Serah Naik Jajah Turun sebagai Dasar Hub

Serah Naik Jajah Turun Sebagai Dasar Hubungan Orang Rimba dan
Orang Melayu di Jambi1
Oleh : Adi Prasetijo M.Si2

Pengantar
Dalam paper ini penulis akan mencoba untuk menganalisa dan menjelaskan
hubungan antara kebudayaan Orang Rimba dan Orang Melayu di Jambi. Penulis
melihat hubungan antar etnik antara kelompok etnik Orang Rimba dan kebudayaan
Melayu dalam konteks hubungan yang bersifat patron-klien. Hubungan patron – klien
ini mempengaruhi kehidupan Orang Rimba sehingga menurut penulis seperti
bagaimana Orang Rimba hidup dalam bayang-bayang kebudayaan Orang Melayu yang
ada di Jambi.
Hubungan antar etnik dalam hal ini dalam paper ini dipahami sebagai sebuah
gejala budaya mempertemukan 2 orang atau lebih yang berbeda etnik. Interaksi sosial
terwujud dalam struktur dimana dalam struktur tersebut terdapat sistem yang
mengatur hubungan antar status individu berdasarkan peranan yang dipunyainya.
Status seseorang sebagai ciri etnik ini mampu mengatur konstelasi status yang dapat
diakui sebagai kepribadian sosial yang ditemukan dalam diri seseorang dengan
identitasnya dimana ciri etnik ini berlaku mirip identitas kepangkatan yang ada dalam
struktur (Barth,1980,18). Di dalam interaksi antar etnik yang berlaku secara stabil atau
mapan, sebab berlaku terus menerus, tetap dan dipelihara keberadaannya, hubungan

antar etnik menjadi hubungan antar status dan peranan yang bersifat simbiosis.
Peranan pelaku dalam struktur interaksi selalu berbeda tergantung dari corak
interaksinya dimana dalam corak interaksi tersebut ia dapat menonjolkan peranannya
sehingga yang kemudian terjadi dalam interaksi adalah perjuangan antar individu
untuk memperebutkan peranannya. Seseorang akan mendapatkan perannya apabila ia
                                                             
Jurnal SELOKO, VOL. 1, NO. 1, 2012:27-49, Dewan Kesenian Jambi, Jambi
Kandidat doktor, Antropologi, Universiti Sains Malaysia. Alumnus Arkeologi, UGM (1997), Pasca
Sarjana Antropologi, UI (2005), dan MPI (Mindanao Peacebuilding Institute) Philipine (2004). Pernah
bekerja di WARSI & NRF (Norwegian Rainforest Foundation) dalam program “Resource Management
for Orang Rimba” selama beberapa tahun di Jambi. Juga pernah bekerja sebagai Peacebuilding project
Coordinator di CRS (Catholic Relief Services) Indonesia Office, dan UNESCO Office, Jakarta sebagai
project coordinator for culture, dan sekarang bekerja sebagai peneliti di ICSD (Indonesia Center for
Sustainable Development). E-mail: prasetijo@gmail.com

1
2

Kandidat doktor, Antropologi, Universiti Sains Malaysia. Alumnus Arkeologi, UGM (1997), Pasca
Sarjana Antropologi, UI (2005), dan MPI (Mindanao Peacebuilding Institute) Philipine (2004). Pernah

bekerja di WARSI & NRF (Norwegian Rainforest Foundation) dalam program “Resource Management
for Orang Rimba” selama beberapa tahun di Jambi. Juga pernah bekerja sebagai Peacebuilding project
Coordinator di CRS (Catholic Relief Services) Indonesia Office, dan UNESCO Office, Jakarta sebagai
project coordinator for culture, dan sekarang bekerja sebagai peneliti di ICSD (Indonesia Center for
Sustainable Development). E-mail: prasetijo@gmail.com

2

mempunyai kekuatan dan otoritas yang terwujud didalam hubungan sosial yang aktif
(Jenkins,1987,53). Sebagai hubungan antar kekuatan, interaksi sosial dapat kita lihat
demikian karena dalam berinteraksi seorang aktor akan selalu berusaha untuk
mempengaruhi aktor yang lain. Konteks hubungan patron – klien menurut penulis
adalah hubungan yang bersifat tatanan struktur yang mencoba untuk saling
mendominasi.
Hubungan patron klien antara Orang Melayu dan Orang Rimba dapat kita
pahami sebagai suatu hubungan antar etnik yang terwujud secara setempat atau lokal.
Penulis melihat hubungan patron klien antara Orang Rimba dan Orang Melayu
tercermin dari pola hubungan waris jenang yang memberikan gambaran hubungan
yang eksploitatif. Peran waris dan jenang mempunyai posisi yang sangat penting
dalam kehidupan Orang Rimba. Meskipun hubungan waris dan jenang sudah mulai

menurun namun tetap saja pola hubungan ini dengan dunia luar. Misalnya bagaimana
mereka berhubungan dengan pihak perusahaan atau orang luar, diluar Orang Melayu.
Orang Rimba: Potret Marjinilitas Suatu Kelompok Etnik
Orang Rimba atau Orang Kubu ataupun dikenal sebagai Suku Anak Dalam
adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu kelompok etnik
yang ada di Jambi, Sumatra. Mayoritas Orang Rimba hidup di propinsi Jambi dan
beberap wilayah yang ada di Sumatra Selatan dan Riau. Secara ekologis, Orang Rimba
hidup di dataran rendah propinsi Jambi yang tersebar di 3 lingkup wilayah geografis
yang berbeda, yaitu di daerah bagian barat Propinsi Jambi (sekitar jalan lintas timur
Sumatra), Taman Nasional Bukit 12, dan Taman Nasional Bukit 30 (berada di
perbatasan antara Riau – Jambi)(Sandbukt & Warsi,1998,16).
Istilah Orang Kubu pertama kali disebutkan oleh Van Dongen untuk menyebut
orang-orang primitif yang ditemuinya, ketika berkunjung ke Palembang. Ia
menyebutnya sebagai Rimba Ridan, atau orang Rimba yang ada di Sungai Ridan di
daerah Palembang. Kubu atau Ngubu oleh orang Melayu diartikan sebagai benteng
pertahanan dimana kemudian istilah Rimba untuk menyebut orang yang
bertahan/tinggal di dalam hutan (Van Dongen,1906). Sebutan Orang Kubu kemudian
berkembang menjadi istilah baku yang labelkan oleh Orang Melayu kepada mereka.
Oleh masyarakat Melayu Jambi, Orang Rimba memang dikenal sebagai suatu
kelompok etnik yang identik dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan

kehidupan yang terisolasi, baik secara geografis maupun secara budaya. Dapat kita
amati perlakuan tersebut misalnya dalam kata-kata umpatan yang umum dalam
masyarakat Melayu Jambi seperti “Kubu kau” atau “macam Kubu kau”. Umpatan ini
lazim ditujukan kepada seseorang yang dianggap bengak (keras kepala) atau seseorang
yang tidak mau mengikuti aturan. Misalnya ketika seseorang ayah menyuruh anaknya
untuk mandi sore namun anak tersebut membandel karena masih ingin bermain
dengan temannya. Bayangan bahwa Orang Rimba adalah orang yang bandel dan tidak
mau menuruti aturan adalah pemahaman yang nyata ada dalam masyarakat Jambi.
Atau bagaimana misalnya mereka sebagian masyarakat Melayu di Jambi yang takut
berhubungan dan berinteraksi dengan mereka.

Selain itu Orang Rimba juga mengalami proses peminggiran kebudayaan yang
dilakukan oleh pemerintah. Beberapa pemukiman kembali Orang Rimba yang
dilakukan oleh pemerintah diklaim keberhasilannya jika mereka mau berpindah
perilakunya dengan menetap dipemukiman menetap dan merubah semua tatanan
hidupnya. Model pembangunan untuk “Kelompok Adat Terpencil” seperti Orang
Rimba yang mempunyai ciri-ciri makro, pertumbuhan materi, dan tingkat kemampuan
konsumsi yang mengacu kepada kebudayaan mayoritas daerah setempat (Melayu)
sehingga dalam pelaksanaannya dapat mengabaikan variasi-variasi lokal dan
kepentingan kelompok-kelompok etnik yang minoritas karena tidak sesuai dengan

pedoman makro yang digunakan oleh negara. Program-program pembangunan yang
diarahkan oleh pemerintah akan mengarah kepada perubahan kebudayaan etnik
minoritas tersebut, termasuk Orang Rimba ke dalam kebudayaan yang dominan.
Seperti nampak dalam program-program pembangunannya yang populer yaitu
pemukiman kembali masyarakat terpencil. Wacana kebijakan pemerintah Orba ini,
seakan menjadi legitimasi kontruksi identitas etnik Orang Rimba yang berada dibawah
bayang-bayang kebudayaan dominan karena mereka tidak dapat mengikuti pedoman
makro yang ditentukan.
Bagi pemerintah (Kementrian Sosial) ciri-ciri golongan masyarakat yang
digambarkan seperti Orang Rimba adalah termasuk dalam golongan masyarakat
terasing atau sekarang disebur sebagai KAT (Kelompok Adat Terpencil). Masyarakat
terasing berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. 5/1994 adalah kelompok-kelompok
masyarakat yang bertempat tinggal atau berkelana ditempat-tempat yang secara
geografik terpencil, terisolir, dan secara sosial budaya terasing dan atau masih
terkebelakang dibandingkan dengan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya
(Direktorat Bina Masyarakat Terasing-Depsos RI.1996:2).3
Kelompok masyarakat terasing dengan ciri-ciri demikian diatas seperti Orang
Rimba ini oleh Depsos juga dianggap sebagai suatu masyarakat yang rentan terhadap
berbagai permasalahan sosial atau disebut sebagai rawan sosial dimana keadaan
mereka dipandang labil atau tidak mempunyai ketidakmantapan sosial politik yang

akan menimbulkan permasalahan sosial karena kebudayaan mereka yang dianggap
tidak lagi sesuai dengan masanya karena terisolir, baik secara geografis maupun
budaya. Bahkan dalam beberapa pernyataan tentang permasalahan yang ditimbulkan
dari permasalahan kelompok sukubangsa minoritas ini terlihat jelas bahwa mereka oleh
Depsos dianggap sebagai pembawa masalah sosial dimana masalah-masalah sosial
tersebut akan mengganggu citra dan jalannya pembangunan. Seperti tercantum dalam
buku panduan teknis mereka yang mengatakan bahwa kelompok sukubangsa
minoritas ini belum sepenuhnya terjadi integrasi nasional dalam kemasyarakatan kita,
belum dapat secara penuh dilaksanakan pemerataan pembangunan bagi seluruh
rakyat, mengurangi citra keberhasilan pembangunan bangsa, dapat menimbulkan
mata rantai yang mengganggu ketahanan nasional, dan meskipun dalam skala yang
                                                             
Keppres Nomor 111 tahun 1999 yang mengganti istilah masyarakat terasing dengan Komunitas Adat
Terpencil. Komunitas Adat Terpencil (KAT) diartikan sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat
lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan pembangunan sosial, ekonomi
maupun politik (Keppres Nomor 111 1999).
3

kecil serta lambat, tetapi mengganggu kelestarian alam seperti tebas dan bakar
(Panduan Teknis Pemberdayaan Lingkungan Sosial KAT 2000: 9).

Jika melihat lebih ke belakang, maka sesungguhnya pemerintah melihat
keberadaan mereka terasing karena pola hidupnya yang dinilai terkebelakang,
terisolasi dan memandang bahwa masyarakat terasing sebagai suatu masalah sosial
“Masyarakat terasing adalah merupakan sebagian dari masalah sosial di Indonesia”. Untuk itu
maka mereka perlu dibangun dan dibina, disesuaikan dengan masyarakat yang lain.
Dan kebudayaan etnik yang dianggap tidak sama perlu dirubah.
Proses peminggiran kebudayaan etnik yang terjadi seperti yang terjadi pada
Orang Rimba diatas tidak lepas dengan kelahiran apa yang disebut dengan proses
kelahiran kebudayaan nasional pada masa Orde Baru. Keberadaan kebudayaan
nasional adalah suatu konsep yang sifatnya umum dan biasa ada dalam konteks sejarah
negara modern dimana ia digunakan oleh negara untuk memperkuat rasa kebersamaan
masyarakatnya yang beragam dan berasal dari latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Dalam perjalanannya, negara malah memperkuat batas-batas kebudayaan
nasionalnya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan militer
yang dimilikinya. Keadaan ini berkaitan dengan gagasan yang melihat bahwa usahausaha untuk membentuk suatu kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk
mencari letigimasi ideologi demi memantapkan peran negara dihadapan warganya
(Keith Foulcher 1999.301-303). Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak
dipermukaan adalah gejala bagaimana negara menggunakan segala daya upaya
kekuatan politik dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaankebudayaan etnik yang ada didaerah, dimana kebudayaan-kebudayaan etnik tersebut
dianggap tidak sejalan dengan kebudayaan nasional.

Indonesia sendiri, sebagai suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai
kelompok etnik yang berbeda, terdapat pranata yang bersifat nasional, kelompok etnik
dan pranata lokal. Pranata nasional berfungsi dalam kaitan dengan kebutuhan
pelayanan administrasi publik yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pranata
etnik ada dan berlaku dalam kehidupan kekerabatan dan keluarga. Dan pranata lokal
ada dalam tatanan kehidupan masyarakat lokal setempat yang ada di tempat-tempat
umum dimana ia berfungsi sebagai sebagai jembatan antar para warga yang
mempunyai latar belakang etnik yang berbeda. pranata lokal ini berdasarkan kepada
kebudayaan lokal setempat sebagai sistem acuan dalam berhubungan.
Dalam konteks masyarakat majemuk, menurut Parsudi Suparlan masyarakat
Indonesia mempunyai 3 sistem kebudayaan yang menjadi acuan bagi warganya yaitu
sistem nasional, sistem etnik, dan kebudayaan lokal setempat (Suparlan 2004:60.).
Masing-masing sistem tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya serta
operasionalnya dibidang masing-masing. Sistem kebudayaan nasional adalah suatu
sistem acuan yang menjadi dasar bagi warga anggota masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berikutnya adalah kebudayaan etnik dimana merupakan
suatu sistem pengetahuan yang digunakan sebagai acuan oleh anggota etnik yang
bersangkutan dimana notabene adalah warga dari anggota masyarakat yang lebih luas,
untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan, serta memanfaatkannya demi
kepentingannya. Tercakup didalamnya adalah pedoman-pedoman yang kemudian


dijadikan acuan oleh anggota etnik yang bersangkutan untuk melakukan penilaian dan
penggolongan sosial terhadap gejala-gejala sosial yang dialaminya. Dalam kebudayaan
etnik ini juga tersedia jawaban-jawaban atas asal-usul manusia dan mengenai alam
semesta beserta isinya tempat kehidupannya, menyajikan formula-formula yang dapat
diplih untuk digunakan dalam menghadapi dunia gaib dan ketidakpastian kehidupan
yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dari warga etnik tersebut. Intinya
adalah patokan nilai-nilai etika dan moral, baik yang tergolong sebagai yang ideal dan
seharusnya yang dinamakan world view atau pandangan hidup maupun yang
operasional dan aktual didalam kehidupan sehari-hari yang dinamakan ethos atau etos.
Secara operasional kebudayaan etnik terwujud dalam pranata-pranata sosial
yang ada dalam masyarakat etnik dimana keberadaannya berdasarkan fungsi dan
kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu sistem pengetahuan,
kebudayaan etnik ini juga berisi sistem penggolongan atau identifikasi yang digunakan
oleh anggota etnik yang bersangkutan untuk melakukan penilaian terhadap kelompok
etnik yang lain. seseorang akan melakukan penilain terhadap orang lain berdasarkan
ciri-ciri atau atribut yang melekat pada dirinya. Dan dalam melakukan penilaian
tersebut, ia menggunakan sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan etniknya
(Suparlan 2004: 8-9).
Selain kedua sistem tersebut diatas, terdapat juga sistem sosial yang ada di

tempat-tempat umum lokal. Tempat-tempat umum lokal ini tidak hanya diartikan
sebagai tempat bertemunya anggota masyarakat dengan berbagai kepentingan yang
berbeda namun dapat dimaknai juga sebagai suatu ruang sosial dimana didalamnya
terdapat hubungan sosial antar anggota masyarakat. Sebagai suatu ruang sosial,
tempat-tempat umum dapat dipahami sebagai suatu pranata sosial dimana didalamnya
terdapat hubungan antar posisi dan kedudukan antar pelaku. Dalam hal ini ruang
sosial tempat-tempat umum ini terdapat suatu kebudayaan yang dijadikan oleh para
pelaku untuk bertindak dan saling berhubungan. Didalam ruang sosial tersebut juga
berlaku situasi sosial dimana diartikan sebagai serangkaian norma yang mengatur
penggolongan para pelaku menurut status dan perannya dan yang membatasi macam
tindakan-tindakan yang boleh dan yang tidak boleh serta yang seharusnya diwujudkan
oleh para pelakunya. Sebuah situasi sosial biasanya menempati suatu ruang atau
wilayah tertentu yang khususnya untuk situasi sosial tertentu, walaupun tidak
selamanya demikian keadaannya sebab ada ruang atau wilayah yang mempunyai
fungsi majemuk.
Menurut Parsudi Suparlan (1982:217) kebudayaan tempat umum tersebut
terwujud dari berbagai kebiasaan dan kovensi sosial yang berupa norma-norma sosial
dan menjadi mantap karena telah berlangsung sejak lama. Norma-norma sosial tersebut
adalah patokan-patokan etika dan moral yang menandai corak tindakan-tindakan dan
pola-pola yang berlaku didalam tempat-tempat umum tersebut. Pada umumnya

patokan etika dan moral dalam kebudayaan tempat-tempat umum tersebut
mempunyai prinsip yang egaliter (sejajar) dan kemampuan untuk saling tawarmenawar kekuatan, barang, jasa dan sebagainya. Dalam proses tawar-menawar ini
muncul etika ketika berhubungan antar status dan peranan.

Didalam sistem tempat umum seperti dicontohkan diatas biasanya hubungan
antar-etnik terjadi karena tempat-tempat umum menjadi titik pertemuan antar warga
atau anggota masyarakat berbeda etnik namun dipertemukan oleh kebutuhan dan
kepentingan yang sama. Ciri utama dari sistem sosial yang ada dalam tempat-tempat
umum ini adalah sifatnya yang lokal setempat karena berlaku secara terbatas pada
areal tertentu dan mempunyai corak atau sifat yang berbeda antara yang satu dengan
yang lain dimana corak atau sifat tersebut berdasarkan jenis kekuatan yang digunakan
dalam proses tawar-menawar. Seperti misalnya kekuatan sosial, kekuatan uang, atau
kekuatan fisik. Namun terdapat juga tempat-tempat umum yang dalam melakukan
tawar-menawarnya berdasarkan pola-pola kebudayaan masyarakat setempat yang
dominan.
Dalam konteks hubungan antara Orang Rimba dengan kelompok etnik lainnya,
hubungan antar-etnik lazim terjadi didalam ruang-ruang sosial yang ada ditempat
umum karena sistem sosial tempat-tempat umum ini berfungsi sebagai wadah untuk
mengakomodasi perbedaan dan menjadi perantara yang menjembatani antara
keduanya. Didalam hubungan antar-etnik tersebut masing-masing etnik menciptakan
dan memantapkan batas-batas sosialnya. Batas-batas sosial etnik tersebut berfungsi
sebagai batas yang membedakan antara kelompok etnik yang satu dengan kelompok
etnik yang lain dimana mereka mengacu kepada kebudayaan etnik masing-masing.
Batas-batas sosial etnik tersebut berupa atribut-atribut etnik yang dapat menjadi ciri
identitas etnik yang bersangkutan. Mereka juga akan menunjukkan identitas etniknya
dengan cara mengaktifkan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan etniknya sehingga
nampak jelas perbedaan masing-masing kelompok etnik.

Hubungan Masyarakat Ulu dan Masyarakat Ilir
Hubungan antara Orang Rimba dan orang Melayu sesungguhnya diatur oleh
suatu tatanan struktur yang didasarkan atas hubungan ekonomi antara keduanya.
Hubungan itu didasarkan atas aturan serah naik jajah turun dimana tujuan utamanya
adalah menjamin kelancaran alur distribusi pajak (jajah ) dari Orang Rimba kepada
pihak kesultanan Jambi. Waris dan jenang diangkat oleh pihak kesultanan yang
berfungsi sebagai penarik jajah sekaligus sebagai orang yang mengurusi mereka. Waris
dan jenang inilah yang kemudian juga berfungsi sebagai penghubung antara Orang
Rimba dengan dunia luar.
Pola hubungan antara Orang Melayu dan Orang Rimba menurut penulis
terbangun dari suatu latar belakang hubungan antara masyarakat ulu dan ilir yang ada
di Jambi pada masa kesultanan Jambi yang sifatnya struktural hirarkis. Masyarakat ulu
digambarkan oleh Andaya (1993:16) sebagai masyarakat yang kaya akan sumber daya
alam. Bersifat egaliter, independen, dan hidup berkelompok-kelompok, termasuk
didalamnya
kelompok etnik Rimba. Masyarakat ilir sebagai masyarakat yang
dikatakan oleh Andaya bersifat struktural hirarkis selalu berupaya untuk menguasai
kehidupan masyarakat ulu ini karena mereka membutuhkan supply bahan-bahan

komoditi jual sumber daya alam (jernang, getah balam, dan lain-lain) ke pasar
internasional di Selat Malaka. Upaya ini dilakukan dengan cara tindakan fisik seperti
penguasaan lahan, perbudakan, penculikan anak gadis, dan penghancuran desa, juga
dilakukan dengan cara membangun suatu tatanan struktur yang sedemikian rupa
mengikat masyarakat ulu kepada masyarakat ilir. Konsep pajak “serah naik jajah turun”
dan pembagian masyarakat menjadi dalam kalbu-kalbu berdasarkan kedekatan dan
pekerjaannya kepada kesultanan, serta peran waris dan jenang yang dominan adalah
bukti dari upaya masyarakat ilir dengan dukungan Kesultanan Melayu Jambi untuk
menguasai masyarakat ilir.
Dalam catatan harian yang ditulis oleh Winter (Winter 1901:2) misalnya dapat
kita lihat bagaimana orang-orang Rimba ketakutan setengah mati karena anak-anak
gadis mereka diculik oleh Orang Melayu untuk dibawa ke daerah hilir dan dijadikan
budak. Tanpa mereka dapat berbuat apa-apa. Dan ia menuliskan bahwa pada masa
Hindia Belanda bagaimana dengan mudah dan biasanya orang-orang Melayu
menangkap Orang Rimba di hutan hanya untuk dijadikan sekedar budak dan
diperdagangkan diantara mereka. Dan Orang Rimba menurut Winter tidak berani
untuk melawan. Mereka hanya lari dan lari lebih masuk ke dalam hutan. Pola
perbudakan seperti ini ini menurut penulis begitu dominan dalam konteks hubungan
perdagangan antara Orang Rimba dan Orang Melayu di masa kesultanan Melayu
Jambi. Konteks hubungan yang demikian menurut penulis telah memberikan dampak
terhadap bagaimana Orang Rimba membangun interpretasinya terhadap Orang
Melayu4. Dalam kosmologi Orang Rimba misalnya, Orang Melayu digambarkan
sebagai orang-orang yang membawa penyakit dari daerah hilir, daerah asal penyakit,
pun demikian dengan wanita-wanita Orang Rimba yang harus dilindungi dari kontak
langsung dengan orang-orang Melayu, ataupun dewo-dewo jahat mereka yang
kebanyakan berasal dari wilayah-wilayah yang identik dengan daerah Orang Melayu
seperti rawa dan daerah terbuka lainnya. Namun disisi yang lain mereka juga
menggambarkan dewa dan halom dewo mereka seperti dunia Orang Melayu. Hal ini
menunjukkan bahwa ada dibalik ketakutan-ketakutan yang disebarkan oleh Orang
Melayu ada kebutuhan Orang Rimba untuk selalu berhubungan dengan Orang Melayu.
Selain mereka membutuhkan Orang Melayu sebagai pembeli barang-barang yang
mereka ambil didalam hutan juga sebagai pengayom dan pelindung mereka.
Dari paparan Andaya diatas, dapat kita lihat bahwa perbedaan sejarah antara
masyarakat ulu-ilir tidak saja mencerminkan perbedaan kewilayahan, ulu dengan
daerah pegunungannya dan hutannya dengan daerah ilir yang identik dengan daerah
                                                             
Orang Rimba melihat dunianya dalam 2 dunia yang bersifat kontras, yaitu Dunia Orang Melayu dan
orang Rimba. Keberadaan dan posisi Orang Melayu didukung pula oleh posisi mereka didalam struktur
dunia kosmologi Orang Rimba yang membagi alamnya dalam 3 macam tempat, yaitu halom nio (alam
dunia sekarang ini tempat mereka berada, yaitu hutan), halom dewo (alam dunia tempat dewa-dewa
berada) dan orang kapir (alam dunia tempat orang-orang kafir yang ada didalam tanah). Orang Rimba
menerima dunia dewa (halom dewo) sebagai dunia yang senyata-nyatanya ada atau mereka sebutkan
sebagai dunia aluy (halus), yang lebih nyata dari pada dunia yang mereka huni saat ini, yaitu halom nio,
dunia yang mereka nyatakan sebagai dunia yang kasar. Mereka melihat dunia saat ini yaitu halom nio
merupakan dunia tiruon atau dunia imitasi dari dunia nyata yang sesungguhnya, yaitu halom dewo
(Sandbukt,1984;86).
4

pesisir, tetapi hal ini berhubungan erat dengan identitas sosial budaya yang melibatkan
perbedaan aktivitas ekonomi, pola kehidupan, dan budaya. Perbedaan sejarah ini juga
berdampak pada ciri-ciri masing budaya dimana Orang Ulu dengan pertanian dan hasil
hutannya, dan Orang Ilir dengan perdagangan dan birokrasi kerajaanya. Dalam
bukunya Andaya juga mengungkapkan bahwa Orang Ilir sangat rendah memandang
Orang Ulu. Tidak menjadi sesuatu hal yang aneh ketika itu, orang-orang ilir mengambil
paksa para wanita yang telah bersuami dan gadis-gadis Orang Ulu sebagai selir atau
budaknya. Dan Orang Ilir juga memperlakukan pajak yang tinggi kepada masyarakat
ulu. Tidak mengherankan kemudian jika orang-orang ulu lebih dekat hubungannya
dengan orang-orang Minangkabau. Namun disisi yang lain Orang Ilir sangat
membutuhkan Orang Ulu sebagai penyuplai utama komoditi perdagangan yang akan
diperjualbelikan ditingkat antar wilayah, bahkan antar negara. Bahkan pemerintah
Hindia Belanda pada abad 17 melihat Orang Ulu sebagai “orang yang kaya”
dibandingkan orang hilir, sesuai dengan kepentingan Belanda akan kebutuhan wilayah
perkebunan. Demikian pula halnya dengan Orang Ulu. Mereka masih membutuhkan
Orang Ilir sebagai orang yang mampu memberikan perlindungan dan pengayoman.
Terlebih dengan simbol-simbol kerajaan yang dimilikinya. Selalu ada ketegangan
dalam hubungan antar 2 kelompok masyarakat, ulu dan ilir ini. Dan ketegangan ini
yang mempengaruhi proses perjalanan sejarah masyarakat Melayu yang ada di Jambi.

Serah Naik Jajah Turun : Dasar Hubungan Orang Rimba dan Orang Melayu Jambi
Interaksi sosial akan mewujudkan dirinya dalam suatu struktur sosial dimana
didalamnya terdapat hubungan antar posisi atau status berdasarkan peran dan
fungsinya dalam masyarakat. Interaksi sosial antara Orang Rimba dan Orang Melayu
terwujud dalam suatu struktur hubungan yang mengatur status sosial masing-masing
berdasarkan peran dan fungsinya dimana mengacu kepada konsep serah naik jajah
turun. Serah naik jajah turun adalah suatu aturan yang bertumpu pada penguasaan
jalur-jalur distribusi ekonomi dan pajak (jajah ) oleh masyarakat ilir kepada masyarakat
ulu pada masa kesultanan Jambi. Dalam struktur hubungan serah naik jajah turun
tersebut, dikenal adanya peran waris dan jenang dimana tugasnya adalah menarik pajak
dari masyarakat, termasuk didalamnya Orang Rimba dan mendistribusikannya kepada
pihak kesultanan. Keberadaan Orang Rimba di daerah Bukit 12 memang mempunyai
posisi berbeda dibandingkan dengan Orang Rimba lainnya yang ada di Jambi. Orang
Rimba Bukit 12 oleh pihak Kesultanan Melayu Jambi dianggap sebagai bagian dari
masyarakat marga Air Hitam (Tideman, 1938) dimana secara otomatis berlaku pula
hukum-hukum dan prinsip-prinsip adat di kesultanan Jambi.
Bentuk pengakuan Orang Melayu terhadap keberadaan Orang Rimba di Air
Hitam adalah dengan pengakuan wilayah pengembaraan mereka di Air Hitam dengan
seloka adat yang menyatakan ”Pangkal waris Tanah Garo, Ujung waris tanah Serengam, Air
Hitam tanah bejenang”. Dengan adanya seloka adat ini Orang Rimba mengakui bahwa
mereka mempunyai waris yang ada di Tanah Garo dan Tanah Serengam, serta Jenang
di daerah Air Hitam. Pangkal waris diartikan oleh Orang Rimba sebagai daerah jelajah

Orang Rimba dan ujung waris sebagai daerah perantauan bagi Orang Rimba terutama
pada saat mereka melangun ke daerah Sungai Serengam, serta Air Hitam sebagai tempat
mereka harus ber-jenang. Selain itu wilayah ini diyakini juga oleh mereka sebagai suatu
batas-batas pengembaraan, jelajah, dan melangun mereka. Tana Garo disebelah utara
dan barat Bukit 12, Air Hitam disebelah selatan, dan daerah Serengam disebelah timur
Bukit 12.
Keberadaan seloka adat ini memberikan legitimasi kekuasaan dan pengesahan
terhadap posisi dan status waris-jenang terhadap Orang Rimba. Waris menurut Orang
Rimba adalah orang-orang Melayu yang dianggap masih memiliki hubungan
keturunan dengan Orang Rimba atau keluarga mereka. Menurut Sandbukt makna waris
ini adalah orang yang mempunyai hal atas sumber daya alam dan tenaga Orang Rimba
yang ada dipedalaman (Sandbukt 2000:11). Keberadaan waris ini ditunjuk dan
diperlukan oleh pihak kesultanan Melayu Jambi sebagai orang yang bertanggungjawab
atas Orang Rimba. Oleh karena itu posisi mereka di kawasan Bukit 12 ada dimuara
Sungai Makekal di Tabir dan Muara Sungai Serenggam yang ada di Tembesi
(Sandbukt 2000:11).
Berbeda dengan waris, posisi jenang lebih kepada posisi yang diperoleh
seseorang atas pengangkatan dan pengakuan oleh raja sehingga sifatnya lebih
struktural hirarkis. Namun meskipun demikian posisi jenang ini sekarangpun dipahami
oleh masyarakat Jambi sebagai posisi atau status yang didapatkan sejak lahir atau
diturunkan secara turun-temurun. Tidak mesti seorang jenang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan Orang Rimba. Fungsi jenang ini lebih kepada orang yang bertugas
untuk mengumpulkan jajah (pajak) dari Orang Rimba kepada kesultanan Jambi. Dalam
hal ini jenang mempunyai peran penghubung antara Orang Rimba dan dunia luar,
yaitu pihak kesultanan Jambi. Ia dianggap sebagai seseorang yang mewakili
kepentingan raja atau sultan. Orang Melayu atau Orang Terang yang akan masuk ke
wilayah Orang Rimba harus mendapatkan izin dari waris dan jenang mereka. Orang
Rimba yang ada didalam akan menanyakan kepada orang-orang tersebut, apakah
mereka telah mendapatkan izin dari waris dan jenang. Apabila orang Melayu atau
Orang Terang tersebut tidak mendapatkan izin dari waris dan jenang maka Orang Rimba
mempunyai hak untuk mengusir orang tersebut. Demikian halnya Orang rimba juga
harus menuruti perintah waris dan jenang jika mereka mengatakan bahwa orang luar
tersebut telah mendapatkan izin dari waris dan jenang. Dan mereka harus membantu
orang luar tersebut. Mereka akan kena marah dari waris dan jenang jika mendengar
orang luar tersebut tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari Orang Rimba.
Peran waris dan jenang begitu dominan dalam masyarakat Rimba. Peran waris
dan jenang begitu krusial bagi Orang Rimba. Bukan saja karena peran mereka sebagai
satu-satunya pintu Orang Rimba untuk berhubungan dengan dunia luar tetapi juga
mempunyai hak atas tenaga dan hasil yang dikeluarkan oleh Orang Rimba berdasarkan
legitimasi yang diberikan padanya oleh pihak kesultanan Jambi ketika itu. Disinilah
kemudian waris dan jenang memainkan peranannya dalam mendominasi interaksi
sosial Orang Rimba dengan dunia luarnya. Mereka melarang Orang Rimba
berhubungan dengan orang luar lainnya dalam sektor-sektor tertentu, khususnya

berkaitan dengan hubungan ekonomi. Dilain sisi bersamaan dengan berakhirnya masa
kesultanan Jambi dan penjajahan di Indonesia, peran kesultanan Melayu Jambi sebagai
pengumpul pajak dari rakyatnya telah berakhir pula. Namun peran waris dan jenang
sebagai pengumpul pajak Orang Rimba tetap berlangsung. Waris dan jenang tetap
mengumpulkan upeti dan pajak yang mana pajak dan upeti itu bukan lagi disetor ke
pihak yang lebih tinggi lagi tetapi digunakan untuk mereka sendiri. Demikian Orang
Rimba bekerja kepada waris dan jenangnya dengan imbalan yang sangat minim demi
alasan bahwa mereka masih diikat oleh adat. Orang Rimba juga sendiri masih
memandang waris dan jenang masih sama sesuai dengan perannya sewaktu masa
kesultanan Melayu Jambi masih ada yaitu sebagai penghubung dan pengayom mereka
ketika ada permasalahan dengan orang luar. Mereka memandang bahwa waris dan
jenang adalah orang-orang yang baik dan selalu ada untuk mereka ketika permasalahan
muncul. Waris dan jenang akan menyelesaikan permasalahan dan membujuk mereka
untuk kembali sewaktu dilanda kesedihan karena melangun.
Dasar status kedua kelompok etnik ini kemudian menjadi suatu ciri askriptif
yang membedakan kedua belah pihak secara frontal. Berkaitan dengan itu, maka dalam
pengelompokan antara kedua etnik adalah merupakan suatu proses penggolongan
sosial yang memberikan dasar status asal keduanya sehingga hubungan antar etnik
diantara keduanya sesuai dengan status asalnya masing-masing, dimana menurut
penulis konteks hubungan patron klien5 sangat kuat terindikasi. Hal ini kuat tampak
bagaimana pada saat ini misalnya sekarang Orang Rimba memandang setiap Orang
Melayu yang berinteraksi dengan mereka adalah orang-orang yang berduit dan mereka
sebut sebagai rajo (raja) yang mana dapat diartikan bahwa mereka adalah orang-orang
yang mempunyai kuasa dan materi sebagai imbalan atas pelayanan yang mereka
berikan. Dalam hal ini bagaimana Orang Rimba merasa bahwa sudah menjadi
kewajiban bagi Orang Melayu untuk memberi kepada mereka yang mereka nilai
sendiri sebagai orang yang miskin dan rendah. Dan bukanlah suatu yang aneh jika
mereka meminta kepada Orang Melayu karena memang itu adalah kewajiban mereka.
Tidak mengherankan apabila mereka kemudian bepinta (meminta) kepada Orang
Melayu sebagai orang yang dianggap lebih kaya dan lebih pintar daripada mereka.
Dengan status sebagai penghubung antara Orang Rimba dan Orang Melayu
dimana hal tersebut juga berarti bagaimana menghubungkan 2 dunia yang berbeda,
memang waris dan jenang mempunyai kuasa yang sangat dominan atas akses Orang
Rimba terhadap dunia luar. Orang Terang atau Orang Melayu lain yang akan memasuki
dunia Orang Rimba harus mendapatkan izin waris dan jenang. Waris dan jenang berhak
menentukan seseorang atau sebuah institusi berhak masuk ke dalam hutan yang
                                                             
5 Hubungan patron – klien adalah suatu hubungan yang didasarkan pada pertukaran peran dapat
dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan bersaudara (dua orang) yang terutama melibatkan
persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi
(patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan
keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang lebih rendah (klien). Klien kemudian
membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada
patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan
klien mencerminkan kebutuhan yang timbul serta sumber daya masing-masing (James Scott,1993;7-8).

menjadi wilayah Orang Rimba di Bukit 12. Kata-kata waris dan jenang merupakan
perintah yang tidak terbantahkan oleh Orang Rimba. Hal ini yang sering digunakan
oleh orang luar, baik secara personal maupun institusional (perusahaan dan
pemerintah) untuk masuk dan melakukan aktivitas didalam hutan yang menjadi
wilayah Orang Rimba. Dengan menggunakan legitimasi waris dan jenang, mereka dapat
secara leluasa melakukan berbagai kegiatan. Seperti misalnya yang terjadi dalam
pengambilalihan wilayah Air Hitam untuk lokasi transmigrasi dan perkebunan di
tahun 1980’an. Orang Rimba Air Hitam merasa tidak diberitahu sebelumnya oleh
jenang mereka di yang ada didesa. Mereka merasa jenang telah berbuat lalim terhadap
mereka. Mereka hanya tahu tiba-tiba banyak orang-orang luar berdatangan disekitar
hutan mereka. Dan secara tiba-tiba pula hutan mereka dalam sekejab hilang dalam
hitungan tahun. Namun mereka menyadari bahwa semua itu adalah hak dari jenang
untuk menentukannya. Mereka yakin apapun yang dilakukan oleh jenang adalah untuk
kebaikan mereka. Apalagi disaat yang sama mereka juga mendapatkan uang dan gaji
dari perusahaan sebagai ganti rugi atas tanaman yang mereka miliki.
Dalam kenyataannya kemudian peran waris dan jenang banyak digantikan oleh
peran toke, pemerintah, pihak perusahaan, ataupun pihak NGO yang banyak
berinteraksi dengan mereka. Dalam konteks ini sesungguhnya pola hubungan seperti
sangat rawan akan kasus eksploitatif orang lura terhadap Orang Rimba. Seperti terjadi
bagaimana mereka dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh beberapa pihak
perusahaan logging untuk menjaga wilayah perusahaan dimana kemudian mereka
mengambil hutan dan wilayah Orang Rimba. Demikian pula dengan peran toke-toke
rotan atau karet yang banyak bertebaran di Jambi. Dengan iming-iming dana dan
supply bahan logistic, mereka kemudian dianggap sebagai jenang Orang Rimba.

Penutup

Hubungan antara Orang Kubu dan orang Melayu sesungguhnya diatur oleh
suatu tatanan struktur yang didasarkan atas hubungan ekonomi antara keduanya.
Hubungan itu didasarkan atas aturan serah naik jajah turun dimana tujuan utamanya
adalah menjamin kelancaran alur distribusi pajak (jajah ) dari Orang Kubu kepada
pihak kesultanan Jambi. Waris dan jenang diangkat oleh pihak kesultanan yang
berfungsi sebagai penarik jajah sekaligus sebagai orang yang mengurusi mereka. Waris
dan jenang inilah yang kemudian juga berfungsi sebagai penghubung antara Orang
Kubu dengan dunia luar. Pola hubungan antara Orang Melayu dan Orang Kubu
terbangun dari suatu latar belakang hubungan antara masyarakar ulu dan ilir yang ada
di Jambi pada masa kesultanan Jambi yang sifatnya struktural hirarkis. Masyarakat ulu
digambarkan oleh Andaya (1993:16) sebagai masyarakat yang kaya akan sumber daya
alam. Bersifat egaliter, independen, dan hidup berkelompok-kelompok, termasuk
didalamnya kelompok sukubangsa Kubu. Masyarakat ilir sebagai masyarakat yang
dikatakan oleh Andaya bersifat struktural hirarkis selalu berupaya untuk menguasai

kehidupan masyarakat ulu ini karena mereka membutuhkan supply bahan-bahan
komoditi jual sumber daya alam (jernang, getah balam, dan lain-lain) ke pasar
internasional di Selat Malaka. Upaya ini dilakukan dengan cara tindakan fisik seperti
penguasaan lahan, perbudakan, penculikan anak gadis, dan penghancuran desa, juga
dilakukan dengan cara membangun suatu tatanan struktur yang sedemikian rupa
mengikat masyarakat ulu kepada masyarakat ilir. Konsep pajak “serah naik jajah turun”
dan pembagian masyarakat menjadi dalam kalbu-kalbu berdasarkan kedekatan dan
pekerjaannya kepada kesultanan, serta peran waris dan jenang yang dominan adalah
bukti dari upaya masyarakat ilir dengan dukungan Kesultanan Melayu Jambi untuk
menguasai masyarakat ilir.
Dalam konteks kasus hubungan antara Orang Kubu dan Orang Melayu di Air
Hitam, penguasaan masyarakat ilir kepada masyarakat ulu seperti diceritakan diatas
menjadi latar belakang sejarah hubungan antara Orang Melayu dan Orang Kubu yang
mendalam. Hubungan pelayanan dan kebutuhan atas dasar ekonomi tersebut
kemudian berlaku mantap secara perlahan sehingga menimbulkan suatu pemahaman
atas status masing-masing sukubangsa secara baku dan mendalam. Bahkan bisa
dikatakan bahwa struktur hubungan yang tidak seimbang tersebut menurut hemat
penulis mempengaruhi jika tidak boleh dikatakan memproduksi suatu tataran struktur
kosmologi tersendiri bagi Orang Kubu. Memang, hubungan tersebut diterima oleh
kedua belah pihak meskipun pada kenyataannya bukanlah suatu hubungan yang
benar-benar saling menguntungkan bagi Orang Kubu. Status Orang Kubu sebagai
sumber tenaga dan penyedia sumber hutan bagi Orang Melayu dan status Orang
Melayu sebagai penguasa, adalah suatu hubungan antar status yang lebih
menguntungkan Orang Melayu. Dengan didukung oleh tatanan struktur yang
dominan Orang Melayu mempunyai kuasa untuk menekan kehidupan Orang Kubu
sedemikian rupa dalamnya sehingga menimbulkan interpretasi Orang Kubu terhadap
Melayu yang berisi ketakutan namun juga sekaligus kekaguman mereka.
Hubungan ini bisa kita sebut sebagai hubungan yang bersifat patron klien antara
Orang Melayu dan Orang Rimba dapat kita pahami sebagai suatu hubungan antaretnik yang terwujud secara setempat atau lokal. Hal tersebut dapat terjadi karena
didalam masyarakat setempat terwujud suatu struktur sosial yang mencerminkan
hubungan antar kekuatan sosial dan berisikan pedoman-pedoman dalam bertindak
bagi masyarakat setempat tersebut. Hubungan kedua kelompok etnik ini, yang
awalnya dibangun atas dasar hubungan ekonomi dan menitiberatkan pada hubungan
pelayanan kebutuhan bersama kemudian berkembang menjadi pola hubungan yang
tidak seimbang dan bersifat saling memanfaatkan. Kemudian hubungan patron-klien
antara Orang Melayu dan Orang rimba tersebut bersifat begitu mendalam sehingga
mampu memberikan dasar tatanan nilai dan aturan acuan bagi masing-masing kedua
kelompok etnik.
Berkaitan dengan respon terhadap proses patron klien tersebut, penulis melihat
Orang Rimba juga memunculkan respon yang berbeda dalam menanggapi perlakuanperlakuan kelompok dominan kepada dirinya. Bagi penulis, respon yang diberikan
oleh Orang Rimba atas perlakuan dominasi yang mereka terima dapatlah dilihat
sebagai suatu jalan dalam menyikapi perubahan agar dapat bertahan sedemikian rupa.

Respon-respon tersebut tercermin dalam tataran nilai dan perilaku budaya mereka.
Salah satu respon mereka yang menjadi perhatian utama penulis adalah proses
pengaktifan identitas etnik yang dimiliki oleh mereka dalam konteks hubungan antaretnik yang ada di tingkat lokal setempat dan tingkat umum. Pengaktifan identitas etnik
seperti ini adalah suatu upaya yang menurut penulis lazim untuk dilakukan jika suatu
kelompok etnik merasa terancam atau terdesak oleh kelompok etnik yang lain. Dengan
mengacu kepada pilihan respon yang berbeda seperti dijelaskan diatas, maka wujud
dan corak identitas etnik yang dimunculkan oleh Orang Rimba akan selalu
menyesuaikan dengan konteks hubungan sosialnya dengan kelompok etnik lain.

References
Andaya, Barbara Warson, To Live As Brothers, Southeast Sumatra in The 17’th and 18’th
Centuries, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993.
Barth, Fredrik, “Pendahuluan” dalam Kelompok Suku bangsa dan Batasannya, UI-Press,
1980, terjemahan dari Ethnic Groups and Boundaries, Little, Brown, and
Company, 1969.
Dongen,Van, Orang Kubu di Onderafdeling Palembang . Naskah alih bahasa oleh Museum Negeri
Jambi dari judul asli “De Koeboes in de Onderafdeeling
Koeboestreken der Residentie
Palembang”.Bijdragen tot de Taal,-Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie (Tidak
diterbitkan)(1910)

Jenkins, Robert, Rethinking Ethnicity, Sage Publications, London, 1997.
Muntholib, Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional, Masyarakat Terasing di
Makekal, Propinsi Jambi, Disertasi S-3 Unpad, Bandung, 1995.
Sandbukt, Oyvind. dan Warsi, Orang Rimba: “Penilaian Kebutuhan Bagi pembangunan
dan Keselamatan Sumberdaya”, Laporan untuk Bank Dunia, disampaikan
pada Lokakarya JRDP, Jambi, 17-30 Oktober 1998.
Sandbukt, Oyvind., “Tributary tradition and Relation of affinity and gender among the
Sumatran Kubu” dalam Hunter and Gatherers, Volume 1. History, Evolution and
Social Change, St. Martin’s Press, New York, 1991.
Sandbukt, Oyvind.,”Kubu Conception of Reality” dalam Asian Foklore Studies,
Kenkyusha Printing Tokyo, 1984.
Sandbukt, Oyvind.,The Orang Kubu of Sumatra, Deforestration and the People of The
Forest: The Orang Rimba or Kubu of Sumatra, dalam Indigenous Affairs No.
2/2000.
Scott, James, Perlawanan Kaum Tani, (terjemahan) Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1993.
Suparlan, Parsudi, “Kata Pengantar” dalam Ghee & Gomes (ed.) Suku Asli dan
Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,1993.
Suparlan, Parsudi,Hubungan Antar-Sukubangsa.Jakarta:YPKIK, 2004.

Tideman, Jambi. Naskah alih bahasa oleh Museum Nasional dari Djambi Bewerkt Door I
– Amsterdam: Kon Verenigeng Kolonial Instituut, 1938. (Tidak diterbitkan)
Winter, Warga Negara ratu Kita Juga (Kunjungan Pada Suku Kubu Jinak). Naskah alih
bahasa oleh Ny. S. Hertini Adiwoso (Museum Negeri Jambi) dan Budi Prihatna
(Museum Negeri Jambi) dari “Ook onderdanen onzer Koningin (Een bezok aan
de tamme Koeboes)”, De Indische Gids.(Tidak Diterbitkan). 1901