BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Salatiga

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.KonsepLiterasi

2.1.1.Konsep Literasi

  Literasi berasaldari kataliteracy yang artinya melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwacanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale dan Sulzby, 1986; Cooper,1993,6; Alwasilah, 2001). Pengertian Literasi berdasarkan konteks penggunaannya dinyatakan Baynham (1995,9) bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara,menulis, membaca dan berfikir kritis.

  Menurut Graff (2006, 808) Literasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.Sementara itu Alberta (2009, 201) menyatakan, bahwa arti literasi bukan hanya sekedar kemampuan untuk membaca dan menulis, namun kemampuan menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan berfikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif dan mampu mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

  National Assesment of Educational Progress

  mengartikan literasi sebagai kemampuan perfomansimembaca dan menulis yang diperlukan sepanjang hayat ( Winterowd, 1999, 5).

  Berkaitan dengandunia pendidikan, Irene dan Gay (2001, 115) menyatakan bahwa nilai-nilai literasi yang berkualitas tergambar dari ketika siswa berhasil menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan dituangkan kembali ke dalam tulisan mereka sendiri.

  Kemampuan literasi yang demikian itu tentu memerlukan proses yang berkelanjutan dan harus dimulai sejak dini. Dalam kaitan ini, National Literacy Forum (2014, 12) menyebutkan bahwa ada empat cara yang harus dilakukan dalam membangun literasi yang universal, yaitu meningkatkan kemampuan bahasa sejak dini di rumah dan dalam pendidikan non formal, lebih mengefektifkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan keterampilan membaca dan menulis di sekolah , adanya akses untuk membaca dan program yang membuat anak merasa senang melakukan kegiatan literasi, menciptakan kerjasama antara sekolah, lingkungan, keluarga dan lingkungan kerja untuk dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya membaca.

  Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka dapat diambil jntisari dan benang merahnya, bahwa literasi adalah (1) kemampuan baca-tulis atau kemelekwacanaan, (2) berdasarkan penggunaannya literasi berarti kemampuan integrasi antara menyimak, berbicara, membaca, menulis dan berpikir, (3) kemampuan yang siap digunakan untuk menguasai gagasan baru atau cara mempelajarinya, (4) piranti kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam lingkungan akademik atau sosial, (5) kemampuan perfomansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan dan (6) kompetensi seorang akademisi dalam memahami wacana secara professional.

  Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis.Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO itu juga menyebutkan bahwa literasi informasi berkaitan pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasikan, menentukan, menemukan, mengevaluasi, serta menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu juga merupakan bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.

  Literasi dalam bahasa Inggris bertuliskan literacy, kata

ini berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang memiliki

definisi melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan

konvensi-konvensi yang menyertainya. Berkenaan dengan ini

  Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Adapun pengetahuan tentang genre adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku/ digunakan dalam komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur yang membentuk definisi tersebut, yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi, dan penggunaan bahasa. Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari literasi. Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu: a.

  

Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif

sebagai berikut:

“Literacy is the use of socially-, and historically-, and

culturallysituated practices of creating and interpreting

meaning through texts. It entails at least a tacit

awareness of the relationships between textual

conventions and their context of use and, ideally, the

ability to reflect critically on those relationships. Because

it is purpose-sensitive, literacy is dynamic

  • – not static –

    and variable across and within discourse communities

    and cultures. It draws on a wide range of cognitive

    abilities, on knowledge of written and spoken language,

    on knowledge of genres, and on cultural knowledge.”

  Literasi melibatkan interpretasi Penulis/pembicara dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain- lain), dan pembaca/pendengar kemudian mengiterpretasikan. interpretasi penulis/pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia. b. Literasi melibatkan kolaborasi Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/pendengar.Kerjasama itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/ pendengarnya.Sementara pembaca/pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.

  c. Literasi melibatkan konvensi Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.

  d. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.

  Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu.Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.

  e. Literasi melibatkan pemecahan masalah.

  Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan- hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat- kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya,membayangkan/memikirkan/mempertimbang kan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.

  f. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.

  Pembaca/pendengar dan penulis/pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.

  g. Literasi melibatkan penggunaan bahasa.

  Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/diskursus.

  Berdasarkan pendapat Kern di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwaliterasi mengandung tujjuh prinsip, yaitu literasi melibatkan interpretasi, kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa. Ketujuh prinsip tersebut menurut kern merupakan unsur-unsur pokok yang menjadi prinsip literasi.Dengan pendapatnya ini Kern ingin menegaskan bahwa literasi memiliki prinsip-prinsip yang komprehensif dan lengkap.

  Masih menurut Kern, Konsep literasi bukan hanya sekedar berkaitan dengan aktivitas membaca, menyimak, dan menulis saja, melainkan sebuah aktivitas yang secara prinsip melibatkan penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan, interpretasi (menafsirkan), Kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural dan yang lebih penting lagi adalah mengandung prinsip pemecahan masalah.Dengan mencermati pendapat Kern diatas, maka sangatlah tepat bila kemampuan berliterasi bagi semua orang perlu ditingkat sepanjang hayat.

2.1.2.Komponen Literasi

  Secara konsep, literasi dipahami lebih dari sekedar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori.Di era ini, kemampuan yang dimaksud ialah sebagai literasi informasi.Clay dan Ferguson (2001), menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  a. Literasi Dini (Early Literacy) Yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi dengan lingkungandirumah. Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.

  b. Literasi Dasar (Basic Literacy) Yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk menghitung (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan informasi, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

  c. Literasi Perpustakaan (Library Literacy) Memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

  d. Literasi Media (Media Literacy) Yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (radio, televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.

  e. Literasi Teknologi (Technology Literacy) Yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya, pemahaman menggunakan komputer (computer literacy) yang didalamnya mencakup menghidupakan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta mengoprasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan..

  f. Literasi Visual (Visual Literacy) Adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan leterasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks media dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.

  Di era ini, kemampuan yang dimaksud ialah sebagai literasi informasi. Clay dan Ferguson (2001), menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual.. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut: Dengan mencermati pandangan Clay dan Ferguson diatas, terlihatbahwa menurut kedua pakar tersebut perkembangan konsep literasi perlu dilekatkan secara kontekstual nsesuai perkembangan jaman. Oleh karena itu Komponen literasi pada era sekarang memang perlu dipahami secara kontekstual sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi yang sangat pesat.

  Komponen Literasi seperti yang dikemukakan Clay dan Fergusaon telah disusun dan disistematisir seperti sebuah kronologi dari tahap perkembangan literasi itu sendiri.Hal itu dapat dilihat dari komponen literasi pertama literasi Clay dimulai dari literasi dini, perpustakaan, literasi media, literasi teknologi dan terakhir adalah literasi visual.

2.2. Gerakan Literasi Sekolah

2.2.1. Konsep Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

  GLS merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah yang meliputi peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, Pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua / wali murid peserta didik, serta akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dan lain-lain), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

  GLSadalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah).

  Setelah pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak keberadaan GLS dapat diketahui dan terus- menerus dikembangkan.GLS diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan.

2.2.2.Landasan Filosofi dan Landasan Hukum

a. Landasan Filosofi

  1) Sumpah Pemuda pada butir ketiga (3) menyatakan,

  “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia yang memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing

  Butir ini sesuai dengan keperluannya.”. menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa dalam pendidikan nasional. 2)

  Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989 tentang pentingnya penggunaan bahasa ibu.

  Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa, khususnya mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu difasilitasi dengan bahasa ibu saat mereka memasuki pendidikan dasar kelas rendah (kelas I,

  II, III). 3)

  Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecakapan literasi dasar dan kecakapan perpustakaan yang efektif merupakan kunci bagi masyarakat yang literat dalam menghadapi derasnya arus informasi teknologi. Lima komponen yang esensial dari literasi informasi itu adalah basic literacy, library media literacy, technology literacy, dan visual literacy.

  Secara filosofis Gerakan Literasi di telah memiliki landasan yang sangat mengakar.Hal itu tercermin dari dicantumkannya pernyataan yang menegaskan pentingnya pembelajaran Bahasa Indonesia pada butir 3 Naskah Sumpah Pemuda. Pada masa pergerakan pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan itu, sudah disadari akan arti pentingnya pembelajaran bahasa Indonesia, dimana Bahasa Indonesia dipandang sebagai alat pemersatu bangsa dan pendorong kemajuan bangsa.

  Pada masa Indonesia modern, gerakan literasi sebagai prasyarat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kembali mendapatkan landasan filosofis dengan Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecakapan literasi dasar dan kecakapan perpustakaan. Konvensi PBB tersebut memberikan landasan bagi pembentukan masyarakat yang literasi informasi yaitu basic literacy, library media literacy, technology literacy, dan visual literacy. Dengan landasan filosofis tersebut Gerakan Literasi di Indonesia diharapkan mampu menguasi lima komponen literasi dimaksud..

b. Landasan Hukum

  1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3:

  “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang- undang.”

  2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

  3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

  4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera,Bahasa, dan Lambang

  Negara serta Lagu Kebangsaan. 5)

  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentangPerubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

  6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UUNomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

  7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam

  Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. 8)

  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah(SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). 9)

  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

  10) Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019.

2.2.3. Tujuan Gerakan Literasi Sekolah.

a. Tujuan Umum

  Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pengembangan budaya membaca yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.

b. Tujuan Khusus a.Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah.

  b.Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat. c.Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang mampu mengelola pengetahuan.

  d. Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam bukubacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.

2.2.4. Sasaran GLS

  Sasaran gerakan literasi sekolah adalah ekosistem sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Yang dimaksud dengan Ekosisten sekolah disini adalah komunitas sekolah dan lingkungan Sekolah dimana proses belajar mengajar dilaksanakan serta lingkungan fisik dan social lain yang masih terkait dengan proses KBM tersebut

2.2.5. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah

  Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip- prinsip sebagai berikut.

a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembanganyang dapat diprediksi.

  Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling beririsan antartahap perkembangan. Memahami tahap perkembanganli terasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.

  Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwatiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu,strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks,seperti karya sastra untuk anak dan remaja.

c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum

  Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.

  

d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan

kapanpun

  Misalnya, „menulis surat kepada presiden‟ atau

  „membaca untuk ibu‟ merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.

e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan

  Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.

  

f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran

terhadapkeberagaman

  Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi disekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka memahami pengalaman multikultural bangsa Indonesia..

2.2.6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah

  

a. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang

menyenangkan di ekosistem sekolah

  Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca dalam diri warga sekolah.Penumbuhan minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi peserta didik.

  

b. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk

meningkatkan Kemampuan literasi

  Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi,berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).

c. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi

  Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secarakreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan danbuku pelajaran (cf. Anderson & Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran). Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat khusus,atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP, dan 18buku bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran ini disediakan oleh wali kelas.

  Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literasi, Beers, (2009, 27) menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah.

a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi

  Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut

  Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap pengembangan budaya literasi.

  

b.Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif

sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat

  Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif antar guru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing.

  Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi.

  c.Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat

  Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan untuk peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.

2.3. Evaluasi Program

2.3.1.Konsep Program

  Program adalah suatu rangkaian kegiatan sebagai bentuk implementasi dari suatu kebijakan. Menurut pengertian secara umum, program diartikan sebagai “rencana” yang akan dilakukan/dikerjakan oleh seseorang atau suatu organisasi dalam rangka mencapaitujuan. Namun apabila program tersebut dikaitkan dengan evaluasi program, maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang (Suharsimi dan Cepi Safruddin, 2009).

  Dalam pengertian ini, definisi program mencakup tiga persyaratan, yaitu: (1)program merupakan berlangsung dalam waktu yang relatif lama, bukan kegiatan tunggal tetapi kegiatan jamak yang berkesinambungan; dan (3) terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.

  Pada prakteknya, terdapat juga program yang berlangsung hanya dalam waktu singkat, misalnya program Peringatan Hari Besar Nasional oleh OSIS disuatu sekolah atau oleh Unit Kegiatan Mahasiswa.Kegiatan-kegiatan dalam program ini dapat klasifikasikan sebagai program karena mengandung beberapa komponen kegiatan, seperti misalnya: kegiatan peringatan HUT Proklamasi, Hardiknas, Harkitnas dsb. Selainitu, program tersebut juga memuat kegiatan-kegiatan yang berangkai, seperti:penggalangan dana, pembentukan kepanitiaan, perizinan, sampai pelaksanaannya.

  Selain mengandung tiga persyaratan tersebut, ada pula program-program tertentuyang menunjukkan ciri khusus, yaitu kegiatan jamak yang berangkai. Misal, program pembelajaran adalah kegiatan jamak yang berangkai, karena mengandung kegiatan-kegiatan sebagai berikut: penyusunan kurikulum, penyusunan perangkat pembelajaran seperti silabus dan RPP, pelaksanaan kegiatan pembelajaran, dan evaluasinya.

  Menurut Arikunto (2010) evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Sejalan dengan pendapat diatas, Sufflebeam &Shinkield (2007) berpendapat bahwa evaluasi adalah pengumpulan dan analisis informasi yang berkualitas bagi pengambil keputusan. Dari dua pendapat tersebut, Arikunto menekankan bahwa evaluasi program merupakan kegiatan tanpa mendefinisikan lebih rinci kegiatan apa saja yang dapat melihat tingkat keberhasilan suatu program. Sedangkan Sufflebeam & Shinkield memberikan penjelasan yang lebih rinci bahwa kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi program terdiri dari pengumpulan dan analisis informasi yang berkualitas. Dalam hal tujuan program, Arikunto lebih menekankan bahwa tujuan evaluasi program adalah untuk melihat keberhasilan program sedangkan Sufflebeam & Shinkield lebih kepada memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan organisasi.

  Berdasarkan konteksnya faktor-faktor penentu keberhasilan evaluasi program dipengaruhi oleh kualitas input (program, aktor, satpras,dll), kualitas proses (mengumpulkan dan menganalisis informasi secara berkualitas) serta kualitas output berupa realisasi program dan pengambilan keputusan. menghambat pelaksanaan evaluasi program seperti faktor subyektifitas dan minimnya pengetahuan evaluator tentang evaluasi. Untuk menjadi evaluator diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai sehingga tujuan evaluasi program dapat tercapai.

  Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa evaluasi dilakukan oleh para ahli professional/ pakar dengan kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan memproses suatu informasi secara berkualitas untuk melihat keberhasilan terhadap suatu program dan kendala-kendala yang dihadapi sehingga organisasi dapat mengambil sebuah keputusan tentang tindak lanjut dari program tersebut.

  Menurut Arikunto (2012) terdapat poin penting dalam evaluasi program yakni pembahasan rangkaian kegiatan untuk melihat ketercapaian program melalui evaluasi dan tindak lanjut keputusan terhadap program tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami, bahwa hasil akhir dari evaluasi program adalah pemberian keputusan tindak lanjut terhadap suatu program.

  Arikunto lebih lanjut menegaskan, bahwa terdapat empat macam kebijakan tindak lanjutan yang dapat diambil setelah dilakukannya sebuah evaluasi terdahap suatu program sebagai berikut:

  1. Kegiatan tersebut dilanjutkan, karena program tersebut sangat bermanfaat.

  2. Kegiatan tersebut tetap dilanjutkan tetapi dengan penyempurnaan, karena pelaksnaanya kurang lancar.

  3. Kegiatan tersebut dimodifikasi ulang, karena diketahui kemanfaatannya masih kurang tinggi.

  4. Kegiatan tersebut tidak dapat dilanjutkan, karena dari data yang terkumpul bahwa hasilnya kurang bermafaat (Arikunto, 2012).

  Sejalan dengan pendapat diatas, menurut Sukardi (2008) evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi dimana suatu tujuan telah dapat tercapai. Proses penetuan kondisi ini, dipahami sebagai pengumpulan informasi guna membuat alternatif-alternatif keputusan.

  Sebagai referensi dalam penelitian ini, kiranya perlu dikemukakan pula evaluasi program di bidang pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Tyler, bahwa Evaluasi program bidang pendidikan menurut Tyler (1950) dalam Arikunto dan Cepi Safruddin A,Jabar, (2009,5), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan terealisasikan.

  Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, dikenal banyak model yang digunakan untuk menevaluasi keterlaksanaan program. Meskipun antara satu model dengan model yang lain berbeda tetapi maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan obyek yang dievaluasi, yang tujuannya menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindaklanjut suatu program. Steppen Isaac (1986 dalam Arikunto, 2004) membedakan adanya 4 (empat) hal (orientasi) yang digunakan untuk membedakan ragam model evaluasi, yaitu: 1)

  Berorientasi pada tujuan (goal oriented) 2)

  Berorientasi pada keputusan (decision oriented) 3)

  Berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang menanganinya (transactional oriented), dan 4)Berorieentasi pada pengaruh dan dampak (research oriented).

2.3.3.Model-model Evaluasi Program

  Selain empat model evaluasi yang dibedakan menurut orientasinya, para pakar yang dikenal sebagai penemu evaluasi telah membedakan model evaluasi menjadi 8 (delapan) model, yaitu: 1)

  Goal oriented model,(dikembangkan oleh Tyler) Model evaluasi yang dikembangkan oleh Tyler ini merupakan model yang muncul paling awal.Yang menjadi obyek pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan/direncanakan sebelumnya. Evaluasi dilakukan secara berkelanjutan dan terus-menerus guna meneliti sejauhmana tujuan tersebut sudah tercapai dalam pelaksanaan program.

  Secara umum model evaluasi ini memberikan penekanan terhadap produktivitas dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program.Model ini juga sering digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan dan kemajuan program. Lebih lanjut Tyler (1951 dalam Azizi, 2008) menjelaskan langkah pertama evaluasi adalah mengenali tujuan program, setelah tujuan program diketahui, perlu diketahui indicator-indikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran secara pasti. Selanjutnya hasil kajian akan dibandingkan dengan tujuan program dan dibuat penelaian level pencapaian yang diperoleh. Apabila tujuan program tidak tercapai sepenuhnya ini membawa implikasi bahwa pelaksanaan program lemah atau bahwa tujuan yang dipilih tidak tepat atau tidak sesuai.

  2) Goal Free Evaluation (dikembangkan oleh Michael

  Scriven) Goal Free Evaluation atau seringkali diterjemahkan menjadi Evaluasi Bebas Tujuan ini dapat dikatakan bertolak belakang dengan model evaluasi Goal Oriented yang dikembangkan oleh Tyler. Jika dalam model yang dikembangkan oleh Tyler, evaluator terus-menerus memamtau tujuan dan melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah tercapai, maka dalam model Goal Free Evaluation (evaluasi Bebas Tujuan) evaluator justeru kurang memperhatikan tujuan.

  Menurut Scriven dalam melaksanakan evaluasi program, evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan-tujuan khusus program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal yang positif (yang diharapkan) maupun hal-hal negative (yang tidak diharapkan). Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus, jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauhmana masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum, maka akibatnya jumlah penampilan khusus tersebut tidak banyak manfaatnya. Dari uraian di atas kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan evaluasi Bebas Tujuan dalam model ini bukannya lepas sama sekali dari tujuan, melainkan hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci perkomponen. 3)

  Formatif Summatif Evaluation (dikembangkan oleh Michael Scriven) Model evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven ini sesuai dengan namanya menunjukkan adanya tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi. Dalam model evaluasi ini, evaluasi dilaksanakan pada waktu program sedang berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi Sumatif). Dengan kata lain evaluasi ini menunjuk tentang

  “Apa, Kapan, dan Tujuan “ evaluasi tersebut dilaksanakan.

  Evaluasi Formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program berada di tahap awal kegiatan.Tujuan evaluasi Formatif tersebut adalah untuk mengetahui sejauhmana program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi hambatan.Dengan mengetahui hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan dapat mengadakan perbaikan-perbaikan secara dini. Evaluasi Sumatif dilakukan setelah program berakhir.Tujuan dari evaluasi Sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program setelah program berakhir. 4)

  Countenance Evaluation Model (dikembangkan oleh Stake) Model ini dikembangkan oleh Stake, yang kemudian diulas lebih lanjut oleh Fernandes (1984, dalam Arikunto, 2004), menekankan adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu Deskripsi (description), dan Pertimbangan (Judgement), serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu 1() Anteseden (antecedents/context), (2) Transaksi

  (Transaction/process) (3) Keluaran (output- outcomes).

  Analisis proses evaluasi yang dikemukakan Stake (1967, dalam Tayibnapis, 2000) membawa dampak yang cukup besar dalam bidang evaluasi dan meletakkan dasar sederhana namun merupakan konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. 5)

  Responsive Evaluation Model (dikembangkan oleh Stake)

  Menurut Stake (1967, dalam Azizi, 2008) menjelaskan bahwa model evaluasi ini berdasarkan pada apa yang biasa individu lakukan untuk menilai suatu perkara.Untuk melakukan evaluasi ini, evaluator dipaksa untuk bekerja keras untuk memastikan individu yang dipilih memahami apa yang perlu dilakukan. Evaluator juga perlu memahami prosedur yang baku dan mencari serta mengatur tim untuk meneliti pelaksanaan program tersebut. Terdapat empat tahap dalam evaluasi model ini, yaitu: (1).Pada awal pelaksanaan evaluasi, evaluator dank lien (stakeholder) membuat perundingan tentang kontrak mengenai tujuan penilaian, validitas, dan jaminan kerahasiaan. Stakeholder disini adalah individu yang terlibat dalam evaluasi tersebut dan memiliki hak untuk memberikan ijin dan isu-isu yang berkaitan dengan proses evaluasi. (2).Mengenal pasti Perhatian (concern) isu, nilai-nilai dari stakeholder. (3).Tahap ketiga mengumpulkan informasi yang memiliki hubungan dengan tujuan, isu, nilai yang dikenal pasti oleh stakeholder. Evaluator juga dapat mendasarkan data dan informasi secara deskriftif tentang perkara yang dievaluasi dan standar yang dipergunakan untuk membuat pertimbangan. (4).Penyediaan laporan evaluasi yang berisis bahan pengambilan keputusan atau alternatif kebijakan. 6).CSE-UCLA Evaluation Model (dikembangkan oleh

  Alkin)

  CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA.Yang pertama CSE merupakan singkatan dari Center for the Study of Evolution, sedangkan UCLA merupakan singkatan dari Unversity of California in Los Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dan dampak. Sementara itu Fernandes (1984, dalam Arikunto 2004) memberikan penjelasan tentang model CSE- UCLA menjadi empat tahap, yaitu (1) need

  assessment, (2) program planning, (3) formative evaluation, dan (4) summative evaluation.

  Pada tahap Need Assessmen, evaluator memusatkan perhatian pada penentuan masalah, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keberadaan program, kebutuhan apakah yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan program, serta tujuan jangka panjang apakah yang dapat dicapai melalui program ini.

  Pada Tahap Program planning, evaluator mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap pertama. Pada Tahap Formative evaluation, evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaasn program. Dengan demikian evaluator diharapkan benar-benar terlibat dalam pelaksanaan program karena harus menghimpun data dan informasi dari pengembang program. Tahap berikutnya adalah tahap Summative

  Evaluation, dimana pada tahap ini evaluator

  diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui apakah tujuan yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan kalau belum dicari bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.

7) CIPP Evaluation Model.

  CIPP merupakan singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu Context, Input, Process, dan Product. Keempat kata yang disebut dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain meliputi evaluasi Context, evaluasi Input, evaluasi Process dan evaluasi Product, dimana sebuah program yang dievaluasi dipandang sebagai sebuah system.

  (a) Evaluasi Konteks (Contevt) disini diartikan

  sebagai suatu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti kebijakan organisasi, sasaran yang ingin dicapai, masalah SDM yang dihadapi, dan lain sebagainya.

  (b) Evaluasi Masukan (Input) adalah evaluasi tentang apa yang menjadi masukan dari program.

  Model evaluasi Input ini meliputi kegiatan pendeskripsian masukan dan sumber daya program, perkiraan untung rugi, dan melihat alternative prosedur dan strategi yang perlu disarankan dan dipertimbangkan. Singkatnya evaluasi Input digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumber akan selesai.tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak.

  (c) Evaluasi Proses (Process), dalam model CIPP

  diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi yang dilakukan dalam model CIPP menunjuk pada “apa”(what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program, “kapan” (when) kegiatan.

  (d)Evaluasi Produk (product), Evaluasi produk

  diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah kepada hasil akhir.

8) Discrepancy Model Evaluation (dikembangkan oleh

  Malcom Provus) Provus (1971, dalam Azizi, 2008) mendefinisikan evaluasi discrepancy sebagai alat untuk membuat pertimbangan (judgement) atas kekurangan dan kelebihan suatu obyek berdasarkan perbandingan antara standard an kinerja. Model ini juga dianggap menggunakan pendekatan formatif dan berorientasi pada analisis sistem. Dengan model ini, proses evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan capaian program dengan standar. Sementara pada waktu yang sama mengidentifikasi standar baru untuk dipakai sebagai perbandingan di masa berikutnya. Masih menurut Provus, evaluasi model Deskripancy memilki lima tahap evaluasi, yaitu

  tahap Definition stage, tahap Instalation stage, tahap Process stage, tahap Producs stage, dan tahap cost- benefit.