BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengantar - Analisis Partikel Pemarkah Emotif Bahasa Jepang ; Satu Kajian Pragmatik

BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

  2.1 Pengantar

  Pada bagian ini diuraikan konsep, kerangka teori, dan kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari teori-teori yang mendasari dan penelitian-penelitian yang relevan.

  2.2 Pragmatik

  Sistem bahasa dihubungkan dengan alam diluar bahasa oleh apa yang disebut pragmatik. Dalam hal ini, Sudaryat (2004 : 1) menyatakan bahwa pragmatik berfungsi untuk menentukan serasi tidaknya sistem bahasa dengan pemakaian bahasa dalam komunikasi. Hal serupa dinyatakan oleh Leech (1997 : 1) bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi.

  Menurut Leech (1997 : 5-6), pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, dimana, bila mana, bagaimana. Kemudian, Leech (1997 : 8) mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).

  Hal senada pun disampaikan oleh Levinson (1983 : 9) yang menyebutkan bahwa pragmatik sebagai kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa yang merujuk pada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya. Lebih lanjut, Levinson menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks- konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.

  Kecenderungan kajian pragmatik, seperti yang dikemukakan oleh Thomas (1995: 2), terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker

  ); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif,

  meaning menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation).

  Berbeda dengan pemikiran Thomas, Yule (1996 : 3-4) berpendapat bahwa pragmatik mencakup empat ruang lingkup, yaitu studi tentang maksud penutur, studi tentang makna kontekstual, studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana suatu konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.

  2.3 Konteks Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Konteks bahasa menurut Halliday dan Hasan (1992: 14) adalah sebagai konteks internal wacana (internal discourse context) sedangkan segala sesuatu yang melingkupi wacana, baik konteks situasi maupun konteks budaya sebagai konteks eksternal wacana(external discourse contex). Hal senada dikemukakan oleh Saragih (2003 : 4) bahwa aspek-aspek internal teks dan segala sesuatu yang secara internal melingkupi teks. Dengan demikian, secara garis besar, konteks dapat dibedakan atas (1) konteks bahasa dan (2) konteks luar bahasa (extralinguistic context), yang disebut

  „konteks stuasi‟ dan „konteks budaya‟. Lebih lanjut, Saragih (2003: 4) juga memaparkan bahwa konteks merupakan wahana terbentuknya teks. Tidak ada teks tanpa konteks. Konteks mengacu pada segala sesuatu yang mendampingi teks.

  Dalam kaitannya dengan studi pragmatik, Cruse (2006 : 136) menyebutkan bahwa bidang makna yang dikaji dalam studi pragmatik adalah makna eksternal, yaitu makna yang terikat konteks (context dependent), yaitu satuan-satuan bahasa dalam suatu tuturan tersebut dapat dijelaskan apabila ada suatu konteks, yaitu konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, dimana, dan apa tujuannya sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Tanpa memahami konteks, lawan tutur bahasa akan kesulitan memahami maksud penutur. Konteks di sini meliputi tuturan sebelumnya, penutur dalam peristiwa tutur, hubungan antar penutur, pengetahuan, tujuan, setting sosial dan fisik peristiwa tutur.

  Singkatnya, makna dalam pragmatik merupakan suatu hubungan yang melibatkan tiga sisi (triadic relation) atau hubungan tiga arah, yaitu bentuk, makna, dan konteks.

2.3.1 Konteks Situasi

  Apabila menelaah dari segi konteks, konteks situasi memiliki peran yang sangat besar untuk memahami teks. Hal senada dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1992 : 62) yang mengemukakan bahwa konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena konteks ini langsung berhubungan dengan teks atau bahasa, dengan kata lain konteks situasi adalah pintu konteks sosial kepada bahasa.

  Lebih lanjut lagi, Halliday (1985:9-10) mengemukakan bahwa terdapat prinsip-prinsip tertentu yang bisa digunakan untuk memilih cara yang memadai untuk mendeskripsikan konteks situasi di balik kegagalan yang bisa muncul dalam mengertikan peristiwa komunikasi. Prinsip sederhana yang memungkinkan berhasilnya suatu komunikasi tersebut adalah berupa kemampuan kita untuk mengetahui apa yang akan dikatakan seseorang. Kita membuat perediksi secara tidak sadar dan prosesnya secara umum di bawah tingkat kesadaran. Prediksi ini bisa dimungkinkan melalui konteks situasi.

  Pada bagian lain, Halliday (1985:45) menyatakan bahwa semua penggunaan bahasa memiliki suatu konteks. Ciri-ciri tektual memungkinkan siatuasi wacana menjadi koheren tidak saja dengan dirinya sendiri tetapi juga dengan konteks situasinya. Teks merupakan suatu contoh proses dan produk dari makna sosial dalam kontekssituasi tertentu dan konteks situasi terbungkus dalam teks melalui hubungan sistematik antara lingkungan sosial di satu pihak dan pengorganisasian fungsi bahasa di pihak lain.

  Disamping itu, analisis konteks situasi dapat memberikan makna yang cukup besar terhadap teks terjemahan karena terjadinya pergeseran makna. Apabila konteks budaya merupakan dasar bagi pemahaman makna teks, maka konteks situasi dapat dipandang sebagai pembatas makna.

  Konsep konteks situasi Halliday mencakup tiga aspek, yakni medan wacana (field of discourse); pelibat wacana (tenor of discourse) ; dan sarana wacana (mode of discourse).

  Medan wacana (field of discourse) mengacu pada apa yang terjadi pada hakikat tidak sosial yang terjadi, dalam masalah apa partisipan terlibat dan bahasa menjadi komponen yang esensial. Dapat dikatakan bahwa medan wacana merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan- satuan bahasa itu muncul, yakni apa yang terjadi dengan seluruh proses, partisipan, dan keadaan.

  Pelibat wacana (tenor of discourse) mengacu pada siapa yang terlibat, yakni partisipan, status, dan perannya, termasuk jenis hubungan peran yang dimiliki satu sama lainnya, baik yang bersifat permanen atau temporer, status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain. Dapat dikatakan bahwa pelibat wacana merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Jarak sosial terkait dengantingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak.

  Sarana wacana (mode of discourse) mengacu pada peran yang dimainkan oleh bahasa, yakni apa yang diharapkan oleh pelibat dari penggunaan bahasa pada situasi tertent, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau lisan.

  Penelitian ini memfokuskan pada penelaahan partikel pemarkah emotif berdasarkan konteks situasi percakapan, maka digunakan konteks situasi dianalisis dengan medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Dengan analisis konteks melalui medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana, dapat diketahui hubungan antara makna emotif yang ditandai oleh suatu partikel dengan konteks situasi percakapannya. Adapun keseluruhan sarana wacana dalam penelitian ini berupa bahasa lisan dalam bentuk dialog yang dituliskan.

2.4 Partikel Partikel merupakan salah satu komponen penting dalam bahasa Jepang.

  Dengan adanya partikel pada suatu kalimat, maka dapat diketahui makna kalimat tersebut. Sutedi Partikel (joshi) menurut Sutedi (2008 : 44) yaitu kata bantu (partikel), tidak bisa berdiri sendiri, dan tidak mengalami perubahan bentuk.

  Partikel atau joshi dalam bahasa Jepang menunjukkan hubungan kata dengan kata lain dalam keseluruhan kalimat dan memberikan makna atau nuansa tertentu.

  Beberapa partikel memiliki padanan dalam bahasa lain seperti bahasa Inggris, ada yang memiliki fungsi yang sama dengan preposisi dalam bahasa Inggris, tetapi partikel juga dapat berfungsi sebagai post-position karena partikel tersebut selalu mengikuti kata yang dilekatinya. Ada juga partikel yang memiliki fungsi khusus/tertentu yang tidak terdapat dalam bahasa Inggris (Japanese.about.com). Karena banyaknya jumlah partikel dan masing-masing partikel dapat memiliki fungsi dan makna yang lebih dari satu macam, sehingga sulit untuk memahami partikel dalam bahasa Jepang.

  Partikel tidak memiliki makna secara leksikal, namun memiliki makna secara gramatikal. Hal senada dikemukakan oleh Chino (2008 : vii) yang menyebutkan bahwa sebuah partikel mungkin dapat didefenisikan sebagai bagian yang tidak dapat ditafsirkan dalam sebuah percakapan yang memiliki kemutlakan arti tersendiri yang bebas ikatan dan melengkapi dirinya sendiri dalam bagian-bagian pembicaraan. Kaidah bahasa yang disepakati dalam bahasa Jepang mungkin sekali bahwa partikel sesungguhnya tidak memiliki arti, kecuali arti yang berhubungan dengan konteksnya. Oleh karena itu, suatu kata yang hanya terdiri dari partikel saja tidak memiliki arti apapun, namun dengan ditambahkan kata lain, maka akan membawa perbedaan yang signifikan.

  Partikel / joshi menurut Sudjianto (2000 : 80-81) terbagi dalam empat kategori, yaitu :

  1) Fukujoshi, yaitu partikel yang digunakan untuk menghubungkan kata-

  kata yang ada sebelumnya dengan kata-kata yang ada pada bagian berikutnya. Partikel yang termasuk dalam fukujoshi antara lain : bakari,

  dake, demo, hodo, ka, kiri, koso, kurai/gurai, made, mo, nado, nari, noni, sae, shika, wa, dan yara 2) Kakujoshi, yaitu partikel yang digunakan setelah taigen (nomina) untuk

  menyatakan hubungan satu bunsetsu (suku kata) dengan bunsetsu lainnya. Partikel yang termasuk dalam kakujoshi antara lain : de, e, ga, kara, ni, no, to, ya, dan yori.

  3) Setsuzokujoshi, yaitu partikel yang berfungsi untuk menghubungkan bagian-bagian kalimat (penyambung kalimat). Partikel yang termasuk dalam setsuzokujoshi antara lain : ba, ga, kara, keredomo, nagara, node, noni, shi, tari, te, temo, dan to.

  4) Shuujoshi, yaitu partikel yang digunakan di bagian akhir kalimat untuk

  menyatakan pertanyaan, rasa heran, keragu-raguan, harapan, atau rasa haru pembicara. Partikel yang termasuk dalam shuujoshi antara lain : ka, kashira, kke, na/naa, ne, sa, tomo, wa, ya, yo, ze, dan zo.

  Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Masuoka dan Takubo (1993: 49-53) yang mengelompokkan jenis-jenis joshi dalam lima kelompok berdasarkan fungsinya, yakni :

  1) Kakujoshi merupakan partikel yang menunjukkan hubungan terhadap

  Kakujoshi

  predikat dengan kata pelengkap. Joshi yang termasuk dalam kelompok ini adalah: ga, o, ni, kara, to, de, e, made, yori.

  2) Teidaijoshi

  Teidaijoshi merupakan partikel yang berfungsi untuk menunjukkan

  subjek kalimat. Joshi yang termasuk dalam kelompok ini misalnya: wa, nara, tte, ttara.

  3) Toritatejoshi

  Toritatejoshi merupakan partikel yang berfungsi untuk

  memberikan sebuah contoh yang mewakili suatu hal yang sifat atau jenisnya sama. Joshi yang termasuk dalam kelompok ini misalnya: wa,

  mo, sae, demo, sura, datte, made, dake, bakari, nomi, shika, koso, nado, nanka, nante, kurai.

  4) Setsuzokujoshi

  Setsuzokujoshi merupakan partikel yang berfungsi untuk

  menghubungkan klausa dengan klausa dan kata dengan kata. Joshi yang termasuk dalam kelompok ini misalnya : no, made, nari, kiri,

  kara, keredomo, nara, node, noni, nagara, tsutsu .

  5) Shuujoshi

  Shuujoshi merupakan partikel yang muncul di akhir kalimat. Partikel

  yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang menyatakan kepastian atau kesimpulan (seperti sa), pertanyaan (seperti ka, kai, kana,

  kashira ), penegasan atau persetujuan konfirmasi (seperti ne, na),

  pemberitahuan atau informasi (seperti yo, zo, ze), perasaan kagum (seperti naa, wa), ingatan atau konfirmasi (seperti kke), dan larangan (seperti na).

  Dalam penelitian ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Sudjianto yang membagi partikel / joshi dalam empat kategori, yakni kakujoshi,

  fukujoshi, setsuzokujoshi, dan shuujoshi. Dengan adanya klasifikasi kelompok

  partikel / joshi dalam bahasa Jepang, maka dapat diketahui kelompok partikel yang dominan muncul dalam komik “Gals!” karya Mihona Fujii jilid 1.

2.4.1 Partikel Pemarkah Emotif

  Partikel atau joshi dalam bahasa Jepang menurut Sugihartono (2001 : viii) adalah jenis kata yang tidak mengalami perubahan dan tidak bisa berdiri sendiri yang berfungsi membantu dan menentukan arti, hubungan penekanan, pernyataan, keraguan, dalam suatu kalimat bahasa Jepang baik dalam ragam lisan maupun ragam tulisan. Hal senada dikemukakan oleh Kitahara (1972 : 214) yang menyebutkan bahwa sebagai fungsinya, partikel menempel pada kata lain dan menyatakan hubungan kata itu dengan kata lain, serta memberikan arti tertentu pada kata yang diikutinya.

  Partikel dalam kaitannya sebagai pemarkah emotif, Makino dan Tsutsui (1997 : 49) menyebutkan bahwa partikel, terutama partikel akhir kalimat, memiliki peran penting dalam menentukan fungsi sebuah kalimat. Selain itu, dengan menggunakan partikel dalam percakapan, penutur mengekspesikan emosi atau tindakannya kepada lawan tutur, sama halnya dengan mengekspresikan maskulinitas atau feminitasnya. Selain itu, Sakakura (1989 : 314) mengungkapkan bahwa shuujoshi merupakan golongan partikel yang berfungsi untuk mengungkapkan pertanyaan, perasaan, seruan, larangan, perintah, penekanan, dan harapan dari pembicaranya.

  Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa partikel dapat memberikan arti dan fungsi tertentu pada kata yang dilekatinya, dan salah satu fungsi partikel adalah mengungkapkan emosi penutur. Dengan demikian, salah satu fungsi partikel adalah sebagai pemarkah emotif.

2.5 Emosi

  Emosi adalah kata serapan dari bahasa Inggris, yakni emotion. Emosi digunakan untuk menggambarkan perasaan yang kuat akan sesuatu dan perasaan yang sangat menyenangkan atau sangat mengganggu. Menurut Safaria dan Saputra dalam Hikmah (2011 : 25), emosi dalam makna paling harfiah didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dari setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.

  Menurut Daniel Goleman (2002 : 411), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Sebagai contoh, emosi gembira mendorong seseorang berperilaku tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis, dan sebagainya.

  Lebih lanjut lagi, Wierzbicka dalam Hikmah (2011 : 26), emosi diekspresikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Misalnya menulis dalam kata-kata, dan perubahan ekspresi wajah. Ekspresi dari kedua bentuk tersebut dapat berupa sedih, marah, takut, senang, bahagia, ceria, atau cinta. Pengkategorian emosi yang cukup bermanfaat adalah dengan membedakan emosi berdasarkan skenario kognitif yang dimiliki seseorang terhadap emosi yang dialami, berdasarkan nilai positif dan negatif, dan kedekatan makna antara kata-kata emosi, dan lainnya.

  Dalam memahami emosi, Rintell dalam Hong (2007 : 114) menyebutkan bahwa ekspresi emosi tidak hanya menarik dari sisi studi mengenai tindakan manusia, tetapi juga sebagai praktik pragmatik.

  Emosi dasar menurut Fehr dan Russell dalam Hong (2007 : 116) terbagi atas tujuh, yakni kebahagiaan, kemarahan, kesedihan, cinta, ketakutan, kebencian, dan keterkejutan. Berbeda dengan pendapat di atas, Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan emosi dasar menjadi delapan, yaitu : amarah (seperti beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati), kesedihan (seperti sedih, muram, melankolis, putus asa), takut (seperti cemas, gugup, khawatir), kenikmatan (seperti bahagia, riang, senang), cinta (seperti penerimaan, persahabatan, kepercayaan, hormat), terkejut (seperti terkesiap, terkejut), jengkel (seperti hina, jijik, muak, tidak suka), malu (seperti malu hati, kesal).

  Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu ungkapan perasaan manusia yang dapat diungkapkan melalui bentuk verbal dan nonverbal dan terdiri dari beberapa emosi dasar seperti kesenangan/kebahagiaan, kemarahan, kesedihan, keterkejutan, dan sebagainya.

2.5.1 Bahasa dan Emosi

  Dalam kehidupan sehari-hari, manusia mengungkapkan emosi, baik dalam bentuk kata, kelompok kata, maupun kalimat. Ungkapan emosi ini diucapkan di mana saja. Semua ungkapan tersebut merupakan pesan dalam bentuk bahasa. Semua bahasa memiliki ekspresi-ekspresi afektif yang membantu memperkaya komunikasi dengan menyatakan secara tidak langsung perbedaan-perbedaan yang halus, seperti memvariasikan tingkat kejengkelan atau kepasrahan, keraguan, atau humor. Seperti yang dikemukakan oleh Suleski dan Masada (2012 : 1) bahwa penutur bahasa asli atau native speaker dari suatu bahasa menggunakan ekspresi- ekspresi ini di setiap waktu untuk memberikan bumbu pada percakapan mereka.

  Hal senada juga dinyatakan oleh Fujimura (2008 : 545) yang menyatakan bahwa dalam interaksi sehari-hari, orang-orang mengekspresikan tindakan, mood, dan perasaan mereka dan bahasa memiliki lingkup yang luas dalam pemarkah wacana dan ekspresi yang mengartikulasikan sikap afektif pembicara.

  Pemahaman emosi sangat terkait dengan struktur bahasa melalui unsur-unsur makna yang tercermin dalam kata yang menggambarkan pengalaman emosi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai emosi dapat dilakukan dengan menganalisis kata emosi yang didapatkan dari masyarakat pengguna bahasa tersebut. Emosi mewadahi individu untuk berhubungan dengan dunia, tetapi hubungan ini tidak lengkap sampai emosi dikaitkan dengan status kognitif individu yang memberikan sebuah label berupa kata-kata pada emosinya. Kata emosi tidak lahir dengan sendirinya tanpa didahului adanya sebuah realitas berupa status emosi yang dilambangkan dengan kata tersebut. Kata emosi menurut Wijokongko dalam Widhiarso (2004 : 21) secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu emosi yang berhubungan dengan peristiwa yang baik (emosi positif) dan emosi yang berhubungan dengan peristiwa yang buruk (emosi negatif). Emosi dalam kelompok pertama meliputi kata-kata seperti gembira, senang, riang, dan bangga. Emosi dalam kelompok kedua yang disebut juga sebagai emosi negatif mencakup kata-kata seperti sedih, marah, malu, takut, dan kecewa. Lebih lanjut lagi, Morgan dalam Widhiarso dan Hadiyono (2010 : 153) mengemukakan, kosa kata emosi adalah label verbal yang digunakan untuk menggambarkan dan mengekspresikan status emosi yang dialami individu. Label ini dapat berupa: 1) kosa kata yang menggambarkan emosi murni (marah, sedih); 2) kosa kata yang menggambarkan perilaku ketika emosi muncul (menangis, tertawa); 3) kosa kata sebagai metafora suasana hati (tercabik,berbunga).

  Berdasarkan pendapat di atas, bahasa sebagai media yang berperan dalam pengungkapan emosi manusia yang didalamnya terdapat kata-kata yang merujuk pada emosi yang berbeda-beda di setiap bahasa. Dengan memahami kata bermuatan emosi dalam bahasa Jepang yang dalam hal ini merupakan partikel pemarkah emotif, maka komunikasi yang terjadi menjadi lebih lancar tanpa adanya kesalahpahaman dalam memaknai emosi dalam percakapan tersebut.

2.5.2 Makna Emotif

  Makna emotif (emotive meaning) menurut Suwandi (2008 : 94) adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau rangsangan pembicara mengenai penilaian terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan. Hal senada dikemukakan oleh Sudaryat (2004 :26) yang menyebutkan bahwa makna emotif merupakan makna yang timbul sebagai akibat reaksi penutur terhadap penggunaan bahasa dalam dimensi rasa yang berhubungan dengan perasaan yang timbul setelah pesapa mendengar atau membaca sesuatu kata sehingga menunjukkan adanya nilai emosional. Karena itu, makna afektif atau makna emotif berhubungan dengan perasaan pribadi penutur, baik terhadap penutur maupun objek pembicaraan. Makna ini lebih terasa dalam bahasa lisan daripada bahasa tulisan.

  Secara semantis, orang yang mengalami emosi dikatakan pengalam (experiencer). Ada dua cara yang digunakan pengalam untuk mengungkap emosi: secara verbal dan nonverbal. Ungkapan emosi verbal melalui kata-kata atau ujaran emosi, sedangkan ungkapan emosi nonverbal melalui ekspresi wajah (mimik), gerakan tangan, gerakan kata, mengangkat bahu, dan sebagainya.

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna emotif merupakan makna yang timbul akibat adanya reaksi dari penutur mengenai apa yang dipikirkan atau dirasakan yang dalam penelitian ini digambarkan melalui adanya penggunaan partikel pemarkah emotif. Partikel sebagai pemarkah emotif memegang peranan untuk menyampaikan makna emotif penutur kepada lawan tutur dalam suatu percakapan bahasa Jepang.

2.6. Penelitian yang Relevan

  Mia (2007) dalam tesisnya “Analisis Fungsi Shuujoshi Kana dan Kashira

  dalam Manga Berjudul Asari Chan 1,5, dan 9

  ” menganalisis tentang perbedaan fungsi shuujoshi kana dan kashira. Ia menyebutkan bahwa kana digunakan dalam ragam bahasa pria dan kashira dalam ragam bahasa wanita. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kedua partikel tersebut mulai digunakan baik pada pria maupun wanita.

  Penelitian di atas memberikan pandangan mengenai penggunaan kana dan

  

kashira dalam ragam percakapan pria dan wanita. Kana dan kashira sebagai salah

  satu partikel akhir kalimat cenderung pada pengungkapan keragu-raguan, pengandaian, dan pengungkapan saran kepada diri sendiri. Hal ini membantu dalam menganalisis partikel sebagai pemarkah emotif dalam percakapan.

  Manurung (2010) dalam jurnal

  “Analisis Penggunaan Partikel Akhiran Shuujoshi „Ne‟ dan „Yo‟ pada Novel “Sabiru Kokoro” menganalisis tentang

  perbedaan makna sebagai pembeda fungsi pada shuujoshi ne dan yo. Dalam jurnal tersebut, dinyatakan bahwa shuujoshi ne, digunakan oleh penutur saat ia mempunyai kesamaan persepsi dengan pendengarnya, sedangkan penggunaan

  shuujoshi yo terjadi apabila pernyataan penutur berbeda dengan persepsi si

  pendengarnya. Selain itu juga terdapat perbedaan makna yang besar diantara sesama shuujoshi ne dan sesama shuujoshi yo.

  Ne dan yo sebagai salah satu partikel akhir kalimat merupakan partikel yang

  cukup sering digunakan dalam percakapan yang berfungsi untuk menyetujui maupun tidak menyetujui pendapat lawan bicara. Melalui penelitian di atas memberikan pandangan mengenai fungsi yang berbeda antara partikel ne dan yo sehingga penelitian di atas dapat mempermudah dalam menganalisis makna emotif partikel ne dan yo dalam penelitian ini.

  Nurhayati (2010) dalam tesisnya “Analisis Penggunaan Josei Senyou no

  Bunmatsushi dalam Bahasa Wanita dalam Bahasa Jepang Modern

  ” yang menganalisis mengenai bunmatsushi (shuujoshi), yakni partikel di akhir kalimat yang biasa digunakan oleh wanita untuk menunjukkan perasaan pembicara terhadap lawan bicara, seperti kashira, mono, no, yo, dan wa, serta bentuk kalimat yang menyertainya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa josei

  senyou no bunmatsushi berfungsi untuk menghindari pernyataan langsung, tidak

  bersifat memerintah, dan tidak memaksakan pendapat terhadap lawan bicara, yang umumnya digunakan pada lawan bicara yang dekat atau berusia yang lebih muda dalam situasi tidak formal. Bentuk kalimat yang disertai josei senyou no sebagian besar dalam bentuk biasa (futsutai).

  bunmatsushi

  Penelitian di atas memiliki kajian yang mendekati penelitian ini, yakni membahas mengenai fungsi partikel akhir kalimat yang umum digunakan oleh wanita. Dalam fungsi partikel yang dibahas pada penelitian di atas terdapat hasil penelitian yang menunjukkan adanya makna emotif pada beberapa partikel akhir kalimat dalam percakapan wanita, sehingga penelitian ini membantu proses analisis data dalam penelitian ini

  Laili (2010) dalam artikel jurnalnya berjudul “Penggunaan Bahasa Ragam

  Pria Danseigo oleh Tokoh-Tokoh Utama Wanita dalam Komik Chibi Maruko Chan Karya Momoko Sakura

  ” yang menganalisis fungsi shuujoshii (partikel akhir kalimat) dan pronomina dalam ragam bahasa pria bahasa Jepang yang digunakan oleh tokoh wanita dalam komik Chibi Maruko Chan 3. Analisis dilakukan terhadap 188 data kalimat dengan menyertakan konteks percakapan melalui pendekatan sosiolinguistik. Hasil penelitian menunjukkan fungsi-fungsi shuujoshi dalam ragam bahasa wanita yang berjumlah 52 kalimat dan yang dianalisis berjumlah 11 data dan fungsi pronomina dalam ragam bahasa pria yang berjumlah 4 kalimat dan yang dianalisis berjumlah 3 data.

  Penelitian di atas melakukan analisis terhadap partikel dan bahasa Jepang, yakni shuujoshi (partikel akhir kalimat) yang didalamnya menyinggung fungsi

  shuujoshi yang berkaitan dengan makna emotif. Penelitian di atas memberikan

  pandangan mengenai fungsi shuujoshi dalam kaitannya dengan makna emotif yang juga merupakan salah satu objek kajian dalam penelitian ini Aderyn (2011) dalam tesisnya

  “Analisis Fungsi Partikel Ka (Shuujoshi)

  dalam Novel Rough Karya Aoki Hikaru

  ” yang menganalisis mengenai berbagai macam fungsi partikel ka. Dari penelitian tersebut, ditemukan fungsi yang paling banyak ditemukan dalam novel tersebut adalah fungsi yang menunjukkan suatu hal yang tidak pasti, didahului kata tanya yang mengekspresikan keraguan.

  Penelitian di atas secara tidak langsung mengungkapkan bahwa adanya makna emotif dalam partikel ka, yakni keraguan, sehingga mendekati kajian penelitian ini, yakni memberikan pandangan mengenai fungsi partikel ka yang dalam hal ini berkaitan dengan makna emotif.

  Arvianti (2011) dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Kajian Konteks dalam

  Tindak Tutur Tidak Langsung

  ” yang menganalisis kalimat-kalimat tidak langsung melalui konteks yang berkaitan dengan waktu dan tempat, interaksi antara penutur dan lawan tutur, serta hubungan penutur dan lawan tutur dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa keterkaitan konteks sangat berpengaruh dalam memahami tuturan yang melibatkan setting tempat dan waktu tuturan, kegiatan interaksi berbahasa antara penutur dan lawan tutur, dan relasi antar penutur Penelitian di atas menekankan pada analisis konteks situasi percakapan yang merupakan bidang kajian yang sama dengan penelitian ini, serta memberikan pandangan peranan konteks dalam percakapan pada tindak tutur tidak langsung.

  Penelitian-penelitian di atas kesemuanya membahas mengenai partikel bahasa Jepang, terutama partikel akhir kalimat (shuujoshi). Melalui temuan dari penelitian-penelitian yang relevan di atas, memberikan pandangan mengenai fungsi-fungsi partikel yang menjadi dasar dari penelitian ini. Namun, penelitian yang telah dilakukan hanya sebatas mengenai fungsi suatu partikel dan belum ada penelitian yang memfokuskan pada pembahasan mengenai makna emotif yang terkandung dalam suatu partikel dalam kalimat percakapan.

  Partikel bahasa Jepang memiliki jumlah yang banyak dan masing-masing memiliki makna emotif yang berbeda-beda, bahkan suatu partikel dapat memiliki beberapa makna emotif dan makna yang muncul berbeda-beda sesuai dengan konteks ujaran, sehingga dapat terjadi kesalahan dalam memaknai emosi yang muncul. Oleh karena itu, penelitian ini membahas mengenai partikel yang difokuskan pada kajian makna emotif yang dibawa oleh partikel dalam bahasa Jepang dengan mengambil sumber data dari komik “Gals!” karya Mihona Fujii jilid 1 yang dikaji melalui pendekatan pragmatik.