Perkembangan Korvet dalam Angkatan Berse

PAPER I MATA KULIAH REVOLUSI SISTEM PERSENJATAAN
Nama
: Aisha Rasyidila (1006694284)
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
PERKEMBANGAN KORVET DALAM ANGKATAN LAUT MILITER INDONESIA
SERTA PENGARUHNYA TERHADAP STABILITAS SISTEM INTERNASIONAL
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah negara maritim yang 70% teritorialnya merupakan wilayah
perairan. Hal ini menempatkan angkatan laut Indonesia pada posisi yang penting dalam
menjaga ketahanan serta keamanan negara melalui tiga fungsi asasinya; yaitu fungsi
diplomasi, fungsi polisionil, dan fungsi militer1.
Dalam melaksanakan operasi-operasinya (baik yang bersifat militer maupun tidak),
keberhasilan TNI-AL tentu tidak luput dari peran serta persenjataan yang mutakir sebagai
media pendukung. Pada saat ini, salah satu kapal perang perang yang menjadi andalan TNIAL adalah korvet—kapal perang berukuran kecil (kategori 550-2790 ton)—yang telah
terlibat aktif sejak tahun 1979 di Indonesia. Korvet telah banyak membantu TNI-AL dalam
perannya melakukan deterrance terhadap negara lain, Search and Rescue (SAR), dan unit
anti kapal selam di perairan Indonesia.
Tulisan ini akan terbagi dalam tiga tahap; dimana dalam tahap pertama penulis akan
menjelaskan perkembangan korvet secara general di dunia internasional—dari asal mula
korvet di era kapal layar, kapal uap, dan kapal modern—yang kemudian difokuskan pada
bagian kedua, yaitu perkembangan korvet di dalam angkatan laut Indonesia (dibagi

berdasarkan kelas-kelasnya dari tahun 1979 hingga sekarang). Pada bagian ketiga, penulis
juga akan membahas bagaimana pengaruh perkembangan korvet di Indonesia, terhadap
stabilitas sistem keamanan di dunia internasional.
Tujuan utama dari tulisan ini ditujukan agar pembaca dapat memahami perkembangan
korvet yang ada dalam TNI-AL, serta memahami apa pengaruh yang ditimbulkan
perkembangan korvet Indonesia terhadap stabilitas di dunia internasional; sehingga korvet
tidak hanya dipahami sebagai suatu perangkat militer saja, namun juga sebagai suatu
perangkat dalam melaksanakan fungsi-fungsi asasi angkatan laut lainnya—yaitu fungsi
diplomasi dan polisonil—dalam menjaga kepentingan nasional, yaitu melindungi segenap
tumpah darah Indonesia.

1 Ken Booth, “Foreign Policy”, 1977.

B. Sejarah Umum Perkembangan Korvet
Pada dasarnya, korvet merupakan kapal perang yang berukuran kecil, dengan daya
manuver yang tinggi, dan dilengkapi persenjataan yang ringan-menengah. Korvet adalah
versi kapal perang yang lebih kecil dari frigate (kategori berat lebih dari 2790 ton), namun
lebih besar dari kapal patroli dan kapal fast track attack (kategori berat sama atau kurang
dari 550 ton), yang telah dilengkapi dengan kemampuan untuk bertempur dengan kapal
terapung dan kapal selam, juga memiliki pertahanan yang baik terhadap serangan udara2.

Korvet sendiri telah mengalami masa perkembangan yang panjang dari masa kapal layar.
Pada zaman itu, cikal bakal korvet merupakan sebutan bagi kapal perang yang berukuran
kecil yang berfungsi sebagai kapal patroli, kapal perang ringan, pendukung kapal besar, atau
bergabung di dalam parade bendera kerajaan. Bentuk korvet memiliki kemiripan yang besar
dengan sloops-of-war (kapal perang layar yang berfungsi sebagai pengawal) yang memiliki
dek tunggal, dan dilengkapi dengan delapan belas merian di sisinya. Kapal layar jenis ini
sesungguhnya telah diproduksi terlebih dahulu oleh inggris, namun belum dikenal dengan
istilah korvet. Istilah ini justru pertama kali digunakan oleh angkatan laut Prancis pada tahun
1960, pada saat Napoleonic War terjadi.
Pada era kapal uap, kecepatan serta kemampuan kapal untuk bermanuver meningkat jauh
dari era kapal layar. Kapal korvet pada masa ini kebanyakan digunakan untuk menjalankan
misi kolonial, bersama-sama dengan gunboat (karena pada era itu kapal perang berukuran
besar dan bersenjata berat dinilai tidak dibutuhkan untuk memerangi bangsa-bangsa dari
timur dan Afrika).
Korvet modern yang kita kenal sekarang ini, pertama kali muncul dalam Perang Dunia II
sebagai unit anti kapal selam yang dikategorikan dalam Flower Class. Pada masa itu Korvet
didesain oleh Angkatan Laut Kerajaan Inggris sebagai kapal perang berukuran kecil dan
berdesain sederhana, sehingga memungkinkan untuk diproduksi dalam jumlah besar dan
dalam waktu yang singkat. Meskipun ditujukan sebagai unit anti kapal selam, namun saat itu
persenjataan anti kapal selam korvet sangat ringan, dan unit-unit senjatanya lebih

memungkinkan korvet untuk melakukan surface to surface combat. Penggunaan korvet pada
saat itu kebanyakan dialokasikan sebagai kapal patroli, pengiring rombongan, serta
pendamping kapal perusak.
Sayangnya, setelah uji coba korvet jenis flower class dinilai tidak cocok sebagai kapal
pengawal maupun unit anti kapal selam. Daya jelajahnya terlalu sempit untuk ditugaskan di
2 Disadur dari tulisan Alex Pape di www.janes.com, (http://www.janes.com/products/janes/defence-securityreport.aspx?ID=1065926963), tanggal 5 April 2012, pukul 12.45

laut lepas, sementara ukurannya yang kecil tidak memungkinkannya untuk mengangkat
senjata yang berukuran besar. Akhirnya, korvet hanya digunakan sebagai kapal patroli, dan
fungsinya sebagai kapal pengawal dan unit anti kapal selam dialihkan pada frigate (kapal
perang yang lebih besar, cepat, dan memiliki persenjataan yang lebih baik).
Tetapi frigate sendiri memiliki kelemahan pada proses produksinya. Ukuran frigate yang
besar tidak memungkinkan kapal ini untuk diproduksi secara masal, sehingga akhirnya
diusulkan agar dilakukan perbaikan pada desain korvet. Dari sana, terlahirlah korvet yang
dilengkapi dengan radar, juga persenjataan anti kapal yang lebih canggih selam berupa mortar
(pada Castle Class, beroperasi dari Perang Dunia II hingga tahun 1950).
Pada abad awal abad ke-21, permintaan terhadap korvet meningkat, karena kebanyakan
angkatan laut mencari mencari kapal yang kecil dan memiliki kemampuan manuver tinggi.
Akhirnya modifikasi-modifikasi pada korvet pun mulai dilakukan. Kini, korvet pada tidak
hanya dipersenjatai untuk surface-to-surface combat dan senjata anti kapal selam saja; tetapi

juga dilengkapi dengan persenjataan anti serangan udara. Beberapa kelas korvet bahkan dapat
memuat helikopter anti kapal selam yang berukuran kecil hingga menengah.
Di sini penulis membawa sebuah gagasan bahwa perkembangan korvet modern dapat
dibagi menjadi tiga periode penting; yaitu 1) periode dimana korvet masih dipersenjatai
secara ringan, memiliki persenjataan anti kapal selam (meskipun belum canggih), serta lebih
baik dalam arena pertempuran surface to surface; 2) periode di saat korvet difokuskan
sebagai kapal unit anti kapal selam, sehingga dilengkapi persenjataan anti kapal selam yang
lebih canggih, termasuk radar yang lebih mutakhir; 3) korvet telah dilengkapi dengan radar
yang canggih, persenjataan unit anti pesawat terbang serta memungkinkan korvet berperan
sebagai sarana pengangkut unit pesawat atau helikopter berukuran sedang.
Apabila dilihat di dalam tabel, maka akan muncul perbandingan sebagai berikut:
Generasi Korvet
Generasi I

Karakteristik Dasar Persenjataan
Persenjataan ringan,
Memiliki senjata anti kapal selam yang belum mutakhir,

Generasi II


Lebih baik dalam arena surface to surface.
Persenjataan difokuskan sebagai unit anti kapal selam (perbaikan dari

Generasi III

generasi sebelumnya)
Persenjataan telah mencakup kemampuan untuk melakukan pertempuran
surface to surface; sebagai unit kapal selam; dan sebagai unit anti pesawat
terbang.

Perkembangan-perkembangan yang ada pada korvet pada dasarnya mengikuti kapal
tempur lainnya yang berada di kelas lebih berat (seperti kapal perusak dan frigate), dan
berifat reaktif atas kebutuhan-kebutuhan angkatan laut dalam menghadapi teknologi kapal
selam dan pesawat tempur3.
Produksi kapal korvet sendiri sesungguhnya dapat dilakukan oleh hampir setiap negara
dengan wilayah perairan; baik itu secara utuh maupun terpisah sebagai suku cadang. Tetapi
sensor, persenjataan, serta hal-hal yang diperlukan sebagai perlengkapan tempur harus
diproduksi secara khusus dan terpisah dari badan kapal dan dapat dibeli di pasar
internasional.
C. Perkembangan Korvet di Angkatan Laut Indonesia

Perkembangan korvet Indonesia dalam makalah ini akan dikategorisasikan berdasarkan
kelas-kelasnya. Sejauh ini terdapat tiga kelas korvet dalam angkatan laut Indonesia, yaitu
kelas Fatahillah (tiba di Indonesia pada tahun 1979), kelas Kapitan Patimura (Parchim I) (tiba
di Indonesia pada tahun 1981), dan kelas Diponegoro (SIGMA 91130) (tiba di indonesia pada
tahun 2007). Satu kelas korvet lagi tengah berada di dalam prosesnya sejak tahun 2011;
dibangun berdasarkan SIGMA 10514—apabila berhasil, maka korvet ini akan menjadi korvet
pertama yang diproduksi secara

lokal di indonesia (tiga kelas sebelumnya Indonesia

mengimpor kapal dari Belanda dan Jerman Timur).
I. Kelas Fatahillah
Korvet pertama yang datang pada

tahun 1979 adalah korvet kelas Fatahilah yang

merupakan kapal buatan Schdelle, Belanda. Indonesia sendiri memiliki tiga korvet kelas
fatahillah, yaitu KRI Fatahilah 361, KRI malahayati 362, dan KRI Nala 363.
Untuk kapal seukurannya, korvet kelas ini memiliki perlengkapan yang cukup baik serta
kapabilitas yang tinggi. Persenjataannya dilengkapi dengan Meriam Exocet SSM, Man

Portable SAM gun, senapan serbu (40, 20, dan 375 mm), dan peluncur torpedo ikuran 12,75
inci (tidak ada pada bersi 363). Corvete ini juga dilengkapi dengan radar DA-05 air/surf
search, dan sonar merupakan PHS-32 hull mounted MF. Daya tampung korvet ini mencakup
82 kru, dan pada tipe 363, memiliki landasan dan hanggar helikopter ukuran sedang. Dengan
berat 1450 ton, kapal in dapat bergerak secepat 30 knot4.

3 Stew Manguson. “East/West Divide Grows in the International Shibuilding Business”, National Defense
Industrial Association, 16 Mei 2011
4 Jackson, “Destroyer, frigate, korvet”, Grange books, 2000

Apabila diperhatikan berdasarkan indikator generasi yang telah dijelaskan penulis
sebelumnya, maka korvet kelas Fatahillah ini termasuk ke dalam korvet generasi pertama
milik Indonesia.
Ketiga korvet in masih beroperasi hingga kini; bahkan KRI Fatahillah 361dan KRI Nala
363 belakangan ini terlibat dalam misi pencarian pesawat Adam Air B-737-400 yang hilang
di perairan Sulawesi untuk membantu tim Search and Rescue (SAR).
II. Kelas Kapitan Pattimura (Parchin I)
Korvet kelas berikutnya yang terdapat angkatan laut Indonesia merupakan korvet kelas
Kapitan Patimura, atau lebih dikenal dunia dengan kelas Parchim I (tipe 133.1).
Dibandingkan korvet kelas Fatahillah, korvet kelas ini lebih kecil dan lebih ringan; beratnya

900 ton, dan daya tampungnya 59 awak. Indonesia membeli 16 korvet ini dalam kondisi
bekas dari Jerman Timur pada tahun 1981; dan mulai dioperasionalkan oleh Indonesia pada
tahun 1993 dan 1996.
Pada dasarnya kelas Kapitan Pattimura didesain sebagai unit anti kapal selam, namun
secara reguler digunakan sebagai kapal patroli. Secara keseluruhan, baik dari segi kecepatan
maupun persenjataan, korvet kelas Kapitan Pattimura ini masih berada di bawah level kelas
Fatahillah (kecepatan 24.75 knot). Tetapi korvet pada ini memiliki anti kapal selam yang
lebih baik dengan 4 15.7 inci peluncur torpedo anti kapal selam. Radar pada korvet kelas
Pattimura ini juga lebih baik, dengan Stut Curve air/surf search, dan sonar MG-3222T hull
mounted MF, serta HF dipping. Hal ini menunjukkan bahwa kelas korvet ini telah
berkembang ke dalam generasi kedua, dengan persenjataan yang difokuskan pada unit anti
kapal selam.
Sama dengan korvet kelas Fatahillah, semua korvet kelas ini masih beroperasi hingga
kini. Pada tahun 2009, KRI Untung Surapati 872 (nama untuk korvet tersebut) melakukan
pengejaran terhadap kapal angkatan laut Malaysia KD Baung 3509 yang memasuki perairan
Ambalat secara Ilegal.
III. Kelas Diponegoro (SIGMA 9113)
Pada tahun 2003, TNI-AL menetapkan anggarannya untuk membeli kapal baru pada
tahun 2003. Pada tahun 2007, Indonesia memesan 4 buah korvet kelas SIGMA 9113 (90M)
dari Schdel—yang kemudian ditetapkan sebagai kelas Diponegoro. Keempat buat korvet ini

didesain berdasarkan revolusioner pendekatan SIGMA dalam perusahaan pembuat kapal
Schdel, dimana satu jenis lumbung kapal dapat digunakan untuk membuat berbagai jenis

kapal (seperti frigate, corvete, patrol craft, dll.). Korvet ini dilengkapi dengan perlengkapan
tempur yang baik, sarana komunikasi yang memadai, kapasitas tampung untuk 80 kru, mesin
diesel dengan baling-baling ganda, serta landasan helikoptel ukuran sedang. Kapabilitas ini
membuat kelas Diponegoro dapat dipergunakan dalam operasi pencarian serta patroli untuk
mencegah penyelundupan, bajak laut, serta terorisme di perairan indonesia.
Kelas Diponegoro, dapat dikatakan merupakan korvet terbaik yang dimiliki oleh
Indonesia saat ini, dan telah memasuki korvet generasi ketiga. Dari segi persenjataan, korvet
kelas Diponegoro jauh lebih lengkap dan lebih canggih dibandingkan kelas lainnya. Misil
Diponegoro tidak hanya dilengkapi oleh Misil Exocet, namun juga Misil Petral (misil jarak
dekat untuk pertahanan serangan udara); senapan serbu Oto melara 76mm; juga dua Torpedo
B515 trainable launchers. Dari segi radar, kelas Diponegoro juga telah menggunakan radar
tiga dimensi MW 08; serta sonar kingklip hul5. Hanya saja, korvet kelas Diponegoro ini
mengalami penurunan kecepatan dari kelas Fatahillah, yaitu 28 knot.
Ada rencana Indonesia untuk memproduksi dua kapal kelas Diponegoro ini di PT PAL
Indonesia; namun pada akhirnya proyek dibatalkan karena terkendala oleh biaya.
Korvet kelas Diponegoro terakhir kali diikutsertakan dalam latihan gabungan TNI-AL
pada tahun 2008 yang disaksikan oleh para petinggi negara, termasuk Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono.
IV. SIGMA 10514
Pada agustus 2010, kementrian pertahanan Indonesia menandatangani surat perjanjian
dengan PT. PAL Indonesia dan Damen Naval Shipbuilding Systems (perusahaan kapal
Belanda) untuk konstruksi korvet yang berdasarkan desain SIGMA 10514 yang terbaru.
Perusahaan Damen memenangkan tender sebesar 220 juta USD, dengan mengalahkan
perusahaan kapal dari Itali dan Rusia.
Kapal ini rencananya akan dilengkapi dengan meriam utama 77mm, 21 peluncur misil
anti serangan udara vertikal MICA , MM 40-Exocet block II, Torpedo, Phalanks, dan radar
smart system MK-2. Kapal ini akan berperan sebagai kapal patroli, serta pengawal kapal
destroyer (berdasarkan SIGMA 10514). Kapal ini merupakan sebuah kapal yang—sama
seperti kelas Diponegoro—tergolong dalam korvet generasi ketiga.
Namun disayangkan, kapal yang seharusnya dijadwalkan akan mulai berproduksi pada
tahun 2011 ini tersendat proyeknya akibat permasalahan dana. Hal ini menyebabkan target
produksi yang diusulkan pada tahun 2010 harus tertunda.
5 Jane’s Indonesia Military Procurment (2012), pp. 12-13

Dari penjelasan keempat kelas korvet di atas, dapat dirangkum di dalam bentuk tabel
bahwa setiap kelas memiliki perbedaan sebagai berikut:
Kelas

Fatahillah

Kapitan
Pattimura
(Parchet I)

Diponegoro
(SIGMA 9113)

SIGMA 10514

Persenjataan
 Meriam Exocet SSM
 Man Portable SAM gun
 Senapan serbu (40, 20, dan
375 mm)
 Peluncur torpedo ukuran
12,75 inci (tidak ada pada
versi 363)
 2 SA-N-5 MANPAD
positions
 1 twin 57 mm gun
(1x2) AK-725
 1 twin 30 mm gun
(1x2) AK-230
 2 RBU-6000 anti-submarine
depth charge rocket
launchers
 4 400 mm torpedo tubes
 12 depth charges
 Anti-air missile 2 x
quad MBDA Mistral
TETRAL
 forward & aft
Anti-surface missile 4
x MBDA ExocetMM40
Block II
 Guns Oto Melara 76 mm (A
position)
 2 x 20 mm Denel Vektor
G12 (Licensed copy
of GIAT M693/F2) (B
position)
 Torpedoes EuroTorp 3A
244S Mode II/MU 90 in 2 x
B515 launchers
 Meriam utama 77mm
 21 peluncur misil anti
serangan udara vertikal
MICA
 MM 40-Exocet block II
 Torpedo

Kecepatan
30 knot

Radar
DA-05 air/surf

Daya Tampung
80 orang

search

24.75 knot

Stut Curve

59 orang

air/surf search

28 knot

3D radar

80 orang

MW08

Tidak

Smart System

diketahui

MK-2

Tidak diketahui

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa di bidang persenjataan, dari setiap kelas
korvet Indonesia mengalami perkembangan dalam hal fungsi senjata. Pada kelas Fatahillah,
persenjataan yang digunakan rata-rata masih merupakan persenjataan persenjataan umum
yang dimiliki oleh kapal perang kecil, fungsinya diorientasikan kepada surface-to-surface
combat; tetapi ketika beranjak ke kelas Kapitan Pattimura—meskipun persenjataannya lebih

ringan dibandingkan kelas Fatahillah—sistem persenjataannya diarahkan sebagai unit anti
kapal selam; dan saat tahapannya tiba di kelas Diponegoro dan SIGMA 10514, selain
menggunakan senjata yang dispesifikasi sebagai anti kapal selam, korvet juga telah
dilengkapi dengan persenjataan anti pesawat tempur (peluncur misil vertikal).
Pada radar, perkembangannya dapat terlihat pada radar DA air/surf search kelas
Fatahillah, yang kemudian berkembang pada kelas Kapitan Pattimura menjadi Stut Curve,
dan pada akhirnya di kelas Diponegoro, radar telah menggunakan sistem tiga dimensi. Kelak
diperkriakan pada SIGMA 10514, radar telah menggunakan smart system.
Perkembangan lain yang perlu diperhatikan di dalam perkembangannya adalah badan
kapal (hull) yang pada tipe Diponegoro telah menggunakan teknologi SIGMA, yang
memungkinkan berbagai jenis kapal diproduksi dari satu jenis badan kapal. Tipe ini
merupakan inovasi khusus yang dikembangkan oleh perusahaan kapal milik Belanda (secara
spesifik Damen Naval Shipbuilding); yang kemudian digunakan pada korvet Indonesia mulai
dari kelas Diponegoro, hingga diteruskan pada kelas SIGMA 10514 yang kelak akan
diproduksi secara lokal di PT PAL Indonesia.
D. Pengaruh Perkembangan Korvet terhadap Stabilitas Sistem Internasional
Secara umum, pembangunan postur angkatan laut dari kacamata stabilitas internasional
diarahkan pada 1) eksistensi TNI-AL, 2) Pengendalian laut, 3) deterrance, 4) proyeksi
kekuatan negara, 5) keamanan maritim, 6) bantuan kemanusian dan penanggulangan bencana
alam6. Tetapi apabila kita mengaitkannya terhadap stabilitas sistem internasional, maka poin
utama yang perlu diperkatikan adalah poin ketiga, yaitu deterrance.
Secara harfiah, deterrance sendiri berarti pencehagan atau penangkalan. Deterrance
merupakan upaya suatu negara untuk menambah kekuatan militernya dengan tujuan
memberikan ancaman terhadap negara pesaingnya. Perkembangan korvet yang ada di
Indonesia pun, pada dasarnya dilakukan berdasarkan poin tersebut. Dalam hal ini, deterrance
yang dilakukan TNI-AL mengandalkan sifat kapal perang (korvet) yang ofensif dan
ekspendisionari, karena mampu beroperasi jauh dari pangkalan induk dan dalam jangka
waktu yang panjang. Karakteristik inilah yang sebenarnya ingin diberdayakan oleh TNI-AL
sebagai sebuah ancaman, sehingga kemungkinan negara lain mengusik keamanan dan
ketahanan di Indonesia dapat berkurang7.
6 Menurut hasil simposium tentang Srategi di U.S.Naval War College Oktober 2007.
7 Bambang Soesilo, Peran TNI-AL dalam Mendukung Kepentingan Nasional. (Disadur dari
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/09/16/13042/peran_tni_al_dalam_mendukung_kepentingan_nasio
nal/) tanggal 12 April 2012, pukul 13.30.

Karena itu, penggunaan korvet sendiri sebenarnya tidak selalu terkait pada operasioperasi yang bersifat militer; tetapi juga operasi yang bersifat polisionil dan sekaligus
memainkan peranan diplomasi terhadap negara lain. Hal ini ditujukan sebagai suatu sarana
proyeksi kekuatan angkatan laut terhadap negara lain.
Namun selain deterrance, terdapat dampak laten yang mungkin ditimbulkan oleh
perkembangan korvet Indonesia di dalam stabilitas sistem internasional. Pada dasarnya,
sistem dunia di dalam hubungan ilmu internasional diyakini sebagai sebuah sistem yang
anarki. Sistem inilah yang kemudian membuat negara-negara bersaing untuk mendapatkan
power sebesar-besarnya (struggling for power), dengan tujuan mendapatkan keamanan
(security). Perkembangan teknologi militer di suatu negara, secara otomatis akan
menimbulkan suatu perasaan takut terhadap negara lain. Hal ini kemudian mengarahkan
negara-negara tersebut ke dalam security dilemma—atau kondisi di mana suatu negara
merasa terancam dengan perkembangan militer negara lain.
Perkembangan korvet di Indonesia apabila dilakukan dalam skala besar—sehingga
memiliki potensi deterrance yang tinggi—memungkinkan timbulnya perasaan takut dari
negara-negara lain yang secara geografis memiliki kedekatan dengan Indonesia. Untuk
menghindari rasa takut tersebut, negara-negara tersebut akan berusaha untuk menyeimbangi
kekuatan Indonesia di bidang militer; khususnya di dalam angkatan lautnya. Tindakan
menyeimbangi tersebut dapat dilakukan dengan dua kemungkinan, yaitu arms build up atau
membangun militer secara keseluruhan agar dapat menyaingi kekuatan Indonesia (tidak perlu
dalam bidang korvet); ataupun arms race atau membangun teknologi persenjataan di bidang
yang sama persis dengan tujuan menyaingi teknologi yang telah ada (di dalam bidang korvet
juga).
Hal ini dapat digambarkan dengan prisonners dilemma theory; dimana suatu negara akan
berada di posisi inferior ketika negara tersebut tidak turut mengembangkan persenjataan; dan
akan berada di dalam posisi seimbang dan stabil apabila negara tersebut turut menaikkan
persenjataannya.
Tetapi hingga saat ini, belum ada arms race yang terjadi di kawasan Asia Tenggara—
khususnya dengan Indonesia sebagai aktor utama—yang diakibatkan oleh perkembangan
korvet. Dampak ini hanya akan muncul apabila perkembangan korvet di Indonesia telah
mencapai tahapan yang benar-benar menimbulkan ancaman bagi negara-negara lain;
semantara korvet yang terdapat di TNI-AL sendiri tidak memiliki kapasitas yang cukup besar
secara kuantitas.

Karena itu, hingga saat ini pengaruh perkembangan korvet Indonesia terdadap sistem
internasional sejauh ini hanya berpengaruh di dalam perannya melakukan deterrance
terhadap negara lain. Dengan semakin berkembangnya teknologi korvet Indonesia, maka
secara keseluruhan kekuatan TNI-AL pun berkembang, dan memungkinkan Indonesia untuk
melakukan deterrance yang semakin baik terhadap negara lain. Sayangnya perkembangan
teknologi ini tidak diiringi dengan perkembangan kuantitas korvet itu sendiri, sehingga
meskipun kini Indonesia telah memiliki korvet generasi ketiga, namun peran korvet-korvet
tersebut di dalam deterrance pun menjadi dipertanyakan.
E. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan korvet di indonesia yang
terbagi dalam kelas-kelas (Fatahillah, Kapitan Pattimura, dan Diponegoro) juga bergerak
sesuai kategori-kategori generasi korvet secara umum. Kelas-kelas korvet tersebut
berkembang khususnya di bidang persenjataan dan radar; dimana pada kelas Fatahillah,
persenjataan yang ada pada korvet telah baik, namun persenjataan anti kapal selam kurang
memadai (generasi I). Pada kelas Kapitan Pattimura, persenjataan lain yang memfasilitasi
pertempuran surface to surface memang tidak sebaik kelas Fatahillah, namun persenjataan
anti kapal selam lebih canggih—diikuti dengan perkembangan radarnya yang lebih baik
dalam mendeteksi kapal selam (generasi II). Pada kelas Diponegoro, persenjataan surface to
surface dan anti kapal selam telah baik, ditambah persenjataan anti pesawat tempur, dan radar
tiga dimensi yang mampu mendeteksi serangan dari berbagai arah, baik dari dasar laut
maupun udara (generasi III). Teknologi ini kemudian akan dilanjutkan pada proyek korvet
selanjutnya, yaitu SIGMA 10514.
Perkembangan korvet ini pada dasarnya memiliki peran yang cukup penting dalam
melakukan deterrance terhadap negara lain, karena besarnya wilayah perairan di Indonesia.
Sayangnya, perkembangan korvet pada TNI-AL ini tergolong cukup lambat (dua kelasm
Fatahillah dan Kapitan Pattimura telah berusia lebih dari tiga puluh tahun) dan tidak disertai
dengan kuantitas yang memadai (3 unit pada kelas Fatahillah, 16 unit pada kelas Kapitan
Pattimura, dan 4 unit pada kelas Diponegoro). Hal ini membuat peran korvet dalam
deterrance tidak begitu signifikan.
Karena itu, pengadaan korvet di Indonesia seharusnya dapat ditanggapi dengan lebih
serius lagi; apalagi jika mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia yang 70%
wilayahnya merupakan wilayah perairan. Korvet dapat menjadi suatu perangkat yang esensial
di dalam melakukan deterrance, karena pada dasarnya sifat dasar kapal perang memiliki

landasan-landasan yang memadai untuk membangun suatu karakteristik angkatan laut
Indonesia.
Proyek SIGMA 10514 yang rencananya akan membangun proyek korvet dalam negeri
ini pun seharusnya dapat menjadi pacuan bagi pemerintah Indonesia untuk memajukan
perkembangan korvet Indonesia. Tertundanya proyek ini sebaiknya segera diatasi, karena
mempertimbangkan pentingnya fungsi korvet bagi angkatan laut Indonesia untuk melakukan
deterrance melalui fungsi-fungsi asasi TNI-AL.