BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Franchise - Penyebab Konflik Dalam Hubungan Kerjasama Pada Sistem Franchise di Simply Fresh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

  2.1.1. Franchise

  Kata Franchise berasal dari bahasa Prancis, yaitu “franchir”. Yang artinya dibebaskan dari pemberian upeti, pajak. Namun seiring zaman, pengertian

  franchise berubah menjadi pemberian izin dalam pemakaian nama atau merek

  dagang. Franchise merupakan suatu bentuk strategi usaha yang bertujuan untuk memperlebar jangkauan usaha dalam meningkatkan pangsa pasar dan penjualan.

  Franchise merupakan sebuah perkawinan bisnis yang sudah ada (franchisor) dan

  pendatang baru di dunia bisnis (franchisee). Dalam dunia bisnis, istilah franchise atau waralaba adalah suatu pemberian sebuah lisensi oleh suatu pihak (perseorangan atau perusahaan) sebagai pemberi franchise kepada pihak lain sebagai penerima franchise untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama dagangnya dengan menggunakan keseluruhan sistem bisnisnya.

  2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Franchise Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine Company , produsen mesin jahit Singer 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh

  perusahaan Otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjukkan distributor franchise pada tahun 1898.

  Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan – perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distribusi di AS dan Negara – Negara lain. Sedangkan di Inggris waralaba dirintis oleh J Lycons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada decade 60an.

  Sampai pada tahun 1998, cara pendistribusian dengan waralaba diperkirakan mencapai lebih dari 50% dari total penjualan eceran di Amerika Serikat dan pertumbuhan waralaba sama berhasilnya di Negara – Negara maju lainnya seperti : Kanada, Inggris, Jerman dan Jepang. Negara – Negara berkembang seperti Meksiko, Indonesia dan Malaysia juga mendapatkan bahwa waralaba adalah cara yang efektif untuk menciptakan bisnis baru dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja. Di Indonesia sendiri jumlah perusahaan waralaba tumbuh mencapai 274% selama Sembilan tahun 2000 – 2009. (muharam-2002 rev 2010.

  Waralaba terbukti survive )

  Pada masa itu sebuah rantai toko makanan di Tiongkok menerapkan konsep distribusi dengan sistem waralaba lisensi produk / merek. Waralaba telah dipilih sebagai cara menjalankan usaha oleh lebih dari 2500 perusahaan di Amerika Serikat, karena terbukti memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi dibandingkan format bisnis biasa. Sebagai perbandingan, format bisnis biasa memiliki peluang sukses 35-45%, sedangkan peluang sukses perusahaan waralaba mencapai 85- 90%. Sementara orang berfikir bahwa waralaba hanya terbatas pada industri makanan siap saji, kenyataanya menunjukan bahwa semua jenis bisnis yang mungkin ada, dapat diwaralabakan. Misalnya hotel, properti, rumah sakit, kursus, binatu, foto studio, minimart, spa, salon, bengkel, apotik, kantor pos, laundry, warnet dapat dikembangkan dengan format waralaba.

  Yang menarik adalah kesuksesan waralaba untuk tetap tumbuh selama krisis moneter di Indonesia. Pada periode 1996 – 1999, usaha waralaba di Indonesia mampu tumbuh sebesar 12,5% di tengah pertumbuhan ekonomi nasional di bawah 3% (peluang, juni 2000). Sebagian besar pertumbuhan ini diakibatkan oleh pertumbuhan waralaban lokal.

  (sumber: http://frommarketing.blogspot.com/search/label/marketing) Pelajaran yang dapat diambil dari krisis moneter adalah, waralaba lokal ternyata mampu mengungguli pertumbuhan waralaba asing. Selisih kurs yang demikian besar antara rupiah dengan dollar, mengakibatkan waralaba lokal memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik untuk dikembangkan pada saat itu. Sebagai gambaran untuk membuka sebuah mini market Indomaret dibutuhkan investasi 300 -750 juta rupiah, bandingkan jika membeli hak waralaba Disc Go Round dari Amerika, investasi yang dibutuhkan sekitar 1,1 – 1,3 miliar rupiah. Bayangkan jika kita membeli hak waralaba dari merek yang lebih terkenal misalnya McDonald’s yang biaya investasinya bisa mencapai 423.000 – 651.000 USD (sumber :Franchise Opportunities Guide, IFA, 1996).

2.1.3. Franchise di Indonesia

  Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70-an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger King. Perkembanganya terlihat sangat pesat dimulai sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan penerima waralaba di Indonesia. Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil, ditandai dengan perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat pesat.

  2.1.4. Format Bisnis Franchise

  Seperti yang dijelaskan pada penjelasan sebelumnya mengenai franchise bahwa suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi hak pada pihak independen (franschisee) untuk menjual produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor.

  Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran,

  keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari perusahaan

  franchisor . Sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalti

  (biaya pelayanan manajemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur dalam perjanjian franchise. Sebuah paket franchise yang baik, mampu membuat seseorang yang tepat bisa mengoperasikan sebuah bisnis dengan berhasil, bahkan tanpa pengetahuan sebelumnya tentang bisnis tersebut.

  Franchise digambarkan sebagai perpaduan bisnis “besar” dan “kecil”, yaitu

  perpaduan antara energi dan komitmen individual dengan sumber daya dan kekuatan sebuah perusahaan besar. Franchise merupakan pilihan untuk ber- wirausaha dan ber-ekspansi dengan resiko paling kecil. Secara umum franchise merupakan alternatif jalan keluar yang relatif aman. (Muharam 2003).

  2.1.5. Kriteria Franchise

  Dalam PP No. 42 Tahun 2007 disebutkan bahwa “Waralaba atau franchise harus memenuhi 6 (enam) kriteria, yakni :

1. Memiliki Ciri Khas Usaha

  Yang dimaksud dengan ciri khas adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan konsumen selalu mecari ciri khas yang dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.

  2. Terbukti Sudah Memberikan Keuntungan

  Yang dimaksud dengan sudah memberikan keuntungan adalah menunjuk kepada pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat – kiat bisnis untuk mengatasi masalah – masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.

  

3. Memiliki Standart Atas Pelayanan Barang dan Jasa yang

Ditawarkan yang Dibuat Secara Tertulis

  Yang dimaksud disni adalah standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama ( standar operasional kerja).

  4. Mudah Diajarkan dan Diaplikasian.

  Yang dimaksud dengan mudah diajarkan dan diaplikasikan adalah mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis, dapat melaksakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh penerima waralaba.

  5. Adanya Dukungan yang Berkesinambungan

  Yang dimaksud dengan dukungan yang berkesinambungan adalah dukungan dari pemberi waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan dan promosi

  6. Hak dan Kekayaan Intelektual yang Telah Terdaftar

  Yang dimaksud dengan hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar adalah hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, hak paten, rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai setifikasi atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang. Selanjutnya, menurut sumber dari Majalah Franchise (Rudi, 2013), jika dirinci, faktor yang membuat keberhasilan usaha waralaba bisa berhasil, yakni :

  1. Repicable, atau dipublikasikan dengan baik, bergantung pada sistem, bukan pada keterampilan individual

  2. Controllable, yaitu kualitasnya dapat dikendalikan atau dijaga.

  3. Sustainable, atau mampu bertahan di tengah perubahan atau perkembangan persaingan di lapangan. Bukan suatu tren sesaat.

  4. Marketable, atau produknya dapat dipasarkan alias ada sejumlah pelanggan potensial, serta memiliki merek yang kuat.

  5. Profitable, yang berarti memiliki tingkat keuntungan yang dapat dibagi kepada pihak – pihak yang terlibat, yaitu franchisor dan franchisee.

2.2. Konflik dan Pengertiannya

  Konflik berasal dari kata latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Definisi lain dari konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan diantara dua pihak atau lebih, dimana masing

  • – masing mempersepsi adanya interfernsi dari pihak lain yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya akan terjadi bila, semua pihak yang terlibat mencium adanya ketidaksepakatan. Para pakar ilmu perilaku organisasi, banyak memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan konflik sebagai

  “Sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mencapai tujuan yang diinginkan atau merealisasikan minatnya”.

  Dengan demikian yang dimaksud dengan konflik menurut pakar di atas adalah proses pertikaian yang terjadi, sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya. Dua orang pakar dari Amerika Serikat yaitu Aconstantino dan Sickles (1989) mengatakan dengan kata – kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah: “sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau harapan – harapan yang tidak terealisasiakan”. Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok – kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama – sama atau menjalankan kegiatan bersama – sama dan atau karena mereka mempunyai status tujuan, nilai – nilai dan persepsi yang berbeda.

  Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik didalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka, konflik tersebut telah menjadi kenyataan. Robbins (1993) juga menyatakan, bahwa konflik organisasi sering terjadi tidak simetris, terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif.

  Dalam pembahasan tentang konflik, yang menarik adalah beberapa ahli mengungkapkan secara detail dan rinci mengenai definisinya saja. Jika dilihat dari suku katanya, konflik hanya mempunyai suku kata saja. Akan tetapi, ketika dibahas secara detail menjadi satu kesatuan kalimat yang sangat kompleks. Berikut penulis angkat penjabaran secara detail oleh beberapa ahli yang dijadikan rujukan untuk materi penelitian ini.

  Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The

  

Conflict Paradoks , yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan

  kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha meminimalisasiakn konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain;

1. Pandangan Tradisional (The Traditional View)

  Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah

  violence , destruction dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil

  difungsional akibat komunikasi buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang – orang dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan inspirasi karyawan.

  2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relation View)

  Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.

  3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View)

  Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif , tenang, damai dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri dan kreatif.

  Kemudian konflik menurut Stonner dan Freeman (1989: 392) membagi konflik menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Pandangan Tradisional (Traditional View)

  Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.

  Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.

  Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)

  1. Pandangan Tradisional

  Konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagi faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata – kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.

  2. Pandangan Kontemporer

  Mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadii persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat, sehingga tidak merusak hubungan antar pribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik bukan dijadikan suat hal yang detruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

  Dari penjabaran mengenai pengertian konflik oleh para pakar yang sudah dipaparkan, konflik memiliki persamaan yang mendasar. Bahwa konflik merupakan suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara mereka. Pada dasarnya, konflik merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari.

2.2.1. Penyebab Konflik

  Sarjono Soekanto (2007), menyatakan penyebab konflik yaitu ; 1.

  Konflik menyangkut komunikasi. Komunikasi adalah hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia.

  Terutama ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha atau perusahaan. Ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha maupun perusahaan memiliki komunikasi yang buruk, maka akan menimbulkan konflik.

  2. Konflik menyangkut sumberdaya. Sumber daya yang dimaksud adalah seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan lainnya. Apabila perusahaan tidak dapat mengelola sumber daya yang ada dengan baik, maka konflik akan muncul dan bisa menghentikan operasional perusahaan.

  3. Konflik menyangkut relasi. Setiap perusahaan memiliki relasi atau orang terdekat. Setiap orang dalam organisasi atau perusahaan harus menjaga jalinan komunikasi yang baik dengan para relasi.

  4. Konflik menyangkut kepentingan / kebutuhan. Konflik juga bisa timbul karena adanya kepentingan atau kebutuhan. Artinya apabila perusahaan atau organisasi hanya mementingkan keuntungan bagi perusahaan saja, maka akan terjadi konflik intern di dalam perusahaan.

  5. Konflik menyangkut nilai – nilai hidup. Nilai – nilai hidup disini dapat berupa harga diri maupun perasaan para pekerja dalam organisasi ataupun perusahaan. Sedangkan menurut Mangku Negara (2001) dalam bukunya yang berjudul konflik organisasi menyatakan bahwa penyebab konflik adalah:

  1. Saling mengklaim dan menguasai Sumber Daya Alam yang mulai terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan.

  2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan – ketimpangan ekonomi antar kaum pendatang dan penduduk lokal.

  Keberhasilan ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan tidak mengenal lelah yang kemudian dapat menguasai pasar dan peluang ekonomi, sering dilihat sebagai penjajah ekonomi.

  3. Dorongan emosional kesukuan dan ikatan – ikatan norma tradisional. Bisa juga konflik ini muncul karena dorongan kefanatikan ajaran ideology tertentu.

  4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik dan orang – orang yang haus akan kekuasaan. Ini didorong oleh kualitas sumber daya manusia yang rendah yang diikuti juga oleh rendahnya kesadaran sosial.

  Dalam buku yang sama Mangku Negara (2001), menyatakan bahwa konflik biasanya timbul karena 3 faktor yaitu :

  1. Masalah Organisasi. Adanya masalah dalam tubuh organisasi yang tidak dapat diselesaikan dengan baik akan merambat ke kelangsungan hidup organisasi. Setiap organisasi atau perusahaan harus menghindari masalah intern agar tidak terjadi konflik yang besar.

  2. Hubungan Pribadi. Hubungan antar individu dalam organisasi ataupun perusahaan harus dijaga. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik, sebab dalam menjalani hubungan, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

  3. Struktur Organisasi. Dalam struktur organisasi juga dapat menimbulkan konflik. Apabila penerapan struktur organisasi tidak tepat dan dapat memicu kecemburuan pihak lain. Menurut Torang (2013), ada beberapa faktor penyebab konflik, yakni :

1. Perbedaan Individu

  Perbedaan ini yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda – beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap waganya akan berbeda – beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

  2. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan

  Perbedaan latar belakang kebudayaan membentuk pribadi – pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyaknya akan terpengaruh dengan pola – pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya menghasilkan perbeedaan individu yang dapat memicu konflik.

  3. Perbedaan Kepentingan Antara Individu atau Kelompok

  Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan masing – masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda – beda. Kadang – kadang orang dapat melakukan hal yang sama tetapi untuk tujuan yang berbeda – beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan kebudayaan yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka, sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon – pohon ditebang dan kemudian keyunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi para pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. dengan kelompok lainnya, sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbeedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai.

2.2.2. Jenis – jenis Konflik

  Mengenai jenis – jenis konflik, Menurut Dahrendorf (1996) konflik dibedakan menjadi 6 macam:

  1. Konflik antara atau dalam peran sosial (intra pribadi), misalnya antara peranan

  • – peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))

  

2. Konflik antara kelompok – kelompok sosial (antar keluarga, antar gank)

  3. Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa)

  4. Konflik antara satuan nasional (kampanye, perang saudara)

  5. Konflik antar atau tidak antar agama

  6. Konflik antar politik

2.2.3. Akibat Konflik

  Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :

  1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.

  Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.

  3. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.

  4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia 5.

  Dominasi bahkan penaklukan satu pihak yang terlibat dalam konflik. Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak – pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respom terhadap konflik menurut sebuah skema dua dimensi, yaitu pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagi berikut: 1.

  Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak, akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

  2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri, akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik

  3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain, hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut

  4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak, akan menghasilkan percobaan menghindari konflik

2.3. Manajemen Konflik

  Istilah manajemen berasal dari bahasa Italia maneggiare (Haney dalam Mardianto, 2000) yang berarti melatih kuda – kuda atau secara harfiah to handle yang berarti mengendalikan, sedangkan pengelolaan dan istilah manager berarti tindakan membimbing atau memimpin, sedangkan dalam bahasa Cina, manajemen adalah kuan

  lee yang berasal dari dua suku kata yaitu khuan khung (mengawasi orang kerja) dan lee

chai (me-manajemen konfliksi uang). Sehingga manajemen dapat didefinisikan sebagai

  mengawasi/ mengatur orang bekerja dan me-manajemen konfliksi administrasi dengan baik. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1997) manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk menca Spritual tujuan. Manajemen merupakan proses penting yang menggerakan organisasi karena tanpa manajemen yang efektif tidak akan ada usaha yang berhasill cukup lama.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, manajemen sebuah tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencaSpiritual tujuan.

2.3.1. Aspek – Aspek Dalam Manajemen Konflik

  Gottman dan Korkoff (Mardianto, 2000) menyebutkan bahwa secara garis besar ada dua manajemen konflik yaitu:

  2.3.1.1. Manajemen Konflik Destruktif

  Manajemen konflik destruktif yang meliputi conflict angagement (menyerang dan lepas kontrol), withdrawal (menarik diri) dari situasi tertentu yang kadang – kadang sangat menakutkan hingga menjauhkan diri ketika menghadapi konflik dengan cara menggunakan mekanisme pertahanan diri, dan compliance (menyerah dan tidak membela diri).

  2.3.1.2. Manajemen Konflik Konstruktif

  Yaitu positive problem solving yang terdiri dari kompromi dan negosiasi. Kompromi adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak – pihak yang terlibat mengurang tuntutanya agar tercipta tercaSpritual suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk melaksanakan kompromi adalah bahwa satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lain dan sebaliknya. Sedangkan nogoiasi yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan diterima olrh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang. Menurut Prijaksono dan Sembel (2000), negosiasi memiliki sejumlah karakteristik utama, yaitu :

  

1. Senantiasa melibatkan orang, baik sebagai individual, perwakilan

organisasi atau perusahaan, sendiri atau dalam kelompok.

  

2. Memiliki ancaman di dalamnya mengandung konflik yang terjadi

  mulai dari awal samSpriritual terjadi kesepakatan dalam akhir negosiasi.

  

3. Menggunakan cara – cara pertukaran sesuatu, baik berupa tawar

menawar (bargain) maupun tukar menukar (barter).

  

4. Hampir selalu berbentuk tatap muka yang menggunakan bahasa lisan,

gerak tubuh maupun ekspresi wajah.

  

5. Negosiasi biasanya menyangkut hal – hal di masa depan atau sesuatu

yang belum terjadi dan kita inginkan terjadi.

  

6. Ujung dari negosiasi adalah adanya kesepakatan yang diambil oleh

  kedua belah pihak, meskipun kesepakatan itu misalnya kedua belah pihak sepakat untuk tidak sepakat Manajemen konflik disebut konstruktif bila dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihak – pihak yang berkonflik masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.

  Johnson dan Johnson (Farida, 1996) mengatakan bahwa ketika individu terlibat konflik maka untuk menghadapinya seringkali digunakan Relegiustas dasar manajemen konflik yaitu Withdrawing (menghindari), forcing (memaksa), smoothing (melunak), compromising (kompromi), dan confronting (konfrontasi).

  Individu yang menggunakan cara withdrawing cenderung berusaha menarik diri untuk menghindari konflik dengan orang yang terlibat dengannya. Forcing digunakan oleh individu yang telibat konflik yang berusaha untuk mengalahkan lawannya dan memaksa untuk menerima solusi konflik, sedangkan bila individu menganggap individu sebagai sesuatu yang harus dihindari demi keharmonisan hubungan dengan orang lain disebut smoothing. Bila ada upaya mengorbankan sebagai tujuan dan membujuk orang lain untuk mau mengorbankan sebagian tujuannya juga maka cara menyelesaikan konflik tersebut disebut compromising, dan confrontation adalah bila individu memandang konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan berupaya agar solusi yang digunakan mampu memcahkan masalah dan memuaskan kedua belah pihak.

  Lain halnya dengan Rubin (Farida, 1996) yang menyatakan bahwa manajemen konflik yang biasa digunakan seseorang adalah domination (dominasi), capitulation (menyerah), in action (tidak bertindak), withdrawal (menarik diri), negotiation (negosiasi), dan third party intervention (intervensi pihak ketiga). Ketika individu yang terlibat konflik berusaha memaksa secara fisik pihak lain untuk menerima kemauannya disebut cara dominasi.

  Capitulation terjadi bila salah satu pihak menyerahkan kemenangan pada pihak lain yang terlibat konflik, sedangkan bila salah satu pihak yang berkonflik tidak melakukan usaha untuk menyelesaikan konflik tersebut disebut in action.

  

Withdrawal adalah cara yang digunakan individu dengan menghindar agar tidak

  terlibat dalam konflik yang terjadi. Negotiation ditandai dengan adanya penukaran pendapat antara kedua belah pihak untuk mencaSpiritual tindakan yang disetujui bersama dan intervensi pihak ketiga terjadi bila individu atau kelompoj di luar pihak yang bertikai berupaya menggerakkan pihak – pihak yang berselisih untuk menyelesaikan konflik. Pada saat ini pihak ketiga hanya berperan sebagai moderator.

  Pendapat Deutch yang dikutip oleh Bernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan beberapa pengelolaan konflik atau bisa disebut manajemen konflik, yaitu:

  1. Destruktif

  Adalah bentuk konflik dengan menggunakan ancaman, paksaan, atau kekerasan. Adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau bisa dikatakan individu cenderung menyalahkan.

  2. Konstruktif

  Merupakan bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan negosiasi, sehingga terjadi satu tawar menawar yang menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat pula

  yaitu sudah dapat berfikir

  menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning secara logis dalam penyelesaian masalah.

  Setiap konflik yang ada dalam kehidupan apabila dapat dikelola dengan baik, maka akan sangat bermanfaat dalam hal memajukan kreatifitas dan inovasi, meskipun konflik memiliki sisi konstruktif dan sisi destruktif (Winardi, 1994).

  Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak – pihak yang terlibat (Fisher, 2000). Menurut Johnson setiap orang memiliki relegiusitas masing – masing dalam mengelola konflik. Relegiusitas – relegiustias ini merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa kanak – kanak dan berlanjut hingga remaja (Supraktiknya, 1995).

2.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Konflik

  Pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (internal) dan kindisi eksternal. Cara individu bertingkah laku dalam menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan – tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain yang dirasakan sehingga ada dua hal yang menjadi pertimbangan dalam penyelesaian masalah yaitu :

  1. Tujuan atau kepentingan pribadi dirasa sebagai hal yang sangat penting sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan.

  2. Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan

  dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama sekali tidak penting Menurut Boardman dan Horowitz (Mardianto, 2000), karakteristik kepribadian berpengaruh terhadap gaya manajemen individu. Karakteristik yang berpengaruh adalah kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir konflik. Sikap etnisentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau meniai orang lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristik – karakteristik seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak memecahkan masalah secara sepihak. Manajemen konflik disebut konstruktif bila, dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihak – pihak yang berkonflik masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.

2.5. Kerjasama

  Sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Setiap orang di Dunia ini tidak ada yang dapat berdiri sendiri melakukan segala aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain. Secara alamiah manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya, baik sesama manusia maupun dengan mahluk hidup.Dalam kesuskesan usahanya pasti ada peran orang atau pihak lain. Oleh karena itu, salah satu kunci sukses usaha adalah dalam kerjasama usaha.

  Pada intinya, kerjasama menunjukkan adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih yang saling menguntungkan. Arti kerjasama itu sendiri adalah interaksi sosial antar individu atau kelompok yang secara bersama – sama mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Sargent dalam Santosa (1992:29) menyatakan bahwa

  “kerjasama merupakan usaha terkoordinasi diantara anggota kelompok atau masyarakat yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama”. Lebih lanjutnya lagi sosial dimana tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota kelompok lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga seseorang individu hanya dapat mencapai tujuan bila individu lain juga mencapa tujuan”

2.5.1. Sikap Kerjasama Dalam Kelompok

  Sikap kerjasama dalam kelompok merupakan perpaduan dari sikap individu yang terbentuk berdasarkan komitmen bersama yang diwujudkan berupa satu sikap dan perilaku kelompok sesuai dengan karakteristik dari pada sikap dan perilaku individu. Sikap dan perilaku kelompok yang akan mendukung jalannya kerjasama adalah 1. Ada kejelasan visi dan misi kelompok yang dilahirkan secara bersama.

  2. Ada partisipasi individu dalam kelompok

  3. Ada pengaruh dalam pembuatan keputusan

  4. Ada berbagi informasi

  5. Sering terjadi interaksi antar anggota kelompok

2.5.2. Karakteristik – Karakteristik Pribadi Anggota Kelompok

  Sikap kerjasama dalam kelompok merupkan hal yang penting bagi para wirausaha untuk menyelesaikan tugas secara efisien dan efektif. Karakteristik – karakteristik pribadi dari anggota kelompok yang baik meliputi:

  1. Kesetiaan

  2. Kesopanan

  3. Kesabaran

  4. Semangat

  5. Optimis

  6. Komunikasi

  7. Kemampuan untuk menyetujui

  8. Dapat diandalkan

  9. Ketepatan waktu

  10. Kehati – hatian

  11. Humoris

  Agar mekanisme kerja kelompok menjadi lancar dan terarah, masing – masing kelompok hendaknya mempunyai pengurus kelompok yang terdiri atas ketua kelompok, sekretaris kelompok dan jika diperlukan bendahara kelompok. Dalam mengembangkan sikap kerjasama kelompok yang kreatif dan inovatif, seorang pengusaha perlu mengkaji secara komprehensif tujuan kerjasama kelompok yang dibentuk agar sesuai dengan visi dan misi pengusaha. Dengan demikian, kelompok harus mempunyai visi untuk memberikan fokus dan pengarahan pada energi kreatif. Contoh, kelompok penelitian (evaluation team) di tingkat pengusaha harus memiliki visi yang jelas, dianut bersama, dirundingkan, bisa dicapai dan melibatkan personil yang profesional dalam bidangnya. Kelompok tersebut harus dapat memberikan inspirasi bagi anggota kelompok untuk menyumbangkan hasil pemikiran bagi kepentingan pengusaha. kerjasama yang solid. Tapi meski demikian, setiap anggota juga dituntut untuk mandiri didalam kelompok. Artinya, walau kerja tim, setiap anggota tidak boleh hanya mengandalkan bantuan dan pertolongan rekan satu tim. Setiap anggota tetap harus memberikan kontribusi pribadi bagi kepentingan kelompok. Menjadi mandiri dalam kelompok kerjasama dapat diupayakan dengan berbagai cara: 1.

  Inisiatif Bekerjasama bukan berarti setiap anggota cukup menunggu perintah ketua kelompok. Jika diperlukan, lakukan apa saja yang dapat dilakukan untuk kelompok tanpa menanti perintah. Tentu saja dengan ketentuan mengetahui batas inisiatif yang jelas. Selain itu, jangan ragu untuk menawarkan bantuan pada rekan yang membutuhkan bantuan anda. Dan perlu diperhatikan bahwa, inisiatif juga merupakan bagian dari kontribusi pada kelompok.

2. Jangan Tergantung

  Jangan biasakan sifat ketergantungan di dalam kelompok. Tanamkan bahwa, setiap individu dalam kelompok atau tim harus berbuat sesuatu untuk kelompok. Tidak perlu cemas dan takut, jika salah satu anggota tim tidak hadir. Bahkan, jika seandainya ketua tim berhalangan, anggota tim tidak boleh kehilangan semangat untuk bekerjasama.

  3. Kebangkan Diri Jangan menganggap bahwa, nama salah satu anggota tim akan ikut yang lain bekerja keras. Meskipun kerja tim, masing – masing anggota kelompok memiliki nilai tersendiri. Oleh kerana itu, tidak dianjurkan mengandalkan kerja keras rekan lain. Kesadaran akan perlunya mengembangkan diri di dalam kelompok sangatlah diperlukan. Kemampuan diri untuk merespon positif terhadap segala bentuk informasi yang bersifat membangun.

  4. Kesempatan Berharga Setiap anggota wajib menanamkan di dalam dirinya, bahwa bekerja dalam tim merupakan kesempatan berharga untuk banyak belajar. Pelajari hal – hal baru di dalam kelompok yang tidak ditemui jika bekerja sendiri.

  Walaupun masing – masing anggota kelompok merupakan pribadi yang mandiri dalam kelompok kerjasama, iklim saling menjatuhkan harus dibuang jauh – jauh. Perlunya kesadaran diri bahwa antara anggota adalah mitra sejajar yang memiliki tanggung jawab bersama di dalam satu tim.

2.6. Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul Hasil Penelitian

  1 Patuan.G.M Pengaruh produk, Menunjukan bahwa (2010) modal, potensi variabel bebas keuntungan dan berpengaruh positif merek terhadap dan signifikan keputusan terhadap variabel untuk membeli keputusan untuk usaha membeli usaha

  Franchise. franchise.

  2 Simarmata Leonar do (2012)

  Pengaruh menejemen konflik terhadap kinerja karyawan pada PT. BPR MITRA DANA MADANI TELADAN

  Penulis memfokuskan analisis mengenai pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama pada sistem franchise. Berdasarkan analisis, perusahaan yang menggunakan waralaba sangat diminati baik pemula di bidang usaha maupun bukan. Pemahaman mengenai untung rugi, kesiapan berwirausaha, pemahaman sistem franchise, komunikasi dan mental dalam menjalankan usaha, khususnya yang menggunakan sistem franchise yang buruh memicu terjadinya konflik. Sedikit banyaknya konflik yang terjadi, tergantung bagaimana cara memenage-nya.

  

standart operating prossedure (SOP). Begitu juga dengan calon investor atau pembeli

franchise , diharuskan mengetahui secara detail sistem pada perusahaan yang dipilih.

  seorang owner atau pemilik perusahaan harus mempertimbangkan ketika membuat suatu

  

franchise, tergantung bagaimana me-manage konflik itu sendiri. Oleh karenanya,

  Terjadinya suatu konflik yang berpengaruh terhadap hubungan kerjasama pada sistem

  Menunjukan bahwa variabel kolaborasi berpengaruh secara positif dan signifikan, serta yang paling dominan terhadap kinerja karyawan pada PT. BPR MITRA DANA MADANI TELADAN Medan.

  3 Sinaga, Hendra Horas (2010)

  Analisis peranan

  peranan yang sangat penting sekali.

  franchisor memiliki

  dilakukan oleh

  communication yang

  Menunjukan

  terhadap suksesnya bisnis franchise Mc. Donald cabang RingRoad Medan.

  franchisor

2.7. Kerangka Konseptual

  Penulis mencoba meniliti pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama pada sistem

  

franchise . Secara sistematis konsep pemikiran dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai

  berikut :

gambar 2.2. Kerangka Konseptual

  KONFLIK

  Komunikasi Sumberdaya

  Hubungan Kerjasama usaha

  Relasi (franchise)

  Kepentingan / kebutuhan Nilai–Nilai

  Hidup Sumber : Soekanto (2007) Keterangan

  Tumbuh kembangnya perekonomian global mengakibatkan persaingan yang sangat ketat dialami oleh perusahaan baik yang bergerak di bidang jasa maupun yang lainnya.

  Sehingga setiap perusahaan memiliki keharusan menciptakan sebuah inovasi, baik dari segi produk maupun pemasarannya.

  Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1.

  Komunikasi adalah hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam atau perusahaan. Ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha atau perusahaan memiliki komunikasi yang buruk, maka akan menimbulkan konflik yang serius.

  2. Pentingnya memiliki sumber daya baik itu alam ataupun tenaga ahli dalam menjalankan usaha bisnis terlebih menggunakan sistem franchise. Faktor ini sangat dibutuhkan untuk menunjang kinerja perusahaan.

  3. Relasi sangatlah penting, selain menjadi media pemasaran dapat dijadikan sebagai pemasukan (keuntungan) bagi perusahaan. Semakin banyak relasi yang dimiliki oleh perusahaan maka semakin baik pula pondasi perusahaan untuk tetap berdiri dalam persaingan bisnis.

  4. Kepentingan / kebutuhan adalah suatu pencapaian baik individu atau kelompok yang dapat dijadikan sebuah alasan menjalankan sebuah kegiatan (usaha) atau menghasilkan produk baik jasa maupun barang. Dalam sebuah perusahaan tentunya pemenuhan kebutuhan konsumen dicapai melalu pelayanan dan produk itu sendiri, dan dalam komunikasi bisnis, keuntungan atau kebutuhan adalah mengenai pendapatan dan kekuasaan itu sendiri. Selama masih sama – sama memberikan kebutuhan tersebut maka suatu perusahaan dapat terjamin kekuatanya.

  5. Pada hubungan interaksi baik langsung maupun tidak, tentunya tidak lepas dari nilai – nilai hidup. Jika dalam menjalankan suatu kegiatan usaha selama menjunjung tinggi atau menerapkan nilai – nilai kehidupan, suatu perusahaan secara otomatis memiliki karakter tersendiri di mata masyarakat, begitu pula dengan anggota organisasi ataau perusahaan.

2.8. Hipotesis

  Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : ”Penyebab konflik yang menyangkut

  komunikasi, sumber daya, relasi, kepentingan / kebutuhan dan nilai – nilai kehidupan dalam hubungan kerjasama usaha Franchise”.

Dokumen yang terkait

2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit - Analisis Determinan Pulang Atas Permintan Sendiri (Paps) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

0 0 22

DAFTAR ISI - Perbandingan Aktivitas Antijamur Antara Ekstrak Etanol Dari Serbuk Dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Jamur Candida Albicans

0 0 10

Analisis Kandungan Mineral Kalsium, Kalium Dan Magnesium Pada Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Segar Dan Kering Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 48

Analisis Kandungan Mineral Kalsium, Kalium Dan Magnesium Pada Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Segar Dan Kering Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 13

DAFTAR ISI Halaman - Analisis Kandungan Mineral Kalsium, Kalium Dan Magnesium Pada Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Segar Dan Kering Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 11

Evaluasi Penggunaan Analgetika Pada Pasien Yang Menderita Kanker Sistem Reproduksi Wanita Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 25

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker 2.1.1 Pengertian Kanker

0 0 13

DAFTAR ISI - Evaluasi Penggunaan Analgetika Pada Pasien Yang Menderita Kanker Sistem Reproduksi Wanita Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Hubungan Kepemimpinan Camat Dengan Etika Kerja Pegawai Di Kantor Camat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

0 1 28

Hubungan Kepemimpinan Camat Dengan Etika Kerja Pegawai Di Kantor Camat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

0 1 10