Pendapat saya mengenai politik saat ini

ILMU POLITIK

TUGAS MENGAMATIK POLITIK

Diajukan untuk pembelajaran Ilmu Politik yang bertema mengamati politik yang terjadi saat ini
dan berpendapat damai mengenai politik yang terjadi saat ini, dan mencari referensi definisi
politik yang sesuai menurut anda di inonesia.
.

Disusun oleh :
Ondika Juli Fitra

01413144691

KOMPETENSI KEAHLIAN MANAGEMENT TEHNIK STUDIO PRODUKSI
( MATEKSTOKSI )

SEKOLAH TINGGI MULTI MEDIA “ MMTC “ YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2014


Rusandi Kantaprawira
Budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik
peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiaran politik
masyarakat maupun pemerintah(an), karena system politik itu sendiri adalah interrelasi antara
manusia yang menyangkut soal kekuasaan aturan dan wewenang (Kantapwira 1999:26)
Menurut saya budaya politik yang di kemukakan oleh Rusandi Kantaprawira sangat lah cocok
untuk budaya politik Indonesia saat ini, karena Indonesia saat ini mengalami politik yang bisa di
bilang tidak setabil, politikus – politikus kini saling berperang mengunakan argument yang
menurut mereka paling benar, tampa melihat situasi masyarakat yang kini lambat laun mulai
mengerti situasi dan kondisi bangsa ini, sama hanya dengan berita di bawah ini yang saya ambil
dari sebuah situs masyarakat yang mengenai Orientasi Menolak Pilkada Langsung.
Orientasi Menolak Pilkada Langsung
Sumber http://www.tempokini.com/2014/09/orientasi-menolak-pilkada-langsung/
———————————————————————————————————————
Ancaman dini, meng-impeach presiden Jokowi-JK ditengah jalan bisa dimengerti. Kekalahan
koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta, sampai saat ini belum bisa menerima
dengan legawa jiwa besar. Koalisi KMP terkesan ingin memainkan politik balas dendam dengan
berbagai cara.
Soalnya, kakalahannya, masih membekas dalam jiwa pendukung KMP. Politik, sebagai seni
memerintah, seni kemungkinan, seni diplomasi, seni komunikasi., telah berubah menjadi


pertarungan harga mati. Politik, tidak lagi ditempatkan sebagai salah satu metoda saja untuk
mensejahterakan rakyat secara kolektif, tapi hanya sebagai are pertarungan yang tiada habisnya.
Disisi lain, kalangan yang berada di luar lingkar politik, tidak berpolitik seolah dinafikan dan
harus menerima produk politik. Rakyat, tentu tidak menghendaki aksi balas dendam politik
terjadi secara terus menerus yang menimbulkan efek kerusakan pada konstruksi demokrasi.
Berbagai scenario Koalisi Merah Putih yang melemahkan pemerintahan Jokowi-JK yang
berujung pada upaya menjatuhkan di tengah jalan, tengah disusun dan dilakukan di berbagai
fase poltik. Ujicoba untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap presiden terpilih dan
kekuatan yang mendukungnya, akan terus ditempuh, dengan dalih keseimbangan politik, fungsi
pengawasan, dan bentuk retorika politik lainnya.
Sikap keras, politisi yang bergabung dalam KMP mulai dari soal subsidi BBM, mobil dinas
menteri 9,9 miliar rupiah, uang rapat menteri 18 triliun, RUU Pilkada, sengaja didisain untuk
memancing konflik ketegangan di parlemen, serta membaca konstelasi nasional.
Ketegangan, soal RUU Pilkada juga telah melebar dan menarik kepada sejumlah kepala daerah
untuk bereaksi. Kepala daerah, gubernur, bupati, wali kota yang terpilih secara langsung, juga
terlibat aksi silang pendapat tentang Pilkada dikembalikan ke DPRD.
Ptl Gubernur DKI Jakarta, Ahok bahkan memilih mundur dari Partai Gerindra yang
mengusungnya. Karena tidak sepahama dengan partai. Bupati Bogor Arya Bima memilih
berbeda dengan sikap PAN yang mendukung Pilkada kembali ke DPRD, Nur Mahmudi Ismail,

Ridwal Kamil, dan kader-kader partai yang telah sukses memenangkan dalam pilkada langsung
tetap konsisten mendukung Pilkada langsung, meski berseberangan dengan partai.

Memang benar bahwa pilkada langsung juga telah mendorong praktek-praktek koruptif dalam
pengelolaan kebijakan pemerintah. Sampai hari ini, telah tercatat, sedikitnya, 332 kepala daerah,
bupati wali kota dan gubernur jadi tersangka, 86 persen karena korupsi, selebihnya kesalahan
administari dalam mengelola anggaran daerah.
Selain itu, Pemilukada langsung juga masih tetap melanggengkan dinasti politik. Banten, sebagai
contohnya. Klan keluarga Ratu Atut yang kini vonis 4 tahun penjara. Hampir semua keluarga,
Ratu Atut berhasil meraih kemenangan di kabupaten-kabupaten di wilayah propinsi Banten.
Peraturan tentang Pilkada lansung juga telah dipakai untuk melanggengkan kekuasaan di daerah,
semisal suami yang menjadi bupati sudah selesai masa periodenya, istrinya mencalonkan diri,
atau sebaliknya. Atau pamanya, anaknya, dan seterusnya. Sehingga, demokrasi terkesan berjalan
pada level prosedural saja, bukan subtantif.
Pilkada langsung juga telah dituding sebagai biang politik mahal high cost. Hampir 14 triluan
habis untuk Pilkada. Pilkada langsung juga mendesain, pimpinan parpol tidak lagi bisa
mengendalikan kepala daerah yang terpiling langsung. Istilahnya, partai sebagai kendaraan
pemilu langsung telah diludahi oleh kadernya sendiri.
Elit partai di structural maupun jaringannya, lah yang pantas terduga sebagai sumber utama
biaya politik Pilkada langsung menjadi mahal. “Biaya politik yang besar disebabkan kandidat itu

sendiri dan salah satu yang paling determinan partai politik itu menjadi alat untuk menghisap
dana dari kandidat,” kata Donald, Peneliti ICW, di Jakarta, Selasa (9/9).

Dalam catatan ICW, biaya politik Pilkada langsung menjadi mahal karena partai terdapat
semacam listing fee, sukses fee, dan biaya “jual beli perahu” atau working capital yang
dikeluarkan kandidat kepada parpol agar dipilih.
Selain itu, partai juga membutuhkan biaya kampanye, logistic, penggerak mesin partai, biaya
jaringan im sukses, relawan, dan biaya politik lainnya yang menjadi mata rantai pelaksanan
Pilkada.
Pertanyaannya, kemana uang triliunan di daerah itu mengalir? Siapa yang paling banyak
menikmati uang sebesar itu? Belum lagi dana yang berasal dari simpatisan, pendukung utama
parpol atau kandidat? Bukankah dana itu masuk ke kantong elit parpol dan jaringannya? Partai
mana yang paling korup selama 10 tahun ini?
Opsi kembali Pilkada digelar di DPRD, bukan hanya sebebagai langkah mundur dalam
pengembangan demokrasi. Pemilukada di DPRD, juga secara historis telah terbukti gagal
melakukan pembangunan, pemerataan distribusi kekuasaan, kebijakan, ketertinggalan mayoritas
daerah di luar pusat peemrintah.
Disamping itu,. sangat sulit, tokoh muda yang populer dimata rakyat dapat tampil dalam
pemilihan kepala daerah. Kepala daerah saat Pilkada di DPRD hanya menjadi soal bagi-bagi kue
kekuasaan di tingkat elit tanpa sepengetahuan rakyat sebagai pemegang kedauatan. Rakyat hanya

menjadi bagian dari pembodohan politk secara sistematis bagi parpol yang berkuasa atau
menang.

Sementara, dalam Pemilukada langsung peluang tampilnya para aktivis politik, pegiat
demokrasi, kalangan profersional, dan tokoh masyarakat bisa tampil, meski ada yang harus
menerima kekalahan dan kemenangan.
Pikada di DPRD terbukti tidak mampu menghindari praktek demokrasi kaum penjahat.
Demokrasi hanya milik segelintir orang. “Pilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan korupsi
demokrasi. Walaupun dengan dalih apapun. Kepala daerah terpilih potensial ATM anggota
DPRD setempat. Anggota DPRD merasa lebih leluasa memeras kepala daerahnya,” ujar Ketua
KPK Busyro Muqodas.
Selain itu, Pilkada di DPRD, akan menempatkan pimpinan dan anggota dewan, mudah sekali
melakukan praktek koruptif. Intervensi elit parpol ke daerah, efektif untuk korup, karena kepala
daerah hanya bertanggung jawab pada DPRD, otomatis ruang partisipasi publik tidak terbuka
bagi rakyat. Rakyat, yang sering dijadikan sebagai “tema kampanye” hanya menjadi korban
kebijakan, tanpa bisa melakukan pembelaan.
Skenario kualisi merah putih menguasai parlemen dan DPRD. Karena saat ini, Koalisi Merah
Putih menguasai mayoritas DPRD. Kalkulasi poltik koalisi merah putih, mengembalikan
Pemilukada ke DPR, bukanlah persoalan ekonomi politk pembiayaan, politik yang selama ini
menjadi materi rasionalisasi atau alasan penolakan Pilkada langsung.

Dalam hitungan, factual, Koalisi Merah Putih sampai saat ini, menguasai 63 persen kursi DPRD
di kabupaten dan kota secara nasional. Sebaliknya, koalisi Jokowi JK hanya cuma 37 persen.
Jika 63 persen merata di hampir wilayah basis KMP dan

partai pendukung Jokowi-JK, maka

pemilihan kepala daerah lewat DPRD dapat dimenangkan oleh KMP.

Jika, DPR bisa mengesahkan RUU Pilkada Langsung, dengan aturan main, Pilkada kembali ke
DPRD, maka Koalisi Merah Putih akan dengan mudah melakukan penolakan menyeluruh,
perlawanan menyeluruh dengan berbagai rekayasa argumentasi dan langkah yang terstruktur,
sistematis dan massif terhadap kebijakan kebijakan pemerintah pusat, melalui kekuatan politik di
daerah.
Sama halnya, saat Presiden SBY ditolak oleh gubernur, walikota dari non Partai Demokrat saat
melakukan kenaikkan BBM. Presiden yang berasal dari Partai Demokrat itu, ditentang dan
dilawan oleh gubernur dan bupati, yang berbeda parpol. Jadi, masalahnya, adalah komando
presiden tidak bisa efektif berlaku bagi menteri, gubernur, bupati atau wali kota yang berbeda
partai, bukan pada soal sistem lama atau baru. Terlebih, jika masalah ini dilihat dari sikap
inkonsisten elit politik, maka masalahnya, adalah etika politik.
Seperti kata bijak, “politik tanpa etika adalah buta, etika tanpa politik adalah kosong, “

Konsisten dalam inkonsiten, plin-plan, kebingungan elit politik, seperti kehilangan orientasi
dalam memimpin setelah kalah, menjadi perilaku elit yang biasa ditonton oleh rakyat. Jadi, kata
yang sering dialamatkan ke elit, adalah omong kosong, jika elit partai memikirkan masa depan
bangsa dan negara.
Kini, pantaslah, didengar bahwa salah sedikit saja, persiden terpilih Jokowi-JK dalam mengelola
kebijakan, akan mendapat serangan, bahkan bisa jatuh di tengah jalan, setidaknya, pemerintah
dibuat tidak efektif, stagnan.
Nah itu lah berita yang saya baca mengenai politik saat ini, saya akan berpendapat sedikit
mengenai politik yang terjadi di Indonesia saat ini.
———————————————————————————————————————

Politik, tidak lagi ditempatkan sebagai salah satu metoda saja untuk mensejahterakan rakyat
secara kolektif, kini politik lebih mirip dengan perdagangan sapi.yang dimana masyarakat
menjadi korban cambuk politik yang kini menjadi jadi jadii.
Memang kini bangsa Indonesia belum dapat menemui system yang pas untuk mengsejahterakan
masyarakatnya, alangkah lebih baik kita mengkaji kembali sejarah sejarah bangsa kita dulu,
bangsa yang sangat menjujung tinggi musyawarah damai, gotong royong, persaingan sehat, dan
politik yang sehat, dan dulu kita pernah di juluki macan asia, bukan kah karna kita saling
mengobati bukan saling meracuni, mungkin saat kini kaum kaum di atas sana banyak yang
meracuni karekter presiden terpilih Jokowi-JK, karna untuk kepentingan sendiri atau kelompok.

Kita bisa menilai dua system ini memang memiliki kesalahan, seperti yang sudah di utarakan di
atas banyak pemilihan langsung yang telah terfonis tersangka koruopsi bahkan sedikitnya, 332
kepala daerah, bupati wali kota dan gubernur jadi tersangka, 86 persen karena korupsi,
selebihnya kesalahan administari dalam mengelola anggaran daerah. Bukan kah itu menutup
korupsi korupsi yang tersetruktur apa bila pemilihan melalui DPRD, bukan kah meraka yang
tersangka banyak dari kaum kaum DPRD ? bahkan ketua MK menjadi calon selanjutnya, dan
kini Rakyat hanya menjadi bagian dari pembodohan politk secara sistematis bagi parpol yang
berkuasa atau menang.
Kini politik hanya di kuasai oleh orang orang yang berkuasa atau menang, dan untuk kaum yang
kalah menjadi anarki karna kurangnya kursi untuk mereka kuasai, bisa saja pemilihan Pilkada
DPRD menempatkan pimpinan dan anggota dewan mudah sekali melakukan praktek koruptif.
Intervensi elit parpol ke daerah, efektif untuk korup yang tersetruktur dan terorganisir. Sehingga
rakyak menjadi korban sumpah palsu dan otoritas partisipasi publik tidak terbuka bagi rakyat.

Rakyat yang sering dijadikan sebagai “tema kampanye” hanya menjadi korban kebijakan, tanpa
bisa melakukan pembelaan.
“lebih baik menumbuhkan tikus – tikus padi dari pada tikus tikus berdasi” itu ungkapan saya
yang tepat untuk mengabarkan pejabat pejabat yang menjadi tersaka korupsi, mereka
mengorbakan jalur sukses sector berbagai bidang, mengangap rakyat seperti bocah puber yang
tidak mengerti apa apa dan tidak bisa mengtorsir informasi.

Dalam dua system ini memang memiliki kelemahan yang bisa berdampak sangat besar, tetapi
apakah kita selalu melihat kelemahan itu menjadi racun untuk menjatuhkan sesama bangsa
Indonesia ? alangkah lebih baik kita mengkaji pemimpin pemimpin terdahulu, pemimpin yang
sangat berjasa untuk bumi pertiwi ini, beliau rela mengorbankan harta,waktu,dan nyawanya
untuk negara ini. Bukan kah mereka yang saling berebut kursi itu juga pemimpin ?
Pemimpin tampa etika dan hati nurani sama hanya dengan tong yg berisikan kotoran ternak,
karna pemimpin yang tidak memliki etika dan hati nurani bisa saja melululantahkan 1 negara
dengan mudahnya, karna pemimpin lah yang menjadi pelopor dan segala otoritas yang menjadi
keputusannya
Kini yang menjadi pertannyaan, ketika pemimpin ideal telah terpenuhi apakah system politiknya
telah memiliki etika ? Seperti kata bijak, “politik tanpa etika adalah buta, etika tanpa politik
adalah kosong, “ system yang lebih terlihat seperti plin-plan, kebingungan elit politik, seperti
kehilangan orientasi dalam memimpin setelah kalah, menjadi perilaku elit yang biasa ditonton
oleh rakyat
Mungkin kini kemunduran demokrasi di Indonesia apa bila memang pemilihan gubernur dan
walikota di pilih oleh DPRD, tetapi apakah kaum rakyat jelata mengerti situasi itu ? mungkin

yang lebih mereka kenal bagai mana mencari makan besok, bagai mana anak anakku kelak,
bagai mana kesehatan, pendidikan yang murah untuk mereka. Masih banyak PR Negara ini tidak
hanya demokrasi yang damai dan kaum elit yang saling menjatuhkan, tetapi pembagunan yang

merata, tunjangan untuk ‘sesepuh’ Negara yang telah mengabdi untuk Negara, kesejahteraan,
fasilitas yang memadai, serta ekomoni tidak hanya harta tetapi juga etika.
Masih banyak di bawah jembatan, gelandangan, atau mungkin biasa di sebut “RT 0 RW 0” oleh
kaum seniman teater. Apa mereka bisa menikmati fasilitas KTP ? tunjangan kesehatan gratis ?
dan bantuan bantua lainnya. Masih pantaskah mereka di sebut kaum perwakilan rakyat yang
hanya kerjanya memikirkan kekuasaan yang pekerjaannya ngorok di kursi saat rapat.
Masih banyak dinding - dinding yang terbuat dari daun, serta langit menjadi atapnya, bahkan
dampal kaki sebagai alat mereka berpijak untuk menempuh pendidikan agar hidup mereka layak
di masa depan, bahkan mereka bercita cita menjadi pemimpin bangsa kelak,
Politik mamang kunci system agar terjalin kedaulatan, dan faktor faktor yang menunjang
berbagai aspek di atas. Tetapi apakah pantas politik menjadi tameng pembelaan kekuasaan
serakah yang hanya memperkaya diri dan sanak saudara.
Rakyat rindu akan politik bersih, pemimpin yang beretika, kemusyawarahan yang damai, gotong
royong saling menutupi kekurangan, serta keadilan yang merata bagi setiap kaum yang berpijak
di negri ini.
Penulis,
Ondika Juli Fitra
Matektoksi B