Inovasi Dan Kreatifitas Dalam Bidang Per

Inovasi Dan Kreatifitas Dalam Bidang

Pertanian

Disusun Oleh :
Leirry Rudolf W
IK-04
201421016

Informatika Komputer
POLINAS LP3I
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pertanian merupakan bidang yang sangat penting untuk menunjang kehidupan umat manusia.
Perkembangan pertanian diawali dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat prasejarah,
yaitu perubahan dari budaya food gathering (berburu dan meramu) menjadi food producing
(bercocok tanam). Sejak periode bercocok tanam tersebut, bidang pertanian selalu mengalami
perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Bahkan sejak revolusi industri di Inggris akhir
abad ke-18, industri pertanian, termasuk juga industri pengolahan hasil pertanian dan industri

pangan, berkembang dengan pesat.
Ilmu dan teknologi adalah hasil olah pikir manusia yang dipergunakan untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia. Ilmu dan teknologi pertanian
misalnya digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi di bidang pertanian yaitu
peningkatan produksi. Teknologi adalah ilmu tetapi tidak semua ilmu adalah teknologi. Ilmu
adalah pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Ilmu adalah akumulasi
pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu yang
mampu
menggambarkan
(mendeskripsi),
menjelaskan(eksplanasi)dan
meramalkan
(memprediksi) fenomena yang terjadi. Teknologi adalah rekayasa dan rancang bangun ilmu
dengan penerapan kaidah-kaidah, rumus-rumus yang mampu menemukan metode-metode untuk
menentukan sesuatu. Pengetahuan yang bukan ilmu adalah pengetahuan yang tidak terakumulasi
secara sistematis berdasarkan metode-metode tertentu (Suriasumantri, 1999). Sedangkan ilmu
yang tidak merupakan teknologi ialah ilmu yang tidak direkayasa dan dirancangbangun
berdasarkan kaidah penerapan prinsip-prinsip keilmuan. Rekayasa dan rancangbangun adalah
kaidah penerapan prinsip-prinsip keilmuan.


Baik pengetahuan maupun ilmu dan teknologi adalah bentuk pemikiran (hasil berfikir) asosiatif
yang menjalin dan menghubungkan suatu pikiran dan kenyataan atau pemikiran lain berdasarkan
pengalaman yang berulang-ulang, baik tanpa maupun dengan pengalaman kausalitas hakiki dan
universal yang disebut pengetahuan. Jika pemahaman kausalitas hakiki dan universal di sebut
ilmu (science).
Antara ilmu dan teknologi yang dihasilkan terjadi kesenjangan antara penggunanya (petani).
Akses petani terhadap informasi inovasi teknologi relatif terbatas sehingga diperlukan untuk
sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada petani. Pemahaman suatu inovasi teknologi
tentu melalui suatu tahapan proses mental dari individu petani sampai mengambil keputusan
untuk mengadopsinya. Untuk memahami individu dalam mengadopsi teknologi dimana melalui
suatu proses mental maka dapat menggunakan pendekatan teori kognitif. Psikologi kognitif
adalah satu pendekatan kajian yang bertujuan memahami bagaimana manusia menyusun dan
melaksana aktivitas mental melibatkan proses perolehan, penyusunan, perwakilan, penyimpanan,
pengambilan kembali dan penggunaan pengetahuan yang membolehkan menusia memahami dan
menyelesaikan masalah demi menyesuaikan diri dengan tuntutan alam sekitar yang berubahubah dan merancang bagi menghadapi masa depan. Teori kognitif merupakan salah satu teori
perilaku, teori ini menjelaskan bahwa individu yang bersangkutan memilih anternatif perilaku
yang membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang bersangkutan (Walgito, 2006).
Dengan kemampuan memilih suatu teknologi yang bermanfaat bagi seorang petani
menggunakan kekuatan berpikir senbagai bahan pertimbangannya. Kekuatan-kekuatan berpikir
petani dalam memilih teknologi sebagai bentuk berperilakunya adalah syarat dengan

pertimbangan-pertimbangan selektif.
Petani dalam memilih teknologi atau unsur-unsurnya tidak lepas dari interaksinya terhadap
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Oleh karenanya petani
dalam memilih teknologi yang bermanfaat untuk diterapkan adalah melalui proses persepsi.
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Sedangkan penginderaan
adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu
alat indera (Walgito, 2006).
BAB II
PEMBAHASAN
INOVASI TEKNOLOGI DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN
BERKELANJUTAN

Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan permasalahan
tersendiri. Menurut Kasumbogo-Untung (2010), penerapan pertanian konvensional yang selama
ini dilakukan antara lain:
1. Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor
2. Penurunan kesuburan tanah
3. Hilangnya bahan organik tanah
4. Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah


5. Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik
6. Eutrifikasi badan air
7. Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang
mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar
8. Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan
budaya tanaman lokal
Penerapan pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas pertanian
dan pangan secara nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Tetapi
ternyata diketahui kemudian efisiensi produksi semakin lama semakin menurun karena pengaruh
umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan.
Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai
pertanian berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan sistem pertanian
dapat bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia
pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Food and Agriculture Organization (FAO)
mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis sumberdaya
alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan
terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan
pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan,
tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara
sosial (FAO, 1989). Sedangkan Thrupp (1996) menjelaskan pertanian perkelanjutan sebagai

praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan
secara sosial dapat dipertanggungjawabkan
Dalam pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa petanian berkelanjutan bertumpu pada 3 pilar,
yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Achmad-Suryana (2005) menghubungkan ketiga pilar
tersebut menjadi sebuah diagram Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan, seperti yang terdapat
dalam Gambar 1.

Mengamati Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan pada Gambar 1, sesungguhnya ada salah satu
pilar yang tertinggal, yaitu Dimensi Teknologi. Teknologi mempunyai peran yang strategis dalam
pembangunan pertanian berkelanjutan. Teknologi berperan dalam menjaga ekologi agar dapat
digunakan secara optimal pada saat ini, tetapi juga tetap memenuhi kebutuhan generasi yang
akan datang. Teknologi juga sangat berperan dalam Dimensi Ekonomi, terutama untuk
menciptakan efisiensi produksi, serta meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil
pertanian.
Pentingnya teknologi dalam pertanian berkelanjutan sebenarnya telah tersurat secara gamblang
dalam definisi pertanian berkelanjutan menurut FAO (1989) dengan menyertakan kalimat ”….
tepat guna secara teknis….”. Oleh karena itu, makalah ini akan membicarakan lebih jauh
mengenai peran teknologi dalam bidang pertanian untuk mendukung pertanian berkelanjutan,
terutama dalam kaitannya dengan peningkatan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian.
FROM FARM TO TABLE

Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama budidaya,
penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk meningkatkan daya saing di
mata konsumen dan laba dari produk-produk pertanian, teknologi juga diperlukan selama
distribusi dan penjualan (penyajian). Dapat disimpulkan bahwa teknologi diperlukan sejak
berada di lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table). Teknologi tersebut
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to table, yaitu good farming
practices (cara bertani yang baik), good handling practices (cara penanganan hasil panen yang
baik), good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik), good
distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik), dan good retailing
practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen).
Good Farming Practices
Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur operasi Praktek
Pertanian yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan istilah Good Agricultural Practices (GAP)
(Achmad-Suryana, 2005). Menurut Anonim (2004), GAP merupakan rekomendasi yang dapat
digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian selama
dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar pelaksanaan Good Farming
Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik
atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices
adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan keamanan); serta
kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.

Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan
suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism
(GMO). Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan hasil panen (buah dan
sayur) yang kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya dapat diandalkan. Bahkan buah-buahan yang
dihasilkan secara sensoris dapat memenuhi keinginan konsumen. Tetapi sampai saat ini teknologi
GMO tersebut masih diperdebatkan, karena sebagian ahli pangan dan kesehatan masih
mempertanyakan keamanan produk-produk hasil rekayasa genetika. Hal yang perlu
digarisbawahi adalah teknologi rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk memenuhi
keinginan konsumen akan suatu produk pertanian. Jika masih ada yang sebagian ahli yang
mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa genetika harus terus dikembangkan
untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara meyakinkan.

Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga
ditekankan pentingnya aspek ekologi, terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah
pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah merusak
ekologi tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu,
penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik adalah
bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran kompos, kotoran hewan
ternak, dan bahan lain, sehingga menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah satu peran
teknologi menjadi cukup menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah diciptakan instalasi

mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik
yang tidak bentuk dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran
padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga mempermudah
penggunaannya di lapangan.
Kesadaran tentang pentingnya pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan
akhir-akhir ini negara-negara yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC)
menyepakati untuk melakukan pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu
merupakan salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC
tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On Food Security)
di
selenggarakan
Nigata,
Jepang
pada
16-17
Oktober
2010.
Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau
Nigata Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal
terkait upaya pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya

diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam
mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010).
Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good
Farming Practices. Selama ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan
untuk dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela pohon,
ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong, gadung, pisang, sukun, labu
kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal
menurut Murdijati-Gardjito (2010a), potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan,
karena telah diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75 macam sumber
lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis
rempah-rempah.
Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh negara. Justru yang terjadi
adalah impor bahan pangan, terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri.
Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di dunia
dengan nilainya ± Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US Dollar (Kompas, 19/06/2010).
Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di Indonesia kembali membudidayakan
potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya lokal tersebut kembali digalakkan, selanjutnya
inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain
tersebut menjadi pangan yang setara dengan beras atau tepung terigu.

Good Handling Practices
Bahan pertanian merupakan bahan yang mudah mengalami proses kerusakan (perishable),
sehingga penanganan bahan pertanian harus dilakukan dengan hati-hati. Good Handling
Practices (GHP) adalah cara penanganan pascapanen yang baik yang berkaitan dengan
penerapan teknologi serta cara pemanfaatan sarana dan prasarana yang digunakan. Good

Handling Practices merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan kerusakan pada bahan
pertanian pasca panen. Tahapan penanganan pasca panen hasil pertanian yang sering dilakukan
antara lain sortasi, pembersihan/pencucian, dan grading. Inovasi teknologi tepat guna telah
banyak diaplikasikan pada beberapa tahapan pasca panen, seperti pada proses
pembersihan/pencucian dan proses grading.
Pencucian merupakan suatu upaya untuk membuang kotoran pada permukaan kulit buah atau
sayuran, sekaligus dapat mengurangi residu pestisida dan hama penyakit yang terbawa, sebelum
komoditi tersebut dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Pencucian dapat berfungsi juga untuk precooling, yaitu untuk menurunkan suhu bahan pertanian, agar laju respirasi bahan pertanian
tersebut semakin lambat, dan laju kerusakannya semakin lambat pula. Dalam skala industri,
inovasi teknologi telah mempermudah proses pencucian buah atau sayuran ini. Hal ini terbukti
dengan terciptanya alat pencuci buah atau alat pencuci sayuran. Tidak dapat dibayangkan jika
tidak ada alat pencuci buah atau sayur, padahal suatu industri harus mencuci berton-ton buah
atau sayur dalam sehari.
Inovasi teknologi tepat guna juga telah banyak diaplikasikan pada proses grading buah-buahan,

contohnya pada buah jeruk. Jeruk dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya dengan suatu mesin,
dimana tingkat ukuran tiap grade dapat diatur. Mesin grading terdiri dari beberapa bagian yaitu
hopper, meja sortasi yang terdapat lubang untuk pengeluaran, penggerak dan transmisi, serta
frame. Alat grading buah jeruk ini bekerja berdasarkan prinsip gravitasi. Buah jeruk cukup
dicurahkan pada hopper, selanjutnya buah menggelinding di dalam meja sortasi. Buah jeruk
yang diameter vertikalnya lebih kecil dari diameter lubang, akan lolos atau jatuh akibat beratnya
sendiri, sedangkan buah jeruk yang belum lolos akan menggelinding menuju lubang pengeluaran
yang lebih besaur yang terdapat di bawahnya. Sekali lagi teknologi membuktikan pera
strategisnya dalam bidang pertanian.
Good Manufacturing Practices
Good Manufacturing Practices (GMP), dikenal pula dengan nama Cara Produksi Pangan yang
Baik (CPPB), merupakan sekumpulan ketentuan/pedoman untuk melaksanakan proses produksi
dengan baik dan benar. Tujuan utama Good Manufacturing Practices adalah menciptakan
produk olahan secara sensoris diterima dan aman apabila dikonsumsi. Inovasi dan teknologi
merupakan tulang punggung dalam untuk mencapai tujuan tersebut.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang secara sensoris diterima
konsumen dapat terlihat jelas pada pengolahan produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela
pohon, ubi jalar, dan umbi-umbian. Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut, terutama
untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung terigu di mata konsumen. Teknologi
penepungan merupakan salah satu contoh yang baik untuk diaplikasikan pada bahan lokal.
Menurut Murdijati-Gardjito (2010b), dalam bentuk tepung akan mempunyai kadar air yang lebih
rendah. Selain itu, tepung lebih mudah didistribusikan, lebih awet, serta lebih luwes
penggunaannya, seperti bubur, puding, kue basah, kue kering, dan berbagai macam hidangan
lain.
Inovasi dan teknologi penepungan tersebut sampai sekarang masih dikembangkan oleh para
peneliti dan ahli pangan di seluruh dunia. Penelitian yang masih dikembangkan antara lain
penelitian mengenai tepung ubi kayu (Arye, et al., 2006; Falade, et al., 2007; Shittu, et al., 2008;
Sciarini,et al., 2008; Akingbala, et al., 2009), penelitian mengenai tepung ubi jalar (Yadav, et al.,
2006; Jasim-Ahmed, et al., 2006; Zaidul, et al., 2008; Krishnan, et al., 2010), penelitian
mengenai tepung sagu (Purwani, et al., 2006; Wong, et al., 2007; Singhal, et al., 2008; Datu, et
al., 2010), penelitian mengenai tepung pisang (Zhang, et al., 2005; Rodríguez-Ambriz, et al.,

2008; Nwokocha., et al., 2009; Martinez, et al., 2009; Chong Li Choo, et al., 2010), serta
penelitian mengenai umbi-umbian lainnya (Pe´rez, et al., 2005; Jaykodi, et al., 2007; Sutardi, et
al., 2009). Harapannya, penelitian-penelitian tersebut dapat menghasilkan teknologi untuk
memproduksi tepung secara optimal, dan selanjutnya tepung tersebut dapat diolah lebih lanjut
menjadi produk yang secara sensoris dapat diterima oleh konsumen.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang aman untuk dikonsumsi
juga signifikan. Inovasi tersebut diperlukan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen atau
senyawa berbahaya dalam bahan pertanian. Sejak ditemukan teknik sterilisasi dan pasteurisasi
untuk menghilangkan mikrobia patogen pada produk pangan, teknologi untuk menciptakan
produk yang aman terus berkembang. Tetapi teknologi yang dikembangkan masih melibatkan
panas (thermal process). Kemudian, diketahui bahwa proses yang melibatkan panas dapat
menurunkan nilai gizi atau mutu bahan pertanian, sehingga saat ini trend pengembangan
teknologi tersebut mengarah pada proses-proses non-thermal (tidak melibatkan panas).
Salah satu contoh untuk proses non-thermal untuk menciptakan makanan yang aman dikonsumsi
adalah High Hydrostatic Pressure (HHP). HHP salah satu metode untuk mengurangi populasi
mikrobia dalam pangan dengan tekanan yang tinggi tanpa penambahan panas (Cheftel, 1995).
Proses ini dapat mempertahankan kualitas sensoris bahan pangan, mempertahankan kesegaran
alaminya, mempertahankan nilai gizinya, serta memperpanjang umur simpan bahan pangan.
Contoh aplikasi HHP pada hasil pertanian antara lain kubis (Lin Li, et al., 2010); wortel,, apel,
kacang hijau (Yucel, et al., 2010); raspberry, strawberry (Palazon, et al., 2004); dan sebagainya.
Bahkan HHP dapat diaplikasikan juga pada susu (Dongsheng Guan, et al., 2005); yoghurt
(Penna, et al., 2007); daging (Zhou, et al., 2010); keju (Delgado, et al., 2010); dan juice (Ferrari,
et al., 2010).
Selain HHP, contoh-contoh proses non-thermal yang telah ditemukan dan dapat diaplikasikan
pada bidang pangan/pertanian antara lain light pulse (Barbosa, 1997); Radio Frequency Electric
Fields (Gaveke, 2007); ultrasonic (Elvira, 2007); teknologi isotop dan radiasi (Anonim, 2010);
HIPEF (high intensity pulsed electric field) (Morales, 2010); teknologi pasteurisasi dengan
electron beam (Salengke, 2011); dan sebagainya. Selanjutnya, berbagai teknologi non-thermal
tersebut diharapkan dapat dikembangkan lagi untuk menciptakan produk-produk olahan hasil
pertanian yang aman dikonsumsi, dengan tetap mempertahankan nilai gizi dan mutunya.
Ketentuan Good Manufacturing Practices mulai diperkenalkan pada akhir Tahun 1980-an.
Setelah itu Good Manufacturing Practices mengalami perkembangan menjadi HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point), dan selanjutnya mengalami penyempurnaan menjadi ISO
22000:2005 tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Ketiga hal tersebut pada prinsipnya
sama, yaitu untuk menciptakan dan menjamin keamanan produk pangan. Hal yang perlu
ditekankan adalah ketiga pedoman tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa
dukungan teknologi.
Saat ini, indikator proses produksi yang baik oleh suatu industri ternyata bukan hanya
dihasilkannya produk yang secara sensori dan keamanannya memenuhi kriteria yang diinginkan
konsumen. Lebih jauh dari itu, indikator proses produksi yang baik adalah tidak adanya limbah
yang ditinggalkan oleh industri tersebut (zero waste). Bahkan ada semacam kesepakatan tidak
tertulis bagi orang-orang yang peduli terhadap lingkungan bahwa mereka tidak akan
membeli/mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan suatu indsutri yang masih meninggalkan
limbah dan merusak lingkungan. Tuntutan jaman seperti ini lah yang sekali lagi harus dijawab
oleh inovasi teknologi. Teknologi harus terus dikembangkan untuk meminimalisir limbah yang
dihasilkan dari suatu proses produksi. Jika suatu proses produksi masih menyisakan limbah,

inovasi teknologi harus mampu mendaur ulang limbah tersebut menjadi produk lain yang
bermanfaat. Jika limbah yang dihasilkan ternyata tidak dapat didaur ulang, maka teknologi harus
dapat menangani limbah tersebut agar tidak berbahaya bagi manusia. Hal ini sesuai dengan
prinsip pengelolaan limbah yang harus dilakukan secara berurutan yaitu (a) minimalisasi limbah,
(b) pemanfaatan limbah, dan (c) penanganan limbah.
Good Distribution Practices
Telah disebutkan di atas, bahwa bahan pertanian mudah mengalami kerusakan. Kerusakan bahan
pertanian dapat disebabkan beberapa hal yaitu kerusakan fisiologis (kerusakan yang disebabkan
oleh reaksi-reaksi yang diakibatkan oleh kerja enzim), mikrobiologis (kerusakan akibat serangan
mikroorganisme), mekanis (kerusakan akibat tekanan sehingga menimbulkan luka atau memar),
fisis (kerusakan akibat suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah), serta khemis (kerusakan
alami akibat proses pemasakan buah). Good Distribution Practices diperlukan untuk
meminimalkan kerusakan selama proses distibusi.
Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di tangan konsumen dalam kondisi yang baik.
Proses distribusi berresiko untuk mempercepat terjadinya kerusakan, sebab kemungkinan
terjadinya tekanan mekanis yang dapat menyebabkan luka atau memar sangat besar. Oleh karena
itu, diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas dan pelindung, agar produk pertanian terhindar
dari sinar matahari, tekanan mekanis, pukulan, getaran, maupun benturan yang dapat
menyebabkan luka dan memar selama proses distribusi.
Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap kerusakan bahan
pertanian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk proses distribusi, maka semakin besar
juga kemungkinan terjadi penurunan mutu bahan pertanian. Hal ini disebabkan, bahan pertanian
masih mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan transpirasi, meskipun bahan pertanian
tersebut sudah lepas dari tanaman induknya (sudah dipanen) (Weichmann, 1987). Respirasi
merupakan proses oksidasi substrat komplek menjadi lebih sederhana (Lambers, et al., 2005),
sehingga semakin cepat respirasi akan semakin mempercepat kerusakan bahan pertanian.
Kecepatan respirasi antara lain dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi O 2, konsentrasi CO2, serta
konsentrasi CO (Ryall dan Lipton, 1972). Berdasarkan pengertian tersebut, diperlukan inovasi
dan teknologi untuk mengendalikan laju respirasi bahan pertanian selama distribusi. Inovasi
teknologi mampu menjawab tantangan dengan terciptanya kontainer distribusi yang dapat diatur
suhu, kelembaban udara, komposisi udara, bahkan tekanannya. Alat tersebut dikenal dengan
nama Controlled Atmosphere Storage (CAS), Modified Atmosphere Storage (MAS),
penyimpanan dengan pendinginan, dan penyimpanan hipobarik. Saat ini, teknologi tersebut telah
digunakan secara luas karena terbukti efektif untuk mencegah kerusakan bahan pertanian selama
distribusi.
Good Retailing Practices
Good Retailing Practices merupakan tahap terakhir untuk menjaga mutu produk pertanian
sampai ke tangan konsumen. Saat ini tuntutan konsumen terhadap suatu barang sangat beragam.
Khusus untuk produk-produk pertanian, konsumen menginginkan barang yang masih segar dan
berkualitas tinggi. Padahal, lahan pertanian biasanya berada jauh dari konsumen, sehingga
membutuhkan waktu untuk distribusi. Hal itu tentu saja berresiko menurunkan kesegaran dan
menimbulkan kerusakan mekanis produk-produk pertanian. Dengan demikian diperlukan inovasi
teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Kesegaran produk pertanian sangat dipengaruhi oleh proses transpirasi (menguapnya air dari
subtrat) yang masih berlangsung, meskipun bahan pertanian tersebut telah dipanen. Proses
transpirasi berlangsung terus menerus dan akan berakhir apabila substrat dan air sudah habis
(Sirivatanapa, 2006), sehingga menentukan kualitas dan masa simpan bahan hasil pertanian (Tan,
2007). Menurut Ben-Yehoshua (1987), transpirasi dapat menurunkan kualitas buah dan sayuran
dengan terjadinya penurunan berat, pengkerutan, dan pelunakan. Penurunan kadar air 1-2%
sudah mampu merubah kenampakan bahan pertanian, sedangkan penurunan kadar air 3-10%
mengakibatkan penurunan kesegaran.
Salah satu contoh inovasi teknologi di bidang pertanian yang dapat menekan laju transpirasi
tersebut adalah pelapisan lilin, sebab dengan pelapisan sebagian pori dan kulit tertutup oleh
lapisan lilin. Selain itu, pengemasan lilin ternyata bermanfaat untuk menekan laju respirasi
(Roosmani, 1973); memperpanjang umur simpan produk hortikultura, menutupi luka-luka
goresan kecil (Pantastico, 1986); menurunkan resiko terjadinya memar dan abrasi pada
permukaan buah (Buchner, et al., 2003), mencegah infeksi patogen (Loekas, 2006), sekaligus
menimbulkan kesan yang lebih baik secara fisik karena lebih mengkilat (Prusky, et al., 1999).
Produk pertanian yang dapat diperlakukan dengan pelapisan lilin antara lain alpukat, apel, cabai,
jeruk, kentang, mangga, nanas, pepaya, pisang, starwberry, tomat, dan wortel. Hal yang perlu
diperhatikan adalah pelapis lilin yang digunakan harus aman untuk dikonsumsi, mudah dibuat
dan diaplikasin, serta murah harganya. Oleh karena itu, inovasi dan penelitian untuk membuat
pelapis lilin produk pertanian masih terus dikembangkan.
Sementara itu, untuk mencegah kerusakan mekanis, diperlukan pengemas retail yang baik, yang
mampu melindungi dari tekanan atau gesekan, sekaligus memperindah penampilan. Contoh
pengemas retail yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah pengemas jaring-jaring polysteren
pada buah apel atau pir. Pengemas retail buah apel dan pir tersebut mungkin dapat dijadikan
inspirasi untuk berinovasi menciptakan pengemas-pengemas retail bagi produk pertanian
lainnya.
Persepsi Petani Terhadap Inovasi Teknologi
Inovasi adalah segala sesuatu ide, cara-cara ataupun obyek yang dipersepsikan oleh
seorang sebagai sesuatu yang baru. Havelock 1973 dalam Valera et al., (1987) menyatakan
bahwa inovasi merupakan segala perubahan yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh
masyarakat yang mengalaminya.
Seseorang menganggap baru, tetapi belum tentu ide yang sama itu baru bagi orang lain.
Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide, perilaku, produk, informasi,
dan pratek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan oleh
sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang mendorong terjadi
perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu
hidup setiap individu/warga masyarakat yang bersangkutan.
Individu petani dalam memahami suatu inovasi melalui proses persepsi. Persepsi adalah
stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikannya
sehingga individu menyedari tentang apa yang diinderanya (Walgito, 2006). Ketika individu
petani mendengar atau melihat suatu inovasi teknologi, maka muncul stimulus yang diterima alat
inderanya, kemuadian melalui proses persepsi suatu inovasi teknologi baru yang ditangkap oleh
indera sebagai sesuatu yang berarti dan bermanfaat baginya. Melalui suatu interpretasi dan
pemaknaan dari suatu teknologi maka muncul keyakinan dan kepercayaan terhadap inovasi
teknologi tersebut. Akan tetapi individu petani masih memerlukan pembuktian terhadap

kebenaran inovasi tersebut melalui uji coba atau melihat kepada sesama petaninya yang telah
mencoba.
Davidoff mengatakan bahwa stimulus yang diterima alat indera, kemuadian melalui
persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan
diinterpretasikan (Walgito, 2006). Dengan demikian menurut Walgito (2006) persepsi merupakan
proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu
sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrated dalam diri
individu.
Persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi baru (misalnya teknologi budidaya
jagung Hibrida) adalah merupakan proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus
yang diterima oleh individu petani, sehingga inovasi teknologi tersebut merupakan yang berarti
dan bermanfaat serta merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu sebelum
mengambil kebutusan untuk berperilaku. Bentuk kebutusan berpelilaku adalah merupakan
tindakan individu untuk menerpakna inovasi teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan.
Persepsi petani terhadap sesuatu inovasi teknologi baru dapat dipengaruhi oleh faktor internal
(dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan lingkungan).
Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap kondisi lingkungan (agroekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan teknologi tersebut. Penilaian terhadap tingkat
kesulitan inovasi teknologi itu merupakan faktor-faktor internal individu dalam mempersepsikan
kemampuan diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.
Secara psikologis persepsi individu petani terhadap suatu inovasi teknologi sangat
dipengaruhi oleh kemampuan pemberian makna atau arti dari simbol-simbol teknologi itu,
pengalaman individu, perasaan, keyakinan, pengetahuan tentang inovasi, kemampuan berfikir,
sumber referensi dan dan motivasi untuk belajar. Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh pada
seorang individu petani dalam mengadakan atau melakukan persepsi terhadap inovasi teknologi.
Belajar adalah memperoleh dan memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap
melalui pengalaman dan praktek (Van den Ban dan Hawkins, 2000).
Antara pengetahuan, sikap, kepribadian dan perilaku merupakan faktor yang saling
terkait yang mengarahkan individu dalam melakukan suatu usaha yang bermanfaat bagi
kehidupan dan masa depannya. Menurut Puspadi (2002), Perubahan-perubahan sikap petani
menyebabkan perubahan kebutuhan petani. Kebutuhan petani saat ini adalah tingkat pendapatan
yang layak dan ketersediaan uang segar sebagai instrumen untuk mengaktualisasikan dirinya,
mengembangkan dirinya dan mempertahankan dirinya.
Petani banyak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain tentang
suatu inovasi teknologi dengan mencoba serangkain tindakan yang beragam. Tingkat tindakan
yang dilakukan petani tergantung pada tingkat manfaat dan keuntungan yang akan diterima.
Seorang petani dengan pendidikan yang rendah seringkali bersifat apatis terhadap inovasi
sebagai akibat kegagalan yang dialaminya pada masa lampau, karena kurangnya pengetahuan
tentang inovasi. Sifat-sifat apatis tersebut banyak dialami oleh sebagian besar petani lahan kering
akibat kegagalan usahatani yang dialaminya yang disebabkan oleh faktor kondisi iklim yang
tidak menentu.
Suatu inovasi teknologi yang diterima petani selalu menilai perilaku diri sendiri akan
kemampuan untuk melakukan teknologi itu dengan baik. Jika seorang petani dengan tingkat
penilaian diri atau pengendalian perilaku yang tinggi gagal mencapai hasil yang diinginkan,
maka ia akan mencoba lagi untuk menemukan yang lebih baik. Sebaliknya jika seorang petani
dengan tingkat penilaian perilaku dirinya rendah, maka cepat berhenti berusaha terutama pada

pekerjaan-pekerjaan tertentu atau inovasi-inovasi yang spesifik (Van den Ban dan Hawkins,
2000).
2.2 Perubahan Sikap Pertani
Selain faktor psikologis yang menentukan sikap, juga komunikasi sosial merupakan
determinan paling dominan menentukan sikap seorang petani terhadap inovasi teknologi
pertanian. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa suatu inovasi teknologi baru yang
diterima individu petani melalui proses persepsi. Terbentuknya sikap seseorang menurut Mar’at
(1984) yaitu dipengaruhi oleh faktor internal (fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal
(pengalaman, situasi, norma-norma, hambatan dan dorongan).
Menurut Baron dan Byrne, Garungan dan Mayers, dan Allport dalam Azwar (2002;
Walgito (2006), mengatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur
sikap yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif
(komponen perceptual) yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan atau
ide, keyakinan dan konsep. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu menyangkut
perasaan seseorang yang dihubungkan dengan keyakinan, seperti rasa senang atau tidak senang
terhadap obyek sikap. Sedangkan komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang
berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap. Komponen ini
menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
perilaku seseorang terhadap obyek sikap. Perilaku petani terhadap adopsi teknologi jika
teknologi tersebut memberikan manfaat sesuai tujuan yang ingin dicapainya.
Kenyataan bahwa sikap petani terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh faktor
internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor internal (faktor-faktor di luar diri
individu). Akan tetapi yang lebih dominan mempengaruhi sikap dan keputusan petani terhadap
suatu inovasi adalah faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma,
kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem
sosial. Proses belajar sosial yang sering dilakukan petani dalam menjaring informasi inovasi
teknologi baru bersifat pembelajaran observasional. Menurut Teori Pembelajaran Sosial Bandura
(1977), pengaruh modeling menghasilkan pembelajaran melalui fungsi informatik. Individu
dapat mencapai gambaran simbolis tentang aktivitas-aktivitas yang berfungsi sebagai pemandu
untuk pelaksanaan tindakan yang sesuai. Sikap petani terhadap inovasi teknologi juga
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam (agro-ekosistem dan agro-klimat), ini adalah salah
satu faktor yang mungkin disebut Mar’at (1984) sebagai “hambatan” yang merupakan salah satu
variabel eksternal yang menentukan sikap terutama kesesuaian teknologi tersebut terhadap
kondisi ago-ekosistem dan agro-klimat setempat.
Sikap yang dimiliki seseorang memberikan corak pada perilaku atau tindakan orang yang
bersangkutan (Walgito, 2006). Krech dan Crutchfield dalam Walgito (2006), mengatakan bahwa
perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang
bersangkutan. Para ahli psikologi sosial memberikan pengertian tentang sikap yang sedikit
berbeda-beda namun pada dasarnya semuanya bertujuan untuk mengetahui prilaku seseorang.
Walgito (2006) mendefinisikan sikap adalah suatu organisasi yang mengandung pendapat,
pengetahuan, perasaan, keyakinan tentang sesuatu yang sifatnya relatif konstan pada perasaan
tertentu dan memberikan dasar untuk berperilaku. Van den Ban dan Hawkins (2000)
mendefinisikan sikap sebagai perasaan pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih
bersifat parmanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungan. Dengan demikian
komponen-komponen sikap meliputi pengetahuan, pendapat, pikiran, keyakinan dan perasaanperasaan dan kecenderungan bertindak. Festinger dalam Walgito (2006) mengemukakan bahwa

sikap individu biasanya konsisten satu dengan yang lain dan juga dalam tindakan konsisten satu
dengan yang lain. Akan tetapi bagi petani sikap dan tindakan bisa konsisten apabila inovasi yang
diyakininya dapat memberikan manfaat dan keuntungan, apabila suatu inovasi tersebut tidak
memberikan manfaat maka sikapnya dapat berubah pada inovasi yang lain. Perubahan sikap
dapat secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan sikap secara langsung dalam arti
adanya hubungan secara langsung antara individu dengan individu, antara individu dengan
kelompok, dan natara kelompok dengan kelompok. Sedangkan melalui hubungan tidak langsung
adalah dengan perantaraan alat media komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik (Walgito,
2006). Dalam psikologi komunikasi peranan media komunikasi (Rakhmat, 1989) menjelaskan
bahwa media massa mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perubahan sikap petani
terhadap adopsi inovasi teknologi pertanian.
Dewasa ini banyak psikologi sosial berasumsi bahwa diantara faktor-faktor lain, perilaku
dipengaruhi oleh tujuannya. Tujuan perilaku ini tidak hanya dipengaruhi oleh sikap seseorang,
tetapi juga oleh harapan lingkungan sosialnya, terhadap perilaku tersebut, norma-norma
subyektif, serta kemampuanya untuk melakukan perilaku itu, yaitu penilaian perilaku sendiri
(Van den Ban dan Hawkins, 2000). Perubahan penerapan atau adopsi teknologi oleh petani dari
sistem tradisional ke sistem modern merupakan salah satu bentuk yang namapk dari perubahan
sikap dan perilaku petani. Perubahan sikap petani terhadap adopsi teknologi dipengaruhi oleh
proses interkasi dan komunikasi dalam sistem sosial. Untuk memperoleh informasi seorang
individu petani selalu mengadakan interkasi, komunikasi, dan belajar sosial tentang suatu
teknologi yang dibutuhkan.
Teori Ronsenberg mengatakan bahwa sikap dapat berubah jika terjadi perubahan
komponen kognitif dan komponen afektif. Apabila komponen kognitif berubah, maka komponen
afektif akan berubah yang pada akhirnya perilaku juga berubah. Sebaliknya apabila komponen
afektif, maka komponen kognitifnya juga berubah dan perilaku akan berubah (Walgito, 2006).
Afektif atau afek adalah suatu penilaian positif atau negatif terhadap suatu obyek (Azwar,
2002). Berkaitan dengan adopsi teknologi, seorang individu petani akan selalu menilai suatu
inovasi teknologi terhadap kemampuannya, ksesuaian terhadap kondisi lingkungan, tujuan yang
ingin dicapai serta norma-norma dalam masyarakat. Terdapat keterkaitan antara perilaku,
karekateristik individu dan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut Kurt Lewin
merumuskan model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi dari
karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) (Azwar, 2002; Walgito, 2006). Hal serupa juga
dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein dalam Azwar (2002) yang mencoba melihat perilaku yang
dilakukan atas kemauan sendiri dengan berdasarkan pada asumsi-asumsi (a) bahwa manusia
umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal; (b) bahwa manusia
mempertimbangkan semua informasi yang ada; (c) bahwa secara eksplisit maupun implisit
manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.
2.3 Perilaku Petani Terhadap Adopsi Inovasi
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau obyek yang di rasa baru oleh seseorang. Ini
merupakan suatu cara yang baru dalam melakukan sesuatu tindakan (Rogers, 1983). Aspek dari
corak baru suatu inovasi dinyatakan dalam pengetahuan, sikap, atau suatu keputusan untuk
menggunakannya.
Proses adopsi inovasi merupakan proses kejiwaan/mental yang terjadi pada diri petani
pada saat menghadapi suatu inovasi, dimana terjadi proses penerapan suatu ide baru sejak
diketahui atau didengar sampai diterapkannya ide baru tersebut. Pada proses adopsi akan terjadi
perubahan-perubahan dalam perilaku sasaran umumnya akan menentukan suatu jarak waktu

tertentu. Cepat lambatnya proses adopsi akan tergantung dari sifat dinamika sasaran.
Rogers (1983) adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau
menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan ide baru
tersebut. Adopsi juga dapat didefenisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar,
mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Adopsi adalah suatu proses dimulai dan
keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai ide tersebut diterima
oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Selanjutnya menurut Mardikanto (1993) adopsi dalam
penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa
pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang
disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar
“tahu” tetapi dengan benar-benar dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan benar serta
menghayatinya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun
tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan sikap, pengetahuan, dan
keterampilannya. Herianto (2005) menjelaskan dari sisi intensitas adopsi yaitu tingkat
penggunaan inovasi. Adopsi suatu inovasi baru biasanya diukur dari persentase penerapan
komponen inovasi dari usaha tani tertentu pada persatuan luas lahan. Bulu (2010) menjelaskan
bahwa tingkat adopsi inovasi dapat diukur dari kualitas adopsi dan kuantitas adopsi. Kualitas
adopsi diartikan sebagai ketepatan dalam menerapkan komponen inovasi dari usaha tani tertentu
secara sempurna. Kuantitas adopsi adalah jumlah penerapan komponen inovasi dari usaha tani
tertentu sesuai anjuran. Pada situasi kondisi tertentu atau kondisi dari pengadopsi itu sendiri yang
tidak memungkinkan sehingga tidak semua komponen inovasi dari usaha tani tertentu dapat
diadopsi.
Sehubungan dengan itu Rogers (1983) dan Ray, (1998), mengemukakan lima tahap
proses adopsi yaitu: (1) Awareness (tahu dan sadar), pertama kali mendapat suatu ide dan praktek
baru, (2) Interest (minat), mencari rintisan informasi, (3) Evaluation (evaluasi), menilai manfaat
inovasi yaitu penilaian tentang untung ruginya sesuatu inovasi bila ia melaksanakannya (mudah
dikerjakan), (4) Trial (mencoba), mencoba menerapkan ivovasi pada skala kecil, (5) Adoption
(adopsi),
menerapkan
inovasi
pada
skala
besar
pada
usahataninya.
Lima tahap inovasi ini bukan merupakan pola kaku yang pasti diikuti oleh petani, tetapi sekedar
menunjukkan adanya lima urutan yang sering ditemukan oleh peneliti maupun penyuluh. Peneliti
menunjukkan perlunya waktu yang lama antara saat pertama kali petani mendengar suatu inovasi
dengan saat melakukan adopsi.
Pengklasifikasian kelompok pengadopsi berikut persentasenya ditunjukkan dalam
Gambar simpangan baku (standar deviasi) dari rata-rata dijadikan ukuran atau garis pembatas
kelompok inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas lambat dan kelompok lamban.
Kategorisasi tersebut memberikan gambaran keragaman sikap dan perilaku individu petani
dalam proses adopsi inovasi teknologi.
Sumber informasi yang digunakan dalam setiap tahap proses adopsi yang menunjukkan
urutan peringkat dimana peranan media masa dan komunikasi sosial dalam proses adopsi
teknologi. Komunikasi sosial hampir terdapat pada semua tahapan proses adopsi. Rogers (1983)
mempertimbangkan bahwa tingkat adopsi dari suatu inovasi tergantung pada persepsi adopter
tentang karakteristik teknologi tersebut. Lima atribut yang mendukung penjelasan tingkat adopsi
dari suatu inovasi meliputi: (1) keuntungan relatif, (2) kecocokan, (3) kompleksitas, (4)
trialabilitas, dan (5) observabilitas.
Keuntungan relatif: Keuntungan relatif menjadi tingkat yang mana suatu inovasi dirasa
lebih baik daripada menggantikan gagasan yang baru. Kecocokan: Kecocokan menjadi tingkat

yang mana suatu inovasi dirasa konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan
potensi kebutuhan adopter. Kompleksitas: Kompleksitas merupakan tingkatan di mana suatu
inovasi dirasa lebih lanjut secara relatif sukar untuk dipahami dan digunakan. Trialabilitas:
"Trialabilitas merupakan tingkatan di mana suatu inovasi mungkin dicoba dengan pada suatu
basis terbatas." Trialabilitas merupakan tingkatan di mana suatu inovasi mungkin dicoba pada
suatu basis terbatas.
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi
Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (1981) menyatakan bahwa adopsi inovasi dipengaruhi
oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang telah ada, (b) struktur sosial
masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi masyarakat terhadap inovasi. Kecepatan proses
adopsi dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya dan lingkungan
serta sumber informasi. Selain faktor-faktor yang telah diuraikan di atas Lionberger dalam
Cambell dan Barker (1997) mengatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi adopsi teknologi
antara lain, variabel internal (personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan
(pendukung). Menurut Bulu (2008), melaporkan bahwa faktor-faktor karekateristik pribadi,
seperti sikap, motivasi, dan pengetahuan bukan lagi faktor dominan yang mempengaruhi tingkat
adopsi inovasi. Lebih lanjut mengatakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi tingkat
adopsi inovasi pertanian adalah faktor sosial (modal sosial). Modal sosial merupakan salah satu
faktor utama yang mampu menggerakkan semua elemen dalam proses adopsi inovasi. Modal
sosial yang semakin kuat secara konsisten meningkat adopsi inovasi pertanian. Sebaliknya
tingkat adopsi inovasi yang semakin tinggi secara konsisten memperkuat modal sosial dalam
proses adopsi inovasi pertanian. Dengan demikian antara modal sosial dan tingkat adopsi inovasi
pertanian mempunyai hubungan timbal balik (saling mempengaruhi) (Bulu, 2008).
2.5 Proses Difusi Inovasi Sebagai suatu Jaringan
Difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses dimana dikomunikasikannya inovasi kepada
petani dalam suatu sistem sosial melalui saluran-saluran komunikasi tertentu, pada suatu kurung
waktu tertentu pula (Ray, 1998). Dengan demikian difusi inovasi merupakan salah satu bentuk
proses komunikasi antar pihak pengirim dan penerima informasi melalui jaringan tertentu baik
jaringan komunikasi maupun kerjasama, sehingga dicapai pengertian yang sama mengenai
informasi yang dikomunikasikan. Difusi adalah proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui
saluran-saluran tertentu dari waktu ke waktu diantara anggota sistem sosial (Van Den Ban dan
Hawkins, 2000; Cruz, 1987 dalam Valera, 1987).
Saluran-saluran yang digunakan dalam menggkomunikasi pesan inovasi merupakan suatu
jaringan-jaringan. Informasi inovasi yang dikomunikasikan itu mengacu kepada adanya
pemikiran baru, yaitu inovasi sendiri, namun harus mampu memberikan kepercayaan (trust) dan
keyakinan bagi pengguna yang menerima informasi tersebut.. Berlangsungnya proses difusi
inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Dari beberapa pengertian di atas,
maka difusi inovasi pertanian diartikan sebagai preses penyebaran inovasi pertanian dari petani
yang sudah mengadopsi kepada petani yang belum mengadopsi melalui saluran komunikasi
tertentu pada suatu sistem sosial yang sama dalam dimensi waktu yang tertentu.
Difusi dari suatu inovasi mengacu pada keseluruhan proses dimana inovasi yang di gelar antar
petani sampai sejumlah besar petani sudah mengadopsi. Bukan untuk mengetahui bagaimana

petani tertentu bergerak secara bertahap ke arah adopsi, tetapi bagaimana suatu inovasi dapat
diadopsi oleh banyak petani. Kecepatan proses difusi inovasi sangat tergantung pada
pemanfaatan modal sosial melalui jaringan-jaringan dalam pertukaran informasi inovasi.
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Valera et al., (1987), menunjukkan unsur-unsur yang rumit
di dalam difusi dari gagasan baru; dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dari
waktu ke waktu di antara anggota suatu sistem sosial.
Saluran komunikasi digunakan oleh agen perubahan untuk menyebarkan suatu inovasi
kepada para klien nya. Saluran media massa adalah yang sering dan paling cepat, merupakan
suatu alat yang efisien untuk menjangkau sejumlah besar pendengar atau petani. Saluran
hubungan antar pribadi (interpersonal), atau komunikasi tatap muka satu persatu dari klien,
memang lebih efektif ketika orang ingin menciptakan suatu sikap baik ke arah suatu inovasi.
Waktu adalah suatu faktor penting dalam proses difusi. Dimensi waktu di dalamnya meliputi:
•Proses keputusan inovasi (adopsi), dimana seseorang melalui pengetahuan pertama
menyangkut inovasi sampai pada penolakan atau adopsi;
•Inovatif dari individu, merupakan hubungan kekeluargaan antara pengadopsi awal –
pengadopsi akhir dimana seseorang mengadopsi suatu inovasi ketika membandingkan dengan
anggota sistem sosial lain;
•Penentuan tingkat adopsi, di mana pada umumnya di ukur oleh banyaknya anggota
sistem yang sudah mengadopsi inovasi itu.
Sistem sosial mengacu pada tempat atau masyarakat. Struktur sistem sosial dapat
mempunyai suatu pengaruh penting atas gagasan baru. Struktur sistem sosial dapat
menghalangi/merinta