Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran

ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik. Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature dan Artikelnya berjudul History of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern. Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al- Quran dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Pemikiran adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis.

B. Rumusan maslah

1. Bagaimana sebenarnya sejarah pemikiram Ekonomi Islam?

2. Siapa saja yang berperan dalam Periode awal Islam?

3. Bagaimana dapat berkembang pemikiran ekonomi Islam?

BAB II PEMBAHASAN PEMIKIRAN EKONOMI MUSLIM PADA MASA AWAL ISLAM DAN PRIODE PERTAMA

A. SEJARAH PERTUMBUHAN EKONOMI ISLAM PADA MASA AWAL PEMERINTAHAN ISLAM

Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rasul. Rasululah SAW mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqih), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah SAW, karena masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rasulullah SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinya dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al- Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi negara.

Sejarah pemikiran ekonomi pada dasarnya seiring dengan berjalannya tasyri’. Peletakan dasar-dasar dan aturan ekonomi dalam Islam dimulai setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madina. Di Madina Nabi Muhammad sebagai kepala negara membangun kehidupan masyarakat maupun kehidupan bernegara atas dasar nilai-nilai Qur’ani seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan. Pada awal pemerintahanya beliau melakukan beberapa langkah strategis yang merupakan ujung tombak perjuangan rasul dalam menegakkan Islam, yaitu :

1. Membangun masjid Masjid yang dibangun memiliki multifungsi, bukan sekedar untuk melaksanakan sholat

saja, akan tetapi masjid dibangun untuk aktivitas yang berhubungan dengan negara seperti bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah kenegaraan atau sekertariat kenegaraan.

2. Menyatukan kaum Muhajirin dan Anshar dengan ukhuwah Islamiyah.

3. Membuat konstitusi negara.

4. Meletakkan dasar-dasar keuangan negara.

B. PEMIKIRAN EKONOMI DI MASA RASULULLAH Pemikiran ekonomi islam diawali sejak Muhammad SAW dipilih menjadi seorang Rasul

(utusan Allah). Rasulullah diberikan amanat untuk mengemban dakwah Islam dalam rangka mengatur pelaksanaan kehidupan manusia sehingga umat manusia hidup dalam keharmonisan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Dalam mengembankan misi dakwah tersebut, beliau seperti Nabi-nabi sebelumnya, tidak mendapatkan gaji atau uapah dari siapapun, kecuali mengharapkan keridhoan dari Allah SWT. Umat Islam, terutama atau khususnya para sahabat radhiallahu anhum pada saat itu Rasulullah dididik untuk mengarahkan kehidupannya untuk tujuan akhirat, karena kehidupan dunia yang hakiki hanya dalam rangka mempersiapkan kehidupan akhirat yang kekal sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-A’la ayat 17 :

“Dan kehidupan akhirat itu lebih baik dan kekal” Sehingga amalan serta aktivitas yang menyangkut mua’malah (perekonomian) juga

diarahkan untuk maksud kehidupan kahirat, tidak semata-mata kehidupan dunia. Pada masa pemerintahannya, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar berupa nilai-

nilai dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi. Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Alquran. Di bidang perdagangan, Nabi Muhammad telah meletakkan aturan yang harus diamalkan manusia, misalnya keharusan jujur dalam perdagangan, larangan melakukan jual beli yang mengandung unsur penipuan (gharar), pelarangan riba, dan lain sebagainya.

Mekanisme pasar yang diterapkan Nabi Muhammad adalah system pasar bebas, harga- harga barang di pasar diserahkan kepada interaksi permintaaan dan penawaran. Pemerintah tidak Mekanisme pasar yang diterapkan Nabi Muhammad adalah system pasar bebas, harga- harga barang di pasar diserahkan kepada interaksi permintaaan dan penawaran. Pemerintah tidak

Adapun yang menjadi sumber pendapatan Negara pada masa ini, diantaranya adalah zakat, khums min al-ghanaim (seperlima dari harta rampasan perang), jizyah, kharaj, fa’I, wakaf, sedekah dan lain sebagainya.

a) Zakat Zakat merupakan sumber pendapatan Negara pada masa Rasulullah yang di syariatkan

tahun ke-9 H. Nabi Muhammad mengatur pemungutan dan pendistribusian zakat sesuai dengan nash yang diwahyukan Allah kepadanya. Meliputi kadar dan nisab zakat dan mustahiknya. Nabi kadang bertindak sebagai amil zakat secara langsung kadang beliau menunjuk wali (gubernurnya) sebagai amil zakat di daerah tempat mereka bertugas.

b) Khums min al-ghanaim ( seperlima dari harta rampasan perang) Ghanimah (harta rampasan perang) merupakan harta yang diperoleh melalui peperangan.

Nabi membagi ghanimah berdasarkan nash yang di wahyukan kepadanya seperti yang terdapat dalam surat al-Anfal , bahwa seperlimanya (khums) menjadi milik Allah dan Rasul, karib kerabat rasul, anak yatim, orang-orang miskin, para musafir (Q.S Al-Anfal, 8: 1). Bagian yang seperlima ini menjadi pendapatan Negara dan dimasukkan ke dalam kas Negara, yakni Baitul Mal.

c) Jizyah Jizyah merupakan pajak yang dibebankan kepada warga Negara non-Muslim sebagai

konsekuensi dari perlindungan terhadap jiwa dan harta mereka serta kebebasan menjalankan ibadah menurut agamanya. Jizyah dipungut dari laki-laki dewasa dan mampu secara fisik dan materil sebesar 1 dinar (10 dirham) pertahun bagi orang-orang yang berpenghasilan kecil, 2 dinar (20 dirham) pertahun bagi orang yang berpenghasilan sedang, dan 4 dinar (40 dirham) bagi orang yang berpenghasilan tinggi. Sedangkan anak-anak dan perempuan, pendeta, orang cacat, dan miskin dibebaskan dari kewajiban ini.

1 Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014) 1 Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014)

Muslim. Nabi Muhammad menetapkan kharaj pertama kali pada waktu perang khaibar. Nabi membebaskan kepada penduduk daerah taklukan untuk tetap menggarap tanah pertanian mereka dengan ketentuan mereka mengeluarkan kharaj (pajak) kepada Negara Islam tiap tahun.

e) Ushr (pajak bea / cukai) Ushr merupakan pajak bea impor yang dibebankan kepada para pedagang. Pada masa

Rasulullah SAW, Ushr dipungut dari pedagang ahl zimmi sebesar 5% pe tahun dab kepada pedagang muslim sebesar 2,5 % per tahun. Pajak ini hanya dikenakan terhadap para pedagang yang memiliki omzet sebesar 200 dirham.

f) Fa’I Fa’I merupakan harta rampasan perang yang diperoleh bukan melalui peperangan tetapi

dengan jalan damai. Pendistribusiannya sama dengan ghanimah, yakni seperlimanya menjadi kas Negara, dan empat perlimanya menjadi hak tentara.

g) Harta warisan kalalah (orang yang tidak mempunyai ahli waris) Harta waris orang kalalah dimasukkan menjadi kas Negara, berdasarkan hadits nabi yang

menyatakan bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris, maka ahli warisnya adalah Negara. h)

Wakaf dan Sedekah Baitul Mal merupakan lembaga keuangan Negara yang berfungsi menerima, menyimpan,

dan mendistribusikan uang Negara sesuai aturan syariah. Seluruh pendapatan Negara yang diperoleh dari sumber-sumber di atas dikumpulkan di Baitu Mal, kemudian di distribusikan kepada sektor-sektor tertentu sesuai dengan aturan syariah.

Rasullah menerapkan sejumlah kebijakan yang dipandu oleh Al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat, selain dari masalah hukum (fiqh), politik (siyasah), ekonomi (mu’amalah), etika pergaulan (ahlaq). Diantara masalah-masalah tersebut yang menjadi perhatian Rasulullah adalah maslah ekonomi umat Rasullah menerapkan sejumlah kebijakan yang dipandu oleh Al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat, selain dari masalah hukum (fiqh), politik (siyasah), ekonomi (mu’amalah), etika pergaulan (ahlaq). Diantara masalah-masalah tersebut yang menjadi perhatian Rasulullah adalah maslah ekonomi umat

kepada Allah SWT. 2 Dengan ekonomi seorang muslim akan memiliki bekal atau sarana untuk menjadikan imannya lebih baik dan menjalankan ibadahnya.

Dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah, disamping berpedoman dengan Al-Qur’an terkadang beliau juga mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya. Sebagai contoh ketika Rasulullah hendak memutuskan syariat memenggil umatnya untuk sholat fardhu berjamaah, maka beliau mengumpulkan berbagai masukan dari para sahabat, ada yang mengusulkan dengan menyalakan api, sebagaimana agama-agama orang Majusi, adapula yang mengusulkan dengan membunyikan lonceng seperti agama Nasrani, dan berbagai usula lainnya. Seorang sahabat mngusulkan lafazh-lafazh tertentu, dan akhirnya Rasulullah menerima usulan tersebut dan menetapkan syariat adzan. Ini menandakan Rasulullah SAW bukanlah seorang dictator yang selalu memutuskan sendiri tanpa pertimbangan pengikutnya. Demikian juga dalam mengatur strategi perang mengahadapi musuh kaum kafir, maka Rasulullah menerima usulan dari para sahabatnya Salman Al-Farizi r.a. untuk menggali parit (khandak) dalam rangka bertahan dari serangan musuh.

Dalam mengatur masalah perilaku produksi masyarakat, Rasulullah SAW mengajarkan beberapa interaksi yang halal dan adil seperti aturan jual-beli, transaksi musyarokah, mudhorobah, musyakkah, muzara’ah, mukhabarah, ji’alah, hiwalah, ariyah (pinjam-meminjam) dan lain sebagainya. Transaksi-transaksi ini berada dihukum muammalah yang bertujuan menjaga keadilan dan keharmonisan yang pada akhirnya menciptakan kemuliaan dalam pencarian rezeki (rizkun kariim).

Dalam mengatur perilaku konsumen terhadap hasil perekonomian masyarakat, Rasulullah mengajarkan zakat, infaq, wakaf dan sedekah kepada umat Islam. Zakat diwajibkan pada tahun ke-9 Hijrah. Sementara sedekah fitrah pada tahun ke-2 hijrah. Selain mengatur orang yang wajib zakat dan orang yang wajib menerima zakat tersebut, maka pengaturan tersebut diuraikan secara jelas dan ekspilit dalam surah At-Taubah ayat 60:

2 Lukman Hakim, “prinsip-prinsip Ekonomi Islam” (Jakarta:Erlangga)2012 hlm 27

“sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan para budak orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Kegunaan ibadah zakat ini sungguh penting dan banyak, baik terhadap perilaku konsumsi orang yang kayak maupun kesejahteraan orang yang miskin. Kegunaan zakat antara lain (Sulaiman Rasyid,1954):

1. Menolong orang yang lemah dan susah agar dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dan mahluk Allah (masyarakat).

2. Membersihkan hati dari sifat kikir dan harta yang tercela, serta mendidik diri agar bersifat mulia dan pemurah dengan membiasakan membayarkan amanat kepada orang yang berhak dan berkepentingan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat At- Taubah ayat 103.

3. Sebagai ucapan syukur dan terima kasih atas rezeki yang berlebih serta nikmat kekayaan yang diberi Allah. Tidak syak lagi bahwa berterima kasih yang diperlihatkan oleh yang diberi kepada yang memberi adalah suatu kewajiban yan terpenting menurut ahli kesopanan.

4. Mencegah kejahatan-kejahatan yang mungkin timbul dari orang miskin yang lemah iman serta memiliki sifat iri serta dengki.

5. Mendekatkan hubungan kasih sayang dan saling mencintai diantara golongan orang kayak dan miskin.

Syariat zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan sedekah adalah bersifat suka rela atau sunnah. Kedua aktivitas ini banyak diperintahkan oleh Allah SWT serta dianjurkan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Allah SWT berfiman surah Al-Baqarah ayat 261. Pada masa Rasulullah zakat dikenakan pada hal-hal berikut :

1. Benda logam yang terbuat dari emas dan perak.

2. Binatang ternak seperti unta, kambing, sapi, domba, dsb

3. Berbagai jenis barang dagangan.

4. Hasil pertanian termasuk buah-buahan.

5. Luqatah, harta benda yang ditinggalkan musuh.

6. Barang temuan (rikaz) dan tambang. Zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan dinamkan ushr.zakat emas dan perak

ditentukan seberapa berat yang dimiliki, binatang ternak berdassarkan jumlahnya, barang tambang dan luqatah berdasarkan nilai jualnya sedangkan hasil pertanian dan buah-buahna berdasarkan kuantitasnya.

Meskipun perekonomian pada masa beliau masih relative sederhana, tetapi beliau telah menunjukan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Usaha-usaha ekonomi harus didasari secara syariah Islam. kegiatan ekonomi pasar pada saat itu menonjol pada masa itu. Dimana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika moralitas Islam Rasulullah mendirikan al-hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (market controller). Rasulullah juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak sebagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Sampai tahun ke-4 hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari Banu Nadir, suatu suku yang tinggal dipinggiran Madina. Seorang Muhajirin dari Banu Nadir yang telah masuk Islam memberikan tujuh kebunnya, kemudian Rasulullah dijadikan tanah shadaqoh. Tujuh kebun penduduk Banu Nadir tersebut menjadi waqaf pertama dalam Islam. pendapatan yang hampir sejenis berupa tanah khaibar dikuasai pada tahun ke-7 hijrah. Penduduknya menentang dan memerangi kaum muslim, namun akhirnya mereka menyerahkan dengan syarat dan berjanji meninggalkan tanahnya. Rasulullah membagi khaibar menjadi 36 bagian dan tiap bagian dibagi menjadi 100 area. Setangah bagian digunakan untuk keperluan delegasi tamu sebagainya, dan setengahnya lagi diberikan untuk 1.400 tentara dan 400 penunggang kuda 3

Harta rampasan perang atau ghanimah juga merupakan pendapatan negara, meskipun nilainya relative tidak besar jika dibandingkan dengan biaya peperangan yang dikeluarkan. Nilai harta rampasan pada decade awal hijrah (622-632 M) tidak lebih dari 6 juta dirham.

Zakat dan ushr merupakan sumber pendapatan pokok terutama setelah tahun ke-9 H dimana zakat mulai diwajibkan. Berbeda dengan sumber penerimaan lain yang pemanfaatannya ditentukan oleh Rasulullah.

Selain sumber pendapatan negara tersebut ada juga beberapa pendapatan lainnya yang bersifat tambahan diantaranya:

1. Uang tembusan tawanan perang khususnya perang badar.

2. Pinjaman untuk membayar diyat kaum muslimin bangsa Bani Juddazaimah atau sebelum pertempurang Hawazin sebesar 30.000 dirham dari Abdullah bin Rabiah.

3. Khums atas rikaz atau harta karun.

4. Amwal Fadillah.

5. Wakaf

6. Nawaib

7. Zakat fitrah

8. Bentuk lain sedekah hewan kurban dan kafaratnya Pengeluaran negara pada masa pemerintaha Rasulullah SAW adalah:

1. Primer

a. Biaya tambahan seperti persenjataan, unta dan persediaan.

b. Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya.

c. Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, pejabat negara lainnya.

d. Pembayaran utang negara.

e. Bantuan untuk musafir.

2. Sekunder

a. Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madina.

b. Hiburan untuk para delegasi keagamaan.

c. Hiburan untuk parautusan suku serta biaya perjalanan mereka.

d. Hadiah untuk pemerintahan lain.

e. Dan lain sebagainya.

C. PEREKONOMIAN DI MASA KHULAFAUR RASYIDIN Pemikiran pokok yang berkaitan dengan mualamah Islam telah sempurna di zaman

Rasulullah SAW. Al-Qur’an surah Al-Maidah telah menutup sekaligus telah sempurna dalam segala peraturan, mulai dari aqidah sampai muamalah. Namun demikian, pemikiran ekonomi Islam yang terkait dengan operasional terus berkembang hingga pada masa khulafaur rasyidiin (empat khalifah sahabat Rasulullah SAW). Dalam pelaksanaan pemikiran ekonomi islam di masa khulafaur rasyidin ini, Al-Qur’an, sunnah dari Rasul sebagai sumber rujukan mereka.

1. Abu Bakar Shidiq (51 SH- 13 H/537-634 M) Abu Bakar yang memiliki nama lengkap Abdullah bin Ustman bin Amir bin Ka’ab At-

Taimi Al-Quraisy. Sebelum masuk Islam ia bernama Abdul Ka’bah, lalu rasulullah menamainya dengan Abdullah. Ia digelari Ash-Siddiqi (yang membenarkan), biasa dipanggil Abu Bakar. Selain itu beliau digelari Al-Atiq (yang dibebaskan) 4

Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar adalah seorang pedagang kain. Hal ini menunjukan bahwa beliau adalah seorang wirausahawan yang mandiri selain orang yang bertaqwa. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Mal atas persetujuan para sahabatnya seperti Umar r.a. dan Abu Ubaidah r.a. sebagai penjaga amanah Baitul Maal. Atas persetujuan para sahabatnya tersebut, beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham untuk membiayai keperluan (tunjangan) keluarganya.

Abu Bakar Siddiq banyak menemui permasalahan pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau juga membangun Baitul Maal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana pada masa Rasulullah Saw. Beliau juga mulai mempelopori sistem penggajian bagi aparat negara, misalnya untuk khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari Baitul

4 Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, “Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah”, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2013

Maal. Tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham pertahun. 5

Namun demikian, ketika Abu Bakar r.a. akan meninggal dunia, beliau berwasiat kepada Aisyah r.a. agar mengembalikan seluruh uang tunjangan yang telah dikeluarkan Baitul Maal untuk keperluan keluarganya selama menjadi khalifah, Anas r.a. meriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan apapun baik dirham (mata uang perak) maupun dinar (mata uang emas). Beliau hanya meninggalkan seekor unta betina untuk diambil susunya, sebuah mangkok dan seorang nelayan. Sahabat lainnya berkata bahwa beliau hanya meninggalkan sehelai kain alas. Benda-benda ini telah diserahkan kepada Umar r.a. ketika ia menggantikan sebagai khalifah. Umar r.a. berkata “semoga Allah mencucuri rahmat kepada Abu Bakar. Beliau telah menunjukan jalan yang sulit untuk diikuti oleh para penggantinya” (Al- Kandhalawi dalam A. Abdurrahman Ahmad, 2003). Dari kisah ini Abu Bakar mengajarkan bagaimana seorang pemimpin sangat amanah terhadap umatnya. Beliau tidak sedikitpun mengambil harta atau benda dari Baitul Maal, meskipun dua setengah atau tiga perempat dirham boleh menjadi haknya. Hal ini menandakan manajemen taqwa telah tertanam pada diri beliau.

Abu Bakar meninggal pada 13 Hijriah atau 13 Agustus 634 M dalam usia 63 tahun, dan khalifahnya berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari. Jenazah Abu Bakar dikubur disamping Rasulullah SAW.

2. Umar Bin Khattab (40 SH- 23 H/584M- 644 M) Umar bin Khattab yang bernama lengkap Umar bin Al-Khattab bin Nufail bin Abdul

Uzza Al-Quraisy, biasa dipanggil dengan Abu Hafsh yang artinya anak Singa, dan digelari Al- Faruq (pemisah antara yang hak dan batil). Sebelum masuk Islam, ia adalah orang yang sangat memusuhi orang-orang Islam. meskipun Umar dikenal memiliki watak yang keras akan tetapi ketika mendengarkan Al-Qur’an, ia sering jatuh pingsan karena sangkin takutnya. Beliau juga yang menetapkan tahun hijrah sebagai kalender Islam dan orang Pertama yang dijuluki Amirul Mukminin.

Umar r.a. adalah seorang sahabat yang namanya telah menjadi suatu kebanggaan bagi kaum muslimin hingga hari ini. Nama itu meningkatkan gairah keimanan dan mengetarkan hati baik muslim dan nonmuslim selama 1.500 tahun, bahkan hingga kini. Sebelum memeluk Islam, Umar sering mengganggu, memusuhi, dan menyakiti orang-orang Islam. Bahkan ia pernah berniat membunuh Rasulullah SAW, namun justru mendapat hidayah masuk Islam. Setelah masuk Islam, kegarangan beliau digunakan untuk menegakkan dakwah Islamiah. Dimana-mana nama beliau ditakuti dan disegani musuh dan kawan.

Umar r.a. diangkat menjadi khalifah dan khalifah sebelumnya, Abu Bakar r.a. setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior dan mendapat persetujuan mereka. Umar r.a. melaksanakan tugas dalam kekhalifahan selama 10 tahun dan 6 bulan. Secara umum, Umar r.a. selama dalam masa kekhalifahannya telah menampakkan politik yang bagus, keteguhan prinsip, kecemerlangan perencanaan serta meletakan berbagai sistem perekonomian dan manajemen yang penting. Pada masa kekhalifahannya, daerah lokasi kekuasaan serta dakwah bertambah luas, dari semenanjung jazirah Arab, Syiria (Syam), Mesir, hingga Persia. Ketika Nabi Muhammad SAW lahir, ada dua kekuasaan imperium, yaitu imperium barat di Rum dan imperium timur di Persia (Iran), maka pada zaman Umar r.a. penguasa dua imperium tersebut mulai takluk di tangan umat Islam.

Pada zaman khalifah Umar r.a. hukum perdagangan yang bersifat operasional mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara sehat. Pada dasarnya hukum-hukum yang bersifat prinsip pada zaman Rasulullah SAW telah sempurna (lihat transaksi al- Musyarakah, al- Mudhorobah, dan sebagainya). Khalifah Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang. Demikian juga pada saat yang sama, dibangun pasar-pasar agar tercipta suasana jual-beli yang sehat yang adil. Namun harga-harga pun dikendalikan atau dipantau. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Umar bin Khattab amat tegas dalam masalah zakat. Orang yang tidak mau membayar zakat atau berkurang ketika pembayarannya akan diperangi.

Umar memanfaatkan pengelolaan wilayah-wilayah yang dibuka serta sistem didalamnya. Sampai sistem ini mapan dan matang denganperkembangan pemikiran Islam dan kebutuhan- kebutuhan daerah yang dibebaskan tersebut. Negara-negara yang sebelumnya dibawah kekuasaan Romawi dan parsi wajib membayar pajak dalam jumlah yang besar, walau seluruh Umar memanfaatkan pengelolaan wilayah-wilayah yang dibuka serta sistem didalamnya. Sampai sistem ini mapan dan matang denganperkembangan pemikiran Islam dan kebutuhan- kebutuhan daerah yang dibebaskan tersebut. Negara-negara yang sebelumnya dibawah kekuasaan Romawi dan parsi wajib membayar pajak dalam jumlah yang besar, walau seluruh

Kemudian datang lah masa pembebasan (futuhat), maka kaum muslim menguasai tanah- tanahtersebut yang sebelumnya dikuasai oleh bangsa romawi dan parsi. Tadinya dalam ketentuan hukum pembebasan dan peperangan bahwa tanah-tanah serta apa yang ada didalam adalah milik tentara pembebas. Akan tetapi beberapa sahabat yang ikut serta dalam pembebasan tersebut memohon agar tanah-tanah tersebut dibagi-bagi antara mereka sebagaimana Rasulullah SAW melakukan tanah Khaibar. Maka mereka meminta izin kepada Umar, kemudian umar

mempertimbangkanya. 6 Terhadap pengaturan jizyah, khalifah Umar juga bersifat tegas sebagaimana kisah surat

yang diriwayatkan dari Ziad bin Juz’u az-Zubaidi dari Ibnu Jarir tentang pengaturan para tawanan di Mesir. Beliau menulis surat kepada amir pasukan yaitu Amr bin ‘Ash, bahwa para tawanan dibebaskan untuk memilih masuk Islam atau tetap memeluk agama mereka. Apabila masuk Islam akan dapat hak-hak seperti hak kaum muslimin lainya, tetapi apabila tetap memeluk agama mereka, mereka tetap bisa bebas hidup berdampingan dengan kaum muslimin tetapi harus membayar jizyah.

Umar menjadikan pajak dalam beberapa tingkatan sesuai dengan golongan kemampuan umat. Menggugurkan kewajiban pajak dari orang-orang miskin, ahli dzimmah, dan kaum papa, mendirikan baitul maal dan mencetak mata uang dirham. Dalam soal kesejahteraan rakyatnya, khalifah umar biasa berkeliling kampung untuk mencari umatnya yang membutuhkan pertolongan.

Sebelum beliau wafat, beliau membentuk dewan atau majlis syura untuk memutuskan pengganti khalifah setelah beliau. Majelis tersebut beranggotakan enam orang yaitu Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhab bin Ubaidillah, Zubair Bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, dan Abdurrahman bin Auf. Ini menandakan bahwa pada sistem pemilihan khalifah beliau tidak dictator atau mewariskan kepada keturunannya.

3. Ustman bin Affan

Yang memiliki nama lengkap Ustman bin Affan bin Abi Ash bin Umayyah bin Abd Syama bin Abd Manaf, biasa dipanggil dengan sebutan Abu Abdillah dan digelari Dzu An- Nurain (pemilik dua cahaya).

Ustman bin Affan dipilih sebagai khalifah oleh majelis syura yang beranggotakan enam orang sebagaimana yang telah dibentuk oleh Umar r.a. setelah diangkat menjadi khalifah, maka para sahabat berbaiat kepada beliau untuk mentaati segala keputusan selagi tidak menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya.

Pada masa kekhalifahannya, dari segi perekonomian beliau tidak banyak merumuskan kebijakan operasional, beliau lebih banyak melanjutkan kebijakan khalifah Umar tentang pengelolaan baitul maal, sebagailembaga keperluan dakwah Islamiah. Namun demikian, beliau juga membangun prasarana produksi masyarakat seperti mengali aliran sungai, membangun jalan, serta menanam pohon dan buah-buahan. Demikian juga keamanan perdagangan diberikan dengan cara membentuk penjaga pasar (polisi).

Dari segi kepentingan dakwah Islamiah, kalau lah khalifah Umar membentuk jamaah yang bergerak dari darat ke darat (angkatan darat), sedangkan Utsman membentuk jamaah menyeberangi laut bahkan samudera (angkatan laut), sehingga daerah lokasi dakwah bertambah luas, tidak hanya disekitar jazirah Arab, Mesir, Syiria (Syam), tapi menembuh wilayah Afrika Utara yaitu Tunisia, Libya, hingga Maroko, kearah utara sekitar Laut Tengah (Mediterania) sampai Eropa Selatan yaitu Syprus.

4. Ali Bin Abi Thalib Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah ketika menjadi konflik kekuasaan antar

kelompok. Pertentangan antar kelompok yang mendukung Ali r.a., kelompok yang mendukung Muawiyah bin Abu Sofyan r.a. dan kaum khawarij (kelompok yang mendukung Ali kemudian berkhianat). Ali r.a. ditakdirkan menjalankan kemudi pemerintahan disaat kritis konflik tersebut. Namun demikian, beliau sangat faham dalam menyikapi keadaan tersebut. Terhadap lawan tetapi saudara dan sahabat yaitu Muawwiyah bin Abu Sofyan, beliau tetap menjaga hubungan baik dan kelompok. Pertentangan antar kelompok yang mendukung Ali r.a., kelompok yang mendukung Muawiyah bin Abu Sofyan r.a. dan kaum khawarij (kelompok yang mendukung Ali kemudian berkhianat). Ali r.a. ditakdirkan menjalankan kemudi pemerintahan disaat kritis konflik tersebut. Namun demikian, beliau sangat faham dalam menyikapi keadaan tersebut. Terhadap lawan tetapi saudara dan sahabat yaitu Muawwiyah bin Abu Sofyan, beliau tetap menjaga hubungan baik dan

Ali menikahi putri Rasulullah, yaitu Fatimah Az-Zahra r.ha. dan dikaruniai dua orang putra yaitu Hasan dan Husein. Dalam hidup berumah tangga beliau hidup dengan kesederhanaan. Meskipun beliau hidup dalam kekurangan, akan tetapi beliau tidak mau menerima harta atau bantuan dari baitul mal. Meskipun termasuk ahlu bait. Beliau selalu bekerja keras untuk perekonomiannya bahkan sebelum menjadi seorang khalifah ia bekerja sebagai seorang wirausaha mandiri yang tidak tergantung fasilitas pejabat dan jabatan.

Meskipun ia menjalani roda pemerintahan banyak terjadi konflik kekuasaan, tetapi khalifah Ali juga memikirkan peraturan-peraturan untuk menyempurnakan peraturan pada masa khalifah sebelumnya. Peraturan yang telah di beliau sumbangkan untuk pelaksanaan roda khalifah adalah tentang administrasi pemerintahan. Bukti dalam hal itu terlihat dalam suratnya yang ditujukan kepada Malik bin Harith, dimana surat itu mendeskripsikan tugas dan kewajiban serta tanggung jawab penguasa, menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi terhadap keadilan, kendali pejabat tinggi dan staf, peraturan hakim dan jaksa. Hal ini menandakan bahwa disamping seorang khalifah, beliau juga seorang ahli manajemen. Kahlifa Ali r.a meninggal ketika usianya mencapai 63 tahun setelah memerintah selama 5 tahun 3 bulan.

A. Amanat Baitul mal pada masa khulafa Rasydin

Para khulafah rasyidin dan para sahabat Nabi SAW yang mulia beranggapan bahwa baitul mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu, mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya atau pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at . Mereka mengharamkan tindakan para penguasa yang menggunakan baitul mal untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi mereka.

Pada hari kedua setelah pengangkatannya sebagai khalifah, Abu Bakar membawa bahan- bahan pakaian dagangan diatas pundaknya dan pergi untuk menjualnya. Sebelum menjadi khalifah ia adalah seorang pedagang bahan pakaian.

Dalam salah satu pidatonya, tentang hak seorang khalifah dalam baitul mal, katanya “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin, dan uang yang cukup untuk hidup sehari-hari seorang diantara orang-orang quraisy yang biasa, dan setelah itu aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.”

Dalam pidatonya yang lain, ia berkata : “Harta ini tidaklah sah kecuali dengan tiga hal, yaitu diambil dengan kebenaran, diberikan dengan kebenaran dan dicegah dari kebatilan. Dan sesungguhnya kedudukanku berkenaan dengan hartamu ini bagai seorang wali anak yatim. Kalau aku tidak membutuhkannya, aku tidak akan membiarkan diriku mengambil sesuatu daripadanya. Tapi bila aku miskin, aku akan makan daripadanya secukupnya.”

Dan ketika berkobar peperangan antara dia dan mu’awiyah, orang-orang sekitarnya menyarankan kepadanya agar mengambil dari baitul mall secukupnya untuk mempertahankan dirinya, sebagaimana yang dilakukan oleh mu’awiyah dalam mendekatkan orang-orang kepadanya dengan menghambur-hamburkan hadiah kepada mereka tanpa merasa takut sedikit pun. Maka imam Ali marah kepada mereka dan berkata : “Adakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman ? Demi Allah, Aku tidak akan melakukannya

selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.” 7

B. Perubahan kondisi baitul maal Telah terjadi berkenan dengan tindakan para khulafa dalam pengolaan baitul mal . Dalam

konsep islam merupakan amanat makhluk dan amanat sang khalik yang dipercayakan kepada khalifah dan pemerintahnya. Tidak seorangpun, siapapun ia, memiliki hak untuk mengelolanya sesuai dengan hawa nafsunya sendiri.

Adapun dalam masa sistem kerajaan, maka konsep ini telah mengalami perubahan besar, dan jadilah kas negara sebagai milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib menyetor pajak padanya tanpa memiliki hak untuk mempertanyakan pemerintah atau membuat perhitungan dengannya.

Cara para penguasa itu bertindak dalam hal “Pengeluaran” dari baitul mal . Dan apabila kita mengalihkan pandangan kita ke arah cara mereka dalam hal “Pemasukan” kedalamnya, akan jelaslah bagi kita bahwa neraca halal dan haram telah mereka rusak, dan perbedaan antara kedua- duanya telah terhapus sama sekali dari akal dan hati mereka. Sampai-sampai Umar Bin Abdul Aziz membuat suatu daftar amat panjang yang di dalamnya disebut berbagai macam pajak tidak sah yang ia lihat sendiri.

Para ulama dan fuqaha kota basrah dan kufah telah mengutuk perbuatan ini dan mereka ikut menangisi orang-orang yang malang ini pada waktu mereka pergi menjauh dari kota-kota. 8

C. Penentuan luas tanah dan pajaknya Abu Yusuf telah mengharamkan jenis pemungutan pajak dimana pemerintah menentukan

seorang pemungut pajak atas suatu propinsi tertentu dan menerima dari padanya penghasilan atas tanah-tanah ditempat tersebut, serta memberinya kekuasaan untuk memungut beberapa saja dari para petani setelah ia sendiri menyetorkan sejumlah tertentu kepada pemerintah. Abu Yusuf menyatakan bahwa tindakan seperti itu adalah pebuatan kejam dan zalim atas rakyat dan akan mendatangkan kehancuran bagi negara, dan oleh sebab itu pemerintah sekali-kali tidak dibenarkan menempuh jalan ini.

Menurut pendapat Abu Yusuf pula bahwa memberikan tanah kepada seseorang dapat dibenarkan bilamana tanah tersebut bukan milik sesorang dan tidak ada tanda-tanda penggarapan atau ia ditinggalkan tanpa adanya seorang pewaris atau diberikan untuk pelayanan masyarakat dengan kadar yang masuk akal. Dan barangsiapa memperoleh pemberian ini kemudian ia tidak Menurut pendapat Abu Yusuf pula bahwa memberikan tanah kepada seseorang dapat dibenarkan bilamana tanah tersebut bukan milik sesorang dan tidak ada tanda-tanda penggarapan atau ia ditinggalkan tanpa adanya seorang pewaris atau diberikan untuk pelayanan masyarakat dengan kadar yang masuk akal. Dan barangsiapa memperoleh pemberian ini kemudian ia tidak

D. PEMIKIR EKONOMI ISLAM FASE PERTAMA Pada periode ini banyak sarjana Muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rasulullah

dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang autentik. Beberapa di antara mereka antara lain: Hasan Al Basri, Zayd bin Ali, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan al Shaybani, Yahya bin Adam, Shafi’i, Abu Ubayd, Ahmad bin Hanbal, Al-Kindi, Junayd Baghdadi, Al-Farabi, Ibn Miskwayh, Ibn Sina, dan Mawardi.

a. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M) Abu Hanifa Al-Nu’man ibn Sabit bin Zauti, ahli hukum agama islam dilahirkan di Kufah

pada 699 M semasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia meninggalkan banyak karya tulis, antara lain Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, dan Al-Fiqh Al-Akbar. Abu Hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi di mana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak, seperti jenis komoditas, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman.

b. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) Abu Yusuf merupakan fuqaha pertama yang memiliki buku (kitab) yang secara khusus

membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik, khususnya tentang perpajakan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab Al-Kharaj membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik, khususnya tentang perpajakan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab Al-Kharaj

Dalam pemerintahan, Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu Tasarruf al-Imam ‘ala Ra’iyyah Manutun bi al-Mashlahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Ia sangat menentang pajak atas tanah pertanian dan mengusulkan penggantian sistem pajak tetap (lump sum system) atas tanah menjadi sistem pajak proporsional (proportional system) atas hasil pertanian. Sistem ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam.

c. Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaybani (132-189 H/750-804 M) Muhammad bin Al-Hasan telah menulis beberapa buku, antara lain Kitab al-Iktisab fiil Rizq

al-Mustahab (Book on Earning a Clean Living) dan Kitab al Asl.. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan Syariat tentang ijarah, tijarah, ziraah, dan sinaah (hiring out, trade, agriculture, and industry). Perilaku konsumsi ideal seorang Muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan serma (charity), tetap tidak suka meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk transaksi/kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam (prepaid order), sharikah (partnership), dan mudharabah. Buku-buku yang ditulis Muhammad bin al- Hasan ini mengandung tinjauan normatif sekaligus positif, sebagaimana karya kebanyakan sarjana Muslim.

d. Abu Ubayd Al-Qasim Ibn Sallam (w.224 H/838 M) Buku yang berjudul Al-Amwal ditulis oleh Abu Ubayd Al-Qasim Ibn Sallam merupakan

suatu buku yang membahas keuangan publik/kebijakan fiskal secara komprehensif. Di dalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya. Buku ini juga kaya suatu buku yang membahas keuangan publik/kebijakan fiskal secara komprehensif. Di dalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya. Buku ini juga kaya

e. Harith bin Asad Al-Muhasibi (w. 243 H/859 M) Harith bin Asad Al-Muhasibi menulis buku berjudul Al-Makasib yang membahas cara-cara

memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industri dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan ini harus diperoleh secara baik dan tidak melampaui batas/ berlebihan. Laba dan upah tidak boleh dipungut atau dibayarkan secara zalim, sementara menarik diri dari kegiatan ekonomi bukanlah sikap Muslim yang benar-benar Islami. Harith menganjurkan agar masyarakat harus saling bekerja sama dan mengutuk sikap pedagang yang melanggar hukum (demi mencari keuntungan).

f. Ibn Miskwaih (w. 421 H/ 1030 M) Ibn Miskwaih dalam bukunya, Tahdib al-Akhlaq, banyak berpendapatan dalam tataran filosofi

etis dalam upaya untuk mensintesiskan pandangan-pandangan Aristoteles dengan ajaran Islam. Ia banyak membahas tentang pertukaran barang dan jasa serta peranan uang. Menurutnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Karenanya, manusia akan melakukan pertukaran barang dan jasa dengan kompensasi yang pas (reward, al-mufakat al-munasibah). Dalam melakukan pertukaran uang akan berperan sebagai alat penilai dan penyeimbang (al-muqawwim al-musawwi baynahuma) dalam pertukaran, sehingga dapat tercipta keadilan. Ia juga banyak membahas kelebihan uang emas (dinar) yang dapat diterima secara luas dan menjadi substitusi (mu’awwid) bagi semua jenis barang dan jasa. Hal ini dikarenakan emas merupakan logam yang sifatnya: tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah ditiru, dikehendaki dan digemari banyak orang.

g. Mawardi (w. 450 H/1058 M) Pemikiran Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul, Al-Ahkam al-

Sulthoniyyah dan Adab al-Din wa’l Dunya. Buku yang pertama banyak membahas tentang pemerintah dan administrasi, berisi tentang: kewajiban pemerintah,

Dalam perkembangan pemikiran ekonomi Islam sesudah masa Khulafaurrasyidin, pembahasannya terutama dilakukan oleh para ahli fiqih yang memperhatikan masalah perekonomian. pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis fuqaha, sufi, teolog, dan filsuf Muslim.

Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama) 10 . Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun non-Muslim

melakukan kajian, penelitian, analisis, dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang pernah ada atau dikaji pada masa itu. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus interpretasi mereka terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa itu.

Berikut beberapa pemikir ekonomi Islam pada fase pertama :

1. Zaid Bin Ali (699-738 M) Zaid bin Ali adalah putra dari Imam Syi’ah ke-4, Ali Zainal Abidin, dan cucu dari Husain bin

Ali. Beliau lahir pada tahun 80 H/699 M. 11 Dulu Imam Ali adalah salah satu ahli fiqh yang terkenal di Madinah.

Dasar pemikiran ekonomi Imam Zaid adalah menyatakan keabsahan jual-beli secara tangguh dengan harga yang lebih dari jual beli tunai. Pemikiran ini menjadi salah satu pijakan pendapat tentang kebolehan menetapkan kelebihan menetapkan harga yang lebih tinggi pada jjual beli secara kredit ataupun tertunda.

Beberapa pandangan dan pengetahuannya tentang isu-isu ekonomi dipaparkan oleh Abu Zahra. Zaid bin Ali membolehkan penjualan suatu komuditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Prinsipnya jenis transaksi barang atau jasa yang halal jika diatasi dasar suka sama suka diperbolehkan sebagaimana firman Allah di surah An-Nisa ayat 28. Dalam

11 P3EI dan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), h. 105.

kegiatan perniagaan yang didasarkan pada penjualan kredit, perlu diperhatikan bahwa pedagang mendapatkan untung darinya dan pendapatan seperti itu adalah bagian perniagaan bukannya Riba.

Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah, selama

transaksi kredit tersebut di dasari oleh ‘aqd, atau prinsip saling ridho antar kedua belah pihak. 12 Laba dari perkreditan adalah murni dari bagian perniagaan dan tidak termasuk riba. Keuntungan

yang diperoleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan suatu bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang. Meskipun demikian, penjualan secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga lebih tinggi selalu berkaitan dengan jangka waktu, melainkan menjual secara kredit dapat pula ditetapkan dengan harga rendah, sehingga lebih mempermudah dan menambah kepuasan konsumen.

2. Imam Malik Bin Anas (711-795 M) Nama lengkap adalah Malik bin Anas Ibn Abi ‘Amir Al-Asbahi atau terkenal dengan Imam

Malik. Beliau lahir di Himyar dari suku Qahtani. Kakek bapak Abu ‘Amir. Diperkirakan merupakan seorang sahabat Nabi SAW. Beliau seorang ulama yang paling fakih pemahamannya, kuat ingatannya, taqwa, serta teguh hatinya. Pada usia 17 tahun beliau sudah bisa mengajar dan memberikan fatwa.

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama besar, fuqaha bahkan imam mujtahid seperti Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah. Karya beliau yang terkenal adalah “Al Muwatta” yang merupakan kitab fiqh lengkap. Dalam kitab itu pula terhadap pembahasan masalah transaksi bisnis Islami.

3. Abu Hanifa (80-150 H/699-767 M) Abu Hanifa Al-Nu’man ibn Sabit bin Zauti, atau dikenal dengan Imam Hanafi, ahli hukum

agama islam dilahirkan di Kufah pada 699 M semasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia seorang ajam atau non-Arab keturunan Persia. Abu Hanifah terkenal sebagai tokoh yang

12 Adiwarman Azwar Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) hal.

mementingkan penggunaan qiyas(analogi). Beliau adalah tokoh ketiga dari pendiri mazhab yang dibahas didalam buku ini, karena yang dibahas adalah Qiyas secara meluas. 13 Ia meninggalkan

banyak karya tulis, antara lain Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, dan Al-Fiqh Al-Akbar. Abu Hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi di mana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.

Abu Hanifah adalah seorang imam mujtahid (salah satu empat mazhab) yang ahli fiqh terkenal di zamannya. Salah satu kebijakan dari beliau adlah menghilangkan ambigunitas dan perselisihan dalam masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungan dengan jual-beli.

Abu Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak, seperti jenis komoditas, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman.

Abu Hanifah meragukan keabsahan bai’-s-salam, karena transaksi tersebut dapat mengarah pada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan tersebut dengan merinci lebih khusus tentang apa yang harus di ketahui dan dinyatakan dengan jelas dalam akad. Ia menyatakan bahwa komoditi yang dijual harus tersedia dalam pasar selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman yang telah disetujui.

Disamping itu Abu hanifah sangat memperhatikan orang-orang yang lemah. Ia tidak membebaskan wajib zakat pada perhiasan, sebaliknya ia membebaskan zakat bagi para pemilik harta yang terlilit hutang yang tidak sanggup untuk menebusnya. Ia juga tidak memperkenankan muzara’ah dalam kasus tanah yang tidak berpenghasilan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap tanah yang umumnya adalah orang orang yang lemah.

4. Imam Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)

Imam Abu Yusuf dikenal sebagai Qadi (hakim), bahkan Qadi al Qudah. Hakim agung adalah sebuah jabatan tertinggi dalam lembaga peradilan. Diantara kitab-kitab Abu Yusuf, kitab yang paling terkenal adalah kitab “Al Kharaj”.

Abu Yusuf merupakan fuqaha pertama yang memiliki buku (kitab) yang secara khusus membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik, khususnya tentang perpajakan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab Al-Kharaj mencakup berbagai bidang antara lain: tentang pemerintahan, keuangan negara, pertanahan, perpajakan, dan peradilan.