isi skripsi hukum pidana
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islamic State In Iraq and Syria adalah suatu gerakan yang menyerukan
agar umat Islam diseluruh dunia untuk kembali bersatu dan membangun kembali
pemerintahan khalifah seperti yang dulu ada pada masa Rasulullah SAW. Namun
mereka melakukan segala bentuk kekerasan yang semuanya hampir merujuk pada
bentuk aksi terorisme.1
Islamic State In Iraq and Syria berdiri pada tahun 2013 di Suriah dan Irak,
Organisasi ini dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi. Perjalanan kelompok ini
dari sebuah organisasi yang bernama Tanzhimu ad-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq
wa asy-Syam yang disingkat Da’isy, lalu berubah menjadi ad-Daudlah alIslamiyah fi al-Iraq wa asy-Syam atau negara Islam di Irak dan Suriah.2
Asal mula terbentuknya Islamic State In Iraq and Syria berasal dari
Invansi Amerika Serikat kepada Irak ditahun 2003. Setelah pendudukan Amerika
Serikat di Irak membuat negara tersebut lumpuh perekonomiannya dan terjadi
kekosongan kekuasaan karena Saddam Hussein ditangkap. Sejak itu kaum
mayoritas Syiah langsung mengambil alih kekuasaan dan meresepsi golongan
Sunni, tentu saja kaum Sunni tidak tinggal diam, pemberontakan Sunni mulai
muncul. Kelompok seperti Al-Qaeda masuk ke Irak dan kelompok-kelompok
lokal pemberontak yang mayoritas Sunni bertempur melawan tentara Amerika
Serikat. Dalam perlawannya kepada Amerika Serikat kelompok ini bernaung
1 Mas Nazar, “Apasih Yang Dimaksud Isis Itu?”, melalui http://www.makintau.com.
Diakses Jumat, 23 Maret 2018, Pukul 03.41 wib.
2 Ikhwanul Kiram Mashuri. 2014. ISIS JIHAD ATAU PETUALANG. Republik Penerbit:
Jakarta.
1
2
dalam satu Paguyuban besar yang dipimpin oleh Abu Muzhab Zarkawi dan
setelah itu dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi.3
Islamic State In Iraq and Syria di Indonesia mendeklarasikan Khilafah
Islamiyah pada 29 Juni 2014. Pada tanggal 6 Juni 2014 ratusan orang dengan
bendera FAKSI (Forum Aktivis Syariat Islam) menyatakan bai’at kepada
kekhalifahan Isis.4
Berbagai kalangan di Indonesia, Pemerintah, Majelis Ulama Indonesia,
Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya
ramai-ramai menolak Islamic State In Iraq and Syria dan kekhalifahan Abu Bakar
al-Baghdadi. Pemerintah Indonesia melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto
menilai ISIS bukanlah masalah agama, tapi terkait dengan ideologi atau keyakinan
yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila. Atas dasar itu, kata Djoko,
pemerintah dan neraga Indonesia menolak dan tidak mengizinkan paham ISIS
berkembang di Indonesia.5
Keputusan pemerintah ini diambil dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Kepresidenan awal Agustus 2014
lalu. Menurut Menko Polhukam, setiap upaya pengembangan paham ISIS dan
Islam State harus dicegah, dan Indonesia tidak boleh menjadi tempat persemaian
paham kelompok radikal tersebut.6
Tanggal 18 Oktober 2002 telah mulai berlaku
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
3Analisa,
”Akar
Sejarah
Terbentuknya
Isis
dan
Al-qaeda”,
melalui
http://arrahmahnews.com, diakses Senin, 5 Maret 2018, Pukul 12.07 wib.
4 Saefudin Zuhri. 2017. Deklarasi Terorisme. Jakarta: Daulat Press, halaman 72.
5 Ikhwanul Kiram Mashuri. Op. Cit., halaman 97.
6 Ibid., halaman 97.
3
Tahun 2002 Nomor 106. Peraturan Perundang-undangan ini dibuat dalam bentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, karena adanya kebutuhan yang
sangat mendesak untuk mengatur usaha pemberantasan tindak pidana terorsime,
yaitu bahwa Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada saat itu belum
secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme.7
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nommor 1 Tahun 2002 menjadi UndangUndang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme,
mendefinisikan bahwa tindak pidana terorisme adalah penggunaan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
yang secara luas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional.8
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana khusus yang telah
memiliki Undang-Undang sendiri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun pada
dasarnya hukum acara yang berlaku dalam penanganan tindak pidana terorisme
tetap berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undnag Tindak Pidana Terorisme.9 Pembentukan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
7 R. Wiyono. 2014. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 1.
8 Ibid., halaman 2.
9 Tb. Rony Rahman Nitibaskara. 2007. Tegakan Hukum. Jakarta: Kompas, halaman 11.
4
Terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat
proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang.10
Menetapkan seseorang sebagai tersangka pada dasarnya pihak kepolisian
hanya menggunakan bukti permulaan dengan digandeng asas presumpiton of guilt.
Bukti permulaan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak hanya
sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga
dapat meliputi barang bukti dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal
selaku physical evidence atau real evidence. Untuk menakar bukti permulaan
tidak dapat terlepas dari Pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada
hakikatnya Pasal yang dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum
acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti.11
Adanya minimal dua alat bukti maka harus disesuaikan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mana tidak lagi asal tangkap, baru
selanjutkan dipikirkan beban pembuktiannya. Cara yang digunakan oleh penyidik
berdasarkan KUHAP yang diimbangi dengan menugaskan penyelidik yang cermat
dengan teknis investigasi yang berpengalaman supaya mampu mengumpulkan alat
bukti yang sah. Ketika adanya dua alat bukti yang sah baru dilakukan penetapan
tersangka dilanjutkan pemeriksaan penyidik ataupun penangkapan dan penahanan
terhadap tersangka.12
Berkaitan dengan alat bukti yang sah, KUHAP mengatur secara limitatif
alat-alat bukti yang sah, antara lain: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Khusus dalam Undang-Undang Terorisme
10 Anonym, “Quo Vadis Hukum dan Ham Terhadap Tersangka Tindak Pidana
Terorisme”, melalui http://satutubuh.wordpress.com, diakses Jumat, 23 Maret 2018, Pukul 03.23
wib.
11 Rauf Alauddin, “Penetapan Tersangka”, melalui http://www.academia.edu, diakses
Rabu, 22 Maret 2018, Pukul 10.23 Wib.
12 M. Yahya Harahap. 2007. Pembahasan Permasalahan & Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika, halaman 158.
5
dikenal pula alat bukti sah lainnya selain yang diatur dalam KUHAP. Salah satu
kekhususan dalam penanganan tindak pidana terorisme adalah adanya laporan
intelijen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti permulaan yang cukup. Prosesnya
disebut hearing, dimana untuk menentukan laporan intelijen dapat dijadikan alat
bukti permulaan yang cukup adlaah dengan melibatkan pihak pengadilan untuk
menetapkannya sebagai alat bukti permulaan yang cukup.13
Penetapan tersangka dalam penyidikan tindak pidana terosisme terhadap
anggota Islamic State In Iraq and Syria di Labuhanbatu yang dilakukan oleh
Penyidik Ditreskrimum Kepolisian Daerah Sumatera Utara dengan menggunakan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme.
Penetapan tersangka hanya mengacu kepada bukti petunjuk berupa buku-buku,
bendera ISIS, keterangan saksi dan keterangan terdakwa.14 Tanpa adanya ancaman
Teror sebagaimana mengenai unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terdapat
di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Terorisme.
Berdasarkan uraian di atas maka disusun Skripsi ini dengan
judul
“Penetapan Tersangka Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Terorisme Terhadap Anggota Islamic State In Iraq and
Syria (ISIS) (Studi Kasus Di Ditreskrimum Kepolisian
Sumatera Utara)”
B. Rumusan Masalah
13 Erwin Asmadi. 2013. Pembuktian Tindak Pidana Terorisme. Jakarta: PT. Sofmedia,
halaman 74.
14 Hasil Wawancara dengan Rolan Purba, Penyidik Subdit 1 Ditreskrimum, 20 Februari
2018.
6
Masalah yang dirumuskan berdasarkan uraian di atas
dapat
ditarik
permasalahan
yang
akan
menjadi
batasan
pembahasan dari penelitian, adapun rumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini antara lain:
a. Bagaimana
prosedur
penetapan
tersangka
dalam
penyidikan tindak pidana terorisme terhadap Anggota
Islamic State In Iraq and Syria?
b. Bagaimana hambatan penetapan
tersangka
dalam
penyidikan tindak pidana terorisme terhadap Anggota
Islamic State In Iraq and Syria?
c. Bagaimana upaya mengatasi
tersangka
dalam
penyidikan
hambatan
tindak
pidana
penetapan
terorisme
terhadap Anggota Islamic State In Iraq and Syria?
C. Faedah Penelitian
Faedah penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara teroritis maupun praktis, manfaat yang diperoleh dari
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum tindak pidana terorisme
terkhususnya
penetapan
tersangka
dalam
penyidikan
tindak pidana terorisme terhadap anggota Islamic State In
Iraq and Syria.
2. Secara praktik sebagai sumbangan pemikiran bagi negara,
bangsa dan masyarakat agar terhindar dari jaringan
terorisme terkhusus Islamic State In Iraq and Syria.
D. Tujuan Penelitian
7
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan tersebut di atas,
penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui prosedur kepolisian dalam penetapan
tersangka
dalam penyidikan
tindak
pidana
terosisme
terhadap anggota Islamic State In Iraq and Syria.
2. Untuk mengetahui hambatan kepolisian dalam penetapan
tersangka
dalam
penyidikan
tindak
pidana
terorisme
terhadap anggota Islamic State In Iraq and Syria.
3. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam mengatasi
kendala penetapan tersangka dalam penyidikan tindak
pidana terosisme terhadap anggota Islamic State In Iraq
and Syria.
E. Metode Penelitian
Agar mendapatkan hasil yang maksimal maka metode
yang dipergunakan penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskritip analitis
yang menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Melalui
penelitian
deskriptip,
peneliti
berusaha
mendeskripsikan
peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa
memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut.
2. Sumber Data
Penelitian ini diperoleh dari data primer yaitu melakukan
penelitian di lapangan, yakni dengan mengumpulkan data yang
berkaitan dengan objek materi penelitian yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini melakukan
wawancara kepada Kepolisian.
8
b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh
melalui
literatur,
artikel,
perundang-undangan
liputan,
yang
ada
serta
peraturan
kaitannya
dengan
penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, berupa kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data
penelitian ini adalah
yang
dipergunakan
dalam
melakukan wawancara dengan pihak
Kepolisian yakni penyidik Ditreskrimum di Kepolisian Daerah
Sumatera
Utara
yang
terkait
dan
menelaah
peraturan
perundang-undangan.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif yakni
dengan
menganalisa
dideskripsikan
dengan
data
berdasarkan
menggunakan
kualitasnya
kata-kata
lalu
sehingga
diperoleh bahasan atau paparan dalam bentuk kalimat yang
sistematis dan dapat dimengerti, kemudian ditarik kesimpulan.
F. Definisi Operasional
Definisi operasional atau kerangka konsep adalah kerangka
yang menggambarkan hubungan antara definisi-definisi/konsep-
9
konsep khusus yang akan diteliti.15
Sesuai dengan judul
penelitian yang diajukan yaitu “Penetapan Tersangka Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Terorisme Terhadap
Anggota
Islamic State In Iraq and Syria”, maka dapat diterangkan
definisi operasional penelitian yaitu:
1. Penetapan adalah sebuah proses, cara, perbuatan menetapkan; penentuan;
pengangkatan (jabatan dan sebagainya) pelaksanaan (janji, kewajiban, dan
sebagainya). Dalam istilah hukum, penetapan adalah tindakan sepihak
menentukan kaidah hukum konkret yang berlaku khusus.16
2. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.17
3. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
4. Tindak Pidana Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan
atau ancaman keras yang berlatar belakang politik atau kekuasaaan dalam
suatu pemerintahan negara.
5. Islamic State In Iraq and Syria adalah sekelompok gerilyawan orang Islam
yang berasal dari negara Irak dan Suriah.18
15 Ida Hanifah, dkk. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum,
halaman 5.
16 Anonym, ”Arti Kata Penetapan Menurut KBBI”, melalui www.kbbi.com, diakses
Senin, 18 Desember 2017, Pukul 00.29 wib.
17 M.Karjadi. 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Bogor: Politeia.
halaman 18.
18 Nazar, “Apasih Yang Dimaksud Isis itu?”, melalui https://www.makintau.com,
diakses Selasa, 4 April 2018, Pukul 04.04 wib.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit, secara harfiah Strabaar feit itu dapat
diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum yang sudah barang
tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum
itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan
ataupun tindakan.19
Pompe, dengan merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah tidak lain dari
pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah
dinyatakan sebagai tindak Pidana.20
Pompe, lebih lanjut memberikan definisi perbuatan pidana menurut hukum
positif, sebagai berikut:21 “Perbuatan pidana didefinisikan sebagai pelanggaran
norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk
menegakan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Perbuatan
pidana adalah suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan yaitu
melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana”.
Sifat-sifat seperti dimaksud di atas perlu dimiliki setiap strabaafeit oleh
karena secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap normo vertreding itu
harus merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja
19 Amir Ilyas. 2012. Azas-Azas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta dan PuKAP-Indonesia, halaman 18.
20 Adami Chazawi. 2014. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
halaman 72.
21 Eddy O.S. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Mustika,
halaman 92.
11
ataupun telah tidak sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam
penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan
hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat ”wederrechttelijk”.22
Moeljatno mengartikan strabaarfeit itu sebenarnya adalah suatu kelakukan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.23 Sementara
Jonker merumuskan bahwa straabaarfeit sebagai peristiwa pidana yang
diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk)
yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang
yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun menurut Simon, straabaafeit
merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.24
S.R menambahkan bahwa tindak pidana sebagai suatu tindakan pada
tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (diharuskan) dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan
kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab).25
KUHAP, menurut sistem dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam
buku ke-II dan pelanggaran dimuat di dalam buku ke-III. 26 Alasan pembeda antara
kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada
kejahatan, hal tersebut dapat dipahami bahwa segala macam yang ada pada pidana
pelanggaran tidak ada yang dipenjara. Dan kejahatan merupakan delik-delik yang
22 P.A.F Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, halaman 182.
23 Amir Ilyas, Op. Cit., halaman 19.
24 Ibid., halaman 20.
25 Ibid., halaman 22.
26 Ibid., halaman 23.
12
melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara konkret,
sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. Secara
kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran
sebagai berikut:27
a. Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang
merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang
melakukan delik diluar negeri yang digolongkan sebagai delik
pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak perlu dituntut.
b. Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tindak pidana.
Dibedakan pula antara Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah
melakukan suatu perbuatan tertentu, perumusan tindak pidana formil tidak
memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari
perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada
perbuatannya saja. Dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah
menimbulkan akibat yang dilarang, oleh karena itu, siapa yang menimbulkan
akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.28
Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut juga tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif
atau negative disebut tindak pidana omisi.
1) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk
mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang
yang berbuat, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana
27 Ibid., halaman 26.
28 Ibid., halaman 28.
13
yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Dan sebagian
besar yang dirumuskan di dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.
2) Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan
tindak pidana pasif tidak murni.29
Kemampuan bertanggung jawab menjadi hal yang sangat penting dalam
hal penjatuhan pidana dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana. Untuk
terjadinya atau terwujudnya
tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap
semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan.30
Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan di atas menurut
Moeljatno adalah sebagai berikut:31
1. Perbuatan.
2. Yang dilarang (oleh aturan hukum).
3. Ancaman Pidana (bagi yang melanggar).
Menurut R.Tresna unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:32
1. Perbuatan/rangkaian perbuatan.
2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Diadakan tindakan hukum.
Rincian dari dua rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun pada
hakikatnya ada persamaannya, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur
mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai orangnya.33
Tindak pidana yang terdapat dalam KUHAP itu pada umumnya dapat
dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur
subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang
berhubungan dengan diri sipelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur-unsur yang ada hubungannya
29 Ibid., halaman 30.
30 Adami Chazawi. 2014. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, halaman 78.
31 Ibid., halaman 79.
32 Ibid., halaman 80.
33 Ibid., halaman 81.
14
dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan dimana tindakantindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.34
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:35
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3. Macam-macam maksud.
4. Merencanakan terlebih dahulu.
5. Perasaan takut.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:36
1. Sifat melanggar hukum.
2. Kualitas dari sipelaku.
3. Kuasalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Tindak pidana terorisme sebagai lex specialis dari tindak pidana umum
seperti yang diatur dalam KUHAP, sudah tentunya akan mengikuti asas-asas
berlakunya KUHAP, kecuali dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 sendiri
menyebut atau mengatur secara tersendiri.37
Tindak Pidana Terorisme merupakan tindak pidana khusus yang telah
memiliki undang-undang sendiri yang diatur dalam Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun pada
dasarnya hokum acara yang berlaku dalam penanganan tindak pidana terorisme
tetap berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali
ditentukan lain dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.38
Pengertian tindak pidana terorisme adalah tindakan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam
34 Ibid., halaman 82.
35 Amir Ilyas, Op. Cit., halaman 45.
36 Ibid., halaman 46.
37 R Wiyono, Op. Cit., halaman 59.
38 Tb. Rony Rahman Nitibaskara, Op. Cit., halaman 11.
15
suatu pemerintahan Negara. Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak pidana
terorisme mencakup unsur-unsur sebagai berikut.39
1. Adanya suasana terror.
2. Menimbulkan ketakutan.
3. Menimbulkan rasa ketidaknyamanan.
4. Adanya korban dalam serangan.
Melihat dalam arti yang luas, tindak pidana terorisme adalah tindakan
yang dilakukan baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk membuat suatu
serangan yang menimbulkan rasa ketakutan dan ketidaknyamanan bagi orang lain.
Unsur-unsur tindak pidana terorisme dapat kita lihat dari pendapat Romli
Atmasasmita yang mengatakan bahwa unsur tindak pidana terorisme adalah
adanya suasana terror dan rasa takut yang bersifat luas. Adapun unsur-unsur dan
sanksi dalam tindak pidana terorisme bisa dilihat pada ketentuan Peraturan
Pemerintah Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pencegahan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.40
Pada Pasal 6 Perppu No.1 Tahun 2002 yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang
lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”.
Pada Pasal 7 Perppu No.1 Tahun 2002 ialah berbunyi sebagai berikut:
”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau
harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau
39 Ibid., halaman 12.
40 Ibid., halaman 13.
16
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan
hidup atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan
pidana penjara paling lama seumur hidup”.
Pasal 6 Perppu No.1 Tahun 2002 di atas dapat diartikan bahwa suatu aksi
atau tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme apabila
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:41
1.
2.
3.
4.
Dilakukan dengan sengaja.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas.
Menimbulkan korban massal, baik dengan cara merampas
kemerdekaan atau dengan menghilangkan nyawa atau harta benda
orang lain.
Mudzakir yang kemudian pendapatnya dikutip oleh Mahru Ali, disebutkan
bahwa perumusan Pasal 6 dikatakan sebagai delik terorisme atau sebagai
pengertian dasar (umum) dari delik terorisme (delik genus). Sebagai delik genus
semua tindak pidana yang termasuk kategori terorisme harus mengandung atau
memuat sifat utama dari genus tindak pidana terorisme. Sifat utama dari tindak
pidana terorisme adalah menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
yang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.42
Terhadap rumusan Pasal 6 yang berbunyi: “dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain; atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
41R. Wiyono, Op. Cit., halaman 72.
42 Ibid., halaman 73.
17
internasional”, menunjukan bahwa pasal tersebut dirumuskan secara “materiil”.
Jadi yang dilarang adalah “akibat”, yaitu:43
a. Menimbulkan suasana teror terhadap orang secara meluas, atau
b. Menimbulkan rasa takut terhadap orang secara meluas, atau
c. Menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara:
1. Merampas kemerdekaan, atau
2. Hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
d. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap:
1. Obyek-obyek vital yang strategis, atau
2. Lingkungan hidup, atau
3. Fasilitas publik, atau,
4. Fasilitas internasional.
Pasal 7 Perppu No.1 Tahun 2002 dapat diartikan bahwa suatu aksi atau
tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme apabila mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:44
1.
2.
3.
4.
Dilakukan dengan sengaja.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dimaksud untuk menimbulkan korban massal.
Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional.
Ajarotni Nasutio yang juga pendapatnya dikutip oleh Mahrus Ali,
disebutkan bahwa semua tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 7 sampai
dengan Pasal 12 secara diam-diam harus ditafsirkan memuat unsur terorisme,
yaitu menimbulkan suasana teror atau rasa takut tehadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat masal. Terjadinya suasana teror atau rasa takut
secara meluas dan adanya korban yang bersifat massal harus dibuktikan meskipun
unsur tersebut ada yang tidak disebutkan dalam rumusan pasal secara eksplisit.45
Perbedaan unsur-unsur Pasal 7 UU Terorisme dengan Pasal 6 UU
terorisme adalah terkait dengan unsur yang ketiga, yakni dalam Pasal 6 UU
43 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 40.
44 R. Wiyono, Op. Cit., halaman 74.
45 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 74.
18
Terorisme disebut dengan istilah actual harm (kerugian atau kehancuran nyata)
sebagaimana makna dari kalimat “menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal”,
sedangkan dalam pasal 7 UU Terorisme disebutkan dengan istilah potential harm
(ancaman/memungkinkan terjadi kerusakan atau kehancuran) sebagaimana makna
dari kata “bermaksud” sebelum kalimat “menimbulkan suana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal”.46
Tindak pidana terorisme dimasukan dalam extradionary crime dengan
alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundry dan
melibatkan jaringan internasional. Fakta menunjukan bahwa memang tindak
pidana
terorisme
merupakan
tindak
pidana
yang
melibatkan
jaringan
internasional. Namun kesulitan pengungkapan bukan karena perbuatannya
ataupun sifat internasionalnya. Walaupun demikian terorisme bukan merupakan
tindak pidana dalam yuridiksi Internasional Criminal Court.47
Beberapa fakta pendorong kriminalisasi terhadap tindak pidana terorisme
berkaitan dengan korban yang sangat serius baik berkaitan dengan nyawa,
kemerdekan, harta benda, serta obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup,
berbagai fasilitas umum dan internasional, serta timbulnya rasa takut terhadap
masyarakat yang bersifat luas. Demikian pula korban dan calon korban sering kali
tidak berdosa, mengingat sasaran terorisme yang bersifat acak. Disamping aspek
korban, juga mempertimbangkan syarat-syarat komprehensif seperti menjauhi
hal-hal yang bersifat ad hoc, memperhatikan aspirasi masyarakat luas (aspirasi
46 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 51.
47 Ibid., halaman 25.
19
infrastrukral, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi masyarakat internasional),
sifat “ultimatum remedium” hukum pidana dan kemampuannya.48
Terorisme sebagai kejahatan yang tergolong kedalam kejahatan Extra
Odinari Crime (Kejahatan Luar Biasa), yaitu kejahatan yang dapat mengakibatkan
korban jiwa yang sangat signifikan. Oleh karena sifat terorisme yang tergolong
dalam kejahatan Extra Ordinary Crime hampir setiap negara menggunakan
Undang-Undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Akan
tetapi menurut Ken Roach, Adnan Buyung Nasution dan beberapa ahli hukum
pidana menolak pandangan demikian. Bagi mereka terorisme merupakan
kejahatan biasa dan penanganannya cukup dengan peraturan tindak pidana
lainnya, dalam konteks sistem peradilan pidana cukup dengan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tidak perlu menggunakan undang-undang anti terorisme lainnya.
Namun demikian menurut pendapat Mulyadi, bahwa tidak dapat disanggah bahwa
tindak pidana terorisme dapat dikatergorikan sebagai Malum In Se bukan
termasuk malum Prohibitum. Hal ini karena terorisme merupakan kejahatan
terhadap hati nurani, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang
tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan yang tercela.49
Terorisme akan muncul sebagai aksi atas fenomena yang muncul didalam
peraturan global. Sebagaimana yang dikatakan Robert K Merton, yang
menyatakan bahwa terorisme merupakan kelompok yang tertindas yang akan terus
melakukan perlawanan yang berkepanjangan sepanjang kelompok itu tidak
mencapai tujuan. Hal ini terjadi karena terorisme merupakan sebagai bagian dari
48 Ibid., halaman 26.
49 Enlire C.A. Dehoop.”Perlindungan Hak Tersangka/Terdakwa Terorisme dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Media Prima, halaman 2.
20
gerakan sosial dimana ciri-ciri dari gerakan ini adalah gerakan kelompok tertentu
yang teorganisir secara rapi, memiliki kesamaan ideologi dan tujuan,
menggunakan cara-cara kepemimpinan dan komando yang bisa meletigimasi
otoritas kekerasan yang dilakukan.50
Secara istilah yang diperoleh dari beberapa sumber dapat dikemukakan
pengertian terorisme, diantaranya terorisme merupakan perbuatan teror yang
dilakukan oleh individu atau kelompok atau negara yang zalim kepada manusia,
pada agamanya, darahnya, akalnya, hartanya dan kehormatannya. Tercakup di
dalamnya berbagai bentuk teror, gangguan, ancaman, dan pembunuhan tanpa hak
serta berbagai tindakan anarkis lainnya dengan tujuan menebar ketakutan di
tengah manusia dan ancaman terhadap kehidupan atau keamanan.51
Berdasarkan hasil suatu forum hasil diskusi antara para akademisi,
profesional, pakar, pengamat politik dan diplomat terkemuka, yang diadakan di
Kantor Menteri Kordinator Publik dan Keamanan pada tanggal 15 September
2001, dapat dicatat beberapa pendapat atau pandangan tentang terorisme, yaitu
terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok
orang (ekstrim, suku) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang
tidak dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum. 52 Pemerintah
Indonesia belum mampu menyelesaikan permasalahan terorisme meskipun sudah
memiliki payung hukum dan sudah banyak penangkapan.53
Terorisme meskipun disebutkan merupakan kejahatan yang sifat
internasional, tetapi sampai saat ini terorisme belum diakui sebagai kejahatan
50 Erlangga Masdiana. 2004. Perang Global dan Masa Depan Demokrasi. Depok:
Matapena, halaman 89.
51 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 16.
52 Ibid., halaman 17.
53 Saefudin Zuhri, Op. Cit., halaman 99.
21
internasional (internasional crime) oleh PBB, bahkan usaha memasukkan
terorisme ke dalam juridiksi Internasional Criminal Court dalam Konverensi
Diplomatik di Roma Tahun 1998 telah ditolak, terutama oleh negara-negara OKI
dan juga Amerika Serikat.54 Sebab sampai saat ini terorisme belum diakui sebagai
kejahatan internasional, karena pengertian terorisme itu sendiri sangat mejemuk
atau multi interpretatif, tergantung dari sudut pandang yang dipergunakan
sehingga akibatnya belum ada kesepakatan atau keseragaman yang dapat diterima
secara universal tentang pengertian terorisme.55
2. Kewenangan Lembaga-lembaga Negara yang Khusus menangani Tindak
Pidana Terorisme
Rapat Kerja antara Komisi I DPR-RI dan Menkopulhukam 31 Agustus
2009, DPR-RI memberi suatu rekomendasi kepada pemerintah untuk membentuk
suatu badan khusus yang berwenang menanggulangi terorisme. Berdasarkan
rekomendasi Komisi I DPR-RI tersebur dan assessment terhadap dinamika
terorisme, pada tanggal 16 Juli 2010 Presiden Republik Indonesia menerbitkan
Peraturan
Presiden
Nomor
46
Tahun
2010
tentang
Badan
Nasional
Penanggulangan Terorisme.56
Permasalahan kasus tindak pidana terorisme ini di Indonesia mempunyai
badan-badan atau lembaga-lembaga tinggi Negara yang dikhususkan untuk
menjalankan prosedur dari pada kasus ini dan juga memiliki wewenang sendiri.
POLRI, dimana TNI menjadi unsur utama dan Polri menjadi unsur pendukung.
54 R.Wiyono, Op. Cit., halaman 11.
55 Ibid., halaman 11.
56 Saefudin Zuhri, Op. Cit., halaman 103.
22
Selama ini penugasan dari terhadap aksi terror terkait separatisme adalah oleh
Brimob Polri, dengan Unit wanteror dan Gegana.57
Densus 88 anti-teror tingkat pusat secara struktural berada di bawah Badan
Reserse Kriminal (BARESKRIM) Mabes Polri dipimpin oleh Komandan
Detasemen berpangkat Brigjen Polisi dan dibantu oleh wakil detasemen (Waden).
Sedangkan pada tingkat Polda, Densus 88 berada dibawah Direktorat Serse (Dit
Serse) dipimpin oleh komandan berpangkat Perwira menengah Polisi (Pamen
Pol). Dalam pembentukan detasemen anti teror ini mempunyai landasan hukum.
Detasemen ini digagas pada tahun 2003 oleh Jendral Polisi Da’I Bachtiar dengan
skep Nomor 30/IV/2003 tanggal 30 Juni 2003. Alasan utama pembentukan
Denssus 88 Anti-teror ini adalah untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan
terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom.58
Komandan Densus 88 dalam menjalankan aksinya memiliki empat pilar
pendukung setingkat Sub-Departemen, yakni Subden bantuan yang bekerja
dibawah naungan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Pasal 13 UU kepolisian dan ketertiban masyarakat, penegak
hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyrakat
terkhususnya mengenai aksi teror tersebut.59
Detasemen 81 memiliki tugas dan fungsi yang hampir sama dengan
Detasemen 88 Polri, milik TNI seperti Detasemen 81 Kopassus, Detassemen 81
AD, AL dan AU ini mempunyai tugas untuk mempertahankan Negara dimana
meraka menjaga kondisi Negara sehingga menjadi kondusif setiap saat. Seperti
menjaga aksi terorisme lewat udara, laut dan darat. Dengan mengacu pada
57 Galih Priatmodjo, “Densus 88”, melalui http://densus88.com, diakses pada Senin, 5
Maret 2018, Pukul 09.31 wib.
58 Ibid.
59
23
ancaman alat-alat tempur milik Negara, sabotase pangkalan udara, laut dan batas
Negara. Yang Notabene tugasnya sama dengan Densus 88 Polri. Tugas Pasukan
Penanggulangan Teror dari Batalyon Infranteri Raider adalah sebagai unsur
penindak dan pemukul bereaksi cepat ditingkat Komando Daerah Militer
(Kodam) diseluruh wilayah Indonesia. Pasukan ini adalah dikhususkan untuk
menanggulangi masalah keamanan khususnya masalah teror ditingkat provinsi di
bawah Komando Panglima Kodam (Pangdam).60
Batalyon ini Memiliki kemampuan tiga kali lipat yang lebih dari Batalyon
Infanteri lainnya, diharapkan segala macam bentuk ancaman yang ada disekitar
wilayah Kodam dapat dituntaskan dengan cepat senyap dan tepat sasaran,
khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keamanan bersifat terorisme.
Dalam keadaan tertentu pasukan ini siap diterjunkan untuk membantu Polri dalam
mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat ditingkat provinsi
berdasarkan perintah Panglima Kodam yang
diteruskan pada Komandan
Batalyon Raider Setempat.61
Tugas pokok dari Detasemen Jala Mangkara Korps Marinir Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) adalah melaksanakan pembinaan
kemampuan dan pengerahan kekuatan sebagai satuan pasukan anti teror dalam
rangka melaksanakan tugas operasi penanggulangan masalah terorisme, sabotase
dalam aspek kelautan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain
sebagai pasukan anti teror dalam wilayah kelautan, pasukan ini juga dapat
diandalkan kemampuannya di wilayah daratan, dalam berbagai macam bentuk
60 Anonym, “Keterlibatan TNI Dalam Memerangi Terorisme”, melalui
http://Keterlibatan,TNIdalamMemerangiTerorisme.com, diakses Senin, 5 Maret 2018, Pukul 10.00
wib.
61 Ibid.
24
terorisme dengan sasaran obyek gedung perkantoran, mall, kereta api, bandara,
penerbangan, terminal bus. Tugas yang dibebankan pada pasukan Detasemen Jala
Mangkara Korps Marinir TNI-AL adalah memukul dan melumpuhkan setiap
ancaman terorisme dalam aspek kelautan di wilayah perairan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tidak hanya wilayah laut saja kamampuan pasukan Denjaka
dalam wilayah daratpun tindakan terorisme mampu dilumpuhkan.62
Detasemen Bravo 90 Korps Paskhas TNI-AU mempunyai tugas pokok
sebagai satuan khusus anti teror dalam lingkungan TNI-AU menangani masalah
terorisme dalam aspek kedirgantaraan yaitu melumpuhkan dan menumpas para
pembajak pesawat terbang, sabotase dalam bandara penerbangan dan perbutan
kembali pangkalan udara yang dikuasai oleh musuh dan menyiapkan landasan
pendaratan pesawat rekan sekesatuan dalam lingkungan Tentara Nasional
Indonesia. Selaian itu pasukan ini dapat diandalakan kemampuannya dalam misimisi rahasia bersifat intelijen bahkan melakuan penyergapan terhadap ancaman
teror di dalam wilayah daratan dalam lingkup perkotaan termasuk wilayah hutan
belantara dan perairan. Kemampuan penguasaan medan ini didapat dari pelatihan
kerjasama unit anti teror antar Kesatuan di lingkungan TNI seperti Satuan 81
Gultor Kopassus TNI-AD dan Detasemen Jala Mangkara Korps Marinir dari TNIAL.63
Kewenangan dari pasukan khusus pada penjelasan tadi hanya sebatas pada
masalah pertahanan Negara dan untuk masalah terorisme ini TNI hanya dapat
melakukan penangkapan saja. Atau hanya sampai pada proses penangkapan dan
bisa juga dalam proses penahanan sementara sampai nantinya apa tersangka akan
62 Ibid.
63 Ibid.
25
diberikan oleh pihak kepolisian dalam proses penyidikan lebih lanjut.
Keikutsertaan TNI dalam pemberantasan terorisme merupakan upaya preventif.
TNI yang merupakan bagian dari masyarakat dan bangsa memiliki tanggung
jawab yang sama dalam memerangi terorisme. Mengoptimalkan kembali peran
Babinsa tidak perlu dicurigai secara berlebihan, dan yang jelas perannya nanti
untuk membantu aparat kepolisian.64
Masalah terorisme juga tidak lepas dari pandangan Badan Intelijen
Negara, lembaga ini sengaja dibuat sebagai pendukung kelancaran dari pada
penganan tindak pidana terorisme ini yang bersifat pre-emptif dan memiliki
koridor hukum tersendiri. Intelijen sendiri terdiri dari kumpulan anggota TNI dan
POLRI dan lainnya yang sama-sama menjadi aktor dalam pemberantasan
terorisme ini dan dibiayai oleh Negara dan bahkan oleh para pihak swasta yang
notabene mendukung kelancaran dari pada sistem penegakan hukum di Indonesia
khususnya masalah penanggulangan Terorisme ini. UU Intelijen yang telah selesai
dibahas oleh Panitia Kerja Komisi I DPR belum mengakomodasi norma-norma
HAM. UU Intelijen tersebut masih belum sesuai dengan norma umum HAM, baik
nasional maupun internasional. Tercatat dari Komnas HAM terdapat beberapa hal
yang krusial dari draft terakhir RUU Intelijen yang perlu diperbaiki, antara lain.65
Pertama, Pasal 1 ayat 8 dan Pasal 3 tentang keamanan nasional (Kamnas),
karena tidak ada pengertian yang jelas mengenai Kamnas. Karena pengertian
Kamnas tidak boleh direduksi menjadi keamanan pemerintah. Dalam prinsip
Johanesburg Ke-1, menyatakan, pembatasan HAM yang dijustifikasi dengan
64 Anonym, “Keterlibatan TNI dalam Memerangi Terorisme”, melalui
http://www.KeterlibatanTNI.com, diakses senin, 5 Maret 2018, Pukul 10.45 wib.
65 Farah Fitriani, “Postet”, melalui http://www. Google.Com, diakses Senin, 5 Maret
2018, Pukul, 10.51 wib.
26
alasan keamanan nasional tidak sah bila tujuannya untuk melindungi yang tidak
ada hubungannya dengan keamanan nasional, termasuk melindungi pemerintah
dari kesalahannya. Kedua, Pasal 32 tentang penyadapan. Kewenangan
penyadapan seharusnya diberlakukan dalam situasi khusus dengan payung hukum
yang jelas, seperti dalam situasi darurat sipil atau darurat militer atau darurat
perang yang penetapannya melalui payung hukum.66
Restriksi ini perlu dijabarkan lebih detil dan tidak bisa diterima dalam
kondisi negara tertib sipil. Dan satu hal lagi, hasil penyadapanpun tidak bisa
digunakan sebagai barang bukti. Ketiga, mengenai pengawasan eksternal terhadap
intelijen.
RUU
Intelijen
belum
mengakomodasi
tentang
diperlukannya
pengawasan terhadap operasi intelijen yang tidak hanya dilakukan oleh DPR,
namun perlu dibentuk suatu Komisi Pengawas Intelijen. Sesuai dengan kewajiban
anggota intelijen sama seperti halnya dengan hak anggota intelijen Negara,
dirumuskan dalam bagian dua RUU tentang intelijen Negara, perbedaanya hanya
terletak pada penempatan pasalnya saja. Jika hak anggota intelijen Negara diatur
didalam Pasal 16, maka kewajiban intelijen Negara diatur pada Pasal 17.67
B. PENYIDIKAN
1. Pengertian Penyidikan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 2 pengertian
penyidikan ialah “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangka”.68
66 Ibid.
67 Ismantoro Dwi Yuwono. 2014. Kupas tuntas Intelijen Negara. Jakarta: Sinar Grafika,
halaman 83.
68 M. Husein Harun. 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta:
PT rineka cipta, halaman 54.
27
Penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila terjadi suatu
tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan
menurut yang diatur dalam KUHP. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 109
ayat (1) KUHAP), untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah
termasuk
suatu
tindak
pidana,
menurut
kemampuan
penyidik
untuk
mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan pada
pengetahuan hukum pidana.69
Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan
kejahatan dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah
dilakukan. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun
keterangan dengan fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu.70
2. Proses Penyidikan
Hamrat Hamid dan Harun Husein, secara formal prosedural, suatu proses
penyidikan dikatakan telah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat
Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi
penyidik. Setelah pihak Kepolisian menerima laporan atau informasi tentang
adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang
diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak
terjadi penyalahgunaan wewenang dari pihak kepolisian, dengan adanya Surat
69 Ibid., halaman 55.
70 M. Husein Harun. 1991. Penyidik dan Penuntut dalam Proses Pidana. Jakarta: PT
Rineka Cipta, halaman 56.
28
Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan terhadap perlindungan hakhak yang dimiliki oleh pihak tersangka.71
Berdasarkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, maka seorang penyidik
yang telah memulai melaksanakan penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana,
penyidik harus sesegera mungkin untuk memberitahukan telah mulai penyidikan
kepada Penuntut Umum. Untuk mencegah penyidikan yang berlarut-larut tanpa
adanya suatu penyelesaian, seorang penyidik kepada Penuntut Umum, sementara
dipihak Penuntut Umum berwenang minta penjelasan kepada penyidik mengenai
perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.72
kegiatan-kegiatan pokok dari penyidikan adalah adalah sebagai berikut:
a. Penyelidikan: serangkaian tindakan dari penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai perbuatan pidana, guna
menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan.
b. Penindakan: Setiap tindakan hukum terhadap orang atau barang yang ada
hubungannya dengan perbuatan pidana yang terjadi, yang dapat berupa:
1. Pemanggilan.
2. Penangkapan.
3. Penahanan.
4. Penggeledahan.
5. Penyitaan.
c. Pemeriksaan: Kegiatan untuk mendapat keterangan, kejelasan dan keidentikan
tersangka dan atau saksi dan atau berang bukti maupun unsur-unsur perbuatan
pidana yang terjadi, sehingga peranan seseorang atau barang bukti dalam
perbuatan pidana itu menjadi jelas.
d. Penyelesaian dan penyelesaian berkas perkara: Merupakan kegiatan akhir dari
penyidikan perbuatan pidana meliputi:
1. Pembuatan Resume.
71 Hamrat Hamid, dkk. 1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan.
Jakarta: Sinar Grafika, halaman 36.
72 Anonym, “Pengertian Penyidikan Dan Proses Penyidikan”, melalui
hhtp://www.definisi-pengertian.com. diakses Minggu, 4 Maret 2018, Pukul 14.37 wib.
29
2. Penyusunan isi berkas perkara.
3. Pemberkasan.
4. Penyerahan berkas perkara:
Tahap Pertama: Penyidik hanya menyerahkan berkas perkara saja.
Tahap kedua: Dalam hal penyidikan sudah dinyatakan lengkap (P.21), penyidik
menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti.73
Penyidikan tindak pidana terorisme menerapkan prinsip pre-emtive,
penangkapan terhadap tersangka dilakukan tanpa bukti memadai menjadi tidak
melanggar asas praduga tidak bersalah.74
3. Pihak Yang Berwenang Melakukan Penyidikan
Perkara pidana, pada dasarnya yang berwenang melakukan penyidikan
adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana: “Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.75
Tindak pidana Terorisme, dibentuk tim gabungan khusus yang bernama
Densus 88, tim khusus ini terdiri dari anggota POLRI dan TNI. Keterlibatan TNI
diatur dalam Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang kedudukan TNI. Oleh karena
itu, terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang membahayakan keutuhan
Negara, maka TNI ikut serta dalam penanganan terorisme sebagai salah satu tugas
operasi militer selain perang.76
C. PENETAPAN TERSANGKA
73 Human Fairuz, ”Proses dan Mekanisme Perkara Pidana dari Penyidikan Hingga
Putusan Pengadilan”, melalui http://humamlawoffice.blogspot.co.id, diakses Minggu, 4 Maret
2018, Pukul 15.30 wib.
74 Lintang Noor Choliq Abduhafi,”Terorisme Dalam Sistem Hukum Indonesia”, melalui
http://www.academia, diakses Minggu, 4 Maret 2018, Pukul 15.41 wib.
75 Anonym, “Hukum Online’, melalui http://www.hukumonline.com, diakses Rabu 4
April 2018, Pukul 14.04 wib.
76 Lintang Noor Choliq Abduhafi,”Terorisme Dalam Sistem Hukum Indonesia”, melalui
http://www.academia, diakses Minggu, 4 Maret 2018, Pukul 16.02 wib.
30
Tersangka dalam KUHAP dapat ditemukan pada Bab I tentang Ketentuan
Umum Pasal 1 angka 14, yang menentukan bahwa tersangka adalah seseorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dalam definisi tersebut terdapat frasa
“karena perbuatan atau keadaannya” seolah-olah mana kalimat tersebut
menunjukan bahwa penyidik telah mengetahui perbuatan tersangka sebelumnya
terlebih dahulu padahal sebenarnya aspek ini yang akan diungkap oleh penyidik.
Secata teoritis, pengertian demikian hanya dapat diungkapkan terhadap tersangka
yang telah tertangkap tangan.77
Pengertian tersangka tersebut akan lebih tepat bila mengacu pada
ketentuan Pasal 27 ayat (1) Nederland van Strafvordering (Ned.Sv). Istilah
pengertian tersangka dalam Ned.Sv ditafsirkan secara lebih luas dengan lugas
yaitu yang dipandang sebagai tersangka ialah orang karena fakta-fakta atau
keadaan-keadaan menunjukan ia patut diduga bersalah melakukan suatu tindak
pidana (“Als verdachte wordt aangemerk degene te weins aanzien uit feiten of
omstadig heden een redelijk vermoeden van sch
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islamic State In Iraq and Syria adalah suatu gerakan yang menyerukan
agar umat Islam diseluruh dunia untuk kembali bersatu dan membangun kembali
pemerintahan khalifah seperti yang dulu ada pada masa Rasulullah SAW. Namun
mereka melakukan segala bentuk kekerasan yang semuanya hampir merujuk pada
bentuk aksi terorisme.1
Islamic State In Iraq and Syria berdiri pada tahun 2013 di Suriah dan Irak,
Organisasi ini dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi. Perjalanan kelompok ini
dari sebuah organisasi yang bernama Tanzhimu ad-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq
wa asy-Syam yang disingkat Da’isy, lalu berubah menjadi ad-Daudlah alIslamiyah fi al-Iraq wa asy-Syam atau negara Islam di Irak dan Suriah.2
Asal mula terbentuknya Islamic State In Iraq and Syria berasal dari
Invansi Amerika Serikat kepada Irak ditahun 2003. Setelah pendudukan Amerika
Serikat di Irak membuat negara tersebut lumpuh perekonomiannya dan terjadi
kekosongan kekuasaan karena Saddam Hussein ditangkap. Sejak itu kaum
mayoritas Syiah langsung mengambil alih kekuasaan dan meresepsi golongan
Sunni, tentu saja kaum Sunni tidak tinggal diam, pemberontakan Sunni mulai
muncul. Kelompok seperti Al-Qaeda masuk ke Irak dan kelompok-kelompok
lokal pemberontak yang mayoritas Sunni bertempur melawan tentara Amerika
Serikat. Dalam perlawannya kepada Amerika Serikat kelompok ini bernaung
1 Mas Nazar, “Apasih Yang Dimaksud Isis Itu?”, melalui http://www.makintau.com.
Diakses Jumat, 23 Maret 2018, Pukul 03.41 wib.
2 Ikhwanul Kiram Mashuri. 2014. ISIS JIHAD ATAU PETUALANG. Republik Penerbit:
Jakarta.
1
2
dalam satu Paguyuban besar yang dipimpin oleh Abu Muzhab Zarkawi dan
setelah itu dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi.3
Islamic State In Iraq and Syria di Indonesia mendeklarasikan Khilafah
Islamiyah pada 29 Juni 2014. Pada tanggal 6 Juni 2014 ratusan orang dengan
bendera FAKSI (Forum Aktivis Syariat Islam) menyatakan bai’at kepada
kekhalifahan Isis.4
Berbagai kalangan di Indonesia, Pemerintah, Majelis Ulama Indonesia,
Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya
ramai-ramai menolak Islamic State In Iraq and Syria dan kekhalifahan Abu Bakar
al-Baghdadi. Pemerintah Indonesia melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto
menilai ISIS bukanlah masalah agama, tapi terkait dengan ideologi atau keyakinan
yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila. Atas dasar itu, kata Djoko,
pemerintah dan neraga Indonesia menolak dan tidak mengizinkan paham ISIS
berkembang di Indonesia.5
Keputusan pemerintah ini diambil dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Kepresidenan awal Agustus 2014
lalu. Menurut Menko Polhukam, setiap upaya pengembangan paham ISIS dan
Islam State harus dicegah, dan Indonesia tidak boleh menjadi tempat persemaian
paham kelompok radikal tersebut.6
Tanggal 18 Oktober 2002 telah mulai berlaku
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
3Analisa,
”Akar
Sejarah
Terbentuknya
Isis
dan
Al-qaeda”,
melalui
http://arrahmahnews.com, diakses Senin, 5 Maret 2018, Pukul 12.07 wib.
4 Saefudin Zuhri. 2017. Deklarasi Terorisme. Jakarta: Daulat Press, halaman 72.
5 Ikhwanul Kiram Mashuri. Op. Cit., halaman 97.
6 Ibid., halaman 97.
3
Tahun 2002 Nomor 106. Peraturan Perundang-undangan ini dibuat dalam bentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, karena adanya kebutuhan yang
sangat mendesak untuk mengatur usaha pemberantasan tindak pidana terorsime,
yaitu bahwa Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada saat itu belum
secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme.7
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nommor 1 Tahun 2002 menjadi UndangUndang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme,
mendefinisikan bahwa tindak pidana terorisme adalah penggunaan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
yang secara luas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional.8
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana khusus yang telah
memiliki Undang-Undang sendiri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun pada
dasarnya hukum acara yang berlaku dalam penanganan tindak pidana terorisme
tetap berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undnag Tindak Pidana Terorisme.9 Pembentukan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
7 R. Wiyono. 2014. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 1.
8 Ibid., halaman 2.
9 Tb. Rony Rahman Nitibaskara. 2007. Tegakan Hukum. Jakarta: Kompas, halaman 11.
4
Terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat
proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang.10
Menetapkan seseorang sebagai tersangka pada dasarnya pihak kepolisian
hanya menggunakan bukti permulaan dengan digandeng asas presumpiton of guilt.
Bukti permulaan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak hanya
sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga
dapat meliputi barang bukti dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal
selaku physical evidence atau real evidence. Untuk menakar bukti permulaan
tidak dapat terlepas dari Pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada
hakikatnya Pasal yang dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum
acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti.11
Adanya minimal dua alat bukti maka harus disesuaikan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mana tidak lagi asal tangkap, baru
selanjutkan dipikirkan beban pembuktiannya. Cara yang digunakan oleh penyidik
berdasarkan KUHAP yang diimbangi dengan menugaskan penyelidik yang cermat
dengan teknis investigasi yang berpengalaman supaya mampu mengumpulkan alat
bukti yang sah. Ketika adanya dua alat bukti yang sah baru dilakukan penetapan
tersangka dilanjutkan pemeriksaan penyidik ataupun penangkapan dan penahanan
terhadap tersangka.12
Berkaitan dengan alat bukti yang sah, KUHAP mengatur secara limitatif
alat-alat bukti yang sah, antara lain: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Khusus dalam Undang-Undang Terorisme
10 Anonym, “Quo Vadis Hukum dan Ham Terhadap Tersangka Tindak Pidana
Terorisme”, melalui http://satutubuh.wordpress.com, diakses Jumat, 23 Maret 2018, Pukul 03.23
wib.
11 Rauf Alauddin, “Penetapan Tersangka”, melalui http://www.academia.edu, diakses
Rabu, 22 Maret 2018, Pukul 10.23 Wib.
12 M. Yahya Harahap. 2007. Pembahasan Permasalahan & Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika, halaman 158.
5
dikenal pula alat bukti sah lainnya selain yang diatur dalam KUHAP. Salah satu
kekhususan dalam penanganan tindak pidana terorisme adalah adanya laporan
intelijen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti permulaan yang cukup. Prosesnya
disebut hearing, dimana untuk menentukan laporan intelijen dapat dijadikan alat
bukti permulaan yang cukup adlaah dengan melibatkan pihak pengadilan untuk
menetapkannya sebagai alat bukti permulaan yang cukup.13
Penetapan tersangka dalam penyidikan tindak pidana terosisme terhadap
anggota Islamic State In Iraq and Syria di Labuhanbatu yang dilakukan oleh
Penyidik Ditreskrimum Kepolisian Daerah Sumatera Utara dengan menggunakan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme.
Penetapan tersangka hanya mengacu kepada bukti petunjuk berupa buku-buku,
bendera ISIS, keterangan saksi dan keterangan terdakwa.14 Tanpa adanya ancaman
Teror sebagaimana mengenai unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terdapat
di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Terorisme.
Berdasarkan uraian di atas maka disusun Skripsi ini dengan
judul
“Penetapan Tersangka Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Terorisme Terhadap Anggota Islamic State In Iraq and
Syria (ISIS) (Studi Kasus Di Ditreskrimum Kepolisian
Sumatera Utara)”
B. Rumusan Masalah
13 Erwin Asmadi. 2013. Pembuktian Tindak Pidana Terorisme. Jakarta: PT. Sofmedia,
halaman 74.
14 Hasil Wawancara dengan Rolan Purba, Penyidik Subdit 1 Ditreskrimum, 20 Februari
2018.
6
Masalah yang dirumuskan berdasarkan uraian di atas
dapat
ditarik
permasalahan
yang
akan
menjadi
batasan
pembahasan dari penelitian, adapun rumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini antara lain:
a. Bagaimana
prosedur
penetapan
tersangka
dalam
penyidikan tindak pidana terorisme terhadap Anggota
Islamic State In Iraq and Syria?
b. Bagaimana hambatan penetapan
tersangka
dalam
penyidikan tindak pidana terorisme terhadap Anggota
Islamic State In Iraq and Syria?
c. Bagaimana upaya mengatasi
tersangka
dalam
penyidikan
hambatan
tindak
pidana
penetapan
terorisme
terhadap Anggota Islamic State In Iraq and Syria?
C. Faedah Penelitian
Faedah penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara teroritis maupun praktis, manfaat yang diperoleh dari
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum tindak pidana terorisme
terkhususnya
penetapan
tersangka
dalam
penyidikan
tindak pidana terorisme terhadap anggota Islamic State In
Iraq and Syria.
2. Secara praktik sebagai sumbangan pemikiran bagi negara,
bangsa dan masyarakat agar terhindar dari jaringan
terorisme terkhusus Islamic State In Iraq and Syria.
D. Tujuan Penelitian
7
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan tersebut di atas,
penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui prosedur kepolisian dalam penetapan
tersangka
dalam penyidikan
tindak
pidana
terosisme
terhadap anggota Islamic State In Iraq and Syria.
2. Untuk mengetahui hambatan kepolisian dalam penetapan
tersangka
dalam
penyidikan
tindak
pidana
terorisme
terhadap anggota Islamic State In Iraq and Syria.
3. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam mengatasi
kendala penetapan tersangka dalam penyidikan tindak
pidana terosisme terhadap anggota Islamic State In Iraq
and Syria.
E. Metode Penelitian
Agar mendapatkan hasil yang maksimal maka metode
yang dipergunakan penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskritip analitis
yang menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Melalui
penelitian
deskriptip,
peneliti
berusaha
mendeskripsikan
peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa
memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut.
2. Sumber Data
Penelitian ini diperoleh dari data primer yaitu melakukan
penelitian di lapangan, yakni dengan mengumpulkan data yang
berkaitan dengan objek materi penelitian yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini melakukan
wawancara kepada Kepolisian.
8
b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh
melalui
literatur,
artikel,
perundang-undangan
liputan,
yang
ada
serta
peraturan
kaitannya
dengan
penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, berupa kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data
penelitian ini adalah
yang
dipergunakan
dalam
melakukan wawancara dengan pihak
Kepolisian yakni penyidik Ditreskrimum di Kepolisian Daerah
Sumatera
Utara
yang
terkait
dan
menelaah
peraturan
perundang-undangan.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif yakni
dengan
menganalisa
dideskripsikan
dengan
data
berdasarkan
menggunakan
kualitasnya
kata-kata
lalu
sehingga
diperoleh bahasan atau paparan dalam bentuk kalimat yang
sistematis dan dapat dimengerti, kemudian ditarik kesimpulan.
F. Definisi Operasional
Definisi operasional atau kerangka konsep adalah kerangka
yang menggambarkan hubungan antara definisi-definisi/konsep-
9
konsep khusus yang akan diteliti.15
Sesuai dengan judul
penelitian yang diajukan yaitu “Penetapan Tersangka Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Terorisme Terhadap
Anggota
Islamic State In Iraq and Syria”, maka dapat diterangkan
definisi operasional penelitian yaitu:
1. Penetapan adalah sebuah proses, cara, perbuatan menetapkan; penentuan;
pengangkatan (jabatan dan sebagainya) pelaksanaan (janji, kewajiban, dan
sebagainya). Dalam istilah hukum, penetapan adalah tindakan sepihak
menentukan kaidah hukum konkret yang berlaku khusus.16
2. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.17
3. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
4. Tindak Pidana Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan
atau ancaman keras yang berlatar belakang politik atau kekuasaaan dalam
suatu pemerintahan negara.
5. Islamic State In Iraq and Syria adalah sekelompok gerilyawan orang Islam
yang berasal dari negara Irak dan Suriah.18
15 Ida Hanifah, dkk. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum,
halaman 5.
16 Anonym, ”Arti Kata Penetapan Menurut KBBI”, melalui www.kbbi.com, diakses
Senin, 18 Desember 2017, Pukul 00.29 wib.
17 M.Karjadi. 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Bogor: Politeia.
halaman 18.
18 Nazar, “Apasih Yang Dimaksud Isis itu?”, melalui https://www.makintau.com,
diakses Selasa, 4 April 2018, Pukul 04.04 wib.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit, secara harfiah Strabaar feit itu dapat
diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum yang sudah barang
tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum
itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan
ataupun tindakan.19
Pompe, dengan merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah tidak lain dari
pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah
dinyatakan sebagai tindak Pidana.20
Pompe, lebih lanjut memberikan definisi perbuatan pidana menurut hukum
positif, sebagai berikut:21 “Perbuatan pidana didefinisikan sebagai pelanggaran
norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk
menegakan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Perbuatan
pidana adalah suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan yaitu
melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana”.
Sifat-sifat seperti dimaksud di atas perlu dimiliki setiap strabaafeit oleh
karena secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap normo vertreding itu
harus merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja
19 Amir Ilyas. 2012. Azas-Azas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta dan PuKAP-Indonesia, halaman 18.
20 Adami Chazawi. 2014. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
halaman 72.
21 Eddy O.S. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Mustika,
halaman 92.
11
ataupun telah tidak sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam
penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan
hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat ”wederrechttelijk”.22
Moeljatno mengartikan strabaarfeit itu sebenarnya adalah suatu kelakukan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.23 Sementara
Jonker merumuskan bahwa straabaarfeit sebagai peristiwa pidana yang
diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk)
yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang
yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun menurut Simon, straabaafeit
merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.24
S.R menambahkan bahwa tindak pidana sebagai suatu tindakan pada
tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (diharuskan) dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan
kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab).25
KUHAP, menurut sistem dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam
buku ke-II dan pelanggaran dimuat di dalam buku ke-III. 26 Alasan pembeda antara
kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada
kejahatan, hal tersebut dapat dipahami bahwa segala macam yang ada pada pidana
pelanggaran tidak ada yang dipenjara. Dan kejahatan merupakan delik-delik yang
22 P.A.F Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, halaman 182.
23 Amir Ilyas, Op. Cit., halaman 19.
24 Ibid., halaman 20.
25 Ibid., halaman 22.
26 Ibid., halaman 23.
12
melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara konkret,
sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. Secara
kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran
sebagai berikut:27
a. Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang
merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang
melakukan delik diluar negeri yang digolongkan sebagai delik
pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak perlu dituntut.
b. Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tindak pidana.
Dibedakan pula antara Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah
melakukan suatu perbuatan tertentu, perumusan tindak pidana formil tidak
memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari
perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada
perbuatannya saja. Dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah
menimbulkan akibat yang dilarang, oleh karena itu, siapa yang menimbulkan
akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.28
Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut juga tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif
atau negative disebut tindak pidana omisi.
1) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk
mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang
yang berbuat, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana
27 Ibid., halaman 26.
28 Ibid., halaman 28.
13
yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Dan sebagian
besar yang dirumuskan di dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.
2) Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan
tindak pidana pasif tidak murni.29
Kemampuan bertanggung jawab menjadi hal yang sangat penting dalam
hal penjatuhan pidana dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana. Untuk
terjadinya atau terwujudnya
tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap
semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan.30
Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan di atas menurut
Moeljatno adalah sebagai berikut:31
1. Perbuatan.
2. Yang dilarang (oleh aturan hukum).
3. Ancaman Pidana (bagi yang melanggar).
Menurut R.Tresna unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:32
1. Perbuatan/rangkaian perbuatan.
2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Diadakan tindakan hukum.
Rincian dari dua rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun pada
hakikatnya ada persamaannya, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur
mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai orangnya.33
Tindak pidana yang terdapat dalam KUHAP itu pada umumnya dapat
dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur
subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang
berhubungan dengan diri sipelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur-unsur yang ada hubungannya
29 Ibid., halaman 30.
30 Adami Chazawi. 2014. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, halaman 78.
31 Ibid., halaman 79.
32 Ibid., halaman 80.
33 Ibid., halaman 81.
14
dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan dimana tindakantindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.34
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:35
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3. Macam-macam maksud.
4. Merencanakan terlebih dahulu.
5. Perasaan takut.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:36
1. Sifat melanggar hukum.
2. Kualitas dari sipelaku.
3. Kuasalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Tindak pidana terorisme sebagai lex specialis dari tindak pidana umum
seperti yang diatur dalam KUHAP, sudah tentunya akan mengikuti asas-asas
berlakunya KUHAP, kecuali dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 sendiri
menyebut atau mengatur secara tersendiri.37
Tindak Pidana Terorisme merupakan tindak pidana khusus yang telah
memiliki undang-undang sendiri yang diatur dalam Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun pada
dasarnya hokum acara yang berlaku dalam penanganan tindak pidana terorisme
tetap berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali
ditentukan lain dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.38
Pengertian tindak pidana terorisme adalah tindakan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam
34 Ibid., halaman 82.
35 Amir Ilyas, Op. Cit., halaman 45.
36 Ibid., halaman 46.
37 R Wiyono, Op. Cit., halaman 59.
38 Tb. Rony Rahman Nitibaskara, Op. Cit., halaman 11.
15
suatu pemerintahan Negara. Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak pidana
terorisme mencakup unsur-unsur sebagai berikut.39
1. Adanya suasana terror.
2. Menimbulkan ketakutan.
3. Menimbulkan rasa ketidaknyamanan.
4. Adanya korban dalam serangan.
Melihat dalam arti yang luas, tindak pidana terorisme adalah tindakan
yang dilakukan baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk membuat suatu
serangan yang menimbulkan rasa ketakutan dan ketidaknyamanan bagi orang lain.
Unsur-unsur tindak pidana terorisme dapat kita lihat dari pendapat Romli
Atmasasmita yang mengatakan bahwa unsur tindak pidana terorisme adalah
adanya suasana terror dan rasa takut yang bersifat luas. Adapun unsur-unsur dan
sanksi dalam tindak pidana terorisme bisa dilihat pada ketentuan Peraturan
Pemerintah Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pencegahan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.40
Pada Pasal 6 Perppu No.1 Tahun 2002 yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang
lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”.
Pada Pasal 7 Perppu No.1 Tahun 2002 ialah berbunyi sebagai berikut:
”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau
harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau
39 Ibid., halaman 12.
40 Ibid., halaman 13.
16
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan
hidup atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan
pidana penjara paling lama seumur hidup”.
Pasal 6 Perppu No.1 Tahun 2002 di atas dapat diartikan bahwa suatu aksi
atau tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme apabila
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:41
1.
2.
3.
4.
Dilakukan dengan sengaja.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas.
Menimbulkan korban massal, baik dengan cara merampas
kemerdekaan atau dengan menghilangkan nyawa atau harta benda
orang lain.
Mudzakir yang kemudian pendapatnya dikutip oleh Mahru Ali, disebutkan
bahwa perumusan Pasal 6 dikatakan sebagai delik terorisme atau sebagai
pengertian dasar (umum) dari delik terorisme (delik genus). Sebagai delik genus
semua tindak pidana yang termasuk kategori terorisme harus mengandung atau
memuat sifat utama dari genus tindak pidana terorisme. Sifat utama dari tindak
pidana terorisme adalah menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
yang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.42
Terhadap rumusan Pasal 6 yang berbunyi: “dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain; atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
41R. Wiyono, Op. Cit., halaman 72.
42 Ibid., halaman 73.
17
internasional”, menunjukan bahwa pasal tersebut dirumuskan secara “materiil”.
Jadi yang dilarang adalah “akibat”, yaitu:43
a. Menimbulkan suasana teror terhadap orang secara meluas, atau
b. Menimbulkan rasa takut terhadap orang secara meluas, atau
c. Menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara:
1. Merampas kemerdekaan, atau
2. Hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
d. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap:
1. Obyek-obyek vital yang strategis, atau
2. Lingkungan hidup, atau
3. Fasilitas publik, atau,
4. Fasilitas internasional.
Pasal 7 Perppu No.1 Tahun 2002 dapat diartikan bahwa suatu aksi atau
tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme apabila mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:44
1.
2.
3.
4.
Dilakukan dengan sengaja.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dimaksud untuk menimbulkan korban massal.
Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional.
Ajarotni Nasutio yang juga pendapatnya dikutip oleh Mahrus Ali,
disebutkan bahwa semua tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 7 sampai
dengan Pasal 12 secara diam-diam harus ditafsirkan memuat unsur terorisme,
yaitu menimbulkan suasana teror atau rasa takut tehadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat masal. Terjadinya suasana teror atau rasa takut
secara meluas dan adanya korban yang bersifat massal harus dibuktikan meskipun
unsur tersebut ada yang tidak disebutkan dalam rumusan pasal secara eksplisit.45
Perbedaan unsur-unsur Pasal 7 UU Terorisme dengan Pasal 6 UU
terorisme adalah terkait dengan unsur yang ketiga, yakni dalam Pasal 6 UU
43 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 40.
44 R. Wiyono, Op. Cit., halaman 74.
45 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 74.
18
Terorisme disebut dengan istilah actual harm (kerugian atau kehancuran nyata)
sebagaimana makna dari kalimat “menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal”,
sedangkan dalam pasal 7 UU Terorisme disebutkan dengan istilah potential harm
(ancaman/memungkinkan terjadi kerusakan atau kehancuran) sebagaimana makna
dari kata “bermaksud” sebelum kalimat “menimbulkan suana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal”.46
Tindak pidana terorisme dimasukan dalam extradionary crime dengan
alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundry dan
melibatkan jaringan internasional. Fakta menunjukan bahwa memang tindak
pidana
terorisme
merupakan
tindak
pidana
yang
melibatkan
jaringan
internasional. Namun kesulitan pengungkapan bukan karena perbuatannya
ataupun sifat internasionalnya. Walaupun demikian terorisme bukan merupakan
tindak pidana dalam yuridiksi Internasional Criminal Court.47
Beberapa fakta pendorong kriminalisasi terhadap tindak pidana terorisme
berkaitan dengan korban yang sangat serius baik berkaitan dengan nyawa,
kemerdekan, harta benda, serta obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup,
berbagai fasilitas umum dan internasional, serta timbulnya rasa takut terhadap
masyarakat yang bersifat luas. Demikian pula korban dan calon korban sering kali
tidak berdosa, mengingat sasaran terorisme yang bersifat acak. Disamping aspek
korban, juga mempertimbangkan syarat-syarat komprehensif seperti menjauhi
hal-hal yang bersifat ad hoc, memperhatikan aspirasi masyarakat luas (aspirasi
46 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 51.
47 Ibid., halaman 25.
19
infrastrukral, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi masyarakat internasional),
sifat “ultimatum remedium” hukum pidana dan kemampuannya.48
Terorisme sebagai kejahatan yang tergolong kedalam kejahatan Extra
Odinari Crime (Kejahatan Luar Biasa), yaitu kejahatan yang dapat mengakibatkan
korban jiwa yang sangat signifikan. Oleh karena sifat terorisme yang tergolong
dalam kejahatan Extra Ordinary Crime hampir setiap negara menggunakan
Undang-Undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Akan
tetapi menurut Ken Roach, Adnan Buyung Nasution dan beberapa ahli hukum
pidana menolak pandangan demikian. Bagi mereka terorisme merupakan
kejahatan biasa dan penanganannya cukup dengan peraturan tindak pidana
lainnya, dalam konteks sistem peradilan pidana cukup dengan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tidak perlu menggunakan undang-undang anti terorisme lainnya.
Namun demikian menurut pendapat Mulyadi, bahwa tidak dapat disanggah bahwa
tindak pidana terorisme dapat dikatergorikan sebagai Malum In Se bukan
termasuk malum Prohibitum. Hal ini karena terorisme merupakan kejahatan
terhadap hati nurani, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang
tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan yang tercela.49
Terorisme akan muncul sebagai aksi atas fenomena yang muncul didalam
peraturan global. Sebagaimana yang dikatakan Robert K Merton, yang
menyatakan bahwa terorisme merupakan kelompok yang tertindas yang akan terus
melakukan perlawanan yang berkepanjangan sepanjang kelompok itu tidak
mencapai tujuan. Hal ini terjadi karena terorisme merupakan sebagai bagian dari
48 Ibid., halaman 26.
49 Enlire C.A. Dehoop.”Perlindungan Hak Tersangka/Terdakwa Terorisme dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Media Prima, halaman 2.
20
gerakan sosial dimana ciri-ciri dari gerakan ini adalah gerakan kelompok tertentu
yang teorganisir secara rapi, memiliki kesamaan ideologi dan tujuan,
menggunakan cara-cara kepemimpinan dan komando yang bisa meletigimasi
otoritas kekerasan yang dilakukan.50
Secara istilah yang diperoleh dari beberapa sumber dapat dikemukakan
pengertian terorisme, diantaranya terorisme merupakan perbuatan teror yang
dilakukan oleh individu atau kelompok atau negara yang zalim kepada manusia,
pada agamanya, darahnya, akalnya, hartanya dan kehormatannya. Tercakup di
dalamnya berbagai bentuk teror, gangguan, ancaman, dan pembunuhan tanpa hak
serta berbagai tindakan anarkis lainnya dengan tujuan menebar ketakutan di
tengah manusia dan ancaman terhadap kehidupan atau keamanan.51
Berdasarkan hasil suatu forum hasil diskusi antara para akademisi,
profesional, pakar, pengamat politik dan diplomat terkemuka, yang diadakan di
Kantor Menteri Kordinator Publik dan Keamanan pada tanggal 15 September
2001, dapat dicatat beberapa pendapat atau pandangan tentang terorisme, yaitu
terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok
orang (ekstrim, suku) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang
tidak dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum. 52 Pemerintah
Indonesia belum mampu menyelesaikan permasalahan terorisme meskipun sudah
memiliki payung hukum dan sudah banyak penangkapan.53
Terorisme meskipun disebutkan merupakan kejahatan yang sifat
internasional, tetapi sampai saat ini terorisme belum diakui sebagai kejahatan
50 Erlangga Masdiana. 2004. Perang Global dan Masa Depan Demokrasi. Depok:
Matapena, halaman 89.
51 Erwin Asmadi, Op. Cit., halaman 16.
52 Ibid., halaman 17.
53 Saefudin Zuhri, Op. Cit., halaman 99.
21
internasional (internasional crime) oleh PBB, bahkan usaha memasukkan
terorisme ke dalam juridiksi Internasional Criminal Court dalam Konverensi
Diplomatik di Roma Tahun 1998 telah ditolak, terutama oleh negara-negara OKI
dan juga Amerika Serikat.54 Sebab sampai saat ini terorisme belum diakui sebagai
kejahatan internasional, karena pengertian terorisme itu sendiri sangat mejemuk
atau multi interpretatif, tergantung dari sudut pandang yang dipergunakan
sehingga akibatnya belum ada kesepakatan atau keseragaman yang dapat diterima
secara universal tentang pengertian terorisme.55
2. Kewenangan Lembaga-lembaga Negara yang Khusus menangani Tindak
Pidana Terorisme
Rapat Kerja antara Komisi I DPR-RI dan Menkopulhukam 31 Agustus
2009, DPR-RI memberi suatu rekomendasi kepada pemerintah untuk membentuk
suatu badan khusus yang berwenang menanggulangi terorisme. Berdasarkan
rekomendasi Komisi I DPR-RI tersebur dan assessment terhadap dinamika
terorisme, pada tanggal 16 Juli 2010 Presiden Republik Indonesia menerbitkan
Peraturan
Presiden
Nomor
46
Tahun
2010
tentang
Badan
Nasional
Penanggulangan Terorisme.56
Permasalahan kasus tindak pidana terorisme ini di Indonesia mempunyai
badan-badan atau lembaga-lembaga tinggi Negara yang dikhususkan untuk
menjalankan prosedur dari pada kasus ini dan juga memiliki wewenang sendiri.
POLRI, dimana TNI menjadi unsur utama dan Polri menjadi unsur pendukung.
54 R.Wiyono, Op. Cit., halaman 11.
55 Ibid., halaman 11.
56 Saefudin Zuhri, Op. Cit., halaman 103.
22
Selama ini penugasan dari terhadap aksi terror terkait separatisme adalah oleh
Brimob Polri, dengan Unit wanteror dan Gegana.57
Densus 88 anti-teror tingkat pusat secara struktural berada di bawah Badan
Reserse Kriminal (BARESKRIM) Mabes Polri dipimpin oleh Komandan
Detasemen berpangkat Brigjen Polisi dan dibantu oleh wakil detasemen (Waden).
Sedangkan pada tingkat Polda, Densus 88 berada dibawah Direktorat Serse (Dit
Serse) dipimpin oleh komandan berpangkat Perwira menengah Polisi (Pamen
Pol). Dalam pembentukan detasemen anti teror ini mempunyai landasan hukum.
Detasemen ini digagas pada tahun 2003 oleh Jendral Polisi Da’I Bachtiar dengan
skep Nomor 30/IV/2003 tanggal 30 Juni 2003. Alasan utama pembentukan
Denssus 88 Anti-teror ini adalah untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan
terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom.58
Komandan Densus 88 dalam menjalankan aksinya memiliki empat pilar
pendukung setingkat Sub-Departemen, yakni Subden bantuan yang bekerja
dibawah naungan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Pasal 13 UU kepolisian dan ketertiban masyarakat, penegak
hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyrakat
terkhususnya mengenai aksi teror tersebut.59
Detasemen 81 memiliki tugas dan fungsi yang hampir sama dengan
Detasemen 88 Polri, milik TNI seperti Detasemen 81 Kopassus, Detassemen 81
AD, AL dan AU ini mempunyai tugas untuk mempertahankan Negara dimana
meraka menjaga kondisi Negara sehingga menjadi kondusif setiap saat. Seperti
menjaga aksi terorisme lewat udara, laut dan darat. Dengan mengacu pada
57 Galih Priatmodjo, “Densus 88”, melalui http://densus88.com, diakses pada Senin, 5
Maret 2018, Pukul 09.31 wib.
58 Ibid.
59
23
ancaman alat-alat tempur milik Negara, sabotase pangkalan udara, laut dan batas
Negara. Yang Notabene tugasnya sama dengan Densus 88 Polri. Tugas Pasukan
Penanggulangan Teror dari Batalyon Infranteri Raider adalah sebagai unsur
penindak dan pemukul bereaksi cepat ditingkat Komando Daerah Militer
(Kodam) diseluruh wilayah Indonesia. Pasukan ini adalah dikhususkan untuk
menanggulangi masalah keamanan khususnya masalah teror ditingkat provinsi di
bawah Komando Panglima Kodam (Pangdam).60
Batalyon ini Memiliki kemampuan tiga kali lipat yang lebih dari Batalyon
Infanteri lainnya, diharapkan segala macam bentuk ancaman yang ada disekitar
wilayah Kodam dapat dituntaskan dengan cepat senyap dan tepat sasaran,
khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keamanan bersifat terorisme.
Dalam keadaan tertentu pasukan ini siap diterjunkan untuk membantu Polri dalam
mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat ditingkat provinsi
berdasarkan perintah Panglima Kodam yang
diteruskan pada Komandan
Batalyon Raider Setempat.61
Tugas pokok dari Detasemen Jala Mangkara Korps Marinir Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) adalah melaksanakan pembinaan
kemampuan dan pengerahan kekuatan sebagai satuan pasukan anti teror dalam
rangka melaksanakan tugas operasi penanggulangan masalah terorisme, sabotase
dalam aspek kelautan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain
sebagai pasukan anti teror dalam wilayah kelautan, pasukan ini juga dapat
diandalkan kemampuannya di wilayah daratan, dalam berbagai macam bentuk
60 Anonym, “Keterlibatan TNI Dalam Memerangi Terorisme”, melalui
http://Keterlibatan,TNIdalamMemerangiTerorisme.com, diakses Senin, 5 Maret 2018, Pukul 10.00
wib.
61 Ibid.
24
terorisme dengan sasaran obyek gedung perkantoran, mall, kereta api, bandara,
penerbangan, terminal bus. Tugas yang dibebankan pada pasukan Detasemen Jala
Mangkara Korps Marinir TNI-AL adalah memukul dan melumpuhkan setiap
ancaman terorisme dalam aspek kelautan di wilayah perairan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tidak hanya wilayah laut saja kamampuan pasukan Denjaka
dalam wilayah daratpun tindakan terorisme mampu dilumpuhkan.62
Detasemen Bravo 90 Korps Paskhas TNI-AU mempunyai tugas pokok
sebagai satuan khusus anti teror dalam lingkungan TNI-AU menangani masalah
terorisme dalam aspek kedirgantaraan yaitu melumpuhkan dan menumpas para
pembajak pesawat terbang, sabotase dalam bandara penerbangan dan perbutan
kembali pangkalan udara yang dikuasai oleh musuh dan menyiapkan landasan
pendaratan pesawat rekan sekesatuan dalam lingkungan Tentara Nasional
Indonesia. Selaian itu pasukan ini dapat diandalakan kemampuannya dalam misimisi rahasia bersifat intelijen bahkan melakuan penyergapan terhadap ancaman
teror di dalam wilayah daratan dalam lingkup perkotaan termasuk wilayah hutan
belantara dan perairan. Kemampuan penguasaan medan ini didapat dari pelatihan
kerjasama unit anti teror antar Kesatuan di lingkungan TNI seperti Satuan 81
Gultor Kopassus TNI-AD dan Detasemen Jala Mangkara Korps Marinir dari TNIAL.63
Kewenangan dari pasukan khusus pada penjelasan tadi hanya sebatas pada
masalah pertahanan Negara dan untuk masalah terorisme ini TNI hanya dapat
melakukan penangkapan saja. Atau hanya sampai pada proses penangkapan dan
bisa juga dalam proses penahanan sementara sampai nantinya apa tersangka akan
62 Ibid.
63 Ibid.
25
diberikan oleh pihak kepolisian dalam proses penyidikan lebih lanjut.
Keikutsertaan TNI dalam pemberantasan terorisme merupakan upaya preventif.
TNI yang merupakan bagian dari masyarakat dan bangsa memiliki tanggung
jawab yang sama dalam memerangi terorisme. Mengoptimalkan kembali peran
Babinsa tidak perlu dicurigai secara berlebihan, dan yang jelas perannya nanti
untuk membantu aparat kepolisian.64
Masalah terorisme juga tidak lepas dari pandangan Badan Intelijen
Negara, lembaga ini sengaja dibuat sebagai pendukung kelancaran dari pada
penganan tindak pidana terorisme ini yang bersifat pre-emptif dan memiliki
koridor hukum tersendiri. Intelijen sendiri terdiri dari kumpulan anggota TNI dan
POLRI dan lainnya yang sama-sama menjadi aktor dalam pemberantasan
terorisme ini dan dibiayai oleh Negara dan bahkan oleh para pihak swasta yang
notabene mendukung kelancaran dari pada sistem penegakan hukum di Indonesia
khususnya masalah penanggulangan Terorisme ini. UU Intelijen yang telah selesai
dibahas oleh Panitia Kerja Komisi I DPR belum mengakomodasi norma-norma
HAM. UU Intelijen tersebut masih belum sesuai dengan norma umum HAM, baik
nasional maupun internasional. Tercatat dari Komnas HAM terdapat beberapa hal
yang krusial dari draft terakhir RUU Intelijen yang perlu diperbaiki, antara lain.65
Pertama, Pasal 1 ayat 8 dan Pasal 3 tentang keamanan nasional (Kamnas),
karena tidak ada pengertian yang jelas mengenai Kamnas. Karena pengertian
Kamnas tidak boleh direduksi menjadi keamanan pemerintah. Dalam prinsip
Johanesburg Ke-1, menyatakan, pembatasan HAM yang dijustifikasi dengan
64 Anonym, “Keterlibatan TNI dalam Memerangi Terorisme”, melalui
http://www.KeterlibatanTNI.com, diakses senin, 5 Maret 2018, Pukul 10.45 wib.
65 Farah Fitriani, “Postet”, melalui http://www. Google.Com, diakses Senin, 5 Maret
2018, Pukul, 10.51 wib.
26
alasan keamanan nasional tidak sah bila tujuannya untuk melindungi yang tidak
ada hubungannya dengan keamanan nasional, termasuk melindungi pemerintah
dari kesalahannya. Kedua, Pasal 32 tentang penyadapan. Kewenangan
penyadapan seharusnya diberlakukan dalam situasi khusus dengan payung hukum
yang jelas, seperti dalam situasi darurat sipil atau darurat militer atau darurat
perang yang penetapannya melalui payung hukum.66
Restriksi ini perlu dijabarkan lebih detil dan tidak bisa diterima dalam
kondisi negara tertib sipil. Dan satu hal lagi, hasil penyadapanpun tidak bisa
digunakan sebagai barang bukti. Ketiga, mengenai pengawasan eksternal terhadap
intelijen.
RUU
Intelijen
belum
mengakomodasi
tentang
diperlukannya
pengawasan terhadap operasi intelijen yang tidak hanya dilakukan oleh DPR,
namun perlu dibentuk suatu Komisi Pengawas Intelijen. Sesuai dengan kewajiban
anggota intelijen sama seperti halnya dengan hak anggota intelijen Negara,
dirumuskan dalam bagian dua RUU tentang intelijen Negara, perbedaanya hanya
terletak pada penempatan pasalnya saja. Jika hak anggota intelijen Negara diatur
didalam Pasal 16, maka kewajiban intelijen Negara diatur pada Pasal 17.67
B. PENYIDIKAN
1. Pengertian Penyidikan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 2 pengertian
penyidikan ialah “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangka”.68
66 Ibid.
67 Ismantoro Dwi Yuwono. 2014. Kupas tuntas Intelijen Negara. Jakarta: Sinar Grafika,
halaman 83.
68 M. Husein Harun. 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta:
PT rineka cipta, halaman 54.
27
Penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila terjadi suatu
tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan
menurut yang diatur dalam KUHP. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 109
ayat (1) KUHAP), untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah
termasuk
suatu
tindak
pidana,
menurut
kemampuan
penyidik
untuk
mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan pada
pengetahuan hukum pidana.69
Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan
kejahatan dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah
dilakukan. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun
keterangan dengan fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu.70
2. Proses Penyidikan
Hamrat Hamid dan Harun Husein, secara formal prosedural, suatu proses
penyidikan dikatakan telah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat
Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi
penyidik. Setelah pihak Kepolisian menerima laporan atau informasi tentang
adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang
diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak
terjadi penyalahgunaan wewenang dari pihak kepolisian, dengan adanya Surat
69 Ibid., halaman 55.
70 M. Husein Harun. 1991. Penyidik dan Penuntut dalam Proses Pidana. Jakarta: PT
Rineka Cipta, halaman 56.
28
Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan terhadap perlindungan hakhak yang dimiliki oleh pihak tersangka.71
Berdasarkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, maka seorang penyidik
yang telah memulai melaksanakan penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana,
penyidik harus sesegera mungkin untuk memberitahukan telah mulai penyidikan
kepada Penuntut Umum. Untuk mencegah penyidikan yang berlarut-larut tanpa
adanya suatu penyelesaian, seorang penyidik kepada Penuntut Umum, sementara
dipihak Penuntut Umum berwenang minta penjelasan kepada penyidik mengenai
perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.72
kegiatan-kegiatan pokok dari penyidikan adalah adalah sebagai berikut:
a. Penyelidikan: serangkaian tindakan dari penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai perbuatan pidana, guna
menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan.
b. Penindakan: Setiap tindakan hukum terhadap orang atau barang yang ada
hubungannya dengan perbuatan pidana yang terjadi, yang dapat berupa:
1. Pemanggilan.
2. Penangkapan.
3. Penahanan.
4. Penggeledahan.
5. Penyitaan.
c. Pemeriksaan: Kegiatan untuk mendapat keterangan, kejelasan dan keidentikan
tersangka dan atau saksi dan atau berang bukti maupun unsur-unsur perbuatan
pidana yang terjadi, sehingga peranan seseorang atau barang bukti dalam
perbuatan pidana itu menjadi jelas.
d. Penyelesaian dan penyelesaian berkas perkara: Merupakan kegiatan akhir dari
penyidikan perbuatan pidana meliputi:
1. Pembuatan Resume.
71 Hamrat Hamid, dkk. 1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan.
Jakarta: Sinar Grafika, halaman 36.
72 Anonym, “Pengertian Penyidikan Dan Proses Penyidikan”, melalui
hhtp://www.definisi-pengertian.com. diakses Minggu, 4 Maret 2018, Pukul 14.37 wib.
29
2. Penyusunan isi berkas perkara.
3. Pemberkasan.
4. Penyerahan berkas perkara:
Tahap Pertama: Penyidik hanya menyerahkan berkas perkara saja.
Tahap kedua: Dalam hal penyidikan sudah dinyatakan lengkap (P.21), penyidik
menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti.73
Penyidikan tindak pidana terorisme menerapkan prinsip pre-emtive,
penangkapan terhadap tersangka dilakukan tanpa bukti memadai menjadi tidak
melanggar asas praduga tidak bersalah.74
3. Pihak Yang Berwenang Melakukan Penyidikan
Perkara pidana, pada dasarnya yang berwenang melakukan penyidikan
adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana: “Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.75
Tindak pidana Terorisme, dibentuk tim gabungan khusus yang bernama
Densus 88, tim khusus ini terdiri dari anggota POLRI dan TNI. Keterlibatan TNI
diatur dalam Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang kedudukan TNI. Oleh karena
itu, terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang membahayakan keutuhan
Negara, maka TNI ikut serta dalam penanganan terorisme sebagai salah satu tugas
operasi militer selain perang.76
C. PENETAPAN TERSANGKA
73 Human Fairuz, ”Proses dan Mekanisme Perkara Pidana dari Penyidikan Hingga
Putusan Pengadilan”, melalui http://humamlawoffice.blogspot.co.id, diakses Minggu, 4 Maret
2018, Pukul 15.30 wib.
74 Lintang Noor Choliq Abduhafi,”Terorisme Dalam Sistem Hukum Indonesia”, melalui
http://www.academia, diakses Minggu, 4 Maret 2018, Pukul 15.41 wib.
75 Anonym, “Hukum Online’, melalui http://www.hukumonline.com, diakses Rabu 4
April 2018, Pukul 14.04 wib.
76 Lintang Noor Choliq Abduhafi,”Terorisme Dalam Sistem Hukum Indonesia”, melalui
http://www.academia, diakses Minggu, 4 Maret 2018, Pukul 16.02 wib.
30
Tersangka dalam KUHAP dapat ditemukan pada Bab I tentang Ketentuan
Umum Pasal 1 angka 14, yang menentukan bahwa tersangka adalah seseorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dalam definisi tersebut terdapat frasa
“karena perbuatan atau keadaannya” seolah-olah mana kalimat tersebut
menunjukan bahwa penyidik telah mengetahui perbuatan tersangka sebelumnya
terlebih dahulu padahal sebenarnya aspek ini yang akan diungkap oleh penyidik.
Secata teoritis, pengertian demikian hanya dapat diungkapkan terhadap tersangka
yang telah tertangkap tangan.77
Pengertian tersangka tersebut akan lebih tepat bila mengacu pada
ketentuan Pasal 27 ayat (1) Nederland van Strafvordering (Ned.Sv). Istilah
pengertian tersangka dalam Ned.Sv ditafsirkan secara lebih luas dengan lugas
yaitu yang dipandang sebagai tersangka ialah orang karena fakta-fakta atau
keadaan-keadaan menunjukan ia patut diduga bersalah melakukan suatu tindak
pidana (“Als verdachte wordt aangemerk degene te weins aanzien uit feiten of
omstadig heden een redelijk vermoeden van sch