Penerapan Single Renvoi Dalam Penyelesai

Penerapan Single Renvoi Dalam Penyelesaian Perkara Hukum Perdata Internasional
(Studi Kasus The Forgo Case 1879)
1. Pendahuluan
Di era globalisasi sekarang ini, interaksi antar manusia dari berbagai penjuru dunia
semakin banyak dan intens.Pengaruh kemajuan teknologi dan sarana komunikasi yang
semakin canggih membuat berbagai pihak dari satu negara dengan negara lain yang
memiliki kecocokan kepentingan satu sama lain kemudian menjalin hubungan di
berbagai bidang.
Ditambah lagi dengan arus perpindahan penduduk (migrasi) dari satu negara kenegara
lain baik secara tetap maupun untuk sementara membuat interaksi antar manusia dari
berbagai negara semakin pesat.Akibat interaksi ini pun kemudian berlanjut pada
timbulnya hubungan hukum antara pihak-pihak dari berbagai negara.
Hubungan Hukum itu pun terwujud dalam hubungan hukum internasional yang bersifat
privat maupun hubungan hukum yang bersifat publik.
Hubungan hukum internasional yang bersifat publik, contohnya dapat kita lihat pada
kerjasama internasional yang di wujudkan dalam bentuk perjanjian internasional antara
negara.Hubungan hukum publik berupa hubungan antar negara ini kemudian memacu
timbulnya sebuah norma hukum baru yang bersifat transnasional yang mengatur
perhubungan anatar negara yang disebut hukum internasional publik.
Hubungan hukum internasional yang bersifat privat (perdata) , contohnya dapat kita lihat
pada kontrak bisnis antara perusahaan dari suatu negara dengan negara lain,

perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda kewarganegaraan, bisa juga
perkawinan antara pria dan wanita yang memiliki kewarganegaraan yang sama menikah
di negara asing atau seseorang yang berkewarganegaraan tertentu berdomisili di negara
asing.Hubungan Hukum ini kemudian memunculkan suatu hubungan hukum perdata
yang bersifat internasional atau disebut dengan hubungan hukum perdata internasional.
Adapun yang menjadi perbedaan di antara keduanya adalah terlihat dari sumber
hukumnya. Hubungan hukum internasional publik bersumber pada norma-norma
hukum internasional yang diakui , sebagai mana diatur dalam pasal 38 ayat (1) Statuta
Makhkamah Internasional.1Selain itu pula persoalan yang diatur dalam Hukum
Internasional Publik adalah persoalan yang bersifat publik, yang mengatur hubungan
antara negara dengan negara lain atau antara negara dengan subjek hukum lain bukan
negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.2
Pada Hukum Perdata Internasional yang menjadi sumber hukum adalah Hukum Nasional
(domestik) law dari pihak-pihak yang berperkara hal ini dikarenakan tiap-tiap individu
yang berbeda negara tunduk pada hukum nasional negaranya masing-masing.Kata
Internasional yang terdapat pada hukum perdata internasional terletak pada unsur asing
yang terdapat dalam perkara hukum perdata internasional tersebut.Unsur asing tersebut
dapat berupa status personalitas (person) dari pihak-pihak yang berperkara atau unsur
teritorialitas tempat dimana peristiwa atau hubungan hukum tersebut terjadi.


1 Yang dimaksud pasal 38 ayat (1) statuta Makhkamah Internasional adalah terdiri dari : 1). Perjanjian
Internasional, 2) Kebiasaan Internasional, 3) Prinsip Hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab,
4). Keputusan Pengadilan (yurisprudensi) internasional dan Doktrin (ajaran para sarjana yang terkemuka).
2 Kusumaatmadja,Mochtar.Pengantar Hukum Internasional.Alumni,Jakarta,2002,hlm 1-2

Jadi, Pada dasarnya antara Hukum Internasional dan Hukum Perdata Internasional tidak
dapat
disamakan .Hal ini karena terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup
mendasar.Pertama ditinjau dari sumber hukumnya Hukum Internasional Publik
bersumber pada sumber hukum internasional yang diatur dalam pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional.Berbeda dengan Hukum Perdata Internasional yang
bersumber pada hukum nasional (domestic law) dari pihak-pihak yang terkait dengan
perkara HPI tertentu.
Kedua dilihat dari sifat persoalan atau perkara yang dihadapi maka hukum internasional
publik mengatur persoalan yang sifatnya publik, contohnya , kerja sama antarnegara ,
pendirian organisasi internasional atu hubungan diplomatik dan konsuler antar negara.
Hal ini berbeda dengan Hukum Perdata Internasional yang sifat persoalan atau perkara
yang dihadapinya adalah hal-hal yang bersifat perdata (privat) , contohnya , perkawinan
campuran beda negara, atau kontrak bisnis yang melibatkan pihak yang berbeda
kewarganegaraan.

Oleh karena yang menjadi subjek dalam suatu perkara hukum perdata internasional,
tunduk pada hukum nasionalnya (domestic law) masing-masing, kemudian
menyebabkan benturan yuridiksi antara hukum nasional masing-masing subjek perkara
hukum perdata internasional tersebut untuk memberlakukan hukum mana yang akan
diberlakukan.Dari hal ini maka peran Hukum Perdata Internasional adalah untuk
menentukan hukum mana yang akan diberlakukan terhadap suatu perkara yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur asing.
Dalam memecahkan sebuah perkara hukum perdata internasional terdapat sebuah
ajaran atau doktrin yang mengatur tentang penunjukan kembali atau yang lebih familiar
dengan sebutan renvoi.Secara umum Renvoi dapat dikatakan sebagai penunjukan
kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum
asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.3
Dalam hal ini ketika dalam pemecahan suatu perkara hpi yang mengunakan renvoi, maka
hakim (forum) yang mengadili suatu perkara HPI pada awalnya berdasarkan lex fori
melakukan penunjukan terhadap hukum asing sebagai lex causae dalam penyelesaian
perkara hpi tersebut.Kemudian ternyata di dalam lex causae terdapat sebuah kaidah hpi
yang melakukan penunjukan kembali terhadap lex fori atau sistem hukum lain sebagai
hukum yang harusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Terkait dengan doktrin renvoi ini maka penulis berusaha untuk menjelaskan penerapan
single renvoi dalam sebuah kasus hukum perdata internasional yang akan dibahas pada

bagian selanjutnya dari tulisan ini yang berusaha untuk membahas bagaimana
penerapan single renvoi dalam penyelesaian perkara HPI dalam kasus The Forgo Case
1879.
2. Penyelesaian Sengketa The Forgo Case (1879)
Perkara The Forgo Case 1879 merupakan perkara mengenai masalah waris yang diajukan
ke pengadilan (forum) prancis.Awal mula kasus ini dimulai dengan meninggalnya
seorang pria berkewarganegaraan Jerman (bavaria) yang bernama Forgo.Sejak usia 5
tahun forgo menetap di prancis tanpa berupaya memperoleh tempat kediaman resmi
(domicile) di prancis.Di ketahui juga bahwa forgo merupakan anak luar kawin.Pada tahun
1879 ia meninggal di prancis tanpa meninggalkan testamen (wasiat) , ia meninggalkan
harta benda berupa sejumlah benda-benda bergerak di prancis. Berdasarkan hukum
3 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 103

prancis terkait dengan warisan anak luar kawin harta warisan jatuh kepada negara.Akan
tetapi menurut hukum jerman (bavaria) saudara-saudara kandung berhak untuk
mendapat harta warisan dari saudara kandungnya yang merupakan anak luar
kawin.Terkait dengan harta peninggalan forgo ini kemudian timbul tuntutan (gugatan)
yang diajukan oleh saudara-saudara kandungnya di pengadilan prancis terhadap
pemerintah prancis.4
Untuk menyelesaikan perkara ini, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh

hakim (forum) prancis.Pertama tahapan yang harus dilakukan adalah hakim (forum)
harus menentukan apakah persoalan yang dihadapi ini merupakan perkara HPI atau
bukan. Dalam hal ini hakim akan menghadapi persoalan hukum dalam wujud sekumpula
fakta hukum yang mengandung unsur-unsur asing (foreignt elements).
Pada tahap ini hakim (forum) menyadari fakta-fakta di dalam perkara yang menunjukan
adanya keterkaitan antara perkara denga tempat-tempat asing (tempat-tempat di luar
wilayah forum). Fakta-Fakta ini disebut dengan Titik –Titik Pertalian Primer (Primary
point of contact).Adanya titik-titik pertalian primer ini dalam sebuah perkara
menunjukan seseorang sedang menghadapi perkara HPI.
Yang dimaksud dengan Titik –Titik Pertalian Primer adalah unsur-unsur yang
menunjukan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa hukum perdata
internasional dan bukan suatu peristiwa intern nasional. 5Dapat juga di definisikan
bahwa titik-titik pertalian primer adalah fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara
(HPI) yang menunjukan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan
karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan
kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern tempat itu.Unsur-unsur yang
tergolong sebagai titik pertalian primer adalah sebagai berikut.
a. Kewarganegaraan
b. Bendera kapal atau pesawat
c. Domisili

d. Tempat kediaman
e. Tempat kedudukan badan hukum
f. Pilihan hukum dalam hubungan hukum internasional
g. Tempat dilaksanakannya perbuatan melawan hukum
h. Tempat terletaknya benda6
Jika kita melihat lebih lanjut fakta hukum pada kasus forgo diatas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa pada dasarnya yang menjadi titik-titik pertalian primer adalah
kewarganegaran dan tempat kediaman sehari-hari (habitual residence).Dimana forgo
merupakan seorang yang berkewarganegaraan jerman (bavaria) sedangkan sehariharinya ia berdiam (tempat kediaman) di prancis.Jadi dapat disimpulkan pula bahwa
kasus forgo ini merupakan perkara HPI karena adanya benturan yurisdiksi antara hukum
nasional (domestic law) dari negara jerman dan prancis.
Setelah titik-titik pertalian primer dari kasus tersebut diketahui, dan telah ditetapkan
bahwa hal tersebut merupakan perkara hukum perdata internasional, maka tahap yang
harus dilanjutkan adalah mementukan apakah hakim (forum) mempunyai kewenangan
yurisdiksional untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang tersebut.Untuk
menentukan hal ini maka hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum acara perdata internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI
lex fori (sistem hukum negara asal hakim yangm memeriksa perkara).
4 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 107-108
5 Hartono,Sunaryati.Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,Putra bardin,Jakarta,

6 http://asikinzainal.blogspot.com.br/2012/01/normal-0-false-false-false.html

Dari kasus forgo tersebut diketahui bahwa perkara diajukan kepada pengadilan (forum)
prancis, oleh karena itu hakim (forum) prancis harus menentukan apakah hakim prancis
memiliki kewenangan/kompetensi yurisdiksional untuk mengadili kasus forgo
tersebut.Untuk menentukan apakah hakim (forum) prancis berwenang , maka hakim
harus berpegang pada kaidah-kaidah atau asas –asas hukum acara perdata internasional
yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI lex fori (hukum acara pada
pengadilan prancis).
Adapun kaidah atau asas-asas yang mengatur tentang kewenangan yurisdiksional forum
untuk mengadili suatu perkara HPI , terdiri atas beberapa macam yaitu.
a) Asas sequitor forum rei , bahwa gugatan diajukan ke pengadilan , tempat dimana
tergugat bertempat tinggal .
b) Asas Forum of convinience adalah suatu prinsip bahwa pengajuan perkara
sebaiknya dilakukan di tempat tergugat karena untuk memberikan kemudahan
kepada tergugat .Antara lain tergugat dapat melakukan pembelaan.
c) Principle effectiviness (asas efektifitas), adalah suatu prinsip bahwa suatu perkara
sebaiknya diajukan ke pengadilan mana hakim akan mudah untuk melakukan
eksekusi.
d) Asas forum solutionis contractus yaitu asas yang menjadi dasar penetapan

yurisdiksi bagi forum dari tempat mana suatu perikatan dianggap telah
dilaksanakan atau seharusnya dilaksanakan
e) Asas pengadilan tempat pihak berkedudukan yang lebih lemah
Yaitu asas yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan tempat
dimana pihak dalam transaksi hukum memiliki kedudukan lebih lemah,
khususnya pihak konsumen dalam transaksi –transaksi konsumen atau pihak
buruh dalam transaksi hubungan kerja.
f) Asas Pengadilan yang dipilih oleh para pihak
Yaitu asas yang merupakan manifestasi dari “asas kebebasan berkontrak”.
Dimana para pihak dapat menentukan sendiri pengadilan yang dianggap
memiliki yurisdiksi eksklusif untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul
dalam hubungan mereka.
g) Asas forum rei sitae yaitu asas yang menjadi dasar penetapan kewenangan
yurisdiksional forum atas perkara yang menyangkut hak kebendaan atas bendabenda tetap.
h) Asas forum delicti , yaitu asas yang digunakan untuk penentuan adanya
kewenangan yurisdiksional dalam perkara perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad).
i) Asas forum connexitatis , yaitu asas yang memberikan kewenangan mengadili
pada forum yang telah memiliki yurisdiksi untuk memeriksa pokok perkara dan
juga gugat balik asas ini dapat digunaka jika tidak ada forum lain yang memiliki

yurisdiksi ekslusif atau yurisdiksim karena pilihan para pihak.
j) Asas forum aresti, yaitu asas pada perkara yang menyangkut muatan atau kapal
yang ditahan yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan
dimana tempat kapal muatan itu ditahan
Dari berbagai macam asas terkait dengan kewenangan yurisdiksional ini , maka hakim
prancis harus menyatakan memiliki kewenangan yurisdiksional berdasarkan kasus forgo
. Hal ini dikarenakan yang menjadi pihak tergugat dalam hal ini adalah pemerintah
prancis (Asas sequitor forum rei dan Asas Forum of convinience)
Setlah kemudian ditetapkan hakim (forum ) prancis memiliki kewenangan untuk
mengadili (kewenangan yurisdiksional ) atas perkara HPI, maka tahapan selanjutnya yang
harus dilakukan oleh hakim (forum) adalah menentukan sistem hukum intern negara

mana /apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan perkara hukum yang
mengandung unsur-unsur asing itu atau menentukan lex causae.
Untuk menentukan lex causae atas perkara maka hakim perlu untuk menentukan titiktitik pertalian sekunder yang bersifat menentukan untuk menunjuk ke arah lex
causae.Titik –titik pertalian sekunder ini harus ditemukan dalam kaidah /aturan/asas hpi
yang tepat dan relevan yang digunakan pada perkara yang sedang dihadapi kaidah atau
asas hpi yang dimaksud adalah asas HPI lex fori.
a)
b)

c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)

Tempat terletaknya benda
Kewarganegaraan
domisili pemilik benda bergerak
Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum
Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum
Tempat diresmikan pernikahan
Tempat ditanda tanganinya kontrak
Tempat dilaksanakannya kontrak
Pilihan hukum

Bendera kapal atau pesawat
Tempat kediaman
Tempat kedudukan atau kebangsaan badan hukum

Dalam hal ini maka hakim harus terlebih dahulu menetukan kualifikasi fakta dan
kualifikasi hukum yang tepat dari perkara berdasarkan kategori yuridik yang dikenal oleh
hakim dalam lex fori.setelah itu barulah hakim menentukan kaidah HPI lex fori yang
relevan dalam rangka penunjukan ke arah lex causae (hukum negara yang ditunjuk oleh
kaidah HPI lex fori).
Dalam kasus forgo yang dihadapi hakim prancis ini maka hakim (forum) prancis haruslah
terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang terjadi. Diketahui bahwa fakta-fakta hukum
yang terjadi bahwa forgo yang merupakan seorang anak luar kawin meninggal di prancis
meninggalkan sejumlah harta warisan di prancis.kemudian harta peninggalan tersbut di
tuntut oleh saudara-saudara kandungnya.Oleh karena itu kemudian berdasarkan
kualifikasi fakta ini hakim (forum) harus menentukan kualifikasi hukum berdasarkan
kategori yuridik di dalam lex fori, bahwa kasus ini merupakan gugatan mengenai hak dan
kedudukan ahli waris dari seorang anak luar kawin.
Setelah kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum dilakukan maka hakim kemudian
menentukan kaidah HPI lex fori yang tepat untuk perkara tersebut.Diketahui bahwa
perkara terkait dengan masalah ahli waris dari anak luar kawin maka yang digunakan
adalah kaidah HPI prancis yang relevan dengan perkara itu.Kaidah HPI Prancis yang
relevan untuk perkara forgo adalah sbb :
“Bahwa persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum
dari tempat dimana pewaris menjadi warga negara”.7
Dari kaidah HPI diatas maka diketahui bahwa titik pertalian sekundernya adalah tempat
diman pewaris menjadi warga negara (kewarganegaraan atau lex patriae) ,yakni negara
jerman (bavaria). Oleh karena itu kemudian yang menjadi lex causae nya adalah hukum
jerman (bavaria).

7 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 107-108

Setelah lex causae ditemukan maka sebenarnya hakim (forum) tinggal memutus perkara
dengan lex causae namun persoalannya semakin rumit jika ternyata hakim jika kaidah
HPI lex Causae melakukan penunjukan kembali untuk digunakannya hukum lex fori.Hal
ini lah yang kemudian disebut dengan Renvoi (penunjukan kembali).
Adapun yang dimaksud dengan renvoi (penunjukan kembali) adalah penunjukan kembali
atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang
ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.8
Munculnya renvoi ini adalah ketika terjadi suatu masalah ketika hakim mencoba untuk
mendefinisikan “apa yang dimaksud dengan menunjuk ke arah suatu sistem hukum
tertentu itu ?. Dari hal ini kemudian timbul dua pengertian yang berbeda yaitu :
a) Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem
hukum tertentu.penunjukan semacam ini dalam bahas jerman dinamakan
sachnormenveweisung.
b) Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu , yang artinya prima
facie, adalah kaidah-kaidah HPI (kollisonsnormen) dari sistem hukum
tersebut.penunjukan semacam ini dinamakan gesamtverweisung.9
Untuk
menjelaskan
perbedaan
antara
sachnormenverweisung
gesamtverweisung ini maka akan diberikan contoh sbb.

dengan

Berdasarkan kasus HPI tertentu maka hukum yang digunakan adalah hukum inggris,
yang dipertanyakan apakah yang diartika hukum inggris itu . dalam hal ini terdapat dua
kemungkinan.
a) Hukum intern inggris (domestic muncipal law) yang berlaku di negara inggris
untuk hubungan hukum antara sesama orang inggris atau.
b) Bukan saja hukum intern tetapi ditambah dengan kaidah-kaidah HPI inggris, jadi
termasuk di dalamnuya kaidah-kaidahmengenai “Choice of Law” (HPI) Inggris. 10
Jadi dari contoh ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
sachnormenverweisung adalah hukum intern dari suatu negara sedangkan
gesamtverweisung merupakan kesluruhan sistem hukum termasuk hukum inten dan
kaidah HPI (kollisonsnormen).
Renvoi hanya mungkin dilaksanakan jika kaidah HPI lex fori menunjuk ke arah suatu
sistem hukum asing dalam arti gesamtverweisung.Artinya, penunjukan itu diarahkan
kepada kaidah HPI asing yang dianggap relevan dengan perkara yang sedang dihadapi.
Namun suatu forum dapat dikatakab menerima atau menolak suatu penunjukan kembali
atau proses renvoi.Penerimaan atau penolakan renvoi adalah sikap atau policy yang
dianut oleh suatu sistem hukum tertentu atau seorang hakim tertentu .Hal ini perlu di
singgung untuk menegaskan bahwa suatu proses renvoi betul-betul-merupakan tindakan
oleh sebuah pengadilan /hakim yang dilandasi proses berpikir hakim sendiri dan sama
sekali tidak melibatkan forum asing yang akan menunjuk kembali ke arah forum yang
pertama.
Dalam hal proses renvoi dijalankan oleh hakim maka terdapat beberapa kemungkinan
yang bisa terjadi.

8 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 103
9 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 104
10 Gautama,Sudargo.Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia,Binacipta,Jakarta,1987 hlm 89-90

a) Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum
asing dan penunjukan langsung itu dianggap sebagai sachnormenverweisung ke
arah kaidah hukum intern dapat di katakan bahwa hakim telah menolak renvoi.
b) Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum
asing dan penunjukan itu dianggap sebagai gesamtverweisung (termasuk kaidahkaidah HPI Asing) dan ada kemungkinan bahwan kaidah HPI sistem hukum asing
itu akan menunjuk kembali ke arah lex fori atau menunjuk lebih lanjut ke arah
sistem hukum ketiga .Penunjukan inilah yang disebut dengan proses renvoi.
c) Apabila penunjukan kembali ke arah lex fori dianggap sebagai penunjukan ke
arah seluruh sistem hukum lex fori , termasuk kaidah HPI lex fori
(gesamtverweisung) , fakta ini menunjukan bahwa forum telah menolak renvoi.
d) Akan tetapi jika hakim (lex fori) mengangap bahwa penunjukan kembali (atau
lebih lanjut ) dianggap sebagai sachnormenverwesiung dan mengarah pada
kaidah-kaidah hukum intern lex fori (atau sistem hukum lain), pengadilan (forum)
dalam hal ini dianggap telah menerima renvoi.11
Dari uraian ini terlihat bahwa dalam HPI , orang mengenal dua jenis single renvoi,
yakni :
a) Remission
Remission yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori
.Karena itu, dalam remission penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI
forum ke kaidah HPI asing (gesamtverweisung) karena sebelumnya diketahui
bahwa kaidah HPI asing itu dalam penunjukan kedua akan menunjuk kembali
kearah lex fori.Jika forum menerima renvoi , penunjukan kembali ini akan
dianggap sebagai sachnormverweisung ke arah hukum intern forum lex fori.
b) Transmission
Transmission yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing ke arah suatu sistem
hukum asing lain. Dalam hal ini penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI
forum lex fori ke arah kaidah HPI asing (gesamtverweisung) yang sebelumnya
telah diketahui akan menunjuk lebih lanjut ke arah sistem hukum ketiga . Karena
hakim (forum) berniat memberlakukan aturan hukum intern dari hukum ketiga
itu , penunjukan kedua akan dianggap sebagai sachnormenverweisung. 12
Kembali pada kasus forgo,ternyata hakim (forum) prancis ketika melakukan penunjukan
ke arah hukum jerman (bavaria) sebagai lex causae dimaksudkan kepada keseluruhan
sistem hukum jerman (bavaria) sehingga hal ini merupakan gesamtverweisung yang
mengarah pada kaidah HPI jerman (bavaria).Adapun di dalam sistem hukum jerman
(bavaria), kaidah-kaidah yang mengatur tentang perkara pewarisan ini adalah sebagai
berikut.
Dalam kaidah HPI Jerman (Bavaria) :
“Kaidah HPI jerman (bavaria) yang mengatur soal pewarisan menetapkan bahwa
pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk pada hukum dari tempat dimana
pewaris bertempat tinggal (habitual residence).”13
Dalam kaidah Hukum intern Jerman (bavaria) :

11 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 104-105
12 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 105
13 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 106

“Hukum perdata intern jerman (bavaria) menetapkan bahwa saudar-saudar kandung
dari seorang anak luar kawin tetap berhak menerima harta peninggalan dari anak
luar kawin yang bersangkutan.”14
Jika kasus ini diselesaikan dengan kaidah hukum intern lex causae (hukukm perdata
intern jerman (bavaria), maka saudara-saudara kandung dari forgo berhak mendapatkan
harta waris berupa benda bergerak peninggalan forgo.Namun karena hakim prancis
melakukan penunjukan ke arah lex causae yang dimaksudkan pada keseluruhan sistem
hukum jerman (bavaria) , maka hal ini mencakup kaidah HPI jerman (bavaria).
Karena kaidah HPI jerman (bavaria) mengatur bahwa dalam soal pewarisan benda-benda
bergerak harus tunduk pada hukum ditempat dimana pewaris bertempat tinggal dan
dalam hal ini forgo yang merupakan pewaris keseharianya bertempat tinggal di prancis
maka terjadi penunjukan kembali (renvoi) kepada hukum prancis sebagai lex domicili
forgo.
Kemudian di dalam kasus ini karena hakim prancis mengangap penunjukan kembali
(renvoi) ini sebagai sachnormverweisung ke arah hukum perdata intern prancis, maka
dalam hal ini hakim prancis akan memberlakukan hukum perdata intern (code civil
prancis).
Berdasarkan kaidah hukum perdata intern prancis yang mengatur soal pewarisan
dikatakan bahwa :
“Harta peninggalan dari seorang anak luar kawin jatuh ke negara.”
Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah negara prancislah yang berhak atas harta
bergerak peninggalan forgo.Dalam hal ini tergugat yakni pemerintah prancis
dimenangkan oleh pengadilan prancis sedangkan pihak penggugat yakni saudarasaudara kandung forgo telah dikalahkan.

3. Kesimpulan
Berdasarkan kasus Forgo diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya di dalam
kasus ini terjadi penerapan proses renvoi (penunjukan kembali) dimana ketika hakim
prancis berdasarkan kaidah HPI lex fori melakukan penunjukan kepada lex causae yaitu
hukum jerman (bavaria) dimaksudkan kepada keseluruhan sistem jerman
(gesamtverweisung) sehingga dalam hal ini termasuk lah kaidah HPI jerman
(bavaria).Namun Pada kaidah HPI jerman (bavaria) kemudian melakukan penujukan
kembali kepada hukum prancis sehingga disini proses renvoi (penunjukan kembali) pun
terjadi.
Hal ini terlihat ketika kaidah HPI Prancis mengatur bahwa , “Bahwa persoalan pewarisan
benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat dimana pewaris
menjadi warga negara” yang kemudian kaidah ini menunjuk ke arah hukum jerman
(bavaria), (dikarenakan forgo berkewarganegaraan jerman (bavaria)), sebagai
keseluruhan sistem hukum (gesamtverweisung).Akan tetapi karena Kaidah HPI Jerman
(bavaria) mengatur bahwa, Kaidah HPI jerman (bavaria) yang mengatur soal pewarisan
menetapkan bahwa pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk pada hukum dari

14 Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006 hlm 106

tempat dimana pewaris bertempat tinggal (habitual residence)”, maka terjadi
penunjukan kembali (renvoi) ke arah hukum Prancis.
Dalam kasus ini jenis single renvoi yang digunakan adalah remissions karena pada
penunjukan yang pertama berlangsung penunjukan dari kaidah HPI lex fori (prancis) ke
arah kaidah HPI lex causae (Jerman-Bavaria) (gesamtverweisung). Kemudian karena
diketahui bahwa kaidah HPI lex causae (jerman-bavaria) itu kemudian akan menunjuk ke
arah lex fori dan hakim (forum) prancis mengangap penunjukan kembali ke arah lex fori
(hukum prancis) itu merupakan penunjukan ke arah hukum perdata intern prancis
(sachnormenverweisung) maka hakim prancis akan memberlakukan hukum perdata
intern prancis .

Daftar Pustaka
Hardjowahono,bayu seto.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,Citra Aditya,Bandung,2006
Gautama,Sudargo.Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia,Binacipta,Jakarta,1987
Hartono,Sunaryati.Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,Putra bardin,Jakarta,
http://asikinzainal.blogspot.com.br/2012/01/normal-0-false-false-false.html
Kusumaatmadja,Mochtar.Pengantar Hukum Internasional.Alumni,Jakarta,2002,hlm 1-2