitophilus oryzae).

Sumber : Martina dan Kasim 2006

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Ubijalar merupakan salah satu bahan pangan yang berpotensi
untuk menambah keragaman sumber bahan pangan di propinsi Papua.
Namun selama ubijalar masih hanya berstatus sebagai bahan pangan
saja bagi masyarakat maka akan terus terjadi kelemahan internal dalam
pengembangan ubijalar, baik sebagai pangan langsung maupun untuk
industri pangan. Untuk meningkatkan status ubijalar, pengembangannya
perlu diarahkan kepada pangan fungsional berkadar gizi tinggi dan sesuai
dengan Angka Kecukupan Pangan (AKG).
Pengembangan pertanaman ubijalar tidak hanya bertujuan untuk
pencapaian target produksi saja, akan tetapi diharapkan dapat masuk
kriteria bahan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan gizi untuk hidup
sehat dan produktif. Berdasarkan hasil kajian pada enam klon ubi Cilembu,
walaupun secara umum produktivitas dan total poduksi bahan kering masih
lebih rendah dibandingkan varietas lokal, akan tetapi kandungan gizi ubi
Cilembu relatif masih lebih tinggi dibandingkan ubijalar lokal. Disamping itu
preferensi masyarakat masih lebih menyukai ubi Cilembu.

Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

641

Secara agronomis klon-klon ubi Cilembu UP-UM 5, UP-UM 6, UPUM 9, dan Rancung masih mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi
lingkungan tumbuh di kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo(ketinggian 1.5001800 m dpl), yang ditunjukkan oleh produktivitas diatas 13 t/ha. Walaupun
masih dibawah potensi produksi 15-20 t/ha pada lingkungan asalnya pada
ketinggian ± 700 m dpl. Diharapkan dengan perbaikan teknologi budidaya
produktivitasnya masih dapat ditingkatkan.

KESIMPULAN
Ubijalar dataran tinggi Papua memiliki potensi ekonomi yang cukup
tinggi untuk dikembangkan karena ubijalar ini merupakan salah satu produk
organik andalan pemerintah Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo.
Teknik budidaya yang dilakukan oleh petani lokal masih sangat
rendah sehingga diperlukan teknologi budidaya yang dapat meningkatkan
hasil produksi. Salah satunya adalah penggunaan varietas unggul Ubijalar,
rekomendasi varietas tersebut dari BPTP Papua seperti varietas ubijalar
Cilembu dengan beberapa klon potensial karena telah diuji adaptasikan pada
wilayah tersebut seperti UP-UM 5, UP-UM 6, dan UP-UM 9. Kandungan
senyawa kimia seperti : protein, gula reduksi, β karoten dan vitamin C klon
UP-UM 5, UP-UM 6, dan UP-UM 9 yang lebih tinggi dibandingkan varietas
lokal merupakan keunggulan internal klon-klon ubi Cilembu yang mampu
mendukung pengembangan industri pangan.

DAFTAR PUSTAKA
AOI. 2010. Statistik pertanian organik Indonesia 2010. Aliansi Organis
Indonesia. 98p.
Arifin, M. 2012. Pengendalian Hama Terpadu : Pendekatan dalam
mewujudkan pertanian organik rasional. Iptek Tanaman Pangan
7(2) : 98-107.

642

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Atmojo, S.W. 2003. Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah dan
upaya pengelolaannya. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
http://suntoro.staff.uns.ac.id/files/2009/04/pengukuhan-profsuntoro.pdf
Baringbing, B. dan S. F. Syahid. 2000. Beberapa jenis tanaman obat berpotensi
sebagai insektisida nabati terhadap hama Tribolium castaneum.
Dalam Soetopo, D., Supriadi, M. Djazuli, E. Hadipoentyanti, S. Yuliani
dan D. . Prijono (Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan
Pestisida Nabati. Bogor 9-10 Nopember 1999. Puslitbangbun.
Bradbury, J.H., B. Hammer, T. Nguyen, M. Anders, ang J.S. Milar. 1985.
Protein quantity and quality and tripsin inhibito content of sweet
potato cultivars from the highland of Papua New Guinea. Journal of
Agriculture Food Chemistry 3(2):281-285.
Dewa, K.S.S. dan S. Nuryanti. 2012. Potensi ekonomi ubijalar inovasi
teknologi dan prospek pengembangan.
Puslitbang Tanaman
Pangan. Badan Litbang Pertanian. p. 21-34.
Ginting, E., Rahayuningsih dan Suprapto. 2007. Pemanfaatan ubijalar kaya
antosianin dan beta karoten menjadi beberapa produk olahan
pangan. Laporan Teknis Penelitian Balitkabi tahun 2007 (No: K.5 /
ROPP/DIPA/2007) Balitkabi Malang. 39 hal.
Hadad, M.E.A. dan Taryono. 2000. Erosi plasma nutfah tanaman pestisida
nabati di Balitro. . Dalam Soetopo, D., Supriadi, M. Djazuli, E.
Hadipoentyanti, S. Yuliani dan D. Prijono (Prosiding Forum
Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 9-10
Nopember 1999. Puslitbangbun.
Harnoto, D. Koswanudin, dan A. Nugraha. 2000. Pengaruh ekstrak biji
Lantana camara terhadap beberapa aspek biologi Spodoptera litura
Dalam Soetopo, D., Supriadi, M. Djazuli, E. Hadipoentyanti, S. Yuliani
dan D. Prijono (Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan
Pestisida Nabati. Bogor 9-10 Nopember 1999. Puslitbangbun.
Jusuf. M., D. Peters, L. Kossay, A. Setiawan, A. Soplanit, J. Limbongan
dan Subandi. 2006. Klon harapan MSU 99051-1, BB 97089-12,
dan BB 97256-9. Calon varietas unggul adaptif dataran tinggi.
Makalah Ulasan Pelepasan Varietas. Kerjasama BPTP Papua dan
BALITKABI Malang.

Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

643

Kadir, S., Y. Wulandari, E. Ayakeding, D. Tangkearung dan D. Itlay. 2013.
Uji adaptasi ubijalar cilembu pada dataran tinggi papua. Laporan
Akhir Kegiatan APBD 2013 Kerja sama Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Papua Dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan
Hortikultura Papua. 38p
Kays, S.J. and S.E. Kays. 1998. Sweet potatoes chemistry in relation to
health. In : LaBonte, D.R., M. Yamashita and H. Mochida (Eds).
Proceedings of Interntional Workshop on Sweet potato System
toward the 21th Century. Miyakonoyo. Japan, December 9-10, 1997.
Kyushu National Agriculture Experimen Station. P. 231-272.
Liu, Z.L. dan S.H. Ho. 1999. Bioactivity of the essential oil extracted from
Evodia rutaecarpan Hook f. et thomas against the grain storage
insect, Sitophilus zeamais Motsch. and Tribolium castaneum
(Herbst). Journal of Stored Products Research 35 ; 317-328. http://
www.elsevier.com/located/jspr.
Martina, L.S. 2005. Bioaktivasi ekstrak daun zodia (Evodia suaveolens)
terhadap hama Crocidolomia binotalis. Tesis Universitas Gajah
Mada. 134p
Martina, S.L. dan A. Kasim. 2006. Kajian pemanfaatan potensi lokal sebagai
pestisida botani pada tanaman sayuran. Laporan Tahunan BPTP
Papua 2006 (4) :63-70
Martina, S.L. dan A. Kasim. 2007. Kajian pemanfaatan potensi lokal sebagai
pestisida botani pada tanaman sayuran. . Laporan Tahunan BPTP
Papua 2007 (5) : 44-52
Pedigo, L.P. 1999. Entomology and pest management. 3rd ed. Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey. 691p.
Prasetya. B., Hairiah, dan C.S. Dewi, 2002. Kontribusi biomasa Tithonia
diversifola (paitan) dan inokulasi Vesikular Arbuskular Mikoriza
(VAM) terhadap ketersediaan dan serapan P tanaman jagung pada
andisol. Seminar Nasional IV. Pengembangan Wilayah Lahan
Kering. Mataram.
P2KLH

UNPAR. 2012. Ubijalar. http://dokumen.tips/documents/bukupanduan-ubi-jalar.html. 30p. Diaksestanggal 12 Desember 2015.

Rukmana, R. 1997. Ubijalar – Budidayadanpascapanen.Kanisius. Yogyakarta
Soplanit, A. 2006. Pengkajian adaptasi dan stabilitas klon-klon harapan
ubijalar di dataran tinggi Yahukimo. Laporan Tahunan BPTP Papua
2006 (4) : 94-101

644

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Soplanit, A. dan D. Tangkearung. 2007. Pengkajian sistem usaha tani ubijalar
mendukung ketahanan pangan. Laporan Tahunan BPTP Papua
2007 (5) : 28-31
Suyamto, H. Sembiring, M.M. Adhie, dan J. Wargiono. 2012. Prospek dan
kebijakan pengembangan. Ubijalar. Inovasi Teknologi dan Prospek
Pengembangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian. p. 3-20.
Untung, K. 1993. Pengantar pengelolaan hama terpadu. Gajah Mada
University Press. Yogjakarta.
Utami, S.R., Hariah, dan Supriyadi, 2002. Pemanfaatan bahan organik
insitu (Tithonia diversifola dan Tephrosia candida): meningkatkan
ketersediaan fosfor pada andisol.Seminar Nasional IV.
Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Mataram.

Potensi Pengembangan Ubijalar Organikdi Wilayah Dataran
Tinggi Papua

645