Perusahaan Sebagai Separate Legal Entity

Perusahaan Sebagai Separate Legal Entity di Malaysia
By. M.Rifqinizamy Karsayuda
https://rifq1.wordpress.com/perihal/

Dalam kajian hukum perusahaan (company law), perusahaan diposisikan sebagai
separate legal entity, yaitu sebagai badan hukum yang harta serta beberapa hal
lainnya terpisah dengan para pemegang saham, maupun para direksinya. Prinsip
ini lahir sejak adanya Kasus Solomon v Solomon [1897]. Dalam kasus tersebut
Mr.Solomon mempunyai satu perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan
sepatu kulit. Perusahaan tersebut pemilik sahamnya terdiri dari Mr. Solomon
sendiri, istrinya dan empat orang anaknya serta satu orang lagi yang bukan bagian
dari keluarga Solomon.
Suatu ketika, perusahaan Solomon ini meminjam uang kepada pihak ketiga
dengan maksund untuk memperbesar usahanya, namun dalam perjalanannya
perusahaan Solomon ini justru bangkrut. Hal tersebut membuat pemilik saham
yang bukan bagian dari keluarga Solomon menggugat ke Pengadilan, karena
merasa dirugikan oleh keputusan yang dibuat oleh Mr.Solomon sebagai direksi.
Salah satu tuntutan dalam gugatan tersebut ialah agar Mr.Solomon mengganti
kerugiannya dengan harta pribadi Mr.Solomon, karena harta perusahaan sudah
habis untuk membayar hutang kepada pihak lain. Pemegang saham yang
menuntut tersebut mendalihkan perusahaan tersebut sama dengan perusahaan

milik keluarga Solomon, sehingga pada tempatnyalah keluarga Solomon
menanggung kerugian.
Dalil penggugat tersebut ditolak oleh pengadilan dan Pengadilan menyatakan
bahwa perusahaan merupakan entitas terpisah dari pemegang saham dan
direksinya. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai prinsip company as separaete
legal entity. Prinsip inilah yang menjadi pembeda antara perusahaan dengan
organisasi bisnis lainnya, seperti CV, Firma, Persekutuan Perorangan yang dalam
terminologi hukum kita dikenal sebagai perusahaan yang tidak berbadan hukum.
Dalam term di negara-negara commonlaw yang dimaksud dengan company
(perusahaan) sama dengan terminologi perseroan terbatas di Indonesia.
Sebagai entitas yang terpisah, ada beberapa ciri, sekaligus keistimewaan yang
dimiliki sebuah perusahaan dibanding organisasi bisnis lainnya, yaitu :
1. Harta perusahaan (share) terpisah dari harta-harta pemegang saham dan
direksinya ;
2. Jika terjadi bankrap (bangkrut), maka harta perusahaan saja yang
digunakan untuk membayar utang-utang maupun kewajiban lainnya
kepada para pihak ;
3. Dalam melaksanakan perjanjian dengan pihak lain digunakan nama
perusahaan tersebut, bukan nama direksi maupun para komisaris. Dalam
konteks ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh sebuah

perusahaan, yaitu :

a. Dapat membuka rekening di Bank atas nama perusahaan;
b. Dapat membeli berbagai macam property, seperti tanah, mobil dan
lainnya atas nama perusahaan;
c. Dapat berhutang kepada berbagai pihak termasuk institusi-institusi
keuangan atas nama perusahaan.
1. Dapat melakukan gugatan, maupun digugat di Pengadilan. Dan dalam
beberapa hal dapat dikenakan sangsi pidana.
2. Perusahaan menjadi sesuatu yang berterusan dan dapat diwariskan. Ia
tidak tergantung dari panjangnya umur pendiri, atau hal-hal yang berkaitan
dengan pendirinya.
3. Mendapatkan beberapa keistimewaan dalam peruntukkan perundangundangan.
Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa hal menyangkut prinsip company as
separate legal entity. Pertama tentang kekaburan, sekaligus keburukan prinsip ini,
kedua tentang beberapa hal yang menjadi pengecualian (exceptions) berdasarkan
hukum perusahaan yang ada di Malaysia dibawah peruntukkan Akta Syarikat
tahun 1965 (company act 1965).
Beberapa kekaburan
Prinsip tentang perusahaan sebagai entity hukum yang terpisah sebagaimana ciricitinya diatas sesungguhnya memiliki beberapa kekaburan, sekaligus juga

kelemahan dari konsep ini.
Pertama : Dalam konsep ini dikatakan bahwa perusahaan adalah entity yang
berdiri sendiri, sementara bentuk dari perusahaan tersebut sangat immateriil.
Beberapa pertanyaan dapat diajukan disini, seperti siapa sesungguhnya
perusahaan itu ?. Jika ia terpisah dari direksi dan para komisarisnya, mengapa
dalam setiap kontrak perusahaan selalu diwakilkan oleh para direksinya?. Dalam
konteks demikian mengapa perusahaan tidak dinyatakan sebagai sebuah institusi
yang menyatu saja dengan pemegang saham, maupun manajemennya.
Kedua : Sebagai pihak yang selalu mewakili perusahaan, pihak manajemen
pastilah memiliki subjektivitas. Dalam hal perjanjian tertentu misalnya sulit untuk
membedakan sejauh mana klausul-klausul yang disampaikan oleh pihak
manajemen atas nama perusahaan lebih memihak kepentingan perusahaan atau
bahkan kepentingan para manajemen itu sendiri. Dalam konteks ini, prinsip
company as separate legal entity semakin kabur.
Ketiga : Sebagai sebuah institusi yang berdiri sendiri, perusahaan memiliki hakhak yang amat terbatas, yaitu sebatas apa yang tertera dalam memorandum atau
AD/ART. Hal ini berbeda dengan badan hukum lainnya, seperti orang yang
memiliki hak yang cukup besar, kendati terdapat beberapa pembatasan pula.
Beberapa Pengecualian

Beberapa pengecualian terhadap prinsip company as separate legal entity ini

sebagian tercantum dalam Akta Syarikat 1965 dan akta lainnya di Malaysia.
Sebagian lain diatur sebagai bagian dari common law.
A. Beberapa hal yang diatur dalam akta/statuta
Teradapat beberapa hal yang diatur di dalam akta-akata di Malaysia yang
merupakan pengecualian dari prinsip ini, yaitu :
1. Pengurangan Bilangan Pendiri. Dalam s.36 Akta Syarikat 1965
disebutkan bahwa pendirian perusahaan minimal dilakukan oleh 2
orang. Sehingga jika terjadi pengurangan atas bilangan pendiri,
dikarenakan yang bersangkutan menarik diri atau meninggal dunia,
maka secara hukum syarat pendirian tersebut batal demi hukum.
Akibatnya, perusahaan tersebut tidak lagi sebagai entity yang berdiri
sendiri, melainkan sebagai sebuah organisasi bisnis yang tidak
berbadan hukum, layaknya CV, Firma dan Persekutuan Perorangan
yang dikenal dalam terma hukum dagang di Indonesia.
2. Berbisnis dengan cara menipu. Dalam s 304 ditegaskan sebuah
perusahaan akan menjadi hilang haknya sebagai entitas yang berdiri
sendiri, jika perusahaan tersebut didapati melakukan sebuah bisnis
dengan cara yang curang. Proses pengujiannya tentu saja melalui
Pengadilan yang berwenang. Jika hal ini terjadi, maka secara otomatis
berbagai kewajiban perusahaan menjadi kewajiban para pemegang

saham dan manajemannya.
3. Adanya diskripsi sebagaimana diatur dalam s 121 (2) akta syarikat.
Yang dimaksud dengan diskrepsi sesungguhnya adalah adanya
kelalaian yang dilakukan oleh pegawai atau para pihak dalam sebuah
perusahaan dalam konteks transaksi tertentu, dimana dalam transaksi
tersebut para pihak yang mewakili perusahaan itu tidak mencantumkan
nama perusahaan. Jika transaksi tersebut mengandung unsur kerugian,
taua terdapat gugatan atas transaksi dimaksud, maka tanggung jawab
terletak pada para pihak tadi, bukan kepada perusahaan.
4. Hal lain yang menjadi pengecualian dari konsep ini ialah dalam
hubungan antara perusahaan induk dan anak-anak perusahaannya
dalam konteks holding company. Perusahaan induk diberikan
kewenangan untuk mengawal anak perusahaannya dalam beberapa hal,
termasuk dalam keuangannya, sehingga tanggung jawab atas anak
perusahaan tersebut berada pada perusahaan induk. Hal ini merupakan
pengecualian dari hubungan anatara perusahaan induk dan anak
perusahaan yang lazimnya diakui sebagai entiti yang berasingan.
Parameter yang digunakan sebagai pengecualian ini adalah adanya
kewenangan “mengawal” oleh perusahaan induk. Adapun yang
menjadi ukuran “mengawal” dapat dilihat dari ketentuan s.5 (1) Akta

syarikat 1965 Malaysia, yaitu jika ;
(a) Syarikat Induk

(i) Mengawal komposisi lembaga pengarah anak syarikat tersebut;
(ii) Mengawal lebih separuh kuasa mengundi yang dipunyai oleh
anak syarikat;
(iii) Memegang lebih separoh modal syer yang dikeluarkan oleh
anak syarikat.
(b) Anak kepada anak syarikat merupakan anak syarikat kepada
syarikat induk
Sekiranya suatu perhubungan antara syarikat induk dengan anak
syarikat wujud dibawah seksyen 5 maka peruntukan-peruntukan
dalam akta syarikat menganggap kedua-duanya satu entiti dan
tidak lagi menjadi entiti yang berasingan. Dalam hal ini, perkara
yang penting ialah berkaitan dengan akaun syarikat induk yang
perlu melaporkan penyata akaun dengan menyatukan atau
menggabungkan akaun anak syarikat untuk dijadikan satu. Dalam
penyata akaun itu juga, syarikat induk dikehendaki memasukkan
nama anak syarikat
A. Interpretasi kehakiman

Sebagai bagian dari negara yang menggunakan tradisi common law,
Malaysia menghargai segala putusan Pengadilan, termasuk dalam konteks
pengecualian terhadap prinsip separate legal entity ini. Terdapat beberapa
interpretasi pengadilan yang tentu saja berasal dari beberapa kasus yang
dapat dijadikan rujukan.
a. Bertentangan dengan UU
Salah satu alasan yang pernah digunakan oleh Pengadilan sebagai
sebuah pengecualian dari prinsip ini ialah adanay sesuatu yang
bertentangan dengan UU. Hal ini terlihat dalam kasus Merchendice
Transport Ltd v BTC. Pengadilan menyatakan Merchendice telah
mendapatkan lesen pengangkutan yang bertentangan dengan UU,
sehingga ia bukan merupakan perusahaan yang bersifat persendirian.
b. Penipuan
Dalam kasus Re Darby, Ex Parte Brougham didapati bahwa suatu
perusahaan ditumbuhkan hanya untuk mengeruk keuntungan dari
publik dengan cara menjual saham-sahamnya. Keuntungan tersebut
dibagi-bagikan diantara beberapa pemegang saham saja, salah satunya
Darby. Dalam perjalanannya perusahaan tersebut bankrup dan tidak
dapat membayar utang-utangnya.
Pihak yang merasa dirugikan pun menuntut ke Pengadilan. Dan

pengadilan menyatakan bahwa darby harus turut membayar,
dikarenakan ia telah melakukan penipuan untuk menumbuhkan satu
perusahaan guna kepentingannya sendiri.
c. Holding Company

Sebagaimana disebutkan diatas, terdapat pengecualian prinsip
company as separate legal entity terhadap perusahaan yang berbentuk
holding company. Setidaknya ada dua putusan pengadilan yang sering
dijadikan rujukan di Malaysia dalam konteks ini, kedua kasus tersebut
ialah kasus DHN Food Distributor Ltd v London Bought of Tower
Hamlet dan Kasus Hotel Jaya Puri v National Union of Hotel.
A. Agensi
Sebagai sebuah agensi semata, perusahaan demikian tidak dipandang
sebagai sebuah perusahaan yang berdiri sendiri dan karenanya prinsip
sebagai entiti yang berasingan dikesampingkan.
Terdapat dua kasus yang dapat menggambarkan situasi ini, yaitu dalam
kasus The Abbey . Dalam kasus ini sebuah perusahaan hendak menjual
sebidang tanah, namun setelah ditelusuri tersebut telah diamanahkan untuk
digunakan sebagai tanah sekolah, sehingga tidak dapat diklaim sebagai
tanah milik perusahaan.

Kasus lain adalah kasus Litterwood. Dalam kasus ini sebuah anak
perusahaan ingin mengalihkan harta-nya kepihak lain, namun ternyata
harta tersebut semata-mata dipandang sebagai pinjaman atau amanah dari
perusahaan induknya, sehingga harta tersebut tidak dapat dialihkan kepada
pihak lain oleh anak perusahaan tersebut.
A. Kepentingan Umum
Parameter terakhir yang dibenarkan sebagai dasar pengecualian adalah
adanya kepentingan umum. Di negara-negara common law, parameter
yang dijadikan yuresprudensi dalam konteks ini adalah atas alasan bahwa
perusahaan tersebut merupakan musuh pada saat perang berlangsung atau
sebaliknya.
Kasus yang terkenal ialah kasus Daimler Co.Ltd v Continental Tyre and
Rubber Co.Ltd [1916]. Kasus ini terjadi di Inggris, dimana dalam kasus ini
CTR adalah perusahaan yang didirikan di Inggris, namun seluruh
pemegang saham dan direksinya adalah orang Jerman bahkan menetap di
Jerman.
Suatu saat CTR mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk menuntut
pembayaran hutangnnya. Hal ini dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi
Inggris, namun oleh House of Lord yang bertindak sebagai Mahkamah
Agung Inggris dinyatakan CTR tidak berhak sebagai para pihak di

Pengadilan Inggris, karena pada saat itu terjadi perang antara Inggris dan
Jerman pada Perang Dunia I.
Parameter ini memang tidak relevan lagi digunakan saat ini, namun ia
tetap menjadi sebuah yurisprudensi yang menarik dalam kajian hukum.
Penutup

Perusahaan sebagai salah satu organisasi bisnis mendapat tempat istimewa dalam
hukum perusahaan. Hal ini berasal dari lahirnya prinsip company as separate legal
entity yang lahir dari Kasus yang sangat terkenal Solomon v Solomon [1897].
Kendati demikian terdapat beberapa kekaburan dalam prinsip ini, serta beberapa
pengecualian (exception) atas prinsip ini.