Peran Pers dalam Proses Pembuatan Kebija

PERAN PERS DALAM PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN
DI INDONESIA
(KAJIAN TERHADAP RUANG PUBLIK DALAM
UU NO 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN)
Makalah ini disusun sebagai Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Komunikasi Politik

Disusun Oleh :
FEBY GRACE ADRIANY
147045003

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

PENDAHULUAN

Dinamika sistem pers di Indonesia terus mengalami pasang surut. Pasca
reformasi, cita-cita besar untuk membangun sistem pers yang sejalan dengan proses
demokrasi nampaknya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.


Salah satu

permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah lemahnya penerapan regulasi terutama
terkait penyiaran.
Terdapat dua macam regulasi, yaitu regulasi media yang mempergunakan ranah
publik dan yang tidak mempergunakan ranah publik. Media yang tidak mempergunakan
ranah publik misalnya buku, surat kabar, majalah dan film pada prinsipnya hanya
sedikit mengalami intervensi pemerintah. Pengaturannya berdasarkan self regulatory.
Sedangkan lembaga penyiaran televisi diatur secara ketat (highly regulated). Mengapa
diberlakukan regulasi yang sangat ketat terhadap penyiaran televisi? Pertama karena
media ini mempergunakan ranah publik, free to air. Spektrum gelombang radio dalam
bentuk frekuensi yang dipergunakan media penyiaran adalah milik publik, yang harus
dipergunakan dan dimanfaatkan bagi seluas-luasnya kesejahteraan publik. Frekuensi ini
dipakai dan dipinjam sementara oleh pemodal dan pemilik stasiun televisi1.
Kedua, frekuensi ini bersifat terbatas (scarcity theory). Sebuah kanal frekuensi
yang dalam teknologi analog hanya dapat dipergunakan dan memuat 1 program siaran
televisi, dan nantinya dalam sistem digital akan berkembang dan bisa menampung 6
hingga 12 program siaran televisi. Ketiga, siaran televisi dapat memasuki dan
menembus ruang keluarga, ruang tidur dalam rumah kita secara serentak dan tanpa

diundang (pervasive presence theory). Dengan demikian secara jelas dapat kita lihat
bahwa industri penyiaran bukan seperti industri lainnya.
Kehidupan pers dan media massa tentu tidak bisa dilepaskan dari sistem politik
yang berlaku pada suatu negara. Bahkan peran penting pers disetarakan kekuatannya
dengan kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Demokrasi di Indonesia pasca 1998
dinyatakan salah satunya melalui desentralisasi melalui otonomi daerah. Dengan sistem
ini maka akan terbangun juga sistem penyiaran yang menjamin keberagaman dalam hal
distribusi frekuensi yang berhubungan dengan isi dan kepemilikan.

1

Amir Effendi Siregar. Menegakkan Demokratisasi Penyiaran : Mencegah Konsentrasi, Membangun
Keberagaman. Kompas 15 Februaru 2012 dalam Mengawal Demokratisasi Media : Menolak Konsentrasi,
Membangun Keberagaman. 2014. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Namun demikian di Indonesia kini kontrol terhadap media massa sudah
mengalami pergeseran. Jika sebelumnya terpusat pada negara sebagai penguasa, kini
kontrol dipegang oleh pasar bebas yang cenderung tidak terkontrol yang pada akhirnya
melahirkan otoritarian baru dan membunuh demokrasi.
UU No 32 Tahun 2002 tentang penyiaran telah membuka ruang cukup besar

bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap negara, pemerintah dan masyarakat
melalui media massa. Ruang publik yang memungkinkan publik memperoleh informasi
dan mendiskusikan persoalan publik tanpa tekanan dari pihak manapun, terwujud dalam
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Peran dan tanggung jawab KPI cukup besar untuk
mampu menjaga kepentingan publik di tengah sistem politik dan sistem ekonomi
Indonesia. Namun seiring perjalanan waktu KPI dianggap sebagai „macan ompong‟
yang tidak punya kekuasaan besar mengatur sistem penyiaran. Undang-undang
Penyiaran pun seperti setengah hati memberikan jalan bagi KPI. Padahal bila regulasi
penyiaran bisa ditegakkan secara tegas oleh KPI, akan juga mendorong partisipasi
publik dalam sistem politik melalui media massa. Kesamaan akses memperoeh
informasi oleh masyarakat merupakan wujud demokrasi itu sendiri yang berakhir pada
tepatnya kebijakan yang disusun oleh pemerintah.

PEMBAHASAN

PERS DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA

Pers di tanah air telah mengalami perubahan seiring dengan kondisi yang
dialami oleh bangsa Indonesia. Reformasi tahun 1998 menjadi salah satu pintu masuk
perubahan yang berimplikasi cukup besar terhadap wajah pers Indonesia. Sistem politik

pada masa orde baru yang dianggap otoritarian, berganti menjadi sistem politik
demokratis atau dalam cara pandang lain dikatakan liberal.
Negara (state) memiliki peran sentral pada pelaksanaan sistem pers khususnya
penyiaran pada masa Orde Baru. Dalam UU No 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang
menjadi payung hukum saat itu dikatakan “Penyiaran dikuasai oleh Negara yang
pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh Pemerintah”. Pada prakteknya hal
tersebut betul-betul dilakukan melalui Departemen Penerangan khususnya Ditjen Radio
Televisi dan Film (RTF)2. Berdasarkan UU tersebut juga, lembaga penyiaran saat itu
terbagi menjadi Lembaga Penyiaran Pemerintah, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga
Penyelenggara Siaran Khusus dan Lembaga Penyiaran Asing.
Orde Reformasi menuntut adanya sistem penyiaran yang juga lebih demokratis,
yang sangat berbeda jauh dengan sistem penyiaran pada masa Orde Baru. UU No 24
Tahun 1997 pun dianggap sudah tidak relevan lagi dan digantikan dengan UU No 32
Tahun 2002. Undang-undang baru ini diharapkan mampu mewujudkan sistem
penyiaran yang berjalan dalam logika publik yang kuat, dan menjamin persaingan antar
media yang sehat. UU No 32 Tahun 2002 melahirkan empat jenis lembaga penyiaran
yaitu Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran
Berlangganan dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Lembaga Penyiaran Publik dan
Komunitas merupakan respon atas tuntutan sistem penyiaran yang dapat mengakomodir
kepentingan publik dengan baik.

Kemerdekaan pers menjadi satu hal yang digadang-gadang memasuki era
reformasi. Dijaminnya kebebasan pers dalam suatu negara merupakan perwujudan dari
pelaksanaan demokrasi. Kebebasan pers memungkinkan pers menjalankan peran dan
fungsinya sebagai pemberi informasi, pendidikan, menghibur dan kontrol sosial.
2

Hermin Indah Wahyuni dan Andi Awaluddin Fitrah. Sistem Penyiaran Indonesia dalam Perspektif
Sistem Autopoetic Niklas Luhman (Eksplorasi dan Refleksi Autopoetic Sistem Penyiaran Indonesia). Masa
Depan Komunikasi, Masa Depan Indonesia : Dinamika Media Penyiaran.2014. Jakarta : ISKI. Hal. 12-13

Kebebasan pers juga memungkinkan sistem politik bisa berjalan dengan baik karena
komunikasi politik dari suprastruktur maupun infrastruktur tidak tersumbat.
Pers sendiri kini dikenal sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of
democracy) setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam arti media

dianggap memiliki kekuatan yang besar untuk mengontrol pemerintah dan masyarakat.
Istilah „pilar keempat‟ menurut McQuail (2011: 186) disebutkan oleh Edmund Burke di
Inggris pada akhir abad ke-18 untuk merujuk pada kekuasaan politik yang dimiliki pers,
setara dengan ketiga „pilar‟ lainnya dalam kehidupan di Inggris saat itu.
Media massa atau pers dalam pembahasan mengenai demokrasi sering dikaitkan

dengan

bagaimana

warga

negara

dapat

merealisasikan

atau

mewujudkan

kewarganegaraannya. Merujuk pada konsep kewarganegaraan yang dikembangkan oleh
T. H. Marshall (dalam Murdock dan Golding, 1989 : 180-195) paling tidak ada tiga
dimensi kewarganegaraan : sipil, politik dan sosial. Hak-hak sipil berkaitan dengan
kebebasan gerak individual dalam ruang masyarakat sipil, termasuk di dalamnya

kebebasan berbicara, kebebasan berpikir dan beragama, kebebasan untuk bergerak dan
berasosiasi, serta kebebasan untuk memiliki dan mengatur kepemilikannya.
Sedangkan hak-hak politik terkait dengan kondisi-kondisi yang menjamin orang
untuk berpartisipasi dlam penggunaan kekuatan politik dengan menguasai lembaga
negara, memilih anggota dewan perwakilan yang merumuskan kebijakan dan
mengeluarkan berbagai aturan serta dengan melibatkan diri dalam pelaksanaan hukum
melalui keanggotaan sebagai .juri‟. Hanya dengan demikian, warga negara memberikan
legitimasi bagi pemerintah untuk memerintahnya. Hal sosial berkaitan dengan hak
setiap warga negara untuk memperoleh jaminan standar dasar kehidupan dan
kesejahteraan. Ini biasanya direalisasikan melalui pelembagaan negara kesejahteraan
(welfare state).
Murdock dan Golding memberi interpretasi baru terhadap ketiga hak ini.
Menurut mereka warga negara juga berhak memperoleh akses universal pada fasilitas
komunikasi dan informasi, karena hal ini menyangkut kondisi-kondisi yang
memungkinkan rakyat mewujudkan hak-hak kewarganegaraan mereka termasuk hal
berpartisipasi dalam kehidupan politik3. Dengan demikian, hak untuk mengakses
informasi menjadi prasyarat dasar bagi perealisasian kewarganegaraan.

3


I Gusti Ngurah Putra. Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 3, No 2, Juni
2004 : 119-142. Diakses dari http://jurnal.uajy.ac.id

Lebih lanjut Murdock dan Golding (1989:183-184) melihat adanya tiga jenis
hubungan antara komunikasi dan kewarganegaraan. Pertama, orang harus punya akses
pada informasi, nasehat-nasehat dan analisis yang memungkinkan mereka untuk
mengetahui hak-hak mereka di ruang lain dan memungkinkan mereka untuk mencapai
hak ini secara efektif. Kedua, mereka harus punya akses kepada kemungkinan
jangkauan atau cakupan informasi yang paling luas, interpretasi dan debat pada bidangbidang yang melibatkan pilihan politis dan mereka harus mampu menggunakan fasilitas
komunikasi dalam usaha untuk melakukan kritik, memobilisasi oposisi dan
menawarkan alternatif tindakan. Ketiga, mereka harus mampu mengetahui diri mereka
dan aspirasi mereka dalam beragam perwakilan yang ditawarkan dalam sektor
komunikasi penting dan mampu menyumbang pengembangan perwakilan-perwakilan
tersebut.
Berdasarkan hubungan tersebut, Mudock dan Golding berpendapat bahwa
sistem komunikasi dan informasi harus memiliki dua ciri utama. Pada tingkat produksi,
ia harus menawarkan keberagaman dan menyediakan umpan balik dan kemungkinan
partisipasi bagi khalayak. Pada tingkat konsumsi, ia harus dapat menjamin akses
universal orang terhadap lembaga komunikasi terlepas dari penghasilan dan tempat
tinggal orang. Dengan pertimbangan tersebut, sistem media yang biasanya diatur

melalui undang-undang harus menjamin kedua kepentingan tersebut.
Dikaitkan dengan kehidupan politik, media massa harus mampu menyajikan
informasi tentang berbagai isu publik bagi setiap warga negara, sehingga mereka dapat
menentukan pilihan-pilihan dan dukungan politis yang dibuatnya secara memadai.
Warga negara dapat menentukan pilihannya berdasarkan informasi yang tersedia. Atas
dasar itu, fungsi media massa atau pers dalam demokrasi mencakup: pers atau media
sebagai civic forum, pers sebagai pengawas pemerintah atau lembaga-lembaga publik
dan pers sebagai agen mobilisasi dukungan warga terhadap suatu posisi politis (Norris,
2001). Inilah tiga fungsi yang dapat dipakai sebagai patokan atau kriteria dalam
mengukur kinerja media dikaitkan dengan demokrasi.
Fungsi lain pers dalam masyarakat demokratis berkaitan dengan kenyataan
bahwa demokrasi dapat berjalan bila terpenuhinya hak-hak politik dan kebebasan sipil
dalam melindungi kepentingan kelompok minoritas dari kemungkinan penyalahgunaan
kekuasaan. Dalam konteks ini, pers memiliki fungsi sebagai watchdog (anjing penjaga)
yang berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang
politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta. Ini dilakukan agar

mereka bertanggungjawab terhadap segala tindakan mereka. Pers sebagai kekuatan
keempat setelah yang dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya
check and balances dari berbagai kekuasaan yang ada harus mampu melahirkan


laporan-laporan investigatif untuk menampilkan berbagai penyelewengan kekuasaan
yang berlangsung dalam lembaga yang ada.
Untuk itu, para pekerja pers dituntut agar dapat melakukan peliputan bukan saja
yang berupa peristiwa-peristiwa sesaat dalam bidang politik yang seringkali hanya
menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat permukaan, tetapi juga membuat
laporan yang lebih mendalam tentang berbagai kehidupan para pemegang kekuasaan.
Dengan demikian, pers akan mampu memberi informasi yang berbeda dengan
informasi yang mungkin sudah diatur sedemikian rupa oleh para politisi untuk menjaga
citra mereka.

RUANG PUBLIK DALAM UU NO 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN
Media massa sebagai civic forum biasanya dikaitkan dengan konsep ruang
publik (publik sphere) oleh Jurgen Habermas. Habermas menyatakan bahwa terdapat
ruang atau suasana yang memungkinkan orang sebagai warga negara mendiskusikan
persoalan publik secara bebas tanpa restriksi dari kekuatan politik, sosial dan ekonomi
yang ada. Sebagai civic forum, media massa atau pers harus berfungsi pada tingkat yang
umum sebagai saluran bagi pemerintah dan yang diperintah untuk berkomunikasi secara
efektif. Pers atau media massa bertindak sebagai penghubung penting yang
menghubungkan secara horizontal para politisi dan secara vertikal antara aktor-aktor

politikdan para pemilih atau warga negara biasa.
Dari gagasan ini, pers harus mampu memberi peluang pada perdebatan di
kalangan warga negara tentang berbagai isu publik. Oleh karena itu, menurut Norris
media massa harus menyajikan liputan politik yang komprehensif dan mudah untuk
diakses oleh seluruh sektor atau kelompok warga. Sebagai forum warga, media harus
mampu merefleksikan keanekaragaman politis dan kultural yang ada dalam masingmasing masyarakat, tentu dengan tetap menggunakan standar-standar jurnalistik yang
ada. Standar-standar jurnalistik untuk melihat kinerja media mencakup di dalamnya
aspek objektivitas yang meliputi dimensi faktualitas dan impartialitas. Dalam dimensi
faktualitas tercakup dialamnya kebenaran, relevansi dan keinformatifan, sedangkan
dalam prinsip impartialitas terdapat aspek balance / non-partisanship dan penyajian
netral (dalam McQuail, 1992).

Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang penyiaran lahir dengan semangat
penggebrakan otoritarianisme. Ide untuk mengubah sistem otoriter menuju sistem
demokratis dengan membawa kembali frekuensi ke ranah publik tertuang dalam
undang-undang ini. Terdapat lima indikator dalam melihat undang-undang ini lebih
demokratis (1) kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator
penyiaran; (2) munculnya sistem siaran berjaringan; (3) dijaminnya keberadaan
lembaga penyiaran komunitas dan publik; (4) pembatasan lembaga penyiaran swasta;
dan (5) niatan mendorong lembaga penyiaran (utamanya televisi) lokal. Undang-undang
ini kemudian dilengkapi sejumlah regulasi pendukung seperti Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Menteri (Permen) dan Keputusan Menteri (Kepmen). Sebagian besar
regulasi penyiaran ini mengarah pada penataan teknis sampai perijinan dan segala tata
cara penyelenggaraan penyiaran.
Tabel 1 : Daftar Peraturan Pemerintah (PP) terkait Penyiaran4
No
1.

Nama Peraturan

Peraturan Pemerintah No 11 Tahun Penyelenggaraan
2005

2.

4.

Penyiaran

Lembaga

Penyiaran Asing
lembaga

Penyiaran

Lembaga

Penyiaran Komunitas

Peraturan Pemerintah No 52 Tahun Penyelenggaraan
2005

Penyiaran

Penyiaran Swasta

Peraturan Pemerintah No 51 tahun Penyelenggaraan
2005

7.

Lembaga

Penyiaran Publik TVRI

Peraturan Pemerintah No 50 Tahun Penyelenggaraan
2005

6.

Penyiaran

Peraturan Pemerintah No 49 Tahun Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga
2005

5.

Lembaga

Penyiaran Publik RRI

Peraturan Pemerintah No 13 Tahun Penyelenggaraan
2005

Penyiaran

Penyiaran Publik

Peraturan Pemerintah No 12 Tahun Penyelenggaraan
2005

3.

Hal yang Diatur

Penyiaran

Lembaga

Penyiaran Berlangganan

Dalam UU No 32 Tahun 2002 pasal 8 ayat 1 disebutkan “KPI sebagai wujud
peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan
4

Wahyuni, Loc.Cit.

masyarakat akan penyiaran”, artinya peran serta masyarakat sebagai warga negara
terhadap akses informasi dan komunikasi melalui media massa dilakukan melalui KPI.
Begitupun dalam pasal 8 ayat 3 dikatakan „KPI mempunyai tugas dan kewajiban : a.
menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan
hak asasi manusia; b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; c.
ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri
terkait; d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; e.
menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik dan
apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan

f. menyusun

perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di
bidang penyiaran.‟
Anggota KPI pun ditetapkan berasal dari non-partisan, bukan pejabat
pemerintahan, bukan anggota legislatif dan yudikatif serta tidak terkait langsung
ataupun tidak langsung dengan kepemilikan media massa. Setidaknya melalui institusi
KPI, ruang publik (public sphere) seperti yang diungkapkan oleh Habermas bisa
terwujud. Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik akses untuk
menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi,
termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam „ruang‟ negara dan pasar.
Habermas berargumen bahwa ruang publik dapat menjadi konsep ideal demokrasi suatu
negara pada saat ini.

REALITAS PERAN PERS DALAM PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN DI
INDONESIA

Perjalanan UU NO 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tak lepas dari berbagai
kontroversi, sebagian pihak pro terhadap isi undang-undang tersebut, namun sebagian
lainnya menolak. Tindakan menolak isi undang-undang ini dilakukan dalam berbagai
bentuk antara lain unjuk rasa, penerbitan artikel, propaganda sepihak hingga pengajuan
judicial review kepada Mahkamah Agung.

Salah satu isi undang-undang yang dijadikan keberatan dan tarik ulur pihakpihak yang berkepentingan adalah mengenai Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), utamanya
media televisi. Pada dasarnya SSJ berangkat dari semangat otonomi daerah dan
desentralisasi sebagai bentuk demokratisasi di bidang Penyiaran. Selama ini Indonesia
menerapkan sistem penyiaran televisi secara terpusat (sentralisasi), dimana sejumlah

stasiun televisi yang berlokasi di Jakarta melakukan siaran secara nasional. Sistem
penyiaran model ini dinilai tidak adil dalam suatu negara demokratis karena tidak
memberi peluang kepada masyarakat di daerah.
Stasiun televisi di Jakarta melakukan siaran secara nasional dengan
menggunakan stasiun-stasiun relai / transmitter di setiap daerah. Isi siaran pun
sepenuhnya disiapkan dari Jakarta dan disiarkan ke seluruh rumah penduduk di seluruh
Indonesia. Menurut Ade Armando dalam artikelnya “Industri Pertelevisian dan Ilusi
Kebhinekaan Indonesia” hal ini berdampak sangat serius dan merugikan masyarakat
bahkan berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi politik dan budaya daerah di luar
Jakarta.
Dampak pelaksanaan sentralisasi penyiaran dari segi politik, penonton di setiap
daerah di luar Jakarta tidak bisa melihat dirinya dan tidak bisa memperoleh informasi
yang relevan dengan kepentingan di daerah mereka melalui layar televisi. Misalnya saja
saat ini masyarakat di luar Jakarta lebih tahu apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI
Jakarta daripada kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah di daerahnya
sendiri. Berita-berita daerah seringkali hanya dihadirkan sebagai pelengkap. Butuh nilai
berita yang sangat besar untuk membuat isu daerah menjadi sorotan secara nasional,
misalnya saja bencana alam, kasus korupsi besar, tawuran dan persoalan-persoalan
sensasional lainnya. Ketika masyarakat daerah tidak mengetahui secara baik mengenai
permasalahan dan isu-isu yang ada di daerahnya melalui media massa, maka sulit
mengharapkan umpan balik ataupun tanggapan dari masyarakat dalam proses
pembuatan kebijakan oleh negara dalam hal ini tataran daerah.
Namun hingga saat ini walaupun sudah diamanatkan dalam UU No 32 Tahun
2002, sistem siaran berjaringan ini belum menampakkan wujudnya. Padahal dalam Bab
XI Ketentuan Peralihan UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 60 ayat 2
disebutkan bahwa lembaga penyiaran televisi wajib menyesuaikan dengan ketentuan
dalam UU Penyiaran paling lama 3 tahun setelah undang-undang tersebut diterbitkan.
Implementasi sistem stasiun berjaringan memang tidak dapat dipisahkan dari
persoalan teknis pihak yang menjalankannya. Oleh karena itu pelaksanaan sistem
tersebut sempat ditunda melalui PP No 50 Tahun 2005 yang secara eksplisit
memberikan tenggat 28 Desember 2007 untuk penerapan sistem stasiun jaringan.
Namun hingga batas waktu, implementasi sistem masih belum dilakukan hingga lahir
peraturan Menkominfo No 32 tahun 2007 yang mengulur tenggat menjadi 28 Desember
2009 dan tetap belum terealisasi hingga saat ini. Muncul banyak kecurigaan bahwa

penundaan demi penundaan yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari proses ekonomi,
politik dan sosial masyarakat. Menurut Boyd Barret, perspektif ekonomi politik yang
sekarang sering digunakan untuk mengkaji keberadaan media massa dalam masyarakat
dianggap mempunyai signifikansi kritis yang biasanya dihubungkan dengan
kepemilikan dan kontrol media yang mengaitkan industri media dengan industri lain,
dengan elit politik, ekonomi dan sosial.(Boyd Barret,1995:186).
KPI sendiri yang kehadirannya sudah diterima secara bulat melalui UU No 32
Tahun 2002 pada prakteknya juga tidak berdaya mengatur sistem penyiaran di
Indonesia. KPI tak lebih hanya menjadi lembaga pengawas isi siaran dengan
kewenangan yang sangat terbatas jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga serupa di
beberapa negara yang sistem penyiarannya berjalan baik seperti Inggris, Australia,
Amerika dan Jepang. Izin penyiaran bukan dikeluarkan oleh KPI tetapi oleh
pemerintah. Di samping itu pemerintah juga masih ingin tetap mengintervensi dengan
bersama KPI mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang seharusnya
sepenuhnya dilakukan oleh KPI. KPI masih dianggap sebagai sebuah institusi peran
serta masyarakat, dan bukan sebagai lembaga negara, padahal dalam undang-undang
dinyatakan kehidupan KPI dibiayai oleh negara5.
Dengan demikian seharusnya dinyatakan secara tegas bahwa KPI adalah
lembaga negara yang independen yang mengeluarkan izin penyelenggaraan berdasarkan
alokasi frekuensi yang diberikan oleh pemerintah. Selanjutnya KPI jugalah yang
mengatur lembaga penyiaran sekaligus memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh lembaga penyiaran.
Dalam UU No 32 Tahun 2002 juga terkandung prinsip diversity of ownership
dan diversity of content yang harus menjadi pedoman dalam mengatur dunia penyiaran.
Sistem yang dikembangkan menggambarkan kehadiran stasiun penyiaran jaringan dan
stasiu penyiaran lokal. Untuk stasiun penyiaran lokal, kepemilikan mayoritas harus
berada pada penduduk lokal dan isinya harus mencerminkan keinginan masyarakat
lokal. Tanpa adanya jaminan ini maka akan membuka peluang munculnya
otoritarianisme baru yaitu otoritarianisme kapital dan oligopoli oleh segelintir orang
atas nama freedom dan dengan sendirinya membunuh demokrasi. Konsentrasi
kepemilikan media di Indonesia yang dikuasai oleh 12 grup besar sudah mencapai taraf
5

Amir Effendi Siregar. RUU Penyiaran, Beberapa Catatan Kritis. Kompas, 4 September 2002 dalam
Mengawal Demokratisasi Media : Menolak Konsentrasi, Membangun Keberagaman. 2014. Jakarta :
Penerbit Buku Kompas

yang membahayakan hak-hak warga negara dalam bermedia karena informasi yang
dikelola lebih mewakili kepentingan pemilik dan isi media sebagai komoditi6.
Dalam proses pembuatan kebijakan oleh negara (state) input yang diharapkan
sebagai bahan penyusunan kebijakan berasal dari kepentingan masyarakat melalui
proses artikulasi kepentingan. Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan
berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang
masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan
kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah.
Kepentingan-kepentingan masyarakat diartikulasikan oleh berbagai lembaga, badan
atau kelompok dengan berbagai macam cara. Lembaga-lembaga tersebut dapat dibentuk
oleh pemerintah maupun dibentuk oleh pihak masyarakat sendiri. Nantinya
kepentingan-kepentingan yang sudah diartikulasikan ini akan diagregasikan untuk
diambil sebagai bahan perumusak kebijakan pemerintah.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah masyarakat di seluruh wilayah
Indonesia tidak dapat mewujudkan kewarganegaraannya dengan berpartisipasi dalam
sistem politik tanpa dukungan informasi yang tepat oleh pers. Kurangnya akses
informasi masyarakat terhadap peristiwa dan isu di wilayahnya masing-masing menjadi
kekurangan dalam pengumpulan bahan perumusan kebijakan politik. Walaupun UU No
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah membuka ruang untuk partisipasi publik dalam
pembuatan kebijakan politik, namun lemahnya penerapan sejumlah pasal membuat
proses demokrasi di negara ini masih tersendat.

6

http://www.beritasatu.com/nasional/35935-riset-konsentrasi-kepemilikan-media-pada-tarafmembahayakan-hak-publik.html akses 17 November 2015 Pukul 17.28

PENUTUP

KESIMPULAN
UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran setidaknya sudah membuka jalan
untuk mendukung sistem demokrasi di Indonesia, dimana terdapat jaminan terhadap
ruang publik, jaminan terhadap pemerataan informasi dan jaminan terhadap
keberagaman. Namun demikian dalam implementasinya sulit untuk memaksa media
massa yang kini banyak dikuasai oleh korporasi untuk tunduk pada isi undang-undang.
Sementara tidak ada lembaga yang cukup kuat untuk menegakkan undang-undang ini
secara tegas. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang lahir dari undang-undang ini tidak
diberikan cukup kekuasaan untuk melakukan penertiban.
Sistem politik Indonesia kini sudah berganti, dari sistem otoriter-sentralistis
menjadi demokratis yang desentralistis. Pemerataan dan keadilan menjadi syarat
terwujudnya demokrasi di negara ini. Masyarakat diharapkan bisa berpartisipasi secara
aktif dalam proses politik yang terjadi di wilayahnya masing-masing, tahu persis apa
yang menjadi permasalahan dalam masyarakat tempat tinggalnya, tahu akan kebutuhan
yang harus dipenuhi untuk kesejahteraannya. Kepentingan-kepentingan masyarakat
yang disuarakan inilah yang menjadi bahan bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan
keputusan yang tepat. Permasalahan saat ini adalah masyarakat sendiri tidak paham apa
yang sedang dihadapinya akibat akses informasi yang tidak memenuhi kebutuhan
mereka. Ketika regulasi penyiaran bermasalah, maka akses informasi masyarakat pun
turut bermasalah dan beakhir pada tidak tepatnya kebijakan yang disusun negara
terhadap masyaratnya.

SARAN
Berdasarkan pemaparan dalam makalah ini, maka sangat diharapkan revisi
undang-undang penyiaran yang tak kunjung selesai dibahas di DPR bisa mengakomodir
kebutuhan masyarakat dalam negara demokrasi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebagai lembaga independen pun diberikan kekuasaan yang lebih untuk mengatur
sistem penyiaran. Masyarakat membutuhkan informasi yang tepat, bukan hanya
informasi yang memenuhi selera pasar yang tanpa disadari membunuh demokrasi itu
sendiri.

DAFTAR REFERENSI

Barret, Boyd. 1995. The Analysis of Media Occupations and Profesionals Eds.
Approaches to Media : New York : A Reader

Mardiana, Lisa. 2011. Implementasi Kebiakan Sistem Stasiun Jaringan Dalam Industri
Penyiaran Televisi di Kota Semarang. Tesis pada Universitas Diponegoro

Semarang
McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa Edisi 6. Jakarta : Salemba Humanika
Murdock, G. and Golding, P. 1989. Information Poverty and Political Inequality:
Citizenship in the Age of Privatized Communications . Journal of Communication.

Vol. 39(3), 180-195
Mustofa, Ali. 2014. Struktur Dominasi Media Pada Wartawan. Tesis pada Universitas
Diponegoro Semarang
Putra, I Gusti Ngurah. 2004. Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia. Jurnal Ilmu
Komunikasi Vol. 3, No. 2. Hal 119-142
Wahyuni, Hermin Indah dan Andi Awaluddin Fitrah. „Sistem Penyiaran Indonesia
dalam Perspektif Sistem Autopetic Niklas Luhmann (Eksplorasi dan Refleksi
Autopoetic Sistem Penyiaran Indonesia)‟ dalam Masa Depan Komunikasi, Masa
Depan Indonesia : Dinamika Media Penyiaran. 2014. Jakarta : Ikatan Sarjana

Komunikasi Indonesia
Sinaga, Amir Effendi. RUU Penyiaran, Beberapa Catatan Kritis. Kompas, 4 September
2002 dalam 2014. Mengawal Demokratisasi Media : Menolak Konsentrasi,
Membangun Keberagaman. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Undang Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
http://indoprogress.com/2014/04/ruang-publik-dulu-dan-sekarang/ akses 17 November
2015 Pukul 15.35
http://www.beritasatu.com/nasional/35935-riset-konsentrasi-kepemilikan-media-padataraf-membahayakan-hak-publik.html akses 17 November 2015 Pukul 17.28