Makalah Hukum Perbankan Syariah Riba dal (1)

MAKALAH
HUKUM PERBANKAN SYARIAH
RIBA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

`

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
OKTOBER 2016
1

MAKALAH
HUKUM PERBANKAN SYARIAH
RIBA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perbankan Syariah yang
dibimbing oleh Abdul Rokhim, M.Ei

Oleh :
1. Machallafri Iskandar (E20151001)
2. Nurul Awaliyah


(E20151013)

3. Fiay Syatirrodiah

(E20151024)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
OKTOBER 2016
2

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan judul: ”Riba
dalam Perspektif Islam”. Salawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai hari
penghabisan.
Atas bimbingan dari


Dosen Tafsir Hadist Ekonomi dan saran dari teman-teman maka

disusunlah Makalah ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi kami semua
dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Hukum Perbankan Syariah dan semoga segala yang
tertuang dalam Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam
rangka membangun khasanah keilmuan. Makalah ini disajikan khusus dengan tujuan untuk
memberi arahan dan tuntunan agar yang membaca bisa menciptakan hal-hal yang lebih
bermakna.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Hukum Perbankan Syariah, Abdul Rokhim, M.Ei.
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang bersifat membangun
kepada para pembaca guna perbaikan langkah-langkah selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena kesempurnaan hanya
milik Allah SWT semata.
Jember, 01 Oktober 2016
Penulis

3


DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.........................................................................................

i

HALAMAN JUDUL.............................................................................................

ii

KATA PENGANTAR............................................................................................

iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................

iv

BAB I


PENDAHULUAN.............................................................................

1

1.1.

Latar Belakang........................................................................

1

1.2.

Rumusan Masalah...................................................................

1

1.3.

Tujuan Penulisan.....................................................................


1

1.4.

Sistematika Penulisan.............................................................

2

PEMBAHASAN..................................................................................

3

2.1

Riba dan Jenis-jenis Riba.....................................................

3

2.2


Konsep Riba bagi Muslim dan non-Muslim...........................

4

2.3

Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang.................

6

2.4

Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil............................................

8

PENUTUP..........................................................................................

16


3.1

Simpulan.................................................................................

16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

17

BAB II

BAB IV

4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam al-quran mengutuk riba dengan keras, namun tidak banyak memberikan penjelasan

makna istilah tersebut, selain membandingkan riba dengan sedekah dan menyebutnya
penggandaan yang berlebihan. Para penafsir menggambarkan prakter memperpanjang
penangguhan pembayaran kepada debitur dengan imbalan berupa tambahan pada utang pokok
(riba-aljahiliyah) pada jaman pra Islam. Karena prakterk ini menjadi salah satu contoh yang
dilarang Al-Qur’an. Oleh karena itu ibnu hambali, pendiri madzab hambali, menyatakan bahwa
praktek ini

“bayar atau tambah” adalah satu-satunya bentuk riba yang jelas dilaranng. Di

samping itu, praktek tersebut membebankan denda kepada debitur karena tidak membayar
ketikajatuh tempo (meskipun penangguhan oleh orang yang sanggup membayar hutang
merupakan dosa dan dapat dihukum sebagai sebuah tindak kejahatan).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan riba, dan apa saja jenis-jenis riba ?
2. Bagaimana konsep riba menurut perspektif muslin dan non muslim ?
3. Apakag perbedaan investasi dengan membungakan uang ?
4. Apakah perbedaan bunga dengan bagi hasil ?
1.3 Tujuan Masalah
1. Agar kita dpat mengetahui apa yang disebut dengan riba dan apa saja jenis-jenisnya.
2. Agar kita dapat mengetahui bagaimana perspektif riba bagi orang muslim dan non muslim.

3. Agar kita dapat membedakan investasi dengan membungakan uang.
4. Agar kita dapat membedakan antara bunga dengan bagi hasil.

5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riba Dan Jenis-Jenis Riba
Menurut ensiklopedi Islam Indnesia, yang disusun oleh tim penulis IAIN Syarif
Hidayatullah.1 “Ar-riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun
pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan
cara yang tidak dibenarkan syara, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah
banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.”
Menurut M. Umar chapra, riba secara harfiah berarti adanya peningkatan, pertambahan,
perluasan atau pertumbuhan. Tetapi, tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam
islam. Keuntungan juga merupakan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidak dilarang.
Dan Telah diuraikan dalam al-Quran hubungan antara riba ( usury, secara etimologis
berarti “ tambahan” ) dengan” mengambil harta secara batil”, dan bahwa para penafsir
menganggap riba sebagai salah satu bentuk dari mengambil harta secara batil.2 Al-qur’an
melarang riba dengan kalimat yang sangat tegas. “Janganlah kamu memakan riba yang berlipat

ganda . . .(3:130)”. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya!
Dari Abu Rafi’ ra. Katanya rasulullah SAW, pernah meminjam unta muda usia kepada
seseorang. Setelah itu, ada orang mengantarkan unta sedekah kepada beliau. Lalu Nabi SAW.
menyuruh Abu Rofi’ mengatakan kepada beliau:”ya rasulullah, belum ada unta muda, yang ada
hanyalah unta pilihan yang telah dewasa”. Sabdah beliau:”berikanlah itu! Sebaik-baik
manusia,ialah yang mengutamakan pelunasan suatu utang:.(Terjemah Hadits Shahih Muslim,
Ma’mur Daud, Hadits No. 1571, halaman 187).

1 Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2005), 25.
2 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam (Bandung : Nusamedia, 2007),81

6

Dari hadits tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu tambahan tidak termasuk


riba

apabila:
a. Tambahan itu tidak disyaratkan dimuka atau dijanjikan terlebih dahulu;
b. Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam; dan
c. Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo.
Dengan demikian, cukup jelas bahwa bunga bank termasuk praktik riba yang ditunjukkan
tersebut di atas, karena bunga disyaratkan di muka pada waktu menerima pinjaman, atas inisiatif
pemberi pinjaman yang timbul pada awal akan diberikannya pinjaman.
Sedangkan Jenis-jenis riba terbagi menjadi dua, yaitu menurut jumhur ulama dan menurut
syafi’iyah :
1. Menurut Jumhur Ulama
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.3
a. Riba Fadhl
Menurut Ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah :
‫زيادة عين مال في عقد بيع على معيار الشرعى عند اتحاد الجنس‬
Artinya : “Tambahan zat harta pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis.”
Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba pada barang
sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika
melaksanakan akad jual-beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar
terhindar dari unsur riba.

b. Riba Nasi’ah
Menurut Ulama Hanafiyah riba nasi’ah adalah :
Artinya : “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan,
memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang
yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya.”
Maksudnya, menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram

3 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung : Pustaka Setia, 2004), 262.

7

gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak ditimbang, seperti
membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan.
Ibn Abbas, Usamah Ibn Jaid Ibn arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpendapat bahwa
riba yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah. Pendapat ini didasarkan pada hadist yang
diriwayatkan oleh bukhari dan muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda ‫ا‬:
‫ل ئةرئبا ا ةل ن ئ ةفى الن نئةسئئةة‬
Artinya : “Tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah.”
Ulama lainnya menentang pendapat tersebut dan memberikan dali-dalil yang menetapkan
riba fadhl, sedangkan tabi’in sepakat tentang haramnya kedua riba tersebut dan perbedaan
pendapat pun hilang.
Selain itu, mereka yang menyatakan bahwa hanya riba nasi’ah yang diharamkan
kemungkinan tidak utuh dalam memahami hadist di atas. Asal hadist di atas adalah Nabi
Muhammad SAW ditanya tentang pertukaran antara gandum dan sya’ir, emas, dan perak yang
pembayarannya diakhirkan, kemudian Nabi Muhammad SAW, bersabda : “Tidak ada riba
kecuali pada riba nasi’ah.” Hadist ini lebih tepat diartikan bahwa riba nasi’ah adalah riba terberat
dibandingkan dengan riba lainnya. Hal ini sama dengan pernyataan, “Tidak ulama di daerah ini
kecuali Ahmad”, padahal kenyataannya, juga ada ulama selain Ahmad. Hanya saja Ahmad
merupakan ulama yang paling disegani.
2. Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tiga jenis.4
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar)
dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi
pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram
kentang.
b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (Al-qabdu), yakni bercerai-berai antara dua
orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum

4 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung : Pustaka Setia, 2004), 264

8

dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad. Menurut ulama
hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.
c. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah, yakni jual-beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan
harganya.
Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran
barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan
riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan
meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkan
adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada riba fadhl.
2.2 Konsep Riba Bagi Muslim Dan Non Muslim


Perspektif Muslim
Ummat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam

tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur'an dan hadits
Rasulullah.
a. Larangan Riba dalam Al Qur'an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur'an tidak diturunkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap.
1. Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong
mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah.
"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia.
Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)." (Q.S. Ar Rum: 39).
2. Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang
keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena

9

mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (Q.S. An Nisa: 160-161)
3. Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli
tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda
dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Ali
Imran: 130). Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus
dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba
(jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini
merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat
ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al Baqarah yang
turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan "Alasan Pembenaran Pengambilan Riba", point "Berlipat-Ganda").
4. Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan
yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari
berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (Q.S. Al Baqarah: 278-279)


Perspektif Non Muslim
Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan karena

mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga
banyak mempengaruhi orang- orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan
argumentasi sehubungan dengan riba.
1. Konsep Bunga di Kalangan Yahudi : Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan
pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam
Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus
(Keluaran ) pasal 22 ayat 25 menyatakan: "Jika engkau meminjamkan uang kapada salah

10

seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya."
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: "Janganlah engkau
membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang
dapat dibungakan."
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: "Janganlah engkau
mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu,
supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu
kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan
meminta riba."
2. Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat
beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya.
Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman biasa (6 % - 18%)
Pinjaman properti (6 % - 12 %)
Pinjaman antarkota (7% - 12%)
Pinjaman perdagangan dan industri (12% - 18%)
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undangundang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai
dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum' (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini
berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan
pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga
(double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak
diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali
seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
Bunga maksimal yang dibenarkan (8 - 12%)
Bunga pinjaman biasa di Roma (4 - 12%)
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 - 100%)
Bunga khusus Byzantium (4 - 12 %)
11

Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli
filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 - 322 SM), mengecam
praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 - 149 SM) dan Cicero (106 - 43 SM). Para ahli
filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan peng-ambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan.
a. Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
b. Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan
Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah
sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk
menghasilkan tambahan melalui bunga. Bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang
keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan
bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai alasan
yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat
kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman
dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan
dan memberi pinjaman.
a. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman
dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
b. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan
bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat
kali lipat.
Jadi, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang
hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu.
Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar
kelahiran pandangan tersebut.
3. Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian
kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang
mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : "Dan jikalau kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya,
12

apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka
dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan
menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."
Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran
dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan
pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat
dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I
hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang
berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun
1836) yang menyebabkan agama Kristen meng- halalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal
Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah
pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang
memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan
orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya
pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat
menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam
Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian
Baru.
St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam
dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama
merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
13

a. Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja
gereja mem- praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya
akan diturunkan.
b. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja
gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
c. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan
memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne
(tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang
tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut :
o Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang
yang dipinjamkan.
o Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru.
o Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah
suatu dosa.
o Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
o Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang
terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI), Pada masa ini terjadi perkembangan yang
sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit
menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada
para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk.
Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral
semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga
mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undangundang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan,
niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.

14

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga.
Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan
menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan,
sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan
kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon
(1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St.
Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225- 1274).
2.3 Perbedaan Investasi Dengan Membungakan Uang
Ada 2 perbedaan mendasar investasi dengan membungakan uang yaitu5 :
a. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko, karena berhadapan dengan unsur
ketidak pastian. Dengan demikian, perlehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak
tetap.
b. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengantung risik, karena perolehan
kembalinya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong kemasyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong
masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi
di atas, menyimpan uang di bank islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan
kembaliannya (return) dari waktu kewaktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan
kembali itu tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai
mudharib atau pengella dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus
terus berupaya meningkatkan kembali atau return of investatment sehingga lebih menarik dan
lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

2.4 Perbedaan Bunga Dengan Bagi Hasil
Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di Bank Islam termasuk kategori
investasi. Besar kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar
terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Dengan demikian, Bank Islam tidak dapat
5 Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2005), 50.

15

hanya sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus-menerus berusaha meninggatkan
return on investment sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik
dana. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat dijelaskan dalam tabel pada berikut.6
Tabel. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bunga
Penentuan keuntungan

Bunga
BagiHasil
Pada waktu perjanjian dengan Pada waktu akad dengan
asumsi harus selalu untung
jumlah

pedoman

kemungkinan

untung rugi
uang Berdasarkan

Besarnya presentase

Berdasarkan

pembayaran

(modal) yang dipinjamkan
keuntungan yang diperoleh
Seperti yang dijanjikan tanpa Bergantung
pada
pertimbangan

untung

atau keuntungan proyek bila

Jumlah pembayaran

rugi
Tetap,

Eksistensi

walau keuntungan berlipat
Diragukan oleh semua agama

tingkat

jumlah

rugi ditanggung bersama
meningkat Sesuai dengan peningkatan
jumlah pendapatan
Tidak ada yang meragukan
ke absahannya

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi riba merupakan adanya peningkatan, pertambahan, perluasan atau pertumbuhan. Tetapi,
tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam islam. Keuntungan juga merupakan
peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidak dilarang. Dan jenis-jenis riba secara umum
yaitu Riba Fadhl, Riba Yad dan Riba Nasi’ah. Dan perspektif non muslim dalam riba sama
dengan perspektif Muslim dalam seperti tercantum dalam kitab suci mereka, baik dalam Old
Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Plato mengecam sistem bunga
berdasarkan dua alasan. :
6 Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2005), 49.

16

a. Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
b. Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi
uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang
bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Bunga sebagai uang yang
berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi.
Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
perbedaan mendasar investasi dengan membungakan uang yaitu :
a. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko, karena berhadapan dengan
unsur ketidak pastian.
b. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengantung risik, karena
perolehan kembalinya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Sedangkan perbedaan bagi hasil dab bunga adalah Islam mengharamkan bunga dan
menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan
mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi dan pembungaan uang. Dalam
investasi, usaha yang dilakukan mengandung risiko, dan karenanya mengandung unsur ketidak
pastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki risiko, karena
adanya persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’I, Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.
Vogel, Frank. 2007. Hukum Keuangan Islam. Bandung : Nusmedia.
Wirdyaningsih. 2005. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana.

17