Perkembangan Negara Hukum dan HAN di dal
Perkembangan Negara Hukum dan Perkembangan HAN di dalamnya
Oleh : Raja Inal Dalimunthe
Jurusan Ilmu Hukum
Fakulta Syariah Dan Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Negara Hukum
Perkembangan konsep Negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian
Negara hukum Negara ini berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam
rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui
gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan
berkembangnya konsepsi negara hukum. Selain itu Pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah
sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri dan pemikiran
tentang negara hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu negara Ditinjau dari
perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai negara
hukum sudah berkembang sejak 1800 s.M. Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara
hukum adalah pada masa Yunani kuno. Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi
Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum Pemikiran atau
konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah
manusia. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun
pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam.
Hal ini dapat terjadi, di samping pengaruh falsafah bangsa, negara, dan lain-lain, juga karena adanya
pengaruh perkembangan sejarah manusia.Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam
berbagai model, seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara
hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep
Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep
negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Pada masa Yunani kuno pemikiran
tentang negara hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno, seperti Plato (429-347 s.M)
dan Aristoteles (384-322 s.M). Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato
dan Aristoteles, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia
tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah negara
hukum, (M. Tahir Azhary, 1992: 73-74). Dalam Nomoi, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan
yang mungkin dijalankan. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat
diselenggarakan, pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk
tidak melalui jalan hukum, Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas
hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles yang memerintah
dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Gagasan Plato tentang negara hukum
semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica.
Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal-bakal pemikiran tentang negara
hukum. Aristotoles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam
perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan
manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara
hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. Dalam
negara seperti ini, keadilanlah yang memerintah dan harus terjelma di dalam negara, dan hukum berfungsi
memberi kepada setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.Ide negara hukum menurut Aristoteles ini,
tampak sangat erat dengan “keadilan”, bahkan suatu negara akan dikatakan sebagai negara hukum apabila
suatu keadilan telah tercapai. Konstruksi seperti ini mengarah pada bentuk negara hukum dalam arti
“ethis” dan sempit, karena tujuan negara semata-mata mencapai keadilan. Teori-teori yang mengajarkan
hal tersebut dinamakan teori-teori ethis, sebab menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan
oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.Menurut Aristoteles, suatu
negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga
unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan
umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan
konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat,
bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan yang berkuasa. Dalam kaitannya dengan
konstitusi, Aristoteles mengemukakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu
negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap
masyarakat. Selain itu, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut
aturan-aturan tersebut.Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir
beberapa puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep negara hukum
sesudah Masehi didasarkan pada negara pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, seperti
dikemukakan oleh beberapa ahli.Nicolo Machiavelli (1469-1527) seorang sejarawan dan ahli negara telah
menulis bukunya yang terkenal “II Prinsipe (The Prince)” tahun 1513. Machiavelli hidup pada masa
intrik-intrik dan peperangan yang terus-menerus di Florence, di mana pada waktu tata kehidupan
berbangsa dan bernegara lebih mengutamakan kepentingan negara. Tata keamanan dan ketentraman, Di
samping keagungan negara, harus merupakan tujuan negara, supaya Italia menjadi suatu negara nasional.
Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita itu raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma
agama atau pun norma-norma akhlaq. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan mentaati hukum;
raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga binatang.Penguasa menurut
Machiavelli, pimpinan negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil untuk mancari lubang negara
dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala. Raja atau pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat
cerdik pandai dan licin ibarat seekor kancil, akan tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan
tangan besi ibarat seekor singa;
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara
1. Oppen Hein : “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang
mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya
yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”
2. J.H.P. Beltefroid : “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan tentang cara
bagaimana alat-alat pemerintahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha
hendak memenuhi tugasnya.”
3. Logemann : “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat dari norma-norma yang menguji
hubungan Hukum Istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara
melakukan tugas mereka yang khusus.”
4. De La Bascecoir Anan : “ Hukum Administrasi Negara adalah himpunan peraturan-peraturan tertentu
yang menjadi sebab Negara berfungsi bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan
antara warga Negara dengan pemerintah.”
5. L.J. Van Apeldoorn : “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan yang hendaknya
diperhatikan oleh para pendukung kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu.”
6. A.A.H. Strungken : “ Hukum Administarsi Negara adalah aturan – aturan yang menguasai tiap-tiap
cabang kegiatan penguasa sendiri.”
7. J.P. Hooykaas : “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat
perlengkapan Negara dalan lingkungan swasta.”
8. Sir. W. Ivor Jennings : “Hukum Administarsi Negara adalah hukum yang berhubungan dengan
Administrasi Negara, hukum ini menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-pejabat
administrasi.”
9. Marcel Waline : “Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan yang menguasai
kegiataqn-kegiatan alat-alat perlengkapan Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan
atau kekuasaan kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan tersebut,
baik terhadap warga masyarakat maupun antara alat-alat perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan
aturan-aturan yang menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/
administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada para warga
masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhankebutuhan umum.”
Dalam sejarah tercatat tiga masa penting yang mempengaruhi konsep hukum administrasi negara. Masa –
masa itu adalah masa absolutisme, masa negara hukum klasik, dan masa negara hukum modern.
2. Masa Absolutisme
Masa absolutisme mulai dicatat dalam sejarah imperium Romawi, sejak masa republik. Pada masa itu
pimpinan Negara dipegang oleh konsul – konsul yang menyelenggarakan dan menjalankan pemerintah
demi kepentingan umum. Biasanya pemerintahan itu dipegang oleh dua orang konsul. Akan tetapi bila
ada keadaan bahaya atau darurat, maka warga Negara memilih seseorang untuk ditunjuk sebagai
pemegang kekuasaan dalam pemerintahan itu selama keadaan bahaya tersebut. Si pemegang kekuasaan
tunggal itulah yang disebut sebagai diktator. Lama atau tidaknya kekuasaan itu tergantung oleh keadaan
bahaya yang terjadi. Cincinnatus menjadi diktator selama 6 bulan lalu mengembalikan kekuasaannya
kepada rakyat. Tapi tidak semua diktator seperti Cincinnatus. Mayoritas diktator yang berkuasa di masa
romawi mengindahkan konstitusi lalu memegang kekuasaan dengan absolut dan menindas rakyat, seperti
yang dilakukan Marius dan Caesar. Keadaan seperti ini dinamakan diktator purba.
Setelah masa republik, ada masa prinsipat. Pada waktu ini, para raja Romawi belum memiliki
kewibawaan, namun mereka pada hakikatnya merupakan orang yang memerintah secara mutlak.
Kemutlakan ini didasarkan kepada caesarismus yaitu adanya perwakilan yang menghisap, dari pihak
Caesar terhadap kedaulatan rakyat (absorptieve representation). Untuk keperluan ini beberapa ahli hukum
romawi kemudian mencari landasan hukumnya agar segala tindakan raja yang menyeleweng dari
kedaulatan rakyat dapat dibenarkan. Ulpianus, salah satu ahli kemudian menelurkan Konstruksi Ulpianus,
yang berisi “kedaulatan rakyat itu diberikan kepada raja melalui suatu perjanjian yang termuat di dalam
undang – undang yang termaktub dalam Lex Regia”.
Pada dasarnya pemerintahan untuk kepentingan umum dan kepentingan itu dirumuskan dalam
bentuk undang – undang, sehingga kepentingan umum itu derajatnya lebih tinggi daripada undang –
undang (solus publica suprema lex). Akan tetapi dengan timbulnya undang – undang tersebut maka yang
merumuskan kepentingan umum itu bukanlah rakyat, melainkan raja (princep legibus solutus est). Sudah
pasti dalam merumuskan itu raja akan memikirkan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan umum. Di
masa ini sesungguhnya romawi telah berwujud sebagai monarki mutlak yang memuat caesarismus akibat
penyalahgunaan Lex Regia.
Masa dominat hadir setelah masa principat. Di masa ini, kaisar Romawi bertindak sewenang –
wenang, kejam dan tanpa prikemanusiaan. Selang beberapa abad kemudian, abad ke 4 dan 5, imperium
romawi jatuh diserang oleh kaum barbar bangsa jerman kuno dan turki. Meski begitu, kekuasaan yang
timbul setelahnya pun masih bersifat absolut. Bukan Cuma di roma, tetapi di seluruh daratan Eropa. Pada
masa pertengahan, pemerintahan sangat religius karena Gereja memegang kuasa. Masa Renaissance,
Abad 16, di prancis terdapat pemerintahan absolut Henry IV. Jean bodin kemudian membenarkan
pemerintahan absolut tersebut dengan memberikan landasan hukum. Ia berkata, tidak ada kedaulatan
mutlak melainkan kedaulatan terbatas baik di dalam maupun di luar wilayah negara. Suatu kedaulatan
yang dibatasi oleh hak – hak pokok manusia dan oleh hukum yang berlaku dalam hubungan antar negara.
Menurut pendapatnya, bentuk negara terbaik adalah monarki secara turun temurun dan hanya laki – laki
yang boleh memerintah. Teori kedaulatan ala Jean Bodin ini kemudian dipakai sebagai landasan hukum
Louis XIV dalam memerintah secara mutlak pada abad ke 17.
3. Masa Negara Hukum
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum telah dikembangkan oleh para filusuf
besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M) [3] . Dalam bukunya
Politikos, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada
dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum,
dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles
adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Dan bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran
yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir sebagai perjuangan
melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel
I, tahun 1949, hlm. 383, dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal dari
abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad tujuh
belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M.
Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang
terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan kebebasan daripada kawula
negara serta peraturan penganti raja di Inggris.
Kemudian muncullah teori Trias Politica dari Montesquieu . Teorinya adalah teori pemisahan
kekuasaan atau separation of power , yang memisahkan badan kekuasaan menjadi tiga, yaitu;
1. kekuasaan membuat undang – undang (legislatif),
2. kekuasaan menjalankan undang – undang (eksekutif),
3. kekuasaan mengawasi jalannya undang – undang (yudikatif).
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham
rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai
populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme
raja. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel
Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl . Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah
Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The
Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.
Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der
Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan
paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat
perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai
pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan
nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats, yaitu negara sebagai penjaga malam. Paham ini menurut
Van Vollenhoven membatasi negara dalam bertindak dan menjamin pada yang diperintah. Immanuel Kant
menjelaskan teori Trias Politica Montesquieu;
1. Maksud dari teori pemisahan adalah menginginkan jaminan kemerdekaan individu terhadap
kesewenang – wenangan penguasa,
2. Tujuan negara adalah membuat dan mempertahankan hukum. Negara bukan menjadi alat
kekuatan melainkan alat hukum.
Teori pemisahan kekuasaan hanya dapat dipraktekkan dalam negara hukum dalam arti sempit saja.
Kelebihan dari teori ini adalah, badan Negara diberi fungsi yang berlainan sehingga bisa saling
mengawasi, tidak ada kesewenang – wenangan dan kemerdekaan individu terjamin. Kelemahannya
adalah bila terjadi pemisahan kekuasaan secara mutlak, tidak akan ada pengawasan kepada setiap
lembaga sehingga tiap lembaga dapat melampaui batas kekuasaannya dan merugikan rakyat.
4. Masa Negara Kesejahteraan
Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state. Bagi Negara
kesejahteraan, konsep modernitas dimaknai sebagai kemampuan Negara dalam memberdayakan
masyarakatnya. Peran Negara menjadi begitu besar terhadap warga karena negara akan memposisikan
dirinya sebagai “teman” bagi warga negaranya. Makna kata teman merujuk pada kesiapan dalam
memberikan bantuan jika warga negaranya mengalami kesulitan. Pemerintah dikehendaki agar terlibat
secara aktif dalam kehidupan masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum di
samping menjaga ketertiban dan keamanan.
5. Perkembangan Hukum Administrasi Dari Masa Ke Masa
Pada masa nachtwachkerstaat, negara hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban.
Peran hukum administrasi negara sangatlah kecil karena semakin kecil campur tangan negara dalam
masyarakat, semakin kecil pula peran han didalamnya. Dalam konsepsi legal state (nama lain negara
penjaga malam), terdapat prinsip staatsonthounding atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam
bidang politik yang bertumpu pada dalil ”the best government is the least government”. Akibat
pembatasan ini administrasi negara menjadi pasif, inilah mengapa negara hukum disebut sebagai negara
penjaga malam. Pembatasan ini menyengsarakan kehidupan warga negara yang kemudian memunculkan
reaksi dan kerusuhan sosial.
Kegagalan implementasi konsep nachtwachkerstaat tersebut kemudian memunculkan gagasan
yang membuat pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu
welfare state (welvaarstaat, negara kesejahteraan). Dalam konsep welfare state, administrasi negara
diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu sifat
khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan
penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam
rangka membentuk kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya.
Makin meningkatnya kebutuhan manusia modern juga merupakan salah satu faktor
peralihan menjadi negara kesejahteraan. Banyak fasilitas yang bila diusahakan oleh pihak swasta
akan menimbulkan ketidakadilan sosial, sehingga masyarakat memercayakannya pada
pemerintah. Lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara
diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Agar dapat
menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi
semua warga negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi memerlukan kemerdekaan
untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian soal – soal genting yang
timbul dan yang peraturan penyelenggaraannya belum ada. Menurut E. Utrecht, kekuasaan
administrasi negara dalam bidang legislasi ini meliputi ; 1. Kewenangan untuk membuat
peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi keadaan genting yang belum ada
peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang – undang pusat. 2. Pemerintah diberi tugas
menyesuaikan peraturan yang diadakan dengan kejadian yang sesungguhnya terjadi dalam
masyarakat. 3. Droit Function, yaitu kekuasaan administrasi negara untuk menafsirkan sendiri
berbagai peraturan, yang berarti administrasi negara berwenang mengoreksi (corrigeren) hasil
pekerjaan pembuat undang – undang.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum administrasi negara pada hakikatnya adalah hukum yang bertugas untuk mengawasi
jalannya pemerintahan, yang dalam trias politica berarti kekuasaan yudikatif. Pada masa
absolutisme, tidak ada hukum administrasi negara yang benar – benar dijalankan karena
penguasa bertindak sebagai diktator yang lalim terhadap rakyatnya. Raja adalah pembuat
peraturan sekaligus yang menjalankan peraturan tersebut. Tidak ada pengawasan dan peraturan
yang mengikat dari pihak lain terhadap raja, karena raja adalah pemegang kekuasaan mutlak.
Pada masa negara hukum klasik atau nachtwachkerstaat (negara penjaga malam), hukum
administrasi diterapkan, tapi hanya bersifat pasif. Hukum administrasi negara hanya berfungsi
sebagai penjaga ketertiban sosial. Negara dilarang keras untuk mencampuri perekonomian
maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Dengan perkataan lain, administrasi negara bertugas
untuk mempertahankan suatu staatsonthouding, yakni prinsip pemisahan negara dari kehidupan
sosial – ekonomi masyarakat.
Pada masa negara hukum modern atau welvaarstaat (negara kesejahteraan), hukum administrasi
diterapkan secara aktif. Konsep welfare state atau sosial service-state, yaitu negara yang
pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial
dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal,
merupakan anti-tesis dari konsep “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat). Tugas negara yang
semula sangat terbatas menjadi makin luas. Administrasi negara tidak lagi hanya menjalankan
tata pemerintahan dan tata usaha negara, melainkan juga organisasi dan manajemen usaha besar
kecil yang mengurusi kepentingan hidup bersama. administrasi negara diharuskan untuk
menyejahterakan masyarakat umum, bukan lagi hanya terfokus pada masyarakat kelas atas
seperti yang terdapat di nachtwachkerstaat. Karena itu, selain untuk mengawasi jalannya
pemerintahan (kekuasaan yudikatif), administrasi negara juga diberi wewenang untuk membuat
peraturan (kekuasaan legislasi) dan bertindak sesuai peraturan (kekuasaan eksekutif) sendiri.
Negara diperbolehkan melanggar hak asasi individu demi kepentingan umum, seperti contohnya
membayar pajak.
DAFTAR LITERATUR
Literatur Cetak
1. Prof. Dr. Sjachran Basah, S.H., C.N. Ilmu Negara. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung : 1997
2. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1961
3. Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Perkasa, Yogyakarta, 2006.
4. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Literatur Elektronik
1. Bewa Ragawino, S.H., M.Si. “Hukum Administrasi Negara, FISIP UNPAD” Ebook.
Bandung, 2006.
2. M. Budi Mulyadi SH. “Hukum Administrasi Negara dalam Welfare State”. Ebook.
Cianjur, 2009.
3. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Ebook.
2004
Oleh : Raja Inal Dalimunthe
Jurusan Ilmu Hukum
Fakulta Syariah Dan Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Negara Hukum
Perkembangan konsep Negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian
Negara hukum Negara ini berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam
rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui
gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan
berkembangnya konsepsi negara hukum. Selain itu Pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah
sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri dan pemikiran
tentang negara hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu negara Ditinjau dari
perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai negara
hukum sudah berkembang sejak 1800 s.M. Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara
hukum adalah pada masa Yunani kuno. Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi
Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum Pemikiran atau
konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah
manusia. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun
pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam.
Hal ini dapat terjadi, di samping pengaruh falsafah bangsa, negara, dan lain-lain, juga karena adanya
pengaruh perkembangan sejarah manusia.Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam
berbagai model, seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara
hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep
Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep
negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Pada masa Yunani kuno pemikiran
tentang negara hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno, seperti Plato (429-347 s.M)
dan Aristoteles (384-322 s.M). Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato
dan Aristoteles, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia
tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah negara
hukum, (M. Tahir Azhary, 1992: 73-74). Dalam Nomoi, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan
yang mungkin dijalankan. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat
diselenggarakan, pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk
tidak melalui jalan hukum, Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas
hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles yang memerintah
dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Gagasan Plato tentang negara hukum
semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica.
Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal-bakal pemikiran tentang negara
hukum. Aristotoles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam
perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan
manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara
hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. Dalam
negara seperti ini, keadilanlah yang memerintah dan harus terjelma di dalam negara, dan hukum berfungsi
memberi kepada setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.Ide negara hukum menurut Aristoteles ini,
tampak sangat erat dengan “keadilan”, bahkan suatu negara akan dikatakan sebagai negara hukum apabila
suatu keadilan telah tercapai. Konstruksi seperti ini mengarah pada bentuk negara hukum dalam arti
“ethis” dan sempit, karena tujuan negara semata-mata mencapai keadilan. Teori-teori yang mengajarkan
hal tersebut dinamakan teori-teori ethis, sebab menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan
oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.Menurut Aristoteles, suatu
negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga
unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan
umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan
konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat,
bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan yang berkuasa. Dalam kaitannya dengan
konstitusi, Aristoteles mengemukakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu
negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap
masyarakat. Selain itu, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut
aturan-aturan tersebut.Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir
beberapa puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep negara hukum
sesudah Masehi didasarkan pada negara pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, seperti
dikemukakan oleh beberapa ahli.Nicolo Machiavelli (1469-1527) seorang sejarawan dan ahli negara telah
menulis bukunya yang terkenal “II Prinsipe (The Prince)” tahun 1513. Machiavelli hidup pada masa
intrik-intrik dan peperangan yang terus-menerus di Florence, di mana pada waktu tata kehidupan
berbangsa dan bernegara lebih mengutamakan kepentingan negara. Tata keamanan dan ketentraman, Di
samping keagungan negara, harus merupakan tujuan negara, supaya Italia menjadi suatu negara nasional.
Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita itu raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma
agama atau pun norma-norma akhlaq. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan mentaati hukum;
raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga binatang.Penguasa menurut
Machiavelli, pimpinan negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil untuk mancari lubang negara
dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala. Raja atau pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat
cerdik pandai dan licin ibarat seekor kancil, akan tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan
tangan besi ibarat seekor singa;
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara
1. Oppen Hein : “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang
mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya
yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”
2. J.H.P. Beltefroid : “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan tentang cara
bagaimana alat-alat pemerintahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha
hendak memenuhi tugasnya.”
3. Logemann : “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat dari norma-norma yang menguji
hubungan Hukum Istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara
melakukan tugas mereka yang khusus.”
4. De La Bascecoir Anan : “ Hukum Administrasi Negara adalah himpunan peraturan-peraturan tertentu
yang menjadi sebab Negara berfungsi bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan
antara warga Negara dengan pemerintah.”
5. L.J. Van Apeldoorn : “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan yang hendaknya
diperhatikan oleh para pendukung kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu.”
6. A.A.H. Strungken : “ Hukum Administarsi Negara adalah aturan – aturan yang menguasai tiap-tiap
cabang kegiatan penguasa sendiri.”
7. J.P. Hooykaas : “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat
perlengkapan Negara dalan lingkungan swasta.”
8. Sir. W. Ivor Jennings : “Hukum Administarsi Negara adalah hukum yang berhubungan dengan
Administrasi Negara, hukum ini menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-pejabat
administrasi.”
9. Marcel Waline : “Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan yang menguasai
kegiataqn-kegiatan alat-alat perlengkapan Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan
atau kekuasaan kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan tersebut,
baik terhadap warga masyarakat maupun antara alat-alat perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan
aturan-aturan yang menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/
administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada para warga
masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhankebutuhan umum.”
Dalam sejarah tercatat tiga masa penting yang mempengaruhi konsep hukum administrasi negara. Masa –
masa itu adalah masa absolutisme, masa negara hukum klasik, dan masa negara hukum modern.
2. Masa Absolutisme
Masa absolutisme mulai dicatat dalam sejarah imperium Romawi, sejak masa republik. Pada masa itu
pimpinan Negara dipegang oleh konsul – konsul yang menyelenggarakan dan menjalankan pemerintah
demi kepentingan umum. Biasanya pemerintahan itu dipegang oleh dua orang konsul. Akan tetapi bila
ada keadaan bahaya atau darurat, maka warga Negara memilih seseorang untuk ditunjuk sebagai
pemegang kekuasaan dalam pemerintahan itu selama keadaan bahaya tersebut. Si pemegang kekuasaan
tunggal itulah yang disebut sebagai diktator. Lama atau tidaknya kekuasaan itu tergantung oleh keadaan
bahaya yang terjadi. Cincinnatus menjadi diktator selama 6 bulan lalu mengembalikan kekuasaannya
kepada rakyat. Tapi tidak semua diktator seperti Cincinnatus. Mayoritas diktator yang berkuasa di masa
romawi mengindahkan konstitusi lalu memegang kekuasaan dengan absolut dan menindas rakyat, seperti
yang dilakukan Marius dan Caesar. Keadaan seperti ini dinamakan diktator purba.
Setelah masa republik, ada masa prinsipat. Pada waktu ini, para raja Romawi belum memiliki
kewibawaan, namun mereka pada hakikatnya merupakan orang yang memerintah secara mutlak.
Kemutlakan ini didasarkan kepada caesarismus yaitu adanya perwakilan yang menghisap, dari pihak
Caesar terhadap kedaulatan rakyat (absorptieve representation). Untuk keperluan ini beberapa ahli hukum
romawi kemudian mencari landasan hukumnya agar segala tindakan raja yang menyeleweng dari
kedaulatan rakyat dapat dibenarkan. Ulpianus, salah satu ahli kemudian menelurkan Konstruksi Ulpianus,
yang berisi “kedaulatan rakyat itu diberikan kepada raja melalui suatu perjanjian yang termuat di dalam
undang – undang yang termaktub dalam Lex Regia”.
Pada dasarnya pemerintahan untuk kepentingan umum dan kepentingan itu dirumuskan dalam
bentuk undang – undang, sehingga kepentingan umum itu derajatnya lebih tinggi daripada undang –
undang (solus publica suprema lex). Akan tetapi dengan timbulnya undang – undang tersebut maka yang
merumuskan kepentingan umum itu bukanlah rakyat, melainkan raja (princep legibus solutus est). Sudah
pasti dalam merumuskan itu raja akan memikirkan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan umum. Di
masa ini sesungguhnya romawi telah berwujud sebagai monarki mutlak yang memuat caesarismus akibat
penyalahgunaan Lex Regia.
Masa dominat hadir setelah masa principat. Di masa ini, kaisar Romawi bertindak sewenang –
wenang, kejam dan tanpa prikemanusiaan. Selang beberapa abad kemudian, abad ke 4 dan 5, imperium
romawi jatuh diserang oleh kaum barbar bangsa jerman kuno dan turki. Meski begitu, kekuasaan yang
timbul setelahnya pun masih bersifat absolut. Bukan Cuma di roma, tetapi di seluruh daratan Eropa. Pada
masa pertengahan, pemerintahan sangat religius karena Gereja memegang kuasa. Masa Renaissance,
Abad 16, di prancis terdapat pemerintahan absolut Henry IV. Jean bodin kemudian membenarkan
pemerintahan absolut tersebut dengan memberikan landasan hukum. Ia berkata, tidak ada kedaulatan
mutlak melainkan kedaulatan terbatas baik di dalam maupun di luar wilayah negara. Suatu kedaulatan
yang dibatasi oleh hak – hak pokok manusia dan oleh hukum yang berlaku dalam hubungan antar negara.
Menurut pendapatnya, bentuk negara terbaik adalah monarki secara turun temurun dan hanya laki – laki
yang boleh memerintah. Teori kedaulatan ala Jean Bodin ini kemudian dipakai sebagai landasan hukum
Louis XIV dalam memerintah secara mutlak pada abad ke 17.
3. Masa Negara Hukum
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum telah dikembangkan oleh para filusuf
besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M) [3] . Dalam bukunya
Politikos, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada
dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum,
dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles
adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Dan bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran
yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir sebagai perjuangan
melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel
I, tahun 1949, hlm. 383, dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal dari
abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad tujuh
belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M.
Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang
terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan kebebasan daripada kawula
negara serta peraturan penganti raja di Inggris.
Kemudian muncullah teori Trias Politica dari Montesquieu . Teorinya adalah teori pemisahan
kekuasaan atau separation of power , yang memisahkan badan kekuasaan menjadi tiga, yaitu;
1. kekuasaan membuat undang – undang (legislatif),
2. kekuasaan menjalankan undang – undang (eksekutif),
3. kekuasaan mengawasi jalannya undang – undang (yudikatif).
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham
rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai
populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme
raja. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel
Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl . Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah
Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The
Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.
Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der
Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan
paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat
perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai
pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan
nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats, yaitu negara sebagai penjaga malam. Paham ini menurut
Van Vollenhoven membatasi negara dalam bertindak dan menjamin pada yang diperintah. Immanuel Kant
menjelaskan teori Trias Politica Montesquieu;
1. Maksud dari teori pemisahan adalah menginginkan jaminan kemerdekaan individu terhadap
kesewenang – wenangan penguasa,
2. Tujuan negara adalah membuat dan mempertahankan hukum. Negara bukan menjadi alat
kekuatan melainkan alat hukum.
Teori pemisahan kekuasaan hanya dapat dipraktekkan dalam negara hukum dalam arti sempit saja.
Kelebihan dari teori ini adalah, badan Negara diberi fungsi yang berlainan sehingga bisa saling
mengawasi, tidak ada kesewenang – wenangan dan kemerdekaan individu terjamin. Kelemahannya
adalah bila terjadi pemisahan kekuasaan secara mutlak, tidak akan ada pengawasan kepada setiap
lembaga sehingga tiap lembaga dapat melampaui batas kekuasaannya dan merugikan rakyat.
4. Masa Negara Kesejahteraan
Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state. Bagi Negara
kesejahteraan, konsep modernitas dimaknai sebagai kemampuan Negara dalam memberdayakan
masyarakatnya. Peran Negara menjadi begitu besar terhadap warga karena negara akan memposisikan
dirinya sebagai “teman” bagi warga negaranya. Makna kata teman merujuk pada kesiapan dalam
memberikan bantuan jika warga negaranya mengalami kesulitan. Pemerintah dikehendaki agar terlibat
secara aktif dalam kehidupan masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum di
samping menjaga ketertiban dan keamanan.
5. Perkembangan Hukum Administrasi Dari Masa Ke Masa
Pada masa nachtwachkerstaat, negara hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban.
Peran hukum administrasi negara sangatlah kecil karena semakin kecil campur tangan negara dalam
masyarakat, semakin kecil pula peran han didalamnya. Dalam konsepsi legal state (nama lain negara
penjaga malam), terdapat prinsip staatsonthounding atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam
bidang politik yang bertumpu pada dalil ”the best government is the least government”. Akibat
pembatasan ini administrasi negara menjadi pasif, inilah mengapa negara hukum disebut sebagai negara
penjaga malam. Pembatasan ini menyengsarakan kehidupan warga negara yang kemudian memunculkan
reaksi dan kerusuhan sosial.
Kegagalan implementasi konsep nachtwachkerstaat tersebut kemudian memunculkan gagasan
yang membuat pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu
welfare state (welvaarstaat, negara kesejahteraan). Dalam konsep welfare state, administrasi negara
diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu sifat
khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan
penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam
rangka membentuk kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya.
Makin meningkatnya kebutuhan manusia modern juga merupakan salah satu faktor
peralihan menjadi negara kesejahteraan. Banyak fasilitas yang bila diusahakan oleh pihak swasta
akan menimbulkan ketidakadilan sosial, sehingga masyarakat memercayakannya pada
pemerintah. Lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara
diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Agar dapat
menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi
semua warga negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi memerlukan kemerdekaan
untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian soal – soal genting yang
timbul dan yang peraturan penyelenggaraannya belum ada. Menurut E. Utrecht, kekuasaan
administrasi negara dalam bidang legislasi ini meliputi ; 1. Kewenangan untuk membuat
peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi keadaan genting yang belum ada
peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang – undang pusat. 2. Pemerintah diberi tugas
menyesuaikan peraturan yang diadakan dengan kejadian yang sesungguhnya terjadi dalam
masyarakat. 3. Droit Function, yaitu kekuasaan administrasi negara untuk menafsirkan sendiri
berbagai peraturan, yang berarti administrasi negara berwenang mengoreksi (corrigeren) hasil
pekerjaan pembuat undang – undang.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum administrasi negara pada hakikatnya adalah hukum yang bertugas untuk mengawasi
jalannya pemerintahan, yang dalam trias politica berarti kekuasaan yudikatif. Pada masa
absolutisme, tidak ada hukum administrasi negara yang benar – benar dijalankan karena
penguasa bertindak sebagai diktator yang lalim terhadap rakyatnya. Raja adalah pembuat
peraturan sekaligus yang menjalankan peraturan tersebut. Tidak ada pengawasan dan peraturan
yang mengikat dari pihak lain terhadap raja, karena raja adalah pemegang kekuasaan mutlak.
Pada masa negara hukum klasik atau nachtwachkerstaat (negara penjaga malam), hukum
administrasi diterapkan, tapi hanya bersifat pasif. Hukum administrasi negara hanya berfungsi
sebagai penjaga ketertiban sosial. Negara dilarang keras untuk mencampuri perekonomian
maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Dengan perkataan lain, administrasi negara bertugas
untuk mempertahankan suatu staatsonthouding, yakni prinsip pemisahan negara dari kehidupan
sosial – ekonomi masyarakat.
Pada masa negara hukum modern atau welvaarstaat (negara kesejahteraan), hukum administrasi
diterapkan secara aktif. Konsep welfare state atau sosial service-state, yaitu negara yang
pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial
dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal,
merupakan anti-tesis dari konsep “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat). Tugas negara yang
semula sangat terbatas menjadi makin luas. Administrasi negara tidak lagi hanya menjalankan
tata pemerintahan dan tata usaha negara, melainkan juga organisasi dan manajemen usaha besar
kecil yang mengurusi kepentingan hidup bersama. administrasi negara diharuskan untuk
menyejahterakan masyarakat umum, bukan lagi hanya terfokus pada masyarakat kelas atas
seperti yang terdapat di nachtwachkerstaat. Karena itu, selain untuk mengawasi jalannya
pemerintahan (kekuasaan yudikatif), administrasi negara juga diberi wewenang untuk membuat
peraturan (kekuasaan legislasi) dan bertindak sesuai peraturan (kekuasaan eksekutif) sendiri.
Negara diperbolehkan melanggar hak asasi individu demi kepentingan umum, seperti contohnya
membayar pajak.
DAFTAR LITERATUR
Literatur Cetak
1. Prof. Dr. Sjachran Basah, S.H., C.N. Ilmu Negara. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung : 1997
2. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1961
3. Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Perkasa, Yogyakarta, 2006.
4. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Literatur Elektronik
1. Bewa Ragawino, S.H., M.Si. “Hukum Administrasi Negara, FISIP UNPAD” Ebook.
Bandung, 2006.
2. M. Budi Mulyadi SH. “Hukum Administrasi Negara dalam Welfare State”. Ebook.
Cianjur, 2009.
3. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Ebook.
2004