Apa yang salah dengan PPh Migas (1)
Nama : Indra Crisbi Irawan
Kelas : 1-J
Spes : D3 Pajak
No Telp : 082165055824
Apa yang salah dengan PPh Migas?
Jika kita mendengar kata migas maka yang terbayang adalah penjualan yang akan
menghasilkan banyak keuntungan. Tahukah anda bahwa Indonesia masih belum bisa
mengekplorasi, mengekploitasi, dan mengolah sumber – sumber migas secara mandiri.
Indonesia membutuhkan kontraktor yang dapat mengolah migas. Biasanya kontraktor tersebut
berasal dari luar negeri yang sudah memadai dari segi teknologi. Tentu saja tidak serta merta
kontraktor tersebut dapat membuat kebijakan sendiri mengenai migas. Mereka harus tunduk
pada kebijakan pemerintah Republik Indonesia mengenai tata cara kerja sama. Ada yang
dinamakan Kontrak Bagi Hasil atau biasa disebut PSC. Kontrak ini mengharuskan kontraktor
untuk membagi hasil keuntungan yang dinamakan cost recovery sebesar 85% untuk Negara
dan 15 % untuk kontraktor. Didalam 85% itu belum merupakan penghasilan yang kena pajak.
Maka karena kontraktor beroperasi di Indonesia maka harus dikenai PPh Migas. PPh Migas
merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar Indonesia. Dalam APBN tahun 2015
disebutkan penerimaan Negara dari sektor PPh Migas sebesar 88 Triliun.
PPh Migas (dalam triliun)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber
:
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS2013082811
1701.pdf diakses pada 26 Oktober 2015
Indonesia akan mempunyai banyak profit dari sektor ini dikarenakan banyaknya kontraktor yang
tertarik bekerja sama dengan Indonesia. Tapi banyak masalah yang mengiringi berjalannya
penarikan PPh Migas ke para kontraktor. Masalah itu timbul dari ketidakmampuan DJP untuk
mengelola dan mengontrol PPh Migas ini. Dengan system self-assessment yang berjalan DJP
jangan serta merta menghilangkan fungsi kontrol kepada para kontraktor. Terdapat banyak
kejanggalan dalam beberapa pelaporan kontraktor kepada DJP. Kita tahu bahwa penerimaan
85% tersebut diterima dari seluruh cost recovery yang didapat oleh kontraktor. Tapi selalu saja
setiap tahun selalu tidak mencapai 85% seperti kontrak. Kontraktor beranggapan bahwa pada
tahun 2012 telah disepakati bahwa tax treaty atau pajak berganda telah di bebaskan pada 30
negara – Negara yang memiliki kerjasama dengan Indonesia. Otomatis karena kontrak kerja
mengatakan bahwa 85% sudah termasuk segala pajak termasuk juga PPh migas yang
berganda. Kontraktor beranggapan 85% tersebut harus dikurangi karena tax treaty telah
dihapuskan. Dan masalah yang paling serius yaitu, DJP dan DJA saling menyalahkan dengan
masalah yang terjadi pada PPh Migas yang tidak sesuai target ini. DJP beranggapan bahwa
PPh Migas merupakan tanggung jawab DJA karena PPH Migas termasuk PNBP SDA Migas.
Padahal pada kenyataannya beda. DJA pun juga tidak mau disalahkan akan kejadian ini. Disini
dapat diambil kesimpulan bahwa kerja dari DJP dan DJA kurang sinergis. Masalah ini harus
segera diselesaikan oleh pemerintah sebagai mediator keduanya. Pemerintah pada tahun 2013
telah melakukan upaya mediasi dengan memasukkan BP Migas untuk membantu kerja dari
DJA dan DJP. Usaha itu ternyata berjalan dengan baik dengan semakin sinergisnya kerja DJP,
DJA dan BP Migas dalam mengatur dan mengelola PPH migas. Dibuktikan pada tahun 2015
pendapatan Negara dari PPh Migas naik 10% dari tahun 2014. Hal ini disambut positif oleh
pemerintah. Kita berharap besar pada peran kedua Direktorat Jenderal tersebut untuk
mensukseskan Target PPh Migas.
Kelas : 1-J
Spes : D3 Pajak
No Telp : 082165055824
Apa yang salah dengan PPh Migas?
Jika kita mendengar kata migas maka yang terbayang adalah penjualan yang akan
menghasilkan banyak keuntungan. Tahukah anda bahwa Indonesia masih belum bisa
mengekplorasi, mengekploitasi, dan mengolah sumber – sumber migas secara mandiri.
Indonesia membutuhkan kontraktor yang dapat mengolah migas. Biasanya kontraktor tersebut
berasal dari luar negeri yang sudah memadai dari segi teknologi. Tentu saja tidak serta merta
kontraktor tersebut dapat membuat kebijakan sendiri mengenai migas. Mereka harus tunduk
pada kebijakan pemerintah Republik Indonesia mengenai tata cara kerja sama. Ada yang
dinamakan Kontrak Bagi Hasil atau biasa disebut PSC. Kontrak ini mengharuskan kontraktor
untuk membagi hasil keuntungan yang dinamakan cost recovery sebesar 85% untuk Negara
dan 15 % untuk kontraktor. Didalam 85% itu belum merupakan penghasilan yang kena pajak.
Maka karena kontraktor beroperasi di Indonesia maka harus dikenai PPh Migas. PPh Migas
merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar Indonesia. Dalam APBN tahun 2015
disebutkan penerimaan Negara dari sektor PPh Migas sebesar 88 Triliun.
PPh Migas (dalam triliun)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber
:
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS2013082811
1701.pdf diakses pada 26 Oktober 2015
Indonesia akan mempunyai banyak profit dari sektor ini dikarenakan banyaknya kontraktor yang
tertarik bekerja sama dengan Indonesia. Tapi banyak masalah yang mengiringi berjalannya
penarikan PPh Migas ke para kontraktor. Masalah itu timbul dari ketidakmampuan DJP untuk
mengelola dan mengontrol PPh Migas ini. Dengan system self-assessment yang berjalan DJP
jangan serta merta menghilangkan fungsi kontrol kepada para kontraktor. Terdapat banyak
kejanggalan dalam beberapa pelaporan kontraktor kepada DJP. Kita tahu bahwa penerimaan
85% tersebut diterima dari seluruh cost recovery yang didapat oleh kontraktor. Tapi selalu saja
setiap tahun selalu tidak mencapai 85% seperti kontrak. Kontraktor beranggapan bahwa pada
tahun 2012 telah disepakati bahwa tax treaty atau pajak berganda telah di bebaskan pada 30
negara – Negara yang memiliki kerjasama dengan Indonesia. Otomatis karena kontrak kerja
mengatakan bahwa 85% sudah termasuk segala pajak termasuk juga PPh migas yang
berganda. Kontraktor beranggapan 85% tersebut harus dikurangi karena tax treaty telah
dihapuskan. Dan masalah yang paling serius yaitu, DJP dan DJA saling menyalahkan dengan
masalah yang terjadi pada PPh Migas yang tidak sesuai target ini. DJP beranggapan bahwa
PPh Migas merupakan tanggung jawab DJA karena PPH Migas termasuk PNBP SDA Migas.
Padahal pada kenyataannya beda. DJA pun juga tidak mau disalahkan akan kejadian ini. Disini
dapat diambil kesimpulan bahwa kerja dari DJP dan DJA kurang sinergis. Masalah ini harus
segera diselesaikan oleh pemerintah sebagai mediator keduanya. Pemerintah pada tahun 2013
telah melakukan upaya mediasi dengan memasukkan BP Migas untuk membantu kerja dari
DJA dan DJP. Usaha itu ternyata berjalan dengan baik dengan semakin sinergisnya kerja DJP,
DJA dan BP Migas dalam mengatur dan mengelola PPH migas. Dibuktikan pada tahun 2015
pendapatan Negara dari PPh Migas naik 10% dari tahun 2014. Hal ini disambut positif oleh
pemerintah. Kita berharap besar pada peran kedua Direktorat Jenderal tersebut untuk
mensukseskan Target PPh Migas.