LK (Dr. Bambang W)

  PENDAHULUAN Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit

  epidermolisis yang disebabkan oleh toksin, dengan karakteristik berupa eritem dan 1 pengelupasan lapisan superfisial epidermis yang luas. Sinonim SSSS adalah penyakit Ritter von Rittershain atau penyakit Ritter, dermatitis eksfoliativa 1-4,6-9 neonatorum, pemfigus neonatorum. Penyebab SSSS adalah eksotoksin dari 1,2 3-8

  

Staphylococcus aureus grup II faga 3A, 3B, 3C, 52, 55 dan atau 71. Dua

  eksotoksin (ET) yaitu eksotoksin A dan B yang bertanggung jawab terhadap 1,2 perubahan patologis yang terlihat pada SSSS.

  Insidens SSSS paling sering ditemukan anak-anak dan terutama pada 1-4, 8,10 neonatus jarang pada dewasa. Patogenesis SSSS, sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, THT, dan kulit. Eksotoksin yang dikeluarkan ET-A dan ET- B yang bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin) sehingga menimbulkan lepuh pada stratum granulosum pada epidermis. Hal ini tampaknya terjadi melalui efek langsung terhadap desmosom sehingga mengakibatkan pemisahan interdesmosomal. Toksin tersebut cenderung mengikat langsung ke protein desmosom yaitu desmoglein-1 tetapi mekanisme kerja toksin tersebut belum 1,2 sepenuhnya dimengerti.

  Gejala klinis pada umumnya diawali demam akibat infeksi saluran nafas bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul mendadak pada muka, leher, ketiak, dan lipat paha. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula- bula besar berdinding kendur dengan tanda Nikolsky yang positif, kemudian terjadi pengelupasan lembaran kulit sehingga akan tampak daerah erosif. Daerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Penyembuhan 3,4,8 penyakit ini akan terjadi pada 10-14 hari tanpa meninggalkan sikatriks. Pemeriksaan kultur dan histopatologi untuk memastikan diagnosis. Kultur 2 juga diperlukan untuk identifikasi dan sensitifitas antibiotik organisme penyebab. Prinsip penatalaksanaan SSSS adalah memperbaiki keadaan umum, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, memberikan antibiotik sistemik dan 4,6,8,9 topical, dan melakukan kompres. Tujuan penulisan laporan kasus ini untuk melaporkan kasus S.S.S.S yang sangat jarang dan untuk lebih mengerti dan memahami penatalaksanaannya.

LAPORAN KASUS

  Seorang bayi baru lahir (BBL), perempuan, umur 7 hari, dibawa berobat ke UGD RS. Dr Kariadi Semarang dengan keluhan utama kulit mengelupas pada hampir seluruh tubuh.

  Tiga hari sebelum berobat penderita agak panas dan rewel, tidak batuk, tidak pilek, dan mata tidak memerah. Keesokan harinya mulai timbul kemerahan pada lipat paha kiri yang tidak gatal, kemerahan cepat meluas ke paha kanan, kemaluan, kaki dan tangan, punggung, badan, dan wajah. Kemerahan berubah menjadi lepuh lepuh besar berdinding kendur kemudian pecah sehingga kulit mengelupas seperti terkena air panas. Satu hari kemudian penderita dibawa berobat ke dokter umum dan dirujuk ke RS Dr Kariadi Semarang, dengan diagnosis suspek Staphylococcus Scalded-Skin Syndrome.

  Riwayat persalinan lahir bayi perempuan dari ibu G1P1A0 19 tahun hamil 9 bulan ante natal care positif (ANC (+), ante natal bleeding negatif (ANB (-), ketuban pecah dini (KPD (+) 2 jam, ditolong bidan, lahir spontan berat badab lahir (BBL) 2900gr, langsung menangis, apgar skor tidak diketahui. Tidak ada anggota keluarga yang sakit serupa maupun yang sakit panas, nyeri tenggorokan dan sakit mata.

  Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 2800gr, panjang badan 50cm. Keadan umum: sadar, kurang aktif, tangis kuat, kulit kemerahan dan mengelupas. Tanda vital: denyut jantung: 140x/mnt, nadi isi dan tegangan cukup, o pernapasan 40x/mnt, suhu : 36,8

  C. Konjungtiva tidak merah tidak terdapat sekret, sklera tak ikterik. Hidung tak terdapat sekret. Tidak didapati erosi pada mulut, bibir maupun mukosa rongga mulut. Pada leher, dada, perut, punggung, genitalia, sekitar mulut dan ektremitas terdapat makula eritema difus yang disertai epidermolisis pada hampir seluruh tubuh, dengan daerah erosi yang luas disertai skuama lebar. Tanda Nikolsky: positif. Pada palpasi pasien merasa nyeri (menangis).

  Sebelum terapi (hari ke 1)

  Dibuat diagnosis banding Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome dengan neonatal infeksi (NI) dan Nekrolisis Epidermal Toksik dengan NI. Dengan diagnosis sementara Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome dengan NI

  Penatalaksanaan yang direncanakan: rawat inap (BBRT) bersama Bagian Anak dan Kulit. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, GDS, elektrolit, ureum, kreatinin. Kultur dan sensitivitas tes sekret hidung atau mata. Konsul bagian THT dan mata untuk mencari fokal infeksi. Terapi yang diberikan antara lain oksigen nasal 28%, infus D5% 360/15/15 + (Nacl 5% 9cc + Kcl 7cc dlm 500cc D5%), injeksi sefotaksim 2x 140mg IV, injeksi gentamisin 2x 7mg IV, oral parasetamol 3x 30mg k/ p, kompres NaCl hangat untuk yang erosi. Mupirosin krim 2% 1x pagi hari dan dekspanthenol 5% krim 1x sore hari. Diet: ASI/SGM 6x 10cc. Pengawasan antara lain jaga kehangatan, pengawasan keadaan umum, tanda vital dan keseimbangan cairan dan elektrolit.

  Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin: Hb:14,3 g/dl, Ht: 41,4%, leukosit:

1.480/ul, trombosit: 169.000/ul, hitung jenis: 1/2/-/20/66/11. Kimia darah: GDS: 210 mg/

dl Ureum: 59 mg/dl, kreatinin: 0,82 mg/dl, elektrolit: Na:129 mmol/l, K: 6,6 mmol/l, Cl:

94 mmol/l.

  Hasil konsultasi Bagian THT dan Mata (untuk mencari fokal infeksi), tidak didapatkan sistem eritropoetik tampak kesan gambaran anemia dan hemolisis, sistem granulopoetik jumlah lekosit 3500 dan tampak gambaran infeksi, sistem trombopoetik dalam batas normal. Hasil kultur sekret mata Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap amikasin, sefepime, sefotaksim, fosfomisin, gentamisin, kotrimoksasol. Pasien didiagnosis sebagai Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome

  Pada hari ke-5, keadaan umum: baik, sadar, kurang aktif, tangis kuat, kulit mengelupas. Pada leher, dada, perut, punggung, genitalia, sekitar mulut, dan ektremitas, terdapat kelainan kulit berupa makula eritem sangat berkurang, tidak terdapat epidermolisis baru, erosi mulai mengering, dan tampak skuama-skuama lebar. Tanda Nikolsky negatif. Pengobatan sistemik tetap dilanjutkan. Skuama lebar digunting, kompres NaCl hangat untuk yang masih erosi, dan diberikan mupirosin krim 2% serta dekspanthenol krim. Pengawasan dengan cara menjaga kehangatan, pengawasan keadaan umum, tanda vital, dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Diagnosis di Bagian Anak ialah suspek SSSS dengan curiga sepsis. Progam Bagian Anak ialah dilakukan skrining sepsis dan preparat darah hapus dan dikonsultasikan ke Subbagian Hematologi Anak. Hasil skrining belum didapatkan tanda-tanda sepsis.

  Selama terapi (hari ke 5)

  Pada hari ke-7 keadaan umum sadar, cukup aktif, tangis kuat. Tanda vital: denyut jantung 140x/mnt; nadi: isi dan tegangan cukup; frekuensi nafas: suhu 40x/ o mnt, t:37 C. Pada lokasi punggung, pantat, tumit, terdapat kelainan kulit berupa erosi minimal, ulkus dangkal, skuama-skuama besar, dan krusta. Pengobatan diganti dengan oral Cefiksim 2x 7mg, terapi topikal masih tetap. Pengawasan dengan menjaga kehangatan dan keseimbangan cairan serta elektrolit

  Pada hari ke-9 keluarga penderita minta pulang paksa. Keadan umum: sadar, cukup aktif, tangis kuat. Tanda vital dalam batas normal. Pada punggung, pantat, tungkai, tumit, terlihat erosi minimal, ulkus dangkal, dan krusta. Pengobatan oral Cefiksim 2x 7mg, topikal dekspantenol krim 2x untuk lesi erosif.

  Setelah terapi (hari ke 9) DISKUSI

  Diagnosis SSSS ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinik, dan pemeriksaan kultur. Dari anamnesis penderita, perempuan, usia 7 hari, dikepustakaan disebutkan bahwa SSSS paling banyak ditemukan pada bayi dan 1-4,8,10 neonatus, dan jarang pada dewasa. Pada bayi dan anak tidak ada perbedaan 2,3 jenis kelamin. Hal ini diduga karena pada bayi dan neonatus fungsi ekskresi ginjal belum sempurna, sehingga belum dapat mengekskresi eksfoliatin dengan sempurna 1-4,6 dan masih kurangnya antibodi terhadap toksin. Jika SSSS menyerang dewasa diduga terdapat kegagalan fungsi ginjal atau imunodefisiensi (HIV), termasuk yang mendapat obat obat imunosupresif.

  Pada anamnesis didapatkan riwayat 3 hari penderita agak panas dan rewel, tidak batuk, tidak pilek, dan mata tak memerah. Dua hari timbul kemerahan pada lipat paha kiri dan cepat meluas ke anggota badan yang lain. Kemerahan berubah menjadi lepuh-lepuh besar kemudian pecah sehingga kulit mengelupas seperti terkena air panas. Kepustakaan menyebutkan pada umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena infeksi saluran nafas atas, kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang timbul mendadak pada lipat paha, muka, leher, dan ketiak. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur, yang akan terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit 1,4 sehingga tampak daerah erosif yang mirip dengan kombustio.

  Dari pemeriksaan fisik pada lokasi leher, dada, perut, punggung, genitalia, sekitar mulut, dan ektremitas, dengan ujud kelainan kulit berupa makula eritem difus yang disertai epidermolisis pada hampir seluruh tubuh, dengan daerah erosi yang luas disertai skuama lebar, tanda Nikolsky positif dan palpasi nyeri

  (menangis). Menurut kepustakaan biasanya diawali ruam berwarna kuning jingga merah cerah dengan tanda Nikolsky yang sudah positif dan nyeri tekan. Kemudian akan diikuti timbulnya bula besar yang kendur dari aksila, inguinal, atau sekitar lubang tubuh yang kemudian meluas ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan 1,2,6,7 membran mukosa. Selanjutnya akan terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran kulit sehingga akan tampak daerah erosif, yang dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi. Penyembuhan akan terjadi 1,6 pada 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.

  Penyebab SSSS adalah eksotoksin dari Staphylococcus aureus grup II faga 1,2 3-8

  3A, 3B, 3C, 52, 55 dan atau 71. Dua eksotoksin (ET) yaitu eksotoksin A dan B 1,2 yang bertanggung jawab terhadap perubahan patologis yang terlihat pada SSSS.

  Fokal infeksi bisa berasal dari mata, telinga, hidung, umbilikus, nasofaring, 2,4,7,8 vagina dan kulit. Pada penderita ini hasil kultur dari sekret mata didapatkan

  Staphylococcus aureus.

  Pemeriksaan histopatogi akan tampak celah intraepidermal pada stratum granulosum, dan mengandung sel-sel akantolitik yang bebas atau melekat secara 1-4 parsial. Bagian lain epidermis tampak utuh tanpa disertai nekrosis sel. Pada penderita ini tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pertimbangan masih neonatus.

  Diagnosis banding dengan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) dapat disingkirkan, karena NET terutama terjadi pada orang dewasa, disertai adanya riwayat minum obat atau jamu sebelumnya dan ada keterlibatan dua mukosa atau 3,4,10 lebih. Penderita ini masih neonatus, tidak ada riwayat minum obat-obatan atau jamu sebelumnya dan pada pemeriksaan klinis tidak ada keterlibatan mukosa. Selanjutnya pada pemeriksaan histopatologi pada NET akan tampak celah subepidermal sedangkan pada SSSS celah pada srtatum granulosum atau 3,4,10 intraepidermal.

  Penatalaksanaan penderita ini antara lain diberi terapi infus D5% + NaCl + KCl, injeksi cefotaksim, injeksi gentamisin, oral parasetamol dan diet ASI/ prenagen 6x10cc. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan prinsip terapi SSSS adalah eradikasi fokal infeksi dengan antibiotik antistafilokokal resisten penisilinase secara intravena, keseimbangan cairan dan elektrolit dan pemberian 2 antibiotik topikal. Pilihan antibiotik sistemik adalah penisilin semisintetik yang tahan terhadap penisilinase atau betalaktamase seperti kloksasilin, dikloksasilin 4,7-11 10,11 atau golongan sefalosporin, klindamisin, dan eritromisin. Untuk terapi topikal ® diberikan kompres NaCl, mupirosin dan bephanten , yang diberikan 2x sehari selang seling. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa terapi topikal untuk SSSS adalah kompres, antibiotik topikal seperti mupirosin atau silver sulfadiasin, dapat ® 1,2,7-10 juga dengan sofratulle .

  SSSS dapat menyebabkan kematian, pada neonatus berkisar antara 1-10%. Penyebab kematian biasanya karena sepsis dan ketidak seimbangan cairan dan 2,4 elektrolit. Prognosis penderita ini quo ad vitam ad bonam, quo ad sanam ad bonam dan quo ad kosmetikam ad bonam.

  RINGKASAN

  Telah dilaporkan sebuah kasus S.S.S.S pada neonatus perempuan umur 7 hari. Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis kulit merah dan mengelupas hampir seluruh tubuh, pemeriksaan fisik didapatkan lokasi hampir seluruh tubuh dengan lesi berupa makula eritematosa difus yang disertai epidermolisis pada hampir seluruh tubuh, dengan daerah erosi yang luas disertai skuama lebar, dengan tanda Nikolsky (+). Pemeriksaan kultur sekret mata didapatkan Staphylococcus aureus

  Penatalaksanaan rawat bersama Bagian Anak dan Kulit di BBRT dengan terapi cairan, elektrolit dan nutrisi, pemberian antibiotik cefotaksim dan gentamisin ® dan preparat topikal krim mupirosin dan krim bepanthen .

  Prognosis quo ad vitam, quo ad sanam dan quo ad kosmetikam ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA

  

1. Kane KSM, Ryder JB, Johnson RA,Baden HP, Stratigos A. Cutaneous bacterial infektions. Dalam:

Color atlas & synopsis of pediatric dermatology. New York: 2002: 474-5.

  

2. Kim J. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome eMedicine journal, April 2003.[on line]:URL.http://

www.emedicine.com

  

3. Resnick SD, Elias PM. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,

Austen KF, Wollf K, Goldsmith LA, Katz SI, editor. Dermatology in general medicine. Edisi ke-6.USA: Mc Graw Hill, 2003: 1878-83.

  

4. Djuanda A. Pioderma. Dalam : Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Edisi ke-3. Jakarta: BP FKUI, 2001: 55-61.

  

5. Lee PK, N Arnold, Weinberg, Swartz MN, Johnson RA, Weinberg AN. Pyodermas: Staphylococcus

aureus, Streptococcus and other gram-positive bacteria. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wollf K, Goldsmith LA, Katz SI, Fitzpatrick TB, editor. Dermatologi in general medicine. Edisi ke-5.USA: Mc Graw Hill, 1999: 2182-206.

  6. Sumaryo S. Pioderma. Edisi pertama, Semarang: BP UNDIP, 2001: 19-20.

  

7. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, Bacterial infections involving the skin. Dalam: Fitzpatrick’s color

atlas and synopsis of clinical dermatology. Edisi ke-5. USA: Mc. Graw Hill, 2005: 620-3.

  

8. Braun-Falco O, Plewig G, Wolff HH, Burgdorf WHC.Bacterial Diseases. Dalam Dermatology. Second,

Completely Revised, editor. New York: Springer Verlag, 2000: 140-1.

  9. Hartadi. Dermatosis Bakterial. Edisi kedua, Semarang: BP UNDIP, 1991: 36.

  

10. Maibach HI, Aly R. Bacterial infection in the skin. Dalam: Moscella SL, Hurley HJ, editor. Dermatology.

  Edisi ke-3. Philadelphia: WB. Saunders, 1992: 1106-7.

  

11. Veraldi S, Caputo R, Impetigo dalam Katsambas AD, Lotti TM, editor. European Handbook of

dermatological treatments. Edisi ke-2. Berlin: Springer-Verlag, 2000: 267-71.

  Kerangan: Foto kasus ada di Sekretariat MDVI