Pengadaan Tanah Dari Tanah Milik Warga

”PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGADAAN TANAH BAGI
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
UNTUK KEPENTINGAN UMUM”
Oleh : Galih
-----------------------------------------------------------

Indonesia dikarunia tanah yang luas dan subur serta kaya dengan
kandungan sumber daya lainnya. Tanah merupakan sumber daya penting
dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia
yang sangat mendasar dan memiliki karakteristik multi dimensi, multisektoral,

multi

disiplin

dan

memiliki

kompleksitas


yang

tinggi.

Sebagaimana diketahui masalah tanah memang merupakan masalah
yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik,
bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius maupun
social asset yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat konstan
tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah
makin menambah tinggi nilai tanah. Di samping itu, sebagai capital asset,
tanah berkembang fungsinya sebagai bahan perniagaan yang bernilai
ekonomis tinggi dan memiliki aspek spekulasi.

Kebutuhan tanah

Seiring dengan pertambahan penduduk, kemajuan teknologi dan
industri, serta pergeseran budaya, jumlah kebutuhan akan tanah terus
meningkat. Pergeseran budaya misalnya, telah merubah corak negara
Indonesia yang agraris secara perlahan mengarah menjadi negara
industri. Tanah yang dulu menjadi sumber mata pencaharian utama

sebagian

besar

pemanfaatannya

rakyat
bergeser

khususnya
sebagai

di

lahan

bidang
yang

pertanian,


kini

diperuntukkan

bagi

industri dan perdagangan. Keadaan ini berpengaruh pada tingkat
kesejahteraan masyarakat, khususnya yang penghidupannya bergantung
pada tanah. Pem-bangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan

2
ekonomi dengan fokus di bidang industri dan perdagangan, tanpa
memperhatikan masalah agraria sebagai basis pembangunan telah
berdampak pada alih fungsi tanah sekaligus magernalisasi masyarakat
pedesaan.
Alih fungsi tanah juga terjadi di daerah perkotaan. Seiring dengan
meningkatnya aktivitas pembangunan di kota-kota besar, banyak lahan
dan pemukiman penduduk di sekitar pusat pemerintahan dan pusat
perdagangan beralih fungsi menjadi pabrik, pertokoan, atau fasilitas

umum lainnya.
Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang diperuntukkan bagi
kegiatan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
oleh swasta membawa konsekuensi pada pemerintah untuk menyediakan
lahan bagi kegiatan tersebut, sementara lahan yang tersedia bersifat
terbatas. Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara
menguasai bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya,
termasuk ruang angkasa dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat, untuk itu pemerintah berupaya mengalihfungsikan tanah rakyat
yang diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan untuk fasilitas umum.
Namun

dalam

prakteknya

pengalihfungsian

tanah


untuk

kepentingan umum, sering kali menjadi salah satu penyebab sengketa
tanah, baik berupa konflik yang disebabkan oleh pengalihan hak milik
warga atau hak ulayat masyarakat adat untuk kegiatan pembangunan.
Penggunaan Tanah Untuk Kegiatan Pembangunan
Problematika pengelolaan tanah muncul seiring dengan kegiatan
pembangunan. Hampir setiap strategi pembangunan yang juga bertujuan
untuk menyejahterakan masyarakat, selalu memerlukan

lahan sebagai

sarana, baik melalui penggunaan tanah negara yang tersedia maupun
melalui pengalihfungsian tanah rakyat. Mekanisme alih fungsi lahan
tersebut tentu saja menimbulkan pro dan kontra, termasuk pertentangan
antara pandangan masyarakat dengan persepsi pemerintah.

3
Implementasi strategi pembangunan nasional sangat berpengaruh
pada


pelaksanaan

Hak

Menguasai

Negara

yang

dilakukan

oleh

pemerintah, yaitu dengan menerapkan kebijakan pertanahan yang arah
dan tujuannya untuk mendukung pelaksanaan pembangunan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri pelaksanaan pembangunan mutlak memerlukan
lahan sebagai salah satu prasarana, tetapi hal ini bukan berarti harus
mengesampingkan hak-hak rakyat. Perencanaan pembangunan yang

matang dan terarah dengan memperhatikan partisipasi masyarakat
diharapkan akan mampu mengakomodasi kepen-tingan masyarakat
melalui win-win solution.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 36/2005 dan Peraturan Presiden
Nomor

65/2006

tentang

Pengadaan

Tanah

bagi

pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentinan Umum, sebenarnya pemerintah telah
berupaya untuk memfasilitasi pengadaan tanah guna pembangunan

sarana prasarana publik dengan tidak meninggalkan hak kepemilikan
tanah warga. Pengaturan mengenai ganti rugi yang termuat dalam
regulasi ini merupakan langkah bijak pemerintah menghargai hak pemilik
tanah yang dipergunakan untuk pembangunan fasilitas umum, seperti
jalan, jembatan maupun waduk.
Konsep Hak Menguasai Negara dan Kepentingan Umum
Ketentuan Pasal 28 H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen
negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan,
termasuk hak warganegara atas tanah. Namun hak atas tanah yang
berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya
dapat dipertahankan terhadap siapa-pun oleh pemegang hak. Dalam
kondisi tertentu, dimana

kepentingan

negara

menghendaki, maka

pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk

kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah
menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya

dipergunakan

untuk

sebesar-besar

kemakmuran

rakyat.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sebagai peraturan dasar yang

4
menjadi acuan dari keberadaan berbagai peraturan perundangan bidang
pertanahan juga mengakui prinsip-prinsip yang menggariskan bahwa
negara menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan

pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada di masyarakat.
Hal ini menunjukan bahwa sudah menjadi tugas negara untuk
menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi warganya termasuk dalam
melindungi

hak-hak

warga

negara

atas

tanah.

Regulasi

masalah

pertanahan, diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan MPR Nomor IX

Tahun

2001

yang

di

dalamnya

mengamanatkan

kepada

pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya
penataan,

penguasaan,

pemilikan,

penggunaan,

peruntukkan,

dan

penyediaan tanah, semuanya diletakan dalam kerangka membangun
kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, hak-hak privat yang terkristalisasi dalam berbagai
hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 UUPA harus tunduk oleh
kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan
penyediaan tanah sesuai dengan peraturan yang didasarkan pada hak
menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Termasuk dalam hal ini hak milik atas tanah warga dapat
diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah
yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum. Perlu kita sadari, bahwa fasilitas umum seperti jalan,
jembatan, waduk, ataupun tanggul banjir merupakan fasilitas umum
yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat, walaupun tidak secara
langsung.

Untuk

itu,

kepentingan

pribadi

dan

atau

kepentingan

sekelompok masyarakat tentunya lebih bijaksana jika mengalah pada
kepentingan publik yang lebih besar.
Mengingat pengambilalihan tanah menyangkut hak-hak individu
atau masyarakat, maka pengambilalihan tanah harus memperhatikan
prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal. Salah satu
prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang universal adalah ‘no

5
private property shall be taken for public use without just and fair
compensation”, atau proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan
kompensasi yang jujur dan adil (Landpolicy org:2005), merupakan sebuah
rujukan

yang

harus

diterapkan

dalam

pengelolaan

tanah

untuk

pembangunan kepentingan umum.
Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan
pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangun-an telah
dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor
36

Tahun

2005

tentang

Pengadaan

Tanah

bagi

Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keppres
No.55 Tahun 1991. Pada awalnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan
umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang
tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan
umum. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No. 65 Tahun 2006
tentang Perubahan Perpres No. 36 Tahun 2005, definisi kepentingan
umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum, yaitu dengan
berkurangnya jenis kepentingan umum dari 21 (duapuluh satu) menjadi
7 (tujuh) jenis serta penegasan pem-batasan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum yang dilaksanakan
oleh Pemerintah atau Pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki
oleh

Pemerintah

digarisbawahi,

atau

dalam

Pemda.
Perpres

Hal

penting

tersebut

tidak

lainnya
lagi

yang

patut

dimungkinkan

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum

melalui

mekanisme

pencabutan

hak

atas

tanah.

Artinya

pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak
mengambilalih hak tanahnya secara paksa melainkan melalui mekanisme
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dilakukan melalui
musyawarah dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.
Pada dasarnya masyarakat tidak keberatan jika tanah miliknya
harus diambilalih untuk kepentingan pembangunan yang tujuannya
adalah untuk kesejahteraan bersama, Namun kendala yang sering kali

6
menghambat dan menimbulkan gap baru antara pemerintah dan
masyarakat

adalah

adanya

praktek

pengambilalihan

tanah

yang

dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk keuntungan sendiri dengan
berkedok kepentingan umum, sehingga telah menciptakan keraguan pada
masyarakat setiap kali ada kegiatan pengambilalihan tanah untuk
kepentingan umum. Selain hal tersebut upaya sosialisasi pemerintah juga
kurang

optimal,

sehingga

ketidaktahuan

masyarakat

seringkali

menimbulkan kesalahpahaman.
Peran Pemda
Pemerintah tengah berupaya mensukseskan Program Gerakan
Pembaharuan Agraria Nasional yang merupakan gerakan antar berbagai
program yang akan merestrukturisasi pemanfaatan penguasaan dan
pemilikan

sumber-sumber

agraria,

terutama

tanah

yang

mampu

menjamin keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut
disadari, bahwa pembaruan agraria menjadi prasyarat untuk mencapai
keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, sangat
diperlukan pemikiran ulang transformasi agraria melalui pendekatan
pembaruan agraria sebagai sarana strategis pembangunan berkelanjutan
yang

berimplikasi

pada

pertumbuhan

ekonomi

dan

kesejahteraan

masyarakat, yang mudah-mudahan dapat dicapai dalam dialog pada
seminar ini.
Hal yang turut berperan penting dalam pembaruan agraria
adalah sinkronisasi peraturan perundangan dan kebijakan masalah
agraria. Konstitusi menjadi dasar dalam melakukan penataan kembali
hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang dilaksanakan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip menghormati hak asasi manusia
dan supremasi hukum yang mengakomodasi hukum adat, meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam.

7
Kiprah

Pemerintah

Provinsi

dalam

mengimplementasikan

kebijakan pembebasan tanah warga untuk pembangunan kepentingan
umum berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006.
Panitia pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
yang dibentuk pemerintah provinsi, menangani masalah pengalihfungsian
tanah warga yang terletak pada program pembangunan lintas kabupaten/
kota, seperti pada pengalihfungsian lahan warga untuk pembangunan
jalan

tol

Semarang-Solo.

Walaupun

pembebasan

tanah

yang

diperuntukkan bagi pembangunan jalan tol Semarang-Solo baru sekitara
10% (suara merdeka, 05 Agustus 2008) karena alotnya perundingan
dalam mencapai kesepakatan harga, namun upaya pemerintah untuk
memberikan ganti rugi tanah warga tetap mengutamakan mufakat dan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak ada unsur paksaan. Setelah
melalui musyawarah, penghitungan ganti rugi tanah bagi warga juga
tidak hanya berdasarkan taksiran nilai jual obyek pajak, nilai bangunan,
tetapi juga nilai ganti rugi tanaman yang ada dalam tanah yang akan
dipergunakan.

Memang antara warga yang satu dengan yang lain memiliki
pendapat yang berbeda mengenai besarnya ganti rugi tanah. Mencapai
kesepakatan memang bukan hal yang mudah. Namun demikian, upaya
musyawarah telah dijalankan secara optimal. Nilai ganti rugi pun tidak
ditentukan secara sepihak, tetapi melalui mekanisme mufakat dan
melibatkan para pelaku bidang pertanahanan tentu berkredibilitas. Guna
menetapkan biaya ganti rugi atas tanah yang akan digunakan, panitia
provinsi juga mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang terdapat didalamnya,
sehingga

dengan

ketelitian

penelitian

ini

diharapkan

memberikan

rekomendasi harga ganti rugi tanah yang sesuai dengan realitas.

Berbagai silang sengketa yang timbul antara pemerintah dan
masyarakat dalam menetapkan harga ganti rugi atas tanah sebenarnya
juga telah difasilitasi melalui pengajuan banding di pengadilan, sehingga

8
ketiadaan mufakat dapat diselesaikan melalui jalur hukum secara
transparan. Dari berbagai fasilitasi tersebut, sekiranya masyarakat dan
pemerintah telah sepakat bahwa perbedaan pendapat yang timbul bukan
menjadi alasan adaya tindak kekerasan dan anarki dalam menangani
masalah ganti rugi tanah. Mekanisme yang jelas justru memberikan kita
gambaran yang lebih tenang dan terang mengenai pengelolaan tanah
untuk kepentingan umum.
Harapan pembaharuan
Permasalahan pertanahan merupakan hal yang harus segera
ditangani karena pemanfaatan tanah merupakan masalah lintas sektoral
yang perpengaruh terhadap perkembangan pembangunan. Untuk itu,
dalam kesempatan seminar kali ini, saya harapkan dapat terbentuk
sumbang saran yang kons-truktif, sehingga benturan yang terjadi akibat
persepsi yang tidak sama dari pengalihfungsian lahan guna keperluan
pembangunan fasilitas umum dapat diminimalisir.

Mengingat pentingnya masalah pertanahan tersebut, langkahlangkah untuk memperbaiki administrasi pertanahan harus diambil. Di
negara yang masyarakatnya banyak menyimpan kekayaan dalam bentuk
tanah dan property, padatnya pegawai, kecenderungan KKN, dan
ketidakpercayaan masyarakat atas penegakan hukum perlu segera
diatasi, sehingga kredibilitas dan kompetensi negara akan terlihat.
Beberapa langkah penunjang pengelolaan tanah yang tertib administrasi
antara lain:

1. Memperjelas dasar hukum atas kepemilikan tanah. Penyelesaian
masalah ini akan membuat masyarakat dapat memanfaatkan
secara penuh keuntungan dari tanah yang mereka miliki dan
memberikan insentif atas penggunaan tanah secara berkelanjutan.
Hal ini juga menjadi dasar untuk memformalisasikan pengalihan
lahan secara informal, sehingga dapat mengurangi sumber konflik

9
dan meningkatkan insentif pendukung investasi pada sumber daya
tanah yang tersedia.
2. Menciptakan

iklim

pertanahan

yang

memenuhi

kebutuhan

perekonomian masyarakat.
Pemisahan pemberian hak atas tanah dan penggunaan lahan
tentu menyebabkan bertambah panjangnya birokrasi yang dapat
menjadi sumber korupsi dan salah kelola. Memperbaiki sistem
registrasi pertanahan dan efisiensi, serta mengurangi biaya yang
tidak

perlu

dapat

menekan

ekonomi

biaya

tinggi.

Standar

pelayanan minimal memang diperlukan sebagai jembatan untuk
meningkatkan investasi pertanahan.
3. Perencanaan penggunaan lahan secara tranparan dan partisipatif.
Masyarakat diberi kesempatan yang luas untuk men-jadi
pengelola lahan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam hal
ini, sosialisasi pemerintah terhadap aturan pertanahan hendaknya
diperluas

hingga

ke

seluruh

lingkup

masyarakat,

sehingga

masyarakat tahu bagaimana mengelola tanah mereka. Meskipun
negara pada prinsipnya memiliki seluruh tanah yang ada, tetapi
dengan dibukanya kran aspirasi dan partisipasi masyarakat untuk
mengelola tanah sesuai dengan haknya, dapat mengarahkan
pembangunan dan tertibnya pengelolaan tata ruang.

Masalah pertanahan bukan masalah kecil. Permasalahan yang
timbul dapat menjadi masalah sistemik yang mempengaruhi berbagai
aspek lain, sehingga aksesbilitas dan apresiasi publik dapat menurun.
Hal-hal tersebut membuat agenda pemecahan masalah pertanahan
menjadi lebih penting. Dengan demikian saya berharap seminar kali ini
dapat memunculkan bukan hanya suatu tekad dan niat, tetapi juga
rekomendasi mengenai pengelolaan pertanahan yang baik, yang berguna
bagi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama. (G/*)

***

10
DAFTAR PUSTAKA

Elprida

Harahap,

Nora.

Kebijakan

Tanah

Indonesia.

http://bpmsandi.com
Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 1973;
Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993;
Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 15 Tahun 1975;
Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan Perpres
Nomor 36 Tahun 2005;
Rongiayati, Sulasi. Pembaruan Agraria Sebagai Upaya Mengatasi Segketa
Pertanahan;
www.worldbank.or.id

”Kebijakan,

Pengelolaan

dan

Administrasi

Pertanahan”;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

*****