Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam B (1)

Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue
Budi Setiawan, Khie Chen, Herdiman T. Pohan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khusunya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI
menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah
penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar
1,01% (2007).4-5
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus
DBD, antara lain (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana
dan tidak terkendali, (3) Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk di daerah endemis, dan (4)
Peningkatan sarana transportasi.4 Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut
(terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang
optimal pada penderita DBD, guna menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini.
Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip utama adalah terapi suportif,
yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, gambaran klinis dan

gambaran laboratorium pasien, penatalaksanaan diharapkan dapat berlangsung efektif dan
efisien.
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue serta memenuhi kriteria WHO 1997 untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi virus dengue.

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8

1

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1): 5
1. Demam tidak jelas
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai
dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/ atralgia,
ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan
pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi
menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa syok)
Patogenesis

Sekarang ini terdapat beberapa hipotesis mengenai patogenesis dengue yang diajukan.
Namun tidak terdapat satu teori manapun yang dapat berdiri sendiri untuk menerangkan seluruh
patogenesis yang terjadi pada pasien infeksi dengue. Masih terdapat banyak hal yang terjadi
dalam tubuh manusia pada infeksi dengue yang belum dapat sepenuhnya dipahami. Secara
patofiologis, peningkatan permeabilitas pembuluh darah secara mendadak akan menyebabkan
hilangnya cairan intravaskular sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan hematokrit,
hipotensi dan efusi serosa.9
Beberapa teori patogenesis yang diusulkan antara lain adalah patogenesis yang
diperantarai oleh tubuh, patogenesis yang diperantarai sel, fenomena badai sitokin, pengaruh
latar belakang genetik individu, perbedaan serotipe virus, jumlah atau kadar virus yang terdapat
dalam sirkulasi selama fase akut, dan status gizi individu yang terinfeksi.10
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune
enhancement.

Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus

Anamnestic antibody respons


Kompleks virus-antibodi
Aktifasi komplemen
Komplemen menurun

Anafilatoksin (C3a, C5a)
Histamin dalam urin

Permeabilitas kapiler meningkat
30% kasus
syok

Ht meningkat

Perembesan plasma

Natrium turun
Cairan dalam
rongga serosa

Hipovolemia

Anoksia

Syok

Asidosis

Meninggal

Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder11
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi

2

IgG anti dengue. Karena kesamaan tempat, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya
angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini
terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam

rongga serosa. 11,12
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa
mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain
kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari
membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. 11,12
Seiring dengan berjalannya waktu hipotesis ini mengalami beberapa modifikasi dan
pembaruan untuk dapat mencakup aspek lain dari respon imun, termasuk mengenai berbagai
turunan limfosit T dan kaskade sitokin. Antibodi terhadap virus dengue akan berikatan dengan
virus, membentuk kompleks antibodi-virus non-netralisasi yang berikatan dengan reseptor Fc
pada monosit-makrofag dan kemudian diikuti dengan infeksi yang produktif. Antigen virus
selanjutnya dipresentasikan oleh sel yang terinfeksi sebagai antigen MHC, mengakibatkan
terjadinya pematangan dan perangsangan limfosit T CD4+ dan CD8+. Salah satu konsekuensi
dari aktivasi sel limfosit T ini adalah terjadinya produksi sitokin, terutama interferon-γ (IFN-γ)
yang mengaktivasi sel-sel lain, termasuk makrofag, sehingga mengakibatkan upregulation
ekspresi reseptor Fc dan MHC.9 Faktor-faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi
trombosit, dan produksi sitokin yang berpotensi bersifat sitotoksik oleh makrofag, limfosit dan
sel epitel/endotel, termasuk faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor / TNF-α,9,14,15

interleukin (IL)-19 dan IL-6, IL-8,9,13 IL-10,9,14 juga turut membantu dan memicu eksaserbasi
kaskade peristiwa inflamasi ini.9,14
Kaskade komplemen diaktifkan oleh kompleks virus-antibodi dan beberapa sitokin untuk
melepaskan C3a dan C5a yang juga memiliki efek langsung pada permeabilitas pembuluh darah.
Efek sinergistik dari IFN-γ, TNF-α, dan komplemen yang teraktivasi akan memicu terjadinya
kebocoran plasma dari sel endotel pada infeksi virus dengue sekunder. Aktivasi komplemen
kemungkinan terjadi karena keparahan penyakit, bukan sebagai penyebab DBD.13
Teori yang berkembang akhir-akhir ini menyatakan bahwa intensitas respon imun
terhadap virus dengue berperan penting dalam kaskade patofisiologi yang mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma. DBD dan sindrom renjatan dengue tampaknya berkaitan dengan
tingginya kadar sitokin pro-inflamasi dalam serum pasien. Selain itu, mediator-mediator lain
yang diproduksi oleh sel-sel fagositik serta peran dari pengimitasian antibodi juga diperkirakan
terlibat dalam patofisiologi tersebut.10
Noisakran S, dkk menilai bahwa walaupun beberapa hipotesis telah diajukan, masih
terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan berperan dalam patogenesis infeksi virus
dengue. Antibodi IgM alamiah pada fase awal infeksi dengue diperkirakan mempengaruhi
perjalanan klinis penyakit. Peran trombosit sebagai sumber infeksi primer dan/atau sebagai
pembawa virus serta respon imun bawaan terhadap trombosit yang terinfeksi virus diperkirakan
juga berperan dalam induksi terjadinya DBD.10
Teori lain mengenai trombositopenia pada infeksi Dengue sekunder diajukan oleh

Rachman A.16 Ia menyatakan bahwa trombositopenia terjadi karena adanya reaksi silang antara

3

IgG anti-NS-1 dan trombosit GP IIb/IIIa. Paparan anti-NS1 terhadap trombosit secara in vivo
menyebabkan terjadinya destruksi trombosit yang ditandai oleh peningkatan bersihan
trombosit.16
Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:2,5,11
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu: 2,5,11

Derajat 1
: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2
: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3
: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4
: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

4

Gambar 3. Spektrum klinis DBD (WHO, 1997)5
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8

akibat depresi sumsum tulang. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya kelainan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan
isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekuler. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang
dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan
tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1 – 2 minggu), serta biaya yang
relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis
molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan Reverse TranscriptionPolymerase Chain Reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih
sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif
mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif
semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG
mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapt terdeteksi mulai hari ke
2.17
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen Nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam


5

berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah
kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi
sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5
pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7 % & 100 %). Oleh karena berbagai
keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini
terbaik untuk pelayanan primer.17
Pemeriksaan radiologis toraks (posisi dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat
ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan
plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan USG. 5,11
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan
untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi
komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalah pemantauan baik secara kliniss maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma
dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam

berlangsung. Pada hari ke 7, proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali
dari ruang interstitial ke intravascular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura
ataupun asites masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)
dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat
atau bumbu yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan
antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5
protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4)
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5)
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6)
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7)

6

Keluhan DBD
(Kriteria WHO 1997)

Hb, Ht
trombo normal

Hb, Ht normal
trombo 100.000-150.000

Observasi
Rawat jalan
Periksa Hb, Ht
Leuko, Tromb/24 jam

Hb, Ht normal
trombo < 100.000

Hb, Ht meningkat
trombo normal/turun

Rawat

Observasi
Rawat jalan
Periksa Hb, Ht
Leuko, Tromb/24 jam

Rawat

Penanganan Protokol
Rawat Inap Untuk DBD
( Protokol 2 )

Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5

Suspek DBD
Perdarahan Spontan dan Masif (-)
Syok (-)

-

Hb,Ht (n)
Tromb.< 100.000
I nfus Kristaloid *
Hb,Ht,Tromb. tiap 24 jam

-

Hb,Ht meningkat 10-20%
Tromb.< 100.000
I nfus Kristaloid*
Hb,Ht,Tromb. tiap 12 jam* *

Hb,Ht meningkat > 20%
Tromb.< 100.000

Protokol pemberian
Cairan DBD dengan Ht
Meningkat > 20%

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat5

7

5 % defisit cairan

Terapi awal i.v. Kristaloid 6-7 ml/kg/jam
Evaluasi 3-4 jam
PERBAIKAN
Ht & nadi turun,Tensi perbaikan
produksi
urin meningkat
,

Kurangi infus kristaloid
5 ml/kg/jam
PERBAIKAN

Kurangi infus kristaloid
3 ml/kg/jam

PERBURUKAN
Ht, nadi meningkat,Tensi turun

produksi urin menurun

TANDA VITAL , HT
MEMBURUK

PERBAIKAN

Tatalaksana sesuai
Protokol syok dan

Infus
kristaloid
TIDAK
MEMBAIK
Infus kristaloid
15 ml/kg/jam

PERBAIKAN
KONDISI MEMBURUK
Tanda syok

Terapi cairandihentikan

24-48 jam
PERBAIKAN

Protokol syok dan perdarahan

Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%5

8

Airway
Breathing : O2 1-2 L/menit dengan kateter nasal. Bila lebih, dipakai sungkup muka
Circulation : Cairan kristaloid &/ koloid 10-20 mL/kgBB secepatnya (bila mungkin < 10 mnt)
Perhatikan : tanda-tanda hipovolemia, hipervolemia/overload dan respon pemberian cairan
setelah 15 – 30 menit
Perbaikan*
Perburukan

Tetap syok

Kristaloid 7 mL/kg/jam dalam 1 jam
Kristaloid 20-30 mL/kgBB loading
dalam 20-30 menit
Perbaikan
Tetap syok
Kristaloid 5 mL/kg/jam dalam 1 jam
Ht meningkat

Ht menurun

Koloid 10-20 mL/kg BW loading
selama 10-15 menit

Transfusi darah 10
mL/kg BB dapat diulang
sesuai kebutuhan

Perbaikan
Kristaloid 3 mL/kg/jam dalam 1 jam

Perbaikan

Perbaikan*

24-48 jam setelah syok
teratasi, tanda vital/Ht stabil,
diuresis cukup

Stop infus

Tetap syok
Koloid hingga maksimal
30 mL/kgBB

Perhitungan nutrisi
setelah 12 jam
(dextrose 5% bila tidak
ada kontraindikasi

Perbaikan *

Tetap syok
CVP

Koloid bila dosis maks belumj dicapai atau kristaloid/gelatin (bila koloid
sebelumnya telah mencapai dosis maks) 10mL/kg dalam 10 menit, dapat
diulang sampai 30 mL/kg; Sasaran CVP 15-18 cmH2O

Hipovolemia

Normovolemia
Tetap syok
Koreksi gangguan asam-basa,
elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, inf sekunder

Kristaloid dipantau
10-15 menit

Inotropik,
Vasopresor,
Vasodilator

Perbaikan*

Koloid + kristaloid

Perbaikan bertahap
vasopresor

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah
serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah mengganti
kehilangan cairan di ruang intravascular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer
asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih

9

mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama intravaskular, aman dan bisa
dikeluarkan melalui ginjal, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi
yang minimal. Pemberian cairan i.v. dapat menggunakan ringer laktat atau ringer asetat dengan
kebutuhan cairan mengikuti perhitungan kebutuhan cairan rumatan. Koloid/ plasma ekspander
dapat diberikan bila diperlukan pada DBD stadium III dan IV (gambar 8).1-3
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD adalah aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,
asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.18,19 Kristaloid memiliki waktu
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg
BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskuler hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskuler) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskuler dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial.20 Namun
demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah
disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.21,22
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memberikan beberapa keunggulan
yaitupada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)
yang lebih besar dan bertahan lebih lama. Dengan keunggulan ini, diharapkan oksigenasi
jaringan dapat terjaga lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kerugian yang
mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya
perawatan yang lebih besar, walaupun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping
koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetasrach).21,22 Penelitian cairan koloid
dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue pada pasien anak dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua
jenis cairan.23,24 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan
koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia menunjukkan bahwa
koloid adalah pilihan cairan yang aman dan dapat digunakan sebagai cairan rumatan pada
penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2.25
Kesimpulan
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia.
Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat ditegakkan dan terapi cairan dapat
dimulai. Berbagai modalitas pemeriksaan penunjang baru seperti antigen Nonstructural protein 1
(NS1) sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnsosis yang lebih
dini.
Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis
cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk
menilai respon kecukupan cairan.

10

Daftar Pustaka
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.

25.

Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6.
World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever:
comprihensive guidelines. New Delhi: 2001. p. 5-17.
World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the
context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and
Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva: 2005.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta: 2007.
Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. 2005.
p. 1-2.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Sudoyo, A. et.al. (editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p. 1774-9
Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p. 137-8.
World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Geneva: 1997
McBride WJH, Bielefeldt-Ohmann H. Dengue viral infections; pathogenesis and epidemiology. Microbes
Infect. 2000;2:1041-50.
Noisakran S, Perng GC. Alternate Hypothesis on the Pathogenesis of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)/
Dengue Shock Syndrome (DSS) in Dengue Virus Infection.. Exp Biol Med. 2008:233:401–8.
Hadinegoro SRH, et.al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan
RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004
Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam Hadinegoro SRH, Satari HI, editor.
Demam berdarah dengue: naskah lengkap. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. p. 32-43.
Lei HY, Yeh TM, Liu HS, Lin YS, Chen SH, Liu CC. Immunopathogenesis of dengue virus infection. J
Biomed Sci 2001;8:377-88.
Rothman AL. Dengue: defining protective versus pathology immunity. J Clin Investigation.
2004;113(7):946-50.
Halstead SB. Dengue. Curr Opin Infect Dis 2002;15:471-6.
Rachman A. Identifikasi salah satu mekanisme trombositopenia pada infeksi virus dengue: telaah khusus
pada antibody terhadap protein non structural tipe 1 virus dengue dan target epitop GP IIb/IIIa pada
permukaan trombosit. (thesis). Jakarta, 2009.
Nainggolan L. Reagen Pan-E Dengue Early Capture ELISA (PanBio) dan Platelia Dengue NS1 Ag Test
(BioRad) untuk Deteksi Dini Infeksi Dengue. 2008
Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anestesia. 4th ed. New York: Churchill Livingstone. 2000. p. 236-7.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Lange Medical
Books/McGraw-Hill: New York; 2006. p.692-4.
Kaaallen A J and Lonergan JM. luid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion status in pediatrics,
Pediat. Clin. N Amer. 1990; 37, 2: 287-294.
Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of 5th Indonesian International Symposium on Shock and Critical Care 26-33
Liolios A. Volume Resuscitation: The Crystalloid vs Colloid Debate Revisited. Medscape 2004
Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid solutions for
resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353: 877–89
Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management of dengue shock
syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin
Infect Dis 2001; 32: 204–13
Pohan HT, Lie KC, Suhendro, Santoso WD, Eppy. An Open Pilot Study of The Efficacy and Safety of
Polygeline in Adult Subjects with Dengue Haemorrhagic Fever. Acta Medica Indonesiana 2009; 41(2): 4753

11

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24