IMPLEMENTASI TEKNIK SABETAN MELALUI KINECT (STUDI KASUS PENGENALAN GERAK WAYANG KULIT TOKOH PANDAWA)
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
IMPLEMENTASI TEKNIK SABETAN MELALUI KINECT
(STUDI KASUS PENGENALAN GERAK WAYANG KULIT TOKOH
PANDAWA)
Toto Haryadi 1, Irfansyah 2, Imam Santosa 3
1,2
Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
Telp. : (022) 2500935, Fax : (022) 2500935
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Perkembangan hiburan barat yang datang ke Indonesia menjauhkan generasi muda dari seni
tradisional, salah satunya adalah wayang kulit. Generasi muda lebih menyukai hiburan berupa
konser musik, film dan game, yang didukung oleh teknologi yang canggih. Wayang kulit dapat
menjadi makin terpinggirkan, maka usaha harus dibuat untuk mendekatkan generasi muda pada
wayang kulit, yang dapat dilakukan dengan wayang kulit digital. Perancangan aplikasi “Dalang
Virtual” yang terdiri dari variasi gerakan dari Pandawa yang disebut teknik pergerakan
wayangadalah satu dari bentuk wayang digital yang menggabungkan seni tradisional dengan
teknologi motion capture (sensor kinect) melalui penelitian dan eksperimen. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini termasuk pengumpulan data, analisa data dan perancangan
aplikasi berbasis metode desain multimedia (MDLC) dan teori interaksi desain. Data dikumpulkan
menggunakan metode deskriptif kualitatif, wawancara, observasi, dokumentasi dan studi literatur.
Data tentang Pandawa seperti visualisasi fisik dan atribut, karakter, bagaimana memainkan
karakter dan contoh teknik menggerakkan wayang dianalisa dan diolah untuk digunakan sebagai
referensi dalam merancang aset pada aplikasi, dengan mengadaptasi konsep wayang kulit dalam
bentuk tradisional. Penelitian ini menghasilkan prototipe dari aplikasi interaktif “Dalang Virtual”
yang mengimplementasikan variasi teknik gerakan wayang Pandawa yang umum digunakan dalam
pertunjukan wayang. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memaksimalkan performa dari
aplikasi ini dan juga meningkatkan kompatibilitas sensor kinect dalam implementasi teknik
gerakan wayang Pandawa.
Abstract
The rise of western entertainments that come into Indonesia further segregates youth form
traditional arts, one of them is shadow puppets. Youth prefer entertainments in the form of music
concert, film, and game, which supported by the advancement of technology. Shadow puppets can
be endangered, efforts should be made to get closer the youth to shadow puppets, one of which is
through digitalization of shadow puppets. Designing of Interactive application “Dalang Virtual”
which contains motion variety of Pandavas that called puppets movement technique is one of
digitalization shadow puppets form that combines traditional art with motion capture technology
(kinect sensor) through research and experiment. The method which used in this study includes
collecting data, analyzing data, and designing application based on multimedia design method
(MDLC) and Design Interaction Theory. The data was collected using qualitative descriptive
method, through interview, observation, documentation, and study of literature. Data about
Pandavas such as physical visualization and the attribute, characterization, how to play character,
and sample of puppets movement technique were analyzed and processed to be used as reference of
designing assets in application, by adaptating shadow puppets concept in traditional form.This
research resulted in a prototype of interactive appication “Dalang Virtual” that implements
51
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
52
variety of Pandavas’ puppets movement technique which commonly used in puppets show. Further
research is needed to maximize performance of this application and also improve kinect sensor
compatibility in implementation Pandavas’ puppets movement technique.
Keywords : Puppet Movement, Pandavas, Dalang, Kinect, Interactive Application
1. PENDAHULUAN
Wayang kulit purwa merupakan salah
satu kesenian Jawa yang berkembang
menjadi
kesenian
nasional
dan
internasional, yang dibangun oleh
beberapa unsur yang saling selaras yakni:
cerita (lakon), lagu pengiring (gending),
dialog (catur), dan gerak wayang
(sabetan). Perkembangan wayang kulit
sekarang lebih menonjolkan kemampuan
dalang dalam memainkan wayang, yang
dikenal dengan istilah sabet. Hal ini
didukung semakin banyak dalang yang
memiliki kemampuan sabet luar biasa.
Terjadinya modernisasi yang ditandai
semakin
majunya
teknologi
dan
masuknya budaya barat ke Indonesia
menyebabkan wayang kulit mulai
ditinggalkan masyarakat, khususnya
kalangan muda. Film, konser musik, dan
game lebih disukai dibanding wayang
kulit yang dianggap kuno dan tidak
mengikuti perkembangan jaman. Di sisi
lain, sebenarnya generasi muda memiliki
ketertarikan terhadap sabetan wayang
[1]. Upaya mendekatkan generasi muda
kepada kesenian wayang kulit melalui
teknik sabetan belum pernah dilakukan
oleh pihak terkait (dalang) dan
merupakan terobosan baru dalam dunia
pewayangan. Namun belum adanya cara
dan media yang efektif dan diminati
kalangan muda menjadi masalah
tersendiri, karena generasi muda hidup di
era digital, sedangkan wayang kulit
berkembang dengan tradisi lisan [2].
Kemajuan
teknologi
dimanfaatkan pihak
belum
bisa
terkait untuk
mendukung upaya pendekatan wayang
kulit kepada kalangan muda. Salah satu
teknologi digital yang cukup berkembang
yaitu sensor gerak (motion capture).
Sensor gerak, salah satunya kinect,
mampu mendeteksi gerakan manusia.
Dalam dunia game, kinect digunakan
untuk konsol Xbox360 yang bersifat
realtime dan alami.
Kinect tidak hanya dimanfaatkan dalam
bidang hiburan [3], tetapi juga digunakan
dalam bidang kesehatan dan pendidikan
yang bisa dioperasikan pada perangkat
komputer. Karakteristik interaksi yang
dimiliki kinect bisa diadopsi untuk
mengimplementasikan teknik sabet yang
menjadi kesukaan kalangan muda.
Perancangan aplikasi interaktif Dalang
Virtual menjadi salah satu bentuk upaya
digitalisasi wayang kulit yang bertujuan
mengenalkan atau mendekatkan kembali
kalangan muda terhadap wayang kulit
melalui teknik sabetan, yang ditujukan
bagi kelompok usia 17-25 tahun.
2. PUSTAKA TENTANG WAYANG
KULIT
PURWA,
TEKNIK
SABETAN, DESAIN INTERAKSI,
VKC, dan SENSOR KINECT
2.1. Wayang Kulit Purwa
Wayang
kulit
merupakan
suatu
pertunjukan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Jawa dengan media berupa
boneka wayang dari kulit kerbau,
dimainkan dan dipimpin oleh dalang di
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
depan kelir (layar) yang dibentangkan.
Pertunjukan tersebut mengacu pada
adegan-adegan dalam suatu cerita yang
telah ditentukan sebelumnya dan diiringi
dengan musik tradisional gamelan. Kelir
pertunjukan diterangi dengan lampu
blencong, sehingga jika dilihat dari
belakang layar akan terlihat bayangbayang wayang, yang biasa disebut
sebagai shadow puppets atau wayang
bayang-bayang [4].
Wayang kulit dibangun oleh beberapa
unsur yang saling terkait satu sama lain,
yaitu: masyarakat, boneka wayang,
dalang, adegan, gamelan, kelir, bayangbayang, dan blencong. Unsur-unsur
tersebut merupakan satu-kesatuan yang
merupakan
perwujudan
tindakan
simbolis [5] dari berbagai pihak meliputi
penanggap wayang, dalang, penabuh
gamelan, serta seniman pembuat wayang.
Pembeda antara wayang kulit purwa
dengan wayang lain salah satunya
ditentukan dari makna “purwa”. Purwa
berarti mula-mula, permulaan, dahulu;
yang mengisahkan cerita Ramayana dan
Mahabarata [6]. Wayang kulit purwa
yang
berkembang
di
Indonesia
menceritakan kisah Ramayana dan
Mahabarata, yang merupakan epos
utama. Selain dari kedua kitab tersebut,
cerita wayang kuit juga bersumber dari
carangan
pujangga
atau
dalang
Indonesia, yang disesuaikan dengan
kandungan fisolofi dan falsafah Jawa.
Bentuk wayang kulit purwa mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu,
yang dirangkum dalam empat periode
[7], yaitu: 1) pra Majapahit, 2)
Majapahit, 3) Kerajaan Islam, dan 4)
pasca kemerdekaan. Bentuk wayang
purwa
yang
telah
mencapai
kesempurnaan yaitu seperti yang ada
53
sekarang ini, mengacu pada wanda [8],
yang menentukan perbedaan bentuk fisik
tiap tokoh wayang. Wanda merupakan
variasi wujud wayang yang meliputi
bentuk mata, posisi wajah, warna tubuh,
dan sebagainya, yang digunakan untuk
mendukung suasana tertentu dalam
pertunjukan wayang (sedih, kasmaran,
bahagia).
2.2. Teknik Sabetan
Sabetan merupakan salah satu bentuk
keterampilan yang harus dimiliki dalang.
Sabetan yaitu unsur pakeliran yang
meliputi semua gerak dan penampilan
boneka wayang di depankelir yang
disajikan oleh dalang [9]. Interaksi yang
terjadi antara satu tokoh wayang terhadap
tokoh lain dalam bentuk perkataan
(dialog),
sikap,
serta
tindakan,
diwujudkan berupa perubahan gerakan
wayang pada sebagian tubuh (lengan dan
tangan) atau seluruh tubuh, serta
perpindahan boneka wayang dari satu
tempat ke tempat lain pada kelir.
Dalam pertunjukan, teknik sabetan dibagi
menjadi lima, yaitu:
a.
Cepengan,
cara
memegang
wayang. cepengan dipengaruhi ukuran
tokoh wayang serta wataknya.
Gambar 1. Cepengan tokoh Bima
[Sumber: Supriyono dkk (2008: 271)]
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
b.
Tanceban, penancapan boneka
wayang pada gedebog pisang, didasarkan
pada pangkat, usia, dan watak masingmasing tokoh.
c.
Bedholan,
yaitu
pencabutan
wayang dari posisi tanceban.
d.
Entas-entasan, gerakan wayang
meninggalkan panggung pertunjukan.
e.
Solah, semua kosa gerak tokoh
wayang dalam pertunjukan. Solah
merupakan inti dari teknik sabetan.
54
yaitu:
anjujur,
angapurancang,
mathentheng A/B/C, malang kadhak
A/B, malang kerik A/B, makidhupuh,
dan kingkin. Penggunaan bahasa rupa
wayang ditentukan oleh situasi dan
kondisi adegan yang sedang diceritakan,
sehingga digunakan sesuai keperluan.
2.3. Desain Interaksi
Desain Interaksi merupakan salah satu
kajian yang berhubungan dengan
interaksi antara manusia dan mesin
khususnya komputer. Desain Interaksi
secara lebih sempit merupakan suatu
kajian/disiplin
yang
memfasilitasi
interaksi manusia melalui jasa atau
produk teknologi yang berkemampuan
untuk merasakan sebuah permasalahan
komunikasi antara manusia, mesin serta
sistem [11].
Gambar 3. Contoh solah tokoh wayang
yang sedang berjalan
Keberadaan DI sebagai suatu disiplin
ilmu tidak bisa berdiri sendiri. Sebuah
produk atau jasa teknologi mengandung
beberapa konten yang saling mendukung,
seperti: teks, tombol, gambar, audio,
video, tampilan, bentuk, tekstur, link, dan
sebagainya. Setiap produk atau jasa
teknologi memiliki konten yang berbeda,
yang dipengaruhi oleh disiplin-disiplin
ilmu yang berhubungan dengan DI,
diantaranya: User Experience Design,
Information Architecture, Industrial
Design, Visual Design, Human Factor,
Sound
Design,
Human-Computer
Interaction, dan Architecture.
Teknik sabetan yang berlaku untuk tiap
tokoh berbeda, tergantung dari fisik dan
perwatakannya. Hal ini ditentukan oleh
bahasa rupa wayang [10], yaitu posisi
dasar yang digunakan dalang ketika
memegang dan memainkan boneka
wayang. Terdapat 11 jenis posisi yang
bisa diterapkan pada boneka wayang,
Information
Architecture
berkaitan
dengan struktur konten/isi yaitu cara
terbaik mengatur komposisi kontenkonten yang ada dalam sebuah
produk/jasa
sehingga
memudahkan
pengguna menemukan informasi yang
dibutuhkan. Visual Design mencakup
penciptaan
bahasa
visual
untuk
Gambar 2. Tanceban wayang
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
mengkomunikasikan konten. Industrial
Design cenderung berorientasi pada
produk desain berwujud konkrit, yang
mengkomunikasikan
kegunaan
semestinya.
Human
Factor
lebih
membahas penyesuaian produk/jasa
terhadap
keterbatasan
kemampuan
manusia secara fisik maupun psikologi.
Human-Computer Interaction membahas
hubungan antara pengguna dengan
produk/jasa dijembatani oleh suatu
sistem navigasi. Cara tombol bekerja, apa
dampak setelah tombol ditekan, apakah
tombol bisa dikenali dengan mudah oleh
pengguna, dan sebagainya termasuk
dalam
ranah
HCI.
Architecture
berhubungan erat dengan ruang fisik:
bentuk dan kegunaannya. Terakhir,
Sound Design membahas tentang satu set
suara, kata, atau musik yang digunakan
dalam sebuah produk/jasa.
Gambar 4. Teori DI beserta disiplin
ilmu terkait [Sumber: Dan Saffer
(2010: 21) ]
Setiap produk atau jasa mengandung
beberapa elemen yang saling berkaitan
satu sama lain, yaitu: gerakan, ruang,
waktu, penampilan, tekstur, dan suara.
Semua elemen tersebut tidak harus ada
55
dalam produk atau jasa yang dirancang,
karena disesuaikan dengan kebutuhan.
Gambar 5. Contoh implementasi teori
DI dalam produk smartphone [Sumber:
Rekonstruksi video Youtube]
2.4. Visual Kinetic Communication
(VKC)
VKC pada dasarnya merupakan salah
satu bentuk komunikasi non-verbal, yaitu
komunikasi
tanpa
melibatkan
perbendaharaan kata. VKC adalah suatu
cara manusia berkomunikasi dengan
objek lain melalui ungkapan bahasa
gerak (isyarat). VKC bisa menjadi
bahasa komunikasi utama, khususnya
bagi orang ber kelainan cacat fisik (tuli
dan bisu).
Dalam kehidupan sehari-hari, VKC
menjadi cara komunikasi yang digunakan
untuk media informasi modern seperti
televisi, film, iklan, dan yang cukup
berkembang sekarang yaitu game.
Khususnya di dalam game, VKC menjadi
suatu cara baru sebagai controller yang
berwujud
joystick, wiimote, touch
sense,dan aplikasi pada interface, motion
graphic atau animasi pada layar.
VKC berlandaskan pada karakteristik
dan jenis-jenis komunikasi non-verbal,
yang terdiri dari lima perilaku yaitu:
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
56
isyarat tangan, gerakan kepala, posisi
tubuh dan kaki, eskpresi wajah dan
tatapan mata, dan sentuhan.
Gambar 7. Algoritma Depth
Information, digunakan untuk menguji
kemampuan kinect dalam mendeteksi
posisi dan gerakan manusia [Sumber:
Lu Xia et al. (2011: 15)]
Gambar 6. Contoh kegiatan yang
berhubungan dengan VKC [Sumber :
Chandra Tresnadi, 2009: 28]
2.5. Sensor Kinect
Kinect merupakan salah satu perangkat
motion capture yang dikeluarkan oleh
Microsoft pada tahun 2009 sebagai
kontroller konsol Xbox, yang dikenal
dengan Project Natal. dalam dunia game
kinect memberikan kemudahan bagi
pengguna untuk mengontrol game secara
lebih
natural,
tanpa
memerlukan
perangkat tambahan semacam stick.
Semua hambatan yang ada saat
memainkan game akibat perangkat
kontroller yang kurang bekerja secara
maksimal
bisa
direduksi
bahkan
dihilangkan dengan penggunaan kinect
sebagai media penangkap gerakan
manusia.
Percobaan tentang penangkapan posisi
manusia menggunakan kinect sudah
dilakukan beberapa peneliti di luar
negeri. Pada dasarnya, penangkapan
posisi
tersebut
bertujuan
untuk
mengenali, memisah, dan membedakan
manusia sebagai objek utama dengan
objek sampingan serta latar. Algoritma
yang digunakan dlam penelitian tersebut
yaitu Depth Information [12].
3. ANALISIS TOKOH PANDAWA
BESERTA RAGAM SABETANNYA
3.1. Tokoh Pandawa
Tokoh Pandawa menjadi idola atau
pribadi yang dikagumi khususnya oleh
masyarakat Jawa. Pandawa menjadi
tokoh
protagonis
dalam
cerita
pewayangan khususnya Baratayuda.
Keanekaragaman sifat serta keahlian
masing-masing Pandawa menjadikannya
sebagai tokoh pewayangan yang hampir
sempurna dalam segala hal.
Visulisasi tokoh Pandawa pada dasarnya
dikelompokkan menjadi dua. Dilihat dari
ukuran fisik serta model busana, tokoh
Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa
termasuk wayang halusan/lampahan
(watak dan perilaku halus dan tubuh
kecil) dengan busana berupa dodot (kain)
bokongan (berbentuk seperti bokong).
Sedangkan Bima termasuk wayang
gagahan/jangkahan, karena tubuhnya
berukuran besar, serta menggunakan
dodot kunca (poleng bang bintulu).Dari
segi wajah, Yudistira dan Arjuna
memiliki wajah luruh (menunduk)
dengan mata liyepan dan hidung
mancung. Nakula dan Sadewa memiliki
bentuk mata dan hidung yang sama
dengan Yudistira, namun berwajah
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
longok
(menghadap
ke
depan).
Sedangkan Bima berwajah luruh, mata
thelengan dan berhidung tumpul.
Gambar 8. Tokoh Pandawa, dari kiri
atas ke kanan bawah: Yudistira, Bima,
Arjuna, Nakula-Sadewa [Sumber:
rekonstruksi Bratadjoeda Kartapradja
(1937: 50, 78, 83, 89) ]
3.2. Karakteristik Gerak Tokoh
Pandawa
Dengan mempertimbangkan ukuran fisik,
busana, watak, serta posisi wajah
masing-masing tokoh Pandawa, Bima
adalah tokoh Pandawa yang bergerak
cepat, spontan, berbobot, dan cenderung
kasar, yang dipengaruhi oleh fisik yang
besar, busana dodot kunca, serta
wataknya yang tegas. Nakula- Sadewa
bergerak lebih lambat dari Bima namun
lebih cepat dari Arjuna dan Yudistira,
didukung oleh watak genit dan wajahnya
yang longok. Berikutnya Arjuna, dengan
sifat yang halus dan lembut, jarak kaki
yang rapat, serta wajah luruh, Arjuna
57
digerakkan lebih lambat dari Bima dan
Nakula Sadewa, namun lebih cepat dari
Yudistira. Tempo yang dibutuhkan
Arjuna untuk berbagai gerak dalam
pewayangan merupakan standar bagi
beberapa tokoh wayang lain yang juga
berwajah luruh dan berbusana dodot
bokongan, misalnya: Pandu Dewanata,
Arjunasasrabahu, dan Palgunadi.
Dalam adegan pembuka, tempo gerak
berjalan masing-masing tokoh Pandawa
bisa ditentukan oleh jumlah ketukan atau
pukulan gender barung. Tokoh Bima
membutuhkan ± 4-5 ketukan untuk
berjalan dalam adegan jejer, Nakula dan
Sadewa ± 7-8 ketukan, Arjuna ± 9-10
ketukan, dan Yudistira ± 12-14 ketukan.
Untuk adegan biasa, jarak antara satu
ketukan nada dengan nada lain pada
gender
barungmembutuhkan
waktu
antara ¾ - 5/4 detik. Sedangkan pada
adegan perang, dalam satu detik bisa
dihasilkan 3-4 ketukan nada. Hal ini
menyesuaikan kebutuhan, karena dalam
adegan biasa pertunjukannya bersifat
santai, berbeda dengan adegan perang
yang bersuasana tegang dan bertempo
cepat, untuk menghasilkan sabetan yang
dinamis, cepat, dan gesit
3.3. Ragam Gerak (Sabetan) Yudistira
Yudistira merupakan anggota Pandawa
yang tidak banyak bergerak, kecuali
dalam adegan biasa (pembuka) yaitu
berjalan menuju kelir, memberi salam
kepada tamu, berbicara kepada tamu,
serta pergi meninggalkan siti inggil.
Dalam pertunjukan wayang Yudistira
tidak pernah dimainkan dalam adegan
perang, sehingga ragam sabetan yang
dimiliki Yudistira hanya sedikit.
58
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
Gambar 9. Cara memegang Yudistira
(dari kiri: anjujur, angapurancang,
malang kerik B)
(b)
Gambar 11. (a) Gerakan sembah raja
Yudistira kepada tamunya. (b) Gerakan
tangan sebagai ekspresi Yudistira ketika
sedang berbicara
3.3. Ragam Gerak (Sabetan) Bima
Ragam sabetan yang berlaku bagi tokoh
Bima lebih banyak dibanding Yudistira,
karena Bima termasuk tokoh yang aktif.
Beberapa sabetan Bima yang sering
digunakan yaitu berjalan menuju kelir
dalam adegan pembuka, memberi salam,
berbicara, pergi meninggalkan siti inggil,
bersiap perang, dan lain sebagainya.
Gambar 10. Gerakan berjalan Yudistira
posisi anjujur
Gambar 12. Cara Memegang Tokoh
Bima
(a)
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
59
Gambar 16. Gerakan sembah karna
Bima kepada Yudistira
Gambar 13. Gerakan berjalan Bima
dalam posisi mathentheng C
3.3. Ragam Gerak (Sabetan) Arjuna
Ragam sabetan yang berlaku untuk
Arjuna hampir sama dengan Bima, lebih
beragam dibanding Yudistira. Beberapa
sabetan tokoh Arjuna yang sering
digunakan dalam wayang kulit yaitu
berjalan, memberi salam, berbicara,
pergi, perang, dan lain sebagainya.
Gambar 14. Gerakan variasi 1 Bima
ketika akan bertarung
Gambar 17. Cara memegang wayang
Arjuna
Gambar 15. Gerakan variasi 2 Bima
ketika akan bertarung
Gambar 18. Gerakan berjalan Arjuna
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
Gambar 19. Gerakan variasi 2 Arjuna
saat bertarung melawan musuh
3.4. Ragam Gerak (Sabetan) Nakula
Sadewa
Dalam pertunjukan wayang penampilan
tokoh Nakula dan Sadewa kurang begitu
menonjol dibandingkan para kakaknya.
Kehadirannya
cenderung
sebagai
pelengkap, kecuali dalam cerita tertentu
yang menempatkan Nakula dan Sadewa
sebagai tokoh utama. Ragam sabetan
yang berlaku pada Nakula dan Sadewa
tidak sebanyak Bima maupun Arjuna.
Beberapa gerak yang sering digunakan
dalang untuk memainkan tokoh Si
Kembar yaitu: berjalan, memberi salam,
berbicara, dan lain sebagainya.
Gambar 20. Cara memegang wayang
Nakula
60
Gambar 21. Gerakan berjalan Nakula
4. PERANCANGAN APLIKASI
4.1. Tahapan Konsep
Tahapan konsep lebih lanjut membahas
tentang hal dasar yang menjadi gagasan
perancangan aplikasi teknik sabetan.
Konsep di sini akan dijabarkan dalam
beberapa subbab, yaitu: konsep umum,,
konsep media, serta target pengguna.
Konsep umum perancangan aplikasi ini
yaitu pengangkatan kesenian wayang
kulit purwa gaya Surakarta. Aplikasi ini
mengadaptasi pertunjukan wayang kulit
mulai dari aspek gerakan boneka wayang
hingga setting/latar yang digunakan.
Aplikasi teknik sabetan tokoh Pandawa
ditujukan kepada kelompok remaja
akhir-dewasa awal dengan usia antara
17-25 tahun, khususnya yang berdomisili
di kota Semarang.
Perwujudan aplikasi interaktif teknik
sabetan menggunakan kombinasi tiga
media, yaitu komputer, sensor kinect,
dan manusia. Komputer diperlukan untuk
menjalankan aplikasi yang dibuat,
manusia merupakan media input untuk
menggerakkan wayang, sedangkan kinect
untuk menangkap gerakan tangan
manusia dan diterjemahkan menjadi
gerak virtual pada wayang Pandawa
dalam komputer.
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
61
Gambar 24. Tampilan layar
Gambar 22. Konsep media yang
digunakan dalam aplikasi
4.2 Tahapan Desain
Tahapan ini meliputi pembuatan aset
yang diperlukan untuk aplikasi, mulai
dari digitalisasi tokoh Pandawa, logo,
nama aplikasi, tombol, layar, dan
sebagainya.
Gambar 25. Nama Aplikasi
Gambar 26. Logo aplikasi Dalang
Virtual (DV)
Gambar 27. Beberapa tombol dalam
aplikasi
Gambar 23. Visualisasi tokoh Pandawa
yang dibuat mirip dengan fisik wayang
kulitnya
4.3. Pengujian Aplikasi
Tahapan ini merupakan pengujian
aplikasi Dalang Virtual yang telah
dibuat, dimulai dari sistem tombol,
perpindahan
tampilan,
hingga
penggerakan tokoh Pandawa yang dipilih
pengguna. Secara garis besar, aplikasi ini
dimulai dari tampilan splashscreen yang
berlanjut menuju video trailer, baru
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
kemudian masuk ke menu utama yang
terdiri dari lima pilihan menu. Beberapa
screenshot aplikasi yang telah diuji akan
ditampilkan sebagai berikut:
Gambar 31. Tampilan menu help
Gambar 28. Tampilan splashscreen
aplikasi
.
Gambar 32. Tampilan menu info
Gambar 29. Tampilan video trailer
aplikasi
Gambar 33. Tampilan menu tutorial
62
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
63
5. PENUTUP
Gambar 34. Tampilan saat tokoh
Yudistira dimainkan
Gambar 35. Tampilan saat tokoh Bima
dimainkan
Gambar 36. Tampilan aplikasi pada
komputer beserta sensor kinectnya
Gambar 37. Tampilan coding aplikasi
sebelum dijalankan
Aplikasi Dalang Virtual merupakan
perwujudan
dari
gagasan
untuk
mengkolaborasikan kesenian tradisional
dengan kemajuan teknologi di era
modern ini. Kesenian wayang kulit
menjadi tema penelitian utama, dengan
mengangkat ragam gerak wayang
(sabetan) tokoh Pandawa. Sensor kinect
menjadi
perangkat
utama
untuk
mengimplementasikan ragam gerak
tersebut menjadi sebuah aplikasi yang
bisa dimainkan.
Penelitian ini belum sepenuhnya
sempurna meskipun tidak ada syntax
error. Terdapat beberapa problem yang
ada dalam aplikasi Dalang Virtual ini.
Beberapa keluhan dari peneliti yaitu:
delay yang agak lama ketika pengguna
menyeleksi tombol, dengan adanya
konten video pada beberapa menu,
membuat aplikasi berjalan lebih lambat,
gerakan tangan dan tubuh wayang tidak
bisa sehalus gerakan tangan pengguna
saat berdiri di depan sensor kinect,
beberapa ragam gerak tokoh Pandawa
yang biasa digunakan dalam pertunjukan
belum sepenuhnya bisa diadaptasi dalam
aplikasi, serta kurang presisinya jarak
yang tepat antara pengguna dengan
sensor kinect sehingga terkadang ketika
jaraknya kurang pas, kursor sedikit susah
dikendalikan oleh pengguna.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk
benar-benar
bisa
mengimplementasikan ragam gerak
wayang kulit melalui media digital
semacam sensor kinect. Aplikasi ini akan
lebih baik jika bisa dijalankan tanpa
menggunakan kinect, sebagai gantinya
menggunakan webcam pada perangkat
notebook yang harganya jauh lebih
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
murah dan tidak harus membawa kinect
setiap kali ingin memainkan aplikasi ini.
Dengan adanya aplikasi ini diharapkan
generasi muda bisa kembali mengenal
dan dekat dengan wayang kulit,
meskipun sudah melibatkan teknologi
yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Murtiyoso,
Bambang
(2004):
Pertumbuhan dan Perkembangan
Seni
Pertunjukan
Wayang.
Surakarta: Citra Etnika
[2] Faruk (1996): Modernisasi dan
Perkembangan Sastra Etnis: Soal
Wayang Kulit Jawa dalam Kisah
Kampung Halaman: Masyarakat,
Suku,
Agam
Resmi
dan
Pembangunan. Jogjakarta: Interfidei
[3] Budiman, R. dkk. (2012): Integrasi
Kinect dan Unreal Development Kit
Menggunakan
Kerangka
Kerja
OpenNI Pada Studi Kasus Game
Berbasis Interaksi Gerakan. Jurnal
Teknik, Vol 1[1], h 208-210.
Surabaya: ITS
[4] Yasasusastra, J. S. (2011): Mengenal
Tokoh
Pewayangan:
Biografi,
Bentuk,
dan
Perwatakannya.
Jogjakarta: Pustaka Medika
[5] Susetya, Wawan. (2007): Dhalang,
Wayang dan Gamelan. Jogjakarta:
Narasi
[6] Anonim. (2008): Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan
[7] Haryanto, S. (1991): Seni Kriya
Wayang
Kulit:
Seni
Rupa,
Sunggingan dan Tatahan. Jakarta:
Grafiti
[8] Permana, Isa M. Dkk. (2007):
Tasawuf dan Perupaan Pada Wayang
Kulit Cirebon dan Surakarta. Jurnal
64
Wimba, Vol 1D[2], 181-195.
Bandung: ITB
[9] Murtiyoso,
Bambang
(2004):
Pertumbuhan dan Perkembangan
Seni
Pertunjukan
Wayang.
Surakarta: Citra Etnika
[10] Ismurdyahwati dkk (2007): Kajian
Bahasa Rupa Berdasar Rekaman
Video Pergelaran Wayang Kulit
Purwa dalam lakon “Parta Krama”.
Jurnal Wimba, Vol 1D[3], h 364390. Bandung: ITB
[11] Saffer, Dan. (2010): Designing for
Interaction: Creating Innovative
Application and Device. California:
New Rider
[12] Lu Xia, et.al (2011): Human
Detection Using Depth Information
By Kinect. Artikel
Penelitian.
Universitas Texas
[13] Candra, Miki. (2007): Perancangan
Permainan Digital Dewa Ruci
Sebagai Media Pengenalan Wayang
Bagi Remaja. Tesis Magister Desain.
Bandung: ITB
[14] Tresnadi,
Chandra.
(2009):
Perancangan Game Partisipatory
Batik NITIKI. Tesis Magister
Desain. Bandung: ITB
[15] Oikonomidis, Iason, et.al. (2011):
Efficient Model-based 3D Tracking
of Hand Articulations Using Kinect.
Greece: University of Crete
IMPLEMENTASI TEKNIK SABETAN MELALUI KINECT
(STUDI KASUS PENGENALAN GERAK WAYANG KULIT TOKOH
PANDAWA)
Toto Haryadi 1, Irfansyah 2, Imam Santosa 3
1,2
Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
Telp. : (022) 2500935, Fax : (022) 2500935
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Perkembangan hiburan barat yang datang ke Indonesia menjauhkan generasi muda dari seni
tradisional, salah satunya adalah wayang kulit. Generasi muda lebih menyukai hiburan berupa
konser musik, film dan game, yang didukung oleh teknologi yang canggih. Wayang kulit dapat
menjadi makin terpinggirkan, maka usaha harus dibuat untuk mendekatkan generasi muda pada
wayang kulit, yang dapat dilakukan dengan wayang kulit digital. Perancangan aplikasi “Dalang
Virtual” yang terdiri dari variasi gerakan dari Pandawa yang disebut teknik pergerakan
wayangadalah satu dari bentuk wayang digital yang menggabungkan seni tradisional dengan
teknologi motion capture (sensor kinect) melalui penelitian dan eksperimen. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini termasuk pengumpulan data, analisa data dan perancangan
aplikasi berbasis metode desain multimedia (MDLC) dan teori interaksi desain. Data dikumpulkan
menggunakan metode deskriptif kualitatif, wawancara, observasi, dokumentasi dan studi literatur.
Data tentang Pandawa seperti visualisasi fisik dan atribut, karakter, bagaimana memainkan
karakter dan contoh teknik menggerakkan wayang dianalisa dan diolah untuk digunakan sebagai
referensi dalam merancang aset pada aplikasi, dengan mengadaptasi konsep wayang kulit dalam
bentuk tradisional. Penelitian ini menghasilkan prototipe dari aplikasi interaktif “Dalang Virtual”
yang mengimplementasikan variasi teknik gerakan wayang Pandawa yang umum digunakan dalam
pertunjukan wayang. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memaksimalkan performa dari
aplikasi ini dan juga meningkatkan kompatibilitas sensor kinect dalam implementasi teknik
gerakan wayang Pandawa.
Abstract
The rise of western entertainments that come into Indonesia further segregates youth form
traditional arts, one of them is shadow puppets. Youth prefer entertainments in the form of music
concert, film, and game, which supported by the advancement of technology. Shadow puppets can
be endangered, efforts should be made to get closer the youth to shadow puppets, one of which is
through digitalization of shadow puppets. Designing of Interactive application “Dalang Virtual”
which contains motion variety of Pandavas that called puppets movement technique is one of
digitalization shadow puppets form that combines traditional art with motion capture technology
(kinect sensor) through research and experiment. The method which used in this study includes
collecting data, analyzing data, and designing application based on multimedia design method
(MDLC) and Design Interaction Theory. The data was collected using qualitative descriptive
method, through interview, observation, documentation, and study of literature. Data about
Pandavas such as physical visualization and the attribute, characterization, how to play character,
and sample of puppets movement technique were analyzed and processed to be used as reference of
designing assets in application, by adaptating shadow puppets concept in traditional form.This
research resulted in a prototype of interactive appication “Dalang Virtual” that implements
51
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
52
variety of Pandavas’ puppets movement technique which commonly used in puppets show. Further
research is needed to maximize performance of this application and also improve kinect sensor
compatibility in implementation Pandavas’ puppets movement technique.
Keywords : Puppet Movement, Pandavas, Dalang, Kinect, Interactive Application
1. PENDAHULUAN
Wayang kulit purwa merupakan salah
satu kesenian Jawa yang berkembang
menjadi
kesenian
nasional
dan
internasional, yang dibangun oleh
beberapa unsur yang saling selaras yakni:
cerita (lakon), lagu pengiring (gending),
dialog (catur), dan gerak wayang
(sabetan). Perkembangan wayang kulit
sekarang lebih menonjolkan kemampuan
dalang dalam memainkan wayang, yang
dikenal dengan istilah sabet. Hal ini
didukung semakin banyak dalang yang
memiliki kemampuan sabet luar biasa.
Terjadinya modernisasi yang ditandai
semakin
majunya
teknologi
dan
masuknya budaya barat ke Indonesia
menyebabkan wayang kulit mulai
ditinggalkan masyarakat, khususnya
kalangan muda. Film, konser musik, dan
game lebih disukai dibanding wayang
kulit yang dianggap kuno dan tidak
mengikuti perkembangan jaman. Di sisi
lain, sebenarnya generasi muda memiliki
ketertarikan terhadap sabetan wayang
[1]. Upaya mendekatkan generasi muda
kepada kesenian wayang kulit melalui
teknik sabetan belum pernah dilakukan
oleh pihak terkait (dalang) dan
merupakan terobosan baru dalam dunia
pewayangan. Namun belum adanya cara
dan media yang efektif dan diminati
kalangan muda menjadi masalah
tersendiri, karena generasi muda hidup di
era digital, sedangkan wayang kulit
berkembang dengan tradisi lisan [2].
Kemajuan
teknologi
dimanfaatkan pihak
belum
bisa
terkait untuk
mendukung upaya pendekatan wayang
kulit kepada kalangan muda. Salah satu
teknologi digital yang cukup berkembang
yaitu sensor gerak (motion capture).
Sensor gerak, salah satunya kinect,
mampu mendeteksi gerakan manusia.
Dalam dunia game, kinect digunakan
untuk konsol Xbox360 yang bersifat
realtime dan alami.
Kinect tidak hanya dimanfaatkan dalam
bidang hiburan [3], tetapi juga digunakan
dalam bidang kesehatan dan pendidikan
yang bisa dioperasikan pada perangkat
komputer. Karakteristik interaksi yang
dimiliki kinect bisa diadopsi untuk
mengimplementasikan teknik sabet yang
menjadi kesukaan kalangan muda.
Perancangan aplikasi interaktif Dalang
Virtual menjadi salah satu bentuk upaya
digitalisasi wayang kulit yang bertujuan
mengenalkan atau mendekatkan kembali
kalangan muda terhadap wayang kulit
melalui teknik sabetan, yang ditujukan
bagi kelompok usia 17-25 tahun.
2. PUSTAKA TENTANG WAYANG
KULIT
PURWA,
TEKNIK
SABETAN, DESAIN INTERAKSI,
VKC, dan SENSOR KINECT
2.1. Wayang Kulit Purwa
Wayang
kulit
merupakan
suatu
pertunjukan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Jawa dengan media berupa
boneka wayang dari kulit kerbau,
dimainkan dan dipimpin oleh dalang di
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
depan kelir (layar) yang dibentangkan.
Pertunjukan tersebut mengacu pada
adegan-adegan dalam suatu cerita yang
telah ditentukan sebelumnya dan diiringi
dengan musik tradisional gamelan. Kelir
pertunjukan diterangi dengan lampu
blencong, sehingga jika dilihat dari
belakang layar akan terlihat bayangbayang wayang, yang biasa disebut
sebagai shadow puppets atau wayang
bayang-bayang [4].
Wayang kulit dibangun oleh beberapa
unsur yang saling terkait satu sama lain,
yaitu: masyarakat, boneka wayang,
dalang, adegan, gamelan, kelir, bayangbayang, dan blencong. Unsur-unsur
tersebut merupakan satu-kesatuan yang
merupakan
perwujudan
tindakan
simbolis [5] dari berbagai pihak meliputi
penanggap wayang, dalang, penabuh
gamelan, serta seniman pembuat wayang.
Pembeda antara wayang kulit purwa
dengan wayang lain salah satunya
ditentukan dari makna “purwa”. Purwa
berarti mula-mula, permulaan, dahulu;
yang mengisahkan cerita Ramayana dan
Mahabarata [6]. Wayang kulit purwa
yang
berkembang
di
Indonesia
menceritakan kisah Ramayana dan
Mahabarata, yang merupakan epos
utama. Selain dari kedua kitab tersebut,
cerita wayang kuit juga bersumber dari
carangan
pujangga
atau
dalang
Indonesia, yang disesuaikan dengan
kandungan fisolofi dan falsafah Jawa.
Bentuk wayang kulit purwa mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu,
yang dirangkum dalam empat periode
[7], yaitu: 1) pra Majapahit, 2)
Majapahit, 3) Kerajaan Islam, dan 4)
pasca kemerdekaan. Bentuk wayang
purwa
yang
telah
mencapai
kesempurnaan yaitu seperti yang ada
53
sekarang ini, mengacu pada wanda [8],
yang menentukan perbedaan bentuk fisik
tiap tokoh wayang. Wanda merupakan
variasi wujud wayang yang meliputi
bentuk mata, posisi wajah, warna tubuh,
dan sebagainya, yang digunakan untuk
mendukung suasana tertentu dalam
pertunjukan wayang (sedih, kasmaran,
bahagia).
2.2. Teknik Sabetan
Sabetan merupakan salah satu bentuk
keterampilan yang harus dimiliki dalang.
Sabetan yaitu unsur pakeliran yang
meliputi semua gerak dan penampilan
boneka wayang di depankelir yang
disajikan oleh dalang [9]. Interaksi yang
terjadi antara satu tokoh wayang terhadap
tokoh lain dalam bentuk perkataan
(dialog),
sikap,
serta
tindakan,
diwujudkan berupa perubahan gerakan
wayang pada sebagian tubuh (lengan dan
tangan) atau seluruh tubuh, serta
perpindahan boneka wayang dari satu
tempat ke tempat lain pada kelir.
Dalam pertunjukan, teknik sabetan dibagi
menjadi lima, yaitu:
a.
Cepengan,
cara
memegang
wayang. cepengan dipengaruhi ukuran
tokoh wayang serta wataknya.
Gambar 1. Cepengan tokoh Bima
[Sumber: Supriyono dkk (2008: 271)]
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
b.
Tanceban, penancapan boneka
wayang pada gedebog pisang, didasarkan
pada pangkat, usia, dan watak masingmasing tokoh.
c.
Bedholan,
yaitu
pencabutan
wayang dari posisi tanceban.
d.
Entas-entasan, gerakan wayang
meninggalkan panggung pertunjukan.
e.
Solah, semua kosa gerak tokoh
wayang dalam pertunjukan. Solah
merupakan inti dari teknik sabetan.
54
yaitu:
anjujur,
angapurancang,
mathentheng A/B/C, malang kadhak
A/B, malang kerik A/B, makidhupuh,
dan kingkin. Penggunaan bahasa rupa
wayang ditentukan oleh situasi dan
kondisi adegan yang sedang diceritakan,
sehingga digunakan sesuai keperluan.
2.3. Desain Interaksi
Desain Interaksi merupakan salah satu
kajian yang berhubungan dengan
interaksi antara manusia dan mesin
khususnya komputer. Desain Interaksi
secara lebih sempit merupakan suatu
kajian/disiplin
yang
memfasilitasi
interaksi manusia melalui jasa atau
produk teknologi yang berkemampuan
untuk merasakan sebuah permasalahan
komunikasi antara manusia, mesin serta
sistem [11].
Gambar 3. Contoh solah tokoh wayang
yang sedang berjalan
Keberadaan DI sebagai suatu disiplin
ilmu tidak bisa berdiri sendiri. Sebuah
produk atau jasa teknologi mengandung
beberapa konten yang saling mendukung,
seperti: teks, tombol, gambar, audio,
video, tampilan, bentuk, tekstur, link, dan
sebagainya. Setiap produk atau jasa
teknologi memiliki konten yang berbeda,
yang dipengaruhi oleh disiplin-disiplin
ilmu yang berhubungan dengan DI,
diantaranya: User Experience Design,
Information Architecture, Industrial
Design, Visual Design, Human Factor,
Sound
Design,
Human-Computer
Interaction, dan Architecture.
Teknik sabetan yang berlaku untuk tiap
tokoh berbeda, tergantung dari fisik dan
perwatakannya. Hal ini ditentukan oleh
bahasa rupa wayang [10], yaitu posisi
dasar yang digunakan dalang ketika
memegang dan memainkan boneka
wayang. Terdapat 11 jenis posisi yang
bisa diterapkan pada boneka wayang,
Information
Architecture
berkaitan
dengan struktur konten/isi yaitu cara
terbaik mengatur komposisi kontenkonten yang ada dalam sebuah
produk/jasa
sehingga
memudahkan
pengguna menemukan informasi yang
dibutuhkan. Visual Design mencakup
penciptaan
bahasa
visual
untuk
Gambar 2. Tanceban wayang
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
mengkomunikasikan konten. Industrial
Design cenderung berorientasi pada
produk desain berwujud konkrit, yang
mengkomunikasikan
kegunaan
semestinya.
Human
Factor
lebih
membahas penyesuaian produk/jasa
terhadap
keterbatasan
kemampuan
manusia secara fisik maupun psikologi.
Human-Computer Interaction membahas
hubungan antara pengguna dengan
produk/jasa dijembatani oleh suatu
sistem navigasi. Cara tombol bekerja, apa
dampak setelah tombol ditekan, apakah
tombol bisa dikenali dengan mudah oleh
pengguna, dan sebagainya termasuk
dalam
ranah
HCI.
Architecture
berhubungan erat dengan ruang fisik:
bentuk dan kegunaannya. Terakhir,
Sound Design membahas tentang satu set
suara, kata, atau musik yang digunakan
dalam sebuah produk/jasa.
Gambar 4. Teori DI beserta disiplin
ilmu terkait [Sumber: Dan Saffer
(2010: 21) ]
Setiap produk atau jasa mengandung
beberapa elemen yang saling berkaitan
satu sama lain, yaitu: gerakan, ruang,
waktu, penampilan, tekstur, dan suara.
Semua elemen tersebut tidak harus ada
55
dalam produk atau jasa yang dirancang,
karena disesuaikan dengan kebutuhan.
Gambar 5. Contoh implementasi teori
DI dalam produk smartphone [Sumber:
Rekonstruksi video Youtube]
2.4. Visual Kinetic Communication
(VKC)
VKC pada dasarnya merupakan salah
satu bentuk komunikasi non-verbal, yaitu
komunikasi
tanpa
melibatkan
perbendaharaan kata. VKC adalah suatu
cara manusia berkomunikasi dengan
objek lain melalui ungkapan bahasa
gerak (isyarat). VKC bisa menjadi
bahasa komunikasi utama, khususnya
bagi orang ber kelainan cacat fisik (tuli
dan bisu).
Dalam kehidupan sehari-hari, VKC
menjadi cara komunikasi yang digunakan
untuk media informasi modern seperti
televisi, film, iklan, dan yang cukup
berkembang sekarang yaitu game.
Khususnya di dalam game, VKC menjadi
suatu cara baru sebagai controller yang
berwujud
joystick, wiimote, touch
sense,dan aplikasi pada interface, motion
graphic atau animasi pada layar.
VKC berlandaskan pada karakteristik
dan jenis-jenis komunikasi non-verbal,
yang terdiri dari lima perilaku yaitu:
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
56
isyarat tangan, gerakan kepala, posisi
tubuh dan kaki, eskpresi wajah dan
tatapan mata, dan sentuhan.
Gambar 7. Algoritma Depth
Information, digunakan untuk menguji
kemampuan kinect dalam mendeteksi
posisi dan gerakan manusia [Sumber:
Lu Xia et al. (2011: 15)]
Gambar 6. Contoh kegiatan yang
berhubungan dengan VKC [Sumber :
Chandra Tresnadi, 2009: 28]
2.5. Sensor Kinect
Kinect merupakan salah satu perangkat
motion capture yang dikeluarkan oleh
Microsoft pada tahun 2009 sebagai
kontroller konsol Xbox, yang dikenal
dengan Project Natal. dalam dunia game
kinect memberikan kemudahan bagi
pengguna untuk mengontrol game secara
lebih
natural,
tanpa
memerlukan
perangkat tambahan semacam stick.
Semua hambatan yang ada saat
memainkan game akibat perangkat
kontroller yang kurang bekerja secara
maksimal
bisa
direduksi
bahkan
dihilangkan dengan penggunaan kinect
sebagai media penangkap gerakan
manusia.
Percobaan tentang penangkapan posisi
manusia menggunakan kinect sudah
dilakukan beberapa peneliti di luar
negeri. Pada dasarnya, penangkapan
posisi
tersebut
bertujuan
untuk
mengenali, memisah, dan membedakan
manusia sebagai objek utama dengan
objek sampingan serta latar. Algoritma
yang digunakan dlam penelitian tersebut
yaitu Depth Information [12].
3. ANALISIS TOKOH PANDAWA
BESERTA RAGAM SABETANNYA
3.1. Tokoh Pandawa
Tokoh Pandawa menjadi idola atau
pribadi yang dikagumi khususnya oleh
masyarakat Jawa. Pandawa menjadi
tokoh
protagonis
dalam
cerita
pewayangan khususnya Baratayuda.
Keanekaragaman sifat serta keahlian
masing-masing Pandawa menjadikannya
sebagai tokoh pewayangan yang hampir
sempurna dalam segala hal.
Visulisasi tokoh Pandawa pada dasarnya
dikelompokkan menjadi dua. Dilihat dari
ukuran fisik serta model busana, tokoh
Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa
termasuk wayang halusan/lampahan
(watak dan perilaku halus dan tubuh
kecil) dengan busana berupa dodot (kain)
bokongan (berbentuk seperti bokong).
Sedangkan Bima termasuk wayang
gagahan/jangkahan, karena tubuhnya
berukuran besar, serta menggunakan
dodot kunca (poleng bang bintulu).Dari
segi wajah, Yudistira dan Arjuna
memiliki wajah luruh (menunduk)
dengan mata liyepan dan hidung
mancung. Nakula dan Sadewa memiliki
bentuk mata dan hidung yang sama
dengan Yudistira, namun berwajah
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
longok
(menghadap
ke
depan).
Sedangkan Bima berwajah luruh, mata
thelengan dan berhidung tumpul.
Gambar 8. Tokoh Pandawa, dari kiri
atas ke kanan bawah: Yudistira, Bima,
Arjuna, Nakula-Sadewa [Sumber:
rekonstruksi Bratadjoeda Kartapradja
(1937: 50, 78, 83, 89) ]
3.2. Karakteristik Gerak Tokoh
Pandawa
Dengan mempertimbangkan ukuran fisik,
busana, watak, serta posisi wajah
masing-masing tokoh Pandawa, Bima
adalah tokoh Pandawa yang bergerak
cepat, spontan, berbobot, dan cenderung
kasar, yang dipengaruhi oleh fisik yang
besar, busana dodot kunca, serta
wataknya yang tegas. Nakula- Sadewa
bergerak lebih lambat dari Bima namun
lebih cepat dari Arjuna dan Yudistira,
didukung oleh watak genit dan wajahnya
yang longok. Berikutnya Arjuna, dengan
sifat yang halus dan lembut, jarak kaki
yang rapat, serta wajah luruh, Arjuna
57
digerakkan lebih lambat dari Bima dan
Nakula Sadewa, namun lebih cepat dari
Yudistira. Tempo yang dibutuhkan
Arjuna untuk berbagai gerak dalam
pewayangan merupakan standar bagi
beberapa tokoh wayang lain yang juga
berwajah luruh dan berbusana dodot
bokongan, misalnya: Pandu Dewanata,
Arjunasasrabahu, dan Palgunadi.
Dalam adegan pembuka, tempo gerak
berjalan masing-masing tokoh Pandawa
bisa ditentukan oleh jumlah ketukan atau
pukulan gender barung. Tokoh Bima
membutuhkan ± 4-5 ketukan untuk
berjalan dalam adegan jejer, Nakula dan
Sadewa ± 7-8 ketukan, Arjuna ± 9-10
ketukan, dan Yudistira ± 12-14 ketukan.
Untuk adegan biasa, jarak antara satu
ketukan nada dengan nada lain pada
gender
barungmembutuhkan
waktu
antara ¾ - 5/4 detik. Sedangkan pada
adegan perang, dalam satu detik bisa
dihasilkan 3-4 ketukan nada. Hal ini
menyesuaikan kebutuhan, karena dalam
adegan biasa pertunjukannya bersifat
santai, berbeda dengan adegan perang
yang bersuasana tegang dan bertempo
cepat, untuk menghasilkan sabetan yang
dinamis, cepat, dan gesit
3.3. Ragam Gerak (Sabetan) Yudistira
Yudistira merupakan anggota Pandawa
yang tidak banyak bergerak, kecuali
dalam adegan biasa (pembuka) yaitu
berjalan menuju kelir, memberi salam
kepada tamu, berbicara kepada tamu,
serta pergi meninggalkan siti inggil.
Dalam pertunjukan wayang Yudistira
tidak pernah dimainkan dalam adegan
perang, sehingga ragam sabetan yang
dimiliki Yudistira hanya sedikit.
58
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
Gambar 9. Cara memegang Yudistira
(dari kiri: anjujur, angapurancang,
malang kerik B)
(b)
Gambar 11. (a) Gerakan sembah raja
Yudistira kepada tamunya. (b) Gerakan
tangan sebagai ekspresi Yudistira ketika
sedang berbicara
3.3. Ragam Gerak (Sabetan) Bima
Ragam sabetan yang berlaku bagi tokoh
Bima lebih banyak dibanding Yudistira,
karena Bima termasuk tokoh yang aktif.
Beberapa sabetan Bima yang sering
digunakan yaitu berjalan menuju kelir
dalam adegan pembuka, memberi salam,
berbicara, pergi meninggalkan siti inggil,
bersiap perang, dan lain sebagainya.
Gambar 10. Gerakan berjalan Yudistira
posisi anjujur
Gambar 12. Cara Memegang Tokoh
Bima
(a)
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
59
Gambar 16. Gerakan sembah karna
Bima kepada Yudistira
Gambar 13. Gerakan berjalan Bima
dalam posisi mathentheng C
3.3. Ragam Gerak (Sabetan) Arjuna
Ragam sabetan yang berlaku untuk
Arjuna hampir sama dengan Bima, lebih
beragam dibanding Yudistira. Beberapa
sabetan tokoh Arjuna yang sering
digunakan dalam wayang kulit yaitu
berjalan, memberi salam, berbicara,
pergi, perang, dan lain sebagainya.
Gambar 14. Gerakan variasi 1 Bima
ketika akan bertarung
Gambar 17. Cara memegang wayang
Arjuna
Gambar 15. Gerakan variasi 2 Bima
ketika akan bertarung
Gambar 18. Gerakan berjalan Arjuna
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
Gambar 19. Gerakan variasi 2 Arjuna
saat bertarung melawan musuh
3.4. Ragam Gerak (Sabetan) Nakula
Sadewa
Dalam pertunjukan wayang penampilan
tokoh Nakula dan Sadewa kurang begitu
menonjol dibandingkan para kakaknya.
Kehadirannya
cenderung
sebagai
pelengkap, kecuali dalam cerita tertentu
yang menempatkan Nakula dan Sadewa
sebagai tokoh utama. Ragam sabetan
yang berlaku pada Nakula dan Sadewa
tidak sebanyak Bima maupun Arjuna.
Beberapa gerak yang sering digunakan
dalang untuk memainkan tokoh Si
Kembar yaitu: berjalan, memberi salam,
berbicara, dan lain sebagainya.
Gambar 20. Cara memegang wayang
Nakula
60
Gambar 21. Gerakan berjalan Nakula
4. PERANCANGAN APLIKASI
4.1. Tahapan Konsep
Tahapan konsep lebih lanjut membahas
tentang hal dasar yang menjadi gagasan
perancangan aplikasi teknik sabetan.
Konsep di sini akan dijabarkan dalam
beberapa subbab, yaitu: konsep umum,,
konsep media, serta target pengguna.
Konsep umum perancangan aplikasi ini
yaitu pengangkatan kesenian wayang
kulit purwa gaya Surakarta. Aplikasi ini
mengadaptasi pertunjukan wayang kulit
mulai dari aspek gerakan boneka wayang
hingga setting/latar yang digunakan.
Aplikasi teknik sabetan tokoh Pandawa
ditujukan kepada kelompok remaja
akhir-dewasa awal dengan usia antara
17-25 tahun, khususnya yang berdomisili
di kota Semarang.
Perwujudan aplikasi interaktif teknik
sabetan menggunakan kombinasi tiga
media, yaitu komputer, sensor kinect,
dan manusia. Komputer diperlukan untuk
menjalankan aplikasi yang dibuat,
manusia merupakan media input untuk
menggerakkan wayang, sedangkan kinect
untuk menangkap gerakan tangan
manusia dan diterjemahkan menjadi
gerak virtual pada wayang Pandawa
dalam komputer.
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
61
Gambar 24. Tampilan layar
Gambar 22. Konsep media yang
digunakan dalam aplikasi
4.2 Tahapan Desain
Tahapan ini meliputi pembuatan aset
yang diperlukan untuk aplikasi, mulai
dari digitalisasi tokoh Pandawa, logo,
nama aplikasi, tombol, layar, dan
sebagainya.
Gambar 25. Nama Aplikasi
Gambar 26. Logo aplikasi Dalang
Virtual (DV)
Gambar 27. Beberapa tombol dalam
aplikasi
Gambar 23. Visualisasi tokoh Pandawa
yang dibuat mirip dengan fisik wayang
kulitnya
4.3. Pengujian Aplikasi
Tahapan ini merupakan pengujian
aplikasi Dalang Virtual yang telah
dibuat, dimulai dari sistem tombol,
perpindahan
tampilan,
hingga
penggerakan tokoh Pandawa yang dipilih
pengguna. Secara garis besar, aplikasi ini
dimulai dari tampilan splashscreen yang
berlanjut menuju video trailer, baru
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
kemudian masuk ke menu utama yang
terdiri dari lima pilihan menu. Beberapa
screenshot aplikasi yang telah diuji akan
ditampilkan sebagai berikut:
Gambar 31. Tampilan menu help
Gambar 28. Tampilan splashscreen
aplikasi
.
Gambar 32. Tampilan menu info
Gambar 29. Tampilan video trailer
aplikasi
Gambar 33. Tampilan menu tutorial
62
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
63
5. PENUTUP
Gambar 34. Tampilan saat tokoh
Yudistira dimainkan
Gambar 35. Tampilan saat tokoh Bima
dimainkan
Gambar 36. Tampilan aplikasi pada
komputer beserta sensor kinectnya
Gambar 37. Tampilan coding aplikasi
sebelum dijalankan
Aplikasi Dalang Virtual merupakan
perwujudan
dari
gagasan
untuk
mengkolaborasikan kesenian tradisional
dengan kemajuan teknologi di era
modern ini. Kesenian wayang kulit
menjadi tema penelitian utama, dengan
mengangkat ragam gerak wayang
(sabetan) tokoh Pandawa. Sensor kinect
menjadi
perangkat
utama
untuk
mengimplementasikan ragam gerak
tersebut menjadi sebuah aplikasi yang
bisa dimainkan.
Penelitian ini belum sepenuhnya
sempurna meskipun tidak ada syntax
error. Terdapat beberapa problem yang
ada dalam aplikasi Dalang Virtual ini.
Beberapa keluhan dari peneliti yaitu:
delay yang agak lama ketika pengguna
menyeleksi tombol, dengan adanya
konten video pada beberapa menu,
membuat aplikasi berjalan lebih lambat,
gerakan tangan dan tubuh wayang tidak
bisa sehalus gerakan tangan pengguna
saat berdiri di depan sensor kinect,
beberapa ragam gerak tokoh Pandawa
yang biasa digunakan dalam pertunjukan
belum sepenuhnya bisa diadaptasi dalam
aplikasi, serta kurang presisinya jarak
yang tepat antara pengguna dengan
sensor kinect sehingga terkadang ketika
jaraknya kurang pas, kursor sedikit susah
dikendalikan oleh pengguna.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk
benar-benar
bisa
mengimplementasikan ragam gerak
wayang kulit melalui media digital
semacam sensor kinect. Aplikasi ini akan
lebih baik jika bisa dijalankan tanpa
menggunakan kinect, sebagai gantinya
menggunakan webcam pada perangkat
notebook yang harganya jauh lebih
Techno.COM, Vol. 12, No. 1, Februari 2013: 51-64
murah dan tidak harus membawa kinect
setiap kali ingin memainkan aplikasi ini.
Dengan adanya aplikasi ini diharapkan
generasi muda bisa kembali mengenal
dan dekat dengan wayang kulit,
meskipun sudah melibatkan teknologi
yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Murtiyoso,
Bambang
(2004):
Pertumbuhan dan Perkembangan
Seni
Pertunjukan
Wayang.
Surakarta: Citra Etnika
[2] Faruk (1996): Modernisasi dan
Perkembangan Sastra Etnis: Soal
Wayang Kulit Jawa dalam Kisah
Kampung Halaman: Masyarakat,
Suku,
Agam
Resmi
dan
Pembangunan. Jogjakarta: Interfidei
[3] Budiman, R. dkk. (2012): Integrasi
Kinect dan Unreal Development Kit
Menggunakan
Kerangka
Kerja
OpenNI Pada Studi Kasus Game
Berbasis Interaksi Gerakan. Jurnal
Teknik, Vol 1[1], h 208-210.
Surabaya: ITS
[4] Yasasusastra, J. S. (2011): Mengenal
Tokoh
Pewayangan:
Biografi,
Bentuk,
dan
Perwatakannya.
Jogjakarta: Pustaka Medika
[5] Susetya, Wawan. (2007): Dhalang,
Wayang dan Gamelan. Jogjakarta:
Narasi
[6] Anonim. (2008): Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan
[7] Haryanto, S. (1991): Seni Kriya
Wayang
Kulit:
Seni
Rupa,
Sunggingan dan Tatahan. Jakarta:
Grafiti
[8] Permana, Isa M. Dkk. (2007):
Tasawuf dan Perupaan Pada Wayang
Kulit Cirebon dan Surakarta. Jurnal
64
Wimba, Vol 1D[2], 181-195.
Bandung: ITB
[9] Murtiyoso,
Bambang
(2004):
Pertumbuhan dan Perkembangan
Seni
Pertunjukan
Wayang.
Surakarta: Citra Etnika
[10] Ismurdyahwati dkk (2007): Kajian
Bahasa Rupa Berdasar Rekaman
Video Pergelaran Wayang Kulit
Purwa dalam lakon “Parta Krama”.
Jurnal Wimba, Vol 1D[3], h 364390. Bandung: ITB
[11] Saffer, Dan. (2010): Designing for
Interaction: Creating Innovative
Application and Device. California:
New Rider
[12] Lu Xia, et.al (2011): Human
Detection Using Depth Information
By Kinect. Artikel
Penelitian.
Universitas Texas
[13] Candra, Miki. (2007): Perancangan
Permainan Digital Dewa Ruci
Sebagai Media Pengenalan Wayang
Bagi Remaja. Tesis Magister Desain.
Bandung: ITB
[14] Tresnadi,
Chandra.
(2009):
Perancangan Game Partisipatory
Batik NITIKI. Tesis Magister
Desain. Bandung: ITB
[15] Oikonomidis, Iason, et.al. (2011):
Efficient Model-based 3D Tracking
of Hand Articulations Using Kinect.
Greece: University of Crete