Studi kasus capital inflow dibeberapa ne

BAB I
PENDAHULUAN
Dampak krisis finansial global masih saja terasa hingga saat ini. Hampir seluruh negaranegara di dunia kolaps lantaran diserang badai krisis finansial yang dimulai dari krisis subprime
morgage di Amerika Serikat. Krisis di Amerika kemudian menjalar hampir ke seluruh dunia.
Krisis finansial global menjelma menjadi krisis ekonomi yang menyebabkan dunia mengalami
krisis terbesar setelah Great Depression pada dekade 1930-an.
Semenjak terjadinya krisis pada tahun 2008, hanya beberapa negara yang memiliki
pertumbuhan ekonomi positif. Salah satunya adalah Indonesia, bersama dengan India dan China.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, Pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir 2008 sekitar 6,0
persen, kemudian turun menjadi 4,6 pada tahun 2009, dan kemudian mulai merangkak naik pada
tahun 2010 menjadi 6,1 persen. Kuatnya perekonomian domestik Indonesia karena ditopang oleh
sektor konsumsi membuat Indonesia dapat bertahan dari badai krisis finansial global.
Di sisi lain, perekonomian negara-negara di dunia mengalami resesi pasca 2008. Pada tahun
2009, hapir sebagian besar negara-negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang
minus. Amerika Serikat -2,6 persen, Inggris -4,9 persen, kawasan Eropa Tenga dan Timur -3,6
persen, bahkan Jepang mencapai -6,3 persen. Di sisi lain, Indonesia tetap tumbuh dengan
meyakinkan di level 4,5 persen (Laporan Tahunan Bank Indonesia).
Tumbuhnya perekonomian Indonesia di tengah krisis, ditambah menurunnya performa
perekonomian sebagian besar negara-negara di dunia membuat Indonesia menjadi salah satu
incaran para investor global untuk menanamkan modalnya. Alhasil, derasnya laju capital inflow
di Indonesia adalah fakta konsekuensi yang harus diterima Indonesia akibat perekonomian

Indonesia yang cukup menjanjikan dibandingkan sebagian besar negara-negara lain di dunia.
Dampak nyata dari derasnya modal asing masuk ke Indonesia adalah terus menguatnya
rupiah terhadap dollar. Menurut laporan Triwulan I tahun 2011 BI, tercatat nilai tukar rupiah
bergerak menguat sepanjang triwulan I 2011. Selama triwulan I 2011, rata-rata nilai tukar rupiah
terapresiasi sebesar 0,8% ke level Rp8.897 per dolar AS. Pada akhir triwulan I 2011, rupiah
ditutup pada level Rp8.708 per dolar AS, menguat 3,5% (ptp) dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Penguatan tersebut diikuti oleh meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS di triwulan I 2011 menjadi 0,35%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya sebesar 0,2%.
Pertanyaannya sekarang adalah apa yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia? Apakah
Bank Indonesia harus mengontrol laju arus modal asing ke Indonesia atau sebaliknya? Apa saja
manfaat dan biaya dari besarnya arus modal asing ini? Bagaimana pengalaman negara-negara
lain dalam menangani capital flows? Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba dijawab pada makalah
kali ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prakondisi Penerapan Liberalisasi Capital Account
Wihlborg dan Dezseri (1999)[1] mengutip dari beberapa ahli seperti Hanson (1995), RojasSuarez (1992), dan Williamson (1992) menyebutkan ada beberapa prakondisi yang harus

dipenuhi sebelum suatu negara sebelum membuka capital account mereka. Prakondisiprakondisi tersebut adalah:
1. Kondisi makroekonomi yang stabil.
Definisi kondisi makroekonomi yang stabil di sini adalah stabilnya inflasi (Hanson, 1995) atau
kecilnya perbedaan antara kondisi pasar keuangan domestik relatif terhadap pasar keuangan
dunia, harga dan tingkah upah yang fleksibel (Rojas-Suarez, 1992).
2. Ditiadakannya kontrol keuangan domestik pada suku bunga dan alokasi portfolio (Hanson, 1995).
Restrukturisasi dan rekapitalisasi institusi keuangan (Rojas-Suarez, 1992).
3. Williamson (1992) berpendapat bahwa sebuah negara harus melakukan liberalisasi perdagangan
(current account) terlebih dahulu sebelum melakukan liberalisasi sektor keuangan (capital
account).
4. Disiplin fiskal yang baik (Rojas-Suarez 1992 dan Williamson 1992).
5. Kepastian hukum atau kebijakan yang permanen atau tidak cepat berubah (Hanson, 1995).
6. Kemapuan untuk mengelola permintaan melalui fleksibilitas fiskal (Hanson, 1995).
2.2 Mitos-mitos Terkait Capital Control
Menurut Magud (2007) setidaknya ada empat mitos buruk terkait dengan capital inflows
sehingga otoritas moneter atau Pemerintah harus melakukan capital controls:
1. Ancaman Apresiasi.

Tekanan apresiasi terhadap mata uang domestik. Mata uang domestik akan terus menguat
sehingga dapat mengurangi daya saing barang ekpor negara tersebut relatif terhadap

negara lain.
2. Ancaman Hot Money.
Derasnya modal masuk hanya bersifat jangka pendek (short term). Dana jangka pendek
ini dapat menyebabkan instabilitas ekonomi karena selain dapat membuat nilai mata uang
domestik menguat secara cepat, hot money juga dapat menimbulkan instabilitas bahkan
krisis pasar keuangan seperti yang terjadi di Asia pada tahun 1997.
3. Ancaman Derasnya Modal Masuk (large inflows).
Derasnya arus modal masuk menuju suatu negara layaknya dua mata pedang. Di satu sisi
dinanti, di sisi lain dibenci. Modal masuk dapat menjadi tambahan modal sehingga dapat
mendorong kinerja ekonomi lebih besar, namun di sisi lain derasnya modal masuk juga
dapat membuat mata uang domestik terapresiasi secara signifikan sehingga dapat
mengurangi daya saing ekpor produk domestik.
4. Ancaman Otonomi atau Independensi Otoritas Moneter.
Ketika terjadi fenomena derasnya arus masuk, ada dua opsi yang dapat dilakukan
Pemerintah. Pertama, mengorbankan free capital mobility guna mencapai kestabilan nilai
mata uang domestik. Kedua, membiarkan mobilitas modal secara bebas, namun
mengorbankan nilai mata uang domestik terus terapresiasi.
2.3 Monetary Trilemma atau Impossible Trinity
Akhir-akhir ini sering terjadi perdebatan tentang sistem moneter internasional tentang teori
Monetary Trilemma atau sering disebut juga dengan impossible trinity. Teori ini mengemukakan

bahwa otoritas moneter setempat harus memilih dua dari tiga tujuan kebijakan moneter yang
ingin dicapai. Teori ini juga mengatakan bahwa ketiga tujuan tersebut tidak dapat diraih secara
simultan. Adapun tiga tujuan moneter tersebut adalah:
1. Fixed exchange rate,
2. monetary independence,
3. free movement of capital).

Gambar 2.1 Monetary Trilemma atau Impossible Trinity Kebijakan Moneter
Sumber :
Krugman (2004)

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Capital Inflow dan Empat Mitos: Realita Indonesia
Sebagaimana telah kita bahas pada bagian 2.2, Magud (2007) menyebutkan setidaknya
ada empat mitos buruk terkait dengan capital inflows sehingga otoritas moneter atau Pemerintah
harus melakukan capital controls:
1. Ancaman Apresiasi
Ancaman yang satu ini benar-benar terjadi di Indonesia. Walaupun sempat terjadi depresiasi
rupiah hingga melebihi 11.000 pada akhir hingga di awal tahun 2009, setelah itu rupiah terus

mengalami apresiasi lantaran laju arus capital inflows yang terus bertambah. Rupiah mulai terus
mengalami apresiasi ke level 8000 rupiah yang sebelumnya hanya berkutat pada kisaran di atas
9000 rupiah. Derasnya capital inflows ke Indonesia adalah penyebab utamanya. Grafik 3.1
memperlihatkan bagaimana tren rupiah terus menguat sejak periode Juni 2010 hingga Maret
2011. Pada periode Mei 2010 hingga Juli 2010, rupiah sempat mengalami pelemahan
(depresiasi) terhadap dollar. Hal ini tidak berlangsung lama karena sejak bulan Juli hingga detik
ini rupiah terus mengalami apresiasi.
Grafik 3.1 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

Sumber : Bank Indonesia
Nilai tukar rupiah bergerak menguat sepanjang triwulan I 2011. Selama triwulan I 2011,
rata-rata nilai tukar rupiah terapresiasi sebesar 0,8% ke level Rp8.897 per dolar AS (Grafik 3.1).

Pada akhir triwulan I 2011, rupiah ditutup pada level Rp8.708 per dolar AS, menguat 3,5% (ptp)
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penguatan tersebut diikuti oleh meningkatnya
volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di triwulan I 2011 menjadi 0,35%, lebih tinggi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 0,2%.
2. Ancaman Hot Money
Masuknya capital inflows layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi dinanti tetapi di sisi
lain dibenci. Hal ini dikarenakan capital inflows jika dimanfaatkan dengan optimal dan

terkendali dapat meningkatkan modal perekonomian di Indonesia sehingga dapat mendorong
laju perekonomian itu sendiri, namun jika sebaliknya maka capital inflows dapat mengakibatkan
ancaman bagi perekonomian Indonesia, khususnya sektor keuangan.
Grafik 3.2 Struktur aliran modal asing

Sumber : Bank Indonesia
Pelajaran tahun 1997 adalah pengalaman berharga bagi Indonesia dalam menyikapi capital
inflows. Pada saat itu, Indoneia menjadi salah satu tujuan para investor karena perekonomiannya
yang terus berkembang di atas rata-rata sehingga Indonesia pada era tersebut dijuluki sebagai
salah satu Asian Miracle. Derasnya arus masuk pada tahun 1997 tidak hanya terjadi di Indonesia

tetapi hampir di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara. Negara-negara seperti Thailand dan
Malaysia juga menjadi serbuan capital inflows pada saat itu.
Derasnya capital inflows pada tahun 1997 tersebut kemudian menimbulkan krisis di daerah
Asia Timur dan Asia Tenggara. Kasus krisis finansial yang dialami oleh Thailand, Malaysia, dan
Filipina adalah contohnya. Ketika itu, para investor tiba-tiba menarik dananya di negara-negara
tersebut sehingga terjadi penarikan modal secara tiba-tiba dan masif (large sudden revearsal).
Alhasil, negara-negara tersebut kolaps. Belajar dari pengalaman krisis 1997, sudah seharusnya
Indonesia berhati-hati dalam mengelola capital inflows yang cukup deras masuk ke Indonesia
akhir-akhir ini, khususnya ancaman dari capital inflows yang bersifat hot money.

3. Ancaman large inflows
Ada beberapa dampak negatif dari derasnya aliran masuk modal asing (large inflows),
diantaranya yaitu melemahkan daya saing ekspor (karena apresiasi nilai tukar yang melampaui
kondisi fundamentalnya), menyebabkan asset price bubble, meningkatkan kerentanan di pasar
keuangan, serta meningkatkan tekanan inflasi, dan komplikasi pengelolaan moneter. Untuk
menekan atau mencegah berbagai dampak negatif tersebut pihak otoritas negara-negara
emerging markets, termasuk Indonesia, mengambil berbagai kebijakan. Kebijakan yang umum
dilakukan adalah melakukan intervensi di pasar valuta asing. Selain itu, beberapa negara juga
mengimplementasikan ketentuan makroprudensial, capital control, dan meliberalisasi aliran
modal keluar.
4. Ancaman Otonomi atau Indpendensi Otoritas Moneter
Ketertarikan investor global dan para pengambil kebijakan domestik membutuhkan
terjadinya interaksi antar mereka. Sebenarnya memungkinkan untuk mewujudkan exhange rate,
monetary policy autonomy, dan free capital markets secara bersama-sama. Namun, hal ini tidak
akan terjadi ketika ada tendensi suatu kebijakan untuk mencapai salah satu dari trinity ini.
Pastilah salah satu harus dikorbankan. Akhir-akhir ini, para pengambil kebijakan moneter lebih
memilih monetary policy autonomy daripada mengorbankan kebebasan mobilitas arus modal.
Apapun alasannya, capital controls ditunjukkan untuk mengontrol tekanan terhadap nilai tukar,
menahan derasnya laju modal asing, dan tentunya mencapai monetary policy autonomy (Magud,
2007).


3.2 Costs-Benefits Capital Inflows
Williamson (1997) menyebutkan bahwa wajar jika negara-negara belum siap melakukan atau
menunda liberalisasi arus modal asing karena baik masuk (inflows) maupun keluar (outflows)
berpotensi menimbulkan instabilitas kondisi di pasar uang. Ketika terjadi arus masuk secara
besar-besaran maka tekanan terhadap apresiasi mata uang domestik akan semakin tinggi.
Akibatnya, daya saing barang ekspor akan menurun sehingga sulit untuk bersaing di pasar
internasional. Menurunnya daya saing barang ekspor ini pada akhirnya dapat menurunkan
jumlah volume ekpor itu sendiri sehingga current account juga pasti ikut tergerus. Di sisi lain,
jika terjadi shock arus modal keluar secara tiba-tiba (sudden revearsal), hal ini akan mendorong
suku bunga domestik menjadi tinggi sehingga mengancam sebagian besar perusahaanperusahaan domestik untuk berkembang, bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi
kebangkrutan.[2]
Di sisi lain, Guitian (1999) mencoba melihat dari sudut pandang pendukung liberalisasi
arus modal dunia. Guitian berpendapat bahwa saat ini kebijakan capital controls sudah tidak
relevan dan tidak diterima oleh negara-negara dunia karena kebijakan ini hanya mengganggu
jalannya perekonomian daripada memfasilitasi perekonomian menuju integrasi dan ekspasi
ekonomi yang lebih efektif dan efisien. Guitian juga percaya bahwa dengan memberikan ruang
gerak lebih bebas kepada arus modal dapat meningkatkan efisiensi perekonomian, mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan.[3]
Respon Emerging Markets

Secara garis besar ada dua jenis kebijakan capital controls, administrative dan market-based
policy. Administratif bisa menetapkan kebijakan pegged atau bisa juga melalui kebijakan fiskal,
sedangkan kebijakan market-based bisa melalui reserve requirement yang berarti pajak bagi
perbankan, penetapan net open position, pengaturan tenor SBI, dan kebijakan makroprudential.
Kebijakan yang diambil oleh negara-negara di dunia juga bervariatif tergantung kondisi capital
flows di negara mereka masing-masing. Kebijakan capital controls tidak hanya bagaimana
mengatur arus modal masuk (capital inflows) tetapi juga mengatur arus modal keluar (capital
outflows). Tabel di bawah ini adalah beberapa contoh kebijakan yang diambil oleh otoritas di
negara-negara emerging markets untuk mengatur arus modal masuk dan keluar.
Tabel 3.1 Beberapa kebijakan yang diambil oleh Emerging Markets

Negara

Kebijakan yang diambil terkait
Capital inflows

Cina

Capital outflows


- Melakukan sterilized

- Melonggarkan ketentuan

intervention.

investasi di luar negeri
(partial liberalization).

- Yuan dibuat lebih fleksibel.
- Menurunkan dan memperketat
kuota pinjaman yang dapat
diperoleh asing.
- Kebijakan makroprudensial,
stress test, dengan
mengarahkan capital
inflows ke sektor properti.
- GWM dinaikkan menjadi 20%
per 25 Maret 2011
- Menaikkan suku bungan

+25bps
India

- Menaikkan batas maksimal
pembelian

obligasi

Pemerintah dari 10 miliar
USD menjadi 20 miliar
USD.
- Hanya boleh membeli surat
berharga dengan tenor 5
tahun.
- Hanya untuk proyek-proyek
pembangunan infrastruktur.
-

Menaikkan

suku

bunga

+50bps.
Thailand

- Mengenakan 15% witholding

-

Mengizinkan

investor

tax atas pendapatan bunga

domestik untuk investasi

dan capital gain investasi.

di luar negeri.

- Merelaksasi nilai tukar.
Brazil

- Menaikkan pajak atas investasi
asing

(fixed

income

investment 6 persen dan
equity funds 4 persen).
- Menaikkan suku bunga +50bps
Peru

- Sterilisasi mata uang.
- Menaikkan GWM sebesar
+75bps.

Turki

- Menaikkan GWM sebesar 50
bps (menjadi 9,5%)

Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2010
Ada perbedaan signifikan antara negara-negara di Eropa dengan Emerging Markets. Jika
di Eropa kebijakan moneter berorientasi untuk mendorong aktivitas ekonomi, sedangkan di
negara-negara Emerging Markets justru memfokuskan untuk menekan inflasi yang terus
meningkat. Salah satunya adalah dengan menaikkan suku bunga sepanjang tahun 2010. Brazil
menaikkan suku bunga kebijakan sebanyak 3 kali dari 8,75 persen menjadi 10,75 persen. Peru
bahkan teracatat menaikkan suku bunga sebanyak 5 kali dari 1,25 persen menjadi 3 persen.
Sementara Chili lebih banyak lagi yaitu menaikkan sebanyak 7 kali dari 0,5 persen menjadi 3,25
persen.
Selain itu, kebijakan yang diambil di Emerging Markets juga dimulai dengan mengubah
batas Giro Wajib Minimum (GMW). Kebijakan ini dimaksudkan untuk melakukan kebijakan
moneter yang ketat. Cina tercatat menaikkan GWM perbankan sebanyak 4 kali sepanjang tahun
2010, yaitu berubah dari 16 persen menjadi 17,5 persen. India menaikkan GWM sebanyak 2 kali
pada bulan Januari dan April 2010 sehingga GWM meningkat menjadi 6 persen. Brazil juga
menaikkan GWM, namun untuk deposito berjangka dari 13,5 persen menjadi 20 persen. Peru
juga menaikkan GWM dari 8,5 persen menjadi 9 persen.

Derasnya modal masuk ke negara-negara di Emerging Markets menimbulkan kebijakan
yang variatif di negara-negara tersebut. Salah satu contohnya adalah Cina. Cina merupakan salah
satu negara yang mendapatkan arus modal masuk yang cukup besar. Derasnya arus modal masuk
ini kemudian memengaruhi uang beredar di Cina sehingga meningkatkan tekanan inflasi. Karena
Cina menerapkan nilai tukar managed floating, maka intervensi di pasar valuta asing secara
otomatis dilakukan. Selain itu, Cina juga melakukan sterilisasi. Yuan juga dibiarkan terapresiasi
untuk mengurangi tekanan terhadap inflasi. Selain itu, Cina juga mendorong arus modal keluar
dengan cara mempermudah ketentuan para investor Cina untuk menanamkan modalnya di luar
Cina.
Thailand juga melakukan capital controls baik terkait arus modal masuk dan keluar.
Untuk menahan aliran modal masuk, Thailand menetapkan 15 persen witholding tax atas
pendapatan bunga dan capital gain dari investasi asing dalam instrumen fixed income. Di sisi
lain, untuk mendorong arus modal keluar Thailand juga mempermudah aturan untuk para
investor domestik Thailand untuk menanamkan modalnya di luar negeri.
Brazil menetapkan untuk menaikkan pajak atas investasi asing pada fixed income
investment dan equity funds dari 2 persen menjadi 4 persen. Selain itu, Brazil juga meningkatkan
pajak untuk margin dari deposito yang disetorkan investor asing untuk melakukan transasksi
derivatif.
India juga melakukan capital controls. Pemerintah India menaikkan batas maksimal
pembelian foreign institusional investors (FII) dari 10 miliar menjadi 20 miliar dolar AS untuk
tiap jenis obligasi. Selain itu, investasi tersebut hanya dapat dilakukan untuk surat berharga
dengan tenor di atas 5 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur.
Sweeney (1999)[4] menawarkan ide atau pemikiran baru terkait konsekuensi ketika suatu
negara memutuskan untuk membuka pasar keuangannya. Sweeney berpendapat bahwa ketika
terjadi liberalisasi sektor keuangan maka akses informasi yang sama harus diberlakukan sesama
investor, baik asing maupun domestik. Informasi di sektor keuangan sangat penting mengingat
sektor keuangan adalah cara yang efektif bagi invostor atau pebisnis untuk menanamkan
modalnya. Informasi utama yang dapat didapatkan melalui pasar keuangan adalah terkait size
dan resiko usaha. Dua informasi ini akan sangat berguna bagi para investor untuk memutuskan
berinvestasi atau tidak. Hal ini menurut Sweeney cukup adil karena ketika perekonomian suatu

negara telah memutuskan untuk berintegrasi dengan perekonomian dunia maka akses informasi
yang tidak diskriminatif terhadap investor asing adalah adil. Untuk menerapkan ini Sweeney
menuntut adanya kredibilitas tinggi yang dimiliki Pemerintah. Kredibilitas ini penting untuk
menjaga rasa keadilan, keamanan, dan kenyamanan terutama bagi para investor.
3.3 Pengalaman capital controls di negara-negara lain
Studi yang dilakukan oleh Magud (2007) menyimpulkan beberapa hal terkait efektivitas
kebijakan capital control di beberapa negara. Dengan menggunakan WCCE Index, Magud
menemukan bahwa masing-masing negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masingmasing dalam pencapain kebijakan capital control ini. Misalkan dalam kasus kemampuan untuk
mengendalikan arus modal keluar (capital outlfow) negara yang paling efektif adalah Malaysia.
Kebijakan ini dilakukan ketika Malaysia mengalami krisis pada tahun 1997/1998. Selain itu,
Malaysia juga dinilai cukup tinggi level otonomi kebijakan moneternya dibandingkan negara
lain. Selain itu, Magud juga menilai Cili sebagai salah satu kisah sukses dalam menerapkan
kebijakan capital control untuk meredam derasnya laju capital inflows di sekitar tahun 1991
sampai 1998. Berikut adalah kebijakan capital controls yang lebih rinci yang dilakukan oleh
negara-negara di dunia.
Kasus di Malaysia
Hampir semua penelitian mengenai kebijakan capital control di Malaysia menarik
kesimpulan bahwa kebijakan capital control Malaysia pada dekade 1990-an sangat efektif.
Penelitian-penelitian seperti yang dilakukan oleh Ariyoshi at al (2000)[5] menarik kesimpulan
bahwa kebijakan capital control Malaysia efektif untuk mengurangi volume net capital inflow,
alter composition of flows, mengurangi tekanan apresiasi mata uang domestik, dan meningkatkan
independensi kebijakan moneter Malaysia.
Malaysia memang menjadi objek penelitian yang menarik terkait kebijakan capital controls.
Hal ini dikarenakan pada saat krisis mata uang di Asia Tenggara, Malaysia menempuh jalannya
sendiri. Berbeda dengan negara-negara tetangganya seperti Thailand dan Indonesia yang
menggunakan resep IMF untuk memulihkan kembali perekonomian. Berdasarkan keunikan ini,
Kaplan dan Rodrik (2002) mencoba melakukan penelitian apakah kebijakan yang ditempuh pada
saat itu sudah cukup efektif.

Gambar 3.1 Timing of Treatment WIndows
Tanggal

Negara
Thailand
Indonesia

Periode Bantuan

Resmi

Monthly

Quaterly

Tanggal Resmi

Dewan

Regressions

Regressions

Pemerintah

Direksi IMF

Mengumumkan

menerima

untuk Meminta

tawaran

Bantuan IMF

bantuan
20 Agustus

Agustus 1997-

1997:3-

1997

Juli 1998

1998:2

Oktober 1997-

1997:4-

28 Juli 1997

8 Oktober 1997 5 November
1997

September1998 1998:3

Korea

21 November

4 Desember

Desember

1998:1-

Selatan

1997

1997

1997-

1998:4

November
1998
Malaysia

n.a.

n.a.

September

1998:4-

1998-Agustus

1999:3

1999
Sumber : Kaplan dan Rodrik (2002)
Ketika Thailand, Indonesia, dan Malaysia memilih untuk meminta bantuan IMF untuk
membangun kembali ekonomi yang porak-poranda lantaran krisis, Malaysia justru memilih
jalannya sendiri. Thailand secara resmi meminta bantuan kepada IMF tertanggal 28 Juli 1997,
Indonesia 8 Oktober 1997, sedangkan Korea Selatan 21 November 1997. Beberapa bulan
kemudian IMF mulai menerapkan program-programnya ke Thailand, Indonesia, dan Korea
Selatan. Tepatnya Thailand tanggal 20 Agustus 1997, Indonesia 5 November 1997, dan Korea
Selatan 4 Desember 1997. Program Bantuan IMF ini kira-kira dilakukan selama satu tahun,
berakhir pada akhir tahun 1998.
Keputusan Malaysia untuk tidak meminta bantuan IMF memang di luar dugaan. Ada rumor
berkembang motif utama Mahathir Muhammad, Perdana Menteri Malaysia saat itu, lebih

memperhitungkan aspek politik. Pada saat itu, sedang terjadi rivalitas yang cukup kuat antara
Mahathir dengan Anwar Ibrahim Wakil Perdana Menterinya. Kemudian momentum krisis
finansial pada tahun 1997 ini dimanfaatkan oleh Mahathir untuk menyingkirkan rivalnya, Anwar
Ibrahim. Akhirnya, pada tanggal 2 September 1998 Anwar dipecat.[6]
Dalam rangka menghadapi contagion effect dari krisis Thailand, pada awalnya Otoritas
Malaysia menerapkan kebijakan ortodok yaitu meningkatkan suku bunga agar menjaga nilai
tukar tidak terlalu jatuh. Kemudian pada bulan Desember 1997, Pemerintah memotong
pengeluaran pemerintah hingga 18 persen. Terjadi perbedaan siginifikan antara Mahathir dan
Anwar pada saat itu. Mahathir tidak terima oleh ulah spekulan yang bermain di pasar keuangan
Malaysia dan Asia Tenggara pada umumnya, namun di sisi lain justru Anwar berkomitmen tidak
melakukan kontrol terhadap modal asing. Kebijakan ortodok menaikkan suku bunga yang
dilakukan oleh Malaysia gagal merespon gejolak di perekonomian. Konsumsi dan investasi turun
drastis sebagai akibat dari derasnya modal keluar (capital outflows), tingginya suku bunga, dan
ekspektasi masyarakat yang menurun atas perbaikan perekonomian. Inilah alasan utama
Mahathir memecat Anwar dan tempatnya digantikan oleh Daim Zainuddin.
Dalam menentukan kebijakan capital controls, Pemerintah dan Otoritas setempat sangat
mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap arus masuk, khususnya, Foreign Direct
Investment (FDI) di masa depan. Hal ini dikarenakan perekonomian Malaysia sangat bergantung
dari FDI. Oleh karena itu, Pemerintah Malaysia harus memastikan bahwa kebijakan capital
controls yang dikeluarkan tidak kontraproduktif dengan dampak FDI atau neraca berjalan
(current account) di masa yang akan datang.
Grafik 3.3 Financial market pressure index (January 1996=1)

Sumber : Kaplan dan Rodrik (2002)
Krisis di Malaysia memang tidak separah yang terjadi di Thailand atau Indonesia. Jika kita lihat
financial market pressure index Malaysia pada saat itu memang cukup tinggi. Bahkan secara
rata-rata index Malaysia lebih tinggi dibandingkan dengan Korea Selatan. Index ini sebenarnya
juga mencerminkan indikator-indikator makroekonomi yang lain karena variabel-variabel
ekonomi seperti interest rate, foreign exchange reserves, dan exchange rate masuk dalam
perhitungan rumus index ini. Ide sederhana dari indeks ini adalah tekanan terhadap pasar
keuangan harus direfleksikan melalui turunnya nilai tukar mata uang domestik, turunnya
cadangan devisa nasional, atau meningkatnya suku bunga (interest rate) (grafik 3.3).
Grafik 3.3 adalah grafik yang menunjukkan bagaimana financial market pressure index di tiga
negara, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. Pada grafik tersebut jelas terlihat bahwa
serangan para spekulan berbeda periodisasinya antara Malaysia dengan Thailand dan Korea
Selatan. Thailand adalah korban pertama dari praktek spekulan di pasar uang. Puncaknya terjadi
pada bulan September 1997. Beberapa bulan kemudian Korea mulai merasakan puncak dampak
dari praktek merugikan para spekulan. Puncaknya krisis di Korea terjadi pada bulan January
1998. Setelah kedua negara tersebut, barulah Malaysia mengalami krisis. Puncak krisis yang
dialami oleh Malaysia terjadi pada bulan Agustus 1998. Dari grafik kita juga dapat melihat

bahwa sebenarnya krisis yang terjadi di Malaysia itu terjadi ketika Thailand dan Korea Selatan
mulai keluar dari krisis secara perlahan.
Pada akhirnya, Kaplan dan Rodrik menyimpulkan beberapa hal terkait krisis yang terjadi pada
tahun 1997. Pertama, Sebenarnya Malaysia tidak mengalami krisis ekonomi yang cukup parah
dibandingkan Thailand atau Korea Selatan. Adapun krisis yang terjadi Malaysia kemungkinan
disebabkan oleh ketidakpastian kondisi politik dalam negeri dimana terjadi rivalitas antara
Mahathir Muhammad dengan Anwar Ibrahim. Kedua, Malaysia diuntungkan dengan kondisi
eksternal yang mulai membaik ketika mereka mulai terkena krisis. Sebagaimana tadi telah kita
lihat di grafik 3.3 bahwa Malaysia mengalami krisis terakhir jika dibandingkan oleh Thailand
dan Korea Selatan, bahkan krisis di Malaysia terjadi ketika Thailand dan Korea Selatan mulai
keluar dari krisis atau keadaan mulai membaik. Ketiga, kebijakan yang diambil oleh Malaysia
pada dasarnya adalah kebijakan yang tidak jauh berbeda seperti apa yang dilakukan oleh IMF
(IMF-style policies). Keempat, Malaysia sebenarnya memperburuk keadaannya dengan menunda
penerapan atas kebijakan yang telah diambil.
Kasus di Chili
Laurens and Cardoso (1998)[7] hasil studinya tentang kasus capital control di Chile
menunjukkan bahwa capital control cukup efektif mengatur jumlah volume capital inflows
dalam jangka pendek, mendorong arus modal yang lebih bersifat jangka panjang tetapi Cili tidak
dapat mengurangi tekanan apreasiasi nilai tukar, sedangkan studi Laurens dan Cardoso tidak
membahas tentang independensi kebijakan moneternya. Studi ini kemudian dilengkapi oleh hasil
studi-studi yang lain seperti yang dilakukan oleh Edwards (1999), Hernandez&Schimdt-Hebbel
(1999)[8], atau De Gregorio, Edwards, Valdes (2000)[9], dan Agosin dan Ffrench-Davis (2000)
[10] yang menyatakan bahwa kebijakan capital control di Chili membuat kebijakan moneter
menjadi lebih independent.
Edwards (1999)[11] dalam studinya mencoba menganalisis seberapa efektif kebijakan
capital cotrols yang diterapkan oleh Chile pada periode 1991-1998. Fokus pembahasan studi
Edwards kali ini ada empat hal yaitu, pertama apakah capital controls telah memengaruhi
komposisi dari arus modal di Chile. Kedua, apakah kebijakan ini berdampaka pada pergerakan
mata uang real Chili. Ketiga, apakah kebijakan ini dapat meningkatakan independensi kebijakan

moneter Chili. Keempat, apakah kebijakan ini membantu Chili dalam mengurangi tingkat
instabilitas

Tahun

Kebijakan

Juni 1991

modal yang masuk portfolio subject to 20 persen reserve deposit.

Juli 1992
tingkat reserve requirement naik menjadi 30 persen.
Chile melindungi kredit perdagangan dan pinjaman yang terkait
dengan FDI.
1995

Saham-saham Chile yang diperdagangkan di New York Stock
Exchange (ADRs) dialihkan ke FDI dan obligasi.

Juni 1998
reserve requirement diturunkan menjai 10 persen.
Merubah FDI minimal harus bertahan di Chili selama 1 tahun
(sebelumnya 3 tahun).
makroekonomi saat itu.
Tabel 3.2 Kebijakan-kebijakan Capital Controls di Chili
Ada beberapa langkah strategis yang ditempuh Chili untuk mengontrol capital inflows saat
itu. Pertama, pada Juni 1991 semua modal yang masuk portfolio subject to 20 persen reserve
deposit. Lalu pada Juli 1992, tingkat reserve requirement naik menjadi 30 persen. Pada saat itu,
Chile juga melindungi kredit perdagangan dan pinjaman yang terkait dengan FDI. Pada tahun
1995, saham-saham Chile yang diperdagangkan di New York Stock Exchange (ADRs) dialihkan
ke FDI dan obligasi. Kemudian pada Juni 1998 karena mendapat tekanan dari krisis yang terjadi
di Asia Timur, reserve requirement diturunkan menjai 10 persen. Pada tahun yang sama, Chili
juga menetapkan bahwa FDI minimal harus bertahan di Chili selama 1 tahun dimana peraturan
sebelumnya adalah 3 tahun (Edwards, 1999).
Grafik 3.4 Real Exchange Rate Index di Chili: Data Bulanan, 1983-1998 (1990 = 100)

Sumber : Edwards (1999)
Ada empat kesimpulan Edwards pada studinya tentang capital controls di Chili. Pertama,
walaupun capital controls dapat memengaruhi komposisi dari capital inflows, tetapi kebijakan
ini tidak dapat mengurangi volume capital inflows ke Chili secara aggregat. Kedua, kontrol
terhadap capital inflows tidak berdampak siginifikan pada real exchange rate. Ketiga, hanya ada
dampak temporer capital controls terhadap interest rate domestik itu pun dampaknya sangat
kecil. Keempat, kebijakan capital controls ini dapat mengurangi instabilitas di pasar saham tetapi
tidak pada instabilitas interes rate.
Kasus di Thailand
Hasil studi Edison dan Reinhart (2000) tentang capital controls di Thailand dan Malaysia
menyimpulkan bahwa Malaysia lebih efektif dibandingkan Thailand dalam melakukan capital
controls saat krisis 1997 terjadi. Pada studinya tersebut, Edison dan Reinhart melakukan studi
dengan data bulanan dengan mengamat beberapa variabel ekonomi terutama foreign exchange
reserves dan capital flows. Selain itu, penelitian ini juga mengamati data harian dengan
pengamatan dilakukan pada variabel-variabel ekonomi seperti interest rates, equity market
returns, exchange rate changes,domestic-foreign interest rate differentials, and bid-ask spreads
on foreign exchange.
Grafik 3.5 Beberapa Indikator Makroekonomi Thailand saat Krisis 1996-1998

Sumber : Edison dan Reinhart (2000).
Ada beberapa fenomena yang didapat dalam studi kali ini. Pertama, Thailand mengalami
keadaan yang semakin memburuk. Hal ini dapat dilihat dari data bulanan foreign exchange
reserves yang terus menurun. Kedua, interest rate terus meningkat selama periode krisis. Ketiga,
Baht juga kehilangan sekitar setengah nilainya terhadap dolar. Ketiga fenomena ini menunjukkan
bahwa capital controls di Thailand kurang dapat membantu Thailand keluar dari krisis. Salah
satu alasannya adalah karena kebijakan atas reaksi terhadap krisis saat itu dilakukaan di tengahtengah krisis terjadi, sedangkan Malaysia telah melakukan kebijakan antisipatif dan reaksioner
tepat ketika krisis terjadi.

Sumber : Edison dan Reinhart (2000)
Selain itu, studi Edison dan Reinhart juga mencoba melihat dampak kebijakan capital
controls terhadap perkembangan ekonomi di Thailand. Ada empat indikator ekonomi yang
digunakan oleh Edisan dan Reinhart dalam menganalisis dampak kebijakan capital controls
terhadap perekonomian Thailand, yaitu performa ekonomi, cadangan devisa luar negeri, suku
bunga, dan nilai tukar.
Dari hasil studi tersebut didapatkan beberapa hasil. Hasil yang didapatkan ternyata
variabel-variabel makroekonomi antara Thailand dan Malaysia saling berkebalikan. Pertama,
produksi industri Thailand turun. Hal ini berbeda dengan produksi industri di Malyasia yang
meningkat menjadi 8 persen sejak September 1998. Kedua, cadangan devisa Thailand juga
menurun. Lagi-lagi kondisi ini berkebalikan dengan cadangan devisa milik Malaysia. Malaysia
cadangan devisanya pada saat itu meningkat dari level $20 billion (Agustus 1998) menjadi $27
billion (April 1999). Ketiga, suku bunga di Thailand terus merangkak naik, sedangkan suku
bunga Malaysia mengalami penurunan dibandingkan keadaan sebelum terjadinya krisis yaitu 7
persen (1997)menjadi 3 persen (1999). Keempat, nilai tukar mengalami depresiasi hingga
kehilangan sekitar 50 persen nilainya terhadap dollar.

BAB IV
KESIMPULAN
Terjadinya perpindahan modal (capital flows) dari satu negara ke negara lain adalah
fenomena yang biasa terjadi di era globalisasi seperti saat ini. Begitu pula dengan fenomena
derasnya laju capital inflows di Indonesia seperti akhir-akhir ini. Besarnya modal asing ke
Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Indonesia pernah mengalami hal yang serupa pada
dekade 1990-an hingga akhir 1997. Perpindahan arus modal dari satu negara ke negara lain
memiliki banyak tujuan, namun yang pasti fenomena ini akan selalu terjadi ketika para investor
melihat ada peluang mendapatkan keuntungan lebih ketika dia menanamkan modalnya di suatu
negara, dibandingkan negara lain. Posisi capital flows memang memiliki dua sisi mata pedang, di
satu sisi dapat menimbulkan manfaat (investasi) tetapi di sisi lain dapat mengakibatkan
instabilitas ekonomi yang bisa berujung pada krisis ekonomi. Untuk menanggulangi capital
flows ini, negara-negara di dunia khususnya emerging markets telah menerapkan rangkaian
kebijakan baik administrative maupun market-based policy dalam menahan laju capital inflows
maupun capital outflows. Pengalaman krisis pada dekade 1990-an di Asia Tenggara (Malaysia
dan Thailand) dan Amerika Latin (Chili) dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia untuk
melakukan kebijakan capital controls yang tepat saat ini. Yang pasti teori monetary trilemma
atau impossible trinity berlaku dimanapun. Hal ini juga telah dibuktikan secara empirik oleh
Magud (2007) melalui studi literatur yang dia lakukan terhadap puluhan paper tentang capital
controls di berbagai negara.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147