B. Pemahaman Falsafah Hidop Orang Basudara - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM
BAB IV DUNIA ORANG MALUKU A. Pengantar Bab ini berisikan data penelitian, baik itu data hasil wawancara di
lokasi penelitian dan juga data pustaka yang diteliti oleh penulis terkait dengan topik yang dikaji. Untuk tempat penelitian, bertempat di wilayah Maluku (Ambon). Metode penelitian yang digunakan untuk membahas isi dalam bab ini adalah metode penelitian kualitatif, sehingga dalam pembahasan pada bab ini, penulis berusaha untuk mendiskripsikan secara jelas pemahaman masyarakat Maluku tentang falsafah hidop orang
basudara , nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang
basudara dan pemaknaan falsafah hidop orang basudara dalam
kehidupan keagamaan dan sosial.
B. Pemahaman Falsafah Hidop Orang Basudara
Dalam dunia orang Maluku, ada sebuah falsafah hidup yang telah
1
menjadi kosmologi manusia Maluku. Disebut sebagai kosmologi manusia Maluku, karena falsafah hidup tersebut tidak hanya sekedar menjadi pandangan hidup yang berlaku dalam teritori atau clan-clan tertentu di Maluku, namun berlaku dalam pandangan dunia masyarakat Maluku yang tak terbatas pada teritori maupun clan-clan tertentu. Kosmologi hidup
2 tersebut dikenal dengan sebutan falsafah hidop orang basudara.
Falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah pandangan hidup
dunia Maluku yang tiba-tiba ada dari kekosongan, melainkan lahir dari ide abstrak yang tidak terlepas dari kesadaran manusia Maluku untuk dapat hidup bersama dalam konteks Maluku yang begitu majemuk. Awal jejak- jejak kesadaran tersebut dapat dijumpai dalam unit yang lebih kecil dalam struktur masyarakat, yaitu keluarga.
Mengapa keluarga? Karena tak dapat dipungkiri bahwa sebagai sebuah unit terkecil dalam struktur masyarakat, keluarga membentuk begitu banyak perbedaan dalam anggota keluarga, bahkan membentuk sebuah hierarkhi tanpa disadari. Taruhlah sebagai contoh, sebuah keluarga memiliki tiga orang anak, itu berarti dalam keluarga tersebut ada yang disebut anak sulung, anak tengah dan anak bungsu yang hidup dengan perilaku mereka masing-masing.
Proses hidup bersama ketiga anak tersebut tentunya berbeda-beda sesuai dengan perilaku mereka masing-masing. Bahkan terkadang, akibat perbedaan perilaku tersebut, kerapkali terjadi gesekan hidup antara adik- kakak dalam keluarga. Di samping itu, sebenarnya penyebutan anak 2 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26 sulung, anak tengah dan anak bungsu sendiri melahirkan suatu bentuk hierarkhi pada ketiga anak tersebut, meskipun penyebutan tersebut didasari pada waktu kelahiran mereka. Hierarkhi tersebut lebih jelas terasa ketika anak pertama selalu diprioritaskan dalam segala hal, dan hal ini tentu menimbulkan sebuah perbedaan kesenjangan yang mana jika dibiarkan terus-menerus maka akan terjadi konflik di dalam keluarga.
Untuk mengatasi masalah tersebut (dalam konteks orang Maluku), maka digagaslah sebuah ide orang basudara. Dengan adanya gagasan
orang basudara , maka meskipun di dalam keluarga terbentuk sebuah
perbedaan dan hierarkhi (diantara anak) yang kemudian membeda- bedakan mereka, namun mereka dapat hidup bersama. Oleh sebab itu, gagasan orang basudara menjadi sebuah bingkai dalam mencapai keinginan manusia Maluku untuk dapat hidup bersama di dalam perbedaan, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial dan agama. Hal ini juga ditegaskan oleh Rony Tamaela bahwa, hidop orang basudara
3 menjadi sebuah bingkai untuk menata hidup bersama di Maluku.
Di satu sisi, ide orang basudara yang digagas dengan kesadaran penuh tersebut kemudian diwujudkan lewat pranata-pranata lokal seperti; Pela-
3 Hasil wawancara dengan pdt Rony Tamaela di Salatiga, tanggal 29 Oktober
4
5
6
7 Gandong , Kalwedo, Duan-Lolat, dan Ain Ni Ain sebagai wujud nyata
dari ide abstrak manusia Maluku yang ingin hidup bersama dalam konteks dunianya yang begitu majemuk.
4 Bagi Jozef Hehanussa gandong (berasal dari kata kandung atau kandungan)
dan pela pada dasarnya berbeda. Namun pada kemudian hari, kedua pemaknaan ini
sering disamakan. Di satu sisi, pela merupakan sebuah relasi antar manusia di Maluku,
khususnya Maluku Tengah yang bersifat komunal. Bahkan menurut bahasa asli negeri-
negeri di Maluku Tengah, pela memang bisa diartikan sebagai sahabat (sahabat yang
dipercaya) atau saudara karena mereka yang berada di dalam ikatan pela menganggap
satu dengan yang lain, tanpa memandang usia dan kedudukan, sebagai sahabat, bahkan
lebih dari sekedar sahabat yaitu sebagai saudara. Dengan demikian, pela selalu dipahami
sebagai sebuah nama dari ikatan atau hubungan yang dibangun antara dua (atau lebih)
negeri. Jozef Hehanussa, Pela dan Gandong: Sebuah Model Untuk Kehidupan Bersama
Dalam Konteks Pluralisme Agama di Maluku , Gema Teologi, Jurnal Teologi Kontekstual
Vol 33 No 1 UKDW (2009), 4-5.Lebih jauh Bartels dalam bukunya membagi pela menjadi 3 bagian: (1) Pela
keras yaitu aliansi yang terbentuk akibat perang atas keadaan di mana suatu kampung
dengan sukarela datang memberi pertolongan pada kampung yang lain pada saat yang
kritis, misalnya dilanda bencana alam. Pakta ini juga yang biasa dikenal dengan nama
(persekutuan asli atau otentik) terbagi atas pela batu karang dan pela tumpah pela tuni
darah . Pela batu karang umumnya diangkat selama perang dan kadang-kadang disebut
sebagai “pela perang”. Pela tumpah darah diangkat setelah darah tertumpa atas
pertengkaran antar kampung. (2) Pela gandong atau pela dari rahim yaitu hubungan
yang didasarkan pada hubungan geneologis di antara klan-klan atau kampung-kampung
sekutu. Dengan mengangkat sumpaah ikatan itu diformalkan untuk seluruh kampung dan
sejak saat itu mereka dianggap sebagai satu pela penuh. (3) Pela tempat sirih yaitu suatu
hubungan yang tidak diikat lewat pengangkatan sumpah tetapi melalui ritual tukar
menukar tempat sirih dan makan sirih. Dieter Bartels, di Bawah Naungan Gunung
Nunusaku , Jilid I (Kebudayaan), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), 182-
183.Namun ada satu ikatan pela yang belum disebutkan oleh Bartels, yaitu pela (nikah). Pela kaweng merupakan salah satu bentuk pela yang terdapat di wilayah kaweng
Maluku Tengah, dan hanya tiga negeri (kampung) saja yang mempraktekkan pela ini,
yaitu Noloth, Haruku, dan Sameth. Memang pada dasarnya pela melarang negeri
(kampung) yang berpela untuk saling menikah, karena negeri (kampung) tersebut
merupakan saudara. Namun pela kaweng (nikah) merupakan salah satu bentuk pela yang
menginjinkan bahkan mengharuskan negeri (kampung) yang mempunyai ikatan pela ini
menikah. Sejarah terbentuknya pela ini, ketika akan diadakan pernikahan antara Markus
Risaluang Huliselan dari negeri (kampung) Noloth dengan Ayu Horepati Ferdinandus
dari negeri (kampung) Haruku, tiba-tiba Ayu Horepati Ferdinandus meninggal. Kendati
demikian acara nikah tetap digelar dan dilakukan pemberkatan oleh pendeta yang
merupakan utusan zending Belanda. Setelah acara nikah selesai, diangkat sumpah untuk
menjalin ikatan pela kaweng (nikah) antara Noloth, Haruku dan Sameth. Hasil Untuk membuktikan bahwa gagasan orang basudara benar-benar menjadi sebuah ide yang diwujudkan dalam pranata-pranata lokal tersebut, Jamez Pakniany menegaskan bahwa, Kalwedo sebagai pranata lokal 5 Aholiab Watloly, menegaskan bahwa kata Kalwedo pada dasarnya tidak
memiliki akar kata dalam Bahasa asli di Maluku Barat Daya (MBD) tetapi sebuah kata
sifat murni yang berarti SELAMAT, DAMAI, dan hidup BAE-BAE (baik-baik) dalam
segala hal. Jadi watak kebudayaan MBD adalah Kalwedo, yaitu budaya tanpa kekerasan
(un violence), budaya keramahan, kelemahlembutan hidup, budaya saling menjaga dan
menghidupkan, (sintesis bipolar), budaya hidup (honoly atau hioly) sebagai saudara
(inanara-amasiali). Aholiab Watloly, Menggali Nilai Filsafat Kalwedo, Bulletin Kanjoli
Vol.6 No. 5 (2012), 10-12. 6 Max Syauta dalam tulisannya tentang Duan-Lolat dalam perspektif sosial, etik,dan teologi menulis bahwa, Duan-Lolat merupakan sebuah sistem kekerabatan di wilayah
Maluku Tenggara Barat (MTB). Duan-Lolat sendiri terdiri dari dua entitas, yaitu Duan
(tuan) dan Lolat (hamba). Di satu sisi, dalam perkawinan Duan menjadi pemberi
perempuan dan Lolat menjadi peneriman perempuan. Dalam prakteknya Duan-Lolat
sangat menekankan aspek saling melengkapi dan membutuhkan antara Duan
(tuan/pemberi perempuan) dan Lolat (hamba/penerima perempuan). Oleh sebab itu,
dengan sikap saling melengkapi dan membutuhkan tersebut, Duan-Lolat telah menjadi
perekat kehidupan bagi masyarakat MTB dengan perbedaanya. Max Chr. Syauta, Duan-
Lolat dalam perspektif sosial, etik, dan teologi dalam buku Delapan Dekade GPM,
(Salatiga: Satya Wacana University Press dan Gereja Protestan Maluku (GPM), 2015),
188-201. 7 Elly Esra Kudubun, menulis bahwa nilai budaya Ain Ni Ain yang dimilikiorang Kei (Maluku Tenggara) setara maknanya dengan “persatuan” yang menjadi ruh sila
ketiga Pancasila, sekaligus menjadi fabric of society kepulauan Kei. Ain dalam Bahasa
Kei berarti “satu”, namun bukan dalam pengertian satu yang tunggal melainkan satu yang
jamak. Hal ini dikarenakan dalam Bahasa Kei, satu (tunggal) adalah “sa”. Sedangkan Ni
berarti “punya atau memiliki”. Dengan demikian Ain Ni Ain secara harafiah berarti “satu
memiliki satu”. Seseorang atau sekelompok orang menempatkan/memandang orang lain
(liyan) sebagai saudaranya. Atau dengan makna lain, Ain yang sudah ada (yang asli)
menempatkan menerima dan menempatkan Ain (yang datang) sebagai saudaranya,
bahkan sebagai saudara kandung. Elly Esra Kudubun, AIN NI AIN: Kajian Sosio-Kultural
Masyarakat Kei Tentang Konsep Hidup Bersama Dalam Perbedaan, Cakrawala Vol 5
No 2 (2016), 169.Lebih jauh, Yuditha Gianti Tildjuir menulis bahwa, ain ni ain merupakan salah
satu ungkapan tradisional masyarakat Kei yang secara turun temurun diwarisi oleh
leluhur kepada generasi penerus. Ain ni ain inilah yang membentuk karakter masyarakat
Kei sejak dulu sebab ungkapan ini mengandung nilai-nilai luhur yang positif. Ungkapan
tradisional ain ni ain turut membangun kehidupan masyarakat yang toleran, saling
mengasihi, saling menghormati, kesatuan dan persatuan, persaudaraan, dan perdamaian.
Ungkapan ini dimaknai sebagai bentuk persaudaraan yang dalam pengertiannya merujuk
pada adanya solidaritas masyarakat Kei terhadap sesamanya baik dalam keadaan senang
dan terutama dalam keadaan susah. Yuditha Gianti Tildjuir, Ain Ni Ain Sebagai
Pendekatan Konseling Perdamaian, Tesis Program Studi Sosiologi Agama UKSW masyarakat Maluku Barat Daya (MBD) memiliki nilai-nilai kebersamaan yang mampu untuk menyatukan masyarakat ditengah perbedaan. Nilai-
8
nilai kebersamaan tersebut merujuk pada cara hidop orang basudara. Di samping itu, bagi Tari, Duan-Lolat sebagai pranata lokal Maluku Tenggara Barat (MTB) juga memiliki gagasan orang basudara, karena
Duan-Lolat pada dasarnya mengandung esensi dasar dari cara hidop orang
9 basudara yaitu saling memberi dan saling menerima.
Di satu sisi, Tjak Sapulette menegaskan bahwa Pela-gandong sebagai pranata lokal masyarakat Maluku Tengah, juga mengandung gagasan
orang basudara . Hal ini dapat dijumpai dalam nilai-nilai yang terkandung
di dalam Pela-gandong yang merujuk pada kesetaraan sebagai dasar dari
10
hidop orang basudara . Bahkan bagi Haurissa April, gagasan orang
basudara juga terdapat di dalam Ain Ni Ain sebagai pranata lokal
masyarakat Maluku Tenggara. Gagasan tersebut dapat dijumpai dalam nilai-nilai dan juga praktek hidop orang basudara dalam bingkai Ain Ni
11 Ain .
8 Hasil wawancara dengan Jamez Pakniany via telfon di Salatiga, tanggal 30 Oktober 2017, pukul 14.00 WIT. 9 Hasil wawancara dengan Tari via telfon di Salatiga, tanggal 30 Oktober 2017, pukul 15.00 WIT. 10 Hasil wawancara dengan pdt Tjak Sapulette via telfon di Salatiga, tanggal 31 Oktober 2017, pukul 17.00 WIT. 11 Hasil wawancara dengan April Haurissa di Salatiga, tanggal 27 Oktober 2017, Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa gagasan orang basudara sebagai sebuah ide abstrak yang digagas secara sadar untuk dapat hidup bersama dalam konteks Maluku yang begitu kompleks, benar-benar diwujudnyatakan dalam pranata-pranata lokal pada masing-masing daerah di Maluku, dan wujud nyata tersebut kemudian menjelma menjadi sebuah habitat atau karakter manusia Maluku yang dikenal dengan falsafah hidop orang basudara. Hal ini juga ditegaskan oleh Aholiab Watloly dan kawan-kawan bahwa falsafah hidop orang
basudara adalah sebuah tabiat, karakter atau habitus asli orang Maluku
yang telah menjadi sebuah tenaga budaya dalam kesadaran kolektif yang terus diturunkan dari generasi ke generasi sebagai identitas orang
12 Maluku.
Dari pernyataan di atas, ada dua hal menarik yang ditemukan;
pertama, jika bertolak dari pemikiran Durkheim tentang kesadaran
13
kolektif, maka falsafah hidop orang basudara adalah sebuah fakta sosial
14
nonmaterial yang berfungsi sebagai sebuah pegangan atau prinsip hidup yang dapat merangkul dan mempersatukan manusia Maluku yang begitu kompleks, baik agama, suku, budaya dan status sosial. Hal tersebut 12 Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 7. 13 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014), 19. 14 Fakta sosial nonmaterial menurut Durkheim yaitu, budaya dan institusi sosial ditegaskan oleh Aholiab Watloly bahwa falsafah hidop orang basudara menjadi semacam rukun atau pilar dan prinsip essensial manusia Maluku, untuk membangun kerukunan internal agama maupun antar komunitas yang berbeda agama, pulau dan bahasa. Oleh sebab itu, falsafah hidop
orang basudara berfungsi untuk merangkul dan menyinergikan aneka
kehidupan yang otonom dalam sebuah sistim pengertian dalam rahim
15 Kemalukuan.
Kedua, falsafah hidop orang basudara menjadi sebuah identitas
manusia Maluku yang tidak terlepas dari habitus hidup manusia Maluku, sehingga manusia Maluku pada dasarnya mempunyai identitas sebagai
orang basudara . Penegasan identitas manusia Maluku sebagai orang
basudara juga ditegaskan oleh Rudi Fofit bahwa, cara hidup orang
basudara pada dasarnya memang ada di setiap wilayah di dunia (cara
hidup yang universal). Meskipun demikian, secara tradisi, sudah lama orang Maluku hidup dengan cara hidup orang basudara yang terbingkai dalam falsafah hidop orang basudara, dan itu berarti orang Maluku
16 mempunyai identitas sebagai orang basudara.
15 Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan
Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal ” dalam Menggali Sejarah dan
Kearifan Lokal Maluku , (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 115. 16 Hasil wawancara dengan Rudi Fofid via telfon di Salatiga, tanggal 26 OktoberSebagai penyandang identitas orang basudara, manusia Maluku kemudian mewujudkan identitas tersebut dalam cara hidop orang
basudara . Cara hidop orang basudara digambarkan oleh Abidin Wakano
sebagai cara hidup yang sangat menghargai perbedaan, baik itu suku, agama maupun golongan, bahkan cara hidup persaudaraan ini bersifat proeksistensi, karena sama-sama merasa memiliki dan punya tanggung
17
jawab terhadap yang lain. Berdasarkan pernyataan Abidin Wakano, cara
hidop orang basudara yang merupakan perwujudan dari identitas manusia
Maluku sebagai orang basudara, telah menjadi sebuah budaya manusia Maluku yang sangat menjunjung nilai-nilai kesetaraan, bahkan agama, suku, serta golongan, tidak dilihat sebagai suatu penghalang untuk dapat merealisasikan nilai-nilai kesetaraan di Maluku. Hal ini juga ditegaskan oleh Jacky Manuputty bahwa, falsafah hidop orang basudara mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, bahkan di dalam proses relasi yang
18 dibangun pun merujuk pada suatu pola relasi yang setara.
Nilai kesetaraan tersebut juga ditegaskan oleh Aholiab Watloly bahwa, falsafah hidop orang basudara adalah sebuah ideologi kultural yang lahir dari tuntutan adanya keinginan yang besar untuk hidup bersama dalam tatanan kehidupan yang damai dan rukun antar sesama manusia di 17 Abidi
n Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan
Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal ” dalam Menggali Sejarah dan
Kearifan Lokal Maluku , (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 6. 18 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26Maluku. Tuntutan hidup tersebut kemudian diwujudkan dengan sikap hidup yang saling menghormati, saling menghargai dan saling mengakui perbedaan-perbedaan manusia Maluku sebagai ade-kaka (adik-kakak), bahkan sikap hidup ini telah menjadi sebuah ritus (perilaku sakral yang
19 dirayakan setiap hari) yang bersifat mengikat.
Bertolak dari pernyataan di atas, penulis mendapati empat hal menarik; pertama, untuk menjawab kebutuhan masyarakat Maluku yang begitu kompleks demi tercapainya suatu tatanan hidup yang setara, maka kebutuhan tersebut diwujudkan dalam sikap-sikap hidup positif seperti; saling menghargai, saling menghormati, serta saling mengakui perbedaan- perbedaan manusia Maluku, baik itu agama, suku, budaya dan juga status sosial. Oleh sebab itu, sikap-sikap hidup tersebut wajib dilakukan oleh manusia Maluku demi terciptanya suatu tatanan hidup yang setara.
Kedua, sebagai masyarakat yang begitu kompleks dari struktur
sosial, agama, dan juga budaya, dalam proses berelasi dan berinteraksi antar sesama manusia di Maluku, selalu saja ada gesekan-gesekan yang dipengaruhi oleh kekompleksan dari struktur masyarakat Maluku. Karena itu, untuk mengatasi gesekan-gesekan yang terjadi akibat kekompleksan tersebut, manusia Maluku kemudian mulai mengkonsepkan dan 19 Theovania Matatula “Hidop Orang Basudara “Suatu Kajian Teologi Agama-
20
21
menyepakati nilai dan norma yang terkristalisasi di dalam falsafah
hidop orang basudara sebagai pengendali manusia Maluku di dalam
proses berelasi dan berinteraksi di dalam lingkungan agama maupun sosial.
Di satu sisi, apa yang dilakukan oleh manusia Maluku untuk mengatasi realitas struktur masyarakat yang begitu kompleks, juga diusulkan oleh Peter M Blau yang adalah seorang sosiolog. Bagi Blau, nilai dan norma yang disepakati bersama menjadi media kehidupan sosial dan mata rantai yang menghubungkan transaksi sosial. Keduanya membuat pertukaran sosial menjadi mungkin, dan mengatur proses integrasi sosial serta diferensiasi dalam struktur sosial kompleks maupun
22 perkembangan organisasi sosial reorganisasi yang ada di dalamnya.
Lebih jauh untuk mempertegas nilai dan norma yang telah disepakati oleh masyarakat Maluku sebagai pengendali dalam proses berelasi dan interaksi yang terkristalisasi di dalam falsafah hidop orang
basudara , Nus Sahertian menggambarkan nilai yang merupakan gagasan
ideal tersebut dengan sikap hidup yang terbentuk dalam cara hidup orang 20 Sebuah gagasan ideal yang dikonsepkan oleh masyarakat dan diwujudkan dalam tindakan konkrit. 21 Aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat, dan apabila melanggarnya mendapat sanksi atau hukuman. 22 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”,
basudara , yaitu: hidup yang saling membantu, saling menyayangi, saling
23
menghargai dan saling mengasihi. Di samping itu, norma dalam falsafah
hidop orang basudara digambarkan oleh Dieter Bartels lewat pranata
lokal pela-gandong sebagai wujud nyata dari falsafah hidop orang
basudara . Bagi Bartels, karena pela-gandong diyakini sebagai
persaudaraan yang kekal, bahkan ikatan pela-gandong dibentuk melalui sumpah yang sangat kuat dengan disokong oleh kutukan bagi yang melanggar sumpah tersebut, maka pela-gandong memiliki norma (aturan/kaidah) hidup yang harus diikuti, salah satunya larangan untuk menikah antar kampung yang mengangkat sumpah pela-gandong, dan jika aturan/kaidah hidup ini dilanggar maka pelanggar tersebut mendapat
24 hukuman yang terdiri dari sakit, kesialan, bahkan kemandulan.
Oleh sebab itu, falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah kerangka filosofi hidup manusia Maluku yang kosong dan tidak bernilai, melainkan merupakan sebuah kerangka filosofi hidup manusia Maluku yang sangat bernilai serta berisikan nilai dan norma-norma hidup yang dibentuk dan disepakati bersama oleh Manusia Maluku untuk menjadi sebuah dasar hidup dalam realitas manusia Maluku yang begitu kompleks.
Dengan begitu, manusia Maluku mengakui realitas Kemalukuannya 23 Hasil wawancara dengan bapak Nus Sahertian di Wayame, tanggal 20 Agustus 2017, pukul 10:50 WIT. 24 Dieter Bartels, di Bawah Naungan Gunung Nunusaku, Jilid I(Kebudayaan),
sebagai manusia Maluku yang begitu kompleks dan menunjukan keinginan Kemalukuannya untuk hidup bersama dalam kekompleksan tersebut.
Ketiga, dengan adanya pernyataan dari Aholiab Watloly yang
mengatakan bahwa, sikap hidup yang terkristalisasi di dalam falsafah
hidop orang basudara telah menjadi sebuah ritus yang bersifat sakral dan
dirayakan setiap hari, menunjukan bahwa wilayah sakral bagi manusia Maluku tidak hanya terbatas pada hubungan manusia dengan Tuhan semata melainkan lebih dari itu. Bahkan jika bertolak dari tesis Emile Durkheim yang mengatakan bahwa masyarakatlah yang kemudian
25
mengkonsepkan yang sakral dan yang profan dalam agama, maka semestinya masyarakat Maluku hanya mengkonsepkan hal sakral di dalam
habitus agama yang di dalamnya manusia berhubungan dengan Tuhan
saja. Namun kenyataannya tidak seperti itu.Konsep sakral bagi manusia Maluku tidak hanya terbatas di dalam
habitus agama di mana manusia dapat berjumpa dan berhubungan dengan
Tuhan. Namun, lebih jauh manusia Maluku juga mengkonsepkan yang sakral di dalam habitus sosial lewat sikap hidup yang telah menjadi ritus- ritus kesakralan berlandaskan nilai serta norma-norma di dalam falsafah 25 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”,
hidop orang basudara . Oleh sebab itu, wilayah sakral bagi manusia
Maluku tidak hanya sebatas hubungan manusia dengan Tuhan yang dipagari dengan dogma-dogma agama, melainkan hubungan manusia dengan manusia di dalam lingkungan sosial juga merupakan sesuatu yang sakral.
Keempat, ritus sakral di dalam falsafah hidop orang basudara,
dipraktekan dalam sikap hidup seperti saling menyayangi, saling menolong, saling menghargai dan menerima, terbingkai di dalam pranata- pranata lokal adat masyarakat seperti; akta perjanjian Pela-Gandong,
Kalwedo, Duan-Lolat dan Ain Ni Ain yang mengikat kelompok-kelompok
berbeda menjadi satu. Akan tetapi, pengikatan tersebut tidak membuat sehingga kekhasan (kepercayaan, budaya, suku, dan status sosial) yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tersebut menjadi hilang, namun kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat menyatu dalam sebuah ikatan tanpa harus melepaskan kekhasan masing-masing kelompok. Hal ini juga didukung oleh Aholiab Watloly dengan menegaskan bahwa, bentuk dan ragam kearifan lokal berbeda-beda dalam aneka permainan Bahasa dan cara pengungkapan pada setiap kelompok adat, namun memiliki ide-ide dan amanat-amanat keluruhan yang sama, seperti
Gandong hati tuang , ain ni ain (kita adalah satu dari satu), ita rua kay-way
(kita dua beradik kakak). Berbagai ungkapan kearifan tersebut mengaskan bahwa hidop orang basudara adalah pusaka kemanusiaan orang Maluku,
26 yang diabadikan dalam tradisi adatnya.
Di samping itu, bagi ketua sinode Gereja Protestan Maluku,
falsafah hidop orang basudara merupakan suatu kebenaran Ilahi yang
ditemukan oleh generasi masa lampau Maluku, yang mana di dalam kebenaran Ilahi tersebut terdapat imogodei (gambar ALLAH). Oleh karena itu falsafah hidop orang basudara adalah penegasan imagodei masyarakat Maluku, bahwa karena semua masyarakat Maluku adalah gambar ALLAH, maka masyarakat Maluku adalah manusia yang setara
27 dan bersaudara satu dengan yang lainnya.
Apa yang disampaikan oleh ketua sinode GPM tentang imogodei sebagai penegasan falsafah hidop orang basudara dari kacamata kekristenan, semakin mempertegas mengenai wilayah sakral bagi manusia Maluku. Oleh sebab itu, karena manusia Maluku pada utuhnya adalah imogodei itu sendiri, maka setiap relasi yang terbentuk dalam ruang-ruang sosial manusia Maluku bersifat sakral dan mampu untuk mengakomodir realitas manusia Maluku yang begitu kompleks.
26 Abidin Wakano, “Maluku dan keindahan sejarahnya, harmoni kehidupan masyarakat Maluku yang berbasis kearifan lokal
” dalam Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku , (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 112-113. 27 Hasil wawancara dengan ketua sinode Gereja Protestan Maluku, pdt Ates Karena itu bagi Jacky Manuputty, falsafah hidop orang basudara membentuk sebuah pola relasi seimbang bukan paradoks dalam proses berelasi di lingkungan agama maupun sosial. Dengan relasi seimbang tersebut, manusia Maluku secara sadar dapat mengakui kelebihan dan kelemahannya serta harus saling menerima kelemahan dan kekurangannya masing-masing di dalam kosmologi manusia Maluku sebagai orang
28 basudara .
Lebih jauh, Jacky Manuputty menganalogikan relasi seimbang tersebut seperti dua utas tali berbeda yang diikat menjadi satu. Tali yang berbeda merujuk pada sebuah realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, baik budayanya, kepercayaannya, status sosialnya dan juga sukunya, yang merupakan kekhasan dari manusia Maluku itu sendiri. Proses mengikat merujuk pada suatu keinginan tali yang berbeda yang adalah realitas manusia Maluku yang begitu kompleks untuk menjalin hubungan menjadi saudara seperti kosmologi Manusia Maluku sebagai manusia bersaudara. Gumpalan dari proses ikatan itu sendiri menunjukan bahwa meskipun realitas manusia Maluku yang begitu kompleks telah menjalin relasi, namun relasi tersebut tidak menggeneralisasikan kekhasan dari realitas manusia Maluku tertentu sebagai sebuah kekhasan yang harus diikuti oleh semua orang Maluku. Akan tetapi kekhasan dari realitas 28 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26 masing-masing manusia Maluku menjadi kekhasan yang tak terlepas dari dirinya sendiri dan tidak boleh menjadi kekhasan yang harus diikuti oleh
29
manusia Maluku lain di dalam relasi yang dibangun. Dengan demikian, pola relasi biner tersebut mampu untuk mengakomodir realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, sehingga manusia Maluku menjadi manusia yang setara tanpa harus melepaskan yang khas dari manusia Maluku yang begitu kompleks, baik kepercayaannya, budayanya, status sosialnya dan juga sukunya.
Bertolak dari pemahaman falsafah hidop orang basudara di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bawa falsafah hidop orang
basudara adalah suatu kosmologi hidup yang bersifat sakral, dan telah
menjadi paradigma hidup yang terkonsep di dalam kesadaran kolektif manusia Maluku dari generasi ke generasi. Kosmologi hidup tersebut beirisikan aturan-aturan hidup yang terpatri di dalam nilai-nilai dan norma-norma hidup yang dilandasi oleh motif dasar etika yaitu cinta kasih, etika bersama, rasa senasib dan sepenanggunan yang bertujuan untuk meruntuhkan tembok-tembok kekompleksan demi menyetarakan manusia Maluku, serta membawa nilai-nilai inspirasi yang kreatif yang dapat membangun manusia Maluku menuju ke arah yang lebih baik yang dipraktekan lewat tindakan saling membantu, saling menghargai dan 29 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26 saling menerima yang terbentuk di dalam pranata-pranata lokal seperti; akta perjanjian Pela-Gandong, Kalwedo, Duan-Lolat dan Ain Ni Ain.
Di samping pemahaman falsafah hidop orang basudara yang disederhanakan oleh penulis di atas, ada tiga hal menarik juga yang dapat disimpulkan dari uraian di atas tentang falsafah hidop orang basudara:
1. Falsafah hidop orang basudara adalah kesadaran koletif manusia Maluku.
Di sebut sebagai kesadaran kolektif, karena falsafah hidop orang
basudara merupakan sebuah cetakan budaya yang terus diturunkan dari
generasi ke generasi sebagai suatu kosmologi manusia Maluku, yang selalu mengingatkan manusia Maluku untuk selalu melangkah pada suatu tatanan hidup yang setara, karena pada dasarnya manusia Maluku adalah
orang basudara . Hal ini ditegaskan oleh sekum GPM dengan mengatakan
bahwa, falsafah hidop orang basudara sudah ada di dalam struktur memori setiap manusia Maluku, tinggal bagaimana manusia Maluku kembali mengingatkan atau memanaskan struktur memori yang sudah ada
30 tersebut serta menanggapinya.
30 Hasil wawancara dengan Sekum GPM, pdt Elifas Tomix Maspaitela di Kantor
2. Falsafah hidop orang basudara merupakan sesuatu yang sakral.
Falasafah hidop orang basudara bersifat sakral karena pandangan
imagodei dari kacamata Kristen yang ada di dalam falsafah hidop orang
basudara yang melihat semua manusia Maluku pada utuhnya adalah
gambar ALLAH yang hidup itu sendiri. Oleh sebab itu, hubungan- hubungan yang dibangun maupun relasi-relasi yang dijalin di wilayah sosial antar sesama manusia Maluku yang tercermin di dalam sikap hidup merupakan suatu hal yang suci atau sakral.
Lebih jauh di dalam buku perdamaian berbasis adat orang
basudara , Aholiab Watloly dan kawan-kawan melihat sikap hidup yang
terbentuk di dalam falsafah hidop orang basudara merupakan tabiat atau karakter suci yang selalu dijunjung dan dimuliakan untuk memuliakan hidup secara bersama. Bahkan bagi mereka pola pikir dan lakon hidop
orang basudara mencirikan sebuah kesakralan dan kesalehan hidup yang
sangat fundamental, yang begitu dihargai dalam adat (aturan hidup) orang
31
basudara . Dengan demikian, sikap hidup di dalam falsafah hidup orang
basudara yang sakral itu mampu untuk menyetarakan semua manusia
Maluku.
31 Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara,
3. Dalam falsafah hidop orang basudara, terdapat pola relasi seimbang yang dapat menyetarakan manusia Maluku.
Pada umumnya dalam satu wilayah yang terdiri dari realitas manusia yang begitu kompleks, baik itu kepercayaannya, sukunya, budayanya dan juga status sosialnya, tentu sangat sulit untuk dapat menciptakan suatu relasi yang setara diantara kekompleksan tersebut.
Bahkan jika kekompleksan tersebut dipetakan di dalam dua sub mayoritas dan minoritas, cenderung sub mayoritas lah yang selalu memegang kendali di dalam proses berelasi. Namun hal tersebut berbeda dengan wilayah Maluku yang manusianya hidup dengan berlandaskan kosmologi
falsafah hidop orang basudara .
Bagi manusia Maluku yang hidup dengan falsafah hidup orang
basudara sebagai kosmologi hidupnya, selalu melihat realitas manusia
Maluku yang begitu kompleks sebagai suatu realitas yang khas dan tidak terpisahkan dari diri manusia Maluku secara utuh. Oleh karena itu di dalam proses berelasi, manusia Maluku yang hidup dengan kosmologi
falsafah hidop orang basudara tidak berusaha untuk melepas kekhasan
dari diri manusia Maluku atau memaksa suatu kekhasan tertentu dari manusia Maluku untuk diikuti oleh manusia Maluku yang lain, melainkan manusia Maluku dituntut untuk harus saling mengakui dan menerima bagian dari dirinya tanpa harus melepaskan kekhasan tersebut atau pun memaksa kekhasan tertentu bagi manusia lain di dalam proses berelasi.
Dengan demikian relasi yang terbentuk di dalam falsafah hidop orang
basudara adalah relasi yang seimbang. Hal ini juga ditegaskan oleh Jacky
Manuputty bahwa falsafah hidop orang basudara membentuk sebuah pola relasi seimbang di dalam proses berelasi. Dengan relasi seimbang tersebut, manusia Maluku secara sadar dapat mengakui kelebihan dan kelemahannya serta harus saling menerima kelemahan dan kekurangannya masing-masing di dalam kosmologi manusia Maluku sebagai orang
32 basudara .
Di satu sisi secara teologi, jika teologi barat dalam kurun waktu yang begitu lama selalu bersifat esklusif, serta melihat yang sakral hanya terdapat di dalam habitus kekristenan semata, maka falsafah hidop orang
basudara berbicara sebaliknya. Dalam falsafah hidop orang basudara
ketika manusia yang adalah imagodei itu bersepakat untuk mempercayai yang Ilahi dalam habitus kepercayaan mereka, maka habitus kepercayaan mereka itu kemudian merupakan hal sakral yang adalah kekhasan mereka yang tidak sama dengan yang sakral dalam kekhasan yang lain. Oleh sebab itu falsafah hidop orang basudara bersifat inklusif untuk saling
32 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26
mengakui dan menerima habitus sakral dalam kepercayaan tertentu sebagai suatu hal yang khas.
Di sisi lain, pandangan falsafah hidop orang basudara yang bersifat inklusif untuk mengakui dan menerima yang sakral di dalam
habitus kepercayaan tertentu, juga merupakan pandangan yang sedang
dikembangkan oleh teolog-teolog saat ini untuk mengakui dan menerima realitas dari habitus kepercayaan lain yang merupakan yang khas dari mereka. Bahkan jauh sebelum para teolog mengembangkan pandangan untuk saling menerima di dalam proses berteologi, falsafah hidop orang
basudara telah mengaktualisasikannya di dalam tindakan dan pikiran
manusia Maluku yang lahir dalam kosmologi falsafah ini.C. Kandungan Nilai Dalam Falsafah Hidop Orang Basudara.
Berdasarkan uraian di atas tentang pemahaman falsafah hidop , terlihat dengan jelas bahwa sebagai kosmologi hidup
orang basudara
manusia Maluku, falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah kerangka kosong, melainkan sebuah kerangka hidup yang mempunyai kandungan nilai-nilai positif yang dapat mengantarkan manusia Maluku ke dalam situasi hidup yang lebih baik. Oleh sebab itu, falsafah hidop orang
basudara mengandung nilai-nilai positif seperti; saling melindungi, saling
33
mengasihi, dan saling mendamaikan.Di sisi lain bagi Hery Siahaya, falsafah hidop orang basudara mengandung suatu tatanan hidup yang saling menghargai serta
34
menghilangkan sifat-sifat kecemburuan. Hal yang mendasari sehingga Hery Siahaya mengeluarkan pernyataan seperti ini, dikarenakan dalam realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, tentu ada perbedaan yang terbentuk dalam kelebihan dan kekurangan yang dipengaruhi oleh kekompleksan tersebut. Oleh sebab itu, nilai yang terkandung di dalam
falsafah hidop orang basudara mampu untuk membuat manusia Maluku
saling mengakui kelemahan masing-masing dan menghargainya serta tidak mencemburui kelebihan masing-masing, karena kelemahan dan kelebihan tersebut merupakan sebuah bagian yang tak terpisahkan dari realitas manusia Maluku sesuai dengan kekhasannya masing-masing.
Lebih jauh, untuk menegaskan bahwa falsafah hidop orang
basudara pada dasarnya bukanlah sebuah kosmologi hidup Maluku yang
kosong, melainkan mengandung nilai positif, Aholiab Watloly dalam tulisannya tentang memperkuat falsafah hidop orang basudara dalam buku berlayar dalam ombak, berkarya bagi negeri menjelaskan bahwa, 33 Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 106. 34 Hasil wawancara dengan pdt Hery Siahay di Poka, tanggal 23 Agustus 2017,
hidop orang basudara menegaskan nilai-nilai solidaritas, kekerabatan,
persaudaraan, dan sikap pengorbanan yang luhur-suci demi basudara
35 sebagai bentuk kebenaran demi kebaikan hidupnya secara bersama.
Penegasan Aholiab Watloly dan informan lainnya di atas, semakin mempertegas bahwa falsafah hidop orang basudara adalah sebuah kosmologi hidup manusia Maluku yang mengandung banyak nilai positif. Nilai positif tersebut kemudian membentuk sikap hidup yang dapat mengantarkan manusia Maluku agar dapat membangun hidup dalam realitasnya yang kompleks. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menampilkan sikap hidup tersebut lewat empat hal mendasar:
Pertama, falsafah ini membentuk sikap hidup yang bertoleran
untuk membuka diri dan menerima, serta menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh semua manusia Maluku, baik itu individu maupun komunitas tertentu sebagai suatu realitas hidup manusia Maluku yang begitu kompleks, baik itu perbedaan budaya, suku, kepercayaan, dan juga status sosial.
Kedua, ketika manusia Maluku telah bertoleransi dan membuka
diri untuk menerima perbedaan-perbedaan yang ada sebagai suatu realitas hidup manusia Maluku, maka ada keinginan yang timbul untuk 35 Aholiab Watloly “Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara” dalam
Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri , eds by Abidin Wakano dkk, (Ambon: membangun hubungan intim yang berbasis keluarga di dalam perbedaan tersebut. Artinya, walaupun manusia Maluku berbeda karena kekompleksannya, namun nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop
orang basudara mendorong manusia Maluku untuk dapat membentuk
sebuah hubungan intim di dalam kekompleksan tersebut. Hubungan intim yang dapat mengakui dan menerima kekompleksan tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dan yang khas dari masing-masing manusia Maluku, dan hubungan yang mampu melakukannya hanya jika hubungan tersebut didasarkan pada hubungan yang berbasis persaudaraan.
Ketiga, falsafah ini mencerminkan sikap hidup yang bertanggung