materi kelas 12 sejarah indonesia bab 1

KELOMPOK 4
ALVENIA NUR PRIMADANA
ALWI ARIFIN
MUHAMMAD IBNU SHINA
MUHAMMAD ZIQRY SANDY
HERIYANTO HASUNDUNGAN
SULTAN ARIQ PRANANDA

XII MIPA

PERKEMBANGAN SOSIAL
PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN

KEHIDUPAN
MASYARAKAT

KEHIDUPAN EKTIK
TIONGHOA
Runtuhnya rezim Orde Lama membawa kebankitan terhadap
diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia, measa pemerintahan

Orde Baru tetap mebuat etnis Tionghoa mengalami diskriminasi
rasial dan hilangnya hak asasi manusia, contohnya sebagai berikut ;
• mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda
Penduduk
• tdak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri
serta tentara
• pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di
pedesaan.

Di masa demokrasi terpimpin golongan etnis Tionghoa
mendapatkan peran dan pengaruh politk Inodesia, sepert
terdapat beberapa menteri dari etnis Tionghoa salah satunya
ialah Oei Tjoe Tat yan menjadi menteri yang diperbantukan
dalam presidium kabinet Bung karno ia cenderung menjadi
tangan kanan Bung Karno terutama ketka terjadi Konfik dengan
Malaysia.
Pada masa dibentuk lembaga yang bertujuan membela
keturunan Tionghoa dari diskriminasi aturan negara, mulanya
tercetus nama Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan
Turuanan Tionghoa (Baperwat), namun mengalami berdebatan

karena menggunakan kata “Tionghoa” dan pada akhirnya
merubah menjadi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki) yang diketuai Siauw Giok Tjhan dan wakilnya
Yap Thiam Hien.

Dengan tebentuknya Baperki, maka leburlah PDTI (pusat
maupun cabang) otomats berubah menjadi Baperki.
Sebagai golongan etnis Tionghoa, langkah ini merupakan
sejarah besar serta sejalan dengan sambutan hangat oleh
Bung Karno yang mengatakan “Di dalam negara kita tdak
boleh adanya mayokrasi, tapi tdak boleh juga minokrasi”.
Selama pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin oleh
Soeharto selam 32 tahun, golongan etnis Tionghoa
mengalami kekangan keras terhadap aspek politk dan
aspek budaya. Pada aspek politk pemerintah Orde Baru
mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1996
tentang Larangan Komunisme dan Marxisme-Leninisme
karena dianggap bahaya laten bagi ketahanan nasional.

PERMASALAHAN SOSIAL

MASYARAKAT
Pemerintahan pada masa demokrais terpimpin
dianggap tdak dapat berhasil menyediakan
kebutuhan sandang dan pangan bagi rakyat. Selain
itu, biaya kbutuhan hidup juga terus meningkat.
pada masa demokrasi terpimpin kekuatan PKI
mendominasi. PKI berhasil mempengaruhi
sebagian besar masyarakat di pedesaan. PKI
menaggap desa sebagai tempat teraman untuk
bertahan terhadap kaaum kontrovelis

Di jawa barat PKI mengadakan gerakan turun ke
bawah (Turba) dengan mengirim sekitar 4000-5000
kader ke desa-desa untuk melaksanakan aksi tga
sama yang meliput
• Sama tnggal
• Sama makan
• Sama bekerja
aksi ini dilakukan untuk mengetahui keluh kesah
para petani. PKI juga berusaha menghapus pengaruh

para ulama untuk mencari dukungan kepada
golongan muda nonsantri, sekaligus mematahkan
ormas-ormas partai islam.

KEHIDUPAN BUDAYA

PERTENTANGAN LEKRA DENGAN
MANIFES KEBUDAYAAN
Lembaga Kebudayaan rakyat → organisasi yg bekerja di bidang
kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan. Jargon lekra
sepert seni untuk rakyat, politk adalah panglima , dan realisme
social dianggap bagian PKI. Di tengah maraknya Doktrin komunis
dalam bidang seni dan sastra, pada 17 Agustus 1963 H.B. Jasin,
Wiratmo Sukito, dan trisno Sumardjo mengumumkan
pembentukan Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Manikebu dibentuk melawan dominasi dan tekanan bagi PKI.
PKI pun merasa perlu menyerang manikebu. Serangan terhadap
manikebu dilancarkan melalui tulisan Harian Rakyat, Bintang
Timur, dan Zaman Baru.


Manikebu mendapat dukungan dari AD. Manikebu dan
AD sependapat bahwa agama adalah unsur pokok dalam
national and charact#r build ing. Pernyataan ini mendapat
pukulan bagi PKI yang sering melupakan nilai-nilai agama.
Aksi Lekra turut memengaruhi Presiden Soekarno.
Dalam pidato Manipol 17 agustus 1959. Soekarno
mengancam kebudayaan Barat yang memperkenalkan
tarian “Rock and Roll”, dansa ala “Cha-cha”. Bahkan pada
8 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan larangan
kepada manikebu karena dianggap tandingan dari
Manipol Negara.

SISTEM PENDIDIKAN
Sist#m P#nd id ikan pad a masa itu d id asari Manif#sto
Politik (manipol). P#nd id ikan b#rwatak manipol harus
m#ngakomod asi k#p#ntingan rakyat Ind on#sia d an
m#njad i bagian umum r#ncana r#volusi Ind on#sia.
Untuk m#mb#rikan d asar d alam p#nd id ikan
nasional s#suai halua N#gara, pad a 10 Okt 1960
M#nt#ri p#nd id ikan, p#ngajaran, d an k#bud ayaan (PP

d an K) m#ng#luarkan instruksi No. 2 1959 m#ng#nai
Pancaward hana:

1.Mengembangkan cinta bangsa dan tanah air,
moral nasional,serta keagamaan
2.Mengembangkan kecerdasan
3.Mengembangkan emosional artstc
4.Mengembangkan kerajinan tangan
5.Mengembangkan kesehatan jasmani

P#m#rintah juga g#rakan m#nabung bagi
p#s#rta d id ik yang cara m#nabungnya d i kantor
pos d an d iatur ol#h d #part#m#n PP d an K
b#rsama d ir#ksi Bank Tabungan Pos.

PERKEMBANGAN PERS
Pada masa demokrasi terpimpin partai politk dna
organisasi politk tdak bias lepas dari peran pers. Ini
disebabkan karena hampir setap partai politk memiliki
surat kabar, baik yang terbit secara harian, mingguan,

maupun bulanan.
Beberapa partai politk ini memiliki surat kabar
sendiri, contohnya sepert Surat kabar suluh ind on#sia
( PNI ), Harian abad i ( masyumi ), Duta masjarakat ( nu),
Harian rakyat d an warta bhakti ( pki ), dan pada
tahun1960 Angkatan darat juga menerbitkan surat
kabar Angkatan b#rs#nd jata d an b#rita yud ha.

MANIPOL-USDEK yang diperkenalkan presiden telah
merubah dasar pelaksanaan dari pers tersebut. Dan
menjadikan kebebasan pers semakin terbatas, persyaratan
untuk mendapatkan surat izin tjetak ( SIT ) dan menerbitkan
suatu kabar pers harus mendukung sepenuhnya MANIPOLUSDEK.
System demokrasi terpimpin mempengaruhi fungsi pers
menjadi tombak dari pemerintahan, tetapi tdak semua pers
mengikut kehendak pemerintah. Akibatnya pada saat itu
tejadi perselisihan antara pers pemerintahan dan pers oposisi.
Sepert yang terjadipada barisan pendukung soekarno ( BPS )
Pemerintah melakukan peringatan dan pemberhentan
terhadap beebrapa pers yang tdak mendukung pemerintah

yait, majalah baarau ( samarinda ), berita minggu ( Jakarta ),
Indonesia raya ( Jakarta ), dan pembangunan ( Palembang )

PERKEMBANGAN ARSISTEKTUR
Pada tahun 1959-1965 perkembangan arsistektur di
beberapa kota di Indonesia dipengaruhi oleh gaya
arsistektur soekarno yang disebut “ padu padan “ . gaya
ini pada masa demokrasi terpimpin direalisasikan
pertama kalinya ketka menjadi tuan rumah
penyelenggaraan asean game IV pada tahun 1962.
Untuk konsekuensinya Indonesia harus membuat
sport vanues yang sekarang kita sebut dengan gelora
bung karno yang bertaraf internasioanl sepert yang
telah disyarat kan oleh komite asean games.

Di Jakarta sendiri ornament yang tercipta dari
gagasan ide soekarno adalah hotel Indonesia, masjid
instilal, pusat perbelanjaan sarinah, gedung PMI
Jakarta, monument nasional yang berada di Jakarta.
Sedangkan rancangan soekarno yang lainya diluar

Jakarta adalah bundaran besar yang berada di tengah
kota palangkaraya, gedung herbarium bogor, hotel
ambarukmo Yogyakarta, dan hotel bali beach dnepasar.
Untuk memperindah banyak kota di Indonesia beliau
membuat banyak monument di kota berupa patung.
Patung – patung tersebut antara lain patung selamat
datng, patung pangeran diponogoro, patung tani,
patung pembebasan irian barat, dan patung dirgantara.

POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA
PADA MASA ORDE BARU

MASA TRANSISSI PADA
TAHUN 1966-1967

AKSI TRITURA
Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak
dapat dilepaskan dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau
G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya

kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia.
Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat.
Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan
perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600%
sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan
kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat. Aksiaksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku
G30 S PKI semakin meningkat.

Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemudapemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI),
kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI
(wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi
tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat
G-30S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965
membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front
Pancasila.
Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi
yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas.
Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin bertambah
panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan
tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda

dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat
yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan
Rakyat).

Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI,
kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu:
a. Pembubaran PKI,
b. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI,
c. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Tuntutan rakyat agar Presiden Soekarno membubarkan PKI
ternyata tidak dipenuhi Presiden danuntuk menenangkan rakyat
Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora
menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga
memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokohtokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI. Pada saat
pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para
mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju
Istana Merdeka.

Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan
bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang
menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief
Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu
pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima
Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri,
KAMI dibubarkan.
Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya
krisis kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas
oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan
Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat
untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan
dengan munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis
nasional makin tidak terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa
membentuk Resimen Arief Rachman Hakim, melanjutkan aksi KAMI.

Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh
Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah agar meninjau
kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian,
pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan
demonstrasi menyerbu dan mengobrak - abrik gedung
Departemen Luar Negeri, selain itu mereka juga membakar
kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para
demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden
Soekarno.
Pada hari itu juga Presiden mengeluarkan perintah harian
supaya agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap usahausaha yang ingin membelokkan revolusi bangsa Indonesia dan
supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang
langsung maupun tidak langsung bertujuan merongrong
kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden,

SUPERSEMAR
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11
Maret yang disingkat menjadiSupersemar adalah surat
perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik
Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan
Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan
dan Ketertban (Pangkopkamtb) untuk mengambil
segala tndakan yang dianggap perlu untuk mengatasi
situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Adapun latar belakang keluarnya Surat Perintah pada
tanggal 11 Maret 1966 ini, versi resminya adalah sebagai
berikut. Menjelang akhir tahun 1965, operasi militer terhadap
sisa-sisa G-30-S/PKI boleh dikatakan sudah selesai, hanya
penyelesaian politk terhadap peristwa tersebut belum
dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum dibubarkan.
Sementara krisis ekonomi semakin parah.
Laju infasi mencapai 650%. Tanggal 13 Desember 1965
bahkan dilakukan devaluasi, uang bernilai Rp 1.000,00 turun
menjadi Rp 1,00. Sementara itu, harga-harga membumbung
naik. Hingga pada bulan Januari 1966 para mahasiswa dan
pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dengan
salah satu pentolannya Soe Hok Gie telah melakukan aksi
demonstrasi kepada pemerintahan Soekarno.

Selama 60 hari, dengan dipelopori para Mahasiswa
Universitas Indonesia, seluruh jalanan ibukota dipenuhi
demonstran. Aksi yang dilancarkan melalui
demonstrasi maupun melalui surat kabar tersebut
intnya mengecam Soekarno dan jajarannya yang tdak
peduli kepada rakyat. Mreka menyampaikan Tri
tuntutan rakyat (Tritura), yang isinya: Bubarkan PKI,
Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet yang dijuluki
“Kabinet 100 menteri” (karena jumlah menterinya
mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna
untuk mencari jalan keluar dari krisis. Sidang diboikot,
para mahasiswa mengadakan pengempesan ban mobil
di jalan-jalan menuju ke istana

Ketka Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa
(Pengawal Presiden) memberitahukan bahwa istana sudah dikepung
pasukan tak dikenal. Meskipun ada jaminan dari Pangdam Jaya
brigjen Amir Mahmud, bahwa keadaan tetap aman, Presiden
Soekarno yang tetap merasa khawatr, pergi dengan helikopter ke
Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrie dan Dr.
Khairul Saleh.
Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto
membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut. PKI
beserta ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia terhitung
sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian, 15 menteri yang dinilai
terlibat dalam G-30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari Tritura,
sudah dilaksanakan, Namun kewibawaan Presiden Soekarno tdak
pulih. Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan
nasional, yaitu Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai
Pengemban Super Semar yang dikukuhkan dalam ketetapan MPRS
No. IX/MPRS/66.

DUALISME KEPIMPINAN
NASIONAL
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan
nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Disatu pihak
Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah
kian merosot. Soekarno dianggap tdak aspiratf terhadap tuntutan
masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan.
Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato
pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu
Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret atau
Supersemar dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya
membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan
yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban
Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet,
yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin
kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian
dipegang oleh Soeharto. Kondisi sepert ini berakibat pada
munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu
Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan
Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden
Soekarno sudah tdak banyak melakukan tndakan-tndakan
pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto
banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya
menimbulkan pertentangan politk dalam masyarakat, yaitu
mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan
pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni
sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan
Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan
dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum
Supersemar tdak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh
Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum
Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan
Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.
Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi
hak prerogatf Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit
dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tdak
lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih
diizinkan untuk membacakan pidato
pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara

Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan
pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari
bahasa Sansekerta yang berart sembilan, dan “Aksara” berart huruf
atau istlah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang
dianggap pentng oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi
pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya
peristwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat
kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam
Pelengkap Nawaksara itu presiden mengemukakan bahwa
mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan
Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain.
Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan
secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri
mempertanggungjawabkan terjadinya peristwa Gerakan 30
September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.

Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui
Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno
membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme
kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah
yang menjadi sumber konfik politk yang tdak kunjung
berhent. Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai
mandataris MPRS, menyatakan non aktf di depan sidang
Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.
Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22
Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno
membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya. Pada
tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantk menjadi
pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS
Jenderal Abdul Haris Nasuton.