Kajian Awal Penyusunan Instrumen Penilai
Konferensi Nasional Teknik Sipil 10
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 26-27 Oktober 2016
KAJIAN AWAL PENYUSUNAN INSTRUMEN PENILAI JALAN HIJAU
DI INDONESIA
Wulfram I. Ervianto1
1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44 Yogyakarta
Email: [email protected]
ABSTRAK
Terkait agenda pembangunan konektivitas nasional yang dituangkan dalam dokumen Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tentang pembangunan
infrastruktur jalan, pelabuhan, bandar udara, dan sarana pendukung air minum akan berdampak
langsung terhadap kestabilan lingkungan. Salah satu jenis infrastruktur yang membutuhkan lahan
relatif luas adalah jalan raya. Berdasarkan data Statistik Transportasi Darat Indonesia tahun 2014
diperlihatkan data panjang jalan di Indonesia mencapai 517.663 km. Berdasarkan tingkat
kewenangan pembinaannya, 417.793 km (80,71%) merupakan jalan kabupaten/kota. Sedangkan
panjang jalan negara dan provinsi adalah 46.432 km (8,97%) dan 53.438 km (10,32%).
Berdasarkan jenis permukaannya, 57,17% dari panjang jalan total merupakan jalan beraspal; 19,72%
jenis permukaan kerikil, dan 17,84% jenis permukaan tanah dan 5,27% lainnya. Terlihat bahwa
dominasi permukaan jalan di Indonesia berupa jalan beraspal dimana prosesnya tidak ramah
lingkungan jika menggunakan pencampuran panas. Selain itu, luas lahan yang diperlukan dalam
pembangunan jalan raya relatif luas yang berpotensi mengusik keanekaragaman hayati dan hewani.
Saat pelaksanaan konstruksi seringkali berada di daerah yang tergolong sensitif, yaitu : (a) kawasan
hutan, (b) kawasan rawan bencana, (c) kawasan lindung di luar kawasan hutan, (d) kawasan cagar
budaya, (e) kawasan khusus, (f) kawasan komersial, pemukiman, dan lahan produktif, (g) daerah
komunitas rentan (komunitas adat terpencil dan fakir miskin). Upaya untuk mengetahui seberapa
ramah lingkungan proses pembangunan jalan raya diperlukan instrumen untuk mengetahui seberapa
ramah lingkungan aktivitas proses yang dilakukan oleh kontraktor yang mencakup: Sumber dan
Siklus Material, Manajemen Lingkungan Bangunan, Konservasi Energi, Kualitas Udara, Kesehatan
dan Kenyamanan Dalam Proyek, dan Konservasi Air. Hal ini perlu dilakukan karena penerima
dampak langsung adalah masyarakat dan lingkungan di sekitar proyek.
Kata kunci: Kajian; Proses Konstruksi; Infrastruktur; Jalan Raya.
1.
PENDAHULUAN
Infrastruktur memiliki peran yang signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya saing
perekonomian di suatu negara. Selain sebagai barang modal yang secara langsung dapat menghasilkan produksi,
infrastruktur juga menjadi landasan bagi perekonomian yang secara tidak langsung berpotensi meningkatkan proses
produksi (fasilitas proses transportasi dan irigasi), serta sebagai sarana penting bagi pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang secara tidak langsung mampu meningkatkan produksi. Salah satu jenis infrastruktur yang berperan
penting dalam mewujudkan konektivitas antar daerah adalah jalan raya. Mengingat peran pentingnya infrastruktur
jalan raya dalam pendistribusian barang dan jasa, maka pemerintah Indonesia memprogramkan jalan tol sepanjang
1.000 km yang dimuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019. Penambahan jalan tol sepanjang ± 1.153 km mencakup
Trans Sumatera, Trans Jawa, Tol Samarinda-Balikpapan, dan Tol Manado-Bitung.
Berdasarkan SK Menteri Pekerjaan Umum No. 630/KPTS/M/2009 , panjang jalan di Indonesia terus mengalami
peningkatan, panjang jalan nasional pada survai semester 2 tahun 2014 telah mencapai 38.569,82 km (Buku
Informasi Statistik Pekerjaan Umum, 2015, hal IV-4). Ditinjau dari kualitasnya, infrastruktur jalan raya di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Global Competitiveness
Index bahwa infrastruktur jalan raya di Indonesia mengalami peningkatan dari nilai 3,4 pada tahun 2012-2013
menjadi 3,7 di tahun 2013-2014 dan berada pada urutan ke-78 dari 148 negara (Rencana Strategis Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019, hal 20). Meningkatnya panjang jalan raya di Indonesia
perlu diimbangi dengan peningkatan kualitasnya untuk merespon isu penting yang diagendakan Kementerian
Pekerjaan Umum yaitu keberlanjutan. Kekawatiran akan keberlangsungan kehidupan manusia merupakan salah satu
1
isu penting selain isu keterbatasan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Salah satu konsep yang diyakini
mampu mereduksi isu tersebut adalah pendekatan green dalam mengelola infrastruktur.
2. TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan penelitian adalah melakukan kajian hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menyusun instrumen penilai
konstruksi hijau yang sesuai dengan lingkungan di Indonesia. Hasil kajian dapat dimanfaatkan dalam penyusunan
instrumen penilai jalan hijau di Indonesia.
3. KAJIAN PUSTAKA
Isu “keberlanjutan” telah menjadi bagian penting yang perlu dikaji di tingkat global maupun nasional Indonesia. Hal
ini diperkuat dengan adanya fenomena meningkatnya konsentrasi
di udara yang dipicu terjadinya revolusi
industri pada abad ke-17 dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Hal ini diperkuat oleh Salim, E., (2010)
yang menyatakan bila cara-cara pembangunan tetap dilakukan seperti biasanya tanpa perubahan, maka pada tahun
2050 diperkirakan konsentrasi
akan mencapai 500 part per million (ppm) atau menjadi dua kali lipat
konsentrasinya bila dibandingkan sebelum revolusi industri. Dampak nyata peristiwa ini adalah terjadinya
perubahan iklim yang mengancam kehidupan di Bumi. Oleh sebab itu, para ahli sedunia sepakat menetapkan
konsentrasi
sebesar 450-550 ppm. Di lingkup nasional tepatnya dalam Konferensi Bali pada bulan Desember
2007, Indonesia telah menyepakati tentang pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon dengan cara
menurunkan konsentrasi
di udara sebesar 26% ⁄ 41% di akhir tahun 2020 (Salim 2010, h.11). Tentu
kesepakatan ini perlu direspon positif oleh seluruh sektor bisnis termasuk konstruksi.
Dalam pengelolaan proyek konstruksi, salah satu pendekatan yang perlu diakomodasi adalah pengelolaan proyek
konstruksi yang semula bersifat terpisah atau separated (gambar 1) menjadi terintegrasi (integrated ) di setiap daur
hidupnya. Perbedaan antara kedua pendekatan tersebut terletak pada interaksi setiap tahap yang mengutamakan
terjadinya aliran “nilai” ke tahap-tahap berikutnya serta mekanisme umpan balik di tahap tertentu terhadap tahaptahap sebelumnya. Dengan mekanisme tersebut diatas diharapkan terjadi perbaikan untuk proyek berikutnya.
Studi
Kelayakan
Perencanaan
Pengadaan
Konstruksi
Operasional
Habis pakai
Gambar 1. Manajemen proyek terpisah
Salah satu hal penting bagi negara adalah konektivitas antar daerah sehingga dapat menyalurkan berbagai komoditas
guna mencukupi kebutuhan hidup bagi warganya yang berada di daerah tertentu. Selain itu, ketersediaan
infrastruktur jalan nasional, propinsi, dan kabupaten/kota turut menentukan harga dari sebuah komoditas, oleh sebab
itu isu konektivitas antar daerah menjadi prioritas utama saat ini. Berdasarkan data Statistik Transportasi Darat
Indonesia tahun 2014, data panjang jalan di Indonesia mencapai 517.663 km. Berdasarkan tingkat kewenangan
pembinaannya, 417.793 km (80,71%) merupakan jalan kabupaten/kota. Sedangkan panjang jalan negara dan
provinsi secara berturutan adalah 46.432 km (8,97%) dan 53.438 km (10,32%). Berdasarkan jenis permukaannya,
57,17% dari panjang jalan total merupakan jalan beraspal; 19,72% jenis permukaan kerikil, dan 17,84% jenis
permukaan tanah dan 5,27% lainnya. Terlihat jelas bahwa dominasi permukaan jalan di Indonesia berupa jalan
beraspal dimana prosesnya tidak ramah lingkungan jika menggunakan pencampuran panas. Selain itu, luas lahan
yang diperlukan dalam pembangunan jalan raya relatif luas dan berpotensi mengusik keanekaragaman hayati dan
hewani.
Agenda strategis Kementerian PUPR
Dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019 dimuat
beberapa agenda strategis, antara lain : (a) Pembangunan jalan tol sepanjang 1.000 km, (b) Peningkatan kapasitas
jalan nasional sepanjang 3.073 km, (c) Preservasi jalan nasional sepanjang 47.017 km. Tentu agenda tersebut diatas
akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan rakyat namun berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan jika tidak dikelola secara bijaksana. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan yang tepat agar dampak
negatif yang dihasilkan selama proses konstruksi minimum.
Pendekatan konstruksi hijau
Konstruksi hijau (green construction) didefinisikan sebagai “Suatu perencanaan dan pelaksanaan proses konstruksi
untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan agar tercipta keseimbangan antara daya dukung
lingkungan dengan kebutuhan proses atau kegiatan konstruksi di masa mendatang” (Ervianto, W.I., 2015). Dalam
praktek di lapangan, komponen input (pekerja, material, metoda, peralatan, uang) perlu dikelola secara efisien agar
dihasilkan infrastruktur ramah lingkungan yang diukur oleh : (a) banyak sedikitnya limbah yang dihasilkan, (b)
keselamatan dan kesehatan pekerja konstruksi dalam proyek, dan (c) kesehatan masyarakat di sekitar lokasi proyek.
Dalam penelitian yang dikembangkan oleh Ervianto, W.I., 2015 tentang Pengembangan Model Assessment Green
Construction Pada Proses Konstruksi Untuk Proyek Gedung di Indonesia membagi tujuh aspek penting dalam
proses konstruksi, yaitu :
1. Konservasi energi, tujuannya adalah melakukan pemantauan dan pencatatan pemakaian energi, penghematan
konsumsi energi, dan pengendalian penggunaan sumber energi yang berdampak pada lingkungan selama proses
konstruksi.
2. Konservasi air, tujuannya adalah melakukan pemantauan dan pencatatan pemakaian air, penghematan konsumsi
air, dan menggunakan kembali air selama proses konstruksi.
3. Tepat guna lahan, tujuannya adalah memelihara kehijauan lingkungan serta mengurangi emisi CO2 dan polutan.
Selain itu, untuk mengurangi beban drainase kota yang ditimbulkan oleh limpasan air hujan akibat proses
konstruksi dalam hal jumlah dan kualitasnya.
4. Sumber dan siklus material, maksudnya untuk menahan eksploitasi sumberdaya alam tak terbarukan agar daur
hidupnya lebih lama. Tujuan dalam aspek ini adalah: (a) Menggunakan material lokal bekas bangunan atau
hasil dekonstruksi untuk mengurangi pemakaian material baru sehingga dapat mengurangi limbah di tempat
pembuangan akhir dan memperpanjang usia pakai material. (b) Menggunakan bahan bangunan pabrikasi hasil
proses daur ulang yang ramah lingkungan. (c) Menggunakan bahan baku kayu yang dapat
dipertanggungjawabkan asal usulnya. (d) Menggunakan material lokal untuk mengurangi pemakaian energi
selama proses transportasi.
5. Manajemen lingkungan bangunan, maksud dan tujuannya adalah mengurangi timbulnya limbah sehingga beban
di tempat pembuangan akhir berkurang dan mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana untuk
mempermudah proses daur ulang.
6. Kualitas udara, bertujuan untuk mengurangi terjadinya pencemaran udara yang ditimbulkan oleh bahan
bangunan dan peralatan yang digunakan selama proses konstruksi berlangsung.
7. Kesehatan dan kenyamanan dalam proyek, tujuannya adalah mengurangi dampak asap rokok di udara,
mengurangi polusi zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia, menjaga kebersihan dan kenyamanan
lingkungan proyek.
Ketujuh aspek tersebut diatas diadopsi untuk mengembangkan instrumen konstruksi hijau untuk proyek jalan raya
dengan pertimbangan bahwa pada tingkat aspek konstruksi hijau masih sesuai antara proyek gedung dengan proyek
jalan raya, sedangkan perbedaannya terletak pada indikator konstruksi hijau yang disebabkan karena di tingkat
indikator merepresentasikan aktivitas proses konstruksi di proyek, dimana aktivitas dalam proyek gedung relatif
lebih banyak dibanding proyek jalan.
4. PELAKSANAAN PEKERJAAN
Salah satu karakteristik pekerjaan jalan adalah luasnya lahan yang harus dikelola oleh kontraktor. Tidak jarang
ditemui saat pelaksanaan konstruksi berada di daerah yang tergolong sensitif, yaitu : (a) kawasan hutan, (b) kawasan
rawan bencana, (c) kawasan lindung di luar kawasan hutan, (d) kawasan cagar budaya, (e) kawasan khusus, (f)
kawasan komersial, pemukiman, dan lahan produktif, (g) daerah komunitas rentan (komunitas adat terpencil dan
fakir miskin). Bila trase jalan yang direncanakan akan melewati daerah tersebut diatas maka aktivitas konstruksi
wajib mentaati peraturan daerah setempat. Hal ini perlu dilakukan karena penerima dampak langsung adalah
masyarakat dan lingkungan di sekitar proyek. Aktivitas konstruksi dalam pekerjaan jalan dibedakan menjadi dua,
yaitu : (a) persiapan pelaksanaan pekerjaan jalan, (b) pelaksanaan/proses konstruksi pekerjaan jalan.
a. Persiapan pelaksanaan pekerjaan
Dalam tahap ini mencakup hal-hal sebagai berikut : (1) Mobilisasi tenaga kerja, kebutuhan pekerja dalam proyek
diutamakan pekerja yang berasal dari sekitar lokasi proyek atau setempat dengan pertimbangan carbon footprint
yang dihasilkan akibat proses transportasi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan mendatangkan pekerja dari
luar lokasi proyek; (2) Mobilisasi peralatan berat, kegiatan ini mencakup pengadaan peralatan berat yang akan
digunakan, baik menggunakan mekanisme sewa atau milik sendiri. Pemilihan peralatan yang akan digunakan
diutamakan tahun pembuatannya yang relatif baru agar konsumsi energi yang digunakan efisien. Selain itu, perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan operator alat berat diutamakan yang mempunyai sertifikat agar produktivitasnya
lebih pasti sehingga durasi pelaksanaan pekerjaan menjadi lebih singkat; (3) Pembangunan jalan masuk dan akses
jalan, pada umumnya berupa pembuatan jalan baru atau peningkatan jalan eksisting sehingga berpotensi
menimbulkan pencemaran debu dan kebisingan; dan (4) Pembangunan base camp, berfungsi untuk mendukung
pelaksanaan pekerjaan yang mencakup kantor proyek, gudang material, bengkel, stone crusher , batching plant,
penyimpanan alat berat, dan barak pekerja. Fasilitas ini hendaknya ditempatkan di sekitar lokasi proyek.
b. Pelaksanaan pekerjaan
Pengelolaan dalam tahap konstruksi mencakup tiga hal yaitu pengelolaan di lokasi tapak proyek; pengelolaan di
lokasi quarry dan jalur pengangkutan material; pengelolaan di lokasi base camp (gambar 2).
Pelaksanaan Pekerjaan
Infrastruktur Jalan
Lokasi Tapak Proyek
Lokasi Quarry Dan Jalur
Pengangkutan Material
Lokasi Base Camp
Gambar 2. Pengelolaan di tahap konstruksi
Pengelolaan lokasi tapak proyek
Aktivitas yang dilakukan dalam tahap ini adalah : (a) Pembersihan lahan, yang mencakup pembersihan vegetasi
berupa semak belukar dan pepohonan. Dalam prinsip green, wajib menghindari menebang pohon namun apabila
sangat terpaksa maka dianjurkan untuk memindahkan pohon ke lokasi lain. Sedangkan pohon yang berada di sekitar
tapak proyek perlu dilindungi agar tidak rusak akibat proses konstruksi. (b) Pekerjaan tanah, diawali dengan
pengupasan tanah bagian atas (top soil) berupa humus karena lapisan ini dapat mempengaruhi kekuatan bangunan
jalan. Kedalaman lapisan humus bervariasi tergantung dari lokasi dan jenis tanah pada lahan tersebut. Mengingat
manfaat lapisan humus baik digunakan untuk kegiatan bercocok tanam (pertanian dan perkebunan) maka disarankan
untuk dipindahkan ke tempat lain yang membutuhkan. Untuk aktivitas galian dan timbunan, perlu dihitung dan
direncanakan sebaik mungkin terutama informasi volume galian dan timbunan serta skema pemindahan tanah dari
sumber ke tujuan agar diperoleh jarak terpendek sehingga konsumsi energi yang digunakan minimum. Selain itu
perlu perhatian tentang kualitas udara dalam proyek, persoalan kebisingan, pencemaran air permukaan dan air tanah,
terganggunya stabilitas lereng, perubahan bentang alam dan terusiknya situs/cagar budaya. (c) Pekerjaan badan jalan
meliputi :
1.
Pekerjaan pondasi bawah, material yang digunakan adalah pasir dan batu (sirtu) melalui proses penghamparan,
pencampuran, penataan, dan pemadatan. Potensi dampak negatif yang ditimbulkan adalah pencemaran udara
berupa debu.
2.
Pekerjaan pondasi atas, material yang digunakan adalah batu pecah. Potensi dampak negatif yang ditimbulkan
oleh aktivitas ini adalah pencemaran udara berupa debu.
3.
Lapis perkerasan, terdapat dua jenis lapis perkerasan yaitu perkerasan lentur dan perkerasan kaku. Lapis
perkerasan lentur umumnya menggunakan aspal melalui pencampuran panas dalam suhu tinggi, dampak negatif
yang ditimbulkan adalah besarnya kebutuhan energi/bahan bakar yang berpotensi menimbulkan emisi dan gas
buang.
4.
Penghijauan dan pertamanan, aktivitas ini mencakup pemasangan gebalan rumput, penanaman tanaman berupa
semak, perdu, pohon di tepi dan median jalan serta pulau jalan. Jenis tanaman yang ditanam harus memenuhi
kriteria tertentu agar diperoleh manfaat terbaiknya namun tetap mengutamakan keselamatan pengguna jalan.
Tujuan aktivitas ini untuk mengurangi pencemaran udara, mengurangi tingkat kebisingan, mencegah erosi dan
longsor serta fungsi estetika dan kenyamanan bagi pengguna jalan.
Pengelolaan lokasi quarry dan jalur transportasi material
Kebutuhan material untuk pembangunan jalan berupa batu pecah, pasir batu (sirtu) dapat dicukupi melalui quarry
yang berada di sekitar lokasi proyek. Namun demikian perlu mempertimbangkan aspek kemampuan supply setiap
quarry yang ada dan demand di sepanjang ruas jalan agar tercapai kondisi optimum yang diukur dalam konsumsi
energi yang dibutuhkan selama proses transportasi (gambar 3). Selain itu, potensi terjadinya dampak negatif selama
proses transportasi material berlangsung adalah timbulnya polusi udara dalam bentuk debu yang bersumber dari
material yang diangkut. Untuk itu perlu direncanakan proses pengangkutan guna meminimumkan timbulnya debu,
misalnya menggunakan penutup terpal di bagian bak truk. Selain proses transportasi material, pendekatan ramah
lingkungan juga harus dilakukan terhadap aktivitas proses dalam quarry berupa emisi yang ditimbulkan mulai dari
tambang hingga siap untuk ditransportasikan ke lokasi proyek (gambar 4).
Q3
Akhir
Ruas jalan
Q1
Awal
Q2
Catatan Q: Quarry
Gambar 3. Optimalisasi transportasi material dari quarry ke lokasi proyek
emisi
Pemecahan
material
Butiran
terlalu besar
Mulai
emisi
emisi
emisi
emisi
Tambang
Transportasi
material
Penampungan
material
Pembersihan
material
Pemeriksaan
ukuran butiran
material
Butiran
tidak terlalu besar
emisi
Penyemprotan air
Pemisahan
butiran material
Pasir
Kerikil
Penyimpanan
material kerikil
emisi
Penyimpanan
material pasir
Selesai
Gambar 4. Bagan alir proses penyediaan material pasir dan kerikil dari tambang ke quarry
Pengelolaan base camp
Base camp merupakan bangunan fasilitas pendukung bersifat sementara yang terdiri dari kantor proyek dan barak
pekerja sebagai tempat tinggal bagi pekerja konstruksi yang berasal dari luar daerah. Kedua fasilitas ini diletakan di
luar lokasi proyek demi keamanan dan kesehatan. Namun demikian jika sangat terpaksa dengan mempertimbangkan
faktor transportasi dan ketersediaan lahan, maka fasilitas ini dimungkinkan diletakan di dalam lokasi proyek akan
tetapi secara tegas perlu dipisahkan antara barak pekerja dan area kerja.
Kantor di proyek merupakan salah satu fasilitas yang harus ada di setiap proyek konstruksi. Umumnya kontraktor
memanfaatkan material kayu/multipleks sebagai pembentuk kantor di proyek. Pemanfaatan kayu tidak selalu
negatif, namun perlu dipenuhi ketentuan antara lain kayu dipanen dari hutan legal. Alternatif lain dapat
menggunakan kontainer yang umumnya digunakan untuk keperluan eksport/import berbagai macam barang.
Beberapa keunggulan kontainer antara lain adalah : (a) Lebih kokoh, (b) Lebih rapi, (c) Mudah dipindahkan, (d)
Tahan terhadap cuaca panas/hujan, (e) Tidak mudah lapuk, (f) Dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, (g)
Lahan yang dibutuhkan relatif sempit, (h) Dimungkinkan disusun secara vertikal, (i) Dapat dipasang bahan anti
panas dan kedap suara untuk memberikan kenyamanan penggunanya, (j) Dapat dipasang instalasi listrik untuk
penggunaan perangkat komputer, laptop, dispenser, printer, mesin fotocopy, air conditioning (AC), (k) Dapat
dimodifikasi untuk menambahkan kamar mandi, toilet, ruang tidur, serta dipasang keramik sebagai lantainya, (l)
Mempunyai umur pakai lebih lama, (m) Mempunyai nilai ekonomis yang lebih baik setelah habis masa pakainya.
Barak pekerja merupakan fasilitas untuk tinggal bagi pekerja konstruksi, dengan beberapa persyaratan sebagai
berikut : (a) Struktur bangunan harus kokoh dan tidak mudah terbakar, (b) Menyediakan fasilitas mandi-cuci-kakus
yang memadai dan dilengkapi sistem pembuangan air yang memenuhi persyaratan kesehatan, (c) Menyediakan air
bersih yang cukup untuk keperluan mandi, masak, dan keperluan lain, (d) Menyediakan dapur untuk keperluan
memasak yang aman dan tidak mudah terbakar, (e) Lingkungan di sekitar barak pekerja perlu dijaga kebersihannya.
5. KESIMPULAN
Mengintegrasikan “nilai” di setiap tahap dalam daur hidup proyek salah satunya di tahap konstruksi yang dapat
dibedakan menjadi tiga bagian penting, yaitu : (a) pengelolaan di lokasi tapak proyek yang terdiri dari pembersihan
lahan, pekerjaan tanah, dan pekerjaan badan jalan. (b) pengelolaan di quarry dan jalur pengangkutan material perlu
diterapkan pendekatan kuantitatif untuk mendapatkan skenario terbaik yang diukur dalam perspektif biaya dan
ramah lingkungan. (c) pengelolaan di base camp mengutamakan kesehatan dan keselamatan bagi seluruh pekerja
konstruksi melalui proses edukasi terutama dalam hal perilaku ( behaviour ) pekerja konstruksi untuk
keberlangsungan lingkungan.
Kegiatan selanjutnya perlu ditetapkan indikator konstruksi hijau yang sesuai dengan alam Indonesia dengan
mempertimbangkan bahwa infrastruktur jalan berfungsi untuk menghubungkan antar daerah (kota, kabupaten,
propinsi). Oleh sebab itu, indikator konstruksi hijau selayaknya mengakomodasi potensi lokal daerah setempat.
6. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Transportasi Darat Indonesia 2014 .
Departemen Pekerjaan Umum. (2009). Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Jalan .
Ervianto, W.I. (2015). “Pengembangan Model Assessment Green Construction Pada Proses Konstruksi Untuk
Proyek Gedung di Indonesia”. Institut Teknologi Bandung.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2015). Informasi Statistik Infrastruktur Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2015). Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2014). Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Salim, E. (2010). Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Gramedia, Jakarta.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 26-27 Oktober 2016
KAJIAN AWAL PENYUSUNAN INSTRUMEN PENILAI JALAN HIJAU
DI INDONESIA
Wulfram I. Ervianto1
1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44 Yogyakarta
Email: [email protected]
ABSTRAK
Terkait agenda pembangunan konektivitas nasional yang dituangkan dalam dokumen Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tentang pembangunan
infrastruktur jalan, pelabuhan, bandar udara, dan sarana pendukung air minum akan berdampak
langsung terhadap kestabilan lingkungan. Salah satu jenis infrastruktur yang membutuhkan lahan
relatif luas adalah jalan raya. Berdasarkan data Statistik Transportasi Darat Indonesia tahun 2014
diperlihatkan data panjang jalan di Indonesia mencapai 517.663 km. Berdasarkan tingkat
kewenangan pembinaannya, 417.793 km (80,71%) merupakan jalan kabupaten/kota. Sedangkan
panjang jalan negara dan provinsi adalah 46.432 km (8,97%) dan 53.438 km (10,32%).
Berdasarkan jenis permukaannya, 57,17% dari panjang jalan total merupakan jalan beraspal; 19,72%
jenis permukaan kerikil, dan 17,84% jenis permukaan tanah dan 5,27% lainnya. Terlihat bahwa
dominasi permukaan jalan di Indonesia berupa jalan beraspal dimana prosesnya tidak ramah
lingkungan jika menggunakan pencampuran panas. Selain itu, luas lahan yang diperlukan dalam
pembangunan jalan raya relatif luas yang berpotensi mengusik keanekaragaman hayati dan hewani.
Saat pelaksanaan konstruksi seringkali berada di daerah yang tergolong sensitif, yaitu : (a) kawasan
hutan, (b) kawasan rawan bencana, (c) kawasan lindung di luar kawasan hutan, (d) kawasan cagar
budaya, (e) kawasan khusus, (f) kawasan komersial, pemukiman, dan lahan produktif, (g) daerah
komunitas rentan (komunitas adat terpencil dan fakir miskin). Upaya untuk mengetahui seberapa
ramah lingkungan proses pembangunan jalan raya diperlukan instrumen untuk mengetahui seberapa
ramah lingkungan aktivitas proses yang dilakukan oleh kontraktor yang mencakup: Sumber dan
Siklus Material, Manajemen Lingkungan Bangunan, Konservasi Energi, Kualitas Udara, Kesehatan
dan Kenyamanan Dalam Proyek, dan Konservasi Air. Hal ini perlu dilakukan karena penerima
dampak langsung adalah masyarakat dan lingkungan di sekitar proyek.
Kata kunci: Kajian; Proses Konstruksi; Infrastruktur; Jalan Raya.
1.
PENDAHULUAN
Infrastruktur memiliki peran yang signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya saing
perekonomian di suatu negara. Selain sebagai barang modal yang secara langsung dapat menghasilkan produksi,
infrastruktur juga menjadi landasan bagi perekonomian yang secara tidak langsung berpotensi meningkatkan proses
produksi (fasilitas proses transportasi dan irigasi), serta sebagai sarana penting bagi pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang secara tidak langsung mampu meningkatkan produksi. Salah satu jenis infrastruktur yang berperan
penting dalam mewujudkan konektivitas antar daerah adalah jalan raya. Mengingat peran pentingnya infrastruktur
jalan raya dalam pendistribusian barang dan jasa, maka pemerintah Indonesia memprogramkan jalan tol sepanjang
1.000 km yang dimuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019. Penambahan jalan tol sepanjang ± 1.153 km mencakup
Trans Sumatera, Trans Jawa, Tol Samarinda-Balikpapan, dan Tol Manado-Bitung.
Berdasarkan SK Menteri Pekerjaan Umum No. 630/KPTS/M/2009 , panjang jalan di Indonesia terus mengalami
peningkatan, panjang jalan nasional pada survai semester 2 tahun 2014 telah mencapai 38.569,82 km (Buku
Informasi Statistik Pekerjaan Umum, 2015, hal IV-4). Ditinjau dari kualitasnya, infrastruktur jalan raya di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Global Competitiveness
Index bahwa infrastruktur jalan raya di Indonesia mengalami peningkatan dari nilai 3,4 pada tahun 2012-2013
menjadi 3,7 di tahun 2013-2014 dan berada pada urutan ke-78 dari 148 negara (Rencana Strategis Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019, hal 20). Meningkatnya panjang jalan raya di Indonesia
perlu diimbangi dengan peningkatan kualitasnya untuk merespon isu penting yang diagendakan Kementerian
Pekerjaan Umum yaitu keberlanjutan. Kekawatiran akan keberlangsungan kehidupan manusia merupakan salah satu
1
isu penting selain isu keterbatasan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Salah satu konsep yang diyakini
mampu mereduksi isu tersebut adalah pendekatan green dalam mengelola infrastruktur.
2. TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan penelitian adalah melakukan kajian hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menyusun instrumen penilai
konstruksi hijau yang sesuai dengan lingkungan di Indonesia. Hasil kajian dapat dimanfaatkan dalam penyusunan
instrumen penilai jalan hijau di Indonesia.
3. KAJIAN PUSTAKA
Isu “keberlanjutan” telah menjadi bagian penting yang perlu dikaji di tingkat global maupun nasional Indonesia. Hal
ini diperkuat dengan adanya fenomena meningkatnya konsentrasi
di udara yang dipicu terjadinya revolusi
industri pada abad ke-17 dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Hal ini diperkuat oleh Salim, E., (2010)
yang menyatakan bila cara-cara pembangunan tetap dilakukan seperti biasanya tanpa perubahan, maka pada tahun
2050 diperkirakan konsentrasi
akan mencapai 500 part per million (ppm) atau menjadi dua kali lipat
konsentrasinya bila dibandingkan sebelum revolusi industri. Dampak nyata peristiwa ini adalah terjadinya
perubahan iklim yang mengancam kehidupan di Bumi. Oleh sebab itu, para ahli sedunia sepakat menetapkan
konsentrasi
sebesar 450-550 ppm. Di lingkup nasional tepatnya dalam Konferensi Bali pada bulan Desember
2007, Indonesia telah menyepakati tentang pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon dengan cara
menurunkan konsentrasi
di udara sebesar 26% ⁄ 41% di akhir tahun 2020 (Salim 2010, h.11). Tentu
kesepakatan ini perlu direspon positif oleh seluruh sektor bisnis termasuk konstruksi.
Dalam pengelolaan proyek konstruksi, salah satu pendekatan yang perlu diakomodasi adalah pengelolaan proyek
konstruksi yang semula bersifat terpisah atau separated (gambar 1) menjadi terintegrasi (integrated ) di setiap daur
hidupnya. Perbedaan antara kedua pendekatan tersebut terletak pada interaksi setiap tahap yang mengutamakan
terjadinya aliran “nilai” ke tahap-tahap berikutnya serta mekanisme umpan balik di tahap tertentu terhadap tahaptahap sebelumnya. Dengan mekanisme tersebut diatas diharapkan terjadi perbaikan untuk proyek berikutnya.
Studi
Kelayakan
Perencanaan
Pengadaan
Konstruksi
Operasional
Habis pakai
Gambar 1. Manajemen proyek terpisah
Salah satu hal penting bagi negara adalah konektivitas antar daerah sehingga dapat menyalurkan berbagai komoditas
guna mencukupi kebutuhan hidup bagi warganya yang berada di daerah tertentu. Selain itu, ketersediaan
infrastruktur jalan nasional, propinsi, dan kabupaten/kota turut menentukan harga dari sebuah komoditas, oleh sebab
itu isu konektivitas antar daerah menjadi prioritas utama saat ini. Berdasarkan data Statistik Transportasi Darat
Indonesia tahun 2014, data panjang jalan di Indonesia mencapai 517.663 km. Berdasarkan tingkat kewenangan
pembinaannya, 417.793 km (80,71%) merupakan jalan kabupaten/kota. Sedangkan panjang jalan negara dan
provinsi secara berturutan adalah 46.432 km (8,97%) dan 53.438 km (10,32%). Berdasarkan jenis permukaannya,
57,17% dari panjang jalan total merupakan jalan beraspal; 19,72% jenis permukaan kerikil, dan 17,84% jenis
permukaan tanah dan 5,27% lainnya. Terlihat jelas bahwa dominasi permukaan jalan di Indonesia berupa jalan
beraspal dimana prosesnya tidak ramah lingkungan jika menggunakan pencampuran panas. Selain itu, luas lahan
yang diperlukan dalam pembangunan jalan raya relatif luas dan berpotensi mengusik keanekaragaman hayati dan
hewani.
Agenda strategis Kementerian PUPR
Dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019 dimuat
beberapa agenda strategis, antara lain : (a) Pembangunan jalan tol sepanjang 1.000 km, (b) Peningkatan kapasitas
jalan nasional sepanjang 3.073 km, (c) Preservasi jalan nasional sepanjang 47.017 km. Tentu agenda tersebut diatas
akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan rakyat namun berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan jika tidak dikelola secara bijaksana. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan yang tepat agar dampak
negatif yang dihasilkan selama proses konstruksi minimum.
Pendekatan konstruksi hijau
Konstruksi hijau (green construction) didefinisikan sebagai “Suatu perencanaan dan pelaksanaan proses konstruksi
untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan agar tercipta keseimbangan antara daya dukung
lingkungan dengan kebutuhan proses atau kegiatan konstruksi di masa mendatang” (Ervianto, W.I., 2015). Dalam
praktek di lapangan, komponen input (pekerja, material, metoda, peralatan, uang) perlu dikelola secara efisien agar
dihasilkan infrastruktur ramah lingkungan yang diukur oleh : (a) banyak sedikitnya limbah yang dihasilkan, (b)
keselamatan dan kesehatan pekerja konstruksi dalam proyek, dan (c) kesehatan masyarakat di sekitar lokasi proyek.
Dalam penelitian yang dikembangkan oleh Ervianto, W.I., 2015 tentang Pengembangan Model Assessment Green
Construction Pada Proses Konstruksi Untuk Proyek Gedung di Indonesia membagi tujuh aspek penting dalam
proses konstruksi, yaitu :
1. Konservasi energi, tujuannya adalah melakukan pemantauan dan pencatatan pemakaian energi, penghematan
konsumsi energi, dan pengendalian penggunaan sumber energi yang berdampak pada lingkungan selama proses
konstruksi.
2. Konservasi air, tujuannya adalah melakukan pemantauan dan pencatatan pemakaian air, penghematan konsumsi
air, dan menggunakan kembali air selama proses konstruksi.
3. Tepat guna lahan, tujuannya adalah memelihara kehijauan lingkungan serta mengurangi emisi CO2 dan polutan.
Selain itu, untuk mengurangi beban drainase kota yang ditimbulkan oleh limpasan air hujan akibat proses
konstruksi dalam hal jumlah dan kualitasnya.
4. Sumber dan siklus material, maksudnya untuk menahan eksploitasi sumberdaya alam tak terbarukan agar daur
hidupnya lebih lama. Tujuan dalam aspek ini adalah: (a) Menggunakan material lokal bekas bangunan atau
hasil dekonstruksi untuk mengurangi pemakaian material baru sehingga dapat mengurangi limbah di tempat
pembuangan akhir dan memperpanjang usia pakai material. (b) Menggunakan bahan bangunan pabrikasi hasil
proses daur ulang yang ramah lingkungan. (c) Menggunakan bahan baku kayu yang dapat
dipertanggungjawabkan asal usulnya. (d) Menggunakan material lokal untuk mengurangi pemakaian energi
selama proses transportasi.
5. Manajemen lingkungan bangunan, maksud dan tujuannya adalah mengurangi timbulnya limbah sehingga beban
di tempat pembuangan akhir berkurang dan mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana untuk
mempermudah proses daur ulang.
6. Kualitas udara, bertujuan untuk mengurangi terjadinya pencemaran udara yang ditimbulkan oleh bahan
bangunan dan peralatan yang digunakan selama proses konstruksi berlangsung.
7. Kesehatan dan kenyamanan dalam proyek, tujuannya adalah mengurangi dampak asap rokok di udara,
mengurangi polusi zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia, menjaga kebersihan dan kenyamanan
lingkungan proyek.
Ketujuh aspek tersebut diatas diadopsi untuk mengembangkan instrumen konstruksi hijau untuk proyek jalan raya
dengan pertimbangan bahwa pada tingkat aspek konstruksi hijau masih sesuai antara proyek gedung dengan proyek
jalan raya, sedangkan perbedaannya terletak pada indikator konstruksi hijau yang disebabkan karena di tingkat
indikator merepresentasikan aktivitas proses konstruksi di proyek, dimana aktivitas dalam proyek gedung relatif
lebih banyak dibanding proyek jalan.
4. PELAKSANAAN PEKERJAAN
Salah satu karakteristik pekerjaan jalan adalah luasnya lahan yang harus dikelola oleh kontraktor. Tidak jarang
ditemui saat pelaksanaan konstruksi berada di daerah yang tergolong sensitif, yaitu : (a) kawasan hutan, (b) kawasan
rawan bencana, (c) kawasan lindung di luar kawasan hutan, (d) kawasan cagar budaya, (e) kawasan khusus, (f)
kawasan komersial, pemukiman, dan lahan produktif, (g) daerah komunitas rentan (komunitas adat terpencil dan
fakir miskin). Bila trase jalan yang direncanakan akan melewati daerah tersebut diatas maka aktivitas konstruksi
wajib mentaati peraturan daerah setempat. Hal ini perlu dilakukan karena penerima dampak langsung adalah
masyarakat dan lingkungan di sekitar proyek. Aktivitas konstruksi dalam pekerjaan jalan dibedakan menjadi dua,
yaitu : (a) persiapan pelaksanaan pekerjaan jalan, (b) pelaksanaan/proses konstruksi pekerjaan jalan.
a. Persiapan pelaksanaan pekerjaan
Dalam tahap ini mencakup hal-hal sebagai berikut : (1) Mobilisasi tenaga kerja, kebutuhan pekerja dalam proyek
diutamakan pekerja yang berasal dari sekitar lokasi proyek atau setempat dengan pertimbangan carbon footprint
yang dihasilkan akibat proses transportasi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan mendatangkan pekerja dari
luar lokasi proyek; (2) Mobilisasi peralatan berat, kegiatan ini mencakup pengadaan peralatan berat yang akan
digunakan, baik menggunakan mekanisme sewa atau milik sendiri. Pemilihan peralatan yang akan digunakan
diutamakan tahun pembuatannya yang relatif baru agar konsumsi energi yang digunakan efisien. Selain itu, perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan operator alat berat diutamakan yang mempunyai sertifikat agar produktivitasnya
lebih pasti sehingga durasi pelaksanaan pekerjaan menjadi lebih singkat; (3) Pembangunan jalan masuk dan akses
jalan, pada umumnya berupa pembuatan jalan baru atau peningkatan jalan eksisting sehingga berpotensi
menimbulkan pencemaran debu dan kebisingan; dan (4) Pembangunan base camp, berfungsi untuk mendukung
pelaksanaan pekerjaan yang mencakup kantor proyek, gudang material, bengkel, stone crusher , batching plant,
penyimpanan alat berat, dan barak pekerja. Fasilitas ini hendaknya ditempatkan di sekitar lokasi proyek.
b. Pelaksanaan pekerjaan
Pengelolaan dalam tahap konstruksi mencakup tiga hal yaitu pengelolaan di lokasi tapak proyek; pengelolaan di
lokasi quarry dan jalur pengangkutan material; pengelolaan di lokasi base camp (gambar 2).
Pelaksanaan Pekerjaan
Infrastruktur Jalan
Lokasi Tapak Proyek
Lokasi Quarry Dan Jalur
Pengangkutan Material
Lokasi Base Camp
Gambar 2. Pengelolaan di tahap konstruksi
Pengelolaan lokasi tapak proyek
Aktivitas yang dilakukan dalam tahap ini adalah : (a) Pembersihan lahan, yang mencakup pembersihan vegetasi
berupa semak belukar dan pepohonan. Dalam prinsip green, wajib menghindari menebang pohon namun apabila
sangat terpaksa maka dianjurkan untuk memindahkan pohon ke lokasi lain. Sedangkan pohon yang berada di sekitar
tapak proyek perlu dilindungi agar tidak rusak akibat proses konstruksi. (b) Pekerjaan tanah, diawali dengan
pengupasan tanah bagian atas (top soil) berupa humus karena lapisan ini dapat mempengaruhi kekuatan bangunan
jalan. Kedalaman lapisan humus bervariasi tergantung dari lokasi dan jenis tanah pada lahan tersebut. Mengingat
manfaat lapisan humus baik digunakan untuk kegiatan bercocok tanam (pertanian dan perkebunan) maka disarankan
untuk dipindahkan ke tempat lain yang membutuhkan. Untuk aktivitas galian dan timbunan, perlu dihitung dan
direncanakan sebaik mungkin terutama informasi volume galian dan timbunan serta skema pemindahan tanah dari
sumber ke tujuan agar diperoleh jarak terpendek sehingga konsumsi energi yang digunakan minimum. Selain itu
perlu perhatian tentang kualitas udara dalam proyek, persoalan kebisingan, pencemaran air permukaan dan air tanah,
terganggunya stabilitas lereng, perubahan bentang alam dan terusiknya situs/cagar budaya. (c) Pekerjaan badan jalan
meliputi :
1.
Pekerjaan pondasi bawah, material yang digunakan adalah pasir dan batu (sirtu) melalui proses penghamparan,
pencampuran, penataan, dan pemadatan. Potensi dampak negatif yang ditimbulkan adalah pencemaran udara
berupa debu.
2.
Pekerjaan pondasi atas, material yang digunakan adalah batu pecah. Potensi dampak negatif yang ditimbulkan
oleh aktivitas ini adalah pencemaran udara berupa debu.
3.
Lapis perkerasan, terdapat dua jenis lapis perkerasan yaitu perkerasan lentur dan perkerasan kaku. Lapis
perkerasan lentur umumnya menggunakan aspal melalui pencampuran panas dalam suhu tinggi, dampak negatif
yang ditimbulkan adalah besarnya kebutuhan energi/bahan bakar yang berpotensi menimbulkan emisi dan gas
buang.
4.
Penghijauan dan pertamanan, aktivitas ini mencakup pemasangan gebalan rumput, penanaman tanaman berupa
semak, perdu, pohon di tepi dan median jalan serta pulau jalan. Jenis tanaman yang ditanam harus memenuhi
kriteria tertentu agar diperoleh manfaat terbaiknya namun tetap mengutamakan keselamatan pengguna jalan.
Tujuan aktivitas ini untuk mengurangi pencemaran udara, mengurangi tingkat kebisingan, mencegah erosi dan
longsor serta fungsi estetika dan kenyamanan bagi pengguna jalan.
Pengelolaan lokasi quarry dan jalur transportasi material
Kebutuhan material untuk pembangunan jalan berupa batu pecah, pasir batu (sirtu) dapat dicukupi melalui quarry
yang berada di sekitar lokasi proyek. Namun demikian perlu mempertimbangkan aspek kemampuan supply setiap
quarry yang ada dan demand di sepanjang ruas jalan agar tercapai kondisi optimum yang diukur dalam konsumsi
energi yang dibutuhkan selama proses transportasi (gambar 3). Selain itu, potensi terjadinya dampak negatif selama
proses transportasi material berlangsung adalah timbulnya polusi udara dalam bentuk debu yang bersumber dari
material yang diangkut. Untuk itu perlu direncanakan proses pengangkutan guna meminimumkan timbulnya debu,
misalnya menggunakan penutup terpal di bagian bak truk. Selain proses transportasi material, pendekatan ramah
lingkungan juga harus dilakukan terhadap aktivitas proses dalam quarry berupa emisi yang ditimbulkan mulai dari
tambang hingga siap untuk ditransportasikan ke lokasi proyek (gambar 4).
Q3
Akhir
Ruas jalan
Q1
Awal
Q2
Catatan Q: Quarry
Gambar 3. Optimalisasi transportasi material dari quarry ke lokasi proyek
emisi
Pemecahan
material
Butiran
terlalu besar
Mulai
emisi
emisi
emisi
emisi
Tambang
Transportasi
material
Penampungan
material
Pembersihan
material
Pemeriksaan
ukuran butiran
material
Butiran
tidak terlalu besar
emisi
Penyemprotan air
Pemisahan
butiran material
Pasir
Kerikil
Penyimpanan
material kerikil
emisi
Penyimpanan
material pasir
Selesai
Gambar 4. Bagan alir proses penyediaan material pasir dan kerikil dari tambang ke quarry
Pengelolaan base camp
Base camp merupakan bangunan fasilitas pendukung bersifat sementara yang terdiri dari kantor proyek dan barak
pekerja sebagai tempat tinggal bagi pekerja konstruksi yang berasal dari luar daerah. Kedua fasilitas ini diletakan di
luar lokasi proyek demi keamanan dan kesehatan. Namun demikian jika sangat terpaksa dengan mempertimbangkan
faktor transportasi dan ketersediaan lahan, maka fasilitas ini dimungkinkan diletakan di dalam lokasi proyek akan
tetapi secara tegas perlu dipisahkan antara barak pekerja dan area kerja.
Kantor di proyek merupakan salah satu fasilitas yang harus ada di setiap proyek konstruksi. Umumnya kontraktor
memanfaatkan material kayu/multipleks sebagai pembentuk kantor di proyek. Pemanfaatan kayu tidak selalu
negatif, namun perlu dipenuhi ketentuan antara lain kayu dipanen dari hutan legal. Alternatif lain dapat
menggunakan kontainer yang umumnya digunakan untuk keperluan eksport/import berbagai macam barang.
Beberapa keunggulan kontainer antara lain adalah : (a) Lebih kokoh, (b) Lebih rapi, (c) Mudah dipindahkan, (d)
Tahan terhadap cuaca panas/hujan, (e) Tidak mudah lapuk, (f) Dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, (g)
Lahan yang dibutuhkan relatif sempit, (h) Dimungkinkan disusun secara vertikal, (i) Dapat dipasang bahan anti
panas dan kedap suara untuk memberikan kenyamanan penggunanya, (j) Dapat dipasang instalasi listrik untuk
penggunaan perangkat komputer, laptop, dispenser, printer, mesin fotocopy, air conditioning (AC), (k) Dapat
dimodifikasi untuk menambahkan kamar mandi, toilet, ruang tidur, serta dipasang keramik sebagai lantainya, (l)
Mempunyai umur pakai lebih lama, (m) Mempunyai nilai ekonomis yang lebih baik setelah habis masa pakainya.
Barak pekerja merupakan fasilitas untuk tinggal bagi pekerja konstruksi, dengan beberapa persyaratan sebagai
berikut : (a) Struktur bangunan harus kokoh dan tidak mudah terbakar, (b) Menyediakan fasilitas mandi-cuci-kakus
yang memadai dan dilengkapi sistem pembuangan air yang memenuhi persyaratan kesehatan, (c) Menyediakan air
bersih yang cukup untuk keperluan mandi, masak, dan keperluan lain, (d) Menyediakan dapur untuk keperluan
memasak yang aman dan tidak mudah terbakar, (e) Lingkungan di sekitar barak pekerja perlu dijaga kebersihannya.
5. KESIMPULAN
Mengintegrasikan “nilai” di setiap tahap dalam daur hidup proyek salah satunya di tahap konstruksi yang dapat
dibedakan menjadi tiga bagian penting, yaitu : (a) pengelolaan di lokasi tapak proyek yang terdiri dari pembersihan
lahan, pekerjaan tanah, dan pekerjaan badan jalan. (b) pengelolaan di quarry dan jalur pengangkutan material perlu
diterapkan pendekatan kuantitatif untuk mendapatkan skenario terbaik yang diukur dalam perspektif biaya dan
ramah lingkungan. (c) pengelolaan di base camp mengutamakan kesehatan dan keselamatan bagi seluruh pekerja
konstruksi melalui proses edukasi terutama dalam hal perilaku ( behaviour ) pekerja konstruksi untuk
keberlangsungan lingkungan.
Kegiatan selanjutnya perlu ditetapkan indikator konstruksi hijau yang sesuai dengan alam Indonesia dengan
mempertimbangkan bahwa infrastruktur jalan berfungsi untuk menghubungkan antar daerah (kota, kabupaten,
propinsi). Oleh sebab itu, indikator konstruksi hijau selayaknya mengakomodasi potensi lokal daerah setempat.
6. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Transportasi Darat Indonesia 2014 .
Departemen Pekerjaan Umum. (2009). Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Jalan .
Ervianto, W.I. (2015). “Pengembangan Model Assessment Green Construction Pada Proses Konstruksi Untuk
Proyek Gedung di Indonesia”. Institut Teknologi Bandung.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2015). Informasi Statistik Infrastruktur Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2015). Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2014). Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Salim, E. (2010). Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Gramedia, Jakarta.