TAK ADA YANG SALAH SUBSIDI MINYAK DIREDU

TAK ADA YANG SALAH SUBSIDI MINYAK DIREDUKSI
(JUSTIFIKASI DARI PERSPEKTIF PENCARIAN ENERGI ALTERNATIF)

Guncangan badai krisis ekonomi jilid kedua sudah diambang pintu bahkan
beberapa pengamat dan praktisi ekonomi menyatakan bahwa kita sudah di dalam badai
tersebut. Indikasi ini dapat dicermatai dengan tak bernilainya rupiah di depan dollar
Amerika.

Beberapa pengamat menyatakan hal ini disebabkan oleh kenaikan harga

minyak dunia yang mendekati angka 70 dollar US per barel, dengan besaran ini maka
RAPBN yang telah disampaikan oleh pemerintah menjadi tak menentu apalagi
pemerintah besaran-besaran ekonomi yang tidak realitis, 40 dollar US untuk minyak dan
kuras rupiah dipatok pada angka Rp. 9.400. Padahal sekarang rupiah bertengger pada
kisaran Rp 10.000 per dollar. Implikasinya RAPBN semakin memuncak beban angka
defisitnya. Namun ketidaksigapan pemerintahan dalam menyusun strategi perekonomian
jangka pendek merupakan determinasi utama keterpurukan ini.
Walaupun langkah kuratif telah diusahakan dengan menetapkan kebijakan paket
kebijakan dibidang ekonomi yang disampaikan oleh presiden pada 31 Agustus 2005 tidak
memberikan dampak yang signifikan pada perbaikan ekonomi makro Indonesia. Apa
sebabnya? Salah satunya adalah batas waktu pengurangan subsidi minyak tidak

disampaikan secara eksplisit. Akibatnya dunia usaha semakin terombang-ambing dalam
ketidakpastian, mereka sulit untuk menyusun rencana usaha ke depan.

Masyarakat

semakin sulit memperoleh bahan bakar minyak, dimana-mana probilitas kelangkaan
BBM semakin intensif. Prinsip utama sekarang adalah barang itu mahal tapi akses untuk
memperolehnya mudah, daripada seperti kondisi sekarang barang langka, sama saja
ujung-ujungnya barang itu juga mahal, bahkan memberikan gunjangan psikologis yang
tidak ringan. Semua itu adalah akibat ketidakberanian pemerintah mengambil langkah
dilematis, akibatnya dimanfaatkan oleh para begundal dan bromacorah ekonomi dengan
menyelundupkan dan menimbun minyak.
Menurut Frans Magnis Susseno, dalam suatu artikelnya di kompas menyaatakan
bahwa subsidi BBM merupakan manifestasi suatu bentuk “penipuan politik halus” untuk
meninabobokan rakyat agar tidak kritis dan terus diam, dalam artian yang luas.
Berdasarkan memoar yang ada hal ini diterapkan oleh rezim Orde Baru dan beberapa

rezim otoriter lainnya di luar negeri untuk membuat rakyat manja dan bisu dengan cara
membikin perut rakyatnya “kenyang” dan memperoleh segala sesuatu dengan “gampang
dan murah” dengan berbagai varian subsidi yang ternyata cuma pretensional dan akalakal.

UNEP (program lingkungan PBB) dan asosiasi energi dunia (IEA) dalam
laporanya yang disampaikan pada tahun 2001 melaporkan bahwa subsidi BBM
cenderungan tidak memberikan added value pada rakyat yang disubsidi bahkan hanya
memberikan efek negatif.

Pertama, seringkali subsidi merupakan pos inefisiensi,

katalisator pemborosan energi dan menghambat usaha konservasi energi dan riser energi
terbarukan. Kedua, penggunaan energi yang tidak bijaksana mengakibatkan peningkatan
pencemaran udara melalui gas buang hasil pembakaran energi tersebut. Padahal hampir
90 % gas rumah kaca merupakan hasil emisi pembakaran energi yang berasal dari fosil
(bahan bakar fosil). Di sisi lain telah menjadi konsesus global bahwa efek rumah kaca
merupakan biang kerok degradasi biosfer, melalui mekanisme pengacauan tata iklim
dunia. Dampaknya semua entitas ekosistem dunia mengalami kekacauan dan penurunan
kualitas eksistensi makhluk hidup. Ketiga, dfleksi orientasi anggaran, dimana seharusnya
anggaran pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas menjadi tergeser karena
digunakan untuk subsidi minyak.
Keempat, dan yang paling parah ternyata subsidi ini melenceng jauh dari sasaran
awalnya. Dalam salah satu laporan LPEM-UI tahun 2004 dinyatakan bahwa subsidi
BBM di Indonesia dikuasai oleh golongan menengah ke atas. Golongan masyarakat tak

mampu hanya menikmati subsidi BBM sebesar Rp. 72.500,- per tahun per kepala, sangat
jauh dengan golongan menengah ke atas yang bisa menikmati

subsidi sebesar Rp.

393.000,-/tahun/kepala. Sangat jomplang. Kelima, disparitas harga antara BBM subsidi
dengan harga dunia memicu aksi penyelundupan, illegal trading, dan praktik korupsi
baru. Padahal sudah menjadi stereotype bangsa Indonesia sebagai bangsa yang suka
menerabas, oportunis serta selalu mencari keuntungan di atas kesakitan orang lain.
Tapi, mari kita hentikan dulu introduksi analisis ekososiopolitik di atas, bukan
berarti saya tidak berempati dengan kesusahan orang lain. Marilah kia berpikir kritis dan
bergerak maju. Tak ada guna meratapi malam yang gelap, namun mulai kita bergerak
dan menyalakan lilin sebagai pelita dalam gulita. Dan lebih penting lagi kritis dan cermat

mengawasi kompensasi yang telah dijanjikan pemerintah bukan menjadi ajang korupsi
baru di setiap lini birokrasi agar benar-benar rakyat kecil dapat merasakan dampaknya
dan segera digulirkan. Di sini saya coba mendeskripsikan efek pengurangan subsidi dari
sudut pandang pencarian energi alternatif tanpa pretensi untuk ”berselingkuh” dengan
pemerintahan.
Di tahun 1979, saat digelar reuni akbar ketiga alumni Fakultas Kehutanan

Universitas Gadja Mada, salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Dalam salah satu
sambutan guru besar UGM, Prof Johannes, bercita-cita hutan Indonesia yang maha luas
ini menjadi tambang minyak bumi baru.

Hutan dengan segala jenis tumbuhannya

menghasilkan berbagai varian jenis bahan bakar alternatif untuk mensubsitusi minyak
bumi yang makin menipis depositnya. Dari berbagai jenis tanaman hutan terformulasilah
bensin-bensin baru. Beliau berasumsi dari sebatang kayu dapat dihasilkan produk energi
yang ramah lingkungan dalam bentuk bioetanol dan hasil ekstraksi tetumbuhan lain
dalam bentuk biodiesel. Inilah yang oleh Prof. Johanes sebagai petroeumplant.
Bukan semata itu, sisa biomassa dari proses ini menghasilkan residu yang tak
kalah ekonomisnya. Arang kayu, cuka kayu, metanol, gula kayu, bokhasi dan produk
lainnya merupakan efek limpahan poduk ini.

Jadi pengembangan petroeumplant

merupakan efek berantai yang memberikan gaint added value terhadap hasil hutan dan
lingkungan dalam artian yang lebih luas. Lebih bernilai jika kita hanya mengekstrasi
Cuma lognya saja. Kabut misteri hutan tropis yang maha kaya akan lebih tersingkap

untuk kemakmuran rakyat, dari pada kita membabat hutan yang hanya dinikmati oleh
segelintir orang para begundal dan bromacorah kapitalis.

Petroleumplant dapat

dihasilkan dari tanaman yang kurang berguna seperti alang-alang, galam, sagu, nipah,
lantana, lamtoro dan ubi kayu. Bahkan bisa juga diperoleh dari sisa produk pertanian dan
perkebunan, pokoknya semua tumbuhan yang mengandung lemak dan selulosa. Menurut
laporan BPPT ada tidak kurang 50 jenis tanaman Indonesia yang potensial untuk
menghasilkan minyak sumber energi baik berupa bahan pangan maupun nonpangan.
Namun, apa yang terjadi selama 26 tahun setelah cita-cita agung itu dilontarkan,
riset petroleumplant seolah-olah mati suri tidak terdengar gaunnya. Padahal negaranegara lain telah berpacu dalam perlombaan sumber bioenergi seperti Brasil, Amerika
Serikat, Swedia, Jerman, Austria, China bahkan Ghana, salah satu negara di Afrika.

Semua ini disebabkan terputusnya jembatan komunikasi antara lembaga riset dan
perguruaan tnggi dengan realitas kehidupan di masyarakat, terlebih pemerintah sebagai
fasilitator kegiatan penelitian tidak konsen pada kemajuan bangsa.

Masyarakat dan


industri dengan dogma motif ekonominya terus memanfaatakan BBM tanpa perduli
bahwa itu adalah sumber daya yang tak terbarukan dan titipan anak cucu kita nanti.
Kekeliruan ini diakselerasi dengan inefisiensi pemanfaatan energi baik di sektor industri
maupun rumah tangga apalagi sektor transpotasi kita. Semua ini merupakan dampak dari
murahnya harga BBM bahkan dibandingkan dengan harga sebotol minuman kemasan.
Riset-riset tentang bahan bakar alternatif sebenarnya tidaklah bener-benar mati,
namun stagnan karena dukungan pemerintahan ataupun konsumen. Dilaporkan bahwa
beberapa energi

alternatif untuk sektor transpotasi telah dikembangkan, gasohol,

biodisel, tenaga hidrogen, gas alam cair, minyak jarak, biogas (metana) dan sel surya
ataupun sel voltik.
esterifikasi

lemak

Biodiesel telah lama dikembangkan oleh BPPT dari proses
nabati.


Pengembangan

mendiversifikasi produk kelapa sawit.

biodiesel

dikonsentrasikan

untuk

Bahkan program pengembangan biodiesel dari

kelapa sawit telah sampai pada tahapan skala industri dan sudah diterapkan pada semua
kendaraan dilingkungan BPPT. Selain itu gasohol, suatu persenyawaan antara bioetanol
dengan premium dengan komposisi (10 – 20 %) tertentu terbukti menghasilkan oktan
yang lebih tingi dibandingkan dengan pertamax-nya pertamina dan emisi yang lebih
bersih.
Sektor rumah tangga telah dikembangkan briket arang yang tak kalah dengan
minyak tanah, bahkan lebih baik dari sisi lingkungan. Selain itu telah lebih dahulu
berkembang pemanfaatan LNG dan briket batubara, atau bahkan kayu bakar. Di dunia

industri pemanfaatan energi alternatif lebih banya variannya, ada geothermal, panas
surya, teknologi mikrohidro, biogas (metana). Bahkan bila perlu tenaga nuklir dengan
reaksi fusi (penggabungan) yang lebih terkendali reaksi berantainya.
Padahal Indonesia kaya dengan sumber energi alternatif, namun belum
termanfaatkan secara optimal karena kurangnya riset tentang energi tersebut dan
kebijakan pemerintahan yang setengah hati. Kebijakan pemerintahan yang setengah hati
ini makin membuat masyarakat manja menggantungkan pada satu sumber energi dan
harga energi terbarukan tidak mampu bersaing dengan harga minyak yang disubsidi.

Dampak

pengembangan

energi

alternatif

pengembangan alat pemanfaatan energi tersebut.

juga


akan

diiringi

dengan

Efek berantai yang lebih bernilai

dibandingkan bila kita tetap menggunakan satu sumber energi saja. Masyarakat akan
lebih tercerahkan dengan keberadaan sumber energi yang lebih banyak. Polusi dan
pencemaran lingkungann dapat lebih ditekan karena terbukti energi-energi tersebut
terbukti lebih ramah lingkungan bahkan bisa terbaharukan. Pemanfaatan anggaran biaya
pemerintahan akan lebih bijaksana bahkan kita juga dapat memperoleh “uang kaget” dari
program MPB (mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanis) dari
sektor energi.
Yang lebih utama inovasi-inovasi baru terus bermekaran menyertai merekahnya
pengembangan energi alternatif tersebut. Lebih lanjut lembaga riset dan perguruan tinggi
yang selama ini seperti “sosok angker” dengan “ke-menaragading-annya” akan lebih
membumi dengan masyarakat dan industri sebagai konsumennya. Hal ini seperti yang

pernah dikembangkan oleh Prof Johannes (alm) dengan mengembangkan tungku hemat
energi untuk masyarakat pedesaan di Yogyakarta yang masih menggunakan kayu bakar.
Masyarakat lebih pintar dengan banyaknya alternatif pilihan bahan energi,
dogma-dogma ekonomis semakin tersubduksi secara berangsur-angsur dengan doktrin
ekologis dan sustainable development. Jadi masihkah kita mempertanyakan mengapa
subsidi direduksi?

Hiu Putih, 4 September 2004
Teguh Pribadi
Staf Pengajar Jurusan Kehutanan
Fekultas Pertanian Universitas PGRI Palangka Raya